couvelaire uterus
TRANSCRIPT
Couvelaire Uterus
Couvelaire uterus atau yang dikenal juga dengan uteroplacental apoplexy merupakan suatu kondisi yang
mengancam jiwa di mana terjadi terlepasnya placenta akibat perdarahan yang menembus ke lapisan
miometrium uterus menuju ke cavum peritoneal.
Signs and Symptoms
Pada uterus Couvelaire dapat dilihat secara makroskopis pada seluruh permukaan uterus terdapat
bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan terasa
sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang
sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post
partum yang hebat.
Patofisiologi
Uterus Couvelaire merupakan sebuah fenomena yang terjadi akibat perdarahan retroplasenter.
Perdarahan yang berlangsusng terus-menerus akan mengakibatkan hematoma reroplasenter akan
bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak
ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan
menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan
hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang
tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.
Pencegahan
Kejadian uterus Couvelaire dapat dicegah dengan melakukan tindakan pencegahan terhadap solusio
plasenta. Hal ini meliputi manajemen terhadap hipertensi pada kehamilan, pengobatan
penyakit ibu seperti diabetes mellitus, dan penyakit kolagen lainnya yang memiliki komplikasi terhadap
kehamilan, serta pencegahan trauma selama kehamilan; selain itu ibu juga harus menghindari
merokok atau konsumsi alkohol selama kehamilan.
Tatalaksana
Kontraksi uterus harus dirangsang dengan pemberian oksitosin. Histerektomi kadang-kadang diperlukan
pada beberapa kasus.
Vaskularisasi pada Uterus
Mekanisme Kontraksi Uterus
Kehamilan pada umumnya ditandai dengan aktivitas otot polos miometrium yang relatif tenang
(quiscence), yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterin, sampai dengan
kehamilan aterm. Menjelang persalinan otot polos uterus mulai menunjukkan aktivitas kontraksi yang
secara terkoordinasi, diselingi dengan suatu periode relaksasi, mencapai puncaknya menjelang
persalinan, dan secara berangsur menghilang pada preriode post partum. Mekanisme regulasi yang
mengatur aktivitas kontraksi miometrium selama kehamilan, persalinan dan kelahiran; sampai dengan
saat ini, masih belum jelas benar.
Transformasi keadaan miometrium yang relatif tenang selama kehamilan yang kemudian menjadi aktif
berkontraksi menjelang persalinan, secara berurutan, disebut sebagai periode aktivasi, periode stimulasi
dan periode involusi segera sesudah bayi lahir (Challis dan Lye). Transformasi ini berhubungan erat
dengan aktivitas dari beberapa protein intraseluler yang disebut sebagai contraction associated
proteins pada sel otot polos miometrium yang terdiri dari, membrane cell receptors, ionic channels, gap
junction proteins dan contractile proteins. Protein-protein ini, nampaknya segera terbentuk secara
gradual meningkat pada akhir kehamilan, umumnya setelah kehamilan 37minggu-39 minggu.
Hormon prostaglandin mempersiapkan tubuh untuk partus dengan melunakkan serviks dan menjadikan
sel-sel otot uterus lebih sensitive terhadap hormone oksitosin. Proses melahirkan dimulai dengan ada
sinyal yang diberikan oleh bayi yang ditangkap oleh ibu. Sinyal ini diterima oleh kelenjar hipofisis pada
otak dan sinyal ini merangsang sekresi dari hormone ACTH (Adeno Corticotropic Hormon). ACTH akan
merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan hormone kortisol. Hormon kortisol inilah yang akan
merangsang untuk dimulainya proses melahirkan.
Kontraksi otot dan komponen-komponennya
Kontraksi otot terjadi akibat adanya mekanisme pergeseran dari filament-filamen aktin dan myosin yang
menyebabkan terjadinya peregangan otot. Kontraksi otot
Hubungan Kontraksi Miometrium Dengan Aktivitas Elektrik.
Dasar mekanisme kontraksi-relaksasi kontraksi uterus adalah perubahan aktivitas elektrik.
Membran plasma sel menyusun suatu barier permiabilitas terhadap beberapa molekul biologis.
Perbedaan potensial elektrik diantara membran plasma (disebut sebagai membrane potential)
dapat terjadi kerena distribusi yang relatif tidak sama beberapa ion yang terletak intra dan ekstra
sel. Hal ini disebabkan oleh karena adanya suatu biomolekul yang bermuatan negatif intraseluler
dalam jumlah besar yang tidak dapat keluar, dan adanya suatu kanal membran plasma yang selektif
yang meregulasi influks dan efluks beberapa ion seperti sodium (Na+), potassium (K+), Calsium
(Ca2+) dan chloride (Cl-). Permiabilitas kanal ion tersebut diregulasi oleh beberapa macam variasi
signal. Ion- ion bergerak melalui kanal tersebut dengan suatu arah yang ditentukan oleh perbedaan
konsentrasi diantara kedua sisi barier, dan oleh potential membrane.
