burning mouth. referat om
TRANSCRIPT
REFERAT ORAL MEDICINE
BURNING MOUTH SYNDROME : PERANNYA DALAM
HIPERSENSITIVITAS KONTAK
Pembimbing : Mohammad Suhel, drg. Sp. P.M
Disusun oleh :
Marsha Rindu Ckinthana 2011-16-115
Marha Shabrina 2011-16-165
Mohammad Maulana 2011-16-119
Nova Permata Sari 2011-16-123
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma adalah suatu kelainan di dalam mulut yang menimbulkan rasa sakit dan rasa
terbuka yang tidak disertai atau dapat juga disertai dengan perubahan klinis. Hal ini diduga
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lokal, faktor sistemik dan faktor
psikogenik.
Gejala utama dari sindroma ini berupa rasa terbakar, rasa sakit atau rasa gatal pada
mukosa mulut, mulut terasa kering (xerostomia), dengan atau tanpa hilangnya sensasi
pengecapan. Gejala-gejala ini biasanya timbul pada pasien setengah baya atau lanjut usia, dan
pada wanita lebih banyak dari pada pria.
Sindroma mulut terbakar sangat penting diketahui baik oleh dokter gigi maupun
dokter umum karena sangat banyak hubungannya dengan penyakit-penyakit lainnya, seperti
diabetes melitus, anemia, xerostomia, dan lain-lain, juga berhubungan dengan pemakaian gigi
tiruan sehingga harus diketahui lebih lanjut mengenai hubungan sebab-akibatnya.
Secara umum respon imun merupakan usaha perlindungan tubuh terhadap konfigurasi
asing yang masuk, tetapi pada kenyataannya mekanisme perlindungan oleh respon imun bisa
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi imun terhadap gabungan-gabungan molekul
dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Sebagai contoh adalah obat, dapat
menimbulkan penyakit pada kulit, hati ginjal dan paru-paru. Respon imun yang berlebih
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan serta bermanifestasi pada individu ketika kontak
dengan antigen untuk yang kedua kalinya atau yang berikutnya disebut sebagai reaksi
hipersensitivitas. Bila seseorang telah mendapat suntikan atau telah kebal, kontak dengan
antigen yang selanjutnya tidak hanya dapat merangsang timbulnya peningkatan reaksi
kekebalan tetapi dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Pada makalah ini, penulis akan membahas beberapa aspek ditinjau dari segi etiologi,
gejala klinis, diagnosa, perawatan dari sindroma mulut terbakar hingga hubungannya dengan
kontak hipersensitivitas. Diharapkan dari penulisan ini dapat dipetik manfaat yang cukup
berarti untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sindroma terbakar.
BAB II
BURNING MOUTH
Burning mouth syndrome (BMS) atau sindrom mulut terbakar merupakan sensasi
terbakar atau menyengat yang mengenai mukosa mulut tanpa disertai adanya tanda klinis lesi
mukosa. Beberapa studi telah menyatakan bahwa BMS dapat disebabkan oleh logam yang
digunakan dalam protesa gigi, juga sebagai monomer akrilik, agen aditif dan perasa,
walaupun studi lain tidak menemukan peran etiologik terhadap bahan dental.1
Sindrom mulut terbakar adalah kondisi yang sangat menyakitkan yang sering
didefinisikan sebagai sensasi panas di lidah, bibir, palatum ataupun di seluruh rongga mulut.
Walaupun sindrom ini dapat mengenai siapapun, namun lebih banyak terjadi pada wanita
setengah baya maupun lanjut usia. Sindrom mulut terbakar sering terjadi dengan disertai
berbagai kondisi medis dan gigi, dari kekurangan gizi dan menopause sampai mulut kering
alergi. Tetapi hubungan mereka tidak jelas, dan penyebab pasti sindrom mulut terbakar tidak
selalu dapat diidentifikasi dengan pasti.5
Nama lain untuk burning mouth syndrome meliputi scalded mouth syndrome, burning
tongue syndrome, burning lips syndrome, glossodynia dan stomatodynia. Penyebab sindrom
mulut terbakar dapat diklasifikasikan menjadi primer atau sekunder.6
Studi terbaru telah mengidentifikasikan disfungsi pada beberapa saraf kranium
berhubungan dengan sensasi rasa sebagai kemungkinan penyebabnya, dan menemukan
bahwa pasien BMS tersebut menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap toleransi rasa
panas, dan ambang sensoris dan rasa sakit yang tinggi terhadap stimulasi laser argon.1
Etiologi
Berbagai macam istilah, seperti glossopyrosis, glossodynia, stomatopyrosis,
stomatodynia, dan oral dysesthia, telah digunakan untuk menjelaskan keluhan sensasi
terbakar yang mengenai mukosa mulut tanpa disertai adanya abnormalitas mukosa yang
nyata. Akhir-akhir ini istilah burning mouth syndorme (BMS) telah digunakan untuk
menyebut keadaan ini. Etiologi BMS masih belum dapat dipastikan walaupun beberapa
faktor telah diajukan sebagai penyebab, termasuk defisiensi hematinik, (defisiensi vitamin B
kompleks, zat besi, atau asam folat), kerusakan saraf yang mengendalikan rasa sakit dan
pengecapan, perubahan hormon, mulut kering yang dapat disebabkan oleh banyak obat-
obatan dan gangguan seperti sindrom Sjögren, diabetes yang tidak terkontrol, xerostomia,
alergi makanan, kandidiasis (atau infeksi jamur mulut lain seperti thrush, oral lichen planus
atau lidah geografis), dan kesalahan disain gigi tiruan (dapat disebabkan oleh bahan yang
digunakan dalam gigi palsu seingga dapat mengiritasi jaringan dalam mulut, menekan
beberapa otot dan jaringan mulut dan menyebabkan nyeri di mulut).2,5
Selain itu, terdapat kondisi-kondisi lain yang dapat menyebabkan burning mouth
seperti obat-obat tertentu terutama obat tekanan darah tinggi yang disebut angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor, oral habit seperti mendorong-dorongkan lidah ke gigi
depan dan grinding gigi (bruxism), kelainan endokrin seperti diabetes dan hypothyroidism,
ketidakseimbangan hormonal seperti yang terkait dengan menopause, iritasi mulut yang
berlebihan (mungkin hasil dari menyikat lidah secara berlebihan, terlalu sering menggunakan
obat kumur atau mengonsumsi minuman yang terlalu banyak asam).
