case study clinical pharmacy.doc

52
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK PRAKTIKUM KE-7 CASE STUDY Oleh : Golongan / Kelompok : II / I Minat : Farmasi Klinik dan Komunitas Hari / Tanggal Praktikum : Senin / 1 Desember 2014 No Nama Mahasiswa NIM TTD 1. Ihda Yusriyya 11/314091/FA/08732 2. Khairunisa N. S. 11/314204/FA/08733 3. Silvia Kusuma M. 11/314334/FA/08735 4. Chlara Nikke D. 11/315704/FA/08737 Dosen Jaga Praktikum : Dra. Fita Rahmawati, Apt., Sp.FRS Asisten Jaga Praktikum : Mawardi Ihsan

Upload: chochotiko

Post on 18-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

may help you enough

TRANSCRIPT

Page 1: case study clinical pharmacy.doc

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI KLINIK

PRAKTIKUM KE-7

CASE STUDY

Oleh :

Golongan / Kelompok : II / I

Minat : Farmasi Klinik dan Komunitas

Hari / Tanggal Praktikum : Senin / 1 Desember 2014

No Nama Mahasiswa NIM TTD

1. Ihda Yusriyya 11/314091/FA/08732

2. Khairunisa N. S. 11/314204/FA/08733

3. Silvia Kusuma M. 11/314334/FA/08735

4. Chlara Nikke D. 11/315704/FA/08737

Dosen Jaga Praktikum : Dra. Fita Rahmawati, Apt., Sp.FRS

Asisten Jaga Praktikum : Mawardi Ihsan

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

Page 2: case study clinical pharmacy.doc

FARMAKOTERAPI SYARAF DAN ENDOKRIN

I. TUJUAN PRAKTIKUM

Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit

yang berhubungan dengan jantung, mampu memahami dan mengidentifikasi rekam

medik.

II. DASAR TEORI

Gagal Jantung Kongestif

Definisi

Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan

struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian

ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal

jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas

dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini

mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (AHA, 2001).

Etiologi

Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :

a. Penyakit Jantung Koroner

Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita

penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi

ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8

tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif ( Hellerman, 2003). Pada

negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal

jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami

disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner

(Doughty dan White, 2007).

b. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi

terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam

Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat

hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik

Page 3: case study clinical pharmacy.doc

menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.

Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme

disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi

predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya

akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers

D.G., 2000).

c. Cardiomiopathy

Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak

disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.

Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated

cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal

jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri

dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi

sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip

G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).

Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy

yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah

abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga

menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta

(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk,

peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote M.,

Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).

Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik

dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak

ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan

gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari

normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis,

Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote M.,

Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).

d. Kelainan Katup Jantung

Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering

menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral

meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung.

Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar

Page 4: case study clinical pharmacy.doc

darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung

lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers

D.G., 2000).

e. Aritmia

Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa

perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari

pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan

60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan

pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung

tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas (Cowie et.al., 1998).

f. Alkohol dan Obat-obatan

Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial

fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang

menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung

kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu

beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah

agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral

(Cowie, 2008).

g. Lain-lain

Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk

menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada

wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G.,

2000).

Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan

kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme

perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan

peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang

merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi

Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk

kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H.,

Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).

Page 5: case study clinical pharmacy.doc

Tabel 2.1. Penyebab Gagal Jantung KongestifMain Ischemic Heart Disease (35-40%)

Cause Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%)

Hypertension (15-20%)

Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive, restrictive

(amyloidosis, sarcoidosis)

Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)

Congenital heart disease (ASD,VSD)

Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)

Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)

Other Cause Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary

embolism, COPD

Tricuspid incompetence

Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus

syndrome))

Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)

Infection (Chagas’ disease)

Sumber : Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed

7th

Patogenesis

Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak

bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan

hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.

Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.

Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun

gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi

tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann,

2010).

Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-

Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan

kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal

dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output

maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan

arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di

Page 6: case study clinical pharmacy.doc

cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon

(ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus

kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008).

Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang

menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi

simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan

kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan

dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi

neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural

jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih

lanjut (Mann, 2008).

Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif

Sumber : Mann, D. L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s

Cardiovascular Medicine Ed. 17th .

Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling

Page 7: case study clinical pharmacy.doc

ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit; (2) perubahan

substansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan

kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic; (5) kelainan metabolisme

miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular miosit (Mann, 2010).

Perubahan struktur jantung akibat reni yang berperan dalam modeling penurunan cardiac

output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal diatas berkontribusi

dalam progresivitas penyakit gagal jantung (Mann, 2010).

Grafik penurunan kompensasi tubu h pada pasien gagal jantung kongestif

Sumber : Mann, D. L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s

Cardiovascular Medicine Ed. 17th .

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan

apabila diperoleh : 1 atau dua kriteria mayor + dua kriteria minor

Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestifKriteria Mayor

Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal

Distensi vena leher

Ronki

Kardiomegali

Edema pulmonary akut

Gallop-S3

Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)

Waktu sirkulasi > 25 detik

Page 8: case study clinical pharmacy.doc

Reflex hepatojugularis

Kriteria Minor

Edema pretibial Batuk

malam Dispnea saat

aktivitas Hepatomegali

Efusi pleura

Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal

Takikardia (>120 kali/menit)

Kriteria Mayor atau Minor

Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari

Sumber : Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic

function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In :

Circulation. Ed. 77 : 607-612.

Klasifikasi

New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif

berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :

Klasifikasi Gagal Jantung KongestifTidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik

tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.

Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa

nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik

mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi

Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa

nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas fisik

yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.

Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa

muncul dan jika melakukan aktivitas fisik maka gejala akan

meningkat.

Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and

Treatment of Acute and Chronic heart Failure.

III. HASIL PEMANTAUAN PASIEN

1. IDENTITAS PASIENPasien: Ny.FSa Ruang: IMC 10 BB: 80 kg

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Page 9: case study clinical pharmacy.doc

TB:

Umur : 62 th Tgl MRS: 14/03/2014Tgl KRS: 17/03/2014

No. CM: 013516

2. PERINCIAN PASIEN

Keluhan Utama : demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari,

sering terbangun, harus menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati +

daerah kanan bawah, makan / minum menurun

Diagnosis: CHF cf I ec IHDCelulitisDyspepsia

3. RIWAYATRiwayat Penyakit : -Riwayat keluarga/sosial : -Riwayat Pengobatan : -Alergi obat : -

4. PROGRESS NOTE (Catatan perkembangan pasien):Tanggal Waktu Keterangan Tindakan14/03/2014 UGD Nyeri akut, hipertermia,

risiko kelebihan cairan Hasil lab : ureum 17;

kreatinin 0,95 (normal)TD : 120/80 mmHgN : 102 x / menitT : 38,9ºCRR : 24 x / menit

