bismillah print

22
1 KAJIAN ISLAM DENGAN PENDEKATAN PSIKOLOGIS Oleh: Nur Mufida Ramadhanisnaini A. Pendahuluan Psikologi berasal dari perkataan Yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang ilmu jiwa, baik mengenai macam- macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa. 1 Baik agama maupun ilmu pengetahuan, keduanya merupakan kunci pembuka kebenaran. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan berusaha mencari kebenaran dengan metode ilmiah, namun kebenaran yang dicapai bersifat relatif, tidak pernah mencapai kebenaran mutlak. Sedangkan agama berdasarkan pada iman melalui wahyu, menunjukkan kebenaran “Nan-Ilahi” atau kebenaran bersifat mutlak/absolut. Usaha mempelajari agama melalui pendekatan psikologis bukanlah merupakan usaha yang dapat diterima begitu saja. Selama masa pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang berarti. Karena agama kerap dipandang sebagai bidang suci yang tabu untuk pengetahuan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber- sumber adikodrati. Terlepas dari pro dan kontra, sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan keyakinan beragama nyatanya dapat diamati secara empiris. Pada sekitar akhir abad ke-19 psikologi semakin berkembang sebagai alat untuk kajian agama, dan kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara-cara bertingkah laku, berpikir dan mengemukakan perasaan keagamaan. 1 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-2, h.9

Upload: nur-khamidah

Post on 17-Jan-2016

267 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bismillaaah

TRANSCRIPT

Page 1: Bismillah Print

1

KAJIAN ISLAM DENGAN PENDEKATAN PSIKOLOGIS

Oleh: Nur Mufida Ramadhanisnaini

A. Pendahuluan

Psikologi berasal dari perkataan Yunani psyche yang artinya jiwa,

dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi

artinya ilmu yang mempelajari tentang ilmu jiwa, baik mengenai macam-

macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat

disebut ilmu jiwa.1

Baik agama maupun ilmu pengetahuan, keduanya merupakan

kunci pembuka kebenaran. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan berusaha

mencari kebenaran dengan metode ilmiah, namun kebenaran yang dicapai

bersifat relatif, tidak pernah mencapai kebenaran mutlak. Sedangkan

agama berdasarkan pada iman melalui wahyu, menunjukkan kebenaran

“Nan-Ilahi” atau kebenaran bersifat mutlak/absolut.

Usaha mempelajari agama melalui pendekatan psikologis bukanlah

merupakan usaha yang dapat diterima begitu saja. Selama masa

pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang

berarti. Karena agama kerap dipandang sebagai bidang suci yang tabu

untuk pengetahuan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi

sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk

ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan

metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber-

sumber adikodrati.

Terlepas dari pro dan kontra, sikap dan tingkah laku yang

berhubungan dengan keyakinan beragama nyatanya dapat diamati secara

empiris. Pada sekitar akhir abad ke-19 psikologi semakin berkembang

sebagai alat untuk kajian agama, dan kajian semacam itu dapat membantu

pemahaman terhadap cara-cara bertingkah laku, berpikir dan

mengemukakan perasaan keagamaan.

1 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-2,

h.9

Page 2: Bismillah Print

2

Para ahli psikologi yang serius, dalam hati nuraninya tidak dapat

menghindari agama, karena agama menduduki tempat berarti dan berperan

besar dalam perilaku manusia. Sedangkan para ahli agama yang serius

tidak mungkin mengabaikan psikologi, bila mereka berkehendak

mengembangkan psikologi manusia seutuhnya.

Pada makalah ini bukan membahas “apakah agama itu?” atau

“bagaimana agama itu seharusnya?” tetapi “apa yang disebut orang

sebagai agama mereka?” atau “apa fungsi agama sebagai agama bagi

manusia?” dll. Dengan kata lain pembahasan disini tidak akan

mencampuri dasar-dasar keyakinan agama, dan benar salah agama, tetapi

hanya bagaimana perasaan dan pengalaman secara individuil terhadap

Tuhan.

Dalam makalah ini akan membahas pendekatan agama dengan

pengalaman mistik. Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan

oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam

istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai

dalam agama-agama lain. Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan

langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa

seseorang berada kehadirat Tuhan.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme,

termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi

dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri

dan berkontemplasi.

Dalam kaitan dengan pengalaman mistik itu, tak sedikit karya-

karya mistik kemudian lahir dari sejumlah pemikir ataupun mistikus. Hal

tersebut menunjukkan jika pengalaman mistik sedemikian kuat

berpengaruh dalam sejarah manusia. Ini juga menjadi bukti sangat

telanjang untuk menolak asumsi bahwa pengalaman mistik yang sudah

dialami manusia berabad-abad, tak lebih sekedar ilusi manusia sebagai

ungkapan “ketidakberdayaannya” itu. Pandangan terakhir ini antara lain

terwakili secara amat baik oleh psikoanalisis Sigmund Freud.

Page 3: Bismillah Print

3

Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa pertanyaan muncul

seputar problem bahasa mistik. Dapatkah seseorang mengungkapkan

pengalaman mistiknya secara persis melalui bahasa? Jika jawabannya

positif, lalu bagaimana cara pengungkapannya? Sejauh mana tingkat

keabsahan pengungkapan pengalaman mistik dalam sebuah struktur

bahasa, padahal ia lebih bersifat self-consciousness dan karena itu

subjektif? Bagaimana sebenarnya status pengetahuan subjektif dalam

struktur keilmuan manusia?.

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, dalam makalah ini

akan mencoba menelusuri system of thought dari dua filsuf kontemporer:

Ludwig Wittgenstein (1889-1951) dan Mehdi Ha‟iri Yazdi (1923-1999)

dalam kaitannya kebermaknaan bahasa mistik.

