cerpen

7
Desaku Oleh Roihan Mohamad Iqbal “Di, bangun. Sudah petang,” Pak Arifin menepuk-nepuk pundakku. Laki-laki paruh baya yang mengenakan kaus oblong seadanya ini membangunkanku. Aku baru teringat kalau aku telah tertidur di bawah pohon pisang di tengah sawah desa sejak tadi Ashar. Setelah pikiran yang tercecer ini kukumpulkan, akhirnya aku pulang ke rumah sambil menggiring sekawanan kambing milik keluargaku. Hari semakin senja. Adzan maghrib mulai berkumandang di masjid-masjid desa. Hawa dingin mulai menerpa. Setelah memasukkan kambing-kambing ke dalam kandang samping rumah, aku pun masuk ke rumah yang telah bersamaku hampir sejak kecil dan bahkan mungkin semenjak beberapa tahun silam sebelum aku lahir. “Adi, dari mana saja? Tidak seperti biasanya pulang terlambat,” tanya Ibu sambil menyiapkan makanan untuk nanti dibawa ke acara yasinan di masjid. “Ketiduran, Bu. Capek... Banyak kegiatan tadi dari pagi sampai siang di sekolah,” kataku. Ibu pun mengangguk mengiyakan saja. “Ya sudah. Sana mandi terus lekas sembahyang. Bantu ibu menyiapkan makanan untuk acara nanti malam ya, Nak” jawab Ibu sambil membawa lembaran kertas yang akan dibuat box berisi snack. Setelah lekas mandi dan shalat, aku pun membantu menyiapkan semua tetek bengek itu untuk acara yang diadakan tiap malam minggu: membuat kotak snack, membungkus makanan, membuat teh, dan banyak lagi. Arem- arem buatan Ibu memang tidak diragukan lagi kelezatannya, sebab banyak orang-orang di sekitar sini yang menyukai dan membeli arem-arem buatan ibu ketika dijajakan di pasar. Teman-teman kelas juga sangat menyukai arem-arem buatan Ibu yang aku bawakan dari rumah.

