biodiversitas indonesia edisi 1-2-2011 high

Upload: syarif-prasetyo-adyuta

Post on 18-Jul-2015

464 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Vol. 01/No. 02/ 2011

ISSN 2088-4885

ODIVERSITAS B NDONESIA

Bhinneka Flora Fauna Nusantara

fobi

Terinvasi Kupu-Kupu!Inang Baru

Tanpa NamaPecintaKUPUPara

Makhluk Indah

Papilionidaedari

Rokan

KUPU

B

ODIVERSITAS NDONESIABhinneka Flora Fauna Nusantara

Dari Studio FOBIKepompong PersahabatanKEPOMPONG dalam proses metamorfosis sempurna kupu-kupu sering dianggap proses yang paling penting. Dalam kehidupan manusia, proses itu disimbolkan sebagai proses pencarian jati diri seorang remaja. Dimana kesempurnaan proses itu akan menghasilkan warna-warni yang indah pada dunia. Di situs FOBI perhatian terhadap satwa kupu-kupu terasa meningkat. Foto yang terunggah, artikel yang dimuat, hingga forum diskusi tentang kupu-kupu yang menghangat. Bahkan dalam forum, ramai diskusi tentang penamaan spesies kupu-kupu dalam bahasa Indonesia. Sebuah kenyataan yang akhirnya membuat kami mengangkat tema kupu-kupu pada edisi ini. Tetapi ada hal yang juga tidak boleh terlepaskan oleh perhatian kita. Bahwa di balik peningkatan antusias itu ada banyak ironi yang tersimpan. Kenyataan pahit tentang spesies kupu-kupu Indonesia. Tentang jumlahnya yang semakin menurun. Tentang peningnya mengidentifikasi kupu-kupu. Serta tentang sulitnya memotret kupu endemik Jawa. Hanya saja, ketika pengungkapan kebenaran dan kejujuran yang pahit itu dibalut dalam rasa empati dan simpati yang pas, terjalinlah saling pengertian. Sebuah sikap yang di ujungnya berbuah saling mendukung, bantu-membantu, dan saling kerjasama. Sebuah sikap metamorfosis yang sering kita sebut dengan PERSAHABATAN.

Vol. 01/No. 02/ 2011Majalah Digital Diterbitkan oleh

Susunan RedaksiPemimpin Redaksi: Oka Dwi P. Redaktur: Karyadi Baskoro, Imam Taufiqurrahman Desain dan Tata Letak: Swiss Winasis

Alamat Redaksiwebsite: www.fobi.web.id email: [email protected] Foto Sampul Depan Euploea climena Foto oleh Hasman Budiono Foto Sampul Belakang Castalius rosimon Foto oleh Imam Taufiqurrahman

ISSN 2088-4885

Pemred

Pari Manta Perairan Komodo

36

Apalah arti sebuah nama?

3

81

65

Serangga cantik di selatan Borneo

Burung cantik di antara karang-karang yang angkuh

29

Perjuangan menemukan katak mitos

19

Daftar Isi Vol.01/No.02/ 2011FOBI Dalam Konferensi Internasional 10 Setahun FOBI 11

Pari Raksasa Perairan Komodo 36 Pertahanan Terakhir Mahkota Sang Raja Spesies Kunci Hutan Tropis 41 Burung Kampung Batu Hijau 49 Pohon Inang Baru Papilionidae 54

45

Bioders

Lumbung Foto Blusukan Dari Dapur FOBIKepompong Persahabatan

Para Pecinta Kupu-kupu 60

FOBI Terinvasi Kupu-kupu

14

Kantong Biodiversitas

Menelisik Serangga Cantik 19

Kabar FOBIFOBI Dalam Angka

2

Spesies

Berkah Jacobsoni di Gunung Ungaran 65 Inspirasi Rohane 70 Capung Penghuni Mata Air Wendit 75

7

Kotor(an) Itu Baik 26 Di Balik Indahnya Tebing Gunung Kidul 29 Hukum Alam, Ular, dan Kodok 33

Bidik

Makhluk Indah Tanpa Nama

Tips IdentifikasiSi Kuning Bikin Pening

81

86

Kontributor Edisi IniYusri SyamDari Rokan Hulu, Riau, entomolog amatir ini berbagi temuannya mengenai sejenis tumbuhan yang menjadi inang bagi beberapa jenis kupu-kupu Papilionidae. Menariknya, tumbuhan yang dikenal dalam bahasa setempat sebagai Aka Spotuih ini belum teridentifikasi hingga level spesies. Anda bisa membantu?

