case meningitis tb hiv candidiasis oral (1)
DESCRIPTION
• AntihistaminAman karena tidak terbukti dapat menyebabkan masalah pada manusia. Antihistamin generasi pertama aman untuk digunakan selama kehamilan.TRANSCRIPT
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : ......................................................
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA
Nama Mahasiswa : Nurul Aini binti Abdul rahman TandaTangan:
NIM : 11 2011 159
Dokter Pembimbing : dr Dini Adriani, Sp.S TandaTangan:
BAB ISTATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Penjaga sekolah
Alamat : pancoran mas , Depok
No CM : 28-96-69
Tanggal masuk RS : 10/04/2013
II. SUBJEKTIF
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada 10 April
2013 jam 1600 WIB.
Keluhan Utama: riwayat muntah
1
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os datang dengan riwayat muntah muncrat kira-kira 3 hari sebelum Os datang berobat
ke RS pada tanggal 5 April 2013. Muntah kira-kira 3-4 kali per hari. Tidak ada rasa mual
sebelum muntah. Muntah terutama setelah makan, berisi sisa makanan. Setiap kali muntah
kira-kira 1 gelas aqua.
Ada riwayat panas dingin kira-kira 2 minggu sebelum berobat ke RS. Panas tidak
terlalu tinggi dan naik turun. Os hanya berobat ke puskesmas. Os juga mengeluh apabila
melihat jauh, pandangannya seperti berbayang. Apabila sebelah mata ditutup, pandangan
membaik.
Os sering mengeluh sakit kepala. Nyeri berdenyut dan hilang timbul. Sering merasa
lemas dan merasa ingin tidur terus namun tidak ada riwayat penurunan kesadaran. Tidak ada
riwayat kejang. 1 bulan SMRS, os mengeluh timbul bintik-bintik merah di kedua kaki.
Lama-kelamaan, bintik merah tersebut menjadi luka dan os berobat ke puskesmas. Luka
tersebut sebagian sudah kering.
6 bulan SMRS, os ada riwayat kaku leher, nyeri kepala, panas, nyeri ulu hati, mual,
muntah dan mencret. Sewaktu timbul keluhan tersebut, os berobat ke klinik dan di rujuk ke
RS Bhakti Yudha. Os pernah dirawat di RS pada tanggal 4-10/10 2012 dan diagnosa dengan
meningitis TB dan HIV. Os sudah memulai terapi OAT namun sejak keluar dari RS, Os tidak
pernah kontrol dan tidak rutin minum OAT sehingga putus pengobatan. Pengobatan OAT Os
tidak sampai 1 bulan. Os tidak pernah menerima pengobatan untuk HIV karena Os masih
tidak percaya bahwa dirinya menghidap HIV.
Os mengaku tidak mengamalkan hubungan seks di luar pernikahan maupun
pemakaian narkoba sebelum ini. Ada riwayat transfusi darah semasa Os berusia sekitar 4
tahun karena operasi fraktur femur.
Os sudah menikah 2 kali sebelum ini. Isteri sekarang adalah isteri yang kedua. Os
menikah dengan isteri sekarang sejak 2 tahun yang lalu dan mempunyai seorang anak.
Sebelum menikah dengan isteri sekarang, os menduda selama 10 tahun. Sebelumnya os
pernah menikah dengan seorang janda dengan seorang anak. Dengan isteri pertama, os
mempunyai 2 orang anak.
Os ada kontak dengan pasien TB yaitu almarhum ayah isteri yang sekarang. 1 minggu
sebelum os menikah, ayah mertuanya meninggal karena batuk berdarah. Menurut Os, berat
badan tertinggi adalah 60kg dan berat badan pernah turun sehingga 48kg. Berat badan Os
sekarang 54kg.
2
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat DM (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat kejang (-), stroke (-), alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu:
Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), asma (-), alergi (-), jantung (-), stroke (-)
Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi:
Pasien sekarang bekerja sebagai penjaga sekolah. Hubungan dengan rakan sekerja baik.
