dagang melalui sistem elektronik hak konsumen … · tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan...
TRANSCRIPT
EXECUTIVE SUMMARY
HAK KONSUMEN DALAM TRANSAKSI
DAGANG MELALUI SISTEM ELEKTRONIK
2018 Peneliti:
Sulasi Rongiyati
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
1
A. Latar Belakang
Perkembangan transaksi dagang elektronik (e-commerce) di Indonesia
berkembang pesat dengan jumlah pengguna internet yang terus mengalami kenaikan
secara signifikan. Berdasarkan survei Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia
(APJII) pada tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta
jiwa. Angka tersebut meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni tahun
2016 yang tercatat mencapai 132,7 juta jiwa. Berdasarkan wilayah, lebih dari separuh
atau 58,08 persen pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017 berada di Pulau
Jawa, 19 persen berada di Sumatera, 7,97 persen di Kalimantan, 5,63 persen berada di
Bali dan Nusa Tenggara, 6,73 persen berada di Sulawesi, serta 2,49 persen di Maluku
dan Papua. Jika didasarkan pada wilayah kabupaten/kota, sebagian besar yaitu 72,41
persen pengguna internet berada di kawasan perkotaan, 49,49 persen berada di
kawasan rural-urban, dan sisanya 48,25 persen berada di kawasan rural.
Besarnya pengguna internet di Indonesia berdampak pada semakin
berkembangnya transaksi dagang yang dilakukan dengan menggunakan media internet.
Nilai transaksi melalui situs jual beli online sangat fantastis, Bank Indonesia mencatat
sepanjang 2015, nilai transaksi di e-commerce Indonesia mencapai 3,5 miliar dollar
Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp45,50 triliun (asumsi rupiah Rp13.000 per
dollar AS). Transaksi melalui sistem elektronik yang memungkinkan para pihak (pelaku
usaha dan konsumen) untuk bertransaksi tanpa harus saling bertatap muka dan cukup
dengan komunikasi jarak jauh melalui media elektronik, dapat menjadi pasar yang
sangat potensial karena konsumen dapat melakukan transaksi dengan distributor atau
produsen (pelaku usaha) di seluruh penjuru dunia dengan biaya yang relatif rendah.
Melihat besarnya potensi yang dihasilkan dari transaksi berbasis elektronik ini,
memicu pemerintah untuk mendukung pengembangan e-commerce (e-dagang) di
Indonesia. Pada akhir tahun 2016, melalui Paket Kebijakan RI XIV, pemerintah
mendorong untuk membuat peta jalan (roadmap) industri e-commerce dengan harapan,
Indonesia bisa menjadi negara digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada 2020.
Pada tahun 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017
tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-
Commerce) Tahun 2017-2019 (selanjutnya disebut Peta Jalan SPNBE 2017-2019) untuk
mendorong perluasan dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di seluruh
Indonesia secara efisien dan terkoneksi secara global. Program yang diusung
Pemerintah dalam Peta Jalan SPNBE 2017-2019 mencakup programa: pendanaan; b.
2
perpajakan; c. pelindungan konsumen; d. pendidikan dan sumber daya manusia; e.
infrastruktur komunikasi; f. logistik; g. keamanan siber (cyber security); dan h.
Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE.
Namun, pesatnya perkembangan e-commerce menimbulkan dampak negatif bagi
konsumen yang memposisikan konsumen pada posisi tawar yang lemah. Secara garis
besar, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang timbul yang berkenaan dengan
hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce, antara lain:
1. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh barang
yang akan dipesan;
2. Ketidakjelasan informasi tentang produk yang ditawarkan dan/atau tidak ada
kepastian apakah konsumen telah memperoleh berbagai informasi yang layak
diketahui, atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan
dalam bertransaksi;
3. Tidak jelasnya status subjek hukum, dari pelaku usaha;
4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan terhadap
risiko-risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal
pembayaran secara elektronik baik dengan credit card maupun electronic cash;
5. Pembebanan risiko yang tidak berimbang, karena umumnya terhadap jual beli di
internet, pembayaran telah lunas dilakukan di muka oleh konsumen, sedangkan
barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudian, karena jaminan yang
ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan barang;
6. Transaksi yang bersifat lintas batas negara borderless, masih menimbulkan
pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana yang sepatutnya diberlakukan.
