Ex-president Suharto's son named suspect in corruption caseJul 19, 2007, 9:32 GMT

Jakarta - Indonesian authorities declared on Thursday the son of Indonesia's former president Suharto a suspect in a multi-million-dollar embezzlement case linked with the country's clove-management agency.Attorney General Hendarman Supandji confirmed that Hutomo Mandala Putra, also known as Tommy, has been named a suspect for allegedly abusing Bank Indonesia liquidity credits distributed to the clove trade monopoly board, controlled by the ex-distator's son.Supandji explained that while Bank Indonesia liquidity credits were supposedly to be distributed to the clove farmers in the country, some were instead used to promote Suharto family interests.'We will find out where the funds go to,' Supandji said, adding that a team of prosecutors would soon question Tommy in connection with the graft case.Cloves are a major industry in Indonesia, used mainly in clove-flavoured cigarettes. The clove trade was a monopoly under the Suharto dictatorship.A senior official at the attorney general's office said earlier in Tommy's corruption case that the country had suffered losses of up to 187 million dollars, a fraction of the total of what Indonesia is believed to have lost from graft during Suharto's rule.A number of witnesses had been questioned since the criminal investigation into the country's clove trade monopoly

was reopened in May.The attorney general's office announced early this month that it planned to file a civil suit demanding the return of some 3 trillion rupiah (330 million dollars) that went missing when the clove monopoly board was shut down.The civil suit is part of a deal made by Indonesia with a court in Guernsey, the United Kingdom, which extended a freeze on millions of euros of Tommy's money on May 23. Tommy is currently appealing the decision by the court to extend the freeze, which was made at Indonesia's requestGovernment prosecutors on July 9 filed a civil suit against the 'smiling general' Suharto, hoping to recover 420 million dollars of misdirected state funds allegedly amassed during his 32 years in power and a further 1.1 billion dollars in damages.Authorities claim in court documents that Suharto siphoned off million of dollars from a series of charitable foundations set up under his rule. State banks and other government interests were required to give a share of their profits to the foundations.While the money was supposed to fund social services, much of it allegedly went straight to a network of institutions owned by the Suharto family network.Suharto and his family stand accused of amassing as much as 35 billion dollars in corrupt funds during the dictator's rule. He stepped down in 1998 amid a severe economic crisis and massive civil unrest.Suharto faced numerous allegations of corruption during his rule, but in May 2006 prosecutors closed the criminal cases

against the 86-year-old former strongman, citing health grounds.The 44-year-old playboy Tommy was freed from prison in October 2006 after serving just a third of a 15-year jail sentence for ordering the murder of a Supreme Court judge, weapons possession and evading justice.

Clove monopoly a setback for Jakarta

deregulationBy Elizabeth Pisani459 words6 January 1991Reuters News(c) 1991 Reuters Limited

JAKARTA, Jan 6, Reuter – A new monopoly that puts Indonesia’s

lucrative clove trade in the hands of President Suharto’s son is a sign

that the days of deregulation of business in Indonesia may be nearly

over, economists say.

"It is a major setback for free trade and deregulation," said one private

economist. "It’s not a question of being against BPPC (the Clove

Support and Trading Board), its a question of being for free trade."

"Deregulation is dead," commented another dejectedly.

The country’s powerful kretek, or clove cigarette, firms said on

Saturday they would defy new rules obliging them to buy all their

cloves from BPPC chaired by Suharto’s youngest son Hutomo Mandala

Putra. Clove farmers must sell to BPPC through cooperatives at a price

fixed by the government.

The country’s largest tax payers outside the oil sector, cigarette firms

grouped in the trade association GAPRI are also an important source of

jobs in overcrowded Java.

"We have enough stocks for at least a year. BPPC can purchase all the

cloves they want. The kretek companies won’t buy them," a kretek

firm executive said.

GAPRI’s defiance of the monopoly is unprecedented in Indonesia.

However, in recent years the government has pushed forward an

aggressive deregulation campaign that has cut out several monopolies

and opened up business to a growing private sector.

When Hutomo first put forward the plan for a new monopoly on cloves

six months ago, saying he wanted to help out farmers, there was a

public outcry and nothing further was heard until the new rules were

announced last week.

The clove prices, set by the department of trade in consultation with a

multilateral National Clove Board that GAPRI refuses to join, have yet

to be published.

But sources who have followed negotiations have said the BPPC will

pay farmers 7,500 rupiah a kg. BPPC will build in 2,080 rupiah in

"rehabilitation" and other fees whose exact purpose is unclear.

The final cost to kretek factories, which consume around 80,000

tonnes of cloves a year or 80 per cent of Indonesian output, is likely to

be 12,500 rupiah against recent prices of around 5,000 rupiah a kg.

The price would be enough to put some small manufacturers,

employing around 60,000 people, out of business, GAPRI says.

"We are businessmen and can’t operate without a profit. We have to

put prices up, cut jobs and maybe switch to white (non-clove)

cigarettes," said the executive.

"That’s bad for the consumer, the workforce and the clove farmer."

Government officials insist the new system will benefit farmers by

cutting out wide price swings in cloves.

Bppc dalam sorotan SABTU pekan lalu, ada demonstrasi kecilkecilan di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sekitar 30 poster diacung-acungkan oleh mahasiswa UGM. Kali ini bukan melabrak SDSB, tapi memprotes sepak terjang BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Acara "Mimbar Bebas" yang diselenggarakan Senat Mahasiswa FISIP UGM itu tampak berusaha menciptakan suasana dramatis. Terkesan ada keprihatian yang mendalam akan nasib petani cengkeh. BPPC dianggap gagal dan perlu dibubarkan saja. BPPC bahkan dianggap tak ubahnya VOC, perusahaan monopoli dagang di zaman penjajahan Belanda tiga abad silam. Unjuk rasa mahasiswa itu tentu ada kaitannya dengan pernyataan Ketua BPPC Tommy Soeharto di depan DPR, 26 Februari silam. Tommy mengusulkan agar 40%w50% cengkeh hasil panen tahun ini dibakar, dan 30% kebun cengkeh dikonversi ke tanaman lain. Alasannya, stok cengkeh BPPC sudah menumpuk sampai 170.000 ton. Aksi yang dilancarkan 250 mahasiswa di UGM itu sangat kontras dengan hasil seminar yang diselenggarakan secara "ilmiah" oleh Pusat Penelitian Universitas Sam Ratulangi di Manado, akhir Februari berselang. Seminar yang diikuti oleh berbagai pelaku bidang percengkehan ini (ada petani, KUD, instansi pemerintah yang terkait, BPPC, kepala cabang BRI Manado, dan pengusaha industri kretek) secara prinsip mendukung kedua usul