III. OBJEKTIF
1. Status Generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : CM GCS = E4M6V5= 15
c. TD : 120/70 mmHg
d. Nadi : 80 x/menit
e. Pernapasan : 22 x/menit
f. Suhu : 36,4oC
g. Kepala : normosefali, tidak ada kelainan
h. Mata : OS : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
RCTL (+)
OD : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
RCTL (+)
i. THT : rhinorea (-), otorhea (-)
j. Mulut : tidak tampak paralisis , tampak bercak putih di dalam mulut
k. Leher : pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
l. Paru : SN vesikuler, wheezing -/-, rhonki +/+
m. Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
n. Abdomen : datar, supel, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba
o. Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
p. Ekstremitas : edema (-), ada luka yang sudah kering di kedua kaki
2. Status psikikus
a. Cara berpikir : realistik
b. Perasaan hati : normotim
3
c. Tingkah laku : pasien sadar, aktif
d. Ingatan : baik, amnesia (+)
e. Kecerdasan : tidak dilakukan
3. Status neurologikus
a. Kepala
i. Bentuk : normosefali
ii. Nyeri tekan : tidak ada
iii. Simetris : kanan sama dengan kiri
iv. Pulsasi : tidak ada
b. Leher
i. Sikap : simetris
ii. Pergerakan : bebas
iii. Kaku kuduk : negatif
c. Pemeriksaan saraf kranial
i. N. olfaktorius
Tidak ada kelainan
ii. N. optikus
Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Pengenalan warna Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Lapang pandang Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
iii. N. okulomotorius
Kanan Kiri
Kelopak mata Terbuka Terbuka
Gerakan mata:
Superior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Inferior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Medial Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
4
iv. Pupil
Diameter 3 mm 3 mm
Bentuk Bulat Bulat
Posisi Sentral Sentral
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak
langsung
+ +
Strabismus - -
Nistagmus - -
v. N. trochlearis
Gerak mata ke lateral
Bawah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus - -
Diplopia - -
vi. N. trigeminus
Membuka mulut Tidak ada kelainan
Sensibilitas atas Tidak dilakukan
Sensibilitas bawah Tidak dilakukan
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks masseter Tidak dilakukan
Trismus Tidak dilakukan
vii. N. abdusens
Gerak mata ke lateral Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus divergen - -
Diplopia + +
viii. N. fasialis
Mengerutkan dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Kerutan kulit dahi Kerutan (+) Kerutan (+)
Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
5
Sudut mulut Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Meringis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Memperlihatkan gigi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan
ix. N. vestibulokoklearis
Mendengar suara
berbisik
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Test Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Shwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
x. N. glosofaringeus
Arkus faring Tidak dilakukan
Daya mengecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan
Sengau Tidak ada
Tersedak Tidak ada
xi. N. vagus
Arkus faring Tidak dilakukan
Menelan Tidak ada kelainan
xii. N. asesorius
Menoleh kanan, kiri, bawah Tidak ada kelainan
Angkat bahu Tidak ada kelainan
Trofi otot bahu Tidak ada kelainan
xiii. N. hipoglosus
6
Sikap lidah dalam mulut Tidak ada kelainan
Julur lidah Tidak ada kelainan
Tremor Tidak ada kelainan
Fasikulasi Tidak ada kelainan
Kesan : parese N.VI
d. Badan dan anggota gerak
Ekstremitas atas
Kanan Kiri
Simetris Simetris Simetris
Trofik Eutrofik Eutrofik
Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan 4444 5555
Refleks bisep ++ ++
Refleks trisep ++ ++
Refleks H.Trommer - -
Kesan : hemiparese kanan
Sensibilitas
Raba Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Nyeri Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vibrasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Badan
R. abdomen atas Tidak dilakukan
R. abdomen bawah Tidak dilakukan
R. anus Tidak dilakukan
7
Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Bentuk Simetris Simetris
Trofik Eutrofik Eutrofik
Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan 4444 5555
Refleks patella ++ ++
Refleks Achilles ++ ++
Refleks patologis:
Babinski - -
Chaddock - -
Openheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Sensibilitas:
Raba Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Nyeri Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Suhu tidak dilakukan tidak dilakukan
Vibrasi tidak dilakukan tidak dilakukan
e. Koordinasi, gait, dan keseimbangan
Cara berjalan : normal
Test Romberg : Tidak ada kelainan
Dismetria : tidak dilakukan
Nistagmus test : Tidak ada kelainan
f. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
g. Alat vegetative
Miksi : normal
8
Defekasi : normal
Anjuran Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan cairan otak (8 April 2013)
pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Glukosa 52 500-80 mg/dL
Protein 96 < 50mg/dL
None Positif Negative
Pandi Positif Negative
Jumlah sel 4 0-5μL
Mono 75%
Poli 25%
2. M.TBC PCR : negative
3. Diagnostic molekuler
pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Keterangan
CD 4 absolut 48L 410-1590 Sel/μL Limfosit T helper
sangat kurangCD 4% 5L 31-60 %
CT Scan
Kesan : tidak tampak ICH, SDH, EDH, infark SOL di cerebrum/cerebellum saat ini.
Post contrast tidak tampak lesi enhancement.
IV. RINGKASAN
Subjektif :
Laki-laki usia 37 tahun datang dengan keluhan riwayat muntah muncrat kira-kira 3
hari sebelum Os datang berobat ke RS pada tanggal 5 April 2013. Ada riwayat panas dingin
9
kira-kira 2 minggu sebelum berobat ke RS. Os juga mengeluh apabila melihat jauh,
pandangannya seperti berbayang. Os sering mengeluh sakit kepala. Sering merasa lemas dan
merasa ingin tidur terus namun tidak ada riwayat penurunan kesadaran. Tidak ada riwayat
kejang.
