daftar lampiranetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66880/potongan/s1...3 terjadi banjir terutama...
TRANSCRIPT
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner penelitian ..................................................................... xxiii
Lampiran 2 Normalisasi indikator Household’s Adaptive Capacity Index ...... xxx
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beberapa kota
besar yang rata-rata terletak di tepi air atau biasa disebut waterfront
city.Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota
Pesisir (2006) mengemukakan bahwa kota pesisir atau waterfront city
merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap
ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu
proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan
air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik
alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan
wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan.
Kota tepi air/pesisir menampung kurang lebih 43 % dari penduduk di
Indonesia saat ini (Tanuwidjaja dan Widjaya ,2010). Kondisi ini disebabkan
karena secara historis Indonesia yang merupakan negara kepulauan mulai
berkembang dari wilayah-wilayah di pesisir, dimana dalam perkembanganya
wilayah pesisir menjadi pusat pertumbuhan karena potensi sumberdaya alam
yang mudah dieksplorasi dan potensi aksessibilitas yang tinggi. Potensi tersebut
mengakibatkan kota pesisir memiliki kecenderungan lebih cepat berkembang
baik secara demografis maupun secara ekonomis daripada kota-kota di wilayah
lain.
Salah satu kota pesisir di Indonesia adalah Surabaya yang mulai
berorientasi pada pengembangan Waterfront. Hal ini dapat dilhat dari beberapa
dokumen kebijakan Pemerintah Kota Surabaya seperti RPJM Kota Surabaya
2010 – 2015, Draft Rencana Tata Ruang Wilayah kota Surabaya 2010-2030,
2
RDTRK Unit Pengembangan XI Tambak Osowilangon tahun 2007-2017,
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Surabaya tahun 2011-230. Perencanaan
pengembangan Waterfront tersebut meliputi beberapa wilayah yaitu Kecamatan
Asemrowo, Benowo, Tandes, dimana terletak pada kawasan strategis Unit
Pengembangan XI Tambak Oso Wilangun. Perencanaan pengembangan
tersebut akan membuat konsentrasi pembangunan semakin tinggi pada
beberapa kawasan pengembangan waterfront Kota Surabaya termasuk
kemungkinan reklamasi dan alih fungsi lahan yang berorientasi ke arah laut.
Terlebih lagi, wilayah ini terintegerasi dengan pembangunan Pelabuhan Teluk
Lamong yang merupakan perluasan pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak.
Pengembangan Kawasan Waterfront city atau Kota tepi air memiliki
tantangan yang tinggi baik bagi pemerintah, swasta maupun masyarakat. Kota
tepi air merupakan wilayah yang rentan terhadap berbagai bencana seperti
tsunami, badai, banjir, hingga kenaikan muka air laut yang akan menyebabkan
kerentanan baik ekonomi, infrastruktur, maupun korban jiwa yang seketika
terjadi. Hal ini sesuai dengan laporan PBB bahwa lebih dari 2/3 kota besar yang
ada di dunia rentan terhadap kenaikan muka air laut dan jutaan masyarakat
dunia beresiko terhadap banjir dan badai di wilayah pesisir (Dircke, dkk ,
2010). Kerentanan dan level risiko tersebut akan terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan di kawasan waterfront city.
Surabaya yang merupakan Kota pesisir terletak di daerah dengan kondisi
topografi landai dimana dominasi ketinggian daerah Surabaya terhadap
permukaan laut berkisar antara 0-3m. Berdasarkan analsis dan proyeksi
kenaikan muka air laut dan cuaca ekstrim yang dilakukan Badan Perencanaan
dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) tahun 2010 memprediksi bahwa
level subsidens di Surabaya sebesar 2.5cm/tahun dan rata-rata kenaikan muka
air laut di kota Surabaya sekitar 10 mm/tahun. Kondisi ini membuat sebagian
wilayah di Kota Surabaya yang berbatasan dengan wilayah pesisir berpotensi
3
terjadi banjir terutama pada puncak musim hujan bulan januari dan puncak
musim kemarau bulan Agustus.
Berdasarkan laporan media dinyatakan bahwa kecamatan yang berbatas
langsung dengan laut di bagian utara Kota Surabaya seperti Asemrowo dan
Benowo, mulai merasakan adanya genangan air di wilayah tersebut. Kejadian
tersebut merupakan fenomena baru bagi beberapa wilayah yang terdampak oleh
genangan banjir, dimana kenaikan muka air laut menjadi salah satu isu yang
mencul selain penurunan muka tanah dan intensitas pembangunan yang terus
berkembang di pesisir utara Kota Surabaya.
Usaha pemerintah dan masyarakat di wilayah pesisir dalam mengatasi
bencana akibat kenaikan muka air laut yang dapat seketika terjadi merupakan
proses mitigasi dan adaptasi terhadap bencana wilayah pesisir itu sendiri.
Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat kemungkinan
bencana atau menahannya. Sementara adaptasi merupakan cara-cara
menghadapi kenaikan air laut dengan melakukan penyesuaian yang tepat dan
bertindak untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan
efek-efek positifnya (UNDP,2010). Kedua kegiatan penanggulangan tersebut
harus direncanakan dan dilakukan secara berkesinambungan baik kegiatan
mitigasi maupun adaptasi, karena meskipun penyebab bencana akibat kenaikan
muka air laut dapat diatasi, namun pemerintah dan masyarakat harus tetap dapat
beradaptasi terdapat dampak kenaikan muka air laut yang sudah berlangsung
lama sebelumnya. Kenaikan muka air laut dan intensitas penggunaan lahan di
wilayah pesisir Kota Surabaya yang semakin tinggi menjadi tanda bahwa
kepada masyarakat di wilayah pesisir untuk mampu merespon kenaikan muka
air laut dengan lebih baik, sehingga beradaptasi pada dasarnya adalah strategi
masyarakat untuk merespon secara efektif dan menjadi lebih tangguh terhadap
berbagai tekanan ekonomi, sosial, dan lingkungan akibat perubahan yang
terjadi.