Tommy tersebut. Seminar itu bahkan menyatakan, BPPC harus jalan terus. Namun, hal ini tidak mencegah segelintir orang yang sempat mengusulkan agar BPPC dibubarkan saja. Mereka yang tekun mengikuti masalah cengkeh tentu mengetahui bahwa suara antiBPPC sudah tercetus sejak tahun lalu. Pakar ekonomi seperti Dr. Anwar Nasution dan Dr. Sjahrir sejak dini telah meragukan kemampuan BPPC untuk menstabilkan harga cengkeh. Terakhir Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo angkat suara, menegaskan bahwa tidak mungkin bagi BPPC mengatur tingkat produksi sekaligus mengendalikan harga cengkeh. Sidang kabinet terbatas bidang ekuin Rabu pekan lalu tentulah membahas hal yang sama. Namun, usai sidang yang berlangsung tiga jam itu, para menteri berusaha menghindar dari wartawan, tak terkecuali Menteri Perdagangan Arifin Siregar. "Semua masalah kita serahkan kepada Badan Cengkeh Nasional. Kita tunggu saja hasilnya," kata Arifin, datar dan singkat. Masalahnya tidak menjadi lebih jelas, karena Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kumhal Djamil, yang juga menjabat ketua Badan Cengkeh Nasional, sampai berita ini diturunkan belum memberi tanggapan. Hanya Menteri Pertanian Wardoyo yang secara tegas menyatakan bahwa usul Ketua BPPC tidak bisa diterima begitu saja. Diingatkannya, masalah cengkeh harus ditangani secara hati-hati dan keputusan akhir berada di tangan Badan Cengkeh Nasional (BCN). Menurut Wardoyo, Departemen Pertanian dan Biro Pusat Statistik sedang melakukan survei untuk mengetahui apakah memang telah terjadi stok cengkeh yang begitu besar (lihat Keputusan Ada Pada BCN). Data suplai cengkeh dari BPPC dan Departemen Pertanian memang sangat berbeda. Dalam seminar di Manado, Dirjen Perkebunan Rachmat Soebiapradja menyodorkan data suplai cengkeh (19851991) sebesar 465.699 ton. Itu sudah termasuk impor sebanyak 17.899 ton pada tahun 1985-1987. Sementara itu, data kebutuhan pabrik rokok, yang diperoleh

Departemen Pertanian dari Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), pada periode yang sama stok cengkeh berjumlah 436.651 ton. Praktis, kelebihan suplai cengkeh mestinya cuma sekitar 29.000 ton. Entah bagaimana, stok BPPC dikatakan tak kurang dari 170.000 ton. Pengusaha Probosutedjo, yang pernah menangani tata niaga cengkeh lewat PT Mercu Buana, meragukan data BPPC. "Saya kira perlu ada pihak yang memeriksa apakah benar stok cengkeh sebanyak itu ada di BPPC," ujar Probo, sebagaimana dikutip harian Suara Karya edisi 4 Maret 1992. "Silakan mengecek. Stok 170.000 ton itu ada di gudang. Angka itu hasil audit Sucofindo, bukan dari kami," ujar Sekretaris Jenderal BPPC, Jance Worotitjan, kepada Iwan Qodar Himawan dari TEMPO. Menurut Jance, semua kunci gudang BPPC dipegang PT Sucofindo (BUMN Departemen Perdagangan). Tampaknya, kebenaran dan kejelasan mengenai stok ini harus dituntaskan. Untuk itu, perlu ditunggu hasil Departemen Pertanian dan BPS. Tapi nasib petani cengkeh harus segera diperhatikan. Jika BPPC tak mampu lagi menampung cengkeh mereka, cepat atau lambat petani akan terjerumus dalam kondisi ekonomi yang rawan. Apalagi di hari-hari menjelang Idulfitri, yang jatuh 5 April mendatang. Sementara itu, seperti dikatakan oleh Jance, BPPC sedang digerogoti kesulitan uang tunai (cashflow). Lalu, adakah jalan keluarnya? Menurut Jance, BPPC terpaksa meminta suntikan KLBI lagi sekitar Rp 600 milyar atau mencari dana dari luar negeri. Tapi langkah ini agaknya tidak akan memecahkan masalah. Menurut pakar pemasaran Hernawan Kertajaya, kelemahan BPPC ada pada manajemennya. "Staffing, controlling, dan planningnya harus dibenahi secara menyeluruh," kata bekas manajer pemasaran HM Sampoerna yang kini menjabat ketua Asosiasi Manajemen di Surabaya ini. Selain itu, jiwa kewiraswastaan KUD-KUD perlu ditingkatkan. "Jangan hanya berproduksi tapi tak bisa menjual. Mereka harus dibina agar kuat dalam melakukan