BMS dikaitkan dengan gangguan psikologis dalam berbagai penelitian. Depresi sering
dihubungkan dengan BMS. Hampir semua pasien dengen BMS ditemukan mempunyai gejala
kecemasan atau depresi yang berkaitan dengan masalah hidup sebelumnya., dan dalam
beberapa penelitian, sepertiga dari pasien BMS memiliki skor depresi yang signifikan,
meskipun, dengan gangguan sakit kronis, tidak jelas apakah depresi adalah penyebab atau
efek dari gejala. Sangat mungkin bahwa beberapa kasus BMS memiliki komponen psikologis
yang kuat, tetapi faktor lain, seperti trauma kronis tingkat rendah akibat kebiasaan oral
parafunctional (misalnya, menggosok lidah di gigi atau menekan pada langit-langit mulut),
juga cenderung berperan.2,3
Pada beberapa orang, sindrom mulut terbakar mungkin memiliki lebih dari satu
penyebab. Tapi bagi banyak orang, penyebab pasti dari gejala-gejalanya tidak dapat
ditemukan. Lesi organik, keadaan defisiensi, migrasi eritema, lichen planus, dan candidiasis
dapat menimbulkan gejala yang serupa.3,5
Burning mouth dibagi menjadi dua macam berdasarkan peyebabnya :
1. Burning mouth syndrome primer. Ketika penyebab burning mouth syndrome tidak
diketahui, kondisi ini disebut burning mouth syndrome primer atau idiopatik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa burning mouth syndrome primer berkaitan dengan masalah
saraf sensorik dari sistem saraf perifer atau sentral.
2. Burning mouth syndrome sekunder. Kadang-kadang sindrom mulut terbakar disebabkan
oleh kondisi medis atau penyakit yang mendasari, seperti kekurangan gizi. Dalam kasus ini,
disebut burning mouth syindrome sekunder.
Gejala
Gejala burning mouth syndrome, meliputii:
1. Sebuah sensasi terbakar yang dapat mengenai lidah, bibir, gusi, langit-langit mulut,
tenggorokan atau seluruh mulut.
2. Kesemutan atau sensasi mati rasa di mulut atau di ujung lidah.
3. Nyeri di dalam rongga mulut yang semakin memburuk.
4. Sensasi mulut kering
5. Semakin sering merasa haus
6. Kehilangan selera makan
7. Perubahan rasa, seperti rasa pahit atau rasa logam.6
Gambaran klinis
BMS lebih dominan mengenai wanita tetapi kadang juga berkembang pada pria.
Secara umum, individu yang lebih tua lebih mudah terkena, dengan insidensi antara 50-60
tahun. Rasa terbakar bersifat konstan, walaupun pada beberapa penderita gejalanya
cenderung menjadi parah seiring dengan waktu. Pasien umumnya mempunyai pola tidur yang
buruk dan dilaporkan mengalami bangun di dini hari, yang dikenal sebagai indikator depresi.