4
Adaptasi masyarakat di dalam menghadapi bencana dan kenaikan muka
air laut disetiap daerah berbeda-beda. Kearifan lokal dan tingkat pengetahuan
serta kapasitas masyarakat akan risiko perubahan iklim dan dampak yang
ditimbulkan seperti kenaikan muka air laut mempengaruhi kerentanan mereka
terhadap bencana yang akan ditimbulkan, dimana diketahui bahwa kerentanan
merupakan fungsi berkebalikan dari kapasitas adaptasi. Hal inilah yang akan
dikaji lebih dalam berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan melihat
kapasitas, persepsi, respon, dan strategi adaptasi masyarakat di kota Surabaya
terhadap kenaikan muka air laut dalam urgensinya terhadap pengembangan
kawasan waterfront. Dengan judul penelitian yaitu “ Adaptasi Masyarakat
Terhadap Kenaikan muka Air Laut Di Kawasan Pengembangan Waterfront
Kota Surabaya”.
1.2. Perumusan Masalah
Proyeksi yang dilakukan oleh BAPPENAS dalam dalam laporan basis
saintifik Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) menyatakan
bahwa kenaikan muka air laut di Kota Surabaya sebesar 0,7 cm/tahun dengan
level land subsidence sebesar 2,5 cm/tahun, membuat Kota Surabaya rentan
terhadap bencana akibat kenaikan muka air laut. Sementara itu, studi dalam
RDTRK Unit Pengembangan Tambak Osowilangon Tahun 2007-2017,
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Surabaya tahun 2011-230 dan draft
RTRW Kota Surabaya tahun 2010 – 2030 menunjukkan bahwa pesisir utara
Surabaya yang terletak di Kecamatan Asemrowo & Benowo direncanakan
sebagai kawasan pengembangan Waterfront Kota Surabaya. Isu strategis
tersebut menjadi ruang penelitian yang menarik terkait adaptasi masyarakat
terhadap kenaikan muka air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya.
Adaptasi masyarakat di dalam menghadapi bencana dan kenaikan muka
air laut disetiap daerah berbeda-beda. Kearifan lokal, tingkat pengetahuan serta
5
kapasitas masyarakat akan risiko perubahan iklim dan dampak yang
ditimbulkan seperti kenaikan muka air laut mempengaruhi kerentanan mereka
terhadap bencana yang akan ditimbulkan. Di sisi lain, perencanaan
pembangunan wilayah yang ditentukan saat ini juga mempengaruhi kerentanan
terhadap risiko perubahan iklim di masa mendatang di Kawasan Pengembangan
Waterfront Kota Surabaya. Hal tersebut merupakan faktor penting untuk dapat
mengkaitkan respon dan strategi adapatasi yang dilakukan dengan
pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung dan perencanaan tata
ruang, serta menggambarkan secara detail perkiraan keuntungan yang akan
didapat dari kegiatan adaptasi tersebut (Dircke, dkk , 2010). Berdasarkan
masalah tersebut, maka timbul beberapa pertanyaan penelitian dibawah ini yang
akan digunakan dalam penelitian ini.
1. Bagaimanakah potensi bencana yang dapat terjadi akibat kenaikan muka
air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya?
2. Bagaimanakah kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota Surabaya dalam menghadapi kenaikan
muka air laut?
3. Bagaimana adaptasi dan strategi yang diterapkan oleh masyarakat pesisir
serta langkah antisipasi pemerintah lokal di Kawasan Pengembangan
Waterfront Kota Surabaya dalam menghadapi kenaikan muka air laut ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi potensi bencana yang dapat terjadi akibat kenaikan muka
air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya
2. Mengidentifikasi kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota Surabaya terhadap kenaikan muka air laut.
3. Mengidentifikasi adaptasi dan strategi masyarakat pesisir serta langkah
antisipasi pemerintah lokal di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya dalam menghadapi kenaikan muka air laut.
6
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Pemerintah Kota Surabaya
- Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dan
referensi pengembangan bagi pemerintah Kota Surabaya dalam
mengembangkan kawasan waterfront.
- Penelitian ini dapat digunakan sebagai inventarisasi adaptasi yang telah
dilakukan oleh masyarakat dan antisipasi pemerintah lokal terhadap
kenaikan muka air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya.
2. Masyarakat Kota Surabaya
- Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat
terkait posisi dan potensi kerentanaan mereka terhadap kenaikan muka
air laut.
- Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat
dalam melakukan perencanaan dan aplikasi adaptasi yang lebih adaptaif
terhadap kenaikan muka air laut
3. Perkembangan keilmuan dalam bidang Geografi
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan keilmuan positif
pada berbagai perkembangan penelitian terkait adaptasi masyarakat
terhadap kenaikan muka air laut.
7
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Adaptasi Masyarakat
Adaptasi merupakan kata yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu
bentuk penyesuaian yang dilakukan ketika menghadapi suatu kondisi di lokasi
atau waktu tertentu. Pengertian adaptasi sendiri banyak digunakan dan diartikan
oleh para penelti atau institusi tertentu sesuai dengan kepentingannya. Adaptasi
dalam arti luas adalah setiap upaya manusia dalam memodifikasi sistem alami
atau buatan dalam bereaksi terhadap pengaruh perubahan iklim saat ini dan
proyeksi perubahan iklim di masa depan dalam rangka mengurangi kerusakan
atau meningkatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan
iklim (Stern, 2007).