Resting membrane potential ditentukan terutama oleh permiabilitas dan konsentrasi relatif Na+,
K+, dan Cl-. Konsentrasi Na+, Ca2+ dan Cl- relatif lebih tinggi ekstraseluler, sementara konsentrasi
K+ relatif lebih tinggi intraseluler. Resting membrane potential di miometrium pada umumnya
adalah –40mV s/d –50mV. Hal ini akan menjadi lebih negatif (-60 mV) selama kehamilan, dan
meningkat sampai -45 mV pada kehamilan near term.
Miometium menunjukkan perubahan ritmik membrane potential, yang disebut sebagai slow waves.
Pada threshold potential, terdapat suatu depolarisasi cepat yang dapat membangkitkan suatu
action potential pada puncak dari slow waves. Action potential ditandai dengan masuknya Ca 2+
melewati membran plasma, melalui suatu voltage –sensitive Ca2+ channels, dan mungkin pada
akhir kehamilan juga melalui suatu Na+ channels. Selama kehamilan, pola pola aktivitas elektrik
pada miometrium dari pola irregular spikes menjadi suatu regular activity. Mendekati kehamilan
aterm, action potential yang terjadi pada puncak slow wave berhubungan dengan suatu kontraksi.
Frekuensi kontraksi berhubungan dengan frekuensi dari action potential, tenaga kontraksi dengan
jumlah spikes pada action potential dan jumlah sel yang teraktivasi secara bersamaan dan durasi
kontraksi dengan durasi dari rentetan action potensial. Bersamaan dengan progresivitas persalinan,
aktivitas elektrik ini akan lebih terorganisiasi dan meningkat dalam amplitudo dan durasinya.
Komunikasi Interaseluler Melalui Gap Junction.
Koordinasi kontraksi merupakan hal kritis yang tergantung pada pembentukan gap junction. Gap
junction adalah kanal intraseluler dimana, bila terbuka, memfasilitasi komunikasi elektrik dan
metabolic diantara sel miometrium. Gap junction terdiri dari porus yang komposisinya terdiri dari
suatu protein yang dikenal sebagai connexins, yang menghubungkan interior dua sel dan
memungkinkan arus dan molekul daitas 1.000 dalton, melewati membran sel.
Paling tidak ada 3 anggota keluarga protein connexins (Ca 43, Cx45 dan Cx26) yang diduga
berhubungan dengan berbagai fase kehamilan, pada miometrium hewan coba tikus. Adanya Cx 43
pada miometrium bersammaan dengan onset persalinan telah terbukti ditemukan pada beberapa
spesies, termasuk manusia. Protein Cx26 didapatkan pada semua jaringan miometrium, kecuali
pada bagian segmen atas rahim, sedangkan prtein Cx43 didapatkan merata pada semua bagian
uterus.
Adanya Connexins (Cx 43), suatu protein 42-kD, merupakan komponen utama dari myometrial gap
junctions. Setipa gap junction mungkin terdiri dari sejumlah sampai dengan ribuan kanal dan setiap
kanal terbentuk dari suatu group dari 6 protein connexin yang simetris segaris dengan 6 protein
connexin pasangannya pada sel yang saling berhubungan.
Fungsi gap junction diregulasi oleh jumlah gap junction (structural coupling), permiabilitasnya
(functional coupling), dan kecepatan degradasinya. Onset dan kemajuan persalinan, baik pada
kehamilan aterm maupun prematur, didahului oleh suatu peningkatan cepat dan dramatis jumlah
dan ukuran gap junction,pada mammalia rendah. Pada miometrium manusia, gap junction
meningkat jumlahnya pada persalinan spontan dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, atau
wanita hamil yang tidak inpartu. Walaupun begitu, belum jelas, apakah gap junction juga meningkat
jumlahnya pada akhir kehamilan atau selama fase aktif persalinan.
Pada sejumlah species, progesterone nampaknya menekan jumlah dan permiabilitas gap junction.
Gap junction channels secara cepat mengalami transformasi dari open dan closed stateyang
berhubungan dengan fosforilasi protein connexins, sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa
cyclic adenosine monophosphate (cAMP)- dependent protein kinase berperan meregulasi fosforilasi
protein connexindan menghasilkan penutupan gap junction. Penelitian lain menunjukkan bahwa
cAMP meningkatkan ekspresi gap junction dan komunikasi interseluler pada suatu immortalized
myometrial cell line yang diderivasi dari wanita hamil aterm.
Gap junction akan secara cepat menghilang sesudah persalinan sebagai akibat dari proses
internalisasi, endositosis dan digestion, yang diiringi dengan penurunan eksitabilitas dan
kontraktilitas otot polos miometrium.
