chapter ii_5.pdf

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. BELL’S PALSY ll.1.1. Definisi BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009). II.1.2. Epidemiologi Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan Universitas Sumatera Utara

Upload: parmadikomalajaya

Post on 15-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1. BELLS PALSY

    ll.1.1. Definisi

    BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral

    karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan

    penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang

    terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).

    II.1.2. Epidemiologi

    Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling

    sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden

    bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini

    tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden

    tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.

    Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).

    Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden

    meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).

    Sebanyak 5-10% kasus Bells palsy adalah penderita diabetes mellitus.

    (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bells palsy jarang ditemukan pada

    anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri

    wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi

    dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi

    dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).

    Adanya riwayat keluarga

    positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bells palsy (Kubik dkk, 2012)

    Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap

    500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah

    rnenemukan jumlah pasien Bells palsy sebanyak 381 orang, dengan

    insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.

    ll.1.3. Anatomi Saraf Fasialis

    Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar

    saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius

    (lebih kecil dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus

    fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot

    ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius

    anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,

    submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-

    serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan

    aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2)

    (Monkhouse 2006).

    Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan

    berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan

    saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki

    panjang 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan

    perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis

    Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

    Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

    Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

    Universitas Sumatera Utara

  • Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)

    memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang

    berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara

    vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena

    kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68

    mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering

    menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul

    cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal.

    Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa

    cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum

    dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung

    kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

    Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang

    dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan

    percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke

    arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang

    terletak 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani

    merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati

    membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu

    membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk

    bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga

    anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B). Gambar 3. Saraf fasialis

    Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2nd Edition. Lippincott Williams&Wilkins. Batimore

    Universitas Sumatera Utara

  • Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar

    sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk

    pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam

    ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus

    solitarius (gambar 4) (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

    Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

    Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis

    membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi

    m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari

    meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid.

    Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok

    (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular

    dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari

    Universitas Sumatera Utara

  • kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya

    m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma

    (Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

    Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial Dikutip dari: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge University Press. New York. II.1.4. Etiopatogenesis

    Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada

    ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan

    demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada

    persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf

    secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).

    Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan

    penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga

    sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik vaskular,

    imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg

    2009; Kanerva 2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf

    fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama

    perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi

    dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini

    merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan

    Bells palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah

    diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian eksperimental

    pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit

    pada pasien Bells palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bells

    palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf

    perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan

    imunoterapi lainnya (Berg 2009).

    Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung

    merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan

    terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal

    tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan

    Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian

    randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus

    tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan

    lengkap pada pasien Bells palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam

    mengobati pasien Bells palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya

    penyebab Bells palsy yang lain (Lockhart dkk, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab

    Bells palsy, terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau

    kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal

    dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah

    berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeIIs

    palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen

    (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai

    penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

    II.1.5. Patofisiologi

    Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000

    serabut tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai

    otot- otot wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai

    secara terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May 2000).

    Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat

    mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan

    kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan

    yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama

    dapat terjadi pada Bells palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat

    keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat

    gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi

    selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau

    dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan

    cepat. Pada Bells palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan

    Universitas Sumatera Utara

  • trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10

    hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada

    tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun

    hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bells palsy dan herpes

    zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma,

    kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan

    kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural

    tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada

    derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube

    telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan

    prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima,

    penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1)

    (May 2000)

    Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan

    mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier

    (2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis

    daripada akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari

    akson- akson yang menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang

    denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor

    unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini,

    dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter (May 2000).