B. Agama dan Psikologi

Psikologi secara harfiah berasal dari kata psyche berarti jiwa dan

logos berarti ilmu.2

istilah psikologi dalam Bahasa Arab sampai sekarang

masih disebut ilmu nafs yang berarti ilmu jiwa. Sedangkan Agama

menurut Harun Nasution berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi

(relegere) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum.

Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,

menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Sedangkan dari kata

religi (Latin) atau relegere berarti mengikat. Adapun kata agama

sebenarnya dari bahasa Sanskerta, terdiri dari a berarti tidak dan gam

2 Dalam mitologi Yunani, Psyche adalah seorang gadis cantik bersayap seperti

sayap kupu-kupu. Jiwa digambarkan berupa gadis, dan kupu-kupu simbol keabadian.

Psikologi dapat diterjemahkan ilmu jiwa, tetapi karena “jiwa” di Indonesia sering

dihubungkan dengan masalah mistik, kebatinan dan kerohanian, maka para sarjana lebih

menggunakan istilah Psikologi. Selain itu objek utama Psikologi bukanlah jiwa, karena

jiwa tidak dapat dipelajari secara ilmiah. Objek psikologi adalah tingkah laku manusia

atau gejala kejiwaan. Walaupun banyak definisi mengenai Psikologi tetapi belum ada

definisi yang sempurna, dan para ahli secara garis besarnya menyetujui bahwa Psikologi

adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya

dengan lingkungannya. Lihat: Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama,Kepribadian Muslim

Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001), h.23

Page 4: Bismillah Print

4

artinya pergi. Jadi, karakteristik tersebut bermakna tidak pergi yang berarti

tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun.3

Kajian agama dengan pendekatan psikologis di Barat umumnya

merujuk pada karya Edwin Diller Starbuck dan William James. Buku The

Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion

Counsciousness karya E.D. Starbuck diterbitkan tahun 1899, setahun

kemudian (1990), William James menerbitkan buku The Varieties of

Religious Experience. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai

tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari

kelahiran kajian agama dengan pendekatan psikologi.

Sebaliknya, di dunia Timur, khususnya di wilayah-wilayah

kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa

belum sempat di masukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq Ibn Yasar

di abad ke-7 Masehi berjudul al-Siyar wa al-Maghazi memuat berbagai

fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW, ataupun Risalah Hayy Ibn

Yazqan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat yang ditulis oleh Abu Bakr

Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn Tufail (1106-1185 M.)4

Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali

(1059-1111 M.) berjudul Ihya‟ „Ulum al-Din, dan juga bukunya Al-

Munqidz min al-Dhalah (Penyelamat dari Kesesatan) sebenarnya kaya

akan muatan permasalahan agama dengan kajian ilmu jiwa.

Tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan sebagai pendekatan

kajian agama mengilustrasikan kepada kita bahwa seluruh kejadian alam

ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan tanda-tanda yang

diberikan Tuhan kepada manusia, secara langsung merujuk pada firman

Allah surat Al-Baqarah ayat 164:

3 M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), h.2

4 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.

Ke-8, h.32

Page 5: Bismillah Print

5

5

Artinya: Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian

malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat

bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit yang berupa air, lalu dengan

itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya

bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan

antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran

Allah) bagi orang-orang yang mengerti

Dengan demikian, mengenal dan beriman kepada Allah dapat

dilakukan melalui tanda-tanda yang diberikan-Nya, melalui diri kita

sendiri, jagad raya, wahyu, ataupun benda-benda lainnya. Semuanya dapat

dijadikan media untuk beriman kepada Allah.

Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu jagad raya, manusia, dan wahyu. Dari ketiga objek ini,

kita dapat melihat ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan

antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dapat dilihat

hubungannya dalam tabel berikut.

5

Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya

Toha Putra, 2002 ), h.31

Page 6: Bismillah Print

6

Paradigma Ilmu-ilmu Islami6

Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-

Nya berupa jagad raya, menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisika

seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi, dan falak. Manusia

yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa manusia,

akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap

struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran.

Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila

dikaji secara kolektif atau kelompok, kajian terhadap manusia melahirkan

sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, ekonomi, dan sejarah.

Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya

berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan, seperti „ulum al-Quran.

„ulum al-Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf.7

Dari uraian diatas kita melihat bahwa jalur mana pun yang

digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaan-Nya, akan

melahirkan manusia yang semakin dekat dengan Tuhan.

6

Atang Abd.Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-8, h.21 7 Ibid., h.21

Allah SWT

Tanda-tanda Allah

Manusia

Manusia Jagat Raya Wahyu

Page 7: Bismillah Print

7

C. Mistisisme sebagai Pendekatan Religi dengan Tuhan

Pengertian mistisme merupakan terminologi dari kaum orientalis

Barat yang dapat disamakan dengan pengertian Tasawuf dalam Islam.

Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan langsung secara sadar

dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada kehadirat

Tuhan.8

Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan

spirituil dan nondiskursif kepada persekutuan jiwa dengan Tuhan, atau apa

saja yang dipandang sebagai sentral relitas alam raya. Jika realitas ini

dipandang sebagai Tuhan yang transeden, satu cara khas ialah kebatinan,

jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transeden.

Pengalaman mistik (mystical experience) sebagai salah satu bentuk

pengalaman keagamaan (religious experience) dalam tradisi filsafat selalu

diungkapkan dengan terma-terma metafisis. Padahal, tak sedikit kalangan

memandang bahwa pendekatan metafisika dalam mengungkapkan

pengalaman mistik bukannya tanpa kelemahan, terutama dari sudut

penggunaan “bahasa” dan kategorisasi yang sulit diverifikasi.9

Pengalaman mistik sebenarnya pengalaman yang bersifat esoteris,

karena itu terjadi pada “ruang sebelah dalam” (inner space) manusia.