Hubungan Antara Ca2+ Dengan Kontraksi dan Protein Kontraktil.
Peningkatan Ca2+ intraseluler akan memicu kontraksi otot. Basis structural kontraksi adalah
pergerakan relatif dari molekul thick and thin filaments pada aparatus kontraktil. Walaupun
pergerakan ini serupa pada semua jaringan otot, namun beberapa gambaran dan regulasinya
adalah spesifik pada sel otot polos, seperti halnya miometrium. Pada otot polos, gambaran
sarcomere arrangement yang secara ekstensif terlihat pada otot bergaris, nampak hanya dalam
skala kecil.
Kontribusi intermdiate filaments pada cytosceletal network nampaknya untuk mempertahankan
stabilitas integritas structural dari “mini sarcomere” intraseluler. Thin filaments menyusup kedalam
suatu pita padat yang berhubungan dengan cytosceletal network, memudahkan pembangkitan
tenaga pada setiap arah dalam sel. Otot polos pada umumnya menjaga suatu “high force” dengan
kebutuhan energi yang relatif kecil, dan menunjukkan pemendekan yang lebih besar dibandingkan
otot bergaris.
Myosin merupakan protein thick filaments dari aparatus kontraktil intraseluler. Myosin otot polos
merupakan suatu protein hexamer yang terdiri dari 2 heavy chain subunits (200kD) dan 2 pasang
protein, masing-masing 20 kD dan 17 kD light chain.(gambar 4). Setiap heavy chain mempunyai
suatu kepala globuler yang berisi actin binding sites dan adenosine triphosphate (ATP) hydrolysis
activity (ATP-ase). Suatu neck region yang menghubungkan globuler head kepada setiap molekul
myosin lain, yang terdiri dari suatu long α-helical tail yang berinteraksi dengan tail dari heavy chain
subunit. Multiple myosin molecules berinteraksi melalui suatu α-helical tail dalam suatu coiled coil
rod, membentuk thick filament darimana globuler head menonjol. Thin filament disusun oleh actin
terpolimerisasi menjadi suatu double helical strand, dan suatu asociate protein. Ketika myosin head
berinteraksi dengan actin, aktivitas ATP-ase pada myosin head akan terkativasi. Energi yang
dibangkitkan sebagai hasil hidrolisis dikonservasi sebagai conformational energy yang
memungkinkan myosin head bergerak pada neck region, merubah posisi relatif dari thick dan thin
filaments. Myosin head kemudian terlepas dan dapat melekat kembali pada sisi yang lain pada actin
filament apabila kembali mengalami reaktivasi.
Interaksi actin myosin diregulasi oleh Ca2+. Pada miometrium, seperti juga otot polos yang lain,
efek dari Ca2+ dimediasi oleh suatu Ca2+ binding protein calmodulin (CaM).(fig 6.3)Kompleks Ca2+ -
CaM berikatan dan meningkatkan aktivitas dari myosin light chain kinase (MLCK) dengan suatu
mekanisme yang menurunkan aliran outo-inhibitory region dari kinase tersebut. MLCK
memfosforilasi myosin 20-kD light chain pada suatu residu serine yang spesifik didekat terminal N.
Fosforilasi myosin berhubungan dengan suatu peningkatan aktivitas acto-myosin ATP-ase dan
memfasilitasi interaksi actin-myosin dengan meningkatkan fleksibilitas dari head/neck region.
Sejumlah protein lain, mungkin ikut serta dalam regulasi pada level actin filament, seperti halnya
tropomyosin, caldesmon dan calponin. Tropomyosin dan caldesmon meningkatkan ikatan actin
terhadap myosin dan ikatan actin-myosin terhadap Ca2+-CaM. Interaksi dengan Ca2+ -CaM
mengurangi efek caldesmon dan calponin terhadap interaksi actin-myosin. Keduanya,
caldesmondan calponin menghambat aktivitas acto-myosin-ATP-ase; hambatan ini akan berbalik
oleh kompleks Ca2+ -CaM atau oleh fosforilasi suatu Ca2+-sensitive kinase. Jadi, protein-protein ini
melengkapi suatu arti regulasi interaksi actin-myosin dan aktivitas associated ATP-ase dan
berimplikasi pada regulasi dari cross bridge cycling.
Pada miometrium manusia, peningkatan tension adalah berhubungan dengan suatu peningkatan
Ca2+ dan fosforilasi myosin light cahian. Peningkatan Ca2+ mendahului fosforilasi myosin light chain
dan fosforilasi maksimal terjadi sebelum tenaga maksimal tercapai. Untuk jumlah yang sama dari
tenaga yang dibangkitkan, fosforilasi yang terjadi lebih sedikit pada miometrium pada kehamilan
akhir, dibandingkan dengan miometrium tanpa kehamilan. Ratio stress/ light chain phosphorilation
adalah 2,2 kali lebih besar pada miometrium wanita hamil. Sampai saat ini, basis fisiologis
terjadinya fenomena ini, dimana terjadi peningkatan efisiensi seperti diatas belum jelas diketahui.