Hak-hak konsumen telah diatur pelindungannya dalam Pasal 4 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Demikian juga mengenai
tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen yang terjadi sebagai
dampak dilakukannya transaksi perdagangan baik barang maupun jasa telah diatur
dalam UUPK, meskipun tidak secara spesifik. Namun, pengaturan pelindungan
konsumen dalam UUPK baru sebatas transaksi yang dilakukan secara
konvensional/tradisional, sedangkan transaksi secara elektronik belum diatur.
Pengaturan transaksi secara elektronik kemudian diatur dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 1 angka 2 UU ITE
3
mendefinisikan transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 9 UU ITE mengatur kewajiban pelaku usaha untuk
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan.
Merespon UU ITE yang mengatur mengenai transaksi elektronik, Undang-Undang
No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) mengatur transaksi dagang
secara elektronik dalam bab tersendiri, yaitu dalam Bab VIII tentang Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik. Dua pasal yang terdapat dalam Bab VIII UU Perdagangan
tersebut pengaturan tentang kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha dalam
melakukan transaksi dagang melalui sistem elektronik, penyelesaian sengketa jika
terjadi perselisihan antara konsumen dengan pelaku usaha, serta sanksi bagi pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang. Selebihnya UU Perdagangan
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pengaturan terkait transaksi
dagang melalui sistem elektronik yang tersedia, tanggung jawab pelaku usaha dalam
transaksi dagang secara elektronik belum diatur secara spesifik dalam UUPK. Demikian
pula UU ITE yang meskipun mengatur tentang transaksi elektronik tetapi tidak
mengatur secara spesifik tentang jual beli secara elektronik. Pada sisi lain, meskipun UU
Perdagangan mengatur tentang transaksi dagang melalui sistem elektronik dengan
mengatur secara singkat norma kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha dalam
melakukan transaksi dagang melalui sistem elektronik, tetapi ketentuan yang termuat
dalam Pasal 65 UU Perdagangan tersebut tidak memberikan pengaturan secara detail.
Mendasarkan pada tingginya tingkat risiko dan kerugian yang dihadapi oleh
konsumen dalam transaksi dagang melalui sistem elektronik, seharusnya disertai pula
dengan peningkatan tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan pelindungan
terhadap hak-hak konsumen. Pada kenyataannya tuntutan tanggung jawab terhadap
pelaku usaha masih mengalami hambatan karena diterapkannya perjanjian baku dalam
kontrak dan perlunya pembuktian untuk menuntut petanggungjawaban pelaku usaha
dalam transaksi internet cukup panjang dan berbelit-belit. Kelemahan inilah yang
menjadi salah satu faktor yang mempersulit konsumen dalam menuntut
pertanggungjawaban pelaku usaha dalam jual beli melalui internet jika terjadi kerugian
konsumen. Kondisi ini diperparah dengan belum terbentuknya Peraturan Pemerintah
tentang perdagangan melalui sistem elektronik sebagaimana diamanatkan oleh UU
4
Perdagangan. Peraturan Pemerintah tersebut sejatinya akan menjadi panduan secara
lebih teknis bagi para pihak dalam melaksanakan transaksi dagang melalui sistem
elektronik. Mengacu pada permasalahan tersebut, maka penelitian tentang Hak
Konsumen dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem Elektronik, menjadi sangat relevan
untuk dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tergambar permasalahan utama dalam
penelitian ini adalah transaksi dagang melalui sistem elektronik yang semakin banyak
dilakukan oleh masyarakat, namun di Indonesia belum diatur secara spesifik bagaimana
hak konsumen dan tanggungjawab pelaku usaha terhadap kerugian yang dialami
konsumen dalam praktik dagang dengan menggunakan sistem elektronik. Permasalahan
utama tersebut dapat dapat dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut.
a. Bagaimana hak konsumen dan pelindungan hukumnya dalam transaksi dagang
melalui sistem elektronik?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dalam
transaksi dagang melalui sistem elektronik?
B. Metodologi
Penelitian tentang Aspek Hukum Pengelolaan SDA merupakan penelitian yuridis
normative dengan menggunakan data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan
Penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Guna mendukung dan
memperjelas data sekunder dalam penelitian ini dilakukan wawancara dan FGD dengan
nara sumber yang bidang tugas dan kewenangannya di bidang pengelolaan SDA.