6 bulan SMRS, os ada riwayat kaku leher, nyeri kepala, panas, nyeri ulu hati, mual,
muntah dan mencret. Os pernah dirawat di RS pada tanggal 4-10/10 2012 dan diagnosa
dengan meningitis TB dan HIV. Os sudah memulai terapi OAT namun putus pengobatan dan
tidak pernah mendapat pengobatan HIV. Os mengaku tidak mengamalkan hubungan seks di
luar pernikahan maupun pemakaian narkoba sebelum ini. Ada riwayat transfusi darah semasa
Os berusia sekitar 4 tahun karena operasi fraktur femur. Os sudah menikah 2 kali sebelum
ini. Ada kontak dengan pasien TB sebelum ini.
Objektif :
Compos mentis, GCS 15, TD 120/70 mmHg, nadi 80 x/menit, pernapasan 22 x/menit, suhu
36,4℃ .
Parese N VI
Motorik:hemiparese kanan
Reflex fisiologis : +/+
+/+
Reflex patologis : tidak ada
Laboratorium :
Pemeriksaan cairan otak (8 April 2013)
pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Glukosa 52 500-80 mg/dL
Protein 96 < 50mg/dL
None Positif Negative
Pandi Positif Negative
Jumlah sel 4 0-5μL
Mono 75%
Poli 25%
M.TBC PCR : menyusul
Diagnostic molekuler
pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Keterangan
10
CD 4 absolut 48L 410-1590 Sel/μL Limfosit T helper
sangat kurangCD 4% 5L 31-60 %
CT Scan
Kesan : tidak tampak ICH, SDH, EDH, infark SOL di cerebrum/cerebellum saat ini.
Post contrast tidak tampak lesi enhancement
V. DIAGNOSIS
Klinis : muntah , nyeri kepala, panas, parese N.VI, riwayat kaku leher
Topis : meningen
Etiologi : infeksi dan deficit imun
Patologis : inflamasi
VI. TATALAKSANA
Medikamentosa
Isoniazid 1 x 300mg
Rifampisin 1 x 450mg
Pirazinamid 2 x 500mg
Etambutol 2 x 500mg
Streptomisin 1 x 750mg i.m
Ottoprim 2 x 1
Diflucan 1x1
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
PUSTAKA
Pendahuluan
11
Individu dengan HIV berisiko tinggi untuk mendapat semua tipe tuberkulosis
ekstraparu termasuk meningitis tuberkulosis. Risiko meningkat sejajar dengan
ummunosuppresi. Interval waktu antara onset simptom dengan klinis bervariasi dan individu
tersebut bisa mendapat meningitis akuta atau pun kronik. Gejala klinis pada pasien
meningitis TB dengan HIV termasuk penurunan kesadaran, pencitraan kranial bisa
menunjukkankan adanya infark cerebri dan hasil kultur cairan cerebrospinal yang sugestif ke
arah meningitis TB.1
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengancam hidup manusia. Saat ini
tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Di Indonesia masalah AIDS cukup
mendapat perhatian mengingat Indonesia adalah negara terbuka, sehingga kemungkinan
masuknya AIDS adalah cukup besar dan sulit dihindari. Sampai Maret 2010 tercatat terjadi
20.564 kasus AIDS dengan 3.936 orang korban meninggal dunia di Indonesia. Jumlah
tersebut semakin bertambah seiring dengan banyaknya faktor dan sarana penularan
HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah sampai dengan Maret 2010, tercatat 752 kasus
AIDS dengan 251 orang yang meninggal dunia.2
HIV (Human Immunodeficiency Virus)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA
(Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi
genetik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan
tubuh. Namun sejak mulai dilakukannya terapi ARV (Antiretroviral), beragam studi mencatat
penurunan dalam kejadian penyakit saraf, berkurangnya infeksi oportunistik pada susunan
saraf pusat dan demensia yang terkait dengan HIV di negara berkembang. Penyakit saraf
sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV. Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil
bahwa 90% penderita HIV/AIDS mengalami kelainan pada sistem sarafnya. Kondisi tersebut
terjadi karena dua hal, yakni infeksi oportunistik dan serangan HIV pada sistem saraf. HIV
(Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA (Ribonucleic
Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik.
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh.
Namun sejak mulai dilakukannya terapi ARV (Antiretroviral) yang merupakan obat yang
dapat memperlambat dan menekan perkembangan virus HIV, beragam studi mencatat
penurunan dalam kejadian penyakit saraf, berkurangnya infeksi oportunistik pada susunan
saraf pusat dan HIV yang terkait dengan demensia di negara berkembang.2
12
Patofisiologi
Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan
makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS
secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang
biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang
semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga
timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian
pasien AIDS (Sherwood, 2001).3
Gambar 1 : patofisiologi HIV
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008).3
13
Gambar 2: perubahan CD4
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.3
Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO
dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan
satu gejala minor (Nasronudin, 2007).3
14
Tabel 1: gejala mayor dan minor
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium
klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC.3
Tabel 2: klasifikasi HIV
Pemeriksaan
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi HIV.
Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai
sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi HIV sebaiknya
dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih
spesifik Western blot. Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB.
Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti
(p17, p24, p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120,
gp160). Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui
EIA terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi :
15
a) Negatif : tidak ada bentukan pita
b) Posotf : reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c) Intermediate : terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif.
Akurasi pemeriksaan serologi standar (EIA dan WB atau immunoflourescent assay)
sensitivitas dan spesifitasnya mencapai > 98%.3
Meningitis tuberkulosis
Merupakan salah satu infeksi oppurtunistik yang tersering pada ODHA di Indonesia.
Infeksi HIV akan mempermudahkan terjadinya infeksi Mcobacterium tuberculosis. ODHA
mempunyai risiko lebih besar menderita TB berbanding non-HIV. Resiko ODHA untuk
menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA resiko menderita TB hanya
10% sepanjang hidup. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TB
merupakan kematian tersering pada ODHA dan TB dapat muncul pada infeksi HIV awal
dengan CD4 median >300 sel/μl. Sedangkan TB ekstra paru atau diseminata lebih sering
ditemui pada ODHA dengan CD4 lebih rendah.1,3
Definisi
Meningitis TB adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada sistem saraf yang
mengenai arachnoid, piamater dan caiarn cerebrospinal di dalam sistem ventrikel. Akibatnya
terjadi infiltrasi sel radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah
didalamnya. Selain itu juga terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu
akan menjadi fibrin. Hai ini disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan
gejala sindrom meningitis. 3
Anatomi
Meninges
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak serta dibungkus membran jaringan ikat yang
disebut meninges. Meningen adalah ketiga lapisan jaringan ikat non neural yang
menyelubungi otak dan medula spinalis, berindak sebagai peredam syok atau “ syok
absosber” dan berisikan cairan serebrospinalis. Cairan serebospinalis ditemukan pada sistem
ventrikel dan rongga subarakhnoid. Dimulai dari lapisan paling luar, berturut-turut terdapat
dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Araknoid dan pia mater saling melekat dan
seringkali dipandang sebagai 1 membran yang disebut pia-araknoid.4
16
Dura mater
Duramater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat. Duramater dipisahkan
dari araknoid oleh celah sempit, disebut ruang subdural. Permukaan dalam dan luar dura
mater dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.
Arachnoidea mater
Arachnoidea mater bentuknya seperti jaring laba-laba. Terdiri atas jaringan ikat tanpa
pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng. Memiliki 2 komponen,
yaitu lapisan yang berkontak dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang
menghubungkan lapisan itu dengan pia mater. Rongga di antara trabekel membentuk ruang
subaraknoid, yang terisi cairanserebrospinal (CSF). Pada beberapa daerah, araknoid
menerobos dura mater, membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam
dura mater. Juluran ini (yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena) disebut vili araknoid,
fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.4
Pia mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah.
Pia mater dilapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan SSP dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama
pembuluh darah. Pembuluh darah menembus SSP melalui terowongan yang dilapisi oleh pia
mater, disebut ruang perivaskular. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransformasi
menjadi kapiler. Susunan dari luar ke dalam: Periostem tengkorakruang
epiduralduramaterruang subduralarachnoidruang subarachoidpiamater.4
Gambar 4: anatomi meningen
Epidemiologi
Insidensi berkaitan dengan banyaknya kasus TB, WHO (2003) mencatat 8 juta orang
terjangkit TB dengan 2 juta meninggal. Meningitis TB terutama terjadi pada anak dengan
17
usia 0-4 tahun pada daerah prevalensi TB tinggi, dan lebih sering terjadi pada dewasa pada
daerah prevalensi TB rendah. Menurut Departemen Neurologi RS Cipto Mangunkusumo,
tahun 1996 terdapat 15 kasus dengan kematian 40%, tahun 1997 ada 13 kasus dengan
kematian 50.85% dan tahun 1998 dilaporkan 13 kasus dengan kematian 46,15%. WHO pada
tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus tuberkulosis dimana
83% diantaranya berasal dari tuberkulosis pulmonal.5
Faktor risiko
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi dari proses penyakit tuberkulosis
ekstrakranial sehingga faktor resikonya sama dengan tuberkulosis paru maupun tempat lain
seperti :
a) Sistem imun yang rendah
Pada orang yang sehat, tubuh dapat membentuk mekanisme pertahanan terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Walaupun berada di dalam tubuh, tidak akan