Meskipun jumlah actin dan myosin meningkat persel selama kehamilan, tidak terdapat peningkatan
pergram jaringan atau per-miligram protein, dan tidak ada perbedaan pada aktivitas spesifik dari
myosin light chain kinase atau phosphatase yang melepaskan gugus fosfat. Menariknya
miometrium domba hamil juga mampu menghasilkan tenaga yang lebih besar per-stimulus tanpa
perbedaan pada fosforilasi myosin light chain, dibandingkan dengan miometrium tidak hamil,
meskipun didapatkan peningkatan isi dari myosin dan actin pergram berat basah jaringan
miometrium.
Meskipun regulasi fosforilasi myosin oleh Ca2+ mempunyai efek utama pada kontraksi otot polos,
mekanisme yang lain juga penting, sebagai contoh adalah tension increases pada miometrium, dan
otot polos yang lain, dapat terjadi sebagai respon terhadap signal eksternal tanpa suatu perubahan
membrane potential atau perubahan level Ca2+. Sensitisasi Ca2+, sebagai contoh, dengan suatu
peningkatan ratio tenaga/Ca2+ sebagai respon terhadap bahan contractant, mungkin melibatkan
peran dari intracellular signaling pathways yang meregulasi aktivitas phosphatases.
Mekanisme multiple yang berperan pada proses relaksasi meliputi, pengurangan Ca2+, inhibisi
MLCK, aktivasi phosphatases dan perubahan membrane potential. Pada miometrium manusia siklus
kontraksi/ relaksasi spontan, berhubungan dengan proses fosforilasi/ defosforilasi dari myosin light
chain dan perubahan aktivitas MLCK.
Selama suatu stretch induced contraction pada miometrium manusia, tenaga dan fosforilasi light
chain menurun, sedangkan Ca2+ tetap meningkat secara bermakna. Peningkatan Ca2+
menghasilkan suatu aktivasi dari Ca2+ -CaM –dependent kinase II, enzim yang memfosforilasi MLCK,
menghasilkan penurunan aktivitas MLCK dan menghasilkan penurunan afinitas dari Ca2+ -CaM. Jadi,
fosforilasi dari MLCK akan menurunkan sensitivitas Ca2+ (desensitisasi) dari fosforilasi myosin light
chain.
Phosphatase memainkan peran penting dalam menentukan sensitivitas dari contractile apparatus
terhadap stimuli dan perubahan Ca2+. Sejumlah phosphatase aktif melepaskan gugus phosphate
dari myosin light chain, dari MLCK, dari calponin, dan dari caldesmon. Phosphatase dapat diregulasi
oleh efek langsung pada catalytic subunit-nya atau efek pada targeting atau regulating subunit-nya.
Kontrol dari Ca2+ Intraseluler Pada Miometrium.
Konsentrasi Ca2+ ekstra seluler adalah dalam kisaran mM, sedangkan reting Ca2+ pada miometrium
adalah sekitar 100 nM – 140 nM dan dapat meningkat sampai dengan 300 nM – 800 nM selama
periode stimulasi. Suatu variasi dari kanal ion terbukti mengontrol Ca2+ entry kedalam miometrium.
Suatu L–type voltage–activated Ca2+ channels (L-VOCs) telah ditemukan pada miometrium manusia
dan aktif pada membrane potential yang fisiologis. Penelitian pada mammalia rendah menunjukkan
bahwa, densitas LVOCs meningkat selama periode kehamilan. Kanal ini sensitive terhadap kerja
dihydro pyridine dan seringkali merupakan target dari terapi tokolitik dengan agen-agen seperti
nifedipine dan ritrodrine.
Depolarisasi yang menyertai suatu action potential ditandai dengan Ca2+ entry dalam jumlah besar
melalui kanal ini. Depolarisasi pada saat yang sama, merangsang L-VOCs, walaupun Ca2+ meng-
inaktifasikan mereka. Terdapat bukti luas bahwa, kontraksi miometrium secara spontan atau oleh
suatu rangsangan, memerlukan adanya fungsi L-VOCs. Meskipun demikian terdapat data yang
menimbulkan konflik yang berhubungan dengan kemampuan contractants seperti, oksitosin, untuk
merangsang L-VOCs current.
Aktivitas dari L-VOCs dapat berkurang oleh adanya membrane hyper-polarization. Ca2+ -activated
K+ channels, teraktivasi sebagai respon terhadap peningkatan Ca2+, atau oleh rangsangan suatu
agen relaksan, dapat menggambarkan peran ini. Stimulasi tipe lain dari K+ channels akan
memberikan efek yang sama.