Adaptasi memang telah jamak digunakan dalam merespon isu perubahan
iklim. IPCC (2007) yang merupakan pertemuan antar pemerintah di dunia yang
fokus pada pembahasan perubahan iklim mendefinisikan adaptasi sebagai
kemampuan suatu sistem (termasuk ekosistem, sosial-ekonomi, dan
kelembagaan) untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim,
mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan, dan mengatasi
konsekuensinya. Di sisi lain, adaptasi merupakan hasil akhir sikap masyarakat
yang muncul berdasarkan persepsi dan pengetahuan mereka dalam menghadapi
banjir pasang surut (Hardoyo, dkk, 2011).
UNDP (2007) mendefinisikan adaptasi sebagai upaya dalam mengatasi
dampak dari perubahan iklim. adaptasi dan mitigasi memang telah jamak
digunakan untuk merespon isu perubahan iklim global. Namun kesalahan
penafsiran antara dua kata ini sering terjadi karena keduanya biasa digunakan
dalam merespon adanya isu perubahan iklim. Padahal dalam konteks perubahan
iklim, mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi penyebab dari
perubahan iklim tersebut.
8
Kelebihan dari pendekatan adaptasi dibandingkan dengan mitigasi adalah
hasil upaya adaptasi dapat diperolah lebih cepat dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh dari upaya mitigasi, disamping itu hasil usaha adaptasi dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Meskipun demikian, adaptasi
tidak dapat menggantikan peran mitigasi dalam menghadapi dampak perubahan
iklim. Adaptasi berperan dalam mengurangi dampak yang segera muncul akibat
perubahan iklim yang tidak dapat dilakukan oleh mitigasi. Namun, tanpa
komitmen mitigasi yang kuat, biaya adaptasi akan meningkat, serta kapasitas
adaptasi akan berkurang baik individu maupun pemerintah (UNDP, 2007).
Sementara itu, dalam konteks dimensi manusia atas perubahan global
adaptasi diartikan sebagai sebuah proses, tindakan, dan hasil dalam sebuah
sistem baik itu rumah tangga, komunitas, grup, sektor, wilayah hingga negara
agar supaya sistem tersebut lebih baik dalam mengatasi, mengelola dan
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan kondisi, tekanan, bencana,
risiko maupun kesempatan (Smit dan Wadel, 2006). Adaptasi yang dilakukan
manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dan lingkungan. Dalam konteks ini, pendekatan human ecology
menekankan/menunjukan adanya hubungan saling terkait antara lingkungan
fisik dan sistem-sistem sosial/budaya.
Hardoyo, dkk (2011) menyatakan bahwa peran adaptasi dalam perubahan
iklim dibagi menjadi dua yaitu sebagai bagian dari penilaian dampak dengan
kata kunci yaitu (1) adapatasi yang dilakukan, dan (2) respon kebijakan dengan
kata kunci rekomendasi adaptasi. Kerangka dalam mendefiniskan adaptasi
adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa
yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti
bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan
Berdasarkan beberapa definisi mengenai adaptasi tersebut dapat dilihat
bahwa asosiasi adaptasi lebih menekankan terhadap perubahan. Dalam konteks
9
perubahan iklim memang adaptasi menjadi sebuah langkah utama selain
mitigasi karena sikap yang cepat yang sudah harus diambil terkait dampak dari
perubahan iklim yang terjadi.
Kementerian Lingkungan Hidup, dkk (2010) berpendapat bahwa potensi
dampak yang timbul oleh ancaman kenaikan muka air laut sangat tergantung
pada tingkat bahaya serta tingkat kerentanan di suatu wilayah, yang sangat
terkait dengan kondisi pemanfaatan wilayah pesisir, fisiografi, morfologi,
demografi dan sosial-ekonominya, termasuk kemampuan manusia untuk
beradaptasi terhadap bahaya tersebut. Hal ini menjadi alasan untuk diketahui
strategi adaptasi di setiap wilayah di seluruh dunia untuk dapat saling
menguatkan keberlanjutan pembangunan dalam menghadapi perubahan iklim
yang sedang terjadi.
1.5.2. Risiko, Kerentanan, dan Kapasitas Adaptif
Risiko. kerentanan dan kapasitas adaptasi merupakan kata yang tidak
dapat dipisahkan dari penelitian perubahan iklim. Kata-kata tersebut biasa
dipakai untuk menggambarkan kondisi, gambaran dan respon terhadap suatu
wilayah terhadap fenomena perubahan iklim. Berdasarkan PP No. 21 Tahun
2008 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana didefinisikan sebagai potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Sementara kerangka kajian risiko secara umum dilakukan dengan
mengintegrasikan antara bahaya, kerentanan, dalam suatu hubungan tertentu
yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Affeltranger (2006) menjelaskan
keterkaitan elemen-elemen risiko (bahaya dan kerentanan) diformulasikan
dalam hubungan: risiko (Risk, R) adalah pertemuan (yang dinotasikan dengan
10
tanda kali) antara bahaya (Hazards; H) dan kerentanan (Vulnerability, V),
sebagaimana dirumuskan dalam hubungan berikut:
R = H x V
(1.1)
Dimana bahaya dirumuskan sebagai fungsi dari perilaku (karakter),
besaran (magnitude), dan laju (rate) dari perubahan iklim dan variasi perubahan
iklim, beserta pengaruhnya terhadap parameter atmosfer dan parameter
osenografi. Sedangkan Kerentanan (vulnerability, V) adalah fungsi dari
keterpaparan (exposure, E), sensitivitas (sensitivity, S) dan kapasitas adaptasi
(adaptive capacity, AC) sebagaimana dirumuskan dalam suatu hubungan
berikut:
V = (E x S) / AC
(1.2)
Dari rumusan di atas memperlihatkan variabel kapasitas adaptasi
berbanding terbalik terhadap nilai tingkat risiko. Oleh sebab itu dalam
mengurangi kerentanan perlu menurunkan tingkat keterpaparan dan sensitivitas
dan dibarengi dengan peningkatan kapasitas adaptasi atau ketahanan. Jika suatu
komunitas memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan nilai
kapasitas adaptasinya, maka nilai tingkat risikonya menjadi tinggi. Sebaliknya
bila tingkat kapasitas komunitas lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
kerentannya maka tingkat risikonya menjadi rendah. Berikut kerangka kerja
yang telah dibuat oleh Dolan dan Walker (2004) terkait hubungan antara risiko,
kerentanan, dan kapasitas adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim seperti
pada Gambar1.1.