Upload: roihan-iqbal

Post on 07-Nov-2015

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bahasa Indonesia

TRANSCRIPT

DesakuOleh Roihan Mohamad Iqbal

Di, bangun. Sudah petang, Pak Arifin menepuk-nepuk pundakku. Laki-laki paruh baya yang mengenakan kaus oblong seadanya ini membangunkanku. Aku baru teringat kalau aku telah tertidur di bawah pohon pisang di tengah sawah desa sejak tadi Ashar. Setelah pikiran yang tercecer ini kukumpulkan, akhirnya aku pulang ke rumah sambil menggiring sekawanan kambing milik keluargaku.Hari semakin senja. Adzan maghrib mulai berkumandang di masjid-masjid desa. Hawa dingin mulai menerpa. Setelah memasukkan kambing-kambing ke dalam kandang samping rumah, aku pun masuk ke rumah yang telah bersamaku hampir sejak kecil dan bahkan mungkin semenjak beberapa tahun silam sebelum aku lahir.Adi, dari mana saja? Tidak seperti biasanya pulang terlambat, tanya Ibu sambil menyiapkan makanan untuk nanti dibawa ke acara yasinan di masjid. Ketiduran, Bu. Capek... Banyak kegiatan tadi dari pagi sampai siang di sekolah, kataku. Ibu pun mengangguk mengiyakan saja. Ya sudah. Sana mandi terus lekas sembahyang. Bantu ibu menyiapkan makanan untuk acara nanti malam ya, Nak jawab Ibu sambil membawa lembaran kertas yang akan dibuat box berisi snack.Setelah lekas mandi dan shalat, aku pun membantu menyiapkan semua tetek bengek itu untuk acara yang diadakan tiap malam minggu: membuat kotak snack, membungkus makanan, membuat teh, dan banyak lagi. Arem-arem buatan Ibu memang tidak diragukan lagi kelezatannya, sebab banyak orang-orang di sekitar sini yang menyukai dan membeli arem-arem buatan ibu ketika dijajakan di pasar. Teman-teman kelas juga sangat menyukai arem-arem buatan Ibu yang aku bawakan dari rumah.Sayup-sayup telah terdengar adzan isya. Aku dan ibu bergegas memasukkan setiap makanan ke kotak-kotak kecil yang telah aku lipat-lipat. Setelah semuanya selesai, aku mulai bersiap-siap pergi ke masjid. Bapak juga mulai bersiap-siap pergi ke masjid untuk shalat dan juga acara yasinan selepas Isya. Sekitar 5 menit kemudian, kami mulai melangkah menuju masjid bercat putih yang mulai memudar tersebut.Setelah sembahyang dan yasinan selesai, warga desa kemudian bermusyawarah seperti yang sudah-sudah. Namun, tak seperti biasanya Pak Kades menghadiri acara ini. Kepala desa yang badannya tegap ini kelihatannya akan memberi semacam pemberitahuan yang kiranya penting untuk diutarakan kepada para warga desa yang hadir.Para warga yang saya hormati. Saya di sini selaku Kepala Desa Tulungrejo akan menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana ke depan desa kita. Desa kita akan dibangun sebuah pabrik tahu oleh seorang pengusaha di kota. Warga sekalian bisa bekerja di pabrik tersebut. Oleh karenanya kita pasti akan memiliki penghidupan yang lebih layak dari sekarang, kata Pak Kades dengan nada yang sungguh-sungguh.Banyak penduduk sekitar tampak bersemangat setelah mendengarkan pemberitahuan dari Pak Kades. Namun, beberapa juga tampak ragu dan mempertanyakan kebijakan tersebut. Sembari membawa pulang gelas-gelas berisi air teh yang separo kosong, kepalaku masih terngiang-ngiang dengan perkataan Pak Kades itu. Dengan kehidupanku yang serba pas-pasan, lumrah saja tergiur dengan tawaran itu. Begitu pun bapak. Tak berbeda denganku. Tapi entahlah, sudah hampir tengah malam dan kantuk sudah menyerangku terlalu parah.Adzan shubuh berkumandang. Aku pun terbangun. Hawa dingin sungguh menusuk sampai ke tulang membuat malas untuk pergi ke masjid. Namun, rasa malas ini harus kusingkirkan seperti perkataan Pak Arifin, kyai desa, yang tak jarang diucapkan beliau sehabis pengajian di masjid. Aku pun bangun dari tempat tidurku dan lekas pergi menuju pintu depan. Sebelum mencapai pintu depan, sebenarnya ada rencana untuk membangunkan Bapak. Namun niatan untuk membangunkan Bapak yang masih tidur di ruang tengah pun aku urungkan sebab dengkurannya menandakan lelahnya beliau bekerja keras seharian.Iqamah pun berkumandang. Ayam-ayam di belakang rumah juga mulai ada yang berkokok. Aku segera saja pergi menuju masjid yang kira-kira tak jauh dari rumah, sekitar 100 meter setelah aku mengenakan