blok 27
DESCRIPTION
intoksikasi solventTRANSCRIPT
Diagnosis Prenatal dan Penyakit Genetika yang Berhubungan dengan
Kehamilan Diatas Usia 35 Tahun
A1
Adatya Stevani Paulins Putuhena 102010253
Gabriel Susilo 102012016
Yanuar Hermawan 102012033
Samuel Wosangara Billy 102012152
Evenjelina 102012206
Juliana Dewi Hadi 102012316
Edy Sujono 102012342
Vidya Dewi Sutanto 102012382
Muhamad Aman Bin Embok Halid 102012496
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012, Jl.
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510, Telp : 021-56942061, Fax : 021-563173
Pendahuluan
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur dan
fungsi pada perkembangan janin dengan berbagai teknik dan prosedur selama kehamilan.
Bayi baru lahir sekitar 2-3% mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang
ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu peneyebab
utama kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat inap
dibagian anak.
Saat ini di negara-negara maju sebagian besar pertanyaan tentang kondisi janin sudah
dapat terjawab dengan majunya teknologi ultrasonografi dan laboratorium, dan kekhawatiran
kondisi ibu sudah dapat dikurangi dengan pemberian pelayanan kebidanan yang adekuat.
Malahan sekarang orang lebih takut untuk melakukan pemeriksaan diagnosis pranatal karena
1
merasa tidak siap untuk membuat keputusan bila hasil pemantauannya menunjukkan keadaan
yang tidak diinginkan.
Skrining prenatal bertujuan untuk mengetahui apakah janin mempunyai resiko
mengalami kelainan genetik atau kelainan kongenital tertentu, sedangkan diagnosis prenatal
bertujuan untuk mengetahui secara pasti bahwa janin tersebut benar-benar mengalami
kelainan genetik atau kelainan bawaan tertentu.
Diagnosis prenatal seharusnya dilakukan pada keadaan berikut; (1) bila kehamilan
mempunyai resiko yang mengakibatkan kelainan bawaan pada janinnya, (2) mencari adanya
kelainan bawaan yang paling sering terjadi pada janin meskipun tidak jelas adanya faktor
resiko, (3) mencari adanya gangguan struktual ataupun pertumbuhan pada janin.1
Pembahasan
Anamnesis
Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut sangat penting untuk melakukan
anamnesis terlebih dahulu. Dari anamnesis diagnosis kita akan lebih terarah. Hal yang perlu
kita tanyakan dalam anamnesis antara lain identitas, keluhan utama dan keluhan tambahan,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga,
riwayat sosial, dan berdasarkan kasus ditanyakan juga riwayat kehamilan. Beberapa hal
penting yang kita tanyakan berdasarkan kasus dapat dilihat dalam tabel berikut (tabel 1).
Riwayat kehamilan
saat ini
Riwayat obstetri lalu Riwayat penyakit Riwayat sosial
ekonomi
Usia ibu hamil
Perdarahan
pervaginam
Keputihan
Mual dan muntah
Masalah/kelainan
pada kehamilan
sekarang
Pemakaian obat-obat
(termasuk jamu)
Jumlah kehamilan
Jumlah persalinan
Jumlah persalinan
cukup bulan
Jumlah persalinan
prematur
Jumlah anak hidup
Jumlah keguguran
Jumlah aborsi
Perdarahan pada
Jantung
Hipertensi
Diabetes melitus
TBC
Alergi obat/makanan
Ginjal
Dll
Status perkawinan
Respon ibu &
keluarga terhadap
kehamilan
Jumlah keluarga di
rumah
Kebiasaan makan
dan minum
Kebiasaan merokok,
menggunakan obat
2
kehamilan,
persalinan terdahulu
Hipertensi pada
kehamilan terdahulu
Berat bayi <2,5 kg /
> 4 kg
Adanya masalah2
selama kehamilan,
persalinan terdahulu
terlarang, & alkohol
Pekerjaan & aktivitas
sehari-hari
Pendidikan
Penghasilan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tekanan darah, berat badan, tinggi badan,
tinggi fundus uteri (tafsiran berat badan janin), auskultasi (mengetahui denyut jantung janin),
palpasi abdomen untuk mendeteksi kehamilan ganda (setelah umur kehamilan 28 minggu),
manuver Loepold untuk menentukan posisi dan letak janin.
Leopold I, tujuannya untuk mengetahui letak fundus uteri. Dengan cara :
- Wajah pemeriksa menghadap ibu
- Palpasi fundus uteri
Tentukan bagian janin yang ada pada fundus.
Leopold II, tujuannya untuk menentukan punggung dan bagian kecil janin di sepanjang sisi
maternal. Dengan cara:
- Wajah pemeriksa mengahadap ke arah kepala ibu
- Palpasi dengan satu tangn pada tiap sisi abdomen
- Palpasi janin di antara dua tangan
- Temukan mana punggung dan bagian ekstremitas
Leopold III, tujuannya untuk membedakan bagian presentasi dari janin dan sudah masuk
dalam pintu panggul. Dengan cara:
- Wajah pemeriksa menghadap ke arah kepala ibu
- Palpasi di atas simfisi pubis. Beri tekanan pada area uterus
3
- Palpasi bagian presentasi janin diantara ibu jari dan keempat jari dengan menggerakan
pergelangan tangan. Tentukan prensentasi janin
- Jika ada tahanan berarti ada penurunan kepala
Leopold IV, tujuannya untuk meyakinkan hasil yang ditemukan pada pemeriksaan Leopold
III dan untuk mengetahui sejauh mana bagian presentasi sudah masuk pintu atas panggul.
Memberikan informasi tentang bagian presentasi : bokong atau kepala, sikap (fleksi/ekstensi),
dan station (penurunan bagian presentasi). Dengan cara :
- Wajah pemeriksa menghadap ke arah ekstremitas ibu
- Palpasi janin di antara dua tangan
- Evaluasi penurunan bagian presentasi
Indikasi Prenatal Diagnostik
Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35
tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain
yang positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut :1,2
1. Kehamilan tunggal dengan usia ≥ 35 tahun saat pelahiran
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani
pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai
meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis. Pada
usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom
adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia
33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.