Mysticism itu sendiri berasal dari bahasa Yunani: mysterion, dari mystes,

yang berarti “sebuah inisiasi dalam sejumlah misteri atau rahasia tentang

suatu realitas kebenaran”. Dalam kehidupannya manusia senantiasa

mengembangkan inner space itu sebagai pusat kekuatan, sehingga

kebebasannya berkembang secara sejati, dan berhubungan secara langsung

dan segera dengan pusat kekuatan kosmik, yang dalam terma teologis

dikenal sebagai Tuhan (God).

Rudolf Otto (1869-1937) seorang teolog dan filsuf ternama

misalnya, dalam karya monumentalnya The Idea of the Holy menyatakan

8 Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia,

1993) h.115 9

Muhammad Sabri, Lonceng Kematian Mistisisme Agama, (Yogyakarta: Resist

Book, 2010), p.1

Page 8: Bismillah Print

8

bahwa di dalam “ruang sebelah dalam” manusia memang terdapat struktur

a priori terhadap sesuatu yang nonrasional. Struktur tersebut menurut Otto

terletak dalam “perasaan hati” (feeling). Keinsafan akan “Yang Kudus”

(the Holy), yang disebutnya pula dengan keinsafan beragama (sensus

religious) adalah salah satu struktur a priori non rasional manusia itu.

Keinsafan beragama, karena itu, adalah kepekaan rasa terhadap “Yang

Kudus”. Dan atas dasar keinsafan beragama inilah manusia mengalami

hal-hal yang besifat mistik dan “Ilahi”.10

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi agama adalah

“yang kudus”(the Holy). Agama selalu ditandai oleh “yang Kudus” ini,

yang tidak bisa diasalkan kepada sesuatu yang berada di luar agama.

Karena itu, dia disebut pula sui generis dari agama. Dalam konteks inilah

pengalaman mistik, sebagai salah satu bentuk pengalaman manusia tentang

“Yang Kudus” merupakan suatu self-consciousness. Terhadap “Yang

Kudus”, manusia merasakan suatu perasaan apa yang oleh Otto disebut

sebagai misterium-tremendum dan misterium fascinosum.

Dalam kaitan dengan pengalaman mistik itu, tak sedikit karya-

karya mistik kemudian lahir dari sejumlah pemikir ataupun mistikus. Hal

tersebut menunjukkan jika pengalaman mistik sedemikian kuat

berpengaruh dalam sejarah manusia. Ini juga menjadi bukti sangat

telanjang untuk menolak asumsi bahwa pengalaman mistik yang sudah

dialami manusia berabad-abad, tak lebih sekedar ilusi manusia sebagai

ungkapan “ketidakberdayaannya” itu.

Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa pertanyaan muncul

seputar problem bahasa mistik. Dapatkah seseorang mengungkapkan

pengalaman mistiknya secara persis melalui bahasa? Jika jawabannya

positif, lalu bagaimana cara pengungkapannya? Sejauh mana tingkat

keabsahan pengungkapan pengalaman mistik dalam sebuah struktur

bahasa, padahal ia lebih bersifat self-consciousness dan karena itu

subjektif? Bagaimana sebenarnya status pengetahuan subjektif dalam

struktur keilmuan manusia?.

10 Ibid., p.2

Page 9: Bismillah Print

9

Beramgkat dari problem tersebut, hendaknya mengetahui system of

thought dua filsuf kontemporer., yakni Ludwig wittgenstein (1889-1951)

dan Mehdi Hai‟ri Yazdi (1923-1999) dalam kaitannya problem

kebermaknaan bahasa mistik.

D. System of Thought Ludwig Wittgenstein dan Mehdi Ha’iri Yazdi

Wittgenstein dan Yazdi masing-masing mewakili tradisi yang

berbeda: Barat dan Islam, khususnya menyangkut problem kebermaknaan

bahasa mistik. System of thought kedua pemikir ini yakni:11

1. System of Thought Ludwig Wittgenstein12

Gagasan vital atau fundamental ideas Wittgenstein dapat

dijumpai dalam dua magnum opusnya: Tractatus Logico-

Philosophicus selanjutnya disebut Tractatus dan Philosophical

Investigations. Kedua buku ini tidak saja memiliki kontradiksi antara

satu dengan lainnya tetapi juga dapat dipandang mewakili dua corak

dari tahap perkembangan filsafat analitik (analytic philosophiy) yaitu

“atomisme logik” (logical atomism) dan “filsafat analitik biasa”

(ordinary languae philosophy). Kedua corak pemikiran in memiliki

11 Ibid., p.48-70 12

Ludwig Wittgenstein adalah salah seorang filsuf terpenting di abad 20. Ia

dilahirkan di Wina pada 26 April 1889 dari satu keluarga religius. Ayahnya adalah

keluarga Yahudi yang telah memeluk agama kristen Protestan, sementara ibunya

penganut Kristen Katolik-Roma yang taat. Wittgenstein sendiri dibaptis di gereja

katolik. Ayahnya yang berprofesi sebagai insinyur teknik, hanya dalam jangka

waktutak kurang dari sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja

yang besar. Ayah maupun ibunya punya bakat musik. Karena itu tidak

mengherankan jika rumah menjadi semacam pusat musik di Wina. Pada masa kecil

Wittgenstein hingga usia 14 tahun, pendidikan Wittgenstein dihabiskan di rumahnya.

Ia punya perhatian cukup besar pada matematika dan fisika, serta belajar teknik

mesin pada sebuah Sekolah Tinggi Teknik di Berlin selama dua tahun. Pada 1908 ia

pindah ke Manchester di Inggris untu sebuah riset aeronautics selama tiga tahun,

khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik baling-baling

membutuhkan ilmu dasar tentang matematika, perhatiannya, lalu mengarah kepada

matematika.