Kondisi umum : lemah

Pasang infuse RL mikrolini Renapar Injeksi Lasix

20.40 Badan lemas, nyeri perut berkurang

TD : 125/70 mmHgN : 80 x / menitT : 38,4ºCRR : 20 x / menit

15/03/2014 06.00 Lemas, terasa sesak TD : 90/60 mmHg

N : 72 x / menitT : 37,2ºCRR : 20 x / menit

Cedocard Trombo aspilet

07.00 Sesak berkurang, kaki masih

Page 10: case study clinical pharmacy.doc

bengkak TD : 110/70 mmHg

N : 76 x / menitT : 37,1ºCRR : 24 x / menit

14.00 Kaki kiri bengkak Kondisi umum baik TD : 100/70 mmHg

N : 76 x / menitT : 36ºCRR : 22 x / menit

18.30 Ada bercak kemerahan di kaki kiri

Bercak 4 x 3 cm23.30 Pasien tidak bisa tidur, 2

hari Diazepam

16/03/2014 06.00 Dada kanan sedikit nyeri TD : 130/80 mmHg

N : 56 x / menitT : 36,3ºCRR : 18 x / menit

Setelah kerokan pasien merasa nyaman

10.35 Tidak ada keluhan Merah di tungkai kiri bawah

± 3 hari, tidak gatal, sakit TD : 115/60 mmHg

N : 57 x / menitT : 36,2ºCRR : 20 x / menit

Meixam Fuson cream

Perut merasa sebah TD : 160/70 mmHg

N : 58 x / menitT : 36,8ºCRR : 24 x / menit

17/03/2014 06.00 Perut sebah belum BAB, nyeri

TD : 110/70 mmHgN : 58 x / menitT : 36ºCRR : 22 x / menit

Danalgin

08.37 Nyeri berkurang Tungkai bawah udem,

hangat pada perabaan

Patch eritem

Pasien sudah enakan TD : 110/70 mmHg

N : 64 x / menitT : 36,5ºCRR : 20 x / menit

Page 11: case study clinical pharmacy.doc

5. PENGOBATAN YANG DILAKUKAN

No Macam Obat DosisRute

PemberianFrekuensi

Tgl. 14/03/14

Tgl. 15/03/14

Tgl. 16/03/14

Tgl. 17/03/14

1 Inj.Ondansetron 8 mg IV 1x di IGD di IGDO2

2 Infus Mikrolini RL 12 tpm IV 1 botol3 Sistenol 1 tab PO Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 64 Zibac 1 vial (1 g) IV Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 65 Lasix 1A IV Tiap 8 jam 22 6, 14, 226 Aspar K 1 tab PO Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 67 Pantoprazole 1 A (40 mg) IV Tiap 12 jam 22 6, 18 6, 18 68 Cedocard 5 mg PO Tiap 8 jam 16, 22 6, 14, 22 69 Trombo aspilet 80 mg PO Tiap 12 jam 18 6, 18 610 Laxadyn syr 2 cth PO 1x (malam) 22 2211 Inj. Farsix 1A IV Tiap 8 jam 10, 18 612 Renapar 1 tab PO Tiap 12 jam 6, 18 613 Meixam 1 tab PO Tiap 6 jam 18, 24 614 Fuson Cream topical 2x / hari 6, 1615 Danalgin 1 tab PO Tiap 12 jam 18 616 Diazepam 2 mg PO p.r.n 24

6. PARAMETER PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Parameter Nilai Normal 14/03/2014 Parameter Nilai Normal 15/03/2014Tekanan Darah 120/80 mmHg 120 / 80

Suhu 37º C 38,9º

Asam urat 2,4 – 6 7,7 Asam urat 5,2

Kolesterol total < 200 137 Kolesterol total 160

HDL 40 – 60 51

LDL < 100 93

Trigliserid < 150 67

Gula darah sewaktu (GDS) 65 – 121 125

Respiration rate (RR) 24

Nadi 102

HB 13

Neutrofil 50 – 70 87 %

Limfosit 20 – 40 5,8

Monosit 2 – 8 4,2

Eusinofil 1 – 3 2,4

Basofil 0 – 1 0,1

AST 15 – 30 U/L 52

ALT 8 – 35 U/L 36

Ureum 10,5 – 42 17

Page 12: case study clinical pharmacy.doc

Kreatinin 0,5 – 1,1 0,95

LUC 1 – 4 0,6

**Cardiomegali (+); RBB +/+ RBK +/+ ; EKG : iskemik anteroseptal

Balance Cairan

Tanggal Input Output IWL BalanceDiuresis

(cc/kgBB/jam)14/03/2014 500 840 450 – 790 0,715/03/2014 1650 1910 900 – 1160 0,7816/03/2014 920 1860 900 – 1840 0,8617/03/2014 880 520 262,5 + 97,5 0,8

IV. PEMBAHASAN

Pasien Ny. FSa dibawa IGD rumah sakit oleh keluarganya dengan keluhan

demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari, sering terbangun, harus

menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati + daerah kanan bawah,

makan/minum menurun. Diketahui pasien tidak memiliki riwayat penyakit, riwayat

sosial dan alergi terhadap obat.

Saat di instalasi gawat darurat, pasien langsung diberikan ondansteron dosis 8

mg secara intravena. Berdasarkan Pemberian ondansetron berfungsi sebagai

profilaksis mual muntah, diketahui pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati karena

produksi asam lambung yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan mual muntah

walaupun dalam kasus ini tidak terdapat keluhan mual muntah secara langsung. Di

rumah sakit digunakan ondansetron untuk profilaksis mual muntah apapun

penyebabnya. Selain diberikan ondansetron, pasien juga diberikan oksigenasi untuk

membantu melancarkan pernafasan dan sistenol peroral untuk meredakan batuk dan

menurunkan demam. Setelah dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa menderita

gagal jantung kongestif (CHF) kelas fungsional I ex causa IHD (Ischemic Hearth

Disease), selulitis dan dyspepsia. Dari kondisi pasien tersebut pasien dipindahkan ke

rawat inap untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif.

ObatIndikasi pada

pasien

Dosis, Frekuensi, Keterangan Efek samping Pengatasan

Interaksi

ObatTeori Pemberian

Injeksi

ondansetron

Profilaksis

mual muntah

iv : 8 mg 8 mg Sesuai - - -

Sistenol Menurunkan Jika perlu, 3 kali Sesuai - - -

Page 13: case study clinical pharmacy.doc

(Paracetamol

500 mg + N-

acetilsistein

200 mg)

demam dan

mengurangi

batuk

3 kali sehari

1 tablet

sehari 1

tablet

Infus RL

mikrolini

Penambah

cairan dan

elektrolit

Tergantung

individual

12 tpm Sesuai - - -

Zibac

(ceftazidime

pentahidrat)

Antibiotik 1 g/vial, 3

kali sehari

1 g/vial , 3

kali sehari

Sesuai - - -

Lasix

(furosemide

20 mg)

Diuretik,

mengurangi

kelebihan

cairan

20 - 80 mg 1 ampul 3

kali sehari

Sesuai Hipokalemia,

hipomagnesia

Diberikan

aspar K

dan

Renapar

-

Aspar K (K I-

aspartat)

Suplemen

penambah

kalium

300 mg, 3

kali sehari 1

tablet

3 kali

sehari 1

tablet

Sesuai - - -

Pantoprazole Nyeri ulu hati 40 mg, 2

kali sehari

1 ampul (40

mg) 2 kali

sehari

Sesuai - - -

Cedocard

(isosorbid

dinitrat)

