bioremediasi_tumpahan_minya1
DESCRIPTION
remediasi tanah, bakteri,TRANSCRIPT
BIOREMEDIASI TUMPAHAN MINYAK
( Tugas Mata Kuliah Kimia Dalam Kehidupan)
Oleh
Kelompok 7
Anggota
1. Arif Nur Hidayat2. Dwi Anggraini3. Fifi Adriyanthi4. Khairul Anwar5. Rifki Khusnul Khuluk6. Susy Isnaini Hasanah7. Wiwin Esty Sarwita
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
Pengaruh terhadap lingkungan laut.
Beberapa efek tumpahan minyak di laut dapat di lihat dengan jelas seperti pada pantai menjadi tidak indah lagi untuk dipandang, kematian burung laut, ikan, dan kerang-kerangan, atau meskipun beberapa dari organisme tersebut selamat akan tetapi menjadi berbahaya untuk dimakan. Efek periode panjang (sublethal) misalnya perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut, hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap masyarakat pesisir yang lebih banyak menggantungkan hidupnya di sector perikanan dan budi daya, sehingga tumpahan minyak akan berdampak buruk terhadap upaya perbaikan kesejahteraan nelayan.
Tumpahan minyak yang tejadi di laut terbagi kedalam dua tipe, minyak yang larut dalam air dan akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Minyak yang mengapung pada permukaan air tentu dapat menyebabkan air berwarna hitam dan akan menggangu organisme yang berada pada permukaan perairan, dan tentu akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang akan digunakan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis dan dapat memutus rantai makanan pada daerah tersebut, jika hal demikian terjadi, maka secara langsung akan mengurangi laju produktivitas primer pada daerah tersebut karena terhambatnya fitoplankton untuk berfotosintesis.
Sementara pada minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai, akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal, organisme intertidal merupakan organisme yang hidupnya berada pada daerah pasang surut, efeknya adalah ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak seperti kepiting, amenon, moluska dan lainnya akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Namun pada daerah intertidal ini, walaupun dampak awalnya sangat hebat seperti kematian dan berkurangnya spesies, tumpahan minyak akan cepat mengalami pembersihan secara alami karena pada daerah pasang surut umumnya dapat pulih dengan cepat ketika gelombang membersihkan area yang terkontaminasi minyak dengan sangat cepat. Sementara pada organisme interstitial yaitu, organisme yang mendiami ruang yang sangat sempit di antara butir-butir pasir tentu akan terkena dampaknya juga, karena minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan batu-batuan, dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini seperti cacing policaeta, rotifer, Crustacea dan organisme lain.
Tabel 1. Efek Minyak pada Komunitas dan Populasi Laut (Hyland dan Sceneider, 1976 dalam Bishop, 1983)
NO Tipe Komunitas/Populasi Perkiraan dampak awal
Perkiraan tingkat pemulihan
1 Plankton Ringan-sedang Cepat-sedang2 Komunitas bentik :
- Pasut berbatuan
- Pasut Berlumpur/berpasir
- Daerah subtidal/offfshoreRingan
Sedang
BeratCepat
Sedang
Lambat3IkanRingan-sedangCepat-sedang4BurungBeratLambat5Mamalia lautRinganLambat
Perilaku Minyak di Laut
Senyawa Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzene, touleuna, ethylbenzen, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenic dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun didarat, sehingga hal ini akan mengalami proses biomagnetion pada ikan ataupun pada biota laut lain. Bila senyawa aromatic tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan lemak dan akan mengalami oksidasi dalam hati membentuk phenol, kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal (Kompas, 2004).
Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan segera akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Diantaran proses tersebut adalah membentuk lapisan (slick formation), menyebar (dissolution), menguap (evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi air dalam minyak ( water in oil emulsions ), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan ter (Mukhstasor, 2007)
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat.
Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut membuat minyak lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak.
Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin hamper semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya mengalami pengurangan kurang dari 25%.
Tindakan pertama yang dilakukan dalam mengatasi tumpahan minyak yaitu dengan melakukan pemantauan banyaknya minyak yang mencemari laut dan kondisi tumpahan. Ada 2 jenis pemantauan yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan jauh (remote sensing) (Ontario, 1994).
Pengamatan secara visual merupakan pengamatan yang menggunakan pesawat. Teknik ini melibatkan banyak pengamat, sehingga laporan yang diberikan sangat bervariasi. Pada umumnya, pemantauan dengan teknik ini kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pada tumpahan jenis minyak yang ringan akan mengalami penyebaran (spreading), sehingga menjadi lapisan sangat tipis di laut. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang. Namun, penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut, sehingga laporannya tidak dapat dipercaya.
Metode penginderaan jarak jauh dilakukan dengan berbagai macam teknik, seperti Side-looking Airborne Radar (SLAR). SLAR dapat dioperasikan setiap waktu dan cuaca, sehingga menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil penginderaan lebih detail. Namun,teknik ini hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal. Teknik ini tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dalam kondisi laut yang tenang. Selain SLAR digunakan juga teknik Micowave Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner, dan Landsat Satellite System. Berbagai teknik ini digunakan untuk menghasilkan informasi yang cepat dan akurat.
Pemulihan ekosistem berdasarkan kelakuan pencemar minyak dapat dilakukan dengan pendekatan risiko jejaring pencemar (Vik et al., 2001). Berikut ini diketengahkan beberapa contoh pendekatan pemulihan ekosistem berdasar pengendalian risiko. Pengendalian pencemaran pada tempat kejadian. Risiko penyebaran pencemaran dan perluasan dampak dapat ditekan maksimal. Pendekatan ini mengarahkan teknologi pemulihan diterapkan di tempat pencemaran (in-situ remediation). Pemulihan setempat dapat dilakukan untuk wilayah pesisir, termasuk lahan basah, muara, pantai dan laut lepas yang dapat terjangkau. Pengendalian media perjalanan pencemar. Pemompaan air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar dan dilanjutkan dengan pemulihan di luar tempat (ex-situ remediation). Penutupan sediment pantai, injeksi oksigen dan bahan kimia ke dalam air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar dengan pemulihan setempat (in-situ remediation).
Pengendalian penerima pencemar. Ini dilakukan dengan cara modifikasi akses bagi penerima pencemar potensial. Beberapa contoh adalah pengalihan jalur transport menjauh tempat kejadian pencemaran, pelindung bagi petugas pemulih ekosistem, larangan konsumsi hewan laut dalam radius 25 km dari kejadian pencemaran.
Remediasi fisik kimia
Remediasi fisik kimia adalah efektif untuk tujuan jangka pendek/segera yaitu melokalisasi dan mengambil semaksimal mungkin tumpahan minyak dari laut. Remediasi fisik yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Booming and skimming. Booms digunakan untuk melokalisasi dan mengendalikan pergerakan minyak. Skimmer digunakan untuk mengambil minyak. 2) Wiping dengan absorben. Bahan hidrofobik digunakan untuk menyeka minyak dari permukaan air. 3) Mekanis. Peralatan mekanis digunakan untuk mengumpulkan dan pembuangan sediment tercemar minyak. Ini terutama dilakukan di daerah pantai. 4) Pencucian. Pencucian menggunakan air dingin bertekanan rendah sampai air panas bertekanan tinggi. 5) Relokasi sediment dan tilling. Pemindahan sediment tercemar minyak ke tempat lain atau pencampuran dengan sediment lain. Cara ini analog dengan pengenceran pencemar. 6) Pembakaran setempat. Pembakaran tempat tercemar minyak biasanya dilakukan bersamaan dengan substrat mudah terbakar (tumbuhan kering, sampah kering). Ini terutama untuk kawasan pesisir.