11
Gambar 1. 1. Kerangka kerja Dolan & Walker terkait risiko, kerentanan, dan
kapasitas adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim (Dolan dan Walker, 2004)
Dalam pelaksanakan kegiatan adaptasi, diperlukan suatu kemampuan
yang adaptif (adaptive capacity), yaitu kemampuan dari suatu sistem
menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman dan perubahan iklim
sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim dapat berkurang dan
peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan dan
konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi (IPCC, 2007).
Menurut Asian Development Bank (2012) kapasitas masyarakat dalam
merespon terhadap perubahan iklim secara langsung berhubungan dengan asset
penghidupan (livelihood assets). terdapat 5 variabel asset peghidupan yang
digunakan yaitu yaitu modal sumberdaya manusia, alam, sosial, finansial dan
fisik.
Dalam pembangunan kawasan waterfront perlu untuk dilihat bagaimana
kapasitas adaptasi di wilayah pembangunan. Nilai tersebut akan
memperlihatkan apakah wilayah tersebut akan mengalami pembangunan
12
kawasan waterfront yang berkelanjutan jika dihubungkan dengan isu perubahan
iklim saat ini.
1.5.3. Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Air Laut
Perubahan iklim global merupakan salah satu isu utama di dunia yang
menjadi kekahwatiran masyarakat di dunia. Kementerian Lingkungan Hidup
(2010) menyatakan bahwa kajian IPCC pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa
adanya bukti yang baru dan lebih kuat bahwa pemanasan global yang terjadi 50
tahun terakhir adalah akibat dari kegiatan manusia.
Sebagaimana disimpulkan dari berbagai rujukan bahwa perubahan iklim
menyebabkan perubahan pola curah hujan, kenaikan temperatur air laut,
kenaikan muka air laut, dan kejadian iklim ekstrim. Dampak perubahan iklim
tersebut lebih lanjut akan memberikan bahaya yang mengancam keberlanjutan
kehidupan manusia. IPCC (2007) menambahkan bahwa kenaikan air laut
merupakan konsekuensi jangka panjang dari terus meningkatnya gas rumah
kaca dan mengancam kebutuhan hidup jutaan manusia.
Banyak orang membayangkan bahwa kenaikan muka air laut akan terus
meningkat secara perlahan, seperti air yang terus meningkat dalam bak mandi.
Namun sayangnya, air pada kawasan pesisir akan terus terdampak oleh
gelombang ekstrem, badai dan hantaman gelombang yang akan bertambah
parah di semua tempat sebagai akibat dari perubahan iklim. Efek kombinasi
dari kenaikan air laut dan perubahan iklim yang ekstrem akan menghasilkan
risiko besar di kawasan pesisir terutama pada wilayah kota pesisir (waterfront
city).
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, dkk. (2010), dampak dari
kenaikan muka air laut di wilayah pesisir mengakibatkan banjir rob di pesisir
dan lahan basah, terendamnya permukiman, terendamnya infrastruktur dan
fasilitas, dan peningkatan intrusi air laut pada massa air sungai dan air tanah.
13
Lebih lanjut Departemen Perubahan Iklim Australia (2009) menyatakan bahwa
kenaikan muka air laut tidak hanya merubah pola arus, juga dapat
mengakibatkan peningkatan terjadinya erosi, perubahan garis pantai dan
mereduksi daerah wetland (lahan basah) di sepanjang pantai. Ekosistem lahan
basah di daerah pantai mungkin akan mengalami kerusakan jika tingkat
kenaikan tinggi dan suhu muka air laut melebihi batas maksimal dari kapasitas
adaptasi biota pantai. Disamping itu kenaikan muka air laut juga mempertinggi
tingkat laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai.
Berdasarkan laporan BAPPENAS (2010) kenaikan muka air laut secara
global bervariasi antara 0.4cm/tahun sampai 1.2cm/tahun, dengan kenaikan
tinggi muka air laut terendah di Darwin dan tertinggi di Manila. Sementara itu,
nilai rata-rata kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berkisar antara
0.7cm/tahun sampai 0.8cm/tahun. Proyeksi kenaikan muka air laut pada tahun
2030 diperkirakan mencapai 16 - 24 cm relatif terhadap tinggi muka air laut di
tahun 2000. Selanjutnya muka air laut akan bergerak naik seiring dengan
peningkatan suhu permukaan laut. Muka air laut akan naik sebesar 20 - 40 cm
dan 32 – 56 cm, masing-masing pada tahun 2050 dan 2080. Pada akhirnya
muka air laut akan naik sebesar 40 – 80 cm di tahun 2100.