tawar-menawar lawan pedagang," tambah Hernawan. Menteri Perdagangan Arifin Siregar kabarnya telah lima kali berusaha mempertemukan kubu BPPC dengan pabrik rokok, tapi gagal. Baru dalam seminar di Manado pihak pabrik kretek muncul. Di situ, salah satu gaya bisnis, yakni tawarmenawar, sudah dicoba oleh Ketua Gappri Soegiharto Prajogo. Dia mengusulkan, beberapa komponen harga cengkeh perlu dipangkas. Usul ini pernah dikemukakannya pada kesempatan lain, tapi tidak ditanggapi oleh BPPC. Toh, dalam seminar di Manado, Soegiharto mengulangnya. Katanya, harga cengkeh dari petani tetap dipertahankan (Rp 7.000-Rp 8.500 sesuai dengan mutu). Namun, dana penyertaan KUD di BPPC serta imbal jasa KUD yang ditentukan Rp 1.500 agar dipotong 50% menjadi Rp 750. Begitu pula biaya operasional yang Rp 70 diturunkan menjadi Rp 20 per kg. Sumbangan rehabilitasi cengkeh (SRC), yang Rp 500 mesti dihapus, karena cengkeh tak perlu dikembangkan lagi. BPPC boleh meminta imbal jasa Rp 500, tapi kutipan biaya kemasan Rp 50 perlu diturunkan menjadi Rp 10 per kg. Dengan demikian, harga pokok BPPC yang sekitar Rp 10.520 akan turun menjadi Rp 9.180 per kg. Adapun biaya penyusutan yang 3% dianggap tidak perlu. Sedangkan asuransi, bunga bank, serta biaya transportasi belum dipermasalahkan. Sikap Gappri yang bersedia tawarmenawar ini mestinya disambut BPPC secara terbuka. Jika BPPC masih merasa perlu bersikap pongah, tak mustahil Gappri akan terus bertahan dengan kiat-kiat yang tak kurang akal. "Saya sangat yakin, tujuan utama mereka adalah cari untung," kata seorang pejabat yang berkomentar tentang BPPC. Jika sinyalemen ini benar, maksud Pemerintah untuk menjadikan BPPC sebagai koperasi raksasa agaknya tak akan kesampaian. Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan, Dwi S. Irawanto, Linda Djalil, dan Biro Surabaya

Quote from local articles (translation):

- In this difficult time the farmer not only got low prices but also the trade was limited into maximum 100kg for each farmer. They were not allowed direct selling to the industry. They had to sell the clove only to BPPC. Most of the farmer decided to cut their hundreds of clove tree and change it with other commodities: nutmeg, vanilla, coffee, cinnamon etc. some of the farmer even decided to sell their plantation and looking for another job. This was the down fall of the clove farmer since the monopoly at the VOC era.After the soeharto, the government take out the monopoly law of the clove trading and let the market ruled the price. The price was getting better. At the 2001, the price reached 80,000 rupiah and even could reaches 100,000 rupiah. And nowadays the price could reach 125,000 rupiah.

Di masa-masa sulit ini, petani cengkeh bukan saja memperoleh harga

yang sangat menyakitkan nurani mereka, namun juga dibatasi jumlah

penjualannya hanya berkisar 100 kilogram perpetani dan tidak boleh

langsung ke pabrik, melainkan melalui mekanisme yang telah

ditetapkan BPPC. Akibatnya, tidak sedikit petani memilih menebang

ratusan pohon cengkeh mereka dan menggantinya dengan komoditas

pertanian lain semisal buah pala, vanilla, kopi, kayu manis, kayu

lawang, kelapa, dan lainnya. Lainnya, petani memilih menelantarkan

kebun cengkeh mereka bahkan menjualnya kepada orang lain

(pembeli umumnya dari luar desa) dan mencari pekerjaan utama yang

lebih menjanjikan. Inilah masa paling menyedihkan bagi petani

cengkeh sepanjang sejarah pertanian cengkeh sejak monopoli

cengkeh oleh VOC atau dalam rentang penjajahan pemerintah

kolonial Belanda.

Setalah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, BPPC pun bubar karena

penyangganya sudah runtuh. Harga cengkeh lalu mulai membaik

karena industri rokok segera dapat menambah stok cengkehnya

setelah sebelumnya dibatasi oleh BPPC. Pada tahun 2001, saat

Abdurrahman wahid terpilih sebagai presiden RI ke-4, sebuah

kebijakan untuk melindungi petani cengkeh melaui kebebasan

menjual cengkehnya kepada lebih banyak pembeli membuat harga

jual cengkeh meningkat tajam. Saat itu harganya mencapai Rp.

80,000,- bahkan dapat melebihi hingga harga Rp. 100,000,-. Inilah

rekor harga penjualan cengkeh tertinggi yang pernah dirasakan

petani.

Kasus Cengkeh Berhenti

October 17, 2008

 

KEJAKSAAN Agung bersiap menghentikan kasus dugaan korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Status tersangka Tommy Soeharto dan pencekalannya bakal dicabut. Alasan kejaksaan, BPPC telah melunasi utangnya kepada bank yang dulu mengucurkan kredit kepada mereka. Indonesia Corruption Watch bersiap mempradilankan putusan ini. Dari Sulawesi Utara, para petani mengancam akan mengajukan gugatan class action.SELEMBAR kertas disposisi dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Marwan Effendy melayang ke meja Direktur Penyidikan Muhamad Farela pertengahan September lalu. Isinya, meminta Farela segera “menindaklanjuti surat perintah penyidikan dengan surat perintah penghentian penyidikan.” Perintah Marwan ini ditujukan untuk kasus dugaan korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang

sebelumnya sudah menetapkan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soerharto) sebagai tersangka.Ini memang perkembangan terbaru dari kasus yang sebelumnya diduga bisa menggiring putra bungsu mantan Presiden Soeharto ke meja hijau. Kendati Farela belum “menindaklanjuti” surat Marwan, bisa dipastikan kasus ini bakal berakhir happy ending untuk Pangeran Cendana itu.Dihubungi Tempo Kamis pekan pekan lalu, Marwan menyatakan perintah penghentian tersebut telah ia konsultasikan dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji. “Prinsipnya beliau bisa menerima,” ujar Marwan. Keputusan ini, kata Marwan, diambil setelah Kejaksaan tidak menemukan kerugian negara dari praktek monopoli cengkeh yang sempat menghebohkan pabrik rokok dan petani cengkih pada 1990-an silam itu.Pengacara Tommy, Otto Cornelis Kaligis, menyambut girang rencana kejaksaan mencabut kasus cengkeh ini. “Sejak awal ini mengada-ada banget,” kata Kaligis.KASUS monopoli cengkeh ini bermula dari keluarnya Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1992 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992. Dua aturan itu menetapkan BPPC sebagai pemegang monopoli tata niaga bahan yang, antara lain, membuat nikmat rokok tersebut. Tugasnya di atas kertas mulia untuk membuat petani sejahtera: membeli, menjual dan mempertahankan persediaan cengkeh. Tommy Soeharto duduk sebagai pucuk tertinggi di badan cengkeh ini.BPPC sendiri terdiri dari tiga unsur, yakni koperasi (diwakili Induk Koperasi Unit Desa), Badan Usaha Milik Negara (diwakili PT Kerta Niaga), dan dari pihak swasta, PT Kembang Cengkih Nasional. Di perusahaan terakhir ini Tommy duduk jadi komisaris utama.Demi lancarnya tujuan Badan tersebut, pemerintah kemudian menggelontorkan dana sebesar Rp 759 miliar. Duit itu berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dikucurkan melalui Bank Bumi Daya sebanyak Rp 569 miliar dan kredit komersil Rp