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf fasialis

    Derajat Trauma Patologi Trauma Neurobiologi Saraf

    Onset

    Klinis Perbaikan HB grading system - Kesembuhan Spontan

    1

    Kompresi. Aksoplasma menggembung. Tidak ada perubahan morfologi (neuropraksia)

    Tidak ada perubahan morfologi 1-4 minggu Grade 1 : lengkap: tidak dijumpai regenerasi yang salah

    2

    Kompresi menetap. Tekanan intraneural meningkat. Kehilangan akson tetapi endoneural tube masih intak (aksonometsis)

    Akson- akson tumbuh ke dalam tabung myelin kosong yang intak pada kecepatan 1 mm/ hari yang memungkinkan kesembuhan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan derajat 1, lebih sedikit sembuh lengkap karena beberapa serabut mengalami derajat 3

    1-2 bulan

    Grade II: agak baik: beberapa perbedaan pada gerakan volunter dan gerakan spontan. Sedikit ditemukan regenerasi yang salah

    3 Tekanan intraneural meningkat. Kehilangan myelin (neurometsis)

    Dengan hilangnya tabung myelin, akson- akson baru memiliki kesempatan untuk bercampur dan membelah menyebabkan terjadinya gerakan mulut sewaktu menutup mata, yang disebut sinkinesia.

    2-4 bulan

    Grade lll-IV: sedang- buruk: tampak penyembuhan tidak lengkap hingga deformitas yang lemah dengan komplikasi sedang hingga bermakna dari regenerasi yang salah

    4 Derajat 3 + gangguan pada perineurium (transeksi parsial)

    Selain gangguan yang terjadi pada derajat 2 dan 3, sekarang akson- akson dihambat oleh skar yang memperburuk regenerasi 4-18 bulan Grade V: gerakan hampir tidak tampak

    5 Derajat 4 + kerusakan pada epineurium (transeksi lengkap)

    Kerusakan lengkap dengan skar mengisi celah menjadi suatu penghalang yang tidak dapat diatasi hingga pertumbuhan kembali akson- akson dan anastomosis kembali neuromuskular.

    Tidak terjadi kesembuhan Grade VI: tidak ada

    Dikutip dari: May, M. 1986. Disorders of facial nerve. In: May, M (ed). The Facial Nerve. Thieme. New York

    Universitas Sumatera Utara

  • Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut

    dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain

    dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi

    perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan

    terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang

    otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel.

    Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi

    pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut

    mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).

    ll.1.6. Gambaran Klinis

    Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang

    biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi,

    tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju

    otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik

    termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar

    lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada

    du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).

    Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah

    unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering

    termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata,

    dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's

    phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang

    sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau

    Universitas Sumatera Utara

  • berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal

    dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga menyebutkan

    tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien

    BeIls palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien

    Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah

    (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis

    (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).

    II.1.7. Diagnosis

    Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci

    dalam mendiagnosis Bells palsy (Garg dkk, 2012).

    ll.1.7.1. Anamnesis

    Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan

    penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting

    ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang

    menyerupai. Pada Bells palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral

    pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan

    dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis

    maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk, 2412; May dkk,

    1987).

    ll.1.7.2 Pemeriksaan Fisik

    Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi

    saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP

    (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya

    Universitas Sumatera Utara

  • perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi

    yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak

    dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang-

    kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar

    6) (Tiemstra dkk, 2007).

    Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan

    pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat

    sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis

    fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini

    dikarenakan:

    Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi,

    mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson-

    akson untuk mencapai terminalnya.

    Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara

    tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat

    mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang

    beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.

    Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat

    terjadi pada waktu yang berbeda- beda.

    Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak

    sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk,

    2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi

    supranuklear Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bells palsy; Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002

    Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit

    lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan

    adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid,

    kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan

    tersebut, dan bukan suatu Bells palsy (May dkk, 1987).

    Universitas Sumatera Utara

  • Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan

    penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan

    berikut dapat dianjurkan, seperti:

    1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance

    lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada

    perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan

    perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis

    anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan

    pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga

    karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.

    2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes

    audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

    3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan

    sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012

    Ronthal dkk, 2012).

    ll.1.7.3 Kriteria Diagnosis

    II.1.7.3.1 Menurut Taverner (1954 ):

    A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi

    wajah

    B. Onset yang tiba- tiba

    C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)

    D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine

    angle (Musani dkk, 2009; May 2000).

    Universitas Sumatera Utara

  • II.1.7.3.2 Menurut Ronthal dkk (2012):

    A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang

    digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau

    tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau

    sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.

    B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit

    progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3

    minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan

    penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.

    II.1.8 Diagnosa Banding

    Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang

    identik dengan Bells palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang

    membedakannya dari Bells palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit

    tersebut adalah:

    1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti

    cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki

    perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat

    dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa

    ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari

    saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif

    atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk,

    1987).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Guillain Barre Syndrome (GBS)

    Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati

    inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis

    bilateral dapat dijumpai pada 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah

    kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks

    tendon negatif pada daerah yang terlibat (May 2000).

    3. Lyme disease

    Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar

    dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis

    yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah

    tertentu, seperti di negara- negara bagian utara dan timur Amerika

    Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di

    Califomia atau Oregon selama musim panas dan bulan- bulan

    pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi

    geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali

    dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva

    2008).

    4. Otitis media

    Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri

    telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).

    5. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)

    Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal

    nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan

    Universitas Sumatera Utara

  • faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan

    klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau

    keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).

    6. Sarcoidosis

    Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral

    dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal

    yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ.

    Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi

    jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).

    7. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS)

    Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala

    edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua

    plicata (fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang

    selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing-

    masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai

    pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade

    kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang

    terjadi secara bersamaan (May 2000).

    II.1.9. Perbaikan Klinis

    Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik.

    Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan

    klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan

    perbaikan yang lambat memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan

    Universitas Sumatera Utara

  • klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan

    sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan

    terjadi sekitar 61% (Teixeira dkk, 2012).

    Perbaikan klinis pasien Bells palsy dapat dinilai dengan mudah

    dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system

    merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf

    fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari

    gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan

    membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah

    diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading system, Sunnybrook

    scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari ketiga sistem

    ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian,

    terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House

    Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American

    Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan.

    Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi

    dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (tabel 2) (Berg

    2009).

    Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada

    tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot

    fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor

    maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3),

    paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis total (0). Sistem

    Universitas Sumatera Utara

  • skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan

    sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi

    saraf fasial pada Bells palsy, herpes zoster oticus, dan follow up

    pembedahan neuroma akustikus (tabel 3) (Berg 2009).

    Tabel 2. House Brackmann Facial grading system

    Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

    Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the

    Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem

    regional berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris

    Universitas Sumatera Utara

  • saat gerakan volunter, dan efek sekunder (sinkinesia) untuk menghasilkan

    skor gabungan maksimal 100 (tabel 4) (Kanerva 2008).

    Tabel 3. Yanagihara facial grading system

    Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala. Tabel 4. Sunnybrook facial grading system

    Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.

    Universitas Sumatera Utara

  • II.1.10.PENGOBATAN

    Karena etiologi Bells palsy belum jelas, beberapa pengobatan

    yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bells

    palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi

    fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema

    dan kompresi saraf (Axelsson 2013).

    II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA

    Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada

    pasien Bells palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis

    kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bells

    palsy adalah golongan prednisolon.

    II.1.10.1.1. Anti Virus

    Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan

    dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bells palsy.

    Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf

    fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah

    digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan

    prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari.

    Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari

    karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan

    menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini

    digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan

    konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF (Marsk, 2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus

    pada Bells palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang

    mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan

    bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan

    dengan plasebo pada pengobatan Bells palsy. Empat studi tidak

    menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan

    dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon asiklovir/ valasiklovir.

    Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan

    manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya

    melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovir/valasiklovir

    dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind

    (Marsk, 2012).

    II.1.10.1.2 Metil Prednisolon

    Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari

    prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama

    seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama

    untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya (Katzung 2003).

    II.1.10.1.2.1. Farmakokinetik

    Steroid secara farmasi disintesis dari cholic acid (yang diperoleh

    dari sapi) atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin

    yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae.

    Metil prednisolon memiliki nama kimia pregna -1,4-diene-3,20-dione,

    Universitas Sumatera Utara

  • 11,17,21-trihydroxy-6-methyl- (6,11) dan berat molekul 374,48. Secara

    struktural digambarkan dalam gambar 7.

    Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon

    Dikutip dari : http://www.rxlist.com/medrol-drug.htm

    Metil prednisolon bersama dengan steroid sintetik lainnya

    diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila diberikan melalui mulut.

    Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang

    sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap

    dijumpai. Perubahan pada molekul glukokortikoid mempengaruhi

    aktivitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. Seperti aktivitasnya dalam

    mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan ekskresinya, dan

    produk metaboliknya. Halogenasi pada posisi 9, lepasnya ikatan 1-2 dari

    cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang waktu paruh

    lebih dari 50%. Gabungan 1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada

    beberapa kasus, obat diberikan adalah prodrug. Contohnya prednison,

    yang dengan cepat dikonversi menjadi produk aktif prednisolon di dalam

    tubuh (Katzung 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • II.1.10.1.2.2. Farmakodinamik

    A. Mekanisme kerja

    Kerja steroid sintetik sama dengan steroid alami (kortisol), yang

    diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein-

    protein ini merupakan anggota dari superfamily reseptor inti termasuk

    steroid, sterol (vitamin D), tiroid, retinoic acid, dan banyak reseptor

    lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui (orphan

    receptor). Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil,

    termasuk dua molekul heat shock protein (Hsp90). Kompleks reseptor ini

    dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam

    darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin (CBG), namun

    memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan

    dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang

    tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas.

    Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan

    glucocorticoid response element (GRE) pada promoter gen. Glucocorticoid

    response element (GRE) dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat

    receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur

    transkripsi oleh Ribonucleic acid (RNA) polymerase dan faktor- faktor

    lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger (m) RNA yang

    dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein

    (gambar 8) (Katzung 2003; Lullman dkk, 2000).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 8. Mekanisme kerja steroid

    Dikutip dari: Katzung, B.G. 2003. Clinical Pharmaacology. 9th edition. Mc Graw Hill Companies, Inc. B. Efek anti inflamasi dan imunosupresif

    Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan

    imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui

    pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari

    leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan

    chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari

    inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada

    jaringan yang terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks

    interaksi antara molekul adhesi lekosit dengan molekul- molekul pada sel

    endotel dan dihambat oleh glukokortikoid (Lullman dkk, 2000).

    Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen

    presenting cells (APCs) lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • merespon antigen dan mitogen dikurangi. Efek pada makrofag terutama

    bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan

    membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis

    factor (TNF-), interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen

    activator. Makrofag dan limfosit manghasilkan interleukin-12 dan interferon

    yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T helper 1 dan lmunitas

    selluler (Lullman dkk, 2000). .

    Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi

    respon inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan

    sintesa dari platelet activating factor yarg merupakan hasil dari

    pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi

    cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah

    enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin (gambar 9)

    (Lullman dkk, 2000)

    C. Efek Samping dan Kontraindikasi

    Pada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek

    samping, bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada

    penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat menyebabkan tanda

    dan gejala cushing's syndrome (akibat produksi berlebihan dari kortisol).

    Akibat kerja anti inflamasi, dapat menyebabkan menurunnya resistensi

    terhadap infeksi, lambatnya penyembuhan luka, memperburuk

    penyembuhan ulkus peptik. Akibat kerja glukokortikoid terjadi

    glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta

    Universitas Sumatera Utara

  • katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis,

    retardasi pertumbuhan pada bayi, atrofi kulit. Akibat kerja

    mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan

    (hipertensi, edema) dan kehilangan KCI dengan hipokalemia (Lullman H

    dkk, 2000). Kontraindikasi bila dijumpai tanda- tanda infeksi, kehamilan,

    ulkus peptikum, dan hipertensi berat (Gomella dkk, 2008; Lagalla dkk,

    2002).

    Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi Dikutip dari: Kumar, V.,Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Professional Edition. 8th ed. Saunders. Elsivier, lnc

    D. Prednisolon pada Bells palsy

    Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau

    prednisolon) pada Bells palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun

    Universitas Sumatera Utara

  • 1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid

    berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang

    salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008).

    Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam

    pengobatan BeIIs palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh

    Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari

    selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan

    total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah

    onset Bells palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada

    1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis

    menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann (HB) grading

    system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

    pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek

    untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik

    (kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak

    mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk

    (2007) yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali

    sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset.

    Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system.

    Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon

    memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna

    sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75%

    pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon (Marsk 2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan

    Gronseth dkk (2012) menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian

    kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bells palsy dan tidak

    didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi

    kortikosteroid tersebut (Marsk 2012).

    II.1.10.2. BEDAH

    Bedah dekompresi untuk Bells palsy dimulai pada tahun 1930.

    Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk

    mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya

    resiko komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran,

    dizziness, dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan

    pentingnya dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari

    saraf, dan menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome.

    Sementara May menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan

    pada pasien- pasien yang diobati secara bedah yang menggunakan

    pendekatan transmastoid (Axelsson 2013).

    Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji

    dengan 69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled

    trials tidak cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah.

    Pengobatan ini tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih

    dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Swiss

    (Axelsson 2013).

    Universitas Sumatera Utara

  • II.1.10.3. REHABILITASI FISIK KABAT

    A. Prinsip

    Rehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya proprioceptive

    neuromuscular facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi

    yang mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan

    teknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan

    memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah

    secara luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun

    1940 dan 1950 oleh Kabat, Knott dan Voss (Keisner dkk, 2007).

    Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan

    ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular

    dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk

    pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan

    rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan (teknik

    neuromuskular cocok) hingga ke fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal

    dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal).

    Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan

    petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon

    motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok

    otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan

    reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF

    rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan stabilitas dinamik (Keisner

    dkk, 2007).

    B. Teknik

    Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan

    gangguan muskoloskletal (ekstremitas, leher, tubuh) dan wajah. Pada

    wajah, secara rasional teknik ini dapat digunakan karena serabut- serabut

    ototnya paling banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu

    penyebaran yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi

    saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini, terdapat tiga fulcra yang

    diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah. Fulcra atas (dahi dan mata)

    dihubungkan melalui suatu aksis vertikal menuju fulcra pertengahan

    (hidung), sedangkan fulcra yang lebih bawah (mulut) untuk mengunyah

    dan artikulasi terletak disepanjang aksis horizontal. Karenanya, kerja

    fulcra atas wajah juga melibatkan 2 fulcra lainnya (Barbara dkk, 2010).

    Selama rehabilitasi, terapis memfasilitasi kontraksi neuromuskular

    dari otot yang terganggu dengan menerapkan suatu regangan yang global

    kemudian tahanan pada keseluruhan atot dan memotivasi kerja dengan

    input verbal dan kontak manual. Pada fulcra atas, pengaktifan dari otot

    frontal, corrugators dan orbicularis oculi dilakukan dengan traksi keatas

    atau ke bawah, yang selalu berada pada bidang vertikal tergantung pada

    fungsi khusus yang harus diaktifkan. Pada fulcra tengah, pengaktifan dari

    otot elevator communis dari ala nasi dan bagian atas bibir juga dikerjakan

    dengan gerakan traksi, mengikuti garis vertikal. Untuk fulcra bawah,

    Universitas Sumatera Utara

  • manuver dikerjakan pada m. orbicularis oris dan risorium pada bidang

    horizontal dan m. mentalis pada bidang vertikal (Barbara dkk, 2010).

    Secara sistematis, teknik rehabilitasi kabat dapat dilakukan dengan

    cara sebagai berikut (gambar 10):

    1. Melatih m. orbicularis oris

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan pada

    sudut mulut kiri/kanan

    A. Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan menarik

    sudut mulut ke arah samping kiri/ kanan

    B. Pasien disuruh mencucu sambil diberi tahanan oleh terapis dan

    ditahan selama 8 kali hitungan

    2. Melatih m. zygomaticus mayor dan levator labii

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari telinga tengah diletakkan pada

    sudut mulut kiri/ kanan

    A. Dilakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m. levator

    labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial.