Ca2+ dapat pula memasuki sel melalui kanal-kanal yang terbuka sebagai respon terhadap suatu
signal yang dibangkitkan oleh pelepasan Ca2+ dari intracellular stores. Intracellular Ca2+ release –
activated channels (ICRACs)telah dapat dilakukan klonisasi pada mammalia rendah, tetapi bukti-
bukri bahwa mereka berfungsi pada miometrium nmanusia adalah secara indirek. Blokade dari
pelepasan Ca2+ intraseluler akan menghambat masuknya oxytocin-stimulated Ca2+ pada sel
miometrium. Sejak kanal-kanal ini dapat diidentifikasi dan dikarakterisasi, maka memungkinkan
untuk mentarget mereka untuk inhibisi pada kontrol kontraksi miometrium yang tidak dikehendaki.
Tipe lain dari kanal Ca2+, meliputi T (transient) –type Ca2+ channels dan non-selective cation
channels pada miometrium sudah pernah dilaporkan sebelumnya. Apakah kanal-kanal ini penting
artinya dalam hal peningkatan Ca2+ atau perubahan membrane potential, belum jelas benar.
Pelepasan Ca2+ dari intrcellular stores adalah mekanisme utama dalam hal mana Ca2+ dapat
meningkat. Beberapa agen stimulator bekerja meningkatkan Ca2+ melalui reseptor spesifik mereka.
Reseptor ini akan mengaktivasi phospholipase C (PLC) baik secara langsung maupun tak langsung.
PLC menghidrolisis phosphatidyl inositol biphosphate untuk membangkitkan inositol 1,4,5
triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG). Inositol triphosphate, menstimulasi pelepasan Ca2+
dari intracellular stores dan diacyl glycerol mengaktivasi protein kinase C. Ada beberapa bentuk
PLC , masing-masing merangsang signal transduction pathway yang berbeda. PLCγ diaktivasi oleh
reseptor yang mempunyai aktivitas tyrosine kinase dab responsible terhadap kerja beberapa agonis
seperti, epidermal growth factor (EGF) pada miometrium. Sedangkan PLCβ isoform, diaktivasi oleh
beberapa agonis seperti oksitosin yang menstimulasi suatu heterotrimerik guanosine triphosphate
(GTP)-binding protein dari keluarga G-αq 11. Selain itu PLC-β juga distimulasi oleh subunit βγ yang
dilepas dari suatu heterotrimeric G proteins.
Regulasi dari suatu myometrial phospho-inositide turn over, nampaknya merupakan sesuatu yang
spesifik untuk species, agonis dan status hormonal. Phospho-inositide turn over dihambat oleh
aktivitas adenyl cyclase, cAMP generation dan aktivasi protein kinase A (fig. 6-3). Mekanisme ini
distimulasi oleh suatu GTP –binding protein, G-α3dan dhambat oleh G-α1. Inhibisi protein kinase A
pada phospho inositide turn over melibatkan fosforilasi beberapa komponen dari phospholipase C-
GTP binding protein pathway. Selama kehamilan, ekspresi Gα3 meningkat pada miometrium dan
functional coupling dari Gα3 terhadap adenyl cyclase meningkat, mungkin berhubungan dengan
uterine quiescence selama kehamilan; walupun demikian akan menurun pada akhir kehamilan.
Energy -dependent system dari transport Ca2+ melawan gradien konsentrasi memberikan kontribusi
pada relaksasi sel miometrium.(fig. 6-3), suatu plasma membrane ATP-driven Ca2+ pump, yang
dihambat oleh oksitosin dan sedangkan relaksan akan merangsang efluks Ca2+. Suatu Na+ -Ca2+
exchanger, juga didapatkan pada membrane plasma. Tetapi mempunyai afinitas yang lebih rendah
terhadap Ca2+ dan oleh karenanya mungkin memainkan peran yang lebih kecil pada regulasi
konsentrasi Ca2+.
Ca2+ pumps juga terdapat pada endoplasmic reticulum dan mitokondria dari sel otot polos uterus,
yang mungkin ikut berperan pada refilling inositol triphosphste –sensitive intracellular Ca2+ stores,
dan pada akhirnya mampu mencegah suatu Ca2+ overload.
Protein kinase C, suatu keluarga dari serine-threonine protein kinases, berperan penting pada
berbagai respon seluler terhadap various agonists, dan mempunyai distribusi yang luas pada
bermacam jaringan hewan mammalia. Terdapat 11 isoforms dari protein kinase C yang pernah
dilaporkan, terbagi menjadi 3 kelompok menurut cara kerjanya. Kelompok pertama, meliputi 4
isoform konvensional ( PKCα, β1, β11, dan γ) teraktivasi sebagai respon terhadap
phosphatidylserine, diacylglycerol, dan calcium. Kelompok kedua, terdiri dari 5 isoform (PKCδ, ε, θ,
η, μ), teraktivasi sebagai respon terhadap phosphatidylserine dan diacylglycerol, tetapi tidak
memerlukan calcium. Kelompok ketiga, meliputi 2 atipikal- isoform yaitu PKCζ dan PKCλ, untuk
aktivasinya hanya memerlukan phosphatidylserine.(17). Pada miometrium wanita tidak hamil
terdapat berbagai protein kinase C isozymes seperti halnya, PKC-α, γ, δ, μ, ί dan ζ; dan tetapi tidak
didapatkan isozymes sepertihalnya, PKC-β1, β2, θ, atau ε. Pada miometrium wanita hamil terdapat
keduanya, yang baik sebelum dan selama persalinan menunjukkan peningkatan jumlah yang
bermakna.
Salah satu aspek penting pada regulasi kontraksi miometrium adalah suatu fosforilasi/defosforilasi
selektif protein kontraktil intraselular miometrium, yang mengakibatkan aktivasi dan inaktivasi
protein tersebut. Fosforilasi ini dilakukan oleh suatu keluarga besar proteinkinase, yang diantaranya
adalah proteinkinase C (PKC). PKC berperan penting pada proses trans-membrane signal
transduction pada beberapa sel mammalia. Pada beberapa reseptor dan G-protein-mediated
pathways, PKC diaktivasi oleh suatu second messenger, bisa diacylglycerol maupun calcium ion.
Peranan PKC pada pada kontraksi miometrium belum jelas sepenuhnya. Pada miometrium tikus,
aktivasi PKC akan menghambat oxytocin-induced myometrial contractility. Pada miometrium
manusia, aktivasi PKC akan meningkatkan oxytocin-mediated myometrial contractility, dan secara
hipotetik diduga berperan pada suatu sustained stimulation dari aktivitas miometrium selama
preiode persalinan. Belum jelas benar mengenai berbagai jenis PKC isozymes yang mana, yang
terdapat pada miometrium manusia, yang jelas terdapat perbedaan distribusi jenis PKC isozyme
pada berbagai jaringan yang berbeda. Hal ini penting karena terdapat berbagai PKC isozyme yang
mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap second messenger diacylglycerol dan calcium ion.
Pada penelitian dengan menggunakan teknik western immonoblot analysis, telah dapat
diidentifikasi keduanya yaitu; calcium ion-dependent PKC dan calcium ion-independent PKC
isozymes pada jaringan miometrium.
Redistribusi dari calcium ion-dependent dan calcium ino-independent PKC isozymes dapat dideteksi
setelah suatu eksposur dengan 12-0-tetra decanoyl phorbol-13-acetate (TPA), atau oksitosin.
Oxytocin-stimulated translocation dari PKC-α, telah dapat diidentifikasi pada kultur miometrium
dengan menggunakan teknik immuno-histochemical.
Diacylglycerol dan inositol 1,4,5-triphosphate merupakan dua second messengers yang teraktivasi
dalam jumlah equimolar sesudah adanya ikatan suatu uterotonic agonists (contohnya oksitosin)
dengan suatu heptahelical G-protein coupled membrane receptors. Ketika fungsi diacylglyerol
sebagai protein kinase C activator diperlukan, suatu agonist-induced meningkatkan level
diacylglycerol akan menimbulkan efek paradoksal, bukan suatu rangsangan, melainkan suatu
inhibisi kontraksi miometrium. Keadaan ini dapat terjadi karena suatu rapid removal dari
diacylglycerol oleh berbagai enzim miometrium menurunkan availability diacylglycerol sebagai
suatu protein kinase C activator.
Diacylglycerol didegradasi oleh dua macam enzim yaitu, diacylglycerol lipase dan
diacylglycerolkinase, menghasilkan generasi monoacylglycerol dan phosphatidic acid. Berdasarkan
konversi enzimatik dari diacylglycerol menjadi monoacylglycerol and arachidonic acid, Schrey et al,
telah berhasil menunjukkan bahwa diacylglycerol lipase terdapat pada miometrium manusia.
Inhibisi degradasi diacylglycerol terbukti menghasilkan inhibitory effect yang signifikan pada
oxytocin-stimulated uterine contraction pada tikus coba yang hamil maupun tidak hamil,
menunjukkan pentingnya peran katabolisme diacylglycerol dalam pengaturan kontraksi
miometrium. Pada miometrium tikus tidak hamil, diacylglycerol kinase nampaknya berperan
penting pada degradasi diacylglycerol, yang diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan
oksitosin; sedangkan pada miometrium tikus hamil, keduanya diacylglycerol kinase dan lipase
nampak efektif mendegradasi diacylglycerol.