Arif Alfauzi

Pengamat burung asal Yogyakarta ini menuliskan pengalamannya mengikuti acara perayaan setahun FOBI. Selain mengamati flora dan fauna yang ada di lokasi acara, ia berbagi kesan dan harapannya untuk FOBI.

5

Asman Adi Purwanto

Bagaimana pemangsa menangkap buruannya menjadi satu peristiwa alam yang tidak setiap hari bisa kita saksikan. Namun, dengan fotofoto yang menarik, Asman mengisahkan kesaksiannya dari hutan Way Rilau, Lampung.

Zulqarnain Assiddiqi

Lutfian Nazar

Di kalangan pengamat burung, keberadaan burung Buntut-sate Putih (Phaethon lepturus) yang bersarang di tebing Ngongap, Gunung Kidul, Yogyakarta, telah lama diketahui. Namun ternyata belum banyak yang terungkap dari salah satu jenis burung laut ini. Zul, ketua Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ), menuliskan pengalaman serunya dalam mengamati burung berekor panjang menjuntai ini.

Keberadaan katak Philautus jacobsoni di Gunung Ungaran, Jawa Tengah, yang misterius menggelitik Green Community asal Universitas Negeri Semarang untuk berekspedisi di gunung berketinggian 2.050 m dpl tersebut. Apa saja temuan-temuan mereka? Lutfian, salah satu anggota tim, menuturkannya untuk Anda.

Nur Azizah

Agung Satriya Wibowo

Kawasan pemukiman Perusahaan Tambang Newmont Nusa Tenggara ternyata menyimpan banyak jenis burung menarik. Cukup dengan mengamati burung si sekeliling pemukiman, Agung dapat menjumpai burung-burung endemik semacam Kacamata Wallacea, Cabai Dahi-hitam maupun Perkutut Loreng. Kalau Anda hanya mengenal Taman Nasional Tanjung Puting karena orangutannya, simak penuturan Inug. Staf Orangutan FoundationUnited Kingdom ini akan mengajak Anda blusukan dan mengagumi makhluk bersayap cantik yang ia temukan di sepanjang petualangannya.

Wanita yang sekarang tinggal di Austria, Eropa ini begitu jatuh cinta dengan burung rangkong. Tulisannya tentang burung yang berstatus spesies kunci dari hutan sumatera merupakan salah satu wujud cintanya.

Nur Christian

Arif Inug Nugroho

Mata air Wendit yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Malang, Jawa Timur, ternyata juga menjadi habitat bagi banyak jenis capung. Simak hasil ekspedisi tim Indonesian Dragonfly Society dalam mengungkap keragaman jenis capung yang ada di lokasi tersebut.

Hariyawan Agung Wahyudi

Setelah Harimau Bali dan Harimau Jawa dianggap punah, Indonesia hanya memiliki Harimau Sumatera. Bagaimana nasibnya kini? Apa saja ancaman dan upaya konservasi terhadap si raja hutan ini?

Dan Fotografernya AdalahHasman BudionoTak banyak dokter yang memiliki perhatian besar terhadap serangga. Dari sebagian kecil itu, dokter yang tinggal di kota Magelang, Jawa Tengah ini begitu antusias menyumbangkan foto-foto cantiknya yang salah satunya terpampang sebagai cover depan majalah ini.

Faisal Karim

Sebagai seorang fotografer freelance yang cukup lama tinggal di luar negeri, naluri fotografinya begitu meluap ketika berkesempatan menyelam di perairan TamanNasional Komodo.

Ian Wongkar

Pelukis yang produktif berkarya di bidang fotografi flora-fauna. Tinggal di Tangerang, Banten.

Indrayana

Penggemar fotografi hidupan liar yang bekerja pada Borneo Orangutan Society, Kalimantan Selatan.

Yosep Dennis Kututung

Sampai saat ini masih menjadi satusatunya kontributor di FOBI yang berasal dari Papua. Tinggal di Sorong, Papua Barat.