Pada tahun 1911 ia banyak berkonsultasi dengan G. Frege, seorang ahli matematika

Jerman yang sangat terkenal. Belakangan Frege memberi advis agar Wittgenstein

belajar matematika pada Bertrand Russel di Cambridge di Inggris. Tanpa membuang

waktu, Wittgenstein lalu ke Cambridge pada tahun 1912 dan belajar filsafat di

Universitas Cambridge di bawah bimbingan Russell. Ia sangat tertarik pada buku

Principles of Mathematics karya Betrand Russell. Di sini ia mendapat kemajuan

pesat dalam studi tentang logika dan filsafat matematika.

Page 10: Bismillah Print

10

kesamaan topik bahasan: bahasa (language) dan makna (meaning),

meski berbeda dalam cara penyampaian dan pokok permasalahannya.

Jika pada Tractatus (Wittgenstein I) fokus kajiannya bertumpu

pada bahasa secara umum, maka pada Philosophical Investigations

(Wittgenstein II) berbicara tentang bahasa secara khusus. Pada periode

I, sebagaimana terlihat sangat kental dalam tradisi filsafat analitik

lainnya seperti Russel. Wittgenstein mengenalkan bahasa ideal yang

disebut juga bahasa logika, sementara pada periode II dikenal dengan

istilah bahasa biasa atau ordinary language.

Bahasa logika disebut juga bahasa teoritis disusun berdasarkan

rumus-rumus atau prinsip-prinsip matematika yang merupakan hasil

penalaran logis dan tidak merujuk pada realitas tertentu. Bahasa

logika-teoritis menampik makna acuan (denotasi)nya dan hanya

menerima makna konotasinya yang ditentukan secara logis oleh

sistem logika. Istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa ini

memperoleh maknanya hanya dalam relasi-relasi logisnya, tidak

berdasar pada deskripsi benda-benda yang ditunjuknya. Bahasa

logika-teoritis merupakan permainan bahasa dengan aturan-aturan

atau simbol-simbol yang abstrak yang tidak mengacu pada realitas

tertentu.

Sementara itu, Bahasa Biasa (ordinary language) juga disebut

bahasa praktis, tidak disusun dari atas tapi dari bawah. Bahasa praktis

tidak disusun dengan menggunakan akal budi, tetapi berdasarkan

realitas empirik. Bahasa biasa merupakan deskripsi dari suatu realitas

atau kejadian empirik. Ada tiga ciri dari bahasa biasa. Pertama, aturan

yang mengaturnya bukan suatu sistem yang tertutup, tetapi bersifat

terbuka, terus menerus berubah dan berfungsi dengan aneka macam

cara sesuai dengan tujuan dan situasi khusus. Kedua, bahasa itu

biasanya berfungsi sebagai penilaian bahkan semacam pengumuman

(informasi). Ketiga, bahasa itu bersifat praktis, dalam arti

mengungkapkan orientasi praktis dari si penuturnya.

Page 11: Bismillah Print

11

Sementara itu bahasa biasa mempunyai dua bentuk: konstatif

(kalam insya‟) dan performatif (kalam khabar). Bentuk pertama

menyatakan fakta atau kejadian aktual berupa pernyataan, pertanyaan,

perintah atau larangan. Bahasa konstatif ini tidak bisa disifati benar

atau salah, karena terdiri dari fakta atau kejadian itu sendiri, bukan

laporan tentang fakta atau kejadian yang mungkin benar atau salah.

Sementara yang kedua melaporkan suatu fakta atau kejadian yang

mungkin benar atau salah berdasarkan fakta atau kejadian yang

sebenarnya.

Sangat penting memahami bentuk bahasa biasa mengingat dari

sana kita dapat menelusuri lebih jauh diaspora pemikiran filsafat

analitik Wittgenstein dari periode I maupun II. Seperti diketahui

bahwa Wittgenstein adalah salah satu tokoh terpenting yang memiliki

kontribusi besar dalam tradisifilsafat analitik, baik melalui atomisme

logiknya seperti yang dideskripsikan dalam karya Tractatus maupun

ordinary language sebagaimana terlihat jelas dalam karya

philosiphical Investigations.

Jika dicermati lebih mendalam tampak jelas bahwa

Wittgenstein I lebih merupakan rumusan-rumusan jawaban, sementara

untuk Wittgenstein II lebih merupakan rumusan-rumusan pertanyaan.

Dengan kata lain, ciri periode I adalah meaning is picture sedang

periode II lebih mencirikan meaning in use.

Seperti diketahui jika Wittgenstein mengalami perkembangan

pemikiran dalam tradisi filsafatnya sehingga merupakan kelaziman di

kalangan peminat studi filsafat menyebut Wittgenstein I dan

Wittgenstein II untuk menggambarkan pergeseran paradigma (shift-

ing paradigm) filsafatnya itu. Pada periode I filsafatnya, pemikira

Wittgenstein terwakili secara amat baik terutama lewat magnum

opusnya Tractatus Logico-Philosophicus,sementara pada periode II

tergambar pada karya “anumerta”nya Philosiphical Investigation.

Dalam Tractatus, Wittgenstein menegaskan bahwa terhadap hal ihwal

yang terkait dengan metafisika, atau yang mistis, ataupun yang

Page 12: Bismillah Print

12

transenden, yaitu segala sesuatu yang tidak dapat dikatakan dan

beyond the limits of the world, orang sebaiknya “diam” (be silent).