Anti angina 5 mg, 3 kali

sehari 1

tablet

5 mg, 3 kali

sehari 1

tablet

Sesuai - - -

Trombo

aspilet

(Aspirin)

Mencegah

pembentukan

platelet

80 mg, 2

kali sehari 1

tablet

80 mg, 2

kali sehari

1 tablet

Sesuai - - -

Laxadine

syrup

Laksatif 15-30 cc, 1-

2 sendok

makan 1

kali sehari

10 cc, 1

kali 2

sendok teh

Tidak

Sesuai

- Dosis

dinaikkan

menjadi

15-30 cc

-

Farsix

(furosemid)

Mengurangi

kelebihan

cairan

20 mg, 2

kali sehari

1 ampul, 2

kali sehari

Sesuai Hipokalemia,

hipomagnesia

Diberikan

aspar K

dan

-

Page 14: case study clinical pharmacy.doc

Renapar

Renapar (K l-

aspartate 300

mg, Mg l-

aspartate 100

mg)

Suplemen

penambah

kalium dan

magnesium

3 kali sehari

1 tablet

2 kali

sehari 1

tablet

Sesuai - - -

Meixam

(Cloxacillin

Na)

Antibiotik 500 mg, 4

kali sehari 1

tablet,

selama 7

hari

4 kali

sehari- 1

tablet--

Sesuai - - -

Fuson cream Lesi kulit

pada infeksi

Dioleskan

3-4 kali

sehari

2 kali

sehari

Sesuai - - -

Danalgin

(metampiron

500 mg +

Diazepam 2

mg)

Meringankan

nyeri

3 kali sehari

1 tablet

2 kali

sehari 1

tablet

Tidak

Sesuai

- - -

Diazepam Sedatif 2 mg, bila

perlu

2 mg, jika

perlu

Sesuai - - -

Ketika di rawat inap, pasien mendapatkan obat lasix secara intravena. Lasix

berisi furosemid yang termasuk loop diuretik menghambat reabsorpsi ion natrium dan

klorida di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung henle , menyebabkan

peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium dan klorid. Pemberian lasix

diindikasikan untuk mengurangi cairan yang ada pada tubuh pasien, diketahui pasien

mengalami udem pada kaki kiri sebagai manifestasi dari gagal jantung kongestif.

Lasix diberikan selama 2 hari awal masa terapi (tanggal 14 dan 15 Maret 2014)

dengan frekuensi pemberian tiap 8 jam. Pemberian dengan frekuensi tersebut

diharapkan mempercepat hilangnya udem melalui peningkatan diuresis. Hari ke – 3

dan ke – 4 pasien dirawat (tanggal 16 dan 17 Maret 2014), pemberian lasix diganti

dengan farsix. Farsix sama seperti lasix yaitu berisi furosemid. Bersamaan dengan

penggantian tersebut, juga dilakukan penurunan dosis diketahui dari perubahan

Page 15: case study clinical pharmacy.doc

frekuensi pemakaian. Semula Lasix (furosemid) diberikan tiap 8 jam berubah menjadi

farsix (furosemid) dengan frekuensi tiap 12 jam.

Pemakaian obat diuretik, sangat berpotensi menyebabkan tubuh kehilangan

elektrolit seperti kalium (K) dan magnesium (Mg) bersamaan dengan keluarnya

cairan dari tubuh. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien diberikan suplemen kalium

yaitu Aspar K yang berisi K-I aspartat. Aspar K diberikan dengan frekuensi tiga kali

sehari selama masa perawatan (tanggal 14 s/d 17 Maret 2014). Kemudian pada

tanggal 16 Maret pasien juga diberikan Renapar yang berisi K-I aspartat dan Mg

Aspartat. Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP kategori

tidak perlu obat yaitu terjadi terapi multiple drug dimana seharusnya dapat diberikan

single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan pemberian Aspar K pada

hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian Renapar atau diberikan

Renapar dari awal hingga akhir. Namun pemberian Aspar K dan Renapar bersamaan

bisa juga bukan merupakan DRP, mengingat dalam catatan medis pasien tidak tertulis

pemantauan elektrolit. Bisa saja kondisi yang terjadi pada pasien adalah masih

kekurangan kalium meskipun sudah mendapatkan Aspar K sehingga perlu

ditambahkan suplemen K lagi, dalam hal ini diberikan Renapar.

Hari ke – 2 dirawat, pasien mengeluh tidak bisa tidur selama dua hari. Namun

tidak dijelaskan penyebab pasien susah tidur. Berdasarkan keluhan tersebut, pasien

diberikan obat diazepam dengan dosis 2 mg. Diazepam bekerja sebagai sedatif

dengan mekanisme memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,

menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik serta menginduksi efek

menenangkan pada thalamus dan hipotalamus. Pemberian diazepam diasumsikan

sudah efektif mengatasi keluhan pasien yang tidak dapat tidur. Hal ini karena pada

catatan medis tidak disebutkan lagi bahwa pasien susah tidur.

Pada hari ke – 3 dirawat, pasien menyatakan merasa nyeri, tetapi dalam catatan

medis tidak disebutkan bagian mana yang mengalami nyeri. Kemungkinan nyeri

pasien di bagian kaki karena diketahui bahwa pasien udem pada kaki, udem di kaki

karena adanya penumpukan cairan dapat menekan saraf/ reseptor pada bagian

tersebut sehingga menyebabkan timbulnya rasa nyeri akibat pengeluaran mediator

inflamasi. Untuk mengatasi nyeri pasien diberikan Danalgin yang berisi metampiron

dan diazepam. Metampiron bekerja sebagai analgetik non-narkotik, mengurangi

Page 16: case study clinical pharmacy.doc

produksi prostaglandin sehingga mengurangi impuls nyeri yang diterima saraf.

Diazepam berfungsi sebagai sedatif. Pemberian Danalgin yang berisi metampiron dan

diazepam dapat digolongkan sebagai DRP kategori tidak perlu obat. Dikategorikan

menjadi DRP karena adanya diazepam. Diazepam sebagai sedatif dirasa tidak

diperlukan lagi oleh pasien karena pasien yang sebelumnya mengeluhkan tidak bisa

tidur sudah tidak mengeluhkan lagi susah tidur setelah diberi diazepam dengan dosis

2 mg. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pemberian Metampiron dalam bentuk

sediaan tunggal untuk mengatasi nyeri.