Patrick CenturioniZizina otis

foto oleh Swiss Winnasis

Biologis asal Austria berdarah Itali ini begitu puas menyalurkan hobi fotografi alam liarnya ketika melakukan kunjungan ke Indonesia.

7

fobi Dalam AngkaKaryadi Baskoro

embaca sederetan angkaangka statistik terkadang membosankan atau bahkan memusingkan bagi sebagian orang. Namun sebenarnya keberadaan statistik dapat memberi manfaat cukup besar bagi kita. Kita jadi dapat menilai kondisi diri secara obyektif, berdasarkan angka-angka tersebut. Pun demikian dengan FOBI, yang salah satu misinya menyusun basisdata keanekaragaman hayati Indonesia, banyak mendapat manfaat dari data statistik. Dari data bisa terlihat sudah seberapa besar pencapaian, apa saja yang masih kurang, dan bagaimana langkah yang akan ditempuh. Semenjak peringatan ulang tahun FOBI ke-1, pada 22 Mei 2011, telah terjadi pencapaian yang cukup signifikan. Meskipun baru 6 bulan namun hasilnya hampir dua kali lipat bila dibandingkan satu tahun sebelumnya. Sampai bulan November 2011 ini, koleksi foto bertambah dari 9660 menjadi 16290, atau meningkat lebih

M

dari 68%. Peningkatan ini juga diiringi bertambahnya wakil spesies, dari 1600 menjadi 2353 (47%). Posisi jumlah foto tertinggi masih dipegang oleh kelompok serangga, sebanyak 6669 (meningkat 74%). Diikuti oleh kelompok burung, sebanyak 4291 (41%) dan flora sebanyak 1980 (93%). Kelompok lain rata-rata meningkat lebih dari 50%, kecuali amfibi yang hanya 28%. Namun untuk wakil spesies statusnya sedikit berbeda. Serangga meningkat menjadi 551 spesies (25%), selanjutnya flora menjadi 489 spesies (71%) dan baru diikuti burung bertambah jadi 443 spesies (15%). Untuk jumlah foto berdasarkan lokasinya, masih didominasi dari pulau Jawa yang meningkat menjadi 13798 (68%). Berikutnya pulau Sumatera peringkatnya bergeser naik dari ke-3 menjadi ke-2, sebesar 748 (113%). Pulau Kalimantan juga naik dari ke-5 menjadi ke-3, sebesar 584 (220%). Sudah mulai masuk pula wakil foto dari kawasan Nusa Tenggara Barat, sebanyak 128 foto.

Bertambahnya koleksi yang cukup pesat tersebut terkait dengan semakin populernya FOBI. Pasca ulang tahun ke-1 dan peluncuran perdana Majalah Biodiversitas Indonesia, informasi tentang keduanya banyak disebarkan melalui jalur-jalur komunitas yang lain. Kepopuleran ini terlihat dari bertambahnya jumlah anggota, dari sebelumnya 370 menjadi 645 (74%). Tidak hanya anggota biasa, anggota yang berkontribusi mengirim foto pun ikut meningkat. Jika sebelumnya hanya 86 orang, periode ini menjadi 139 (61%). Dari sisi kunjungan juga terdapat peningkatan cukup tajam. Sebelumnya diperlukan waktu kurang lebih 18 bulan untuk mendapat kunjungan sebanyak 13000. Menjelang akhir bulan November 2011 telah tercatat lebih dari 26000 pengunjung, atau meningkat 100% hanya dalam waktu 6 bulan. Disamping koleksi foto, artikel dan forum diskusi, FOBI telah menambahkan fitur baru yaitu repositori. Pada repositori ini tersimpan koleksi artikel, jurnal, e-book dan file lain dalam format digital. Koleksi ini dapat diunduh oleh anggota dan pengunjung lain. Jumlah koleksinya sendiri sebanyak 385 item, dengan kapasitas sebesar 1,5 gigabita. Sejak diperkenalkan, selama enam bulan terakhir telah diunduh sebanyak 13.074 kali, atau rata-rata 34 kali unduh untuk tiap koleksi. Koleksi yang paling sering diunduh adalah Buku Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia, yaitu sebanyak 2592 kali. Diikuti oleh Majalah Biodiversitas Indonesia sebanyak 1657 kali. Bila dicermati, koleksi yang paling sering diunduh termasuk dalam kategori panduan identifikasi jenis. Pencapaian yang cukup signifikan sampai sejauh ini, tentu tidak membuat kami cepat berpuas diri. Masih banyak hal yang harus kami perbaiki, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun demikian apapun upaya yang telah dan akan kami lakukan, tidak akan pernah lepas dari peranserta para anggota dan peminat FOBI. Secara bersama-sama kita akan membuat FOBI semakin maju dan bermakna bagi masyarakat Indonesia.