Konsekwensinya, Wittgenstein merasa tidak perlu membicarakan hal

ihwal yang berbau metafisik seperti Tuhan, hakikat hidup, makna

hidup, apalagi pengalaman mistis dan seterusnya karena dipandang

tidak bermakna. Wittgenstein I menyimpulkan bahwa ungkapan-

ungkapan yang tidak memiliki gambaran realitas dan keadaan faktual,

seperti hanya „bahasa mistik‟, bila dipaksakan akan melahirkan suara

gagap dan “omong kosong” atau non-sense. Dengan kata lain, fungsi

bahasa di sini hanya satu (uniformity) yakni menggambarkan fakta.

Sementara itu,sejak terbit Philosophical Investigations, tampak jelas

jika Wittgenstein tidak saja menolak pandangan-pandangannya sendiri

dalam Tractatus, tetapi juga menegaskan bahwa bahasa tidak hanya

memiliki satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta, tetapi sekaligus

mengenalkan satu teori yang disebutnya “language games”

(permainan bahasa) yang secara fundamental menyebut bahwa bahasa

mempunyai banyak fungsi (pluriformity), sebagai representasi dari

beragamnya bentuk-bentuk kehidupan (form of life), dengan “tata

aturan” bahasa masing-masing yang khas dan tipikal. Dalam

Investigation, Wittgenstein juga menyadari betapa bahasa ilmiah yang

berparadigma “logis-empiris-faktual” tersebut sangat terbatas untuk

dapat mengungkapkan kompleksitas kehidupan dunia.13

13 Ibid., p.409-410

Page 13: Bismillah Print

13

2. System of Thought Mehdi Ha‟iri Yazdi14

Sebelum mengurai lebih jauh system of thought Mehdi Ha‟iri

Yazdi, agaknya menarik menelusuri tradisi intelektual, khususnya

kajian filsafat yang membangun pemikirannya. Mehdi Ha‟iri Yazdi

adalah intelektual-filsuf Muslim kontemporer yang cukup unik.

Sebab, dalam dirinya mengalir dua tradisi filsafat dari latar belakang

yang sama sekali berbeda: filsafat Islam dan filsafat Barat. Ada hal

menarik dalam diri Mehdi Ha‟iri Yazdi ketika mencoba melihat

bagaimana respons dia terhadap “penghadapan” tradisi filsafat Islam

dan filsafat Barat, ia berkomentar “seseorang tidak akan pernah

mencapai sarjana Muslim sejati tanpa penguasaan yang luas tentang

filsafat Barat. Seorang sarjana sejati, karena itu, niscaya lebih dahulu

memahami hubungan antara dua pandangan-dunia (world view)

tersebut berikut pengaruhnya satu sama lainnya”. Bahkan secara tegas

Yazdi menyatakan, “kita tidak perlu segan untuk sementara waktu

menyimpan metodologi kita, jika kita sungguh-sungguh ingin

mengenal filsafat barat”.

Dari sini tampak jelas, sikap Yazdi terhadap Barat bukannya

dalam prespektif dikotomis vis a vis filsafat Islam, tetapi lebih

14

Mehdi Ha‟iri Yazdi dilahirkan pada 1923 dalam suatu keluarga ulama‟ terkemuka

di Qum. Ayahnya, Ayatullah Syaikh „Abd al-Karim Ha‟iri Yazdi adalah ulama‟

madzhab Syi‟ah yang paling masyhur dan berpengaruh di masanya dan merupakan

marja‟-i taqlid mayoritas kaum Syi‟ah. Dialah yang membangun Qum, kota suci

yang terletak 100 mil di bagian selatan Teheran, sebagai pusat utama kajian Syi‟ah

di Persia selama masa kekuasaan Reza Syah dan menjadikan pusat ini sebagai

saingan serius Najaf di Irak. Ayahnya juga seorang pendiri Sekolah tinggi Qum,

diman ahampir semua alim ulama terkemuka Iran pernah belajar disana. Dengan latar

belakang seperti itu , tak heran kalau Yazdi mengenal dan sangat dekat dengan

sejumlah ayatullah yang punya pengaruh sanagat kuat di Iran, seperti Sayyed

Hossein Burujirdi, Seyyed Aboghassem Kashani, Seyyed Mohammad-Kazem

Shariat-Madari dan Rohullah Khomeini.

Yazdi muda, karena itu, dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh yang dikenal

karena kebajikan dan semangat spiritualitas mereka. Dia memperoleh pendidikan

awal di tangan ayahnya sendiri kemudian melanjutkan studi tradisional formalnya di

Qum, tempat di mana ia kelak menguasai secara amat baik tentang ilmu-ilmu naqli

maupun ilmu-ilmu intelektual, dan mencapai tingkat otoritas tertinggi dalam hukum

Islam di samping teologi dan filsafat. Karena guru memiliki peran sangat signifikan

dalam tradisi intelektual Islam, maka sangat penting kiranya disebutkan sejumlah

nama guru. Yazdi belajar fiqih kepada Sayyid Muhammad Hujjat Kuh Kamari‟i dan

Ayatullah Burujirdi yang ternama itu, yang kelak menggantikan ayahnya Ayatullah

Syaikh „Abd al-Karim Ha‟iri Yazdi sebagai pemimpin tertinggi madzhab syi‟ah.

Page 14: Bismillah Print

14

merupakan upaya “pendamaian” dengan pendekatan dialektis-kritis,

dalam rangka menemukan prespekif baru bagi dinamika pemikiran

filsafat.

Dalam sebuah studi cermat, akan tampak bahwa system of

thought Mehdi Ha‟iri Yazdi sekaitan dengan problem bahasa mistik

dapat dilihat misalnya dalam karya monumentalnya, The principe of

Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by presence,

selanjutnya disebut The principle, yang merupakan karya filfasat

dengan metodologi Barat, tetapi membahas tema-tema yang sangat

khas dan tipikal filsafat Islam.