1.5.4. Banjir Rob
Banjir merupakan salah satu fenomena bencana alam yang menyebabkan
kerugian yang dialami suatu wilayah terdampak baik lingkungan, fisik maupun
sosial-ekonomi masyarakat. Terdapat 3 kategori penyebab banjir secara umum
yang terjadi di dunia (Smith dalam Marfai, 2003) :
1. Kejadian klimatologis, seperti curah hujan yang tinggi menyebabkan
limpasan sungai yang menyebabkan banjir. Sementara banjir di wilayah
pesisir biasa terjadi dari kombinasi antara tingginya arus, naiknya pasang
14
air laut, tingginya gelombang yang berasosiasi dengan badai, dimana
merupakan hasil dari anomali sistem sikonik cuaca.
2. Perubahan penggunaan lahan dan peningkatan populasi, perubahan
dari area pedesaan menjadi wilayah terbangun berpotensi mengakibatkan
banjir. Dataran pesisir, wilayah estuari dan dataran banjir merupakan
lokasi yang sering digunakan sebagai kawasan industri, komersial, dan
perumahan. Pertumbuhan urbanisasi, kerapatan bangunan dan kerapatan
penduduk memiliki pengaruh terhadap kapasitas drainase dan kapasitas
resapan air suatu wilayah sehingga menyebabkan peningkatan aliran
permukaaan yang menyebabkan banjir.
3. Penurunan muka tanah (Land Subsidence), penurunan muka tanah
merupakan proses dimana permukaan tanah menjadi lebih rendah dari
elevasi sebelumnya yang dimiliki. Ketika gelombang arus datang dari laut
atau limpasan air sungai, bagian terendah suatu wilayah yang disebabkan
oleh land subsidence akan tergenang. Land subsidence di wilayah pesisir
atau dataran banjir menyebabkan genangan banjir yang luas
Banjir rob merupakan salah satu bentuk bencana banjir yang biasa
dikenali oleh masyarakat lokal di pesisir Pulau Jawa sebagai banjir yang
diakibatkan oleh pasang air laut. Rob merupakan kejadian / fenomena alam
yang dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada waktu permukaan air laut
mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat masuk melalui sungai, saluran
drainase atau aliran air bahwa tanah (Wahyudi, 2007).
Secara umum banjir rob merupakan fenomena alam yang terjadi saat
bulan purnama. Air laut akan menggenangi lahan ketika terjadi arus laut mulai
meninggi. Hal ini semakin diperparah ketika muka air laut tertinggi terjadi
(Harwitasari, 2009). Lebih lanjut, Marfai dan King (2007) menjelaskan bahwa
beberapa proses seperti tingginya arus akibat fenomena astronomis, gelombang
tinggi akibat pengaruh angin, tinggi muka air laut yang ditambah dengan
15
tingginya aliran sungai, serta hubungan antara kenaikan muka air laut akibat
pemanasan global berperan penting dalam peningkatan banjir di wilayah
pesisir.
Genangan banjir akibat tingginya arus serta adanya penurunan muka
tanah merupakan salah satu ancaman besar bagi masyarakat perkotaaan di
Indonesia. Banjir dari laut dapat menyebabkan aliran yang melebihi dan
merusak tanggul penahan banjir di pesisir baik alam mapun buatan. Hal ini
menyebabkan lahan dibelakang tanggul penahan banjir di pesisir memugkinkan
untuk tergenang bahkan dapat rusak (Marfai dan King, 2007). Sementara itu,
efek yang akan ditimbulkan oleh banjir di wilayah pesisir berkaitan dengan
kenaikan muka air laut terhadap akitifitas sosial ekonomi masyarakat menurut
McLean, et. al. dalam Harwitasari (2009) adalah :
- Peningkatan kerugian akibat kehilangan properti dan penduduk pesisir.
- Peningkatan potensi korban jiwa.
- Kerusakan bangunan keamanan pesisir dan infrastruktur lain
- Kehilangan sumberdaya penghidupan dan yang dapat diperbaharui.
- Kehilangan fungsi rekreasi, transportasi dan turisme.
- Kehilangan nilai dan sumberdaya budaya yang tidak ternilai.
- Dampak terhadap pertanian dan perikanan akibat penurunan kualitas air
dan tanah.
1.5.5. Waterfront City
Kawasan tepi air atau yang lebih dikenal dengan waterfront merupakan
lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang
menghadap laut, sungai, danau atau sejenisnya (Giovinazzi, 2008). Kota dan
waterfront merupakan dua hal yang selalu digunakan secara bersamaan didalam
berbagai penelitian dan konsep pembangunan kota dimana tidak dapat
dipisahkan pengertiannya. Hal ini karena waterfront tidak dapat di artikan
16
hanya sebatas daerah yang berbatasan dengan muka perairan, namun lebih
daripada itu juga harus dipertimbangkan sebagai keterkaitan antar wilayah,
fungsi, keterkaitan antara wilayah pesisir dan kota itu sendiri. Suatu waterfront
city dapat dibayangkan sebagai pusat konsentarasi dari produktivitas ekonomi,
budaya, hubungan antar wilayah, rekreasi maupun permukiman (Giovinazzi,
2008).
Kawasan Kota tepi air pesisir merupakan kawasan yang lebih potensial
dikembangkan dibandingkan jenis waterfront city lain seperti kota tepi sungai,
kota tepi danau (Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2006).
Potensi aksesibilitas yang tinggi pada kawasan pesisir mengakibatkan kota
pesisir memiliki kecenderungan lebih cepat berkembang baik secara demografis
maupun secara ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain. Sebagai tempat
bertemunya pendatang dari berbagai daerah, kota pesisir menjadi mosaik sosial
dan budaya.