Remediasi kimia yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Dispersants. Kandungan surfaktan digunakan untuk mendispersi minyak menjadi butiran dalam air. Butiran minyak mempunyai total luas permukaan butiran luas sehingga mempercepat proses lanjutan. Cara ini dipakai secara rutin di banyak Negara, terutama jika menghadapi kendala remediasi fisik (Lessard and Demarco, 2000). 2) Demulsifiers. Bahan ini digunakan untuk memutus emulsi minyak-air guna mempercepat disperse alamiah. 3) Solidifiers. Bahan ini digunakan untuk meningkatkan polimerisasi minyak sehingga minyak menjadi stabil, meminimalkan penyebaran, dan meningkatkan efektivitas remediasi fisik. 4) Surface film chemicals. Bahan pembentuk film (Film-forming agents) digunakan untuk mencegah minyak tertarik ke substrat laut lepas, dan untuk meningkatkan pembuangan minyak terikat pada permukaan alat pencuci bertekanan.
Remediasi fisik kimia bersifat remediasi jangka pendek dan tidak tuntas (perpindahan massa antar media lingkungan), hanya sekitar 10 – 15 % pencemar dapat dipindahkan dari media laut (OTA, 1990).
Perubahan fisik saat minyak terekspose ke lingkungan laut akan menentukan proses bioremediasi, yang terutama adalah: 1) Evaporasi. Proses ini terutama untuk minyak volatile seperti benzene and smaller n-alkanes. Evaporasi menghasilkan luas permukaan minyak dan menguntungkan bagi mikroba untuk menghilangkan senyawa toksik tersebut. 2) Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi penting dalam proses biodegradasi. Mikroba berada dalam air lebih mudah kontak dengan minyak terlarut. 3) Dispersi. Formasi emulsi minyak-air memperluas permukaan butir minyak sehingga memudahkan mikroba untuk memproses minyak. Formasi emulsi ini merupakan proses penting dalam penghilangan hidrokarbon oleh bacteria dan fungi (Singer and Finnerty, 1984). Tetapi emulsi minyak-air dengan penambahan dispersan tidak efektif untuk proses biodegradasi minyak, karena adanya tambahan zat organic dispersan. 4) Emulsifikasi. Emulsifikasi pembentukan chocolate mousse akan mengurangi luas permukaan minyak sehingga menurunkan proses
biodegradasi. Butir tar sebagai agregat besar akan menghambat akses mikroba (Leahy and Colwell, 1990).
Keefektifan bioremediasi ditentukan oleh kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan ini digunakan untuk pengambilan keputusan tempat bioremediasi, baik di tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ). Kondisi lingkungan yang terutama adalah: 1) Temperatur. Pada temperature rendah maka viskositas minyak meningkat dan volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan menghambat proses bioremediasi (Atlas, 1995). Hidrokarbon rantai pendek alkanes lebih mudah larut pada temperature rendah. Pada temperature tinggi, aromatic lebih mudah larut (Focht and Westlake, 1987). Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan temperature sampai batas tertentu. Laju tinggi biodegradasi minyak di laut dapat dicapai pada temperature 15 – 20°C (Bossert and Bartha, 1984). 2) Oksigen. Ketersediaan oksigen adalah penting dalam proses biodegradasi hidrokarbon jenuh dan aromatic (Cerniglia, 1992). Tetapi metabolisme hidrokarbon secara anaerobic dapat berhasil baik untuk hidrokarbon aromatic (BTEX) (Head and Swannell, 1999). PAHs dan alkanes dapat didegradasi dalam kondisi anaerobic (Caldwell et al., 1998). 3) Nutrients. Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon ke dalam air laut meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi nutrient (C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi komposisi normal bagi kebutuhan mikroba). Untuk memanfaatkan mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N dan P pada tingkat proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis 150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996). 4) pH dan salinitas. Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi menyukai pH netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi menghasilkan fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Focht and Westlake, 1987). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3 to 28.4% dengan peningkatan salinitas.
Fitoremediasi
Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan menggunakan tumbuhan telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi (phytoremediation). Fitoremediasi dapat dilakukan di wilayah pesisir, terutama kejadian pencemaran minyak atau pembuangan residu minyak berada di lahan basah pesisir.
Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut: 1) Fitostabilisasi (phytostabilization). Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zone akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2 – 50 % kandungan minyak (Leahy and Colwell, 1990). 2) Fitoekstraksi / fitoakumulasi (phytoextraction / phytoaccumulation). Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti pada proses fitostabilisasi. 3) Rizofiltrasi (rhizofiltration). Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan
sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organic maupun anorganik (Mangkoedihardjo, 2002). 4) Fitodegradasi / fitotransformasi (phytodegradation / phytotransformation). Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik. 5) Rizodegradasi (rhizodegradation / enhanced rhizosphere biodegradation / phytostimulation / plant-assisted bioremediation / degradation). Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organic. 6) Fitovolatilisasi (Phytovolatilization). Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R.M. (1995) Petroleum biodegradation and oil spill bioremediation. Marine Pollution Bulletin, 31, 178-182.
Bossert, I. And Bartha, R. (1984) The fate of petroleum in soil ecosystems. In Atlas (Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan Publishing Company, New York, pp435-476.
Bragg, J.R., Prince, R.C., Harner, E.J., and Atlas, R.M. (1994) Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature, 368, 413-418.
Caldwell, M.E., Garrett, R.M., Prince, R.C., Suflita, J.M. (1998) Anaerobic biodegradation of long chain n-alkanes under sulfate-reducing conditions. Environ. Sci. Technol., 32, 2191-2195.
Cerniglia, C.E., (1992) Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons. Biodegradation, 3, 351-368.
Elqodar. 2010. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Enviroliteracy. 2011. Oil Spilss. www.enviroliteracy.org. Diakses pada 20 Nopember 2011
Ginting, Pedana, Ir., Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri (2007) Jakarta. MS.CV YRAMA WIDYA. Hal 17-18.
Head, I.M. and Swannell, R.P.J. (1999) Bioremediation of petroleum hydrocarbon contaminants in marine habitats. Current Opinion in Biotechnology, 10, 234-239.
Interstate Technology Regulatory Cuncil (2001). Technical and regulatory guidance document, phytotechnology. Interstate Technology Regulatory Council USA.
Leahy, J.G.; Colwell, R.R. (1990) Microbial Degradation of hydrocarbons in the environment. Microbial Reviews, 53(3), 305-315.
Lessard R.R. and Demarco G. (2000) The significance of oil spill dispersants. Spill Science & Technology Bulletin, 6(1), 59-68.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2002. Waterhyacinth leaves indicate wastewater quality. J. Biosains, 7 (1): 10-13.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta : PT Pradnya Paramita
Ontario Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa : Environment Canada. Pages 22-24.
Rosenberg, E. and Ron, E.Z (1996) Bioremediation of petroleum contamination, In R.L. Crawford and D.L. Crawford (Eds.), Bioremediation: principles and Applications, Cambridge University Press, UK, 100-124.
Singer M.E. and Finnerty, W.R. (1984) Microbial metabolism of strat-chain and branched alkanes. In Atlas (Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan Publishing Company, New York, pp1-60.
United States Environmental Protection Agency (2001). Use of Bioremediation at Superfund Sites. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH 45268.
United States Environmental Protection Agency. (1999). Phytoremediation resource guide. Office of Solid Waste and Emergency Response Technology USA.