baju koko. Selang waktu 15 menit aku pun pulang. Cahaya matahari mulai menyeruak di ufuk timur lebih tinggi daripada ketika aku berangkat. Assalamualaikum, kataku sambil meletakkan peci di atas meja ruang tengah. Di, bapak tadi kok tidak dibangunin? kata bapak tiba-tiba muncul dari kamar. Bapak jadi nggak bisa salat berjamaah di masjid. katanya lagi. Hehehe..., kelihatannya Bapak capek banget sih. Jadinya ya nggak Adi bangunin, kataku polos saja.Karena ini adalah hari Minggu, maka seperti biasa aku membawakan jajanan pasar buatan Ibu ke salah satu pedagang Pasar Tulungrejo dengan menaiki angkutan desa yang terlihat mulai mengelupas catnya. Kalau aku sedang tidak libur, biasanya Ibu yang pergi ke pasar sambil membeli bahan-bahan untuk memasak. Sekitar 15 menit kemudian, sampailah di pasar yang telah menjadi jantung perekonomian dari desaku. Aku turun dari angkutan desa itu lalu menyeberang jalan yang cukup ramai orang mengendarai kendaraan bermotor. Aku segera saja mulai mencari kios tempat aku biasa menitipkan jajanan.Bu, ini jajanan titipan dari ibu saya. Semoga laku ya, Bu. kataku sambil memberikan beberapa plastik ukuran sedang berisi jajanan kepada beliau. Hahaha, iya nak. Sekarang itu zamannya makanan tradisional sudah mulai tergusur oleh makanan yang kurang sehat itu. Ya mau bagaimana lagi. Zaman mulai edan, jawabnya sambil terkekeh-kekeh sedang aku hanya bisa senyum-senyum saja. Oh iya nak, katanya sawah di desa akan dibangun pabrik? Apa benar? Kalau begitu nanti kamu bisa kerja di situ. Sudah kelas 3 kan? tanya Bu Mulyono penasaran. Inggih, Bu. Tapi masih bingung mau melanjutkan ke mana. Hehehe, jawabku.Sekitar setengah jam kemudian aku pun sudah pulang ke rumah dan segera menggembalakan kambing-kambingku yang mungkin saja mulai gatal untuk segera keluar dari kandang. Aku membuka kandang samping rumahku dan mulai menggiring mereka ke sawah dekat rumahku sambil membawa tongkat dari batang ketela kering yang kutemukan beberapa hari lalu di samping rumah. Matahari sudah terasa cukup membakar kulitku yang mungkin sudah bisa dikatakan hitam ini. Meski begitu, semangat untuk mengejar harapanku akan selalu kupertahankan. Oleh karenanya, tidak aku sia-siakan waktu untuk menjaga kambing-kambingku dengan belajar dari beberapa buku yang aku bawa sebelum aku menggembalakan kambing tadi pagi.Suasana cukup tenang sampai beberapa jam lamanya. Tiba-tiba jalan aspal sempit di dekat sawah tempatku menggembala menjadi agak ramai. Dari agak kejauhan, sebuah mobil yang cukup mewah datang dari arah utara jalan desa serta beberapa pengawal yang berkendara menggunakan motor besar pun juga ada. Dua orang, satu laki-laki menggunakan baju batik cokelat, tinggi, serta terlihat berwibawa dan juga seorang perempuan yang terlihat mengenakan baju yang cukup mewah dan cantik, keluar dari dalam mobil itu. Setelah mengambil beberapa foto dengan menggunakan kamera yang dikeluarkan dari tasnya, kedua orang itu berjalan bersama Pak Kades menyusuri sawah yang tak jauh dari tempat parkir kendaraan mereka. Matahari sudah mulai terasa di atas kepala. Kedua orang itu sudah tak tampak meski kendaraan mereka masih terdiam tak bergerak di tempatnya semula. Aku menggiring kembali kambing-kambingku ke rumah dengan membawa kembali buku serta beberapa ikat rumput yang telah aku kumpulkan sejak aku datang ke sawah. Kubuka kandang kambing dari kayu yang mulai lapuk ini. Kambing-kambing ini masuk satu per satu ke kandang itu.Semua kambing telah berada di kandangnya, bahkan beberapa masih mengunyah rumput yang telah mereka cari di sawah. Perkakas-perkakas yang aku bawa telah tersimpan rapi di lemari. Setelah membersihkan diri, aku tanyakan mengenai kejadian pagi tadi kepada ibu yang sedang membawa piring berisi tempe goreng dari dapur ke ruang makan. Tadi pagi ada beberapa orang datang dari kota. Sepertinya mereka adalah pemilik dari pabrik yang akan dibangun beberapa bulan lagi. Ibu tahu? tanyaku penasaran. Oh, yang itu? Malah tadi sempat mampir ke rumah, kata Ibu sambil meletakkan piring di atas meja. Tanyakan ke bapak saja mengenai hal itu. Ibu tadi pergi ke warung beli telur. Pas ibu pulang, kata bapak ada tamu