Tujuan buku the principle sangat jelas, seperti dikatakan

Yazdi dalam pendahuluan bukunya: memperkenalkan pengetahuan-

dengan-kehadiran sebagai kesadaran manusia non-fenomenal, yang

disamakan dengan wujud fitrah manusia, secara epistemologis.

Pengetahuan-dengan-kehadiran (knowledge by presence),

adalah pengetahuan yang nyata bagi subyek yang mengetahui, secara

performatif, langsung dan tanpa perantara representasi mental atau

simbolisme kebahasaan apapun. Subyek yang terlibat dalam

pengetahuan ini oleh Yazdi disebut sebagai “aku performatif”, yang

pada tingkat tertinggi akan membawa kepada pengalaman mistik, dan

mempercepat proses pencapaian titik puncak kesadaran kesatuan diri:

kesatuan eksistensial mutlak dengan Tuhan.

Puncak perjalanan ”pengetahuan-dengan-kehadiran” muncul

dimulai dari tokoh-tokoh „irfan, seperti Ibn‟ Arabi yang masyhur

dengan doktrinnya mengenai kesatuan wujud (wahdat al-wujud),

selanjutnya Syihab al-Din al-Suhrawardi al-Matqul, untuk pertama

kalinya memberi penjelasan filosofis mengenai “pengetahuan-dengan-

kehadiran”(al-Ilm al-Hudhuri) ini, juga Nashiruddin al-Thusi yang

menjelaskan mengenai pengetahuan Tuhan mengenai Diri-Nya, dan

pengetahuan-Nya mengenai alam. Semua tokoh ini merintis

penjelasan mengenai “pengetahuan-dengn-kehadiran” sebagai

pengetahuan yang sepenuhnya “swa-obyektif”. Rintisan inilah yang

Page 15: Bismillah Print

15

kelak pada tokoh seperti Badr al-Din al-Syirazi, yang populer dengan

Mulla Shadra, dikembangkan lagi dengan corak filsafat yang disebut

dengan asalat al-wujud (filsafat eksistensial), lewat cara al-Hikmah

al-Muta‟aliyah (metafilsafat). Usaha Shadra adalah memberikan

sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial pada

eksistensi

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh Yazdi dari latar historis

epistemologi (Islam) mengenai “pengetahuan dengan kesadaran” ini

adalah, munculnya sebuah kesadaran bahwa kebenaran eksistensial

subjek yang mengetahui dan “kesadaran kesatuannya” serta obyek

yang diketahui, menjadi satu. Inilah yang menurut Yazdi dasar dari

watak filsafat Islam tentang diri, jadi bukan hanya filsafat mistisisme,

yang dasar epistemologinya tidak bisa tidak, seperti dikatakan

Suhrawardi, yang juga menjadi pijakan teoritis dalam buku The

principle, harus: (1) bersifat pengetahuan-pengetahuan kehadiran; (2)

kesadaran swa-obyektif; (3) mempunyai teori swa-obyektif; (4)

mempunyai teori pengetahuan-dengan-kehadiran; (5) mempunyai

pengetahuan swa-obyektif; (6) bersifat pengetahuan non-intensional;

(7) bersifat pengetahuan non-fenomental; (8) bersifat pengetahuan

non-representasional; dan (9) ada keidentikan antara “menjadi” dan

mengetahui”.

Tema-tema inilah yang selanjutnya dicarikan pendasaran

epistemologinya oleh Yazdi, setelah sebelumnya ia membedakan

antara obyek imanen dan obyek transitif, dengan menyimpulkan

bahwa ada dua obyek yaitu “obyek yang subjektif-esensial” dan

“obyek yang obyektif-aksidental”. Ini juga yang mendasari adanya

dua jenis pengetahuan: pengetahuan-dengan-kehadiran dan

pengetahuan-dengan-korespondensi.

Pembedaan dua pengetahuan ini demikian pentingnya, karena

sering para filsuf mengekstrimkan yang satu dengan yang lain,

terutama pada zaman modern bahkan postmodern ini. Bandingkanlah

dengan Wittgeinstein, misalnya, yang dalam tractatus menekankan

Page 16: Bismillah Print

16

kebenaran bertumpu pada pengetahuan-dengan-korespondensi saja,

sementara yang lainnya, seperti pengetahuan-dengan-kehadiran yang

menjadi dasar the misticalnya Wittgeinstein dianggapnya non-sense,

jika hal itu dipaksakan untuk dikatakan.

Dalam pengetahuan-dengan-kehadiran seperti antara lain

ditunjukkan secara mengagumkan oleh Mulla Shadra, kesatuan

eksistensial antara yang mengetahui, yang diketahui dan tindak

mengetahui terwujud sepenuhnya. Pengetahuan-dengan-kehadiran

adalah pengetahuan yang self-evident dan memiliki objek yang swa-

objektif. Dalam pengetahuan ini terbebaskan dualisme kebenaran dan

kesalahan yang menjadi tema pengetahuan-dengan-korespondensi,

yang secara subtansial tergantung pada objek subyektif-essential dan

obyek obyektif-aksidental. Pengetahuan-dengan-kehadiraan pun

terbebaskan dari pembedaan yang justru amat kuat terlihat dalam

pengetahuan-dengan-korespondensi, yakni antara pengetahuan-

dengan-„konsepsi” dan pengetahuan-dengan-„kepercayaan‟.

Jika ditelusuri lebih jauh tampak jelas jika system of thought Yazdi

memiliki pendasarannya yang sangat jauh berakar pada tradisi

mistisisme Iran pra-Islam, bahkan Hermetisisme yang memiliki

hubungan geneologi dengan tradisi perennial (perrennial phylosophy).

Melalui pinti Isyraq-nya Suhrawardi, Yazdi kemudian menyelami akar

geneologi epistimologi kehadiran tersebut, yang secara ilustratif dapat

dilihat pada gambar berikut.