Penelitian ini bersifat deskriptif analistik, yaitu menggambarkan atau
memaparkan secara tepat bentuk pengelolaan SDA dengan mendasarkan pada kaidah,
norma, asas-asas dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait di bidang
pengelolaan SDA. Data yang diperoleh disusun secara sistematis sesuai dengan
permasalahan penelitian yang telah dijabarkan dalam pertanyaan penelitian untuk
kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan
mengintepretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan menyusun data secara sistematis
logis sesuai dengan tujuan penelitian.
5
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hak Konsumen dan Perlindungannya dalam Transaksi Dagang Elektronik
Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak
konsumen. Walaupun sangat beragam, menurut Ahmadi Miru, secara garis besar hak-
hak konsumen dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu: hak yang
dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal,
maupun kerugian harta kekayaan; hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan
harga wajar; danhak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
Pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen dilakukan dengan: a.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi,
serta menjamin kepastian hukum; b. Melindungi kepentingan konsumen pada
khususnya dan kepentingan pelaku usaha; c. Meningkatkan kualitas barang dan
pelayanan jasa; d. Memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dari praktik
usaha yang menipu dan menyesatkan; e. Memadukan penyelenggaraan, pengem-
bangan, dan pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen dengan bidang-bidang
perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan
Konsumen) telah mengatur hak-hak konsumen ke dalam 9 hak, yaitu: Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk
mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan
konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak
lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Praktik transaksi dagang elektronik membawa masalah baru dalam perlindungan
hak dan kewajiban konsumen. Salah satu persoalan yang terjadi adalah tindakan curang
dan penipuan. Masalah lainnya adalah: barang yang dipesan tidak dikirim;
keterlambatan pengiriman barang; lambatnya penggantian uang muka atau seluruh
6
jumlah yang telah dibayarkan; barang pesanan tidak sesuai dengan gambar atau
keinginan konsumen, dan lain sebagainya. Berbagai persoalan tersebut menandakan
bahwa perdagangan secara elektronik mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu sisi
memberikan peluang dan berbagai kemudahan, namun di sisi lainnya juga memberikan
dampak negatif berupa kemungkinan-kemungkinan kerugian yang dialami oleh
konsumen.
Permasalahan tersebut dalam praktiknya tidak mampu sepenuhnya dijawab
dengan UU Perlindungan Konsumen yang awal pembentukannya memang diperuntukan
bagi hubungan para pihak dalam transaksi konvensional. Melalui UU ITE, pembentuk
Undang-Undang berusaha menjawab beberapa persoalan dalam transaksi ecommerce,
antara lain:
a. Pasal 2 UU ITE yang secara eksplisit menyebutkan bahwa undang-undang ini
berlaku untuk setiap perbuatan subjek hukum yang menimbulkan implikasi hukum
di Indonesia.
b. Pasal 9 UU ITE menegaskan bahwa, Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui
Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
c. Pasal 18 ayat (3) UU ITE mengatur pilihan hukum bagi para pihak yang
bertransaksi.
d. Pasal 25 UU ITE memberi perlindungan terhadap Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan
karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang seharusnya mengatur masalah
transaksi dagang elektronik secara lebih spesifik, pada kenyataannya hanya mengatur
secara global dan mendelegasikan lebih lanjut ketentuan teknisnya kepada Peraturan
Pemerintah, yang dengan laporan peneltian ini disusun, belum terbentuk.
2. Penyelesaian Sengketa
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat
dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat
ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan
(dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang
didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum
7
pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat
menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif
lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum,
maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata
Internasional. Ketentuan Pasal 23 UUPK menyebutkan pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi dan/tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat
digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 UU Perdagangan).Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa umumnya konsumen itu segan berperkara, apalagi apabila biaya
yang dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang akan diperoleh . Hal itu pula
yang terjadi dalam transaksi e-commerce. Dalam transaksi e-commerce, karakteristik
perkara yang muncul dalam perlindungan konsumen lebih kompleks dibanding
transaksi nyata. Persoalan yurisdiksi dan pembuktian dapat menjadi hambatan dan
pertimbangan konsumen untuk mengajukan gugatan. Di Indonesia, proses pemeriksaan
sengketa dalam suatu perdagangan elektronik dilakukan secara online melalui lembaga
arbitrase belum dilaksanakan secara menyeluruh. Suatu proses pemeriksaan dikatakan
menyeluruh apabila seluruh proses dilakukan secara online, mulai dari pemilihan
lembaga yang khusus menyediakan jasa Online Alternative Dispute Resolution, perjanjian
arbitrase, prosedur beracara, hingga penyampaian putusan dilakukan secara online pula.