190 miliar.Dalam prakteknya, ternyata Badan ini bukannya membuat para petani tersenyum, tapi sebaliknya, membuat mereka mengurut dada lantaran dibebani sejumlah pungutan. Antara lain, mereka diwajibkan menyetorkan sumbangan wajib khusus petani (SWKP) dan dana penyertaan modal (DPM). Untuk mengambil “sumbangan” ini BPPC menempuh cara yang tak bisa dilawan petani, yakni langsung menyunat harga penjualan cengkih yang mestinya diterima petani. Pabrik rokok juga diperintahkan membeli harga cengkeh yang ditetapkan BBPC. Dengan praktek seperti ini, diduga hingga 1998 BPPC menangguk untung sekitar Rp 1, 3 triliun.Kasus penyelewengan ala BPPC ini pernah dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Kejaksaan Agung pada 2000. Menurut sumber Tempo, antara lain berdasar laporan tersebut Jaksa Agung Marzuki saat itu membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Andi Andoyo Sucipto. Dari pengusutan itu tim mendapat hasil, Tommy “postitif” bisa menjadi tersangka. Tapi, sampai tim ini bubar pada 2002, ternyata status Tommy tetap sekadar “calon tersangka.”Lima tahun kemudian, kasus BPPC dibuka kembali. Kejaksaan mulai menyidik kasus ini lagi. Sedikitnya 17 saksi dipanggil. Di antaranya, sejumlah pemilik pabrik rokok, dua orang mantan Direktur Utama Bank Bumi Daya, Kodradi dan Surasa, dan mantan Ketua Inkud Nurdin Halid yang sedang menjalani hukuman dua tahun penjara di penjara Salemba karena tersandung korupsi distribusi minyak goreng.Kejaksaan juga menerjunkan delapan penyidik ke daerah “pusat bisnis BPPC” dulu, yakni, Sumatera Utara, Lampung, Maluku, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Dari situlah, tim penyidik menemukan indikasi penyelewengan kredit sebesar Rp 759 miliar tadi, yang mestinya digunakan membeli cengkeh milik petani.Dengan bukti di tangan inilah, pada 18 Juli 2007, Tommy

ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Undang-Undang Korupsi. “Dia menerima KLBI yang seharusnya disalurkan ke petani cengkeh, tapi sebagian tenyata tidak diserahkan, malah digunakan tersangka,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, saat itu. Menurut Hendarman, dana yang “tak diserahkan” itulah yang sedang diselidiki anak buahnya. “Ini yang akan kami cari kejelasan ke mana larinya uang itu.”Dua bulan kemudian, Tommy diperiksa kejaksaan. Selama tujuh jam, para jaksa memborbardir putra kesayangan Soeharto tersebut dengan 39 pertanyaan seputar Kredit Likuiditas Bank Indonesia, perlunasan utang, dan tata niaga cengkih.Kepada Jaksa Tommy berkukuh seluruh kewajiban BPPC telah selesai. BPPC, ujarnya, tidak menyalahgunakan kredit atau melakukan kesalahan penyaluran kredit ke petani. Saat itu Tommy menyodorkan Surat Keterangan Lunas dari Bank Indonesia Nomor 26/236/UKU/PMK tanggal 27 Oktober 1993. Surat yang diteken pejabat Bank Indonesia Djakaria dan Askadi itu ditujukan kepada direksi Bank Bumi Daya sebagai penyalur kredit ke BPPC. Begitu juga dengan kredit komersial, telah diselesaikan pada 15 Juli 1995.Adanya surat lunas itu ternyata tidak membuat kejaksaan gentar. Saat itu, Direktur Penyelidikan Muhammad Salim menegaskan yang dipermasalahkan Kejaksaan bukan soal lunas atau tidaknya kredit macet dalam pengucuran dana KLBI, tapi dugaan penyelewengan yang dilakukan BPPC terhadap KLBI. “Ini yang dipersoalkan penyidik,” kata Salim.Ternyata pendapat semacam ini belakangan dianulir. Dengan dasar “semua kewajiban BPPC sudah dikembalikan,” Kejaksaan kini bersiap menghentikan kasus itu. Alasan ini yang ditekankan Marwan. “Kita tidak boleh menggantung nasib orang,” ujar Marwan. Setelah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terbit, semua hak Tommy akan dipulihkan. Termasuk dicabutnya status cegah tangkalnya (cekal) yang berlaku hingga 8 Desember mendatang.Menurut sumber Tempo, kejaksaan mengambil sikap ini lantaran