Area apapun dapat terkena, walaupun bibir dan lidah paling sering terlibat. Kadang pasien
merasakan keluhan pada daerah tertentu di dalam mulut akan tetapi hal ini biasanya
ditemukan merupakan penonjolan papila lingual, kelenjar saliva minor, atau kelenjar
sebaseus ektopik.2
Diagnosis (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010)
Diagnosis dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksaan oral secara menyeluruh dan
pemeriksaan medis secara umum untuk mengetahui sumber penyebab rasa terbakar tersebut,
diantaranya:
1. Kerja darah untuk mencari infeksi, kekurangan gizi, dan gangguan yang berkaitan dengan
sindrom mulut terbakar seperti diabetes atau masalah tiroid
2. swab oral untuk memeriksa kandidiasis oral, tes alergi terhadap bahan gigi tiruan, makanan
tertentu, atau zat lain yang mungkin menyebabkan gejala-gejala tersebut.5
Diagnosis dapat dibuat secara klinis berdasarkan dasar keluhan sensasi terbakar tanpa
disertai adanya abnormalitas mukosa. Pemeriksaan hematologis yang mengeluarkan
defisiensi hematinik dan diabetes melitus dari kategori harus dilakukan. Adanya kandida
dapat dideteksi dengan mengambil lapisan smear, swab, kultur imprint, atau obat kumur
mulut. Penggosokan lidah kadang merupkan penyebab penting dari rasa terbakar pada mulut,
maka sangat penting untuk memeriksa gigi, restorasi gigi, atau gigi tiruan untuk
kemungkinan tepi-tepi yang traumatis. Gigi tiruan apapun yang dipakai oleh pasien harus
diperiksa untuk kemungkinan disain yang kurang sempurna atau bukti pemakaian yang
berlebihan. Aliran parotid yang terstimulasi harus diukur apabila terdapat indikasi klinis
adanya xerostomia. Adanya kebiasaan parafungsional dapat terlihat sebagai gambaran margin
lateral yang berlekuk-lekuk pada lidah.2
Keparahan rasa terbakar harus dicatat dengan skala nilai 0-10 dimana 0 berarti tidak
ada rasa terbakar, sementara 10 adalah rasa terbakar yang paling buruk. Derajat kankerfobia
dapat diukur dengan menanyakan pasien tingkat ketakutan terhadap kanker mulut dengan
menggunakan skala 0-10, yaitu dengan nilai 0 mengindikasikan tidak ada perhatian terhadap
kanker, dan 10 mengindikasikan perhatian yang sangat tinggi terhadap kanker. Adanya
masalah kejadian hidup yang menyulitkan juga dapat dideteksi dengan skala, dimana 0
menunjukkan “sesuatu hal itu tidak akan menjadi lebih buruk” dan 10 menunjukkan “ sesuatu
hal itu tidak akan menjadi lebih baik”. Tipe pertanyaan ini sering memperlihatkan faktor
seperti masalah keluarga, kondisi rumah yang buruk, atau penyakit pada keluarga/kerabat.
Skala dari The Hospital of anxiety and Depression (HAD) dapat digunakan untuk
menentukan kemungkinan pasien mempunyai kecemasan atau depresi.2
Pemeriksaan klinis (Coulthard dkk., 2003)
Riwayat medis dan sosial yang ditemukan pada pasien mungkin sama dengan
penderita nyeri fasial atipikal. Pemeriksaan klinis yang teliti penting untuk mendeteksi
penyebab lokal dari gejala pasien, misalnya tanda untuk :
1. kondisi seperti eritem, migrain, glositis, liken planus, dan kandidiasis,
2. tanda-tanda kebiasaan buruk parafungsional seperti bruxism, menggertakan gigi ataupun
mendorong-dorong lidah,
3. pemeriksaan desain gigi tiruan, khususnya yang berkaitan dengan kecukupan freewayspace
dan posisi gigi terhadap kecukupan ruang untuk lidah
4. Xerostomia5
Pemeriksaan khusus (Coulthard dkk., 2003)
Pemeriksaan difokuskan untuk mendeteksi penyebab sensasi terbakar yang
mempengaruhi mukosa. Penghitungan darah lengkap dan hematinik untuk mendiagnosis
anemia dan atau defisiensi besi, folat atau vitamin B12. Kemunculan infeksi kandida tidak
dideteksi dengan swab ataupun smear namun dengan pemeriksaan kuantitatif menggunakan
sampel saliva. Kemunculan dan derajat xerostomia dinilai dengan sialometri. Gula darah
dihitung untuk mengetahui adanya diabetes. Pasien mungkin mempunyai alergi terhadap
beberapa material kedokteran gigi, dengan tidak adanya riwayat yang jelas ataupun tanda
klinis yang membuktikannya, hindari tes alergi seperti tes patch pada pasien.5
Pengobatan
Setelah diagnosis BMS telah dibuat dengan menghilangkan kemungkinan terdeteksi
lesi atau gangguan medis yang mendasari, pasien harus diyakinkan sifat gejala yang tidak
berbahaya . Konseling pasien dalam kaitannya dengan sifat BMS sangat membantu dalam
manajemen, khususnya karena banyak pasien akan memiliki evaluasi klinis tanpa beberapa
penjelasan terhadap gejala. Konseling dan kepastian mungkin manajemen yang memadai
untuk individu dengan sensasi terbakar ringan, tetapi pasien dengan gejala yang lebih parah
sering membutuhkan terapi obat. Terapi obat yang ditemukan yang sangat membantu adalah
dosis rendah TCA, seperti amitriptyline dan doxepin, jaminan atau clonazepam (turunan
benzodiazepin). Ini harus menekankan kepada pasien bahwa obat yang digunakan tidak untuk
mengatur penyakit jiwa tetapi untuk yang terdokumentasi dengan baik efek analgesik mereka.