D. Penutup
1. Kesimpulan
UU Perlindungan Konsumen dibentuk untuk menjawab kebutuhan terhadap
perlindungan konsumen dalam transaksi-transaksi yang dilakukan secara konvensional,
sehingga secara umum UU Perlindungan konsumen dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak konsumen dan perlindungan
konsumen saat ini, belum belum mampu melindungi konsumen dalam transaksi e-
commerce lintas negara di Indonesia. Dalam transaksi e-commerce tidak ada lagi batas
negara maka undang-undang perlindungan konsumen masing-masing negara, seperti
yang dimiliki Indonesia tidak akan cukup membantu,karena e-commerce beroperasi
secara lintas batas (bonder less). Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam E-
Commerce sebagai akibat dari globalisasi ekonomi mencakup dua hal yaitu dalam
8
Perjanjian dan diluar Perjanjian. Perlindungan didalam perjanjian Perlindungan hukum
didalam perjanjian E-Commerce, dokumen tersebut dibuat oleh pihak merchant yang
berisi aturan dan kondisi yang harus dipatuhi oleh konsumen tetapi isinya tidak
memberatkan customer. Perlindungan hukum diluar perjanjian lebih menyangkut
tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas nama domain yang dimilikinya.
Terkaitan dengan penyelesaian sengketa transaksi dagang elektronik, UU ITE dan
UU Perdagangan telah menetukan bahwa penyelesaian sengketa dalam transaksi dagang
elektronik dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penyelesaian di pengadilan atau
penyelesaian di luar pengadilan. Secara prinsip penyelesaian sengketa transaksi dagang
melalui sistem elektronik tidak berbeda dengan penyelesaian sengketa transaksi dagang
yang dilakukan secara konvensional. Perbedaan hanya terletak pada media yang
digunakan. Namun, meski rambu utama penyelesaian sengketa telah diatur dalam UU,
tetapi pengaturan secara teknis belum tersedia sehingga menyulitkan dalam tahapan
implementasinya. Hal ini menjadi salah satu kecenderungan konsumen enggan
menyelesaikan sengketanya melalui jalur hukum baik litigasi maupun non-litigasi
dengan pertimbangan biaya dan prosesnya yang tidak sederhana.
2. Saran
Dengan semakin berkembangnya praktik transaksi dagang secara elektronik dan
semakin kompleksnya permasalahan yang muncul dari hubungan hukum tersebut maka,
pemerintah perlu segera membuat regulasi mengenai transaksi dagang elektronik yang
mampu memberikan perlindungan hukum dan kepastian bagi para pihak. Disamping itu
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu direvisi untuk merspon
kebutuhan masyarakat mengenai jaminan perlindungan hukum atas hak-haknya selaku
konsumen dalam transaksi dagang melalui sistem elektronik.
9
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal:
Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Jakarta: PT. Fikahati Aneska. 2011.
Asshiddiqie, Jimly. Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill.Co.. 1997.
Barkahtullah. A. Halim, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-Commerce Lintas Negara Di Indonesia,Yogyakarta:FH UII Press, 2009.
Basarah, Moch. Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Yogyakarta: Genta Publishin., 2011.
Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke XX. Bandung: Alumni, 1994.
Hoft, Ph. Visser’t. Penemuan Hukum (Rechtvinding). diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta. Bandung: Laboratorium Hukum FH Universitas Parahiyangan, 2001.
Joice S.N. Rumimper, Grace. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen dalam Jual Beli Melalui Internet”, Vol.I/No.3/Juli-September/201, http://repo.unsrat.ac.id/398/1/TANGGUNG_JAWAB_PELAKU_USAHA_TERHADAP_KONSUMEN_DALAM_JUAL_BELI_MELALUI__INTERNET.pdf, diakses tanggal 3 April 2018.