Vik EA, Bardos P, Brogan J, Edwards D, Gondi F, Henrysson T, Jensen BK, Jorge C, Marrioti C, Nathanail P, and Papassiopi N. (2001). Towards a framework for selecting remediation technologies for contaminated sites. Land Cont & Reclam, 9, 1: 119-127.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terhubung oleh perairan yang kaya
akan sumber daya alam serta keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan untuk
kesejahteraan hidup manusia. Hal ini menyebabkan banyaknya aktivitas disekitar perairan
laut Indonesia. Salah satu akibat yang dapat terjadi dari aktivitas tersebut adalah terjadinya
tumpahan minyak hingga proses pencemaran minyak yang secara kompleks mengakibatkan
perubahan sifat fisik, kimiawi dan biologis yang dapat merusak kehidupan. Minyak adalah
pencemar utama di lautan (Connel, 1995)
Dalam penanganan tumpahan minyak ini memerlukan pendekatan yang sesuai
karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses pencemaran minyak di
laut yaitu pada tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering),
jalur pergerakan minyak (pathways), dan keterpaparan (exposure).
Berdasarkan beberapa kasus telah banyak kerugian yang dialami dan akibat yang
ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut seperti:
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap
yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan.
Kontaminasi terhadap udara yang perlu diperhatikan akan bahaya penguapan
benzene karena mempunyai efek karsinogenik kepada manusia. Keadaan ini semakin
penting untuk diantisipasi apabila kejadian tumpahan minyak berada dekat dengan
lokasi penduduk yang padat. Dan benda purbakala, cagar alam dan harta karun di
dasar laut yang terkena minyak dapat rusak atau berkurang nilai estetikanya. Oleh
sebab itu nilai jualnya akan berkurang.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi
yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel
pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu
mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian
secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana
pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.
Minyak dapat mempengaruhi kehidupan mangrove dan organisme lain yang
berasosiasi pada mangrove. Minyak dapat menutupi daun, menyumbat akar nafas,
mencegah difusi garam dan menghambat proses respirasi pada mangrove. Dan
vegetasi bawah air sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak, karena vegetasi
bawah air mimiliki produktivitas yang tinggi, berperan dalam siklus nutrien, berfungsi
sebagai kawasan asuhan, mencari makan, dan berlindung berbagai spesies penting
dan komersial tinggi dari jenis-jenis ikan.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun
dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari
proses biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang,
dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia
karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan
minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini
dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk
hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan
minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air
dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.
Permasalahan pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
merupakan masalah yang penting untuk ditangani mengingat besarnya ketergantungan
terhadap sumber daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang diakibatkan
pencemaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah pencegahan dan
penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu terjadinya
pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan laut. Semua ini menjadi kewajiban kita
untuk melakukan usaha-usaha yang lebih konservatif demi kelangsungan hidup yang
lebih baik.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan. Jenis-jenis bioremediasi
Faktor Lingkungan yang Berpengaruh
pH. Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dr 4.5 menjadi 7.4 dengan penambahan kapur meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien. Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
Kadar H2O dan karakter geologi. Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9-1.0, umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
Keberadaan zat nutrisi. Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dgn makro & mikro nutrisi yang lain.
( Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Bioremediasi)
Minyak Bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang dan oleum – minyak), dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental, berwarna coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi.
Minyak Bumi terdiri dari campuran kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi, dan kemurniannya. Minyak Bumi diambil dari sumur minyak di pertambangan-pertambangan minyak. Lokasi sumur-sumur minyak ini didapatkan setelah melalui proses studi geologi, analisis sedimen, karakter dan struktur sumber, dan berbagai macam studi lainnya.[1][2] Setelah itu, minyak Bumi akan diproses di tempat pengilangan minyak dan dipisah-pisahkan hasilnya berdasarkan titik didihnya sehingga menghasilkan berbagai macam bahan bakar, mulai dari bensin dan minyak tanah sampai aspal dan berbagai reagen kimia yang dibutuhkan untuk membuat plastik dan obat-obatan.[3] Minyak Bumi digunakan untuk memproduksi berbagai macam barang dan material yang dibutuhkan manusia.[4]
Komposisi
Jika dilihat kasar, minyak Bumi hanya berisi minyak mentah saja, tapi dalam penggunaan sehari-hari ternyata juga digunakan dalam bentuk hidrokarbon padat, cair, dan gas lainnya. Pada kondisi temperatur dan tekanan standar, hidrokarbon yang ringan seperti metana, etana, propana, dan butana berbentuk gas yang mendidih pada -161.6 °C, -88.6 °C, -42 °C, dan -0.5 °C, berturut-turut (-258.9°, -127.5°, -43.6°, dan +31.1° F), sedangkan karbon yang lebih tinggi, mulai dari pentana ke atas berbentuk padatan atau cairan. Meskipun begitu, di sumber minyak di bawah tanah, proporsi gas, cairan, dan padatan tergantung dari kondisi permukaan dan diagram fase dari campuran minyak Bumi tersebut.[5]
Sumur minyak sebagian besar menghasilkan minyak mentah, dan terkadang ada juga kandungan gas alam di dalamnya. Karena tekanan di permukaan Bumi lebih rendah daripada di bawah tanah, beberapa gas akan keluar dalam bentuk campuran. Sumur gas sebagian besar menghasilkan gas. Tapi, karena suhu dan tekanan di bawah tanah lebih besar daripada suhu di permukaan, maka gas yang keluar kadang-kadang juga mengandung hidrokarbon yang lebih besar, seperti pentana, heksana, dan heptana dalam wujud gas. Di permukaan, maka gas ini akan mengkondensasi sehingga berbentuk kondensat gas alam. Bentuk fisik kondensat ini mirip dengan bensin.
Persentase hidrokarbon ringan di dalam minyak mentah sangat bervariasi tergantung dari ladang minyak, kandungan maksimalnya bisa sampai 97% dari berat kotor dan paling minimal adalah 50%.
Jenis hidrokarbon yang terdapat pada minyak Bumi sebagian besar terdiri dari alkana, sikloalkana, dan berbagai macam jenis hidrokarbon aromatik, ditambah dengan sebagian kecil elemen-elemen lainnya seperti nitrogen, oksigen dan sulfur, ditambah beberapa jenis logam seperti besi, nikel, tembaga, dan vanadium. Jumlah komposisi molekul sangatlah beragam dari minyak yang satu ke minyak yang lain tapi persentase proporsi dari elemen kimianya dapat dilihat di bawah ini:[6]
Komposisi elemen berdasarkan berat
Elemen Rentang persentase
Karbon 83 sampai 87%
Hidrogen 10 sampai 14%
Nitrogen 0.1 sampai 2%
Oksigen 0.05 sampai 1.5%
Sulfur 0.05 sampai 6.0%
Logam < 0.1%
Ada 4 macam molekul hidrokarbon yang ada dalam minyak mentah. Persentase relatif setiap molekul berbeda-beda tiap lokasi minyaknya, sehingga menggambarkan ciri-ciri dari setiap minyak.[5]
Komposisi molekul berdasarkan berat
Hidrokarbon Rata-rata Rentang
Parafin 30% 15 sampai 60%
Naptena 49% 30 sampai 60%
Aromatik 15% 3 sampai 30%
Aspaltena 6% sisa-sisa
Kebanyakan minyak mentah di dunia merupakan non-konvensional.[7]
Penampakan fisik dari minyak Bumi sangatlah beragam tergantung dari komposisinya. Minyak Bumi biasanya berwarna hitam atau coklat gelap (meskipun warnanya juga bisa kekuningan,
kemerahan, atau bahkan kehijauan). Pada sumur minyak biasanya ditemukan juga gas alam yang mempunyai massa jenis lebih ringan daripada minyak Bumi, sehingga biasanya keluar terlebih dahulu dibandingkan minyak. Dalam campuran itu, terdapat juga air asin, yang massa jenisnya lebih rendah sehingga berada di lapisan di bawah minyak. Minyak mentah juga dapat ditemukan dengan campuran dengan pasir dan minyak, seperti pada pasir minyak Athabasca di Kanada, yang biasanya merujuk pada bitumen mentah. Bitumen yang terdapat di Kanada memiliki karakteristik lengket, berwarna hitam, bentuknya seperti minyak mentah dalam wujud tar, sehingga sangat lengket dan berat dan harus dipanaskan terlebih dahulu agar larut dan bisa dialirkan.[8] Venezuela juga mempunyai cadangan minyak dalam jumlah besar di pasir minyak Orinoco, meskipun jumlah hidrokarbon yang terkandung lebih cair daripada di Kanada. Jenis minyak ini disebut dengan minyak ekstra berat. Minyak yang terdapat dalam pasir minyak ini disebut dengan minyak tak konvensional untuk membedakannya dari minyak yang dapat diekstrak dengan metode tradisional biasa. Kanada dan Venezuela diperkirakan mempunyai 3,6 triliun barel (570×109 m3) bitumen dan minyak ekstra-berat ini, sekitar dua kali dari volume cadangan minyak konvensional dunia.[9]
Minyak Bumi sebagian besar digunakan untuk memproduksi bensin dan minyak bakar, keduanya merupakan sumber "energi primer" utama.[10] 84% dari volume hidrokarbon yang terkandung dalam minyak Bumi diubah menjadi bahan bakar, yang di dalamnya termasuk dengan bensin, diesel, bahan bakar jet, dan elpiji.[11] Minyak Bumi yang tingkatannya lebih ringan akan menghasilkan minyak dengan kualitas terbaik, tapi karena cadangan minyak ringan dan menengah semakin hari semakin sedikit, maka tempat-tempat pengolahan minyak sekarang ini semakin meningkatkan pemrosesan minyak berat dan bitumen, diikuti dengan metode yang makin kompleks dan mahal untuk memproduksi minyak. Karena minyak Bumi tyang tingkatannya berat mengandung karbon terlalu banyak dan hidrogen terlalu sedikit, maka proses yang biasanya dipakai adalah mengurangi karbon atau menambahkan hidrogen ke dalam molekulnya. Untuk mengubah molekul yang panjang dan kompleks menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana, digunakan proses fluid catalytic cracking.