2. Kehamilan kembar dizigotik dengan usia ≥ 31 tahun pada saat pelahiran
Dengan dua janin, hukum probabilitas menyebutkan bahwa kesempatan salah satu
atau keduanya akan merita sindrom Down lebih besar dibandingkan bila hanya ada satu
janin. Risiko trisomi 21 pada kehamilan kembar harus dihitung setelah
mempertimbangkan risiko sindrom Down yang terkait usia ibu.
3. Riwayat kelahiran trisomi autosomal
Wanita yang sekurang-kurangnnya pernah sekali hamil trisomi mempunyai risiko
kira-kira 1 persen untuk mengalami kehamilan trisomi autosom yang sama atau berbeda.
Hal ini berlaku sampai risiko terkait umur mereka mencapai lebih dari 1 persen, yaitu
pada saat risiko yang lebih itnggi mendominasi.
4
4. Riwayat kehamilan 47,XXX atau 47,XXY
Wanita yang anak sebelumnya menderita 47,XXY tidak beresiko tinggi untuk
mengalami kembali kehamilan ini, karena kromosom ekstra pada situasi ini berasal dari
ayah, dan kesalahan dari ayah peluangnya kecil untuk berulang. Sama halnya dengan
45,X mempunyai resiko sangat rendah untuk berulang.
5. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat translokasi kromosom
Untuk sebagian besar translokasi, risiko anak lahir hidup abnormal yang diamati lebih
kecil daripada resiko teoritisnya, karena sebagian gamet menghasilkan konseptus yang
tidak mampu bertahan hidup.
6. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat inversi kromosom
Risiko setiap pembawa sifat ditentukan oleh metode penetapannya, kromosom yang
terlibat, dan besarnya inversi, sehingga harus ditetapkan secara individu.
7. Riwayat triploidi
Lebih dari 99 persen konseptus triploid gugur pada trimester pertama atau kedua
awal. Jarang sekali janin yang berkembang. Jika triploid yang terjadi pada janin bertaha
melewati trimester pertama, risiko pengukangan adalah 1 sampai 1,5 persen, cukup untuk
menguatkan diagnosis prenatal.
8. Beberapa kasus keguguran berulang
Beberapa keguguran dini berulang akibat aneuploidi cenderung disebabkan oleh
inversi atau translokasi pada ibu atau ayahnya. Aneuploidi nontrisomik ini akan
meningkatkan resiko mengalami kehamilan selanjutnya dengan kariotipik yang sama. Hal
ini membenarkan dilakukannya diagnostik prenatal pada kehamilan-kehamilan berikutnya
jika tidak terjadi keguguran dini. Dengan melihat fakta- fakta ini, penentuan kariotipe
pada orang tua dan bukannya kariotipe jaringan abortus setelah keguguran dini berulang
dapat memberikan informasi yang amat berguna mengenai risiko pengulangan.
9. Pasien atau pasangan mempunyai aneuploidi
Wanita trisomi 21 atau 47, XXX serta laki-laki 47,XYY biasanya fertil dan
mempunyai 30 persen resiko mempunyai keturunan trisomi.
10. Defek struktural mayor janin pada pemeriksaan ultrasonografi
Kondisi ini cukuo meningkatkan resiko aneuploidi sehingga mengharuskan
pemeriksaan genetik pada janin, tanpa memandang umur ibu atau kariotipe orang tua.1
Waktu Pemeriksaan
5
o Pemeriksaan ultrasonografi, sebaiknya dilakukan pada awal trimester kedua kira-kira 18-
20 minggu. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan noninvasif yang paling banyak
digunakan dan dapat dilakukan pada setiap tahap dan umur kehamilan.
o Pemeriksaan serum ibu, test darah yangdilakukan terhadap ibu hamil pada kehamilan
trimester 1 dan/atau trimester 2.
o Amniosintesis untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia kehamilan
trimester kedua.
o Amniosintesis dini yang dilakukan pada usia kehamilan sebelum 15 minggu (11-14
minggu).
o Pemeriksaan vili korialis, dikerjakan pada usia kehamilan 10-12 minggu.
o Pemeriksaan darah janin dengan teknik kordosentesis, dapat dilakukan sejak usia
kehamilan 12 minggu
o Biopsi janin, dikerjakan pada saat kehamilan usia 17-20 minggu.1,2
Jenis dan Teknik Pemeriksaan
1. Pemeriksaan ultrasonografi
Sejak Donald memperkenalkan ultrasonografi (USG) dalam bidang obstetri pada
akhir tahun 1950an telah terjadi banyak kemajuan dalam teknologi USG ini. Dengan
semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan USG, maka telah terjadi
peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis prenatal dalam mememukan abnormalitas
morfologi janin terutama setelah 18 minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal
memungkinkan deteksi abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu.2-3
Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal meliputi :
- Konfirmasi kehidupan janin
- Penentuan umur kehamilan yang akurat
- Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
- Deteksi anomali pada janin
- Pemantauan pertubuhan janin
- Penilaian kesejahteraan janin
- Penentuan lokasi plasenta dan tepinya
- Pemantauan real time untuk prosedur invasif
- Deteksi kelainan uterus dan adneksa.3
6
RCOG (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) pada tahun 1997
membuat rekomendasi untuk pemakaian USG sebagai berikut :
a) Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada janin
dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
b) Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena
mampu mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan.
c) Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu
merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada janin.
d) Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan namun
wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau diperiksa. Harus
tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan. Ketetapan mengenai
konseling dan informasi yang memadai harus merupakan bagian dari program
skrining.
e) Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai dampaknya.
Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli lain selain
ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli genetik dan ahli
bedah anak.
f) Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih.
Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan menggunakan
protokol atau daftar tilik yang telah disetujui.3
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :
a) Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya tulang
tengkorak pada anencephali.
b) Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian tubuh
tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada dwarfism.
c) Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan,
misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya dilatasi
pada saluran ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama pada saat ibu
mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat kehamilan 20 minggu, minimal pada
kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan adanya kelainan maka harus dirujuk untuk diperiksa
oleh tenaga yang terampil untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan penanganan
selanjutnya yang sesuai. Keputusan penanganan harus dilakukan dengan mendapat masukan
7
dari tim dengan keahlian yang multidisplin. Orang tua harus terlibat langsung dan mendapat
informasi yang memadai untuk mengambil keputusan.3
Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada jantung, defek
dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan ginjal dan nuchal
translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan dengan anomali kromosom atau
bagian dari sindroma mendelian. Dengan demikian pemeriksan dengan USG akan
memberikan manfaat yang besar.4
Standar RCOG untuk pemeriksaan USG pada kehamilan 20 minggu adalah sebagai
berikut :
Umur kehamilan : dengan mengukur diameter biparietal (BPD), lingkar kepala
(HC) dan panjang femur (FL)
Nomalitas janin
Bentuk kepala dan struktur di dalamnya : midline echo, kavum pellucidum,
cerebellum, ukuran ventrikel dan atrium (< 10 mm)
Spina : longitudinal dan transversal
Bentuk abdomen dan isinya ( setinggi lambung)
Bentuk abdomen dan isinya (setinggi umbilikus)
Pelvis ginjal (jarak anterior-posterior < 5 mm)
Aksis longitudinal : tampak toraks – abdominal (diafragma / buli-buli)
Toraks (setinggi 4 chamber view)
Lengan – 3 tulang dan tangan (tidak termasuk jari-jari)
Tungkai – 3 tulang dan kaki (tidak termasuk jari-jari)
Optional : pembuluh darah yang keluar dari jantung, muka dan bibir.3
2. Pemeriksaan serum ibu
a. Maternal Serum Alpha-Fetoprotein (MSAFP)
Janin yang sedang berkembang memiliki dua protein darah utama : albumin
dan alfa fetoprotein ( AFP ). Karena orang dewasa biasanya hanya memiliki albumin
dalam darah, tes MSAFP dapat dimanfaatkan untuk menentukan tingkat AFP dari
janin. Biasanya, hanya sejumlah kecil AFP memperoleh akses ke air ketuban dan
plasenta untuk melintasi darah ibu. Namun, bila ada cacat tabung saraf pada janin,
dari kegagalan bagian dari saraf embryologic tabung untuk menutup, maka AFP akan
melarikan diri ke dalam cairan ketuban. Cacat tabung saraf termasuk anencephaly
( kegagalan penutupan pada akhir tengkorak tabung saraf). Insiden gangguan-
gangguan tersebut sekitar 1-2 kelahiran per 1000 di AS. Juga, jika ada omphalocele
8
( keduanya cacat pada dinding perut janin ), AFP dari janin akan berakhir di darah ibu
dalam jumlah yang lebih tinggi.2
Agar tes MSAFP memiliki utilitas terbaik, usia kehamilan ibu harus diketahui
dengan pasti. Hal ini karena jumlah MSAFP meningkat sesuai usia kehamilan. Juga,
ras ibu dan kehadiran gestational diabetes penting untuk diketahui, karena MSAFP
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. MSAFP biasanya dilaporkan sebagai
multiples of mean (MoM). Semakin besar MoM, semakin besar kemungkinan cacat
hadir. Para MSAFP memiliki sensitivitas terbesar antara 16-18 minggu kehamilan,
tetapi masih berguna antara 15-22 minggu kehamilan. MSAFP juga dapat berguna
dalam penyaringan untuk Sindrom Down dan trisomies lainnya. MSAFP cenderung
lebih rendah ketika Sindrom Down atau kelainan kromosom lain hadir.2,4-5
b. Maternal Serum Beta-HCG
Tes ini paling sering digunakan sebagai tes untuk kehamilan. Dimulai pada
sekitar seminggu setelah pembuahan dan implantasi embrio ke dalam rahim, trofoblas
akan menghasilkan cukup beta-HCG untuk mendiagnosis kehamilan. Jadi, pada saat
pertama kali menstruasi luput, beta-HCG akan sudah cukup untuk tes kehamilan
positif. Beta-HCG juga dapat diukur dalam serum dari darah ibu, dan ini dapat
berguna di awal kehamilan ketika terancam aborsi atau kehamilan ektopik dicurigai,
karena jumlah beta-HCG akan lebih rendah dari yang diharapkan.1,2,3
Kemudian pada kehamilan, di tengah sampai akhir trimester kedua, beta-HCG
dapat digunakan bersama MSAFP untuk skrining kelainan kromosom, dan sindrom
down pada khususnya. Sebuah beta-HCG tinggi dibarengi dengan penurunan MSAFP
menunjukkan Sindrom Down. Tingkat HCG yang tinggi mengindikasikan adanya
penyakit Tropoblastic ( kehamilan molar ). Tidak adanya bayi saat di USG disertai
HCG yang tinggi mengindikasikan mola hidatidosa, Kadar HCG juga bisa digunakan
untuk follow up perawatan pada kehamilan molar untuk memastikan tidak adanya
penyakit trophoblastik seperti kariokarsinoma.2
c. Serum estriol maternal (uE3)
Jumlah estriol dalam serum ibu bergantung pada kelayakan janin, sebuah
plasenta berfungsi dengan benar, dan keadaan ibu. Substrat untuk estriol dimulai
sebagai dehydroepiandrosterone ( DHEA ) yang dibuat oleh kelenjar adrenal janin. Ini
dimetabolisme lebih lanjut di dalam plasenta menjadi estriol. Estriol masuk ke
sirkulasi ibu dan dieksresi oleh ginjal dalam air seni ibu atau oleh hati ibu dalam
empedu. Pengukuran tingkat estriol serial pada trimester ketiga akan memberikan
9
indikasi umum kesejahteraan janin. Jika tingkat estriol turun, maka janin terancam
dan emergency mungkin diperlukan. Estriol cenderung lebih rendah bila Sindrom
Down hadir dan juga adanya adrenal hypoplasia dengan anencephaly.2,3
d. Inhibin-A
Inhibin disekresi oleh plasenta dan korpus liteum. Inhibin-A dapat diukur
dalam serum ibu. Tingkat peningkatan inhibin-A adalah dikaitkan dengan
peningkatan risiko untuk trisomi 21. Inhibin-A tinggi dapat berhubungan dengan
risiko kelahiran prematur.4
e. Pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A)
Rendahnya tingkat PAPP-A sebagai diukur dalam serum ibu trimester pertama
dapat berhubungan dengan anomali kromosom janin termasuk trisomies 13,18, dan
21. Selain itu, kadar PAPP-A pada trimester pertama dapat memprediksi hasil
kehamilan yang merugikan, termasuk small for gestational age ( SGA ) atau lahir
mati. PAPP-A tinggi dapat memprediksi large of gestational age ( LGA) baby.
f. Triple or Quadriple Screen
Menggabungkan tes serum ibu dapat membantu dalam meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas untuk deteksi kelainan janin. Tes klasik adalah triple
screen untuk MSAFP, beta-HCG, dan estriol (uE3) atau quadriple screen dengan
ditambah inhibin-A.2,3,4
CONDITION MSAFP uE3 HCG
Neural tube defect Increased Normal Normal
Trisomy 21 Low Low Increased
Trisomy 18 Low Low Low
Molar pregnancy Low Low Very High
Multiple gestation Increased Normal Increased
Fetal death Increased Low Low
3. Amniosintesis
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung
sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada
tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis
menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam
10
cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi
kelainan kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu
amniosintesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk
kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi
kongenital.3,4
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin.
Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan
dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion.
Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk
pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari
darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk
kultur.6
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk
menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi
penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang
lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap
kondisi ini.6
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada
usia kehamilan antara 15-20 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai
(sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai
rasio terbesar.4,6
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk
menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin,
deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta
memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu
dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum
ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat.
Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput
ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus
melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler
untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling
tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal.4,6
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator yang satu
memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang
11
pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat
menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan
jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk
menghindari kontaminasi dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion
sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika.4,6
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat
dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan
letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi
penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis
untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu
kesempatan yang sama.4,6
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini
yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas
diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk
dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin
akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan
tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain.
Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan
selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000
prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya
sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan
normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan
ukuran jarum yang dipakai.3,6
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif
setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan
menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan
pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis
terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi.6
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan
sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah
air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna
sehingga sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih
12
kecil, uterus belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan
kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.3,4
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan
diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan
villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak
komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak
10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang
viable lebih besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut.
Keberhasilan kultur pada kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu
panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding
dengan CVS, amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah.6
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan
amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun
Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok
amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan
yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5%
vs 1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara
kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan
untuk tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.4,6
4. Pemeriksaan vili korialis
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun
1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara
memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil.
Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi
potongan villi.4
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12
minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode
biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang
abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan.3-4
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik tranvaginal maupun transabdominal.
Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung
janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi
13
maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi
uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat
mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk
mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang
diperlukan untuk manipulasi kateter.4,7
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian
masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-
5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam
uterus dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks.
Operator menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian
kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan
stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan
villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai
struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan
mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut
terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila
tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi
kedua.4,7
Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid – Jensen dan
Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19
atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke
dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum
yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat
kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan
villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia
kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat
menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.4,7
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan
yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian
reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai
risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS
yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.
14
Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan
hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil,
namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.7
5. Pemeriksaan darah janin
Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin
dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke
dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous
umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis
adalah istilah yang sering digunakan.8
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.
Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak
dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk kariotipe
cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari
villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Pemeriksaan darah janin
juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada
kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis
prenatal retardasi mental fragile-X.4,8
Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi,
koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme
serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik
adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat
antiaritmia pada janin dengan hidrops.8
Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke
tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang
lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka
ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum
yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang
tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah
sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan
teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih
besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga selain di
vena umbilikus dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin.4,8
15
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya
hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi.
Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan
pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30
menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga
harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.8
6. Biopsi janin
Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.
Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit, otot,
liver, ginjal dan otak.3,4
Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah
untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti
dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan
memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi
jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi
kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia,
dan biokimia.3,4
Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk
diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X,
gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal
untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase
chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.3
Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit
yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi
korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini
dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti
ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS)
deficiency, glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).2
Kelebihan dan Kekurangan
1. Ultrasonografi
16
Setiap suatu kelainan bawaan janin yang telah didiagnosis dan dievaluasi janin telah
dilaksanakan dengan lengkap, maka setiap hal yang berkaitan dengan prognosis janin
tersebut, baik maupun buruk, harus disampaikan kepada orang tua janin. Bila pada
trimester kedua kehamilan pemeriksaan ultrasonografi gagal untuk mendapatkan adanya
kelainan bawaan, maka ini pun harus disampaikan, karena beberapa kelainan bawaan
tertentu seperti hidrosefalus, mikrosefali, dan ginjal polikistik tidak tampak trimester
kedua, dan mungkin kelainan baru tampak pada trimester ketiga pada saat kelainan yang
terjadi sudah cukup jelas untuk diketahui dengan ultrasonografi.1
Pemeriksaan ultrasonografi ini cukup aman bagi ibu dan janin, selain itu pemeriksaan
ini merupakan dasar bagi teknik pemeriksaan diagnostik prenatal selanjutnya. Teknik
pengambilan sampel untuk pemeriksaan kariotipe janin, misalnya chorionic villous
sampling (CVS), amniosintesis, kordosentesis, fetal tisuue sampling, semuanya
memerlukan tuntunan ultrasonografi untuk pelaksanaannya.2
2. Pemeriksaan serum ibu
Pemeriksaan ini relatif cukup aman bagi ibu, karena teknik yang dilakukan hanyalah
dengan mengambil darah ibu. Namun tes ini tidak spesifik 100 % karena terkadang ada
berbagai faktor yang menyebabkan MSAFP meningkat terutama saat terjadi kesalahan
penghitungan usia kehamilan.1,2
3. Amniosintesis
Amniosintesis merupakan prosedur diagnostik prenatal yang paling banyak dipakai
dan bertujuan untuk mendapatkan sampel pemeriksaan kromosom yang abnormal dan
penyakit genetik lainnya. Pemeriksaan amniosintesis dini dapat dilakukan sebelum umur
kehamilan 15 minggu agar dapat mendiagnosis janin lebih dini, tapi jika umur kehamilan
dibawah 15 minggu yang menjadi faktor penyulitnya adalah jumlah air ketuban yang
relatif lebih sedikit dibandingkan umur kehamilan pada trimester kedua. Penyulit yang
mungkin terjadi adalah kebocoran cairan ketuban, perdarahan, kontraksi uterus.1
4. Pemeriksaan vili korialis
Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester pertama kehamilan sehingga akan
segera memberi kenyamanan pada keluarga penderita bila hasil pemeriksaan tidak
mendapatkan adanya kelainan. Sebaliknya, bila dilakukan koreksi bila kelainan dapat
dikoreksi, atau bila akan dilakukan terminasi kehamilan. Namun, pemeriksaan ini
mempunyai resiko abortus lebih tinggi dibanding amniosintesis.1
5. Pemeriksaan darah janin
17
Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila ditemukan kegagalan kultur pada
amniosintesis dan biopsi plasenta. Faktor penyulit hampir sama dengan amniosintesis
ditambah bradikardi janin, laserasi tali pusat, dan trombosit. Perlu diperhatikan agar
sampel darah janin tidak bercampur dengan darah ibu.2
6. Biopsi janin
Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi,
dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak
memuaskan.1,2
7. Kordosentesis
Pemeriksaan dilakukan pada usia kehamilan lebih daei 20-22 minggu. Sample
yangdiambil adalah darah tali pusat. Caranya dengan memasukan jarung melalui dinding
perut kearah tali pusat.