yakin dalam kasus cengkeh, negara tidak menderita kerugian. Menurut Undang-Undang Korupsi 1971, yang dipakai kejaksaan menjerat Tommy, jika kerugian itu sudah dibayar, otomatis tidak ada tuntutan pidana. Undang-Undang ini memang berbeda dengan Undang-Undang Korupsi 2001 yang tidak serta membebaskan seseorang dari tuntutan pidana, kendati ia sudah melunasi kerugian negara. Nah, jika pun dalam hal ini BPPC melakukan penyelewengan penyaluran duit, ujar Marwan, yang harus menggugat adalah para petani.Sikap kejaksaan yang akan menutup kasus BPPC ini membuat Indonesia Corruption Watch berang. ICW kini bersiap mengajukan gugatan praperadilan ke kejaksaan lantaran lembaga itu mengeluarkan putusan yang dinilai merugikan negara dan petani. Di mata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Adnan Topan Husodo, kejaksaan tidak memiliki kewenangan menentukan ada tidaknya kerugian negara. “Itu domainnya auditor,” katanya. Kejaksaan, menurut Adnan, telah memilah kerugian itu dari kacamata mereka sendiri. Yakni, kerugian karena kredit likuiditas dan kerugian petani. “Kerugian petani tidak pernah dihitung,” kata Adnan.Kabar bakal dihentikannya kasus BPPC ini juga membuat masygul para petani cengkeh di Sulawesi Utara. Ketua Koperasi Unit Desa Maayaam, Minahasa Tenggara, Hanny Kindangen, misalnya, akan segera mengajukan gugatan class action begitu surat penghentian penyidikan resmi dikeluarkan. “Kami sangat kecewa,” ujarnya.Saat taring BPPC masih mencengkeram kuat petani, ujar Hanny, harga cengkeh petani yang satu kilogramnya seharusnya Rp 6.000 hanya dibayar Rp 4.000. Sisanya, menurut Hanny, dipakai modal BPPC. Menurut ketua koperasi ini, mestinya selisih dana milik petani yang terkumpul itu dikembalikan ke petani setelah BPPC bubar pada 1998. Di Sulawesi Utara sendiri, kata Hanny, tercatat Rp 90 miliar dana penyertaan modal yang belum dikembalikan BPPC ke petani. (Dimuat di Majalah Tempo, 13 Oktober 200)LRB/Rini Kustiani, Verrianto Madjowa.

Tempo Magazine: 11 juli 1992Let the clove flowers fallThis year, if you visiting the village in the North Sulawesi you’ll hear the voices calling “clove… clove … who wants clove… I sell it 3,000 rupiah a kg” That’s the voices of the clove farmer from their old pick up car.

11 JULI 1992 Biarkan bunga cengkeh berjatuhan PADA musim petik cengkeh kini, di banyak dusun di Sulawesi Utara, terdengar suara memanggil-manggil. "Cingke, cingke, siapa mau jual Rp 3.000 sekilo." Itulah tawaran yang dikumandangkan oleh seorang pedagang pengumpul cengkeh dari sebuah colt buntung, lengkap dengan alat penimbang dan karung-karung kosong. Dalam tata niaga cengkeh dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC) sebagai lembaga sentral, janggal sekali bila ada pedagang yang berani menyelusup sampai ke pelosok-pelosok sekalian memasang harga. Bukankah dalam tata niaga di bawah BPPC, pedagang sebagai salah satu mata rantai sudah digusur sama sekali. Kalaupun ada yang bertahan, itu masih dalam kaitan kerja sama dengan KUD, Inkud, dan Puskud. Hal lain yang juga menimbulkan tanda tanya adalah harga cengkeh Rp 3.000 per kg. Harga yang merendahkan derajat si emas cokelat itu, masih berlaku hingga pekan ini. Padahal, sudah sejak dua bulan lalu harga patokan cengkeh direhabilitasi. Waktu itu, karena BPPC sudah dianggap "tidak mampu mengatasi keadaan", pemerintah melakukan semacam revisi atas harga patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Harga patokan cengkeh, yang semula Rp 7.000 Rp 8.500 per kilo, diturunkan menjadi Rp 6.000 Rp 7.900. Namun dengan berbagai pertimbangan, harga itu tidak seluruhnya diterima petani cengkeh. Setelah dikurangi dengan penyertaan modal di KUD, plus dana tabungan yang "diharuskan" berjumlah Rp 1.900, para petani hanya akan memperoleh Rp 4.000 dari setiap kilo cengkeh kering yang mereka jual. Keputusan itu membuat banyak petani mengeluh. Bukan hanya laba akan berkurang. Tapi mereka harus menderita rugi yang lumayan, lantaran biaya produksi jauh lebih tinggi ketimbang harga jual yang dipatok pemerintah. Menurut perhitungan sebuah perguruan tinggi di Sulawesi, biaya produksi setiap kilo cengkeh kering mencapai Rp 4.800. Tapi kalkulasi

Departemen Pertanian lebih rendah, yakni Rp 3.500 sekilo. Apa yang terjadi kini, justru seperti melecehkan kalkulasi dan lebih dari itu, mengolok-olok tata niaga. Fungsi tata niaga sebenarnya adalah berupaya merekayasa agar harga cengkeh naik. Paling tidak, tersangga. Namun fakta menunjukkan sebaliknya. Harga justru meluncur ke nadir. Kalau sudah begini, kepada siapa petani cengkeh harus berpaling. BPPC, Inkud, atau Puskud? Atau siapa? Jika ada pedagang yang berani membeli dengan harga Rp 3.000 sekilo, seperti yang diteriakkan pedagang pengumpul pada awal cerita ini, nah, itu termasuk bagus. Memang, harganya Rp 1.000 di bawah harga patokan riil. Tapi masih jauh lebih baik dari harga obral yang terjadi seharihari di berbagai desa di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan juga Sulawesi Utara. Di sana, cengkeh tidak diperjualbelikan dengan harga kering, melainkan berdasarkan harga basah di atas pohon. Dan harganya itu, benarbenar mimpi buruk. Cengkeh basah di atas pohon hanya dihargai Rp 400 Rp 700 per kilo. "Panen cengkeh kali ini sama saja dengan panen air mata," kata Sakirman, petani dari Kecamatan Ngargoyoso, Jawa Tengah. Sakirman, seperti halnya petani lain di Ja-Teng, merasa sangat terpukul. Ia terpaksa menjual cengkehnya di atas pohon kepada para pedagang dengan harga Rp 600 sekilo. Habis, "Hingga saat ini KUD belum juga melakukan pembelian," ujarnya. Hingga Sabtu pekan lalu, KUD-KUD di Jawa Tengah belum juga memborong cengkeh. Alasannya? "Kredit dari BRI yang sudah ditandatangani 17 Juni lalu hingga kini belum juga cair," kata Soegiman, Ketua KUD Girimulyo, Kecamatan Ngargoyoso. Tak heran bila pada zaman sulit seperti sekarang, banyak petani yang malah berpaling ke pedagang keliling, yang notabene tetangga sekampungnya. "Mereka (para pedagang, maksudnya) memang memberikan harga yang sangat rendah. Tapi saat ini, hanya kepada merekalah kami bisa menjual," kata seorang petani. Dan dia sudah memperkirakan, para pedagang itu pasti kelak akan meraup keuntungan yang besar sekali. Maklum, selain menghargai cengkeh basah dengan Rp 600 sekilo, para tengkulak hanya membayar Rp 1.800 Rp 2.500 untuk cengkeh kering. Karena itu, banyak petani yang lebih suka menjual basah di atas pohon. Karena, jika dihitunghitung, menjual kering akan lebih besar ruginya ketimbang menjual basah. Namun perlu dicatat, perhitungan untung rugi seperti yang diuraikan di atas hanya dilakukan para petani yang terbilang kaya dengan kebun cengkeh 5 hektare ke atas. Lain lagi kelompok

petani yang hanya memiliki beberapa puluh pohon. Mereka lebih rela membiarkan bungabunga cengkeh berjatuhan sendiri. Alasannya, jika ditambah dengan ongkos petik Rp 125 per kilo kemudian dijual basah, maka kerugian yang diderita akan semakin besar. Keadaan itulah yang membuat Gubernur Jawa Tengah, Ismail, sangat prihatin.Sebagai salah satu upaya untuk mengatasinya, dua pekan lalu ia menyurati Badan Cengkeh Nasional agar segera membuat instruksi bagi BPPC untuk membeli cengkeh di Jawa Tengah. Tak jelas apakah BCN membalas surat Gubernur Ismail atau tidak. Yang pasti, harga cengkeh plus tata niaga telah membuat petani lebih menderita. Baik di Jawa Tengah maupun di Sulawesi Utara, keadaannya tak lebih baik. Bahkan, cengkeh basah hanya dihargai Rp 400. Namun, tantangan yang dihadapi petani Sul-Ut berbeda dengan yang dihadapi petani Jawa Tengah. Sejak pekan lalu, 40 KUD (seluruhnya ada 140) di SulUt telah aktif melakukan pembelian. Artinya, mereka telah memiliki likuiditas yang cukup untuk menyangga si emas cokelat. Namun, kesiapan para KUD itu tidak diumumkan secara terbuka. Justru para tengkulak tampak sibuk membeli di sana-sini. Seorang petani menceritakan bahwa sebagian besar pedagang yang melakukan pembelian itu selalu didampingi seorang petugas dari KUD. "Dengan cara itu, seolah-olah mereka menegaskan bahwa KUD tak punya duit,"tuturnya Dan tak banyak petani yang mengecek langsung likuiditas KUD di daerah masing-masing. Malah mereka lebih suka mengambil jalan pintas, yakni menjual cengkeh di pohon dengan harga Rp 200. Di SulUt harga pasaran cengkeh pohon, memang jatuhnya rata-rata Rp 400 sekilo. Tapi dengan Rp 200 masuk kocek petani, maka itu sudah paling baik. Menurut Simon Purukan, petani dari desa Tinoor, dengan sistim bagi hasil (50 : 50), pendapatan bersih setiap kilo yang diperolehnya Rp 200. Jika dipetik sendiri, setelah mengeluarkan ongkos petik, uang makan, plus uang rokok, hasil bersihnya hanya Rp 145. Lantas kenapa tak menjual ke KUD? Petani seperti Simon, terlihat apatis menghadapi lembaga yang satu ini. "Buat apa repot-repot jual ke koperasi. Mereka membeli dengan jumlah terbatas (sesuai dengan jatah). Harganya juga belum tentu lebih baik," begitu komentarnya. Apalagi bulan Juni, banyak petani yang membutuhkan uang kontan dengan segera untuk memenuhi biaya sekolah anak-anaknya. Ternyata, hampir sebagian besar KUD di Sul-Ut mematok harga beli tertinggi Rp 3.500 sekilo. Atau Rp 500 di bawah harga patokan yang baru. Itu untuk cengkeh kering

kualitas terbaik. Alasannya, menurut seorang pengurus KUD di sana, karena imbal jasa KUD yang Rp 250 per kilo sangat tidak memadai. Pengalaman kami, biaya operasional yang harus dikeluarkan hingga cengkeh tiba di gudang BPPC jatuhnya juga Rp 250 per kilo. "Kalau kami membeli berdasarkan harga patokan, mana keuntungan buat koperasi," kata seorang Ketua KUD. Kebijaksanaan ini jelas melanggar peraturan tata niaga, tapi seorang pengurus Puskud di SulUt membenarkannya. Kata pengurus ini, pembelian cengkeh di bawah harga patokan bukan masalah, jika sudah ada kata mufakat antara KUD dan petani sebagai anggotanya. Mengapa orang koperasi bisa bersikap demikian? Lantas, apa artinya tata niaga cengkeh yang sampai kini masih resmi berlaku? Atau apakah ini indikasi bahwa KUD sebentar lagi akan mengambil alih peran BPPC? Dan apa kabar BPPC. Apakah masih berusaha menyangga cengkeh atau lebih suka memungut feenya saja? Budi Kusumah, Phill M. Sulu, dan Heddy Lugito

BPPC – Tommy Soeharto VS GAPPRISebagai tanaman yang mengiurkan bagaikan emas pertanian,

cengkeh tiada henti menjadi incaran monopoli pembelian. Monopoli perdangangan cengkeh dan permainan harga (mekanisme pasar) telah membawa implikasi terhadap anjloknya harga cengkeh ditingkat petani dan keuntungan besar di pembeli pesar, tengkulak pedagang, sampai perusahaan. Era Orde Baru dengan sistem tata niaga cengkeh-mulai dari versi Keppres Nomor 50 Tahun 1979 kemudian Keppres Nomor 8 Tahun 1980. Setelah dua Kepres tersebut, belum hilang dari ingatan kita, ketika Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) mendirikan badan kontrovesi tata niaga – penyangga cengkeh nasional atau yang dikenal dengan Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC) 28 Desember 1990 (beroperasi 1990 sampai dengan 1998). Keputusan pendirian BPPC oleh sebagian kalangan dinilai ”wajar” karena bisnis cengkeh memang menggiurkan. Tidak kurang dari 80.000 ton cengkeh dibutuhkan oleh pabrik rokok, perusahaan kimia dan obat-obatan. Walau akhirnya harga cengkeh di tingkat petani anjlok

Pendirian BBPC juga disebabkan adanya monopoli pembelian oleh para tengkulak-tengkulak Cina yang dipimpin oleh Tjia Eng Tek sejak era 80-an. Tengkulak-tengkulak Cina

bersama dengan Gabungan Perusahaan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) terdiri dari 4 pemilik pabrik rokok terbesar (Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan Bentoel) menguasai 80-90 persen perdagangan rokok di Indonesia. Alhasil Para pedagang hasil bumi yang umumnya berasal dari kepulauan Sulawesi dan Maluku yang sudah menjadi rival dengan GAPPRI sulit menjual cengkeh dan tidak mampu berbuat apa-apa, oleh karena pabrik-pabrik rokok besar tersebut langsung membeli cengkeh dari petani dan koperasi.

Para pedagang pribumi akhirnya merangkul Tommy Soeharto untuk membentuk sebuah konsorsium, dengan imbalan PT Bina Reksa Dana (milik Tommy) sebagai pimpinan korsorsiumnya. Namun kenyataannya kongsi itu tidak mampu melawan hegemoni raksasa pabrik pembelian rokok, bahkan kiprahnya membuat harga cengkeh justru anjlok menjadi hanya 2-3 dolar AS (saat itu kurs dolar AS masih di bawah Rp 2.000). Padahal sebuah BUMN PT Kerta Niaga mematok harga dasar pembelian cengkeh ke petani sebesar 3,5 dolar AS.

Januari 1990, Tommy meminta kepada Menperindag (kala itu dijabat Hartarto) untuk menggantikan peran PT Kerta Niaga, yang menurutnya inefisien, dengan suatu sistem tata niaga. Tata niaga cengkeh dalam kerangka pemikiran Tommy akan menjadi pembeli tunggal hasil panen cengkeh dari petani dan koperasi. Tommy berjanji akan membeli cengkeh dari petani sebesar 3,5-4 dolar AS per kilogram dan menjual kepada pabrik rokok 6-7 dolar AS per kilo. Diharapkan tata niaga akan mengantongi selisih laba 100 juta dolar AS per tahun.

Langkah Tommy kemudian dibalas oleh GAPPRI dengan meyakinkan pemerintah bahwa dengan naiknya harga cengkeh, akan memangkas angka penjualan rokok yang sama artinya dengan menambah biaya produksi dan mengurangi pendapatan pajak cukai kepada pemerintah.Ternyata pemerintah ”memihak” kepada Tommy. Melalui Menteri Perdagangan saat itu, pemerintah memberi lampu hijau kepada Tommy untuk membentuk tata niaga cengkeh.

Saat itu, BPPC yang didukung oleh para tengkulak cengkeh, PT Kerta Niaga dan beberapa koperasi, memiliki cadangan cengkeh sebanyak 90.000 ton. Langkah ini kontan ditolak

GAPPRI yang menganggap monopoli cengkeh bertentangan dengan deregulasi yang sedang digalakkan. Pernyataan GAPPRI mendapat dukungan Bank Dunia dan ekonom Indonesia sendiri. Sementara pembelian cengkeh terus dilakukan BPPC, harga cengkeh tidak beranjak dari 3 dolar AS per kilo, bahkan di beberapa tempat kurang dari itu. Stok cengkeh di gudang BPPC terakumulasi 207.000 ton hingga 1991, padahal yang terjual hanya 37.000 ton saja. Untuk mendongkrak harga, BPPC mengeluarkan usulan kontroversial yaitu menyarankan kepada petani untuk membakar separo dari stok yang dimiliki.

Pertikaian komoditas cengkeh antara Tommy dengan GAPPRI yang didukung tengkulak-tengkulak Cina, tidak lain karena keuntungan yang mengiurkan. Cengkeh menjadi komoditas yang sangat penting, karena merupakan salah satu bahan rokok kretek. Total penjualan rokok di Indonesia mencapai 3 milyar dolar AS per tahun. Bila seperempat saja penduduk Indonesia yang (waktu itu) berjumlah sekitar 180 juta jiwa, adalah perokok, dan 90 persen di antaranya penyuka rokok kretek, maka bisa dibayangkan berapa banyak uang yang berputar dalam bisnis cengkeh. Cengkeh memakan 30 persen total biaya produksi rokok kretek.

Harga Cengkeh Pasca BPPC – Era ReformasiKetika BPPC bubar ssat runtuh rezim Orde Baru lewat

reformasi 1998, praktis GAPPRI merupakan satu-satunya pemaian pasar, penguasa tunggal pembelian dan penentu harga cengkeh nasional. Kompas (KCM), 2 Juli 2002 menurunkan berita, Derita Petani Cengkeh Datang Lagi, menulis cengkeh sampai 2001 sempat menembus harga sekitar Rp 85.000 per kg tiba-tiba “terjun bebas” menjadi Rp 24.000 per kg (harga ini dicatat tanggal 1/7/2002 di Manado).

Merosotnya harga beli cengkeh disebabkan oleh dua kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap petani. Pertama, penetapan kenaikan cukai sebanyak 40 persen, dari Rp 15 trilyun lebih (2001) menjadi sekitar Rp 23 trilyun pada tahun 2002, dan target 2002 sekitar Rp 27 trilyun. Naiknya cukai keretek sebesar 40 persen oleh industri keretek disambut dengan pengurangan produksi sebanyak 40 persen. Artinya, kata Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Indonesia Ismanu Soemiran, akibat tekanan naiknya cukai,

terjadi kehilangan potensi produksi sebanyak 40 persen.Padahal hasil wawancara Kompas Jumat (28/6/2002), terhadap

petani Manado – Minahasa saat itu harga jual cengkeh di Manado, sebesar Rp 24.000 per kg yang diperoleh petani hari itu jauh berada di bawah harga titik impas. Berdasarkan kalkulasi rasional, harga titik impas satu kg cengkeh adalah pada angka Rp 45.000 per kg. Angka itu diperoleh dari akumulasi ongkos pemeliharaan dan perawatan kebun, termasuk pemupukan, kemudian biaya panen hingga cengkeh siap jual, minimal Rp 20.000 per kg.