Karena mempunyai kepadatan energi yang tinggi, pengangkutan yang mudah, dan cadangan yang banyak, minyak Bumi telah menjadi sumber energi paling utama di dunia sejak pertengahan tahun 1950-an. Minyak Bumi juga digunakan sebagai bahan mentah dari banyak produk-produk kimia, farmasi, pelarut, pupuk, pestisida, dan plastik; dan sisa 16% lainnya yang tidak digunakan untuk produksi energi diubah menjadi material lainnya.
Cadangan minyak yang diketahui saat ini berkisar 190 km3 (1,2 triliun barrel) tanpa pasir minyak,[12] atau 595 km3 (3,74 triliun barrel) jika pasir minyak ikut dihitung.[13] Konsumsi minyak Bumi saat ini berkisar 84 juta barrel (13,4×106 m3) per harinya, atau 4.9 km3 per tahunnya. Dengan cadangan minyak yang ada sekarang, minyak Bumi masih bisa dipakai sampai 120 tahun lagi, jika konsumsi dunia diasumsikan tidak bertambah.
Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa minyak adalah zat abiotik, yang berarti zat ini tidak berasal dari fosil tetapi berasal dari zat anorganik yang dihasilkan secara alami dalam perut Bumi. Namun, pandangan ini diragukan dalam lingkungan ilmiah.
Kimia
Oktana, hidrokarbon yang ditemukan pada bensin. Garis-garis melambangkan ikatan tunggal, bola hitam melambangkan karbon, sedangkan bola putih melambangkan hidrogen.
Minyak Bumi merupakan campuran dari berbagai macam hidrokarbon, jenis molekul yang paling sering ditemukan adalah alkana (baik yang rantai lurus maupun bercabang), sikloalkana, hidrokarbon aromatik, atau senyawa kompleks seperti aspaltena. Setiap minyak Bumi mempunyai keunikan molekulnya masing-masing, yang diketahui dari bentuk fisik dan ciri-ciri kimia, warna, dan viskositas.
Alkana, juga disebut dengan parafin, adalah hidrokarbon tersaturasi dengan rantai lurus atau bercabang yang molekulnya hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen dengan rumus umum CnH2n+2. Pada umumnya minyak Bumi mengandung 5 sampai 40 atom karbon per molekulnya, meskipun molekul dengan jumlah karbon lebih sedikit/lebih banyak juga mungkin ada di dalam campuran tersebut.
Alkana dari pentana (C5H12) sampai oktana (C8H18) akan disuling menjadi bensin, sedangkan alkana jenis nonana (C9H20) sampai heksadekana (C16H34) akan disuling menjadi diesel, kerosene dan bahan bakar jet). Alkana dengan atom karbon 16 atau lebih akan disuling menjadi oli/pelumas. Alkana dengan jumlah atom karbon lebih besar lagi, misalnya parafin wax mempunyai 25 atom karbon, dan aspal mempunyai atom karbon lebih dari 35. Alkana dengan jumlah atom karbon 1 sampai 4 akan berbentuk gas dalam suhu ruangan, dan dijual sebagai elpiji (LPG). Di musim dingin, butana (C4H10), digunakan sebagai bahan campuran pada bensin, karena tekanan uap butana yang tinggi akan membantu mesin menyala pada musim dingin. Penggunaan alkana yang lain adalah sebagai pemantik rokok. Di beberapa negara, propana (C3H8) dapat dicairkan dibawah tekanan sedang, dan digunakan masyarakat sebagai bahan bakar transportasi maupun memasak.
Sikloalkana, juga dikenal dengan nama naptena, adalah hidrokarbon tersaturasi yang mempunyai satu atau lebih ikatan rangkap pada karbonnya, dengan rumus umum CnH2n. Sikloalkana memiliki ciri-ciri yang mirip dengan alkana tapi memiliki titik didih yang lebih tinggi.
Hidrokarbon aromatik adalah hidrokarbon tidak tersaturasi yang memiliki satu atau lebih cincin planar karbon-6 yang disebut cincin benzena, dimana atom hidrogen akan berikatan dengan atom karbon dengan rumus umum CnHn. Hidrokarbon seperti ini jika dibakar maka akan menimbulkan asap hitam pekat. Beberapa bersifat karsinogenik.
Semua jenis molekul yang berbeda-beda di atas dipisahkan dengan distilasi fraksional di tempat pengilangan minyak untuk menghasilkan bensin, bahan bakar jet, kerosin, dan hidrokarbon
lainnya. Contohnya adalah 2,2,4-Trimetilpentana (isooktana), dipakai sebagai campuran utama dalam bensin, mempunyai rumus kimia C8H18 dan bereaksi dengan oksigen secara eksotermik:[14]
2 C8H18(l) + 25 O2(g) → 16 CO2(g) + 18 H2O(g) + 10.86 MJ/mol (oktana)
Jumlah dari masing-masing molekul pada minyak Bumi dapat diteliti di laboratorium. Molekul-molekul ini biasanya akan diekstrak di sebuah pelarut, kemudian akan dipisahkan di kromatografi gas, dan kemudian bisa dideteksi dengan detektor yang cocok. [15]
Pembakaran yang tidak sempurna dari minyak Bumi atau produk hasil olahannya akan menyebabkan produk sampingan yang beracun. Misalnya, terlalu sedikit oksigen yang bercampur maka akan menghasilkan karbon monoksida. Karena suhu dan tekanan yang tinggi di dalam mesin kendaraan, maka gas buang yang dihasilkan oleh mesin biasanya juga mengandung molekul nitrogen oksida yang dapat menimbulkan asbut.
Persamaan empiris untuk ciri-ciri termal pada produk hasil olahan minyak Bumi
Panas pembakaran
Pada volume yang konstan maka panas pembakaran dari produk minyak Bumi dapat diperkirakan dengan rumus:
.
dengan dalam kal/gram dan d adalah gravitasi khusus pada suhu 60 °F (16 °C).