Dokter meresepkan obat ini harus terbiasa dengan potensi efek samping yang serius dan
menjengkelkan.
Anestesi topikal untuk pengobatan BMS yang tidak berguna sebagai efek
nonpredictable; rasa sakit bisa menurunkan atau meningkatkan. Di sisi lain, clonazepam
topikal diterapkan dengan mengisap (tidak ditelan) sangat efektif dalam mengurangi
intensitas nyeri, apalagi, dalam penelitian lain, efek positif itu dibawa hingga 6 bulan setelah
2 minggu pengobatan. Baru-baru ini obat dari kategori yang berbeda telah menunjukkan
potensi yang bermanfaat bagi pasien BMS. 2 bulan saja dari 600 mg sehari alpha-lipoic telah
ditunjukkan untuk mengurangi rasa sakit BMS, dan capsaicin sistemik (0,25% 3 kapsul / hari
selama 30 hari) menunjukkan beberapa efek positif pada intensitas nyeri BMS.3
Penanganan harus diawali dengan pemberian penjelasan mengenai asal BMS dan
tidak adanya masalah serius yang mengikutinya, khususnya kanker mulut, karena pasien
sering mempunyai level cancerphobia yang tinggi. Hasil pemeriksaan hematologis dan
mukrobiologis pasien harus dibahas dan segala abnormalitas dikoreksi. Ujung-ujung gigi atau
restorasi yang tajam harus dihaluskan atau dibuat splint dengan lapisan akrilik tipis untuk
pemakaian hanya pada malam hari.
Terapi antidepresan mempunyai peranan penting dalam penanganan BMS ketika
faktor lain telah dikeluarkan dari kategori penyebab. Beberapa obat trisiklik, seperti dothiepin
(doxepine), dan amitriptiline (amitriptilinc), mempunyai aktivitas anxilotik, antidepresan, dan
relaksasi otot dan telah diketahui memberikan efek positif terhadap pasien dengan BMS.
Dothiepin, dengan dosis 50-75 mg yang diberikan sebelum tidur, merupakan pendekatan
standar. Akan tetapi, kekeringan mulut sering menjadi efek samping dari obat trisiklik dan
terapi mungkin akan harus dihentikan. Alternatifnya, serotonin re-uptake inhibitor (SSRI)
seperti fluoxetine, fluoxamine, atau paroxetine, dapat digunakan. Telah ketahui bahwa SSRI
mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan antidepresan trisiklik,
khususnya berkaitn dengan efek pada waktu reaksi. Penanganan pasien dengan BMS
membutuhkan kerja sama antara dokter gigi dan umum. Pada beberapa pasien sangat
dibutuhkan untuk mengkombinasikan perawatan spesialis dari dokter gigi, dokter kulit,
psikiater, atau psikologi klinis.2
BAB III
HIPERSENSITIVITAS KONTAK
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imunologik yang merusak jaringan. Reaksi
hipersensitivitas ini timbul sekunder, setelah respon imun primer terhadap konfigurasi asing
yang masuk. Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi:
Tipe 1: reaksi hipersensitivitas segera
– Bentuk jejas tak langsung akibat antibodi yang beredar
– Disebut juga reaksi anafilaktif
– Gejala yang timbul terjadi akibat pelepasan substansi aktif (mediator) yang
dihasilkan oleh basofil dan mastosit
– Pelepasan mediator terjadi setelah konfigurasi asing (antigen atau allergen) beriaksi
dengan Ig E
– Pada manusia dapat bermanifestasi: edema laring, spasme bronkus, edema
pulmonum serta dapat menimbulkan kematian.
Tipe 2: reaksi hipersensitivitas sitotoksik (lisis sel)
– Kerusakan jaringan terjadi karena antibodi ditunjukkan kepada antigen jaringan
– Antigen jaringan terbentuk karena perubahan struktur molekul permukaan sel
jaringan akibat terdapatnya konfigurasi asing menempel pada sel
Tipe 3: hipersensitivitas dengan membentuk kompleks-imun
– Setelah terjadi reaksi antara antibodi dan antigen, diikuti dengan pembentukan
kompleks imun antigen –antibodi yang mengendap dalam jaringan
– Endapan tersebut mengaktifasi sistem komplemen, rangkaian reaksi inflamasi,
penggumpalan trombosit, sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Tipe 4: hipersensitivitas tipe lambat
– Hanya melibatkan respon imun seluler
– Tahap awal terjadi pengikatan antigen oleh limfosit spesifik, diikuti pelepasan
limfokin oleh limfosit yang teraktivasi
– Limfokin mengaktivasi unsure seluler lain seperti makrofag dan netrofil sehingga
mampu merusak jaringan.