Komplikasi
- Abortus
- Perdarah pervaginam
- Nyeri perut
- Infeksi
- Hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum
- Bradikardi janin.1
Penyakit-penyakit Genetik yang Berhubungan dengan Kehamilan Diatas Usia 35
Tahun
Sindrom Down
Sindrom Down atau trisomi 21 merupakan kelainan kromosom yang timbul spontan
dan menyebabkan penampilan wajah yang khas, kelainan fisik yang nyata serta reterdasi
mental . 60% individu yang menderita sindrom ini mengalami defek jantung. Sindrom Down
terjadi pada 1 dari 650 hingga 700 kelahiran hidup. Perbaikan penanganan dalam mengatasi
cacat jantung , infeksi pernafasan serta infeksi lain, dan leukimia aku telah meningkatkan
secara signifikan angka harapan hidup pasien sindrom ini. Mortalitas janin serta neonatus
masih tetap tinggi dan hal ini terjadi karena komplikasi defek jantung yang menyertainya.
Penyebab
- Usia orang tua yang sudah lanjut (ibu berusia 35 tahun atau lebih atau ayah berusia 42
tahun atau lebih)
18
- Efek kumulatif faktor lingkungan, sperti radiasi dan virus
Patofisiologi
Hampir semua kasus sindrom down terjadi karena trisomi 21 (ada tiga salinan
kromosom 210. Akibatnya adalah kariotipe dengan 47 buah kromosom, dan bukan 46 buah
kromosom yang lazim terdapat. Pada 4% pasien, sindrom Down terjadi karena translokasi
yang tidak seimbang atau penyusunan kembali kromosom yang tidak seimbang dan lengan
panjang kromosom 21 terputus dan melekat pada kromosom yang lain.
Tanda dan gejala
Tanda fisik pada sindrom Down akan terlihat pada saat bayi lahir. Bayi tersebut tampak
letargik dan memiliki tampilan kraniofasial yang khas. Tanda dan gejala klinis lain meliputi:
- tampilan wajah yang khas (pangkal hidung letak rendah, lipatan epikantus pada mata,
lidah menjulur keluar serta daun telinga letak rendah); mulut kecil dan selalu terbuka,
dan lidah berukuran besar sehingga tidak proporsional dengan mulut
- garis lipatan transversal yang tunggal pada telapak tangan (Simian crease)
- bintik-bintik putih kecil pada iris (Brushfield’s spots)
- reterdasi mental (perkiraan IQ 30-70)
- keterlambatan perkembangan akibat hipotonia dan penurunan proses kognitif
- penyakit jantung kongenital, terutama defek sputum dan khususnya pada bantalan
endokardial
- gangguan refleks akibat penurunan tonus otot pada ekstermitas
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi:
- kematian dini akibat komplikasi jantung
- peningkatan kerentanan terhadap leukimia
- demensia senilis prematur yang biasa terjadi pada usia 40-an jika pasien bertahan
hidup
- strabismus dan katarak yang timbul ketika anak tumbuh besar
- perkembangan genitalia yang buruk dan pubertas yang terlambat (wanita dapat
mengalami haid dan subur;laki-laki dapat mengalami infertilitas dengan kadar
testosteron serum yang rendah dan sering pula dengan testis yang tidak turun).9
Sindrom Klinefelter
19
Merupakan kelainan genetik yang relatif sering ditemukan, dan terjadi karena terdapat
kromosom X tambahan yang menciptakan konstitusi kromosom seks XXY dan hanya terjadi
pada laki-laki. Biasanya sindrom ini tampak nyata pada usia pubertas ketika ciri seks
sekunder sudah berkembang. Testis gagal mencapai maturitas dan kemudian mulai terjadi
perubahan degeneratif pada testis, yang akhirnya menimbulkan infertilitas yang ireversibel.
Sindrom Klinefelter umumnya menyebakan ginekomastia dan disertai kecenderungan ke arah
ketidakmampuan belajar. Kareana tidak semua pasian yang memiliki kromosom X tambahan
akan memperlihatkan karakteristik yang sama, maka istilah “lelaki XXY” lebih disukai untuk
menghindari pelabelan bahwa semua lelaki memilik kromosom X tambahan penderita
Klinefelter. Sebagian dapat mengalami sindrom Klinefelter sebagiannya lagi tidak. Susunan
kromosom XXY kemungkinan paling sering menjadi penyebab hipogonadisme dan terlihat
pada lebih kurang satu dari setiap 600 orang laki-laki dan susunan kromosom ini barangkali
merupakan salah satu kelainan genetik yang paling sering dujumpai.
Penyebab
- sel yang memiliki kromosom X tambahan akan menciptakan komplemen 47,XXY
dan bukan 46,XY
- pada bentuk mosaik yang langka, hanya sebagian sel yang mengandung kromosm X
tambahan dan sebagian lain mengandung komplemen XY yang normal
- kekurangan satu kromosom sehingga terjadi susunan 45X
- dikatakan meningkat sesuai dengan meningkatnya umur ibu.
Patofisiologi
Kromosom tambahan yang menyebabkan sindrom klinefelter kemungkinan terjadi
karena nondisjungsi miotik selama gametogenesis parenteral atau karena nondisjungsi
mitotik dalam zigot.