Konduktivitas termal
Konduktivitas termal dari cairan-cairan yang berasal dari minyak Bumi dapat dirumuskan sebagai berikut:
0.547
Satuan K adalah BTU hr−1ft−2 , t diukur dalam °F dan d adalah gravitasi khusus pada suhu 60 °F (16 °C).
Klasifikasi
Sebuah sampel minyak mentah dengan klasifikasi berat medium.
Industri minyak bumi pada umumnya mengklasifikasi minyak mentah berdasarkan lokasi geografis dimana minyak tersebut diproduksi (misalnya West Texas Intermediate, Brent, atau Oman), Gravitasi API (sebuah ukuran pada industri minyak mentah untuk mengklasifikasi minyak berdasarkan massa jenisnya, dan kandungan sulfurnya. Minyak bumi digolongkan ringan apabila massa jenisnya kecil dan berat apabila massa jenisnya besar. Minyak bumi juga digolongkan manis apabila kandungan sulfurnya sedikit dan digolongkan asam apabila kandunga sulfurnya tinggi.
Lokasi geografis merupakan seseatu hal yang penting karena akan mempengaruhi ongkos transportasi menuju tempat pengilangan. Minyak mentah ringan lebih disukai daripada yang berat karena menghasilkan bensin lebih banyak, sedangkan minyak mentah manis juga lebih disukai daripada yang asam karena ongkos pengilangan minyak asam lebih besar (karena kadar sulfur yang tinggi) dan minyak manis lebih ramah lingkungan. Setiap minyak mentah mempunyai karakteristik molekulnya sendiri yang dapat dianalisis menggunakan analisis uji minyak mentah di laboratorium.
Penggunaan
Informasi lebih lanjut: Produk minyak Bumi
Struktur kimia dari minya Bumi sangatlah heterogen, terdiri dari banyak rantai hidrokarbon dengan panjang yang berbeda-beda. Maka dari itu, minyak Bumi dibawa ke tempat pengilangan minyak sehingga senyawa-senyawa hidrokarbon ini bisa dipisahkan dengan teknik distilasi dan proses kimia lainnya. Hasil penyulingan minyak inilah yang digunakan manusia untuk berbagai macam kebutuhan.
Bahan bakar
Jenis produk paling umum dari penyulingan minyak Bumi adalah bahan bakar. Jenis-jenis bahan bakar itu antara lain (dilihat dari titik didihnya):[16]
Hasil penyulingan minyak Bumi
Nama bahan bakar Titik didih oC
Elpiji (LPG) -40
Butana -12 sampai -1
Bensin -1 sampai 180
Bahan bakar jet 150 sampai 205
Minyak tanah 205 sampai 260
Minyak bakar 205 sampai 290
Diesel 260 sampai 315
Produk turunan lainnya
Beberapa produk hasil olahan hidrokarbon dapat dicampur dengan senyawa non-hidrokarbon untuk membentuk senyawa lainnya:
Alkena (olefin), dapat diproduksi menjadi plastik atau senyawa lain. Pelumas (oli mesin dan gemuk). Wax , digunakan dalam pengepakan makanan beku. Sulfur atau Asam sulfat. Merupakan senyawa penting dalam industri. Tar . Aspal . Kokas minyak Bumi , digunakan sebagai bahan bakar padat. Parafin wax . Petrokimia aromatik, digunakan sebagai campuran pada produksi bahan-bahan kimia lainnya.
Di Indonesia
Di Indonesia, minyak Bumi yang diolah banyak digunakan sebagai Bahan bakar minyak atau BBM, yang merupakan salah satu jenis bahan bakar yang digunakan secara luas di era industrialisasi.
Ada beberapa jenis BBM yang dikenal di Indonesia, di antaranya adalah:
Minyak tanah rumah tangga Minyak tanah industri Pertamax Racing Pertamax Pertamax Plus Premium Bio Premium Bio Solar Pertamina DEX Solar transportasi Solar industri Minyak diesel Minyak bakar
Di Indonesia, harga BBM sering mengalami kenaikan disebabkan alasan pemerintah yang ingin mengurangi subsidi. Tujuan dari pengurangan tersebut dikatakan adalah agar dana yang sebelumnya digunakan untuk subsidi dapat dialihkan untuk hal-hal lain seperti pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, kenaikan tersebut sering memicu terjadinya kenaikan pada harga barang-barang lainnya seperti barang konsumen, sembako dan bisa juga tarif listrik sehingga selalu ditentang masyarakat.
pencemaran adalah proses masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan oleh aktifitas
manusia secara langsung yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan sedemikian
rupa sehingga pada akhirnya akan membahayakan manusia, merusak lingkungan hayati
(sumberdaya hayati) dan ekosistem serta mengurangi atau menghalangi kenyamanan dan
penggunaan lain yang semestinya dari suatu sistem lingkungan (Romimohtarto, 1991)
GESAMP (1978), mendefenisikan pencemaran merupakan Pencemaran adalah proses
masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan oleh aktifitas manusia secara langsung yang
mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya
akan membahayakan manusia, merusak lingkungan hayati (sumberdaya hayati) dan ekosistem
serta mengurangi atau menghalangi kenyamanan dan penggunaan lain yang semestinya dari
suatu sistem lingkungan (Romimohtarto, 1991)masuknya atau dimasukkannya zat atau energi
oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam lingkungan laut yang
menyebabkan efek merugikan karena merusak sumberdaya hayati, membahayakan kesehatan
manusia, menghalangi aktifitas di laut termasuk perikanan, menurunkan mutu air laut yang
digunakan dan mengurangi kenyamanan di laut.
Kegiatan di laut yang merupakan sumber pencemaran, yaitu :
1. Pencemaran yang bersumber dari kegiatan pelayaran
Pencemaran ini diakibatkan oleh kegiatan pengoperasian normal kapal, adanya kebocoran bahan
bakar minyak dari instalasi permesinan, pipa-pipa, tangki-tangki, tumpahan lain, atau adanya
bekas cucian, yang akhirnya tercampur dalam air, sehingga menjadi limbah berminyak.
Pencemaran akibat kecelakaan kapal yang terjadi karena adanya tumpahan-tumpahan muatan
minyak, muatan bahan cair beracun sebagai akibat terjadinya kecelakaan kapal seperti tubrukan,
kandas, kebakaran, dan sebagainya.
2. Pencemaran laut yang bersumber dari kegiatan penambangan minyak lepas pantai.
Pencemaran dari pengeboran minyak lepas pantai ini disebabkan oleh buangan dan bocoran
lumpur bor bekas, minyak endapan serta bocoran pada saat eksploitasi dan pada saat
pengoperasian pengangkutan dari anjungan ke kapal tanker.
3. Pencemaran yang bersumber dari kegiatan dumping di laut.
Aturan khusus dumping di laut belum ada sehingga masih banyak kegiatan dumping di laut dan
pantai secara liar. Semakin banyaknya kegiatan industri akan mengakibatkan makin banyak
limbah industri yang dibuang di laut (Rahim, 1998).
Sebetulnya cemaran minyak yang ada di perairan itu dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain : kecelakaan dan tumpahan selama proses produksi, transportasi dan penggunaan,
presipitasi dari atmosfer, limbah domestik dan industri serta karena rembesan alamiah dari dasar
laut (Saparinto, 2002).