Pasien juga didiagnosis mengalami selulitis, dimana berdasarkan gejalanya

yaitu merah pada kaki dan mengalami pembengkakan. Adanya warna merah pada

kulit disebabkan karena adanya infeksi. Infeksi pada selulitis disebabkan oleh

berbagai bakteri, jadi harus dilakukan kultur. Pada catatan rekam medik pasien tidak

dilakukan kultur untuk mengetahui secara khusus bakteri penyebab selulitis. Oleh

karena itu dokter memberikan zybac sebagai antibiotic spektrum luas. Pasien awalnya

diberikan zybac yang juga diindikasikan untuk infeksi. Zybac berisi ceftazidim

pentahidrat yang merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang bersifat

bakterisidal, mempunyai spektrum luas yang sangat stabil terhadap sebagian besar

beta laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis dihasilkan oleh kuman

gram negatif. Zybac diberikan sebagai pencegahan supaya infeksi yang terjadi tidak

semakin parah. Dosis yang diberikan yaitu 8 mg secara injeksi intravena tiap 8 jam

selama 4 hari, dosis ini sudah sesuai dengan teori bahwa untuk ceftazidim yang

merupakan sefalosporin generasi tiga untuk terapi selulitis diberikan secara injeksi

intravena dosis 8 mg tiga kali sehari dengan durasi 4 atau 16 hari. Pemberian zybac

tidak ada interaksi dengan obat lain yang juga diberikan pada pasien.

Selain zybac, pasien juga diberikan meixam pada tanggal 16. Meixam

diindikasikan juga untuk infeksi kulit, dalam hal ini ada selulitis. Meixam berisi

kloksasilin Na turunan penisilin yang merupakan bakterisidal, dengan mengikat

penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel bakteri,

menonaktifkan sehingga melemahnya dinding sel bakteri dan lisis. Pasien diberikan

meixam karena pada kaki pasien masih menunjukkan adanya warna merah dan sakit

yang kerjanya lebih spesifik daripada zybac. Berdasarkan guideline management

selulitis disebutkan bahwa untuk terapi selulitis menggunakan meixam yang berisi

kloksasilin dosis yang diberikan sebesar 500 mg secara per oral 4 kali sehari, hal ini

Page 17: case study clinical pharmacy.doc

sesuai dengan dosis yang diberikan kepada pasien yaitu sebesar 500 mg secara per

oral 4 kali sehari.

Dalam catatan medis disebutkan bahwa pasien mengalami bercak kemerahan

pada kaki dengan ukuran 4 x 3 cm. Pada bercak tersebut tidak terasa nyeri tetapi

gatal. Munculnya lesi tersebut karena pasien mengalami selulitis, sehingga selain

diberikan antibiotic untuk mengobati kondisi tersebut diberikan juga obat topical

yaitu Fuson Cream. Fuson cream berisi asam fusidat berfungsi mengatasi lesi akibat

infeksi oleh streptococcus atau staphylococcus. Diketahui bahwa cellulitis banyak

disebabkan oleh streptococcus atau staphylococcus, sehingga pemberian fuson cream

sudah sesuai indikasi pada pasien. Fuson cream ini juga diberikan sebagai obat yang

dibawa pulang untuk durasi penggunaan selama 7 hari.

Pasien juga mengeluhkan demam dan batuk, oleh dokter diberikan sistenol.

Pemberian obat ini sudah sesuai dengan keluhan pasien, dimana sistenol ini berisi

parasetamol dan asetilsistein, parasetamol mempunyai mekanisme bekerja pada

daerah hipotalamus yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah

perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh sedangkan asetilsistein memiliki efek

mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi paru sehingga mudah

dikeluarkan melalui batuk. Penggunaan sistenol ini jika perlu, dalam kasus pasien

diberikan sistenol selama di rawat inap karena berdasarkan catatan rekam medis suhu

pasien belum stabil masih mengalami kenaikan dan penurunan. Dosis yang diberikan

sudah sesuai yaitu digunakan 3 kali sehari tablet, setiap tablet mengandung

paracetamol 500 mg dan N-acetylcystein 200 mg.

Pasien didiagnosa terkena penyakit Congestive Heart Failure (CHF) yakni

kondisi ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah untuk memenuhi

kebutuhan tubuh. Untuk mengatasi penyakit tersebut, diberikan Cedocard® yang

berisi Isososorbid Dinitrat. Isosorbid dinitrat merupakan suatu obat golongan nitrat

yang memiliki mekanisme aksi dengan menginduksi relaksasi otot polos vaskular

perifer, sehingga ada pelebaran arteri dan vena. Hal ini dapat mengurangi aliran balik

vena darah (mengurangi preload) ke jantung. Selain itu, obat golongan nitrat juga

dapat meningkatkan pasokan oksigen miokard dengan dilatasi arteri koroner besar

dan mendistribusikan aliran darah sehingga dapat meningkatkan suplai oksigen ke

daerah iskemik. Pemberian obat tersebut untuk tujuan pencegahan serangan angina

Page 18: case study clinical pharmacy.doc

dimana gejalanya ditandai dengan dada terasa sesak. Pemberian Cedocard dirasa

sudah tepat dan sudah sesuai dengan kondisi pasien. Dosis Cedocard yang

direkomendasikan yaitu sebesar 5 mg diminum 3 kali sehari. Ketika pasien keluar

dari rumah sakit, Cedocard dilanjutkan pemakaiannya selama seminggu kemudian

diperiksakan ke dokter.

Selama dirawat di rumah sakit, pasien mengeluh susah buang air besar.

Pemberian laxadine syrup efektif digunakan untuk mengatasinya karena laxadine

syrup memiliki mekanisme aksi yaitui dengan menghambat penyerapan air dan

melancarkan jalan feses. Namun pemberian obat tersebut termasuk DRP dikarenakan

dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc diminum 2 sendok teh 1 kali

sehari. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatan dosis Laxadine syrup menjadi

15 sampai 30 cc diminum 1 sampai 2 kali sehari.

Infus mikrolini ringer laktat juga diberikan kepada pasien untuk memenuhi

kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh secara fisiologis. Infus ini diberikan pada pasien

saat mulai masuk IGD, karena kondisi umum pasien saat pertama kali masuk rumah

sakit dalam kondisi lemah. Dosis yang diberikan sesuai dengan kondisi individual,

dalam kasus ini diberikan dosis 12 tpm. Kecepatan infus yang diberikan kepada

pasien harus sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh, jika terlalu cepat pasien bisa

mengalami nyeri hebat akibat penumpukan jumlah cairan yang terlalu banyak.

Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri di ulu hati sehingga diberikan

pantoprazol. Pemberian pantoprazol sudah sesuai karena pantoprazol digunakan

untuk mengobati  gastroesophageal reflux disease (GERD), yaitu kondisi dimana

terjadi aliran kembali asam dari perut yang menyebabkan nyeri ulu dan dapat

menyebabkan luka pada esofagus. Pantoprazole termasuk proton-pump inhibitors

yang kerjanya dengan menurunkan jumlah asam yang ada di perut. (Medline, 2014)

Penggunaan pantoprazol selama masa perawatan di rumah sakit dari tanggal 14 Maret

2014 hingga 17 Maret 2014dengan dosis 40 mg (1 ampul) dan digunakan 2 kali

sehari sudah sesuai dengan literatur. Efek samping yang dapat terjadi bila

menggunakan pantoprazol misalnya sakit kepala, mual, kembung, gatal,

trombositopenia, leucopenia, eosinofilia, artralgia, edema perifer, depresi tidak

terjadi.