itu, lanjut Ibu.Aku menjadi penasaran mengenai kedua orang itu. Setelah makan, segera saja aku cari bapak di sawah belakang rumah meski matahari masih juga serasa di atas kepala, menyengat tiada ampun. Dari kejauhan, kendaraan orang itu sudah hilang dan batang hidung bapak sendiri juga tidak nampak. Kucari hingga sekitar 20 menit, namun tidak juga membuahkan hasil. Karena masih terik, aku kembali ke rumah saja daripada berpanas-panasan. Buang energi saja.Setelah sampai, ternyata bapak sudah berada di rumah, mungkin baru beberapa menit lalu. Segera saja aku tanyakan hal itu kepada Bapak, ada apa ta, Pak? Tumben ada orang dari kota mampir ke desa, tanyaku. Tadi itu pengusaha yang mau mendirikan pabrik di sini, kata Bapak. Lalu? Di mana, Pak? Apa iya mendirikannya di sawah kita, Pak? tanyaku cemas. Bapak kemudian mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan. Terus Bapak bagaimana? Setuju? tanyaku lagi. Bapak menunggu keputusan dari keluarga dulu, Di, jawab Bapak. Mendirikan pabrik kelihatannya tidak bagus untuk lingkungan nanti, Pak. Air bisa tercemar limbah pabrik dan sawah makin menjadi sedikit saja, Pak, kataku. Bapak terlihat bingung karenanya.***Beberapa hari kemudian, bel berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Aku segera saja pulang ke rumah sebab tidak ada kegiatan tambahan hari itu. Ketika pulang sekolah aku melihat cukup banyak spanduk-spanduk berisikan penolakan dari warga berada di atas jalan-jalan desa terikat di antara dua pohon yang berseberangan. Kata-kata penolakan juga tertancap di atas tanah pinggir jalanan sekitar beberapa ratus meter sebelum mencapai rumah.Aku masuk ke rumah dan mendapati tak seorang pun di dalam rumah. Kucari dari halaman depan rumah hingga sawah biasanya bapak bekerja namun tidak juga membuahkan hasil. Aku tunggu hingga hampir 2 jam namun tidak juga ada tanda-tanda kedatangan mereka. Selang beberapa menit kemudian, Ibu datang ke rumah dengan raut muka agak kurang bersahabat. Bu, dari mana saja? Rumah dari tadi tidak ada orang. Untung saja tidak ada maling datangm kataku ingin tahu. Ibu dari balai desa, Nak. Bapak juga masih di sana sekarang. Bapak akan pulang kok, jawab Ibu. Mengenai pendirian pabrik itu ya? tanyaku. Ibu mengangguk. Aku pun menjadi cemas dan sangat berharap agar Bapak cepat kembali.Sampai isya pun bapak belum kunjung datang. Aku menjadi makin cemas saja. Tiba-tiba, ibu keluar dari kamar dan berkata Nak, kambing itu bisa ibu jual? Hutang kita ke warung-warung sudah semakin banyak saja. Bunganya bahkan sudah mulai melebihi dari uang yang Ibu pinjam untuk keperluan sehari-hari dan juga biaya sekolahmu, Nak. kata Ibu dengan raut muka agak sedih. Setelah kupikir-pikir, aku pun akhirnya merelakan semua kambingku yang sudah cukup lama menemaniku untuk dijual. Ya, Allah. Berilah kami kekuatan untuk menjalani semua ini...***Bapak ditahan di kota.... kata Pak RW. Aku pun kaget bukan kepalang. Desa menjadi heboh. Warga berkerumun di rumah Pak RT alias rumahku. Mereka bermusyawarah dengan Pak RW yang juga hadir di rumahku. Sebaiknya hanya beberapa orang saja yang pergi ke kota untuk melihat usul salah seorang warga. Warga menyetujuinya. Pada hari itu juga, beberapa warga kemudian pergi ke kota untuk mencari kabar terakhir dari Bapak.Membangun pabrik di desa bukanlah sebuah langkah yang tepat untuk memajukan kehidupan warga. Lebih banyak kerugian yang mungkin diakibatkan oleh pembangunan pabrik, kata Bapak di balai kota ketika sedang dilaksanakan musyawarah. Setelah banyak argumen yang diutarakan oleh bapak dan juga beberapa warga lain, disepakatilah bahwa pembangunan pabrik di desa dibatalkan. Sorak sorai para warga yang menolak pembangunan pun berkumandang. Kami yang ada di desa pun sangat senang mendengar kabar itu.Sore hari pada hari yang sama, bapak sampai di desa sambil dielu-elukan oleh banyak warga desa. Aku menjadi bangga memiliki seorang teladan yang dekat denganku. Seorang petani yang sederhana, yang mampu mempengaruhi orang banyak dalam memakmurkan tanah kelahirannya. Aku ingin menjadi seorang petani yang berguna bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Aku yakin aku pasti bisa!***