Pada keadaan normal, diacylglycerol diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan oksitosin
terhadap phosphatidyl-inositol-signaling pathways secara efisien 10
dikatabolisme oleh diacylglycerol kinase (dan diacylglycerol lipase pada tikus hamil), mencegah
feedback inhibition oleh activated protein kinase C pada kontraksi miometrium. Apabila degradasi
diacylglycerol ini dicegah, maka rangsangan oksitosin pada jaringan miometrium akan menghasilkan
akumulasi diacylglycerol, dan terjadinya suatu concentration –related inhibition dari aktivitas
kontraksi secara keseluruhan.
Penyebab HPP
4T dari Hemorrhage PostPartum antara lain : tonus, trauma, tissue, dan thrombosis.
Atonia uterus – “Tonus” : Atonia merupakan penyebab tersering dari HPP. Kontraksi uterus sangat dibutuhkan untuk proses hemostasis, dan adanya gangguan pada proses ini dapat mengakibatkan perdarahan yang signifikan. Atonia uterus merupakan salah satu penyebab perdarahan postpartum yang terjadi pada 4 jam pertama setelah bayi lahir. Faktor risikonya antara lain:
- Overdistensi dari uterus- Uterus yang kelelahan- Obstruksi uterus
Laserasi atau Hematoma – “Trauma” : Trauma pada uterus, cerviks, dan/atau vagina adalah penyebab kedua tersering yang menyebabkan perdarahan postpartum. Cedera pada jaringan ini selama atau setelah melahirkan dapat menyebabkan perdarahan yang banyak akibat peningkatan vaskularisasi selama kehamilan.
Retensio Plasenta – “Tissue” : Retensio plasenta menyebabkan gangguan terhadap kontraksi uterus. Factor-faktor risiko :
- Prematur- Prolonged partus- Multilobus plasenta- Adanya tanda dari plasenta akreta pada USG atau MRI
Gangguan Pembekuan – “Trombosis” : Pada Kala III, kontraksi dan retraksi uterus memegang peranan penting pada proses hemostasis. Namun, beberapa jam – hari setelah persalinan, endapan dari fibrin (di dalam pembuluh darah dimana plasenta melekat ke dinding uterus) memegang peranan utama. Pada periode inilah gangguan koagulasi dapat menyebabkan perdarahan postpartum. Berikut ini adalah penyebab-penyebab yang mungkin yang dapat menyebabkan gangguan koagulasi :
- disfungsi trombosit- Inherited coagulopathy- Penggunaan anti koagulan- Disseminated intravascular coagulation (DIC)- Faktor-faktor fisiologis, spt: hipokalsemia, hipotermia, dan acidemia
- Pelvic Inflammatory Diseases (PID)
I. Definisi
Inflamasi pada uterus,, tuba fallopi, dan ovarium yang mengarah ke perlukaan dengan perlengketan
pada jaringan dan organ sekitar
II. Epidemiologi
Polimikrobial, biasanya menyertai penyakit mikoplasma, flora endogenos vagina, streptokokus
aerobic, M. tuberculosis, dan STD (Sexual Transmitter Disease)seperti Chlamydia
trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae
Kebanyakan merupakan Komplikasi dari Gonorea
Berhubungan dengan vaginosis bacterial seperti Gardnerella vaginosis, Mycoplasma
hominis, Mobiluncus spp., and other anaerobes
III. Etiologi
Infeksi asendens dari penyakit infeksi di atas
IV. Faktor resiko
Mudah tertular pada orang dengan STD terutama:
Usia muda
Pasangan seksual baru
Banyak pasangan seksual
Kurangnya penggunaan kontrasepsi yang aman
Golongan sodial ekonomi rendah
Penggunaan IUD setelah 3 minggu
Usia kehamilan terminal
V. Manifestasi Klinis
Simptom
Wanita dengan IUD asimptomatik
Nyeri abdominal kuadran bawah
Dispareunia
Perdarah vagina Abnormal
Vaginal discharge
Sign
Nyeri abdominal bawah, biasanya bilateral
Pengeluaran secret mukopurulen dan terdapat servisitis menggunakan spekulum
Nyeri pergerakan pada Serviks dan nyeri adneksa pada pemeriksaan vagina bimanual
Demam > 38oC tapi terkadang juga apreksia
Differential diagnosis
Apendisitis: tidak ada vaginal discharge,
PUD: imbalans estrogen dan progesterone sesuai dengan siklus atau di luar siklus haid
KET: peningkatan hormon HCG
Endometriosis : dispareunia
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan:
Tes kehamilan: Pemeriksaan serum kehamilan untuk menyingkirkan KET
Swabs serviks untuk mengetahui penyebab: (+) untuk Klamidia dan Gonorea, hasil (-) masih bisa