Namun demikian penurunan harga cengkeh yang disebabkan oleh kenaikkan cukai rokok dibantah oleh Junaedy Direktur Cukai, Dirjen Bea & Cukai saat itu dihadapan Petani Cengkeh Sulawesi Utara. Pembicaraan Junaedy tersebut sekaligus membantah pernyataan ketua GAPPRI Ismanu Soemiran, yang mengatakan bahwa harga cengkih turun akibat naiknya harga cukai. Menurut beliau, selama tahun 2002 tidak ada kenaikan cukai. Kalaupun ada kenaikan cukai, itu harus dibebankan kepada konsumen bukan kepada petani cengkih. Kalau melihat hukum ekonomi, tidak mungkin harga cengkih menurun drastis, kecuali ada pihak lain yang memanipulasi harga cengkih. Selama tahun 2002, terjadi kenaikan harga rokok dengan asumsi kenaikan harga cengkih dan tembakau. Sebaliknya yang terjadi adalah penurunan harga cengkih. Jadi gejala ini tidak masuk akal dan jelas merugikan petani cengkeh. (Berita Sulut, 2 Juli 2002)..

Walau demikian upaya memperjuangan kestabilan harga jual cengkeh terus dilakukan. Tempo, 24 Juni 2006 yang dimuat dalam jaga-jaga.com, Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) menemui pemerintah pusat pejabat Departemen Perindustrian dan Perdagangan menuntut komitmen pemerintah melindungi petani cengkeh. Mereka juga minta pemerintah untuk membantu menstabilkan harga. Melalui Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Soetardjo, saat ini harga cengkeh melorot hingga ke kisaran Rp 13.500 per kilogram. Bahkan, menurut Soetardjo, karena harganya terlalu anjlok, ada sekitar 10 persen cengkeh petani yang tidak dipanen. Soetardjo, meminta dukungan pemerintah untuk melindungi petani. Sebab, untuk ongkos produksi setiap kilogram cengkeh, minimal kami mengeluarkan biaya sebesar Rp 25 ribu.

Untuk itu, APCI mendesak pemerintah untuk segera mengucurkan dana talangan. Sebelumnya, beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Departemen Keuangan telah menyetujui penyediaan dana talangan untuk membeli cengkeh dari petani saat harganya jatuh. Kebijakan ini memang belum dibahas secara detail pelaksanaan teknisnya. Dana tersebut sifatnya hanya sementara agar dalam waktu cepat pemerintah bisa membayar terlebih dahulu produksi cengkeh yang akhirnya nanti akan terserap oleh pabrik rokok. “Ya kami berupaya menjajaki kemungkinan pelaksanaan operasi pembelian cengkeh nasional yang nantinya disimpan sebagai stok nasional”, kata Soetardjo.

Menurut Soetardjo, pembelian ini menggunakan dana talangan pembelian cengkeh dari Lembaga Perbankan Internasional. Dana talangan ini, dijadikan sebagai agunan cair (cash collateral) operasional pembelian cengkeh. Hal ini sudah menjadi kesepakatan anggota APCI dalam Rapat Kerja Nasional II asosiasi ini yang baru dilakukan 8-10 Desember 2006.

Usulan APCI, dana talangan itu nantinya akan dialokasikan ke masing-masing daerah penghasil cengkeh secara proporsional. Kemudian pelaksanaannya bekerjasama dengan APCI daerah dengan memanfaatkan jasa bank Pembangunan Daerah. Selain itu, Soetardjo mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membentuk Dewan Cengkeh Nasional. “Dewan ini berperan sebagai penentu kebijakan industri cengkeh secara integral, berupaya untuk dapat mengkaji tingkat harga jual cengkeh yang layak pada setiap simpul tata niaga. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi (Pemerintahan Megawati) mengatakan pemerintah tengah berupaya menetapkan harga jual cengkeh. Harga jual ini harus mempertimbangkan petani dan juga produsen rokok sebagai penyerap terbesar komoditas pertanian ini. (Tempo, 10/12/2003)

Sinar Harapan, (Jum’at, 8/62005), memberitakan beberapa perusahaan produsen rokok besar seperti PT Djarum, PT Gudang Garam, dan PT HM Sampoerna bersama Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia) telah menandatangani kesepakatan untuk membeli harga cengkeh petani pada harga Rp 30.000 per kilogram, apabila

harga cengkeh di pasar jatuh di bawah Rp 30.000 per kilogram. Jika harga cengkeh di atas Rp 30.000 per kilogram, kedua bela pihak menyerahkan kepada mekanisme pasar. Namun kenyataan sentra produksi cengkeh di Sulawesi Utara dan Indonesia Timur Maluku, misalnya harga per kilogram masih berkisar antara Rp. 28.000,- hingga Rp. 28.500,-.

Ditahun 2006, satu kilogram cengkeh dihargai Rp 25.000. Di saat panen, harga menjadi Rp 7.500 per kilogram. Akibatnya terhitung sejak konflik kemanusiaan 1999, sudah 80.000 pohon cengkeh milik masyarakat ditebang. Penebangan umumnya terjadi di sentra perkebunan cengkeh Maluku, seperti Pulau Haruku dan Taniwel di Seram Bagian Barat (SBB). Di Pulau Haruku, 53.144 pohon cengkeh ditebang di Desa Pelauw dan Ory, sedangkan di Desa Lisabata, Kecamatan Taniwel, SBB, ditebang sekitar 30.000 pohon.

Akibatnya petani Maluku (misalnya di kecamatan Leihitu sebagai salah satu sentra produksi pala maluku) bertahan dengan tanaman Pala. Selain harga lebih stabil, pala dapat dipanen tiga kali setahun. Pala kualitas nomor satu dihargai Rp 35.000, - Rp 40.000, sedangkan pala kualitas nomor dua Rp 30.000 per kilogram. Harga fuli atau kulit biji pala yang digunakan sebagai bahan pengharum, Rp 50.000, -Rp 60.000, per kilogram. (KCM, 9/3/2006).

Diposkan oleh Rusdi Abidin di 04:57