    B. Pasien disuruh untuk menarik sudut mulut ke arah luar sambil diberi

    tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan

    Universitas Sumatera Utara

  • A B A B

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Gambar 10. Teknik Rehabilitasi Kabat Dikutip dari: Al- mohana, A., Al-Ramezi, K., Abdulkareem,L., Al-Jwer,N., Al-Ajmi, M., Mohammed,S. 2007. Physical therapy management for facial nerve paralysis. Committee of Physical Therapy Protocols. Office of Physical Therapy Affairs. Ministry of Health Kuwait

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Melatih m. dilator nares dan nasalis

    Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan pada kedua ala nasi/

    cuping hidung

    A. Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung ke arah kaudal

    B. Pasien disuruh mengembangkan cuping hidung sambil diberi

    tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan

    4. Melatih m. procerus

    Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan di batang hidung

    pada kedua sisi

    A. Dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian bawah

    B. Pasien disuruh dengan menaikkan lipatan nasolabial ke arah atas

    sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan

    5. Melatih m. orbicularis oculi

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di

    sudut mata pasien

    A. Dilakukan peregangan dengan menarik sudut mata ke rah lateral.

    B. Pasien disuruh mengerutkan kelopak mata sambil menutup mata

    dengan kuat dan diberi tahanan selama 8 kali hitungan

    6. Melatih m. corrugators supercelli

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di atas

    alis mata

    A. Dilakukan peregangan dan menarik sudut alis ke arah lateral

    Universitas Sumatera Utara

  • B. Pasien disuruh mengerutkan sudut alis ke arah medial sambil diberi

    tahanan selama 8 kali hitungan

    7. Melatih m. frontalis

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas alis

    mata

    A. Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis

    mata ke arah kaudal/ bawah

    B. Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan selama 8

    kali hitungan

    8. Melatih m. mentalis

    Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada dagu

    A. Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral

    B. Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8

    kali hitungan (Al-mohana dkk, 2007; Keisner dkk, 2007)

    C. Rehabilitasi kabat pada BeII's palsy

    Rehabilitasi fisik kabat adalah salah satu bentuk latihan terapi yang

    telah digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bells palsy. Satu

    penelitian yang dilakukan Barbara dkk (2010) terhadap 20 orang penderita

    Bells palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang)

    diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan

    rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi

    medikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan

    konsep Kabat atau disebut juga dengan PNF. Rehabilitasi dimulai pada

    Universitas Sumatera Utara

  • hari ke- 4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari

    selama 15 hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai

    tingkat perbaikannya berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7

    dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan

    bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan

    rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih

    cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.

    Universitas Sumatera Utara

  • II.2. KERANGKA TEORI

    BELLS PALSY

    KOMPRESI & KERUSAKAN SARAF

    EDEMA & PENJEPITAN

    INFLAMASI ISKEMIA

    GENETIK VASKULAR INFEKSI VIRUS AUTOIMUN

    Miehlke dkk. 1986: spasme vaskular menyebabkan pembengkakan saraf di kanal fasialis, yang kemudian menyebabkan edema kompresi.

    Kanerva, 2008: iskemia saraf fasialis menyebabkan edema dan penjepitan saraf disepanjang perjalanannya di kanal temporal

    Linder dkk, 2005: dijumpainya HSV DNA didalam ganglion genikulatum tidak menjelaskan suatu kaitan langsung dgn BP

    Garg dkk, 2012: kasus Bells palsy terkait genetik rekurensi ipsilateral atau kontralateral. Mayoritas adalah autosomal dominant inheritance

    Hughes dkk, 1986: menemukan adanya transformasi abnormal limfosit . BP hasil dari imunitas sel melawan antigen saraf perifer

    Kanerva, 2008: inflamasi saraf fasialis menyebabkan edema dan penjepitan saraf disepanjang perjalanannya di kanal temporal

    Murakami dkk, 1996: HSV-1 DNA dideteksi pada 86% dan VZV DNA pada 43% di ganglion genikulatum pada pasien BP

    Kanerva, 2008: edema dan penjepitan saraf menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung saraf fasialis

    Berg, 2009: edema dan penjepitan yang akhirnya menyebabkan kompresi dan kerusakan saraf fasialis, merupakan komponen penting pada patogenesis BP

    Universitas Sumatera Utara

  • II.3. KERANGKA KONSEP

    BELLS PALSY

    METIL PREDNISOLON

    METIL PREDNISOLON + REHABILITASI KABAT

    PERBAIKAN KLINIS PERBAIKAN KLINIS

    Universitas Sumatera Utara