Respon alergi diklsasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu hipersensitiyitas tipe cepat
(Immediate hypersensitivity) dan hipersensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity). Pada
hipersensitivitas tipe cepat, respon muncul sekitar dua puluh menit setelah terkena alergen,
sedangkan hipersensitivitas tipe lambat biasanya muncul satu hari atau lebih setelah terpapar.
Adanya perbedaan waktu disebabkan perbedaan mediator yang terlibat. Jika reaksi
hipersensitivitas tipe cepat melibatkan sel B, reaksi hipersensitivitas tipe lambat melibatkan
sel T. Reaksi dimulai ketika antigen, terutama yang berikatan dengan jaringan difagosit oleh
makrofag dan kemudian disajikan pada reseptor T helper 1 permukaan sel. Kontak ini
menyebabkan sel berproliferasi dan melepaskan cytokine. Cytokine inilah yang menarik
limfosit, makrofag, dan basofil mendekati sel.
Hipersensitivitas tipe lambat merupakan suatu mekanisme dari apa yang disebut
imunitas seluler atau Cell-mediated. Sampai saat ini reaksi ini dianggap ditengahi oleh
limfosit T tidak tergantung antibodi, namun jelas bahwa reaksi ini melibatkan bermacam-
macam jenis sel, substansi humoral, atau kombinasi keduanya. Pada reaksi hipersensitifitas
tipe lambat dari yang ringan hingga moderat, infiltrat seluler yang paling awal muncul
adalah sel mononuklear serta neutrofil disekeliling vena pada kulit. Sel mononuklear terdiri
dari limfosit dan monosit dari ukuran kecil sampai medium, yang tampak 5 sampai 6 jam dan
mencapai jumlah maksimal pada 18-48 jam.7
BAB IV
LAPORAN KASUS
Burning mouth syndrome (BMS) merupakan rasa sakit tanpa sebab kronis yang
mengenai 1,5-5,5% wanita usia paruh baya. Asosiasi internasional untuk studi rasa sakit telah
mengidentifikasikan BMS sebagai “keadaan nosologikal khusus” yang dikarakterisasikan
oleh rasa terbakar yang intermitten atau rasa sakit yang mirip tanpa adanya perubahan
mukosa yang terdeteksi. Rasa sakit tersebut biasanya sedang atau parah, durasinya bervariasi
mulai dari satu hari hingga bertahun-tahun. Serangannya dapat terjadi secara spontan atau
berhubungan dengan penggunaan obat, perawatan gigi, atau infeksi virus. Studi terbaru telah
mengidentifikasikan disfunsi pada beberapa saraf kranium berhubungan dengan sensasi rasa
sebagai kemungkinan penyebabnya, dan menemukan bahwa pasien BMS tersbeut
menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap toleransi rasa panas, dan ambang sensoris
dan rasa sakit yang tinggi terhadap stimulasi laser argon.
Lamey dan Lamb (1988) telah mengklasifikasikan pasien BMS berdasarkan variasi
sehari-hari rasa sakitnya dan mengidentifikasikan tiga subtipe klinis : tipe satu
dikarakterisasikan oleh munculnya gejala tanpa rasa sakit dengan simptom yang berkembang
pada siang hari; tipe 2 dikarakterisasikan dengan rasa sakit yang konstan selama seharian
penuh; dan tipe 3 diakrakterisasikan dengan gejala yang hilang timbul. Lamey dkk
menunjukkan bahwa subjek dengan BMS (khususnya tipe 3) mempunyai reaksi hipersensitif
terhadap basis protesa, bahan tambal gigi, dan alergi makanan lebih sering dari yang diduga.
Scala dkk (2003) mengusulkan klasifikasi BMS dalam dua bentuk klinis : BMS primer atau
idiopatik, dan BMS sekunder yang dikarenakan kondisi patologis lokal atau sistemik yang
diduga berkaitan dengan suatu terapi.
BMS sering bersifat idiopatik, akan tetapi patogenesis melalui berbagai macam faktor
baik lokal maupun sistemik telah dilaporkan, termasuk hipersensitif kontak terhadap alergen
di dalam mulut, yang terutama berhubungan dengan rasa terbakar yang hilang timbul atau
BMS sekunder. Peran dari alergen pada BMS masih merupakan kontroversi; beberapa studi
menganggap adanya prevalensi tinggi alergi terhadap gigi tiruan dan bahan dental seperti
akrilik, nikel, merkuri, emas, dan kobalt, akan tetapi alergi yang sebenarnya terhadap bahan
gigi tiruan sangat jarang dan pasien tidak dianggap sebagai terkena alergi sampai Patch Test
yang terkontrol telah berhubungan dengan gejala klinisnya.
Studi terbaru menjelaskan alergi kontak terhadap mukosa mulut sebagai respon dari
berbagai makanan, produk kebersihan mulut, dan bahan yang digunakkan dalam praktik gigi,
beberapa diantaranya mungkin memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas. Tidak terdapat
deskripsi mengenai gambaran klinis yang spesifik mengenai alergi kontak terhadap bahan
dental, akan tetapi pasien menunjukkan berbagai manifestasi mukosa mulut seerti yang biasa
ditemukkan setelah kontak dengan amalgam, paladium, emas, nikel sulfat, dan resin.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi perluasan dan keparahan reaksi
terhadap bahan dental pada kelompok pasien BMS, dan menginvestigasi kemungkinan peran
terhadap alergi kontak dalam patogenesis gejalanya.