Berkembangnya aktifitas baik permukiman, industri, pariwisata dan
kegiatan sosial ekonomi lain yang terkonsentrasi di wilayah pesisir
memungkinkan adanya potensi dinamika wilayah yang besar di kawasan
pesisir. Hal ini disebabkan oleh tingginya sumberdaya di kawasan pesisir yang
akan memunculkan potensi konflik kepentingan di masa mendatang, dimana
akan memunculkan kerugian baik ekonomi dan ekologi jika tidak ada
pengelolaan kawasan yang baik.
Menurut Giovinazzi (2008), bila dihubungkan dengan pembangunan kota,
maka kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya
yang dalam pengembangannya mampu memasuki nilai manusia yaitu melihat
kebutuhan manusia akan ruang-ruang public dan nilai alami. Oleh karena itu,
pembangunan atau penataan kawasan tepi air berkaitan dengan berbagai
aktivitas yang berkaitan dengan tepi dan badan air.
17
Lebih lanjut (NOAA, 2009) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
waterfront adalah suatu usaha penataan dan pengembangan bagian atau
kawasan kota dengan skala kegiatan dan fungsi yang sangat beragam atau mix
land use dengan intensitas tinggi sebagai kegiatan perkotaan baik untuk fungsi
perumahan, pelabuhan dan perdagangan komersial dan industry hingga
kawasan wisata untuk menciptakan sistem pertumbuhan kawasan pesisir yang
cerdas atau biasa dikenal dengan konsep smarth growth.
Dari beberapa pengertian tersebut maka definisi dari waterfront adalah
suatu wilayah yang secara spasial terletak di dekat/berbatasan dengan kawasan
perairan baik laut,sungai, danau dan sejenisnya dimana terdapat satu atau
beberapa kegiatan dan aktivitas pada area pertemuan tersebut.
Berdasarkan tipe pengembangan kawasan waterfront, Tsukio (1984)
membedakannya menjadi 3 jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali
(redevelopment), dan pengembangan atau revitalisasi
(development/revitalization). Konservasi adalah penataan tepian air kuno atau
lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati
masyarakat. Sebagai contoh, bila pada pesisir Surabaya dilakukan penanganan
kebijakan seperti apa adanya (as usual), hanya dilakukan penjagaan agar tetap
dinikmati masyarakat.
Pembangunan kembali (redevelopment) adalah upaya menghidupkan
kembali fungsi tepian air lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk
kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-
fasilitas yang ada (Tsukio, 1984). Sebagai contoh, bila pada pesisir Surabaya
dilakukan penanganan kebijakan dimana disamping penjagaan agar tetap
dinikmati masyarakat, juga dilakukan usaha-usaha evaluasi, pembenahan,
penataan dan menghidupkan kembali potensi fungsi-fungsi tepian air (reboisasi
mangrove, penanaman terumbu karang, budidaya rumput laut, pembangunan
18
struktur pelindung sederhana, pengolahan limbah untuk menciptakan badan air
yang bersih).
Pengembangan atau revitalisasi adalah usaha dalam menciptakan tepian
air yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara
mereklamasi pantai (Tsukio, 1984). Sebagai contoh, bila pada pesisir Surabaya
dilakukan penanganan kebijakan pemasangan dam lepas pantai yang
membentang dari Gresik hingga Kota Surabaya.
Menurut Breen dan Rigby (1996) waterfront berdasarkan fungsinya dapat
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu tepian air pemanfaatan terpadu (mixed-used
waterfront), tepian air rekreasi (recreational waterfront), tepian air tempat
tinggal (residential waterfront), dan tepian air untuk kerja (working
waterfront). Tepian air pemanfaatan terpadu adalah tepian air yang merupakan
kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan atau
tempat-tempat kebudayaan. Tepian air rekreasi adalah adalah semua kawasan
tepian air yang menyediakan saranasarana dan prasarana untuk kegiatan
rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk
kapal pesiar. Tepian air tempat tinggal adalah perumahan, apartemen dan resort
yang dibangun di pinggir perairan.
Lebih lanjut (NOAA, 2009) mengembangkan 10 elemen yang dibutuhkan
dalam pengembangan kawasan waterfront city yang cerdas atau biasa disebut
smart growth waterfront, diantaranya adalah:
1. Penggunaan lahan campur (Mix-land uses), termasuk penggunaan kebutuhan
air bersih.
2. Memanfaatkan desain masyarakat yang kompak untuk memperkuat,
memelihara dan memberikan akses terhadap sumberdaya di kawasan
watertfont.
3. Memberikan berbagai peluang dan pilihan perumahan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk tetap dan tidak tetap / musiman.
19
4. Menciptakan lingkungan yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki baik
fisik maupun visual pada kawasan waterfont untuk kepentingan umum.
5. Menjebatani perbedaan masyarakat yang atraktif dengan memberikan nilai
lingkungan yang kuat pada suatu tempat yang berperan besar pada budaya di
lokasi waterfront tersebut.
6. Preservasi ruang terbuka, lahan pertanian, keindahan alam, dan kawasan
lindung yang mencirikan dan menunjang masyarakat kawasan waterfront.
7. Penguatan dan pembangunan langsung terhadap kebutuhan masyarakat asli
dan mendorong revitalisasi kawasan waterfront.
8. Menyediakan berbagai variasi pilihan transportasi baik air maupaun darat.
9. Membuat kebijakan pembangunan yang dapat diperkirakan, adil, dan efektif
dalam penggunaan biaya hingga kebijakan yang konsisten dan proses
perijinan terkoordinasi.