Sampai saat ini, hanya dampak berupa pencemaran minyak yang sudah dibuat
implikasinya terhadap tingkat kerentanan ekosistem pesisir. Sloan (1993) telah menyusun
tingkat kerentanan berbagai ekosistem pesisir utama terhadap tumpahan minyak, seperti yang
disajikan pada :
Tabel 1. Tingkat Kerentanan (TK) dari Setiap Habitat (Sloan, 1993)
Tingkat Kerentanan Keterangan Tipe Habitat5 Sangat Tinggio Mangrove
o Rawa Payauo Daerah Pasang Surut berbatu terlindungo Penggunaan khusus (misalnya untuk jenis
langka)4 Tinggi o Terumbu Karang
o Padang Lamun3 Sedang o Perairan semi terbuka (teluk, dermaga)2 Kurang o Pantai berpasir
o Pantai berbatu1 Rendah o Daerah Pasang Surut berbatu terbuka
o Hutan Kelpo Perairan terbuka (lepas Pantai)o Subtidal berbatu (karang keras
dasar/berbatu)o Subtidal berbatu limbah lunak
Tinjauan Parameter Fisika Oseanografi
a. Pasang Surut
Pasang surut pada umumnya adalah gerakan naik turunnya dari permukaan air laut
disebabkan oleh gaya tarik menarik benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap
permukaan bumi. Tampilan pasang surut yang terjadi di pantai sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lokal seperti dasar laut, lebar selat, bentuk teluk dan sebagainya (Nontji, 1993).
Pasang surut merupakan salah satu pembangkit terjadinya arus sehingga dapat
menyebabkan sirkulasi air. Menurut Triatmojo (1999), pasang surut dibedakan atas empat tipe
yaitu :
Pasang harian ganda (semi diurnal tide). Dalam satu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan teratur. Periode
pasang surut rata-rata adalah 24 jam 50 menit.
Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan satu kali
surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit.
Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal). Dalam satu
hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal). Dalam satu
hari terjadi dua kali air pasang dan satu kali air surut, tapi kadang-kadang terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut dengan tinggi dan perode yang berbeda.
Pasang surut di perairan nusantara pada umumnya bersifat campuran. Adapun sifat
campuran ini disebabkan terutama oleh pengaruh interverensi gelombang-gelombang pasang
surut yang datang dari samudera Hindia dan samudera Pasifik yang kedua-duanya bersifat
campuran, terutama harian ganda. Kecuali itu juga interverensi dari gelombang pasang surut
dari laut Cina yang bersifat Harian Tunggal. Hasil pasang surut campuran ditentukan oleh
perbandingan antara tunggang air kelompok harian tunggal dan kelompok harian ganda, dan
hanya dalam keadaan luar biasa salah satu dari kelompok itu berkerja secara tersendiri
(Uktolseya, 1994).
Pengaruh minyak pada organisme di daerah pantai akan berbahaya apabila tumpahan
minyak tersebut terhembus oleh angin dan bergerak akibat pasang surut air laut hingga
terperangkap pada sedimen-sedimen di daerah pantai. Kondisi ini akan menjadikan terhambatnya
proses rekolonisasi biota yang tumbuh di daerah tersebut. Ada kecenderungan tumbuhan darat
(terestrial), terutama mangrove lebih peka terhadap pengaruh racun minyak dari pada algae.
Oleh karena pengaruh pasang surut, batang dan akar mangrove terkena kontak langsung,
menjadikan daun mangrove akan menguning dan berguguran dan mati. Minyak diesel pada
konsentrasi 100 ppm menyebabkan terjadinya gugur daun, kemudian akan pulih kembali. Namun
pada konsentrasi 1000 - 10000 ppm semua benih mati dalam waktu dua minggu (Saparinto,
2002).
b. Arus permukaan
Faktor utama timbulnya arus di laut adalah radiasi matahari. Pemanasan yang berbeda-
beda di bagian bumi, udara di atas bumi mengalami tekanan yang berbeda-beda yang
mengakibatkan angin berhembus. Angin yang berhembus di atas laut, menyebabkan massa air
laut di bagian permukaan ikut terseret, maka timbullah arus laut. Pemanasan air yang tidak
merata juga menyebabkan suhu perairan di muka bumi tidak sama, dan dapat mengakibatkan
perbedaan densitas. Proses ini pula dapat menyebabkan terjadinya arus laut (Birowo, 1994)
Sirkulasi arus di permukaan banyak dipengaruhi oleh angin musim, sehingga pola
sirkulasi sesuai dengan pola angin. Pada musim barat arus permukaan bergerak dengan arah
utama dari barat ke timur, dan pada musim timur terjadi sebaliknya (Uktolseya, 1994)
Hal senadapun dikemukakan oleh Rahim (1998), bahwa arus merupakan penyebab
timbulnya sirkulasi air baik dalam bentuk penyebaran (diffusion) maupun arus vertikal, sehingga
terjadi proses percampuran partikel-partikel dalam air. Dengan adanya arus laut serta proses
difusi, maka fragmen-fragmen minyak dapat menyebar secara horisontal seiring dengan
perjalanan waktu.
Proses masuknya bahan pencemar ke dalam perairan laut dan kemudian dialirkan melalui
tingkat-tingkat tropik yang terdapat pada lingkungan tersebut dipicu oleh tiga faktor yaitu :
1. Disebarkan melalui adukan/turbulensi, dan arus laut.
2. Dipekatkan melalui proses biologi.
Diserap oleh ikan, plankton nabati atau ganggang, dan melalui proses fisik dan kimiawi dengan
cara absorbsi, pengendapan dan pertukaran ion. Bahan pencemar ini akhirnya akan mengendap
di dasar laut,
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota laut (ikan).
Sebagian bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem laut dapat diencerkan dan disebarkan
ke seluruh wilayah laut melalui adukan turbulensi dan arus laut. Untuk wilayah-wilayah laut
yang luas dan terbuka dengan pola arus dan turbulensi yang aktif, bahan-bahan pencemar akan
terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas sehingga dapat meminimalkan konsentrasi
akumulasinya dalam suatu badan perairan. Akan tetapi pada wilayah-wilayah laut yang sempit
dan tertutup, bahan pencemar akan mudah sekali terakumulasi di dalam suatu badan perairan.
Bahan pencemar tersebut sebagian lagi tersebut akan terbawa oleh arus laut atau biota
yang sementara melakukan migrasi/ruaya ke wilayah laut lainnya, dan akan lebih
menguntungkan apabila terbawa ke perairan laut terbuka. Sedangkan sebagian lagi yang tidak
dicencerkan dan disebarkan serta terbawa ke wilayah-wilayah laut yang luas dan terbuka, akan
dipekatkan melalui proses biologi, fisik dan kimiawi, dimana dalam proses biologi, bahan
pencemar biasanya diserap oleh organisme laut seperti ikan, fitoplankton maupun tumbuhan laut
kemudian diserap lagi oleh plankton nabati kemudian akan berpindah ke tingkat-tingkat tropik
selanjutnya seperti avertebrata dan zooplankton dan kemudian ke ikan dan mamalia. Sedangkan
dalam proses fisik dan kimiawi, bahan pencemar akan diabsorbsi, diendapkan dan melakukan
proses pertukaran ion. (Siahainenia, 2001)
Proses yang dialami minyak cemaran ini adalah emulsifikasi, evaporasi, dan
fotooksida. Proses ini tidak terlepas dari keadaan laut itu sendiri terutama gelombang dan arus
yang dapat mencampur maupun membawa minyak bumi tersebar di permukaan laut. Bentuk laut
yang terbuka tentu berbeda dengan laut yang tertutup. Pada laut yang terbuka arus yang
bergerak lebih besar dan tempat pergerakannya lebih luas (Rahim, 1998).
c. Gelombang
Gelombang laut timbul sebagai akibat gangguan dari luar terhadap suatu perairan
(angin, gerakan kapal, gempa bumi). Dari tempat gangguan, gelombang merambat secara
mendatar di permukaan air ke segala arah. Bentuk gelombang sebenarnya sangat kompleks,
namun dalam usaha mempelajarinya banyak diadakan anggapan-anggapan. Gelombang laut
sering dianggap sebagai penjumlahan/super posisi beberapa gelombang sederhana.
