budidaya_wijen
TRANSCRIPT
BUDIDAYA WIJEN
DI LAHAN KERING DAN SAWAH
Oleh:
Moch Romli
Budi Hariyono
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANPERKEBUNAN
BALAI PENELITIAN TANAMAN TEMBAKAU DAN SERAT
MALANG
2006
Wijen (Sesamum indicum L.) telah lama dikenal
dan dibudidayakan di Indonesia terutama di daerah
lahan kering iklim kering. Akhir-akhir ini telah
berkembang di lahan sawah sesudah padi (musim
kemarau), antara lain di Kabupaten Nganjuk (Jawa
Timur) demikian pula di Kabupaten Sragen dan
Sukoharjo (Jawa Tengah).
Rata-rata produktivitas wijen di Indonesia
sekitar 400 kg/ha, sedangkan hasil penelitian dapat
mencapai 1.200-1.400 kg/ha. Untuk memperoleh
produksi yang tinggi
diperlukan penerapan
teknologi
budidaya
yang sesuai,
meliputi:
penggunaan varietas unggul dan benih bermutu,
persiapan lahan yang sesuai, waktu tanam yang
tepat, populasi yang optimal, dosis pupuk yang
optimal, pengendalian organisme
pengganggu
tanaman (OPT) yang tepat, dan pengairan yang
sesuai kebutuhan tanaman.
Varietas unggul dan benih bermutu
Varietas unggul yang telah dilepas adalah
Sumberrejo 1 (Sbr.1), Sbr.2, Sbr.3, dan Sbr.4. Varietas
Sbr.1, Sbr.3, dan Sbr.4 adalah jenis wijen yang
bercabang, sedangkan Sbr.2
tidak bercabang.
Varietas Sbr.1 dan Sbr.3 sesuai untuk pengembangan
di lahan kering (musim penghujan), sedangkan
untuk pengembangan di lahan sawah sesudah padi
(musim kemarau) dapat menggunakan Sbr.1 dan
Sbr.4. Benih yang digunakan sebaiknya berupa benih
sebar yang bersertifikat. Kebutuhan benih untuk
wijen monokultur 3-8 kg/ha, sedangkan untuk
tumpangsari 2-3 kg/ha.
Persiapan lahan
Untuk budidaya wijen di lahan kering, tanah
diolah sampai gembur sedalam 30 cm menggunakan
cangkul, bajak sapi atau traktor. Kemudian dibuat
bedengan dengan lebar 3 m dan panjang sesuai lahan
(usahakan arah timur-barat sesuai arah sinar
matahari). Antar bedengan dan keliling lahan dibuat
saluran untuk pembuangan air (drainase) dengan
lebar 40 cm dan dalam 40 cm.
Di lahan sawah setelah panen padi, air yang
tersisa di lahan perlu dikeringkan (diatus), dengan
membuat saluran drainase
sekeliling lahan.
Kemudian dilakukan pengolahan tanah hingga
gembur. Dibuat bedengan dengan lebar 3-6 m dan
panjang sesuai dengan panjang lahan. Antar
bedengan dibuat saluran/parit dengan lebar 40 cm
dalam 40 cm yang berfungsi untuk pengairan
maupun untuk drainase.
Waktu tanam dan pola tanam
Di lahan kering wijen sebaiknya ditanam pada
awal musim penghujan. Jika terlambat tanam, tanah
akan terlalu basah dan dingin yang kurang baik bagi
perkecambahan wijen.
Disamping itu akan
mendapat gangguan yang berat dari gulma, hama,
penyakit, dan akan kekurangan air.
Di lahan sawah dengan pengairan terbatas,
sebaiknya wijen ditanam setelah panen padi pertama
(MK-1) atau setelah panen padi kedua (MK-2).
Bulan
11 12
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
Polatanam wijen di lahan kering
Polatanam wijen di lahan sawah
m=monokultur; ts=tumpangsari
WJ m/ts
PD 1
PD 2
WJ m/ts
WJ m/ts
Wijen dapat ditanam secara monokultur
maupun tumpangsari dengan tanaman lain (jagung,
kacang hijau, kacang tanah, kedelai, kapas, jarak, ubi
kayu, atau padi gogo). Tumpangsari bertujuan untuk
penganekaragaman, mengurangi resiko gagal panen,
dan menambah pendapatan.