10. Mendorong kolaborasi masyarakat dan stakeholder dalam pengembangan
kebijakan, memastikan keinginan publik di dalamnya dan memastikan hak
masyarakat untuk mengakses air bersih di kawasan waterfront.
Berdasarkan draft RTRW Kota Surabaya 2010-2030 disebutkan bahwa
pengembangan kawasan waterfront Kota Surabaya yang akan dikembangkan
adalah kawasan mix-used waterfront dimana akan memgembangkan sempadan
pantai pesisir utara Surabaya sebagai kawasan perdagangan jasa, perkantoran
& pergudangan yang terintegerasi dengan ruang terbuka hijau.
1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian terkait pemanasan global dan kenaikan muka air laut menjadi
topik yang sedang banyak dibahas oleh berbagai peneliti. Kota Surabaya
menjadi salah satu obyek lokasi penelitian terkait kenaikan muka air laut
dengan berbagai fokus kajian yang cukup bervariasi. Di sisi lain, Kota Surabaya
dengan topografi datar dan terletak di kawasan pesisir menjadi daerah dengan
intensitas bencana banjir baik akibat limpasan air sungai maupun akibat
20
kenaikan muka air laut (rob) sehingga kajian terkait banjir di Kota Surabaya
telah banyak dilakukan. Dalam melihat ruang peneltian yang masih terbuka
terkait banjir rob akibat kenaikan muka air laut di Kota Surabaya, penelitian ini
secara umum lebih menekankan pada kajian terhadap persepsi, respon, strategi
serta kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kenaikan muka air laut. Dimana
hasil kajian adaptasi masyarakat tersebut dikaitkan dengan urgensi dan
tantangan pengembangan Kawasan Waterfront Kota Surabaya. Penelitian ini
juga menggunakan skripsi, thesis, dan beberapa jurnal baik yang dipublikasikan
dalam skala nasional dan internasional sebagai bahan rujukan dan
perbandingan.
Penelitian ini akan menggunakan metode triangulasi dalam pengumpulan
data yaitu melalui Wawancara semi terstruktur, observasi semi partisipatif serta
analsis Tabel dan Peta. Dalam penelitian ini, analisis persepsi, respon dan
strategi adaptasi masyarakat dilakukan dengan deskriptif kualitatif dan
kuantitatif berdasarkan data yang terkumpul. Penelitian ini juga mencoba untuk
menilai kapasitas adaptasi masyarakat di Kawasan Pengembangan Waterfront
Kota Surabaya berdasarkan Household Adaptive Capacitiy Index (HACI).
Keaslian penelitian dapat dibandingkan dengan riwayat penelitian sejenis baik
berdasarkan tema maupun lokasi penelitian pada Tabel 1.1.
21
Tabel 1. 1. Riwayat Penelitian Sejenis Terkait Adaptasi Masyarakat Terhadap Banjir Rob dan Kenaikan Muka Air laut
Judul Penelitian Nama Penulis &
Tahun Penulisan
Data Metode Analisis Data Hasil Penelitian
Studi Kerentanan Penduduk
Pesisir Kota Surabaya
Terhadap Ancaman Sea
Level Rise (Studi Kasus
Kecamatan Benowo –
Kecamatan Kenjeran
Surabaya)
Ridho Kusuma
Budiarto ; Kriyo
Sambodho;
Mahmud
Musta’in (2011)
- Data trend pasang surut
1984-2004
- Data sosial ekonomi
masyarakat
- Peta topografi Surabaya
- Analisis Regresi Logistik
Multinominal untuk mengetahui
potensi kejadian banjir dan rob
akibat kenaikan muka air laut
- Skoring digunakan untuk
mengetahui indeks kerentanan
akibat kenaikan muka air laut di
wilayah studi
- Peta prediksi daerah
tergenang 2010
- Peta prediksi daerah
tergenang 2100
- Peta Kerentanan Fisik,
Sosial dan Ekonomi
Adaptasi masyarakat di
Kawasan Pesisir Terhadap
Banjir Rob di Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak,
Jawa Tengah
Bayu Trisna
Desmawan
(2012)
- Wawancara kuesioner
masyrakat
- Peta Pemodelan Banjir Rob
- Peta administarasi
- Analisis Data sekunder yang
diperoleh yang digunakan untuk
mengetahui daerah yang terkena
banjir rob.
- Analisis data primer dari
wawancara kuesioner
menggunakan analisis deskriptif
dan kuantitatif untuk
menjelaskan adaptasi yang
dilakukan masyarakat pesisir
terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh banjir rob
tersebut
- Deskripsi kondisi
masyarakat, dampak
dan adaptasi yang
dilakukan terhadap
banjir rob
Coastal Community
Adaptation To Tidal Flood
Inundation (Case Study in
Tegal Municipality)
Riswan
Septriayadi
(2012)
- Data Sekunder
(Penggunaan lahan,
administrasi, peta titik
tinggi, data monografi),
- Geo-Eye (Google earth)
- Data wawancara
- Kuesioner
- Indepth Interview
- Observasi lapangan
- Operasi Iterasi (ILWIS)
- Persepsi rumah tangga
dan Pemerintah
terhadap genangan rob
- Risiko terkini rumah
tangga terhadap
genangan rob
- Model genangan rob
- Rekomendasi terkait
adaptasi rumah tangga
dan pemerintah di
masa depan
22
Lanjutan Tabel 1. 2. Riwayat Penelitian Sejenis Terkait Adaptasi Masyarakat Terhadap Banjir Rob dan Kenaikan Muka Air laut Adaptive Capacity Of
Households, Community
Organization And
Institutions For Extreme
Climate Events In The
Philippine
Linda M.