Gelombang yang datang mendekati pantai/daerah dangkal, kecepatan dan panjang
gelombang mengecil, sedang elevasi dan keterjalannya bertambah. Pada daerah dimana tinggi
gelombang sama dengan kedalaman perairan, gelombang pecah/collaps. Keterjalan gelombang,
kemiringan dasar, dan angin adalah faktor-faktor penting dalam mempelajari sifat pecahnya
gelombang (Birowo, 1994)
Gelombang atau ombak adalah pergerakan dari titik-titik air (kebanyakan naik turun),
adalah fenomena yang terbanyak dijumpai di permukaan laut. Terdapat banyak sekali macam
gelombang dengan periode yang bermacam-macam pula. “Gelombang angin” yang disebabkan
oleh angin, yang merupakan gelombang gravitasi permukaan (surface gravity waves) dengan
periode antara 1 – 30 detik (Uktolseya, 1994)
Triatmodjo (1999), mengatakan bahwa gelombang laut merupakan salah satu yang
paling penting dalam mempelajari dinamika perairan, dan yang paling berpengaruh pada
pembentukan gelombang laut adalah angin dan pasang surut. Gelombang di laut dapat dibedakan
menjadi beberapa macam tergantung pada gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah
gelombang angin yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang
surut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari
dan bulan terhadap bumi, dan gelombang tsunami yang terjadi karena letusan gunung berapi
atau gempa di laut, serta gelombang lain yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak dan
sebagainya.
Energi angin serta ombak laut menyebabkan tumpahan-tumpahan minyak dapat pecah
menjadi fragmen-fragmen kecil yang kemudian menyebar maupun teradveksi dari tempat
tumpahan. Apabila perairan pantai tercemar, akan mempunyai pengaruh pada kehidupan yang
ada disekitarnya, bahkan karena terkena arus, angin atau gulungan ombak akan sampai di
perairan estuaria (estuarine areas), terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea gress) atau
hutan bakau (mangrove).
Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak terhadap lingkungan perairan laut dan
pantai tergantung pada jumlah minyak yang tumpah, lokasi kejadian dan waktu kejadian.
Buangan dan tumpahan minyak bumi akibat kegiatan penambangan dan pengangkutannya dapat
menimbulkan pencemaran laut yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.
Pengaruh buangan/tumpahan minyak terhadap ekosistem perairan laut adalah dapat menurunkan
kualitas air laut secara fisik, kimia, dan biologis (Saparinto, 2002).
Sumber bahan buangan minyak di lingkungan laut dan presentase input pertahun dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Presentase Input Bahan Buangan Minyak Pertahun (Romimohtarto, 1991)
Sumber Metrik ton/tahun Prosentase input/tahun (%)Transportasi
Buangan Industri
Atmosfir
Alam
Produksi Laut Lepas
1.47
1.18
0.30
0.24
0.05
45.30
36.30
9.20
7.70
1.50
Total 3.24 100
Tabel 2 menunjukkan sumber-sumber yang telah diestimasi atau diperkirakan dan
besarnya input minyak ke lingkungan laut. Kesemuanya itu berangkat dari asumsi bahwa semua
buangan minyak pada berbagai titik di dunia berakhir di samudera (Romimohtarto, 1991).
Secara teoritis, tumpahan minyak memang tidak selamanya berasal dari kecelakaan kapal
seperti karam, tabrakan, atau tenggelam. Bisa juga tumpahan minyak yang mencemari laut ini
karena kesengajaan, misalnya air ballas atau air bercampur minyak dari sisa pencucian kapal
tanker. Bisa juga limbah minyak ini berasal dari tar ball (kerak minyak mentah) yang dibuang
oleh kapal yang kebetulan sedang melintas. Tetapi, tidak menutup kemungkinan pula berasal dari
pertambangan minyak di lepas pantai (Jaringan Advokasi Tambang, 2004).
c. Proses Transformasi Minyak Bumi dalam lingkungan Laut.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya
pesisir dan lautan di Indonesia yaitu : pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi
sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan
lainnya dan bencana alam (Pagoray, 2003)
Minyak bumi yang masuk ke lingkungan laut dari berbagai sumber mengalami
transformasi dalam laut dengan melibatkan proses fisika, kimia, dan biologi seperti berikut ini :
1. Penyebaran (Spreading)
Minyak bumi dan produk destilatnya yang terbuang ke laut menyebar dengan cepat yang
dipengaruhi oleah angin, gelombang dan arus terutama sifat-sifat fisika dan kimia. Dari
penyebaran minyak ini akan terbentuk lapisan minyak tipis yang kemudian terpecahkan oleh
gelombang dan kemudian lapisan minyak menghilang dari permukaan laut (terdispersi) karena
mengalami proses-proses turbulensi. Penyebaran lapisan tipis hingga beberapa milimeter
tergantung pada viskositas minyak yang dominan. Kedalaman lapisan atau dalam bentuk
gumpalan-gumpalan minyak yang tenggelam dari permukaan laut sangat tergantung pada energi
pengadukan (mixing). Ketika energi pengadukan mulai berkurang, maka terdapat kemungkinan
lapisan atau gumpalan-gumpalan tersebut muncul kembali ke permukaan laut.
2. Penguapan (evaporasi)
Proses penguapan merupakan proses fisika dimana proses ini tergantung pada titik didih dan
berat molekul minyak bumi yang masuk ke laut, hampir seluruh hidrokarbon dibawah C15 (titik
didih < 250 oC) akan teruapkan dari permukaan laut. Hidrokarbon rentang C15 – C25
menunjukkan volatilitas terbatas dan banyak yang tinggal dalam minyak. Sedangkan
hidrokarbon diatas C25 sangat sedikit yang hilang dari proses ini. Jika penguapan yang terjadi
sangat kecil, molekul atau partikel-partikel yang tidak menguap akan membentuk agregat
bergabung menjadi besar dan kemudian turun ke sedimen.
3. Pelarutan
Pelarutan erat hubungannya dengan komposisi, struktur, dan berat molekul senyawa. Kecepatan
dari proses ini ditentukan oleh angin, keadaan laut dan molekul minyak bumi (komposisi kimia,
spesifik gravity, dan viskositas). Akhir dari proses pelarutan menghasilkan minyak yang terlarut
dalam badan air.
4. Emulsifikasi
Emulsifikasi adalah proses dimana minyak tersuspensi ke dalam air yang disebabkan oleh
banyaknya komponen minyak bumi yang tidak dapat larut dalam air. Gerakan penyebaran
minyak bumi mempengaruhi formasi pembentukan emulsi. Bentuk emulsinya tergantung pada
perbandingan volume air atau minyak dan proses fisika, seperti guncangan dan lain-lain. Emulsi
minyak dalam air disebarkan secara perlahan oleh aliran dan perputaran pada permukaan,
khususnya pada laut berombak. Akhir dari bentuk emulsi ini, semakin banyak air yang
bergabung dengan material padat lainnya dan kemudian bersama-sama turun ke sedimen atau
mengendap (sinking). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya densitas minyak baik karena proses
penguapan (evaporasi) ataupun proses dimana berat molekul terendah masuk ke air secara
vertikal dan kemudian menghilang ke dalam kolom air (dissolusi) yang diatur oleh banyak
parameter termasuk viskositas minyak dan kondisi cuaca di laut.
5. Degradasi Mikroba
Degradasi merupakan proses alami yang sangat penting bagi penguraian minyak bumi oleh
mikroorganisme setelah mengalami proses fisika dan kimia. Mikroorganisme seacar aktif berada
di lapisan batas antara minyak dan air. Luas permukaan minyak di atas air kecil, sehingga proses
degradasi berlangsung lama. Pada proses ini minyak terdegradasi tidak sempurna atau tidak
seluruhnya terdegradasi. Mikroorganisme hanya mendegradasi beberapa jenis senyawa
hidrokarbon dalam minyak. Kecepatan fotooksida pada minyak terjadi di alam, terutama minyak
bumi yang mengandung N, S, dan O. Oksidasi mikrobial dari minyak biasanya dilakukan oleh
bakteri acinomycetes, fungi dan ragi. Proses tersebut berjalan baik secara aerobik maupun
anaerobik.
6. Sedimentasi
Minyak bumi yang akan mengalami sedimentasi memerlukan kerapatan yang cukup untuk turun
ke sedimen. Selain itu adanya adsorbsi minyak bumi oleh adanya partikuler perairan juga akan
mempercepat sedimentasi. Konstituen minyak bumi yang tahan terhadap proses degradasi akan
bergabung membentuk suatu gumpalan-gumpalan. Adanya gerakan air laut, gumpalan-
gumpalan minyak akan turun ke dasar laut. Kemungkinan lain dapat juga terbawa ke pantai
sehingga di sepanjang pantai akan ditemukan gumpalan-gumpalan minyak (tarball). Proses
sedimentasi sangat tergantung pada kondisi lingkungan perairannya, seperti salinitas, suhu,
turbulensi, kekeruhan, kandungan oksigen, dan kandungan bakteri yang dapat mendegradasi
gumpalan minyak. Selanjutnya minyak dapat mengapung kembali dari sedimen jika massa
minyak telah berkurang sampai pada kondisi tertentu (resurfacing) (Wahjudi dan Bilal, 1976).
d. Dampak Pencemaran Minyak di laut
Minyak tidak dapat larut dalam air, melainkan akan mengapung diatas permukaan air.
Bahan buangan cairan berminyak yang dibuang ke air akan mengapung menutupi permukaan air.
Kalau bahan buangan cairan mengandung senyawa yang volatil maka akan terjadi penguapan
dan luasan permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan luasan
permukaan tergantung pada waktu dan jenis minyaknya. Lapisan minyak yang menutupi
permukaan air dapat juga terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu
yang cukup lama (Wardhana, 2001)
Tumpahan minyak bumi pada perairan laut akan membentuk lapisan filem pada
permukaan laut, emulsi atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di
dasar perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan filem pada permukaan laut akan
menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme laut. Sementara minyak
yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang ikan sehingga mengganggu proses
respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi oleh sedimen-sedimen di dasar perairan akan
menutupi lapisan atas sedimen tersebut sehingga akan mematikan organisme penghuni dasar laut
dan juga meracuni daerah-daerah pemijahan.
Akibat terganggunya proses fotosintesa maka populasi plankton akan menurun.
Penurunan populasi plankton akan diikuti oleh penurunan populasi organisme pemakan plankton
(misalnya : ikan) yang diikuti pula dengan penurunan populasi burung pemakan ikan.
Menurunnya populasi burung akan mengakibatkan guano (penghasil fosfat) berkurang sehingga
akan terjadi penurunan hasil perikanan. Selain itu, buangan/tumpahan minyak yang menyebar
dengan cepat ke wilayah laut yang lebih sempit akan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan
mangrove, rusaknya tempat-tempat pemijahan (Spawning ground) sehingga mengakibatkan
terjadinya abrasi dan intrusi air laut (Siahainenia, 2001).
Limbah industri lainnya yang umumnya terbuang ke badan sungai dan dialirkan ke laut
atau yang langsung terbuang ke laut akan terakumulasi dalam jumlah tertentu yang melebihi
kapasitas daya asimilatif perairan. Bahan pencemar ini akan menjadi sludge yang menimbulkan
bau busuk. Kandungan kimia sludge dapat menurunkan DO serta meningkatkan COD dan BOD.
Disamping itu sludge mengeluarkan pula bahan beracun berbahaya seperti sulfida, fenol, Cr
(Heksavalen), Pb(Timbal), dan Cd (Cadmium) yang dapat terakumulasi dalam organisme
perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan ancaman bagi kehidupan manusia
(Suratmo, 1990).
sumber :
Attamimi, F., 1992. Penentuan Dampak Biologis Limbah Industri pada Sungai Tallo.
Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Birowo, S., (1991). Pengantar Oseanografi. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. LIPI, Jakarta.
Bishop, J. M., 1984. Apllied Oceanography. John Wiley & Sons, Inc.. USA.
Dahuri, R., dkk., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita, Jakarta.
Freedman, B., 1989. Oil Pollution. Environmental Ecology the Impact of Pollution and Other stresses on Ecosystem Structure Function. Academic Press, Inc. USA.
GESAMP, 1978. Report and Studies. Joint Group of Experts on the Scientific Aspec of Marine Pollution. IMCO/I-AO/UNESCO-WHO/IAEA/UN/UNDP/10.
Jaringan Advokasi Tambang, 2004. Gali berita : pantai balikpapan tercemar, siapa bertanggungjawab? http://www.jatam.org, (15 Januari 2005).
Kristanto, S.W., 1995. Toxicity of the Water – Soluble Fraction of Crude Oil and Partially Combusted Crude Oil to Inland Silverside. Master Thesis. Department Fisheries and Wildlife, Oregon State University. Corvallis, Oregon, USA.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Noor and Mille, G., 1987. Some Analitycal Aspec of National Hydrocarbon in Marine Sediment. Makalah Sub regional UNESCO, Surabaya.
Pagoray, H., 2003. Lingkungan Pesisir Dan Masalahnya Sebagai Daerah Aliran Buangan Limbah. http://www.yahoo.com, (15 Januari 2005).
Proyek Pesisir Kalimantan Timur, 2002. Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Teluk Balikpapan. Balikpapan.
Rahim S.W., 1998. Kajian Distribusi Cemaran Minyak di Sekitar Pelabuhan Pertamina Ujung Pandang. Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Romimohtarto, 1991. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Saparinto, C., 2002. Rabuk Kimia Atasi Cemaran Minyak di Laut. http://www.suaramerdeka.com, (15 januari 2005).
Siahainenia, L., 2001. Pencemaran Laut, Dampak dan Penanggulangannya. http://www.yahoo.com, (15 Januari 2005)
Sloan, N. A., 1993. Effect of Oil on Marine Resources : Worldwide Literature Review Relevent to Indonesia. Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI). EMDI Report, 32. Jakarta dan Halifax Dallhouse University.
Supriharyono, M. S., 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suratmo, F.G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Tinsley, I. J., 1979. Chemical Concepts in Pollutant Behavior. John Wiley & Sons, Inc.. USA.
Triatmodjo, 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta.
Uktolseya, H., 1991. Beberapa Aspek Fisika Laut dalam Pencemaran. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. LIPI, Jakarta.
Vin, 2002. Hati-hati Membersihkan Laut akibat Tercemar Minyak Tumpah. http://www.kompas.com, (15 Januari 2005).
Wahjudi dan J. B., 1976. Pencemaran di Daerah Pantai Indonesia, Permasalahan, Penanggulangan, dan Pengaturannya. Lembaran Publikasi LEMIGAS No. 2.
Wardhana, W. A., 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta.
Widdow, J., T. Bakke, B.L. Bayne, P. Dosikin, D.R. Livinsstone, D. M. Lowo, M.N. Moore, S.V. Evans and S.L. Moore, 1982. Response of Mytilus edulis on Exposure to the Water – Accomodated Fraction of North Sea Oil. Marine Biology 67 : 15 – 32.
Yuniarti E., 2003. Pola Penyebaran Logam Berat Timbal (Pb) di Perairan Teluk Balikpapan. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.