menunjukkan PID akibat penyebab alin
↑ laju endap darah dan C-protein: menunjukkan adanya infeksi
Biopsy endometrium
o Pemeriksaan USG per vaginam dan per pelvis: untuk menyingkirkan KET usia > 6 minggu
o Kuldosintesis: untuk mengetahui bahwa perdarahan yang terjadi diakibatkan oleh
hemoperitoneum (berasal dari KET yang rupture atau kista hemoragik) yang dapat menyebabkan
sepsis pelvis (salpingitis, abses pelvis rupture, atau apendiks yang ruptur)
Laparoskopi untuk melihat langsung gambaran tuba fallopi. Pemeriksaan ini invasive sehingga bukan
merupakan pemeriksaan rutin. Untuk mendiagnosis penyakit infeksi pelvis, bila antibiotik yang
diberikan selama 48 jam tak member respon, maka dapat digunakan sebagai tindakan operatif
Urinalisis dan kultur urin untuk meng-ekslusi infeksi saluran
Catatan:
Tak ada satu pun pemeriksaan yang sensitive atau pun spesifik untuk menegakkan diagnosis penyakit
infeksi pelvis ini
Bila pasien dicurigai menderita PID maka temui dokter secepatnya untuk mencegah terjadinya
infertilitas
VI. Mekanisme
VII. Penatalaksanaan
Langkah pertama yang doter umum lakukan:
Sediakan analgesik
Bila pasien menggunakan IUD maka stop penggunaan in situ, dengan catatan pasien dapat mencegah
kehamilan meski tanpa alat kontrasepsi minimal 7 hari
Segera rujuk ke bagian genitourinaria (obgyn), untuk pasien dengan riwayat STD agar menjalani
skrining dan terapi untuk pasanagan seksual pasien
Penatalaksanaan antibiotik :
Jangan tunda pemberian antibiotic bersamaan dengan dilakukannnya pemeriksaan tambahan untuk
mengetahui diagnosis PID karena akan meningkatkan komplikasi bila lama diberikan
Gunakan antibiotic spectrum luas untuk tatalaksana C. trachomatis, N. gonorrhoeae, dan infeksi
anaerobic.
Gunakan: ceftriaxone 250 mg i.m 1x/hari + doxycycline 100 mg oral2x/hari dan metronidazole 400
mg 2x/hari selama 14 hari
Pilihan obat:
o Pasien rawat jalan:
Ceftriaxon i.m atau cefoxitin + probenecid oral 1g; ditambah doxycycline oral+ metronidazole
selama 14 hari
Ofloxacin 400 mg oral 2x/hari + metronidazole oral 400 mg 2x/hari selama 14 hari, for 14 days.
Jangan pada pasien Gonorea
o Berat:
Terapi i.v bila terdapat gejala: pireksia, abses tuba-ovarium, dan peritonitis pelvis.
Terapi inisial dengan doxycycline, ceftriaxone i.v + metronidazol i.v, setelah gejala menurun
maka ganti obat dengan menggunakan doxycycline oral danmetronidazole untuk melengkapi
terapi selama 14 hari
Terapi untuk pasangan seksual pasien
Biasanya si pria asimptomatik
Cegah koitus slama terapi dan follow up selesai.
Skrining bila ternyata pasangan mempunyai riwayat STD bila terbukti pasien pernah koitus bersama
si pria dalam jangka waktu < 6 bulan
Beri terapi terhadap infeksi Klamidia pada si pria meski dia tidak menderita Klamidia berdasarkan
hasil uji pemeriksaan tambahan
Bila terdapat Gonorea, beri terapi Gonorea.
Terapi empiris untuk pasangan yang menderita Klamidia dan Gonorea yang tidak mau di-skrining
Rujukan
Rujuk untuk terapi lebih lanjut seperti, i.v antibiotic dan atau pemeriksaan lebih lanjut bila dicurigai:
Diagnosis penyakitnya tak pasti, bila tidak dapat mengekslusi apendisitis atau KET
Simpton dan sign-nya berat
Deteriorasi kondisi klinis
Terapi oral gagal (tidak ada respon selama 3 hari)
Tidak mampu toleransi terhadap terapi oral misalnya, mual dan muntah
Hamil
Immunodeficiency (misalnya HIV , terapi imunosupresi).
Pencegahan
Kurangi penggunan IUD bila pasien menderita Klamidia dan Gonorea
Pemeriksaan terhadap wanita < 25 tahun untuk mengetahui adanya Klamidia
Antibiotic profilaktik rutin pada pengguna IUD jangan dilakukan
VIII. Prognosis
Permanen namun dapat ditatalaksana kuratif untuk mencegah kerusakkan lebih lanjut system
reproduksi
IX. Komplikasi
Infertilitas
KET
Nyeri Pelvis kronik
Perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis ): nyeri RUQ
Reiter’s syndrome (artritis reaktif)
Pada kehamilan: ↑kelahiran Preterm, ↑ angka penyakit penyerta maternal dan fetal
Neonatus: infeksi perinatal C. trachomatis atau N. gonorrhoeae menyebabkan ophthalmia
neonatorum dan Chlamydial pneumonitis