menjadikan suatu penyakit. Namun hal ini berbeda pada kondisi-kondisi tertentu
seperti malnutrisi, usia lanjut, HIV/AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi, diabetes,
mengkonsumsi obat untuk mencegah penolakan transplantasi dan beberapa obat untuk
penyakit autoimun seperti artritis rheumatoid, psoriasis dan penyakit Chron.5
b) Hubungan internasional
Berkaitan dengan daerah-daerah dengan insidensi tuberkulosis tinggi, baik tinggal di
wilayah tersebt atau melakukan perjalanan ke wilayah seperti India, Indonesia atau
benua afrika.5
c) Sosioekonomi rendah
Keadaan ini akan menyebabkan tidak tercukupinya segala kebutuhan dengan baik,
antara lain tidak cukup gizi, tidak menempati tempat tinggal yang layak dengan
tinggal dengan jumlah anggota yang banyak, tidak terjaganya kebersihan, rendahnya
tingkat pendidikan sehingga tingkat kesadaran akan kesehatan juga kurang.5
d) Tempat tinggal dan tempat kerja
Khususnya yang bekerja pada institusi kesehatan yang mendapat paparan sangat
sering terhadap penderita tuberkulosis dan yang bekerja ataua tinggal di suatu tempat
dengan kepadatan penghuni yang tinggi dengan rendahnya higienitas seperti penjara,
penampungan, terminal dan lain-lain.5
Gejala penyakit
18
Antara gejala meningitis TB adalah demam, nyeri kepala hebat, gangguan kesadaran,
kejang dan adanya tanda rangsang meningeal berupa : kaku kuduk, test Bruzinsky positif, test
Kernig positif. Gejala klinis meningitis TB disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf
pusat yaitu :
a. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen menyebabkan gejala perangsangan
meningen, gangguan saraf otak dan hidrosefalus.
b. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak menyebabkan gejala penurunan kesadaran,
kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal.
c. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal
d. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan
tinggi intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.
Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari:
1. Stadium I
Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan.
Permulaan penyakit bersifat subakut, sering panas atau kenaikan suhu yang
ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak
ada nafsu makan, murung, berat badan turun, tak ada gairah, mudah
tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis.
Gejala-gejala tadi lebih sering terlihat pada anak kecil. Anak yang lebih besar
mengetahui nyeri kepala, tak ada nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, pola
tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri
kepala, konstipasi, tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
delusi dan sangat gelisah.
Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 ± 38,9
Nyeri kepala
Mual dan muntah
Tidak ada nafsu makan
Penurunan berat badan
Apatis dan malaise
Kaku kuduk dengan brudzinsky dan kernig tes positif
Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak
Gejala TTIK seperti edema papil, kejang ± kejang, penurunan
kesadaran sampai koma, posisi dekortikasi atau deserebrasi
19
2. Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama
pada anak kecil dan bayi. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata,
seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opostitinus, terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan si anak
berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran
makin menurun. Terdapat gangguan nervi kranialis, antara lain N.II, III, IV,
VI, VII dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologis fokal
seperti hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi.
Pada funduskopi dapat ditemukan atrofi N.II dan koroid tuberkel yaitu kelainan
pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar
setengah diameter papil.
3. Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernafasan dan nadi juga tidak teratur
dan terdapat gangguan pernafasan dalam bentuk cheyne-stokes atau kussmaul.
Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula
adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak
memperoleh pengobatan sebagaimana mestinya.
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great
Britain :
1. Stadium I : penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinis atau tanpa defisit
fokal. Tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tidak
sehat, suhu subfebris dan nyeri kepala.
2. Stadium II : selain gejala diatas bisa didapatkan gejala defisit neurologi fokal
3. Stadium III : disertai dengan penurunan kesadaran yaitu GCS ≥ 10.6
Tabel 3: manifestasi klinis
20
Patogenesis
Tuberkulosis pada sistem saraf pusat bisa dalam bentuk meningitis, tuberkuloma atau
abses otak dan proses penyakit ini bisa terjadi sebagai isolated disease atau bagian dari
tuberkulosis diseminata. Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen
ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula terbentuk lesi
di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer.
Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus
kaseosa (lesi permulaan di otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke
ruang subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 3–6 bulan setelah infeksi primer.7
Meningitis TB terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak dan
paru-paru. Akibat reaktivasi terjadi perjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat
melalui bakteremia. Kuman tuberkulosis yang dorman di dalam paru-paru akan kembali aktif
jika terdapat infeksi dan imunitas yang menurun. Tahap kedua dalam perkembangan
meningitis tuberkulosis adalah peningkatan saiz fokus Rich sehinggan fokus tersebut pecah
dan memasuki ruang subarachnoid. Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis
tergantung dari jumlah dan virulensi kuman serta keadaan kekebalan penderita. Bilamana
jumlah kuman sedikit dan daya tahan tubuh penderita cukup baik, maka reaksi peradangan
terbatas pada daerah sekitar tuberkel perkijuan. Pada penderita immunocompromised dapat
terjadi meningitis tuberkulosis yang luas disertai dengan peradangan hebat dan nekrosis akibat
daya tahan tubuhnya yang menurun atau lemah. Lokasi tuberkel yang membesar tadi
21
menentukan sistem saraf pusat yang terkena. Ruptur tuberkel ke ruang subarachnoid
menyebabkan meningitis. Tuberkel yang berada jauh di dalam otak atau di medula spinalis
bisa menyebabkan tuberkuloma atau abses. Abses atau hematoma bisa ruptur dan masuk ke
dalam ventrikel, namun fokus Rich tidak.7
Diagnosis
Diagnosis didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias
meningitis yaitu nyeri kepala dan demam, sedangkan tanda ransang meningeal ( kaku kuduk,
Brudizsky I dan II dan kernig) dapat menyusul beberapa minggu kemudian. Perbedaan dari
meningitis viral dan bakteria hanya lamanya perjalanan keluhan konstitusional seperti sakit
kepala, demam, tidak nafsu makan dan lemas hingga tanda meningitis muncul. Pada
meningitis tuberkulosis, perjalanan penyakit dapat beberapa minggu bahkan lebih lama
sedangkan untuk meningitis tipe lain berjalan lebih cepat. Dikarenakan hal ini, meningitis
tuberkulosis digolongkan dengan lebih rinci sebagai meningitis subakut tuberkulosis. Mual
dan muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial ditemukan pada 25-43% penderita.
Selama 2-8 minggu pertama selain ditemukan malaise, anoreksia, demam dan nyeri kepala
yang semakin memnuruk, kejang didapatkan pula perubahan mental, penurunan kesadaran,
hemiparese, dan keterlibatan fungsi saraf kranial II, III, IV, VI, VII, VIII. Namun,
keterlibatan saraf VI merupakan yang paling sering.7
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnostik untuk meningitis TB. Pemeriksaan ini
akan memberikan gambaran jernih kekuningan sampai dengan xantokrom, tekanan
meninggi. Test Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar
protein. Hitung sel meningkat 100-500, terutama limfositik mononuklear. Kadar
glukosa menurun <40mg% tetapi tidak sampai 0mg%. Pada pewarnaan dengan Ziehl
Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman Mycobacterium tuberkulosis. Bila cairan
cerebrospinalis dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24jam akan terbentuk endapan
fibrin berupa sarang labah-labah.1,7
Lumbal pungsi
Lumbal pungsi adalah suatu tindakan memasukkan jarum ke dalam ruang
subarachnoid pada lumbal untuk tujuan diagnostik, teraputik atau tujuan anestesi.
22
Lumbal pungsi meliputi pengukuran cairan serebrospinal, pengambilan cairan
serebrospinal untuk pemeriksaan atau untuk memasukkan terapi atau obat anestesi.8
Indikasi
a. Meningitis atau ensefalitis
b. Aseptic meningitis
c. Infeksi parameningeal atau abses
d. Perdarahan subarachnoid
e. Penyakit demyelinisasi
f. Inflamasi polineuropati
g. Metastasis leptomeningeal
h. Sindrom paraneoplastik
i. Hidrosefalus engan tekanan normal
Kontraindikasi
a. Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan adanya massa atau obstruksi pada
sistem ventrikel karena bisa menyebabkan herniasi dan kematian
b. Adanya gangguan hemostasis atau dalam pengobatan antikoagulasi karena
meningkatkan resiko perdarahan epidural.
c. Supurasi fokal pada lokasi pungsi dan bakteremia bisa menyebabkan meningitis
dari lumbar pungsi.8
2. Pemeriksaan darah
Terdapat kenaikan laju endap darah (LED) dan jumlah leukosit dapat meningkat
sampai 20 000/mm3.
3. Test tuberkulin
Test tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum pasien buruk.