BAHAN DAN METODE
Secara berurutan, kami meneliti 124 pasien dengan rasa terbakar tanpa lesi mukosa
(108 pasien wanita dan 16 pria dengan usia rata-rata 57 tahun, dengan rentang usia 41-83)
didiagnosa menderita BMS sekunder oleh unit Oral Phatology and Medicine of Milan
University’s Dental Hospital (Italy) antara januari 2004 hingga juli 2007. Pasien dengan
BMS primer (didefinisikan berdasarkan Scala dkk sebagai sensasi terbakar dalam mulut,
termasuk sensasi menyengat atau sakit yang berkaitan dengan mukosa mulut nm secara klinis
normal dengan tidak adanya penyakit lokal atau sistemik atau perubahan) tidak dimasukkan.
Kondisi berkaitan yang dapat diperhitungkan dari riwayat pasien mencakup depresi,
fobia kanker, medikasi sistemik (khususnya obat xerostomia), menopouse, diabetes,
pemakaian gigi tiruan dan perawatan gigi yang baru dilakukan.
Semua pasien menjalani Patch Test sesuai dengan kriteria standar yang diajukan oleh
Italian Society of Allergological and Environmental Dermatology menggunakan rangkaian
kavitas mulut dengan 34 jenis spesifik, termasuk beberapa dental resin, garam logam, dan
perasa (Lofarma Inc, Milan, Italy). Hapten di tes pada bagian atas dari belakang
menggunakan Finn Chambers pada plaster Scanpor (Alpharma Inc, Vennesla, Norway),
dengan pembacaan yang dibuat setelah 72-96 jam. Reaksi dievaluasi menggunakan skala
bernilai 5 dan kriteria yang mirip dengan yang digunakan oleh Kelompok Dermatitis Kontak
Amerika Utara: [-] reaksi negatif; [+] eritema makular; [++] makular eritema dengan reaksi
lemah (eritema non-vesikuler, infiltrasi dan kemungkina papula); [+++] reaksi kuat
(edematous atau lesi vesikuler); dan [++++] menyebar, bullous dan lesi ulseratif, atau reaksi
iritan. Relevansi klinis didefinisikan sebagai suatu indeks antara hasil positif Patch Test
dengan resolusi simptom setelah pembuangan hapten. Semua pasien diklasifikasikan
berdasarkan klasifikasi Lamey (BMS tipe 1, 2 dan 3) dan Scala (BMS primer dan sekunder).
Studi ini telah disetujui oleh komite etik lokal dan semua pasien telah menandatangani
inform consent
HASIL
Keseluruhan dari 124 pasien dengan BMS sekunder menurut Scala et al; berdasarkan
klasifikasi Lamey, 90 pasien (72.6%) dengan BMS tipe 3, 20 pasien (16.1%) BMS tipe 2 dan
14 pasien (11.3%) BMS tipe 1. Dua puluh Sembilan pasien (23.4%) memakai GTP, 31pasien
(25%) memakai GTS, dan 17 pasien (13.7%) dengan tambalan amalgam. Delapan pasien
(6.4%) mengatakan mulutnya seperti terbakar setelah perawatan gigi, seperti: pembersihan
gigi (3 kasus), terapi implant (2 kasus), rehabilitasi dengan protesa cekat (3 kasus). Delapan
puluh enam pasien (69.3%) mengeluhkan tentang depresi dan/atau kekhawatiran, dan 55
pasien (44.3%) pada usia menopause atau postmenopause.
Enam belas pasien (13%), seluruhnya dengan BMS tipe 3 atau BMS sekunder
menunjukkan hasil Patch Test yang positif (tabel 1), secara klinis terlihat hubungan relevan
dalam 14 kasus. Kemudian reaksi tersebut dipastikan tepat karena sensasi mulut terbakar
hilang secara stabil setelah kontak dari hapten positif dihilangkan selama 1.5-2 tahun,
meskipun faktor pendukung lain masih ada. Hal tersebut tidaksejalan dengan kedua kasus
tertentu ( No.6 dan No.13) berdasarkan pemeriksaan teliti dari riwayat pasien dan masih
adanya alergi setelah zat alergen dihilangkan.
Sembilan dari pasien dengan reaksi klinis yang sama yaitu sensitif pada logam
campuran dalam gigi tiruan; kelima pasien telah beberapa kali melakukan tambalan gigi dan
alergi terhadap mercuri didalam bahan tambalan. Nikel sulfat cenderung menghasilkan reaksi
alergi positif (5 kasus); cadmium positif di 3 kasus dan palladium di 4 kasus; dan iron
chloride positif pada 1 kasus saja. Tidak satupun pasien mengeluh tentang xerostomia, tetapi
10 mengeluh depresi dan/atau penyakit anxiety.