Meriyanti, U. Novi Safriadi, Tursina, “Rancang Bangun E-Commerce Tenun Ikat Sambas Sahidah”, Jurnal Sistem dan Teknologi Informasi (JUSTIN), Vol.1, No.1, Tahun 2016, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/justin/article/viewFile/13978/12518, diakses 14 April 2018.
Muhtarom, M. “Asas-Asas hukum Perjanjian”, SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014: 48-56, https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/4573/4-.pdf?sequence=1, diakses tanggal 14 April 2018Sidharta. B. Arief, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: PT Rafika Aditama, 2009 .
Muchsin, Pelindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003
Halim Barkatulla, Abdul. “Urgensi Perlindungan Hak-hak Konsumen Dalam Transaksi Di E-Commerce”, Jurnal Hukum No. 2 Vol.14, April 2007, hal. 247-270.
Remy Sjahdeny, Sutan. “E-Commerce Dari Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis,Vol.12,2001.
Hanim, Lathifah. “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam E-Commerce Sebagai Akibat Dari Globalisasi Ekonomi”, Jurnal Pembaruan Hukum, Vol. I No. 2 Mei-Agustus 2014, hal. 191-200.
Syafriana, Rizka. “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik”, Jurnal De Lega Lata, Volume I, Nomor 2, Juli – Desember 2016, hal.430-448.
10
Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Diadit Media, 2002.
Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju. 2000.
Sinaga, Aman. Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia. Jakarta: Direktorat Perlindungan Konsumen DITJEN Perdagangan dalam Negeri Depertemen Perindustrian dan Perdagangan Bekerjasama dengan Yayasan Gemainti. 2001.
Ramli, Ahmad M. 2004. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. Bandung: Refika Aditama,2014.
Siburian, Paulinus. Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik). Jakarta: Djambatan 2004.
Saifuddin dan Riza LI: Perlindungan Hak-Hak Konsumen, Supremasi Hukum, Vol. 3, No. 1, Juni 2014.
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004.
Wardani, Sri. “E-Commerce Potensi Ekonomi Di Era Internet”, http://www.validnews.co/E-Commerce--Potensi-Ekonomi-Di-Era-Internet-V0000434, diakses 21 Maret 2018.
Werdhyasari, NN. “Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Baku E-Commerce Lintas Negara Di Indonesia”, e-journal.uajy.ac.id/319/4/2MIH01712.pdf, diakses tanggal 23 Maret 2018.
Widnyana, I Made. Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Jakarta: PT. Fikahati Aneska. 2014.
Internet:
Hukum Positif. “Sengketa Perdagangan Elektronik”. www. hukumpositif.com. diakses 5 November 2018.
“Nilai Transaksi Di Ecommerce Indonesia Capai 35 Miliar Dollar AS”, https://www.wartaekonomi.co.id/read/2016/11/30/122372/2015-nilai-transaksi-di-ecommerce-indonesia-capai-35-miliar-dollar-as. Html, diakses 1 April 2018.
Rahma Nureda, Kania. “Penyelesaian Sengketa Secara Online di Indonesia´ http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt593793b7764b1/penyelesaian-sengketa-secara-online-di-indonesia-oleh--kania-rahma-nureda, diakses 5 Juli 2018.
“Siaran Pers YLKI:Konsumen Belum Terlindungi di Era Ekonomi Digital”, http://ylki.or.id/2017/03/siaran-pers-ylki-konsumen-belum-terlindungi-di-era-ekonomi-digital/, diakses tanggal 2 April 2018.
11
“Surabaya Ibu Kota E-Commerce, DKI Tetap tempat Basah”, https://www.viva.co.id/digital/digilife/947248-surabaya-ibu-kota-e-commerce-dki-tetap-tempat-basah, diakses tanggal 1 April 2018.
“Data Konsumen dan Potensi Perkembangan Ecommerce Indonesia 2016”, https://buattokoonline.id/data-konsumen-dan-potensi-perkembangan-ecommerce-indonesia-2016/, diakses 1 April 2018.
Komunitas Akuntan, “E-commerce dan Permasalahannya”. www.accounting community. blogspot.com, diakses 5 November 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) Tahun 2017-2019.