4. Rontgen thorax
Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat terutama di apeks
paru).3
23
Tabel 3 : skoring meningitis tuberkulosis
Kriteria klinis untuk derahat keparahan meningitis tuberkulosis menurut Medical Research
Council of Great Britain:
a. Grade I : masih sadar dan orientasi penuh (GCS + 15) tanpa defisit neurologi
focal
b. Grade II : GCS 14-10 dengan atau tanpa defisit neurologi fokal atau GCS 155
dengan defisit neurologi fokal
c. Grade III : GCS > 10 dengan atau tanpa defisit neurologi fokal6
Diagnosa definitif untuk meningitis tuberkulosis tergantung dari deteksi tuberkel basil
pada cairan serebrospinal melalui pemeriksaan sediaan hapus (smear) atau kultur bakteri. Hal
ini tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis karena CT Scan tidak mandatory
dalam menegakkan probable atau definite meningitis tuberkulosis. Namun begitu, CT Scan
pada meningitis berguna untuk menegakkan diagnosa sekiranya ada kelainan pada pencitraan
seperti hidrocephalus, infrak atau tuberkuloma.9
24
Diagnosis banding
Tabel 5 : diangnosis banding
Penatalaksanaan
Human immunodeficiency virus (HIV)–associated tuberculosis (TB) mempunyai
risiko mortalitas yang tinggi dan dianggarkan menyebabkan 25% kematian pada penderita
HIV/AIDS. Manajemen pada kasus ini memerlukan kombinasi terapi anti tuberkulosis yang
sesuai, terapi antiretro viral (ART) dan terapi profilaksis trimethoprim-sulphamethoxazole
untuk mencegah infeksi opurtunistik yang lain. ART menurunakn mortalitas sekitar 64-9%
pada pasien yang tidak resistent anti tuberkulosis dan terapi profilaksis menurunkan mortalis
kira-kira 50%. Pada pasien dengan HIV-associated TB yang melibatakan sususan saraf pusat
atau pericardium, terapi dengan kortikosteroid bisa direkomendasikan.
Walaupun keuntungan ART jelas, namun waktu untuk memulakan terapi ART semasa
dalam pengobatan paru masih tidak jelas. Namun, beberapa penelitian observasional dan
control trial menyatakan bahwa keterlambatan dalam memulai terapi ART berhubungan
25
dengan peningkatan kadar mortalitas pada pasien TB tanpa mengira kadar CD4+. Dengan
adanya evidence base ini, World Health Organisation (WHO) telah merevisi ART guidelines
beberapa kali sepanjang tahun 20002 hingga 2010 dengan merekomendasikan pemberian dini
terapi ART semasa dalam pengobatan paru. Revisi terbaru pada tahun 2010 dimana terapi
ART diberikan pada semua pasien TB tanpa mengira jumlah CD4+, harus dimulakan secepat
mungkin setelah pengobatan paru ditoleransi dan sebisanya tidak lebih dari 8 minggu setelah
terapi TB dimulakan. Namun, guidelines ini akan dipertajamkan lagi karena masih dalam
penelitian.10
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk
seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens
HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya
pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:10
i. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
ii. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
iii. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.
Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel berikut.10
Tabel 6: gambaran infeksi
Pengobatan OAT pada TB-HIV:
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
26
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,
selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang
berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima
suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum10
Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel )10
Tabel 7 : regimen pengobatan
Keterangan:
Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan
adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan
secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc
1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali
sehari)
27
NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai
pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah
d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan
inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan.10
Tabel 8 : terapi HIV
28
Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat
obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk
mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan
serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul,
kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya. Keterlambatan dalam
pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial dapat menyebabkan morbiditas
dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan terhadap toksisitas obat selama terapi
(pengawasan terhadap hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai
meningitis pada gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya
dilakukan pemeriksan kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduan
obat antituberkulosis dapat diberikan selama 9 – 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE /
7-10 RH. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 – 6 minggu
untuk menurunkan gejala sisa neurologis.10
Tabel 9: pengobatan TB
Tabel 10 : penetrasi OAT pada SSP
29
Pengaruh infeksi HIV terhadap patogenesis meningitis TB
Infeksi HIV berhubungan dengan peningkatan risiko aktivasi infeksi latent dan juga
peningkatan risiko progresitas cepat dari infeksi primer tanpa ada latentcy. Pasien non-HIV
risiko terkena TB sekitar 10-20%. Manakala pasien HIV mempunyai risiko 10% per tahun
untuk mendapat infeksi aktif. Risiko meningkat sejajar dengan penurunan CD4.
Pasien dengan HIV dan tuberkulosis aktif akan meningkatkan risiko tuberkulosis
ekstrapulmonal dan risiko ini meningkat dengan penurunan CD4. Pada pemeriksaan post
mortem, lebih sering ditemukan tuberkulosis diseminata pada pasien dengan HIV. Pada suatu
autopsy di Kenya, tuberkulosis diseminata ditemukan pada 41% pasien dengan HIV
berbanding 6% pada pasien tanpa HIV. Peningkatan risiko terkena tuberkulosis
ekstrapulmonal sekaligus meningkatkan risiko terkena meningitis tuberkulosis.1
Beberapa penelitian membandingkan manifestasi klinis meningitis tuberkulosa pada
pasien dengan dan tanpa HIV dan menemukan gejala seperti panas, nyeri kepala, muntah dan
penurunan berat badan sama pada kedua-dua kelompok pasien. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan pasien meningitis tuberkulosis dengan HIB lebih sering ada limfadenopati dan
hepatosplenomegali. Gejala penurunan kesadaran lebih sering pada pasien dengan HIV.