Page 19: case study clinical pharmacy.doc

Anti platelet yang digunakan dalam pengobatan ini adalah Thrombo Aspilet®

yang berisi aspirin. Penggunaan anti platelet ini untukpencegahan thrombosis pada

gagal jantung kongestif. Namun bukti yang didapat dari penelitian mengenai

keuntungan dari penggunaan anti platelet ini masih membingungkan. Menurut studi

V-HeFT I dan II menyatakan bahwa kejadian tromboembolik pada pasien yang

diberikan aspirin dan yang tidak diberi aspirin tidak berbeda signifikan. Berkebalikan

dengan hal itu, menurut percobaan SAVE aspirin signifikan mengurangi resiko

terjadinya stroke sebanyak 56%. Dari percobaan SOLVD menunjukkan keuntungan

efek aspirin, terkhusus pada wanita, karena penggunaan agen antplatelet dihubungkan

dengan pengurangan resiko kejadian tromboembolik sebesar 23% pada pria (p =

0.06) dan 53% pada wanita (p = 0.03).Penggunaan Thrombo Aspilet® ini masih

dapat dikatakan sesuai dengan indikasi. Dosis Thrombo Aspilet® 80 mg dan

digunakan 2 kali sehari sudah sesuai karena aspirin dosis rendah secara ireversibel

mengasetilasi residu serine di posisi 530 padaenzim siklooksigenase-1 (COX-1)

trombosit sehingga memblokade sintesis prostaglandin G2/H2. Reaksi ini merupakan

langkah pertama dalam serangkaian reaksi yang memungkinkan transformasi asam

arakidonat menjadi agonis trombosit yang poten, yaitu tromboksan A2. Thrombo

Aspilet® harus ditelan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan.

Pada pasien dengan kondisi gagal jantung, penting dilakukan pengukuran

balance cairan untuk mengetahui kemampuan diuresis pasien. Nilai balance cairan

ditentukan oleh banyaknya input cairan, output serta insensible water loss (kehilangan

cairan yang tidak disadari/ sulit dihitung; missal berkeringat). Balance cairan pada pasien

gagal jantung sebaiknya bernilai negatif, yang artinya output/ pengeluaran cairan lebih

besar daripada input. Dengan balance cairan yang negatif dimana output lebih besar

daripada input, diharapkan tidak terjadi penumpukan cairan di dalam tubuh yang dapat

menyebabkan udem; atau bila pasien mengalami udem dapat segera hilang.

Drug Related Problem

Tanggal

Problem Pengatasan

14/3 15/3 16/3 17/3

Butuh Obat

Tidak Perlu √ √ Pemberian Aspar K (suplemen Aspar K diberikan selama rawat

Page 20: case study clinical pharmacy.doc

Obat

K) dan Renapar (suplemen K dan Mg) termasuk multidrug yang seharusnya dapat digunakan single drug

inap pada hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian Renapar atau diberikan Renapar dari awal hingga akhir

√ √ Pemberian Danalgin dimana sebelumnya diberikan diazepam untuk mengatasi keluhan pasien yang tidak bisa tidur. Setelah itu, pasien tidak mengeluhkan lagi susah tidur, tetapi dokter memberikan Danalgin yang berisi metampiron dan diazepam.

Metampiron diberikan dalam bentuk tunggal.

Obat Salah

Dosis Terlalu Rendah

√ √ Laxadine Syrup diberikan 2 sendok teh 1 kali sehari sebanyak 10 cc

Laxadine Syrup dinaikkan dosis menjadi 15-30 ml diminum 1-2 sendok makan 1 kali sehari

Dosis Terlalu Tinggi

Reaksi Obat Tidak Diinginkan

Compliance

Dalam kasus ini terjadi Drug Related Problem (DRP) dalam pemberian Aspar

K dan Renapar. Diketahui bahwa pasien gagal jantung dapat mengalami hipokalemia

dan hipomagnesia akibat pemberian diuretik sehingga diperlukan pemberian

suplemen K dan Mg. Aspar K merupakan suplemen vitamin K pada penyakit jantung

sedangkan Renapar merupakan suplemen K dan Mg pada penyakit jantung.

Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP multirug dimana

seharusnya dapat diberikan single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan

pemberian Aspar K pada hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian

Renapar atau diberikan Renapar dari awal hingga akhir.

Page 21: case study clinical pharmacy.doc

Selain itu, terjadi DRP yang lain yaitu pada pemberian Danalgin yang berisi

metampiron dan diazepam dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik dan

diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur kemudian

oleh dokter diberikan diazepam. Setelah itu, pasien tidak mengeluhkan lagi susah

tidur, tetapi dokter memberikan Danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam

hal ini pasien tidak membutuhkan lagi diazepam. Masalah tersebut dapat diatasi

dengan pemberian Metampiron dalam bentuk sediaan tunggal.

Ditemukan juga DRP dalam pemberian Laxadine Syrup dimana obat ini

diberikan 2 sendok teh 1 kali sehari sebanyak 10 cc. Hal tersebut termasuk DRP dosis

yang rendah dimana seharusnya dosis lazim yang digunakan adalah 15-30 ml.

Pengatasannya dosis Laxadine Syrup dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2

sendok makan 1 kali sehari.

Pada tanggal 17 dilakukan pengukuran tekanan darah, nadi, dan respiration rate,

hasil yang didapat yaitu semua sudah normal. Selain itu output cairan sudah lebih

besar dari input, hal ini menandakan bahwa cairan yang dikeluarkan sudah banyak

sehingga bisa mengurangi udem yang terjadi. Pada pemeriksaan EKG juga sudah

menunjukkan pada bentuk normal, sehingga dapat diasumsikan bahwa obat yang

diberikan bisa menguramgi gejala CHF. Pengobatan yang diberikan juga dapat

mengatasi keluhan-keluhan pasien, sehingga dapat dikatan kondisi pasien sudah

membaik dan diperkenankan untuk kembali ke rumah.

VI. EVALUASI OBAT TERPILIH

1. Ondansetron

Indikasi : Profilaksis mual muntah

Efek samping : Pusing, konstipasi, malaise, hipoksia, diare, demam.

Dosis : 8 mg iv

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap ondansetron

Mekanisme : Menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3)

berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan di

saluran cerna.

Page 22: case study clinical pharmacy.doc

(Medscape, 2014)

2. Sistenol

Isi : Paracetamol 500 mg, N-acetylcystein 200 mg

Mekanisme : Parasetamol bekerja pada daerah hipotalamus yang menyebabkan

vasodilatasi dan peningkatan aliran darah perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh.

Acetylcystein memiliki efek mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi

paru sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk.

Indikasi : Meringankan batuk berdahak dan menurunkan demam, nyeri.

Efek samping : Reaksi alergi, neutropenia, trombositopenia, purpurea, nausea,

muntah, gangguan saluran pencernaan, dosis besar atau penggunaan dalam jangka

waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.

Dosis : 1 kapl 3x sehari

Pemberian obat : Sebaiknya diberikan bersama makanan

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan.

Durasi : Digunakan bila perlu sampai demam dan batuk hilang.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap paracetamol dan N-acetylcystein, pasien

dengan gangguan fungsi hati.

(MIMS, 2013)

3. Thrombo Aspilet

Isi : Acetylsalicylic Acid

Mekanisme : Inhibisi sintesis prostaglandin. Studi klinis dan eksperimental

selanjutnya menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah secara ireversibel

mengasetilasi residu serine di posisi 530 pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1)

trombosit sehingga memblokade sintesis prostaglandin G2/H2 (gambar 1). Reaksi

ini merupakan langkah pertama dalam serangkaian reaksi yang memungkinkan

transformasi asam arakidonat menjadi agonis trombosit yang poten, yaitu

tromboksan A2. Efek ini yang memberi manfaat klinis aspirin pada pasien penyakit

jantung koroner dan stroke.

Indikasi : Pencegahan thrombosis pada infark miokard akut atau pasca stroke.

Efek samping : Iritasi GI, mual, muntah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan

perdarahan GI, ukus peptikum.

Dosis : 80 mg

Frekuensi : 2 x sehari

Page 23: case study clinical pharmacy.doc

Pemberian obat : Ditelan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan.

Kontra indikasi : Sensitif terhadap aspirin, asma, ulkus peptikum, perdarahan

subkutan, hemofilia, trombositopenia.

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap paracetamol dan N-acetylcystein, pasien

dengan gangguan fungsi hati.

(MIMS, 2013)

4. Meixam

Isi : Cloxacillin Na

Mekanisme : Bakterisida, menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dengan

mengikat penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel

bakteri, PBP (termasuk transpeptidases, carboxypeptidases, dan endopeptidases)

adalah enzim-enzim yang terlibat dalam tahap terminal perakitan dinding sel bakteri

dan membentuk kembali dinding sel selama pertumbuhan dan pembelahan.

Penisilin mengikat, dan menonaktifkan, PBP, sehingga melemahnya dinding sel

bakteri dan lisis.

Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh organisme yang sensitif terhadap kloksasilin

dan pathogen yang memproduksi penisilinase.

Efek samping : Ruam, gangguan pencernaan, dan anafilaksis.

Dosis : 500 mg

Frekuensi : 4 kali sehari.

Pemberian obat : Diberikan saat perut kosong

Kontra indikasi : Pasien dengan riwayat alergi penisilin dan sefalosporin atau bayi

yang lahir dari ibu yang hipersensitif terhadap penisilin. Ini tidak boleh diberikan

melalui suntikan subconjunctival.

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

Durasi : 7 hari

(MIMS, 2013)

5. Laxadine® Syrup

Komposisi : Per 5 mL Phenolphthalein 55 mg, liquid paraffin 1,200 mg, glycerin

378 mg

Mekanisme : Merangsang peristaltik dari usus besar, menghambat penyerapan air

dan melancarkan jalan fases

Indikasi : Konstipasi.

Page 24: case study clinical pharmacy.doc

Dosis : 15-30 mL

Frekuensi : 1 kali sehari 1-2 sendok makan diminum sebelum tidur

Kontra indikasi : Ileus obstruktif, nyeri perut yg tdk diketahui penyebabnya

Efek Samping : Ruam kulit, pruritus, rasa panas terbakar, kolik, kehilangan cairan

dan elektrolit tubuh, diare, mual & muntah.

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(MIMS,2013)

6. Aspar K®

Komposisi : K I-aspartat

Indikasi : Suplemen vitamin K pada penyakit jantung

Dosis : 300 mg (tablet salut selaput)

Frekuensi : 3 kali sehari 1 tablet diminum setelah makan

Kontra indikasi : Penyakit Addison yang tidak diterapi, hiperkalemia

Efek Samping : Gangguan GI (anoreksia dan gangguan lambung), rasa penuh pada

ulu hati

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(MIMS,2013)

7. Fuson® Cream

Komposisi : Asam Fusidat

Mekanisme : Menghambat sintesis protein bakteri dengan mengganggu perpindahan

asam amino dari aminoasil-tRNA ke protein pada ribosom

Indikasi : Lesi kulit primer atau sekunder pada infeksi karena Streptocpccus dan

atau Staphylococcus.

Frekuensi : Oleskan 3-4 kali sehari, umumnya selama 7 hari

Kontra indikasi : -

Efek Samping : Reaksi hipersensitivitas.

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(MIMS,2013)

8. Infus Microlini RL

Komposisi : Per 1000 mL Na 130 meq, Cl 109 meq, K 4 meq, Ca 2.7 meq, lactate

28 meq, (NaCl 6 g, KCl 0.3 g, CaCl2 0.2 g, Na lactate 3.1 g). Osmolaritas: 273

mOsm.

Page 25: case study clinical pharmacy.doc

Indikasi : Terapi untuk mengatasi depresi volume berat saat tidak dapat diberikan

rehidrasi oral.

Dosis : Dosis tergantung individual.

Kontra indikasi : Hipernatremia.

Efek Samping : -

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(MIMS,2013)

9. Lasix® (Furosemid)

Mekanisme kerja : Loop diuretik; menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida

di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung Henle; dengan

mengintervensi sistem ko-transport ikatan klorida yang menyebabkan peningkatan

air, kalsium, magnesium, natrium dan klorida.

Indikasi : Edema yang terkait dengan congestive heart failure (CHF).

Efek samping : Hiperurisemia (40%), hipokalemia (14-60%), anafilaksis, anemia,

anoreksia, diare, pusing, intoleransi glukosa, gllikosuria, sakit kepala, lemah,

kerusakan pendengaran, hipokalsemia, hipomagnesia, hipotensi, kram otot, mual,

fotosensitivitas, ruam, gelisah, urtikaria, vertigo

Dosis : 20 mg

Frekuensi :1 x sehari

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(Medscape, 2014)

10. Cedocard® (Isosorbid dinitrat)

Mekanisme kerja : Agen vasodilatasi (donor nitrit oksida); merelaksasi otot halus

melalui dilatasi arteri dan vena yang tergantung dosis untuk menurunkan preload

dan afterload, dan juga kebutuhan oksigen miokardial; juga memperbaiki sirkulasi

koroneri kolateral,menurunkan tekanan darah,meningkatkankecepatan detak

jantung dan kadang-kadang menyebabkanbradikardia

Indikasi : Angina pektoris

Efek samping : Kardiovaskuler: hipertensi (jarang), angina tak stabil,

hipotensi/hipotensi ortostatik, palpitasi, takiaritmia

Sistem saraf pusat: pusing, sakit kepala, gelisah, lemah

Gastrointestinal (GI): mual

Hematologic: Methemoglobinemia (infrequent)

Page 26: case study clinical pharmacy.doc

Dosis : 5 mg

Frekuensi : 3 x sehari

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(Medscape, 2014)

11. Renapar®

Indikasi : Suplemen K & Mg pada penyakit jantung dan hati. Hipokalemia dan

hipomagnesia karena pemakaian diuretik yang lama.

Efek samping : Mual, muntah, kembung, gangguan abdomen, diare

Dosis : K l-aspartate 300 mg, Mg l-aspartate 100 mg

Frekuensi : 3 x sehari

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

(MIMS, 2013)

12. Zibac

Komposisi : ceftazidime pentahidrat

Indikasi : Infeksi saluran pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit dan struktur

kulit, infeksi abdominal & bilier, infeksi tulang & sendi, dialysis

Dosis : 1 g/ vial

Frekuensi : tiap 8 jam

Durasi : 4 hari

Mekanisme aksi : merupakan sefalosporin generasi ke – 3, berpspektrum luas

pada bakteri gram negative termasuk pseudomonas, efikasi terhadap bakteri gram

positif rendah. Ceftazidime menghambat biosintesis dinding sel.

Efek Samping : eosinophilia, diare, hipersensitivitas imun, trombositosis

Kontraindikasi : hipersensitivitas

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

13. Danalgin

Komposisi : methampyrone 500 mg, diazepam 2 mg

Indikasi : meringankan rasa sakit sedang s/d berat missal nyeri kolik & sakit pasca

operasi yang memerlukan kombinasi dengan tranzquilizer

Dosis : 1 g/ vial diberikan sesudah manakn

Frekuensi : tiap 8 jam

Durasi : 4 hari

Mekanisme aksi : methampyrone sebagai analgetik – antipiretik nonnarkotik,

diazepam sebagai ansiolitik dan hipnotik

Page 27: case study clinical pharmacy.doc

Efek Samping : agranulositosis, alergi, perdarahan GI, gangguan mental,

mengantuk, ketergantungan, depresi pernapasan

Kontraindikasi : psikosis berat, hamil, glaucoma, kemungkinan perdarahan,

porfiria, hipersensitif pada derivate pirazolon

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

14. Pantoprazole

Komposisi : pantoprazole

Indikasi : penatalaksaan kondisi yang berhubungan dengan hiperasiditas misalnya

tukak lambung atau duodenum, refluks esophagus, hipersekresi patologis

Dosis : 40 mg

Frekuensi : tiap 12 jam

Durasi : 4 hari

Mekanisme aksi : terikat pada pompa penukar H+/K+ ATPase pada sel parietal di

lambung sehingga menyebabkan penghambatan sekresi asam lambung

Efek samping : sakit kepala, mual, kembung, gatal, trombositopenia, leucopenia,

eosinofilia, artralgia, edema perifer, depresi

15. Farsix

Komposisi : Furosemide

Indikasi : Edema yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif.

Dosis : 20 mg

Frekuensi : 12 jam

Durasi : 2 hari

Mekanisme aksi : Loop diuretik; menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida

di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung Henle; dengan

mengintervensi sistem ko-transport ikatan klorida yang menyebabkan peningkatan

air, kalsium, magnesium, natrium dan klorida.

Efek samping : hiperuresimia, hipokalemia, hiponatremia, anoreksia, azotemia,

reaksi hipersensitif, reaksi dermatologi, gangguan GI, denyut jantung tidak teratur,

reaksi hematologi. Haus

Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal, oliguria, anuria, hipokalemia,

hiponatremia, hipotensi.

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

16. Diazepam

Page 28: case study clinical pharmacy.doc

Mekanisme kerja : Memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,

menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik. Muncul untuk

bertindak atas bagian dari sistem limbik, serta pada thalamus dan hipotalamus,

untuk menginduksi efek menenangkan

Indikasi : Untuk sedasi.

Efek samping : Ataksia (3%), euforia (3%), inkoordinasi (3%), ruam (3%), diare,

hipotensi, lelah, lemah otot, depresi respirasi, retensi urin, depresi, penglihatan

kabur, disartria, sakit kepala, ruam kulitm perubahan dalam salivasi, jaundice,

neutropenia

Dosis : 2 mg

Frekuensi : bila perlu (saat tidak bisa tidur)

Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan

Adverse Reaction yang Terjadi

• Laxadine Syrup

Problem : Dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc digunakan

dengan cara diminum 2 sendok teh satu kali sehari sedangkan menurut MIMS dosis

lazim yang digunakan 15 – 30 cc diminum 1-2 sendok makan satu kali sehari

Pengatasan : Dosis dinaikkan menjadi 15-30 cc diminum 1-2 sendok makan satu

kali sehari

Aspar K

Problem : PemberianAspar K (suplemen K) dan Renapar (suplemen K dan Mg)

termasuk multidrug.

Pengatasan : diberikan single drug, renapar saja atau aspar K ditambah suplemen

Mg dalam bentuk tunggal

Adverse drug reaction yang potensial terjadi

Danalgin

• Problem :

Page 29: case study clinical pharmacy.doc

Danalgin berisi metampiron dan diazepam, dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik

diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur, kemudian oleh

dokter diberikan diazepam. Setelah itu pasien tidak mengeluhkan lagi susah tidur, tapi

dokter memberikan danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam hal ini pasien

tidak membutuhkan lagi diazepam.

• Pengatasan : Sebaiknya Metampiron diberikan dalam bentuk tunggal.

Obat yang dibawa pulang

• Furosemid 20 mg 1 x sehari

• Fuson Cream 2 kali sehari

• Meixam 4 x sehari 500 mg

• Cedocard 3 x sehari 5 mg

VII. MONITORING DAN FOLLOW UP-NYA

Data yang dilaporkan pasien :

Tanda dan gejala kongesti, konsumsi garam, ketaatan terhadap pengobatan,

berat badan.

Data yang langsung direkam :

Detak jantung, tekanan darah, aritmia. pemeriksaan respiration rate

Monitoring kadar elektrolit

Monitoring fungsi ginjal pasien berdasarkan nilai clirens creatinin, serum

kreatinin, GFR, dll

Tgl

Parameter

pemantauan14/03/2014 15/03/2014 16/03/2014 17/03/14 Interpretasi

Tekanan

darah

120/80

mmHg

100/70

mmHg

100/70

mmHg

110/70

mmHgNormal

Nadi 102/menit 76/menit 58/menit 64/menit Normal

RR 24/menit 22/menit 24/menit 20/menit Normal

Balance – 790 – 1160 – 1840 + 97,5 Rata-rata

Page 30: case study clinical pharmacy.doc

cairan

output

cairan lebih

besar dari

input

EKGIskemik

anteroseptalNormal Normal

Obat dapat

mengurangi

gejala CHF

VIII. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI KEPADA PASIEN

Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.

Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada

seperti aktivitas berat, stress, emosi, dingin, dan lain sebagainya.

Jika timbul nyeri dada segera berhenti kalau sedang melakukan sesuatu. Segera

duduk atau berbaring. Tunggu beberapa menit sampai keluhan tersebut diatas

hilang, lalu bekerja lagi tetapi dalam tempo yang lebih perlahan. Segera

beritahukan kejadian tersebut pada dokter dan farmasis.

Pasien diminta membuat catatan berapa kali terjadinya serangan.

Menerapkan gaya hidup sehat dengan senam ringan, yoga, berjalan.

Mengurangi komsumsi air (< 8 gelas sehari), disarankan 5 gelas saja sehari

Fuson dioleskan tipis-tipis pada bagian yang terkena selulitis.

Meixam diminum 4 kali sehari, furosemid 1 kali sehari pagi hari setelah makan,

cedocard 3 kali sehari.

Antibiotik diminum sampai habis

Hindari asupan garam natrium

Pasien disarankan untuk mengurangi berat badan, istirahat yang cukup termasuk

setelah olahraga, makan, dan aktivitas yang lain.

IX. JAWABAN PERTANYAAN

1. Rizki 08765 Injeksi ondansetron jadi diberikan tidak? Indikasinya untuk apa?

Kenapa pasien diberi zybac? Apakah pasien terkena infeksi?

Injeksi ondansetron jadi diberikan, berdasarkan rekam medis injeksi ondansetron

diberikan 1 kali pada saat pasien masuk IGD yaitu tanggal 14 Maret 2014 sore.

Kemudian malamnya pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.

Page 31: case study clinical pharmacy.doc

Indikasi digunakan ondansetron adalah untuk mencegah terjadinya mual muntah,

walaupun keluhan mual muntah secara langsung tidak ada namun pasien

mengeluhkan nyeri ulu hati, nyeri ulu hati ini berkaitan atau berpotensi

menyebabkan mual muntah sehingga diberikan profilaksis mual muntah yaitu

ondansetron. Setelah diberikan injeksi ondansetron pasien tidak lagi mengeluhkan

ada nyeri lagi sehingga ondansetron hanya diberikan 1 kali saat di IGD.

Indikasi penggunaan zybac adalah untuk mengobati infeksi kulit dan struktur kulit

sesuai dengan kondisi pasien yang mengalami celulitis

2. Shofy 08745 Apa arti hasil balance cairan tadi yang ada minus ada yang positif

maksudnya bagaimana?

Tanggal Input Output IWL BalanceDiuresis

(cc/kgBB/jam)14/03/2014 500 840 450 – 790 0,715/03/2014 1650 1910 900 – 1160 0,7816/03/2014 920 1860 900 – 1840 0,8617/03/2014 880 520 262,5 + 97,5 0,8

Input / Cairan Masuk :  mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam

makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik, obat yang di drip,

albumin dll.

Output / Cairan keluar : urine dalam 24 jam, biasanya ditampung di botol air

mineral dengan ukuran 1,5 liter, kemudian feses.

IWL (insensible water loss) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit

dihitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafas.

Balance cairan = Input cairan – Output Cairan (Output + IWL)

Input / cairan masuk = Output / cairan keluar + IWL (Insensible Water Loss)

Nilai negatif pada balance menandakan bahwa nilai output lebih besar dari pada

input. Hal ini disebabkan CHF yang berpotensi penumpukan cairan dan pada pasien

juga ada udem di kaki sehingga digunakan diuretik yang dapat berfungsi untuk

mengeluarkan cairan.

3. Dian 08774 Apa alasan pasien pulang? Untuk memastikan kepatuhan pasien

menggunakan obat yang dibawa pulang bagaimana?

Page 32: case study clinical pharmacy.doc

Di rekam medis dituliskan pada tanggal 17 Maret 2014 kondisi pasien sudah enakan

atau membaik. Keluhan utama sudah teratasi jadi pasien diperbolehkan pulang.

Untuk memastikan kepatuhan pasien menggunakan obat yaitu dengan cara

diberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk selalu mengingatkan pasien

meminum obat. Bisa juga dibuatkan jadwal minum obat jika pasien mengalami

kesulitan dalam mengingat untuk menggunakan obat. Cara yang lain adalah ketika

pasien kontrol lagi ke rumah sakit diminta membawa bungkus obatnya lalu dilihat

sesuai dengan aturan dan sisa obat yang seharusnya.

4. Lusiana 08761 Untuk mencegah hipokalemia kenapa diberi 2 macam suplemen

kalium? Apakah kaliumnya masih rendah jika hanya diberikan 1 macam suplemen?

Obat diuretik menyebabkan terjadinya hipokalemia dan hipomagnesia sehingga

diperlukan suplemen yang mengandung kalium dan magnesium. Aspar K® yang

berisi kalium diberikan pada tanggal 14, 15, 16, dan 17 Maret 2014 sedangkan

Renapar® yang berisi kalium dan magnesium diberikan pada tanggal 16 dan 17

Maret 2014. Hal ini termasuk dalam multidrug dimana seharusnya bisa digunakan 1

obat saja yaitu Renapar tanpa perlu menggunakan Aspar K®. Pada pasien yang

menggunakan diuretik perlu monitoring kadar K+ namun di medical record tidak ada

data lab untuk nilai K+. Apabila ternyata memang membutuhkan kalium lebih

banyak maka dapat diguankan Renapar® dan Aspar K®

X. KESIMPULAN

1. Pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif, selulitis, dan dyspepsia.

2. Semua obat yang diberikan sesuai dengan indikasi.

3. Drug related problem yang potensial terjadi yaitu terjadinya multi drug pada

Danalgin yang pengatasannya diberikan metampiron dalam bentuk tunggal.

4. Drug related problem yang terjadi yaitu multidrug pada aspar K dan dosis laxadin

yang terlalu rendah.

5. Pengatasannya yaitu pemberian aspar K ditambah suplemen Mg bentuk tunggal

atau diberikan Renapar saja.

6. Dosis laxadin dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2 sendok makan 1 kali

sehari.

7. Monitoring dilakukan terhadap ketaatan pengobatan, berat badan, detak jantung,

tekanan darah, pemeriksaan respiration rate, kadar elektrolit, fungsi ginjal pasien.

8. Pasien diberikan informasi lengkap tentang obat yang dibawa pulang.

Page 33: case study clinical pharmacy.doc

9. Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.

10. Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada,

membuat catatan berapa kali terjadinya serangan, menerapkan gaya hidup sehat

dan mengurangi berat badan.

XI. DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2001. Evaluation and Management of Chronic Heart Failure

in the Adult. Available from : http://circ.ahajournals.org/content/104/24/2996.full.pdf

Cowie, M.R., Dar, Q., 2008. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster,

V., et al., Ed. Hurst’s the Heart. 12th ed. Volume 1. USA: McGraw-Hill, 713

Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A., Suresh, V.,

Sutton, G.C., 1998. Incidence and Aetiology of Heart Failure. Available from :

http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/20/6/421.full.pdf

Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United States

Doughty, R.M., White, H.D., 2007. Epidemiology of Heart Failure, University of Auckland

New Zealand. Available from:

http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184800101 5-

c3.pdf.

European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment

of Acute and and Chronic Heart Failure. Available from :

http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/33/14/1787.full.pdf.

Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S., Gersh, B.J.,

Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003. Incidence of heart

failure after myocardial infarction: is it changing over time?. Am. J. Epidemiology

157 (12): 1101–1107. Available from :

http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?view=long&pmid=127

96046.

Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular Disease. In : Clinical Medicine 7th Ed. Spain :

Saunders Elvesier. 681-810.

Page 34: case study clinical pharmacy.doc

Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart Failure.

MIMS, 2013, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 12, PT Medidata, Jakarta.

Mann, D.L., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al., Ed. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA: McGraw-Hill, 1443.

Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s Cardiovascular

Medicine Ed. 17th .

Riaz, K., 2012. Hypertensive Heart Disease, Wright State University. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview.

Scoote M., Purcell I.F., Poole-Wilson P.A. 2005. Pathophysiology of Heart Failure. In :

Essential Cardiology. 2th Ed. 347-369.