Tanda dan gejala
Baru akan nampak ketika pubertas atau sesudahnya pada kasus yang ringan. Karena
banyak pasien ini tidak mengalami reterdasi mental, maka persoalan perilaku dalam usia
remaja atau infertilitas mungkinsatu-satunya keadaan klinis yang ditemukan diawal.
Gambaran khasnya meliputi:
20
- penis dan kelenjar prostat kecil
- testis kecil
- distribusi rambut pubis tipe wanita (bentuk segitiga)
- disfungsi seksual (impotensi)
- ginekomastia pada kurang dari 50% pasien
- keterlambatan perubahan patologik yang mengakibatkan infertilitas, pada bentuk
mosaik
- bentuk tubuh abnormal (tungkai panjang sementara badan pendek dan obes)
- tubuh jangkung
- pada sebagian individu, persoalan perilaku mulai muncul pada usia remaja
Komplikasi
- aspermatogenesis serta proses infertilisasi akibat proses sklerosi yang progresif dan
hilainisasi tubulus eminiferus dalam testis serta fibrosis testis yang terjadi selama dan
sesudah pubertas
- ketidakmampuan belajar dan masalah perilaku
- osteoporosis
- kanker payudara karena kromosom X tambahan9
Sindrom Marfan
Merupakan penyakit degeneratif menyeluruh pada jaringan ikat dan jarang ditemukan.
Sindrom ini terjadi karena defek pada jaringan elasin serta kolagen dan menimbulkan
anomali pada mata, skelet, serta sistem kardiovaskuler. Kematian bisa terjadi kerana
komplikasi kardiovaskuler terjadi dari sejak awal usia bayi hingga usia dewas. Sindrom
Marfan ditemukan pada 1 dari 20.000 orang dan mengenai laki-laki maupun perempuan
dengan frekuensi yang sama banyak.
Penyebab
- mutasi autosomal domina
- kemungkinan terjadi pada usia orang tua yang sudah lanjut, pada pasien dengan
riwayat keluarga yang negdtif (15%)
Patofisologi
21
Disebabkan mutasi pada alel tunggal sebuah gen yang terletak pada kromosom 15,
yaitu kode gen untuk fibrilin komponen glikoprotein dalam jaringan ikat. Serabut halus ini
berlimpah dalam pembuluh darah besar dan ligamentum suspensoriumlensa okuli. Efek yang
ditimbulkan pada jaringan ikat beragam dan meliputi pertumbuhan tulang berlebihan,
gangguan okuler, serta defek jantung.
Tanda dan gejala
- tinggi badan bertambah, eksteremitas panjang dan araknodaktili (jari tangan mirip
kaki laba-laba yang panjang) akibat efek pada sindrom ini tulan panjang serta
persendian dan pertumbuhan tulang yang berlebihan
- defek pada sternum (misalnya dada tong (funel chest), dada tidak simetris, skoliosis,
dan kifosis
- rabun jauh akibat pemanjangan bola mata
- dislokasi lensa akibata perubahan jaringan ikat (tanda okular yang menunjukanan
sindrom Marfan)
- kelainan katup (lipatan katup yang berlebihan, peregangan korda tendinea dan dilatasi
katup anus)
- prolapsus katup mitral akibat kelemahan jaringan ikat
- insufisiensi aorta akibat dilatasi radiks aorta dan aorta asendens
Komplikasi
- persendian dan ligamen lemah sehingga menjadi predisposisi cedera
- katarak akibat dislokasi lensa
- ablasio dan ruptur retina
- regurgitasi katup mitral yang berat akibat prolaps katup mitral
- pneumotoraks spontan akibat ketidakstabilan dinding dada
- hernia inguinalis dan insisional
- dilatasi katup dura (bagian duramater dibelakang ujung kaudal medula spinalis)9
Trisomi 18
Sindrom Edward adalah trisomi autosomal yang paling sering selepas Sindrom Down
(SD) dengan frequensi 1:3000 kelahiran. Kebanyakan kasus adalah bayi post-matur dengan
berat badan lahir rendah (BBLR). Kebanyakan balita lemah dan memiliki kapasitas yang
terbatas untuk terus hidup. Untuk trisomy 18 ini, angka kematian bayi memang sangat tinggi,
22
bahkan bisa dibilang prognosisnya sangat buruk. Median umur untuk terus hidup adalah 3
bulan. Kadar mortality yang tinggi adalah karena malformasi jantung dan ginjal, kesukaran
untuk makan, sepsis dan apnoe oleh karena kelainan susunan saraf pusat (SSP). Malah,
retardasi pertumbuhan dan psikomotor berat turut dilaporkan pada bayi yang mampu hidup
melebihi umur balita.
Malangnya trend ini berulang. Memiliki anak dengan kelainan trisomy sebelumnya
akan meningkatkan resiko memiliki anak berikutnya dengan trisomy 18 juga. Yang juga
menjadi faktor resiko adalah usia ibu.
Antara gejala Sindrom Down yang turut ada pada Sindrom Edward adalah:
Low-set dan malformasi telinga
Mental deficiency
Pertumbuhan terhambat
Microphthalmia, epicanthal folds, fissure palpebra yang pendek
Kepala kecil (microcephaly)
Penyakit jantung congenital terutama defek septal ventrikel dan patent ductus arteriosus
(PDA)
Abduksi pinggul yang terbatas.
Gejala lain pada Sindrom Edward:
Rahang kecil (micrognathia)
Clenched hands: jari keempat overriding jari tengah; jari kelima overriding jari keempat
Crossed legs (preferred position)
Feet with a rounded bottom (rocker-bottom feet)
berat badan lahir rendah (BBLR)
Elongated skull/ tulang tengkorak yang panjang
Kemampuan menghisap yang lemah.
Kuku yang tidak tumbuh dengan baik/Underdeveloped fingernails
Undescended testicle
Kelainan bentuk dada (pectus carinatum)/ shield-shape chest
Dikenal juga sebagai sindrom Edward. Sindrom ini memiliki frekuensi 1 dalam 8000
kelahiran dan 3-4 kali lebih sering pada wanita. Sama seperti aneuploid lainny, risiko insiden
lebih tinggi pada trisemester pertama, dan 85% fetus meninggal dalam 10 minggu dan saat
teminasi. Trisomi 18 pada fetus biasanya menimbulkan permbatasan pertumbuhan, dengan
rata-rata berat lahir 2340 gram.
23
Sindroma ini merupakan penyimpangan autosom kedua yang paling lazim ditemukan.
Gambaran mukanya kecil dan halus berguna untuk membedakan anak-anak yang menderita
trisomi 18 dengan trisomi lainnya. Walaupun biasanya bayi lahir setelah cukup bulan, berat
badan lahir mereka rendah. Perbandingan menurut jenis kelaminnya adalah 1 orang pria
terhadap 4 orang wanita. Hampir semua penderita sindroma ini memperlihatkan adanya cacat
jantung pada diri mereka, suatu faktor yang mempunyai peran besar dalam kematian dini
yang khas menimpa para penderita yang bersangkutan, yang kebanyakan akan terjadi dalam
jangka waktu 3 bulan pertama kehidupan mereka. Kasus-kasus perkecualian dengan
penderita yang dapat bertahan hidup sampai waktu yang lama telah ada yang dilaporkan,
yang tertua pernah mencapai usia 15 tahun. Seperti halnya dengan trisomi-21. usia ibu yang
sudah lanjut, secara etiologik mempunyai arti yang penting.
Translokasi Kromosom 18. Kejadian ini. walaupun jarang, telah mengakibatkan
terjadinya sindroma trisomi-18 yang parsial, yaitu hanya sebagian saja dari 1 kromosom No.
18 diduplikasikan oleh pemanjangan lengannya yang panjang atau oleh translokasi kepada
sebuah kromosom yang lain. Penegakan diagnosis tnsomi parsial pada umumnya didasarkan
atas gambaran klinik, oleh karena dengan tidak terdapatnya saling translokasi pada 1 orang
tua, maka tidaklah mungkin untuk memastikan, secara sitologik, asal usul bahan kromosom
tambahan tersebut. Sebagaimana halnya dengan translokasi sindroma Down, keturunan dari 6
jenis kromosom yang berbedai-beda dapat timbul sebagai akibat pemisahan kromosom yang
terjadi pada 1 orang tua yang menjadi pembawa, tetapi besar sekali kemungkinannya hanya 3
saja yang dapat bertahan untuk tetap terus hidup: kariotip yang normal, pembawa translokasi
yang berimbang serta trisomi-18 yang parsial; secara teoritis dalam perbandingan yang sama.
Tampilan wajah yang khas seperti oksiput menonjol, malformasi telinga, fisura
palpebra yang pendek, dan mulut yang kecil. Tangan penderita clenched, dengan. Hampir
95% memiliki defek pada jantung, umumnya berupa defek septum ventrikel dan atrium atau
patent ductus arteriosus. Anomali lainnya adalah ginjal yang berbentuk seperti tapal kuda,
aplasia tulang radius, hemivertebrata, hernia inguinalis serta umbilikalis, diastasis, dan
imperforate anus. Umumnya memenderita keterbelakangan mental, hipotonia, kegagalan
bertumbuh dengan subur dan sehat dengan berat badan lahir rendah. Terdapat juga cacat
fleksi jari-jari tangan, ibu jari kaki yang pendek dan dalam keadaan dorsifleksi, dengan kaki
mendatar seperti kursi goyang atau ekuinorvarus.9
Trisomi 13
24
Trisomi 13 (sindrom patau) merupakan sindrom malformasi multipel nomor tiga
dalam urutannya sebgai kelainan kromosom yang paling sering ditemukan. Kebanyakan bayi
yang terkena memiliki trisomi 13 yang penus saat laihir; beberapa diantaranya mengalami
sindrom trisomi 13 tipe mosaik parsial yang langak (dengan fenotip bervariasi) atau tipe
translokasi. Baya dengan kelainan ini secara khas mempunyai otak dan wajah yang abnormal
disamping malformasi berat pada jantung, saluran cerna serta ekstremitasnya. Sindrom
trisomi 13 yang penuh akan berakhir dengan kematian. Banyak zigot trisomik mengalami
abortus spontan; 50%-70% bayi meninggal dunia dalam satu bulan pertama sesudah
dilahirkan dan 85% meninggal dunia dalam tahun pertama kehidupannya. Hanya ada
beberapa yang berhasil hidup sampai usia diatas 5 tahun. Semua bayi yang masih bisa
bertahan hidup ini memperlihatkan reterdasi mental yang berat.
Insidensi trisomi 13 diperkirakan terjadi pada 1 dari 4000 hingga 10.000 neonatus.
Penyebab
- Kelainan kromosom (risiko meningkat bersamaan dengan usia ibu)
Patofisiologi
Lebih kurang 75% kasus terjadi karena nondisjungsi kromososm. Sekitar 20% terjadi karena
translokasi kromosom yang melibatkan penyusunan kembali kromosom 13 dan 14. Sekitar
5% kasus diperkirakan merupakan tipe mosaik;efek klinis yang ditimbulakan pada kasus ini
mungkin tidak teralalu berat.
Tanda dan gejala
- Mikrosefalus
- Holoproensefalus dengan derajat bervariasi
- Dahi miring dengan sutura dan ubun-ubun lebar
- Defek kulit kepala dibagian verteks
- Labioskizis bilateral disertai paltoskiziz (45%)
- Hidung yang lebar dan rata
- Kedua telinga letak rendah dan kelainan pada telinga dalam
- Polidaktili pada tangan dan kaki
- Club feet
25
- Omfalokel
- Defek tuba neural
- Kistik higroma
- Abnormalitas genital
- Polikistik renal
- Hidronefrosis
- Kegagalan tumbuh kembang, kejang, apnea dan kesulitan pemberian makanan
Komplikasi
- defek jantung kongenital (sering ditemukan), khususnya hipoplasia jantung kiri, defek
septum ventrikuler, duktus arteriosus paten
- Kelainan muskuloskeletal
- Mikrooftalmia, katarak dan kelaianan mata lain9
Konseling Genetik
Konseling genetik merupakan proses komunikasi yang berhubungan dengan kejadian atau
risiko kejadian kelainan genetik pada keluarga. Dengan adanya konseling genetik, maka
keluarga memperoleh manfaat terkait masalah genetik, khususnya dalam mencegah
munculnya kelainan-kelainan genetik pada keluarga. Manfaat ini dapat diperoleh dengan
melaksanakan tindakan-tindakan yang dianjurkan oleh konselor, termasuk didalamnya
tindakan untuk melakukan uji terkait pencegahan kelainan genetik. Tindakan-tindakan yang
disarankan dapat melipiti tes sebagai berikut:2
1. Prenatal diagnosis
Merupakan tindakan untuk melihat kondisi kesehatan fetus yang belum dilahirkan.