Populasi tanaman
Di lahan kering pada awal musim penghujan,
untuk varietas Sbr.1, Sbr.3, dan Sbr.4 sebaiknya
ditanam dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm dengan 2
tanaman per lubang, sedangkan untuk Sbr.2 karena
tidak bercabang, ditanam dengan jarak tanam 40 cm
x 25 cm.
Biasanya habitus tanaman di musim kemarau
lebih pendek/kecil dibanding musim penghujan,
maka populasi di lahan sawah dapat ditingkatkan
sehingga jarak tanam menjadi 50 cm x 25 cm atau 40
cm x 25 cm.
Pemupukan
Dosis pupuk yang harus diberikan sangat
tergantung kondisi tanah dimana wijen akan
dibudidayakan. Secara umum dosis pupuk untuk
lahan kering adalah 50-100 kg Urea/ha, sedangkan
untuk lahan sawah 100-150 kg Urea/ha. Pupuk
diberikan secara tugal disamping lubang tanam, dua
kali yaitu 1/3 bagian pada awal tanam dan sisanya
pada 4-6 minggu setelah tanam (MST).
Pupuk fosfat (SP36) dan kalium (KCl) dapat
ditambahkan jika diketahui tanah kekurangan kedua
hara tersebut. Untuk tanaman wijen umumnya
cukup ditambahkan 50 kg SP36 + 50 kg KCl/ha,
diberikan pada awal tanam.
Pengairan
Untuk budidaya wijen di lahan kering tidak
perlu dilakukan pengairan karena tergantung pada
air hujan. Sedangkan di lahan sawah sesudah padi
(MK-1 maupun MK-2), diperlukan pengairan
sebanyak 4-5 kali hingga masa pengisian polong.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengairan
jangan sampai tergenang.
Pengendalian hama, penyakit , dan gulma
Hama
yang sering dijumpai menyerang
tanaman wijen antara lain kutu daun (Aphis sp.),
tungau (Polyphagotarsonemus latus), thrips sp., dan
belalang (Atractomorpha sp.). Sedangkan penyakit
yang sering menyerang pertanaman wijen antara lain
virus penyebab keriting daun, layu yang disebabkan
Fusarium, Phytophtora, dan Cercospora.
Pada pertanaman wijen di lahan sawah pada
musim kemarau, serangan tungau sangat dominan
yang berasosiasi dengan terjadinya serangan virus
keriting. Kerusakan yang ditimbulkan sangat besar,
karena daun menjadi mengecil dan mengeriting,
sehingga dapat menggagalkan produksi.
Pengendaliannya dianjurkan secara terpadu,
dengan cara pencegahan yaitu dengan menggunakan
varietas
unggul
benih bermutu, pengelolaan
ekosistem yang baik dengan teknik budidaya yang
benar dan penggunaan insektisida secara benar
(usahakan menggunakan insektisida alami terlebih
dahulu, baru kimiawi).
Karena pertumbuhan awal wijen yang lambat,
maka sebaiknya pengendalian gulma dilakukan
dengan penyiangan mulai awal yaitu pada 2 MST
dan diulangi lagi pada 4 dan 6 MST. Biasanya
pelaksanaan penyiangan sekaligus
melakukan
pendangiran dan pembumbunan.
Panen dan prosesing
Waktu panen yang tepat adalah apabila 60-70%
polong telah berwarna hijau kekuningan dan daun
telah mulai rontok. Cara panen adalah dengan
memotong batang 15-20 cm di bawah polong
terbawah.
Selanjutnya
batang diikat/dibendel
dengan diameter ikatan 10-20 cm selanjutnya
dijemur dalam kedudukan berdiri selama 5-7 hari
hingga kering dan polong pecah, kemudian posisi
dibalik sambil dipukul-pukul untuk mengeluarkan
biji dari polong. Biji yang terkumpul ditampi untuk
memisahkannya
dari kotoran, selanjutnya
biji
dijemur hingga kering kemudian disimpan di tempat
kering. Proses ini diulang 2-3 kali hingga seluruh biji
keluar dari polong.
Tumpangsari jarak dan wijen
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
Jl. Raya Karangploso Km.4, Kotak Pos 199, Malang 65152
Telp. (0341)491447; Fax. (0341)485121