DISKUSI
Burning Mouth Syndrome merupakan kasus dalam hal diagnosa dan rencana
perawatan karena variasi etiopatogenetiknya. Penelitian terakhir (Scala et al)
mengindikasikan bahwa pentingnya menghilangkan BMS primer (terutama neuropatik dan
perawatan yang resisten) dan BMS sekunder, yang didukung oleh faktor presipitasi lokal
maupun sistemik, dan membutuhkan pemeriksaan teliti karena perawatan yang terkait justru
memiliki kemungkinan untuk menghilangkan ataupun menyamarkan rasa sakitnya. Peran dari
alergen oral pada kontak hipersensitifitas (BMS sekunder) menimbulkan kontroversi:
beberapa penelitian mengungkapkan adanya frekuensi yang tinggi terhadap alergi akibat
bahan-bahan yang digunakan dalam kedokteran gigi, dan/atau bahan penyedap rasa pada
makanan (Helton dan Storrs 1994; Sardella 2007), beberapa peneliti lain menyangkal tentang
kebenaran dari penemuan tersebut (Skoglund dan Egelrud, 1991). Namun dari sebagian besar
laporan tersebut menggunakan metode heterogenous pada sebagian kecil pasien yang diteliti.
Enam belas dari 124 pasien yang diteliti (13%) menunjukkan hasil yang positif
terhadap reaksi alergi. Sebagian besar pasien merasakan adanya sensasi terbakar yang hilang
timbul (intermiten) pada mulutnya, hal ini diketahui berdasarkan penemuan klinis yaitu
mengurangi rasa sakit dengan menghilangkan kontak alergen pada 14 kasus. Hasil penelitian
kami sejalan dengan hal yang dikemukakan pada kasus Lamey et al (Lamey et al, 1994),
terdapat 65% kasus yang bereaksi positif terhadap Patch Test pada kelompok pasien
berjumlah 33 orang dengan BMS hilang timbul (BMS tipe 3), sebanyak 10 dari kelompok
pasien tersebut berhasil dihilangkan rasa sakitnya setelah kontak alergen yang dicurigai
dihilangkan, sehingga muncul hasil Patch Test yang positif pada pasien BMS tipe hilang-
timbul memiliki etiologi yang berarti. Meskipun begitu, kumpulan dari beberapa kontak
alergi pada BMS tipe ini belum pernah dikemukakan pada studi kasus lainnya (Torgerson et
al, 2007).
Jumlah pasien yang positif menggunakan material nikel cukup tinggi, namun
hubungannya terhadap reaksi positif tidak terlalu nyata dan sensasi yang muncul mungkin
berhubungan dengan sumber lainnya. Lagipula, ditemukan bukti bahwa setengah dari pasien
tersebut juga bereaksi terhadap Palladium Chloride dan sepertiganya terhadap Cobalt
Chloride, memungkinkan terjadinya infeki silang pada Nikel dan tidak jelasnya sensitifitas
akibat penggunaan produk-produk dalam kedokteran gigi. Tidak seperti reaksi yang timbul
akibat pemakaian nikel dan emas, kebanyakan dari reaksi yang timbul akibat pemakaian
bahan Merkuri lebih terlihat dan sensasi yang timbul juga berkaitan pada pemakaian bahan-
bahan dalam kedokteran gigi. Kelompok alergen berpersentase tinggi yang menimbulkan
reaksi positif adalah Cadmium Sulphate dan Palladium Chloride, kedua bahan tersebut
umumnya digunakan sebagai bahan pembuatan gigi tiruan logam.
Walaupun alergen yang memiliki persentase tinggi terhadap reaksi positif sangat
sering dikemukakan pada kebanyakan literatur, peneliti sangat tertarik pada alergen yang
memiliki persentase yang rendah terhadap reaksi positif, dan seperti yang telah diteliti oleh
penulis sebelumnya, dapat dikatakan bahwa rendahnya reaksi yang timbul pada campuran
resin seperti aklilik (metil-metakrilat) (Virgili et al, 1996).
Peneliti melakukan Patch Test pada beberapa pasien dengan BMS kronis (khususnya
pada pasien yang memiliki gejala hilang timbul) berdasarkan penemuan sebelumnya (Lamey
et al,1994). Pemeriksaan diagnosa yang tepat bagi beberapa pasien membutuhkan
serangkaian bahan pada rongga oral yang mengandung hapten yang penting, seperti perasa
mint, dengan pemeriksaan teliti pada riwayat pasien dan mengenai paparan alergen untuk
menghilangkan penyebabnya secara baik. Selain itu, kontak sensitif terhadap bahan pokok
pembentuk gigi tiruan plastik harus dipertimbangkan dengan serius, kurangnya informasi
mengenai bahan yang digunakan dan potensi timbulnya alergi pada pasien akan mengurangi
ketepatan diagnosa.