Metode yang digunakan meliputi ultrasonografi, amniosintosis, maternal serum, dan
chorionic virus sampling.
2. Carrier testing
Merupakan tes untuk mengetahui apakah seseorang menyimpan gen yang membawa
kelainan genetik. Metode yang digunakan untuk melaksanakan tes tersebut adalah uji
darah sederhana untuk melihat kadar enzim terkait kelainan genetik tertentu, atau
dengan mengecek DNA, apakah mengandung kelainan tertentu.
3. Preimplantasi diagnosis
26
Merupakan uji yang melibatkan pembuahan in vitro untuk mengetahui kadar kelainan
genetik embrio preimplantasi. Bisanya seorang wanita yang akan melakukan uji akan
diberi obat tertentu untuk merangsang produksi sel telur berlebihan. Sel telur akan
diambil dan diletakkan dicawan untuk dibuahi oleh sperma donor. Setelah pembuahan
maka sel embrio yang terbentuk akan dianalisa terkait dengan kelainan genetik.
4. Newborn screening
Merupakan pemeriksaan bayi pada masa kelahiran baru. Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan genetik, endokrinologi, metabolik, dan hematologi. Diharapkan dari
pemeriksaan ini dapat ditentukan prognosis ke depannya, sehingga perawatan yang
berkenaan dapat diupayakan.
5. Predictive testing
Merupakan tes yang digunakan untuk menguji apabila seseorang menderita kelainan
genetik dengan melihat riwayat genetik keluarga sebelumnya. Tes ini dilakukan
setelah kelahiran, dan biasa juga disebut sebagai presymtomatic testing. Apabila hasil
diagnosis menunjukkan adanya kelainan genetik maka konselor dapat menyarankan
pilihan-pilihan sebagai berikut:
1. Agar tidak memiliki anak
Keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan keputusan yang berat bagi orang
tua, karena memiliki anak merupakn dambaan bagi setiap orangtua. Oleh karena
itu konselor harus menerangkan secara terperinci menegenai indikasi tidak
memiliki anak, termasuk diantaranya untuk terpapar kelainan genetik, sehingga
orang tua dapat mempertimbangkan keputusan tersebut.
2. Mengadopsi
Apabila pilihan untuk tidak memiliki anak tidak dapat diterima oleh orang tua,
salah satu jalan keluarnya berupa pilihan untuk mengadopsi anak.
3. Kehamilan dengan donor sperma atau ovum
Ini merupakan salah satu solusi, dimana sel sperma dan sel telur dipertemukan
diluar rahim. Dalam hal ini akan diperiksa apakah sel sperma atau sel ovum
mengandung kelainan genetik. Sel yang mengandung kelainan genetik akan
digantikan dengan sel dari donor, sehingga tetap terjadi pembuahan dan
diharapkan anak yang dilahirkan dapat hidup sehat dengan risiko terpapar
kelainan genetika yang minim.
4. Keputusan untuk tidak mempunya anak lagi
27
Keputusan ini merupakan solusi yang dapat diambil oleh orangtua yang telah
memilik anak sebelumnya namun menderita kelainan genetik, sehingga dengan
demikian kehadiran anak berikutnya yang diprediksi bakal menderita kelainan
genetik dapat dihindari.
5. Tindakan operasi
Dapat diterapkan untuk kelainan genetik tertentu seperti spina bifida atau
kongenital diagfragma hernia (kondisi dimana terdapat lubang pada diagfarma
sehingga membuat paru menjadi tidak berkembang). Namun kebanyakan penyakit
genetik tidak dapat diobati dengan tindakan operasi.
6. Menterminasi kehamilan
Atau aborsi merupakan solusi yang paling memberatkan bagi orangtua, terlebih
bagi orangtua muda yang belum mempunyai anak sebelumnya. Konselor harus
mampu menjelaskan dengan baik dan mudah dimengerti oleh orangtua mengenai
indikasi dan kontraindikasi medis pelaksanaan aborsi. Konselor juga harus
memahami aspek etis yang menyertainya serta melakukan pendekatan holistik.
Dengan demikian orangtua tersebut dapat berpikir jernih dalam mengambil
keputusan yang terbaik.
7. Membiarkan anak lahir
Orangtua juga dapat ditawarkan untuk meneruskan kehamilan, dengan risiko
bahwa anak yang dilahirkan menderita kelainan genetik dan umurnya hanya
sebentar. Pilihan ini memungkinkan orangtua untuk melihat anaknya sebelum
meninggal walaupun hanya sesaat.
Namun pilihan apapun yang disarankan oleh konselor harus didiskusikan dulu dengan
pasien, dalam artian bahwa pasien diberikan kebebasan untuk berpikr jernih dan memilih
keputusan apa yang harus diambil. Konselor wajib memberikan semua informasi, termasuk
baik buruk mengenai tindakan yang dapat diambil tanpa ada kesan menutup-nutupi.2
Kesimpulan
Prenatal diagnostik sangat disarankan bagi wanita hamil ≥ 35 tahun, dimana faktor
resiko terjadinya kelainan pada janin meningkat seperti Sindrom Down, trisomi 13 dan lain-
lain. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan sedini mungkin sehingga jika ditemukan
28
kelainan dapat dikoreksi jika kelainan tersebut dapat dikoreksi atau jika perlu dilakukan
terminasi kehamilan.
Mind Map
Daftar Pustaka
1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Ed IV. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2009. Hal 736-44
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Alih bahasa, Hartono A, Joko YS. Obstetri William. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2005; Edisi ke-21: 1084-112.
3. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In: Chamberlain G,
Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3
rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169 - 96.
4. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors.
Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group;
2000. p. 783-98.
5. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R,
Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB.
Saunders; 2004. p. 235-73.
29
RM
Anamnesis
PF
Prenatal
Diagnosis
Penyakit genetik
yang mungkin terjadi
Edukasi
6. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000. p. 215-23.
7. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James
D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2
nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13
8. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York:
W.B Saunders; 2000. p. 225-33.
9. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011.p.
117-37
30