Penalba Dan
Dulce D.
Elazegui (2011)
- Data primer (FGD,
wawncara rumah tangga)
- Data sekunder
(Data sosial, ekonomi,
biofisik, dan karakteristik
geografis dan pengalaman
dampak thypoon ,data
kebijakan adaptasi).
- Analisis Deskriptif hasil FGD,
Indepth Interview, dan data
sekunder
- Household adaptive capacity
index (HACI) digunakan untuk
menilai kapasitas adaptasi
masyarakat.
- Hasil analisis Strategi
adaptasi yang dilakukan
pemerintah lokal
terhadap thypoon
milenyo
- Hasil analisis kapasitas
adaptasi rumah tangga
terhadap thypoon
milenyo
- Hasil analisis strategi
adaptasi yang dilakukan
masyarakat dan
komunitas lokal lokal
terhadap thypoon
milenyo
Adaptation Responses To
Tidal Flooding In
Semarang, Indonesia
Dian Harwitasari
(2009)
- Data primer melalui studi
observasi, kuesioner, dan
wawancara semi terstruktur
(pemerintah)
- Data sekunder (adaptasi
dan respon yang telah
dilakukan pemerintah
Semarang, Data statistic
kejadian banjir rob, Data
prediksi kejadian banjir
Kota Semarang)
- Analisis tabel, grafik
danfrekuensi untuk analisis data
kuantitatif
- Analisis financial digunakan
untuk analisis dampak banjir rob
- Analisis kualititaif digunakan
untuk menilai dampak banjir rob
dan stategi adaptasi masyarakat
dan pemerintah
- Hasil analisis dampak
dan strategi adaptasi
yang dilakukan
masyarakat lokal
terhadap banjir rob
- Prediksi kondisi banjir
rob dan masyarakat di
wilayah rawan
tergenang banjir rob di
masa depan.
23
1.7. Kerangka Pemikiran
Iklim Global
Perubahan Iklim
Global
Prediksi Perubahan Iklim Global menjadi salah
satu faktor penyebab kenaikan muka air laut
Dampak potensial, Contoh:
Banjir rob / pasang air laut
Adaptasi terhadap dampak kenaikan permukaan air laut
Mitigasi
Mereduksi dampak yang ditimbulkan
Peningkatan Efek Rumah kaca
Kenaikan Suhu Udara
Keterangan:
R : Risiko : Hubungan
H : Bencana
V : Kerentanan : Pengaruh
E : Tingkat kepaparan
S : Sensitivitas : Fokus Kajian
AC: Kapasitas Adaptasi
Faktor Geomorfologi
dan Hidrogeografis
Wilayah
Pengembangan
Waterfront City
Proses tekanan ekonomi dan sosial
Perubahan Penggunaan lahan
Degradasi SDA di wilayah Waterfront City
Wilayah Waterfront City yang beresiko
( R= H x V) Dimana:
( V = (ExS)/AC))
Penurunan Daya
dukung wilayah
Kegiatan manusia
24
1.8. Pertanyaan Penelitian
Tabel 1. 3. Pertanyaan Dan Sub Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian Pertanyaan Penelitian Sub Pertanyaan
Penelitian
Data Yang Diperlukan Teknik pengumpulan
Mengidentifikasi potensi bencana
yang dapat terjadi akibat kenaikan
muka air laut di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya
Bagaimanakah potensi bencana
yang dapat terjadi akibat kenaikan
muka air laut di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya
-
1. Peta Kerawanan
Banjir Kota Surabaya
Saat ini
2. Peta Proyeksi Banjir
rob tahun 2100 di
Kota Surabaya oleh
BAPPENAS
Pengumpulan Data
Sekunder Dari
BAPPEKO Kota
Surabaya dan
BAPPENAS
Mengidentifikasi kapasitas adaptasi
masyarakat di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya terhadap kenaikan muka air
laut.
Bagaimanakah kapasitas adaptasi
masyarakat di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya terhadap kenaikan muka
air laut.?
-
1. Data Livelihood
Assets Mayarakat di
Kelurahan Greges
dan Tambak
Osowilangon
2. Data Podes Kota
Surabaya 2011
Metode triangulasi
(Kuesioner semi
terstruktur, observasi,
interpretasi tabel &
peta)
Mengidentifikasi adaptasi dan
strategi masyarakat serta antisipasi
pemerintah lokal di Kawasan
Pengembangan Waterfront Kota
Surabaya dalam menghadapi
kenaikan muka air laut.
Bagaimana persepsi, respon dan
strategi adaptasi masyarakat dan
langkah antisipasi pemerintah lolal
dalam menghadapi kenaikan muka
air laut di kawasan pengembangan
waterfront?
1. Apa yang masyarakat
ketahui tentang fenomena
kenaikan muka air laut?
2. Bagaimana masyarakat
dan pemerintah lokal
menyikapi resiko kenaikan
muka air laut?
3. Apa strategi adaptasi
masyarakat dalam
menghadapi kenaikan
muka air laut di kawasan
pengembangan Waterfront
Kota Surabaya?
1. Data persepsi
masyarakat
2. Data respon
masyarakat dan
pemerintah
3. Data strategi adaptasi
masyarakat dan
pemerintah local
4. RZWP Kota
Surabaya 2011-2030
5. RDTRK Unit
Pengembangan XI
Tambak
Osowilangon
3. Peta kerentanan
kawasan pesisir kota
Surabaya terhadap
banjir rob dan
kenaikan muka air
laut
Metode triangulasi
( Wawancara semi
terstruktur, observasi,
interpretasi peta)