Page 17: Bismillah Print

17

Ilustrasi di atas ingin menggambarakan bahwa tradisi

intelektual Islam, baik dalam gnostiknya (ma‟rifah atau “irfan)

dan aspek-aspek filosofis maupun teosofis (falasafah hikmah),

melihat sumber kebenaran yang unik ini sebagai “agama

kebenaran” (Din al-haqq) dalam ajaran nabi-nabi kuno dimana

Adam sebagi tempat kembalinya dan memandang nabi Idris yang

diindentifikasikan dengan Hermes sebagai “bapak para filsuf” (Abu

al-hukama‟).

E. Refleksi atas Pemikiran Mistisisme Yazdi dan Wittgenstein

Dalam buku The Principle of Epistimologhy in Islamic Phylosophy

Knowledge by Presence, karya monumental Yazdi, betul-betul disajikan

sebuah karya epistimologis yang sesungguhnya. Karya filsafat ini,

Hermes

Aghathodemon (Seth)

Asclepiua

Pythagoras

Empedocles

Plato

Neo-Platonist

Dhu al-Nun al-Mijri

Abu Sahl Tustari

Persian Priest-Kings

Kiumarth

Faridun

Kai khusrau

Abu Yazid Bistami

Mansyur Hallaj

Abu Hasan Kharraqani

Suhrawardi

Mulla Shadra

M.H Yazdi

Page 18: Bismillah Print

18

meskipun membicarakan aktualitas Surawardi, tetapi sama sekali bukanlah

karya teosofi, yang berisi ajaran-ajaran mistis “Isyraqi” dari Suhrawardi.

Namun, usaha filosofis Yazdi yang memberikan kejernihan epistemologis

dan meyakinkan pembacanya bahwa pengalaman keberagamaan: mulai

dari bentuk pengalaman mistik, penerimaan sistem emanasi sampai kepada

pengalaman wahdat al-wujud yang kontroversial itu, adalah hal yang

absah saja dari sudut pandang epitemologis.

Menariknya lagi, tema al-„ilm al-hudhuri yang disajikan Yazdi ini,

sekilas telah sanggup memberi jawaban atas „kegelisahan‟ Wittgenstein

yang ditulisnya sendiri dalam catatan hariannya, tanggal 11 Juni 1916:

“Apakah yang kuketahui tentang Tuhan dan tujuan hidup?

Aku tahu bahwa dunia ini ada.

Bahwa aku ditempatkan di dalamnya,

Bagaikan mata pada lapangan penglihatannya .

Bahwa ada sesuatu yang problematis tentang dunia,

Yang kita sebut makna dunia.

Dalam usaha mengetahui lebih jauh tentang tuhan, tujuan hidup dan

makna hidup.”

akhirnya Wittgenstein dalam tractatus logico-phylosophycus

“hanya berdiam diri” (be silent). Dalam phylosophycal investigations Ia

tidak memberikan suatu ajaran. Ia hanya memberikan pesan kesadaran

bahwa ada “jalan”, atau ada language game dari suatu bentuk-bentuk

kehidupan (form of life) yang bisa menjelaskan kepada kita tentang Tuhan,

tujuan hidup dan makna dunia. Tetapi, Ia tidak memberi tahu apa isinya.

Barangkali, karena ia juga menganggap ini sebagai the Mystical. Karena

itu, Wittgenstein menyatakan bahwa filsasat bukan merupakan persoalan

empiris melainkan persoalan yang mesti dipikirkan, dipahami, dan

dipecahkan dengan bahasa. Filsafat adalah pertaruhan melawan daya

pesona kecerdasan seseorang dengan menggunakan bahasa.

Seperti diketahui, pada bagian akhir Tractatus Wittgenstein

mengemukakan wacana yang berkait erat dengan „trasendental‟, „sesuatu

yang tidak terjangkau‟, dan „mistis‟. Dalam Tractatus proposisi 7,

Page 19: Bismillah Print

19

Wittgenstein mengumandangkan kalimat yang sangat terkenal “where of

pne cannot speak, there of one must be silent”. Untuk memyelami makna

ungkapan tersebut agaknya diperlukan prespektif logika dala kerangka

teori gambar dalam bahasa, sebagai yang termaktub dalam Tractatus.

Dalam karya ini Wittgenstein meyakini bahwa bahasa pada dasarnya bisa

direduksi ke dalam pernyataan elementer yang mengombinasikan nama-

nama sedemikian rupa sehingga mencerminkan cara berbagai obyek di

dunia dikombinasikan menjadi fakta-fakta atomik. Dengan begitu,

kompleksitas dunia pun dipahami lewat kombinasi-kombinasi yang

mungkin dari obyek-obyek itu. Pandangan ini menggambarkan bagaimana

bahasa mampu memaparkan tentang dunia melalui fungsi deskriptif-

representatifnya. Bagi Wittgenstein, setiap pernyataan merepresentasikan

atau melukiskan fakta, artinya dunia adalah kumpulan-kumpulan fakta,

dan fakta-fakta tersebut berada dalam dunia. Melalui proposisi-proposisi

dunia dapat tergambarkan. Dengan demikian, tidaklah mungkin membuat

pernyataan tentang “keberkaitan” antara pernyataan itu sendiri dengan

dunia, sebab hal itu bukan fakta dalam dunia. Dengan lain perkataan,

bahasa tidak bisa digunakan untuk menjelaskan syarat kemungkinan

bahasa itu sendiri atau bagaimana bahasa pada dasarnya memiliki

“keberkaitan” dengan dunia, toh bahasa hanya mampu merepresentasikan

apa yang ada di dunia, sementara “keberkaitan” antara bahasa dengan

dunia tidak mungkin termasuk disana. Dengan ungkapan lain, bahwa

seseorang bisa saja menyuting dunia tetapi sang handycamp sendiri tidak

mungkin termasuk berada dalam alat syuting tersebut sebab dia berada di

luar obyek yang disyuting.15

“Batas-batas bahasa sebagai batas pikiran dan batas dunia” yang

kuat sekali disuarakan oleh Wittgenstein dalam tractatus, Yazdi dengan

istilahnya sendiri pengetahuan-dengan-korespendensi (knowledge by

correspondence) menerima bahwa, dalam pengetahuan-dengan-

korespondensi itu, memang ada, yang disebut Wittgenstein sebagai “batas-

batas bahasa”, tetapi ia tidak berhenti disini, karena ia melihat bahwa

15 Ibid., p.370-371

Page 20: Bismillah Print

20

batas-batas bahasa itu terjadi, karena kita hanya membatasi pengetahuan,

dengan pengetahuan-dengan-korespondensi, atau “teori gambar‟-nya

Russel yang dikembangkan oleh Wittgenstein. Yazdi menunjukkan bahwa

ada pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan dengan “teori gambar”. Inilah

yang disebutnya dengan “pengetahuan-dengan-kehadiran” (al-„ilm al-

hudhuri). Tentang adanya pengetahuan jenis ini, pada akhirnya juga

disadari Wittgenstein. Karena, pengetahuan-dengan-kehadiran adalah jenis

pengetahuan yang mempunyai language games yang khas dan typical

yang berbeda dengan pengetahuan-dengan-korespondensi. Karena itu,

absah belaka membangun epistemologi mengenai kehadiran atau yang

dalam istilah Yazdi “epistemologi al-hudhuri”.

Epistemologi jenis inilah dijelaskan struktur fundamentalnya oleh

Yazdi, karena itu, boleh dikatakan: Yazdi adalah seorang ahli filsafat

(Islam) yang “meneruskan” dan “mereformulasi” usaha-usaha yang sudah

dilakukan Wittgenstein, untuk memberikan penjelasan tentang adanya

banyak language games dalam struktur pengetahuan manusia. Usaha yang

dilakukan Yazdi adalah menjelaskan struktur epistemologis language

gemas dari pengalaman mistik.

Yazdi, tentu saja, tidak termasuk orang yang berpandangan bahwa

pengalaman mistik adalah sesuatu yang tidak bisa dikomunikasikan, atau

dituliskan filsafatnya. Ia justru ingin menegaskan bahwa kesulitan-

kesulitan soal ini, dapat diatasi dengan pembedaan kategoris, yakni:

Pertama, “mistisisme yang tidak bisa diceritakan” yaitu

pengalaman mistis murni yang tidak dikonseptualisasikan dalam terma-

terma pemahaman masyarakat umum, dan karena itu , sama sekali tidak

memiliki bahasa yang lazim dipahami masyarakat.

Kedua, “mistisisme yang introspektif dan rekonstruktif sebagai

bahasa (obyek) murni mistisisme”. Yazdi menyebut pemikiran ini sebagai

bahasa “dari” mistisisme .

Ketiga, “metamistisisme filosofis atau ilmiah” yang berbicara

”tentang” mistisme. Yang terakhir inialah yang menjadi dasar al-„ilm al-

hudhuri atau knowledge by presence.

Page 21: Bismillah Print

21

F. Penutup

Pendekatan psikologis dalam memahami agama dapat diartikan

sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat gejala jiwa atau

tingkah laku manusia

Mistisisme sebagai pendekatan agama, tujuannya adalah untuk

memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga

disadari benar bahwa seseorang berada kehadirat Tuhan.

Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para

orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah

orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam

agama-agama lain.

Disini yang menjadi problem mistisisme yakni “bahasa” yang

digunakan untuk mengungkapkan pengalaman mistik seseorang, karena ia

bersifat self-consciousness. Maka Ludwig Wittgenstein pada Tractatus

Logico Philosophicus mengungkapkan bahwa pengetahuan mistis

merupakan sesuatu yang non-sense, sesuatu yang tidak terjangkau.

Mistisisme adalah sesuatu yang tidak terkatakan. Maka dari itu dia

memilih untuk “berdiam diri”. Akan tetapi dia mengalami perkembangan

pemikiran dalam tradisi filsafatnya, tampak jelas pada Philosophical

Investigation, ia menolak pandangannya tadi. Ia menegaskan bahwa

bahasa tidak hanya memiliki satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta, akan

tetapi sekaligus mengenalkan teori yang disebut “language games” yang

secara fundamental menyebutkan bahwa bahasa mempunyai banyak

fungsi.

Mehdi Ha‟iri Yazdi merupakan seorang ahli filsafat (Islam) yang

“meneruskan” dan “mereformulasi” usaha-usaha yang sudah dilakukan

Wittgenstein, untuk memberikan penjelasan tentang adanya banyak

language games dalam struktur pengetahuan manusia. Usaha yang

dilakukan Yazdi adalah menjelaskan struktur epistemologis language

gemas dari pengalaman mistik.

Page 22: Bismillah Print

22

Daftar Pustaka

Abdullah, M.Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.

Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila,

Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001.

An-Najjar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf, Studi Komparatif dengan

Ilmu Jiwa Kontemporer, (Penerjemah: Hasan Abrori), Jakarta:

Pustaka Azzam, 2001, Cet. Ke-2.

Crapps, Robert W., Dialog Psikologi dan Agama, Yogyakarta: Penerbit

Kansius, 1993.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,

Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. Ke-

2.

Hakim, Atang Abd., dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. Ke-8.

Jalaluddin, dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam

Mulia, 1993, Cet. Ke-2.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004,

Cet. Ke-8.

Muhammad Sabri, Lonceng Kematian Mistisisme Agama, (Yogyakarta:

Resist Book, 2010)

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2003, Cet. Ke-8.