Pada penelitian di india, gangguan kognitif hanya dapat dilihat pada pasien meningitis
tuberkulosis dengan HIV. Pada satu review kasus meningitis tuberkulosis di texas
mendapatkan bahwa gejala penurunan kesadaran lebih sering pada pasien dengan HIV.1
30
Pembahasan
Pasien didiagnosa dengan meningitis TB hal ini sesuai berdasarkan anamnesa
didapatkan adanya riwayat kaku leher, demam, muntah dan nyeri kepala. Menurut skoring
meningitis TB juga, pasien ini sudah sugestif meningitis tuberkulosis karena usia ≥ 36 tahun
(+2). Durasi sakit ≥ 6 hari (-5), jumlah sel di CSS < 900 (0) dan neutrofil pada CSS < 75%
(0). Jumlah skor pada pasien ini setakat ini adalah -3. Pada pasien tidak didapatkan hasil
pemeriksaan leukosit darah karena pasien tidak memberikan data yang lengkap. Namun,
sekiranya hasil leukosit pasien ≥15 000/mm3, jumlah skor adalah 1 dan hasil skor ≤4 sugestif
untuk meningitis TB. Berdasarkan kriteria diagnostik dari meningitis TB, pasien tergolong
possible meningitis TB karena memiliki kriteria adanya klinis meningtis yaitu riwayat kaku
leher dan pasien pernah didiagnosa sebagai meningitis sewaktu dirawat Oktober 2012. Hasil
analisa CSS tidak normal, pasien dalam pengobatan TB namun putus obat, sakit > 5 hari,
adanya dominasi mononuklear pada cairan serebrospinal. Pada pasien tidak didapatkan hasil
rontgen thorax karena rekam medis sewaktu pasien dirawat Oktober 2012 hilang. Sekiranya
foto rontgen thorax pasien sesuai dengan TB paru aktif, pasien sudah termasuk dalam
probable meningitis TB.
Untuk mengevaluasi infeksi pada sistem saraf pusat, prosedur yang paling penting
dilakukan adalah pungsi lumbal. Pada pasien ini dilakukan pungsi lumbal. Sebelum prosedur
ini dilakukan, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan karena tindakan ini bersifat
invasif dan harus menyingkirkan kontraindikasi pungsi lumbal. Sebelum prosedur dilakukan,
pasien telah diminta untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah
pasien mempunyai gangguan hemostasis atau tidak dan juga untuk mengetahui fungsi ginjal
pasien sebelum dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan kontrast.
Pada pemeriksaan CT Scan pasien tidak didapatkan kelainan. Hal ini tidak
menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis karena CT Scan tidak mandatory dalam
menegakkan probable atau definite meningitis tuberkulosis. Namun begitu, CT Scan pada
meningitis berguna untuk menegakkan diagnosa sekiranya ada kelainan pada pencitraan
seperti hidrocephalus, infrak atau tuberkuloma.
Pada pemeriksaan PCR TB didapatkan hasil negatif. Namun, diagnosa definitif untuk
meningitis tuberkulosis tergantung dari deteksi tuberkel basil pada cairan serebrospinal
melalui pemeriksaan sediaan hapus (smear) atau kultur bakteri.
31
Pasien juga didiagnosa dengan HIV. Pada pemeriksaan CD4 absolut pasien
didapatkan 48 sel/μL danCD 4% adalah 5%. Pasien juga diangnosa dengan meningitis TB.
Berdasarkan revisi klasifikasi HIV di Hong Kong, pasien termasuk dalam golongan AIDS C3.
32
Daftar pustaka
1. Vinnard Christopher, Macgregor R.R, Tuberculous Meningitis in HIV-Infected
Individuals diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3131531/
2. Febriani N, pola penyakit saraf pada penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Kariadi
Semarang, diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/23633/1/Nurul_F.pdf
3. Green C.W, Sari buku kecil ,HIV & TB, Jakarta: yayasan spirita, hal;7-18
4. Baehr M, Frotscher M, Diagnosis topik neurologi DUUS, edisi 4, selubung otak dan
medula spinalis,Jakarta:EGC,2010;358-61
5. Koppel Barbara, CNS tuberculosis in Brust John CM,editor Lange: neurology current
diagnosis and treatment. New York:Mc Graw Hill;2007, hal 421-23
6. Perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia cabang jakarta, handout workshop
neuro-infeksi, hal 6-9
7. Ramachandran T.S, tuberculous meningitis, diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0104
8. Daube J, Frishberg B, Pearl R, Sila C, summary statement of practice parameter :
lumbar puncture, American Academy of Neurology, hal 625-27
9. Grag R.K, tuberculosis of the central nervous system, diunduh dari
http://pmj.bmj.com/content/75/881/133.full
10. Perhimpunan dokter paru indonesia, Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus
dalam pedoman diagnosis & penatalaksanaan di indonesia, diunduh dari
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html#7
33
http://www.info.gov.hk/aids/pdf/g190htm/04.htm
34