8Jumlah Anggota120 100 80 60 40 20 0 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 09 09 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11

Bulan-Tahun

Jumlah Foto Total8000 7000 6000

Jumlah

5000 4000 3000 2000 1000 0a or a n Av es al ia es a a Re pt ili a ct ib i hn id Pi sc se Fl la i In na ph m am Fa u Ar ac Am us Cr ta ce a

Takson

M

9

Jumlah Foto Jenis600 500 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10se ct a Av es sc es Re pt ili a am m al Am ph Ar ac hn na st ac ea Fl Pi ib ia

Jumlah Anggota

Jumlah

400 300 200 100 0in or a ia la id a In Fa u Cr u

0 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 09 09 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11

M

Takson

Bulan-Tahun

Jumlah Foto Lokasi16000 14000 12000

Kategori Kontributor

Jumlah

10000 8000 6000 4000 2000 0ra n Ja w a ua es Ba TB TT u at la w Pa p an N uk m al Su Su im us M ta N ce ta a li i

Wanita 16%

Pria 84%

Ka l

Lokasi

Cr

10

fobi Dalam KonferensiInternasionalLaporan Imam Taufiqurrahman

anyak pekerjaan yang telah dilakukan dalam mengungkap dan menginformasikan kekayaan biodiversitas Indonesia. Kenyataannya saat ini, informasi tersebut tersebar dan seperti tidak saling berhubungan. Atas dasar itu, Universitas Gunadarma bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Arnold Arboretum of Harvard University menyelenggarakan konferensi internasional bertajuk Conference on Biodiversity Informatics in Indonesia. Konferensi yang berlangsung pada 15 September 2011 itu mempertemukan berbagai kalangan. Baik dari peneliti, lembaga konservasi, maupun komunitas yang peduli terhadap keragaman hayati dan penyebarluasan informasinya. Dalam konferensi tersebut, FOBI turut hadir serta ikut mempresentasikan upaya pendokumentasian biodiversitas Indonesia yang terwadahi dalam situs www.fobi.web.id. Karyadi Baskoro yang hadir mewakili FOBI, memaparkan sejarah, latar belakang, dan ragam koleksi foto flora-fauna

B

Nusantara yang telah terkumpul. Koleksi foto tersebut merupakan hasil kontribusi masyarakat luas, sehingga keberadaan FOBI tergolong sebagai kegiatan citizen science. Berbagai presentasi lain juga tak kalah menariknya. Ramadanil Pitopang mempresentasikan keberadaan herbarium Universitas Tadolako, Palu, Sulawesi Tengah. Kemudian ada Dedy Darnaedi yang memaparkan hasil kerja Plant Resources of Southeast Asia (PROSEA). Dimana lembaga tersebut telah menerbitkan buku yang mendeskripsikan hingga sekitar 8.000 tanaman di Asia Tenggara. Kini, upaya digitalisasi tengah dilakukan untuk buku yang terbagi dalam 17 volume itu. Dalam sesi terakhir, berlangsung diskusi guna mencari solusi dalam menautkan informasiinformasi mengenai keragaman hayati Indonesia itu. Hasilnya, para peserta menyarankan adanya pertemuan-pertemuan rutin, pembentukan forum untuk berbagi informasi, maupun pembuatan sistem informasi mengenai biodiversitas Indonesia yang terintegrasi.