Hubungan antar beberapa macam alergen pada penelitian selama 96 jam oleh peneliti
yang sama yang mengemukakan informasi mengenai riwayat setiap pasien dan melakukan
pemeriksaan klinis untuk membakukan tafsiran yang muncul. menentukan hubungan yang
ada merupakan tantangan klinis dalam menafsirkan beberapa Patch Test, karena meskipun
secara teori benar-benar murni, nyatanya kemurnian teori tersebut tidak pernah diraih dalam
praktiknya. Hilangnya reaksi setelah menghilangkan kontak terhadap bahan tertentu
merupakan hubungan yang masuk akal, namun bahan kontak yang ditemui pasien sehari-hari
dan kompleksitas bahan kimia yang sangat besar menjadikan proses penghindaran menjadi
sulit, khususnya pada kasus alergen oral.
Meskipun penelitian ini sangat terbatas, kesimpulan tetap dapat dibuat. Test Patch
kulit terhadap alergen merupakan teknik diagnosa yang ampuh bagi pasien dengan BMS,
namun meninggalkan kontroversi bagaimana menentukan hubungan klinis pada reksi positif
yang muncul. Tidak ditemukan hubungan yang pasti antara BMS dengan hasil Test Patch
yang positif, tapi peneliti yakin bahwa sebaiknya memasukkan adanya kemungkinan reaksi
hipersensitifitas pasien terhadap bahan kedokteran gigi saat memeriksa pasien dengan BMS
yang hilang timbul (tipe 3 menurut Lamey et al atau BMS sekunder menurut Scala et al)
BAB IV
KESIMPULAN
Burning mouth syndrome (BMS) atau sindrom mulut terbakar merupakan sensasi
terbakar atau menyengat yang mengenai mukosa mulut tanpa disertai adanya tanda klinis lesi
mukosa. Sindrom mulut terbakar adalah kondisi yang sangat menyakitkan yang sering
didefinisikan sebagai sensasi panas di lidah, bibir, palatum ataupun di seluruh rongga mulut.
Walaupun sindrom ini dapat mengenai siapapun, namun lebih banyak terjadi pada wanita
setengah baya maupun lanjut usia.
Nama lain untuk burning mouth syndrome meliputi scalded mouth syndrome, burning
tongue syndrome, burning lips syndrome, glossodynia dan stomatodynia. Etiologi BMS
masih belum dapat dipastikan walaupun beberapa faktor telah diajukan sebagai penyebab,
antara lain defisiensi hematinik, , xerostomia, alergi makanan, dan kesalahan disain gigi.
BMS lebih dominan mengenai wanita tetapi kadang juga berkembang pada pria. Area
apapun dapat terkena, walaupun bibir dan lidah paling sering terlibat. Kadang pasien
merasakan keluhan pada daerah tertentu di dalam mulut akan tetapi hal ini biasanya
ditemukan merupakan penonjolan papila lingual, kelenjar saliva minor, atau kelenjar
sebaseus ektopik.
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imunologik yang merusak jaringan. Reaksi
hipersensitivitas ini timbul sekunder, setelah respon imun primer terhadap konfigurasi asing
yang masuk. Respon alergi diklsasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu hipersensitiyitas
tipe cepat (Immediate hypersensitivity) dan hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity).
Lamey dan Lamb (1988) telah mengklasifikasikan pasien BMS berdasarkan variasi
sehari-hari rasa sakitnya dan mengidentifikasikan tiga subtipe klinis : tipe satu
dikarakterisasikan oleh munculnya gejala tanpa rasa sakit dengan simptom yang berkembang
pada siang hari; tipe 2 dikarakterisasikan dengan rasa sakit yang konstan selama seharian
penuh; dan tipe 3 diakrakterisasikan dengan gejala yang hilang timbul. Scala dkk (2003)
mengusulkan klasifikasi BMS dalam dua bentuk klinis : BMS primer atau idiopatik, dan
BMS sekunder yang dikarenakan kondisi patologis lokal atau sistemik yang diduga berkaitan
dengan suatu terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marino R., Capaccio P, Pignataro L., Spadari F. 2009. Original Article : Burning
Mouth Syndrome ; The Role of Contact hypersensitivity. Hal : 255-258
2. Lewis M., Jordan R. A Colour Handbook of Oral Medicine. 2008. Manson
Publishing. Hal : 156
3. Greenberg, M. S., dkk. 2008. Burket’s Oral Medicine. 7th edition. Hamilton. Hal :
284-285
4. Gandolf Sergio, Crispian Scully CBE., Marco Carronzzo. 2006. Oral Medicine.
Elsevier Hal 47,48,171
5. http://belindch.wordpress.com/2011/03/10/burning-mouth-syndrome-sindrom-
mulut-terbakar/ diunduh tanggal 25 juli 2012 pukul 20:15
6. http://health.detik.com/read/2011/09/12/091257/1719981/770/burning-mouth-
syndrome-sensasi-terbakar-pada-mulut-lidah diunduh tanggal 25 juli 2012 pukul
20:22
7. http://seraficha.wordpress.com/2009/12/08/laporan-oral-biology-ii-
hipersensitivitas-kontak/ diunduh tanggal 27 juli 2012 pukul 19:15