11

SetahunR. Arif Alfauzi

fobi

epat hari Minggu, 22 Mei 2011, situs FOBI genap berumur 1 tahun. Pasti bukanlah kebetulan bila tanggal tersebut yang digunakan sebagai hari ulang tahunnya, mengingat dunia juga merayakannya sebagai Hari Biodiversitas Internasional. Itu seakan menguatkan cita rasa dan ideologi FOBI. Secara sederhana dan penuh syukur, momentum ulang tahun itu diperingati di Taman Kyai Langgeng, Magelang, Jawa Tengah.Saya hadir bersama para aktivis pecinta alam serta kontributor-kontributor FOBI dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Purwokerto, Yogyakarta, juga Semarang. Bahkan Muhammad Iqbal, pemerhati burung asal Palembang, Sumatera Selatan, turut bergabung bersama kami. Ia ternyata memang khusus datang untuk acara ini. Kegiatan diawali dengan acara pembukaan. Setelah itu, hunting foto menjadi agenda selanjutnya. Para peserta berpencar selama kurang lebih 1,5 jam, termasuk saya yang bermodalkan kamera pinjaman dari salah satu peserta. Saya

T

pun berhasil menjepret sesuatu. Namun karena belum tahu nama spesiesnya, sebut saja ia kadalterbang (bahasa Jawanya: cleret gombel). Selepas itu saya hanya bisa melihat begitu banyak spesies tanpa bisa memotretnya. Usut punya usut, kamera diminta kembali oleh tuannya. No problem lah pokoknya. Saya lalu memutuskan berjalan tanpa kamera. Di perjalanan, saya menemukan beragam makhluk hidup, mulai dari semut sampai pepohonan. Banyaknya jenis pohon yang ada ternyata membuat taman ini cukup menarik. Terdapat Apel bludru (Diospyros blancoi), Cempaka (Michelia champaca), Dewadaru (Eugenia sp), Nagasari (Mesua ferrea), Matoa (Pometia pinnata), Ruser (Arthocarpus sp), Lobi-lobi (Flacourtia inermis), Keben (Baringtonia asiatica), Kemiri (Aleurites moluccana), Kenari (Canarium commune) dan masih banyak lagi. Banyaknya jenis pohon yang bisa saya sebutkan itu semata berdasar studi referensi. Pada waktu itu hanya Apel bludru yang betul-betul saya ingat namanya.

12

Tingginya keanekaraagaman jenis tumbuhan membuat Taman Kyai Langgeng memiliki fungsi secara ekologis. Pohonpohon yang ada berperan sebagai paruparu kota. Selain itu tempat wisata ini menjadi habitat berbagai jenis serangga hingga burung. Tampaknya tempat ini sudah mengarah kepada konsep wisata berwawasan ekologis (ekowisata). Setelah berkeliling taman, saya pun memutuskan kembali ke pendopo karena waktu 1,5 jam untuk hunting telah habis. Kegiatan berlanjut ke acara diskusi. Dalam kesempatan ini Karyadi Baskoro, yang menjabat sebagai Admin FOBI, berkisah, mulai dari sejarah berdirinya FOBI hingga permasalahan-permasalahan teknis dan kendala-kendala yang dialami. Kendalakendala teknis itu, misalnya foto dari kontributor tidak jelas untuk diidentifikasi, pengambilan objek kurang pas, sampai situs FOBI yang tidak bisa diakses akibat saking banyak yang men-download. Menurut saya semua itu merupakan lika-liku perjalanan FOBI selama satu tahun terakhir. Kedepan FOBI akan ditantang untuk melakukan lebih banyak lagi. Di antaranya mengadakan program yang lebih berani, yang menampilkan karakternya, misalnya lomba fotografi, iklan, pelatihan fotografi, dan lain-lain. Iklan penting, karena dapat

menjadi salah satu sarana untuk lebih menarik kontributor, sehingga dari tiap-tiap daerah di Indonesia ada kontributor FOBI. Tentunya hal itu perlu dukungan pemerintah dan masyarakat. Walaupun FOBI baru berumur satu tahun, jika melihat kedepan saya rasa FOBI memiliki potensi yang besar untuk survive. Kehadirannya sangat dibutuhkan di tengah kehausan masyarakat akan pengetahuan keanekaragaman hayati Indonesia. Bahkan menurut saya, di masa yang akan datang FOBI tidak akan hanya mampu membuat majalah digital, tetapi menjadi perpustakaan digital karena semua informasi biodiversitas Indonesia bisa diakses di sini. Harapan saya semoga pemerintah bisa mencium sebuah solusi cerdas ini. Sebab jika pemerintah bisa mengakomodir, tidak mustahil bisa terbentuk perpustakaan FOBI yang berisi berbagai majalah, buku atau ensiklopedi. Situs ini merupakan sebuah solusi cerdas di tengah ketidaktahuan masyarakat akan besarnya kekayaan hayati yang kita miliki. Bagi saya situs ini menjadi penyelamat kekayaan hayati bangsa. Apapun itu, yang jelas FOBI sudah menunjukkan taringnya. Selamat ulang tahun yang ke-1 untuk FOBI. Semoga semakin sukses kedepannya. Amin.

selamat datang di

dunia

KUPU

Junonia almana

foto oleh Hasman Budiono

14

Lumbung Foto

fobiS

Terinvasi Kupu-Kupu!

ampai tulisan ini saya kerjakan, catatan statistik di FOBI menyebutkan: Update terakhir 25 Oktober; Total Foto: 15908; Total Jenis: 2327; lalu saya masuk ke halaman Statistik Takson. Klik! Dan keluarlah daftar panjang yang menyebutkan jumlah spesies pada masing-masing kelas dan famili, diikuti jumlah masingmasing fotonya dan jumlah jenis yang belum teridentifikasi. Yang menarik perhatian saya adalah jumlah foto di kelas insekta, 6.331 foto, 535 spesies teridentifikasi; jauh melampaui kelas aves, 4.245 foto, 437 spesies teridentifikasi! Everes lacturnus sedang berkumpul di atas tanah berpasir yang basah untuk menghisap mineral di dalamnyafoto oleh Swiss Winnasis

Kanan: Appias libythea yang sedang mengincar makannya. Warnanya yang kurang atraktif membuat dia sering diabaikan oleh kebanyakan. Bawah: Larva Geometridae, cikal bakal makhluk indah ini bukan hanya jarang diperhatikan, bahkan bagi yang jijik melihatnya, pembunuhan pun sering tak terhindarkan. foto-foto oleh Ian Wongkar

W

ajar, karena tidur pun kita berteman dengan serangga. Tapi yang menarik perhatian saya adalah penyumbang foto dan jenis terbanyak ternyata dari famili Lepidoptera, kupu-kupu, dengan 4.048 foto dari 396 spesies teridentifikasi! Lalu saya searching lagi menggunakan kata kunci Lepidoptera untuk mengetahui jumlah terbaru yang ternyata sudah meningkat lagi menjadi 4.262 foto! Kenapa menarik? Pertama, tidak mudah juga motret kupu-kupu karena dia lebih pintar dari jenis serangga lainnya untuk menjaga jarak dengan manusia. Kedua, dengan koleksi 396 spesies yang dimiliki FOBI itu berarti 1/6 dari total 2.500 spesies yang dimiliki Indonesia! Pada capaian itu, dengan usia FOBI yang belum genap 2 tahun, silahkan membuat perhitungan sendiri, berapa lama lagi kita bisa mengkoleksi semua spesies kupu-kupu Indonesia.

16

aya tidak tahu berapa spesies endemik yang sudah dikoleksi oleh FOBI, tapi untuk Jawa, ada 8 spesies. Untuk jenis yang dilindungi, dari 19 spesies dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999, tercatat baru ada 3 spesies yang terkoleksi yaitu Trogonoptera brookiana, Troides cuneifera, dan Troides helena. TIdak masalah, karena 19 jenis itu sebagian besar banyak diperdagangkan dalam bentuk awetan, sehingga untuk mendapatkan fotonya tinggal nyambangi para penangkar atau pengrajinnya.

S

Tiga jenis kupu dilindungi yang menjadi koleksi FOBIAtas: Troides helena, foto oleh Hasman Budiono Bawah kiri: Troides cuneifera, foto oleh Yusri Syam Bawah kanan: Troides brookiana, foto oleh Faisal Ahmad

aya tidak mau berpanjang lebar lagi, sebelum saya tutup, mari kita hitung jumlah foto kupu-kupu FOBI berdasarkan lokasi asal. Sudah barang tentu Jawa menduduki peringkat pertama dengan 3.708 foto, disusul Kalimantan 132, Sulawesi 108, Bali 40, Papua 25, Sumatra 4 dan sisanya berasal dari kepulauan Nusa Tenggara. Jadi penutup saya adalah, saya panggil saudarasaudaraku sekalian di seluruh Indonesia, dari luar Jawa terutama, masih banyak kekayaan hayati yang ada di sekitar Anda yang belum tereksplorasi. Sebelum pohon terakhir tumbang, sebelum orang asing masuk mengobok-obok alam kita, sebelum kita cuma bisa bengong sambil tepuk tangan kecut, shut down computer anda, dan segera saja mulai dari lingkungan terdekat Anda, kamar mandi, pekarangan, sawah, taman kota, hutan wisata syukur kalo mau blusukan ke hutan-hutan yang gelap nan sepi. Kita harus lebih kenal dengan alam kita lebih dari siapapun!

S

17

Perwakilan foto kupu-kupu dari luar jawa. Sedikitnya pengamat di luar Jawa membuat stok foto dari luar Jawa sangat sedikit. Padahal keragaman hayatinya bisa jadi jauh melebihi Jawa.Kiri: Taenaris cf catops, foto oleh Dennis Kututung Kanan: Saletara liberia, foto oleh Indrayana

Macroglossus

foto oleh Hasman Budiono

Blusukan

SeranggaFoto dan teks oleh Arif Inug NugrohoHasora schoenherr

Menelisik Cantik

N

20

Bioders sedang beraksi

ama Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) akan langsung mengingatkan kita pada hutan rawa gambut dan orangutan sebagai spesies kuncinya. Sebab taman nasional di pedalaman Kalimantan Tengah ini memang menempatkan orangutan sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) utama. Tetapi sesungguhnya taman nasional itu masih memiliki banyak keanekaragaman hayati lainnya. Hal yang diperlukan hanyalah mengeksplorasi lagi kawasan dengan lebih teliti. Seperti yang saya temukan saat berkesempatan mengikuti one day field trip. Bergabung dalam sebuah tim survey kecil yang bertujuan untuk mengembangkan potensi wisata. Bersama drh. Bambang Setiawan, yang akrab disapa MasWa, sesungguhnya kami berniat melakukan pengamatan burung (bird watching). Binokuler dan buku panduan tidak lupa kami siapkan. Perjalanan dari Pelabuhan Kumai ke taman nasional, ditempuh kurang lebih satu jam menggunakan speed boat. Melalui Sei Sekonyer, kami menyusuri hutan rawa yang berair hitam. Dalam perjalanan melewati beberapa camp reintroduksi orangutan itulah, kami menemukan fenomena alam yang menarik hati. Yaitu banyaknya serangga cantik berwarna-warni, yang hinggap di daun dan di sekitar shelter yang kami singgahi. Saking banyaknya bentuk, warna, dan coraknya membuat saya berpikir, Barangkali mereka memang dari beberapa spesies yang berbeda dan mungkin bulan ini sedang musimnya. Puncaknya terjadi ketika kami singgah di Pondok Ambung. Sebuah Stasiun Riset Hutan Tropis yang dikelola bersama antara Orangutan Foundation United Kingdom dengan Balai Taman Nasional Tanjung Puting. Di sana kami disuguhi atraksi alam yang menurut kami sungguh luar biasa. Pada sebuah tepi sungai, di antara seresah dan ranting pohon, hidup bergerombol berbagai jenis kupu-kupu warna-warni. Sesekali sayapnya mengepak untuk bergeser tempat, kemudian terdiam seolah sedang menyesap sesuatu dari tanah yang terlihat lembab. Berbekal pendidikan dasar pengamatan Less Than 5 Meters (LT5M) saya merangkak mendekatinya. Mencoba menikmati setiap detail keindahannya. Sayapnya berwarna-warni dengan pola yang terkadang terlihat rumit. Beberapa di antaranya menunjukan corak warna yang mencolok. Sebagian

Dari kiri ke kanan: Graphium doson dan Graphium evemon berkumpul bersama; Eooxylides sp, dan Euploea camaralzeman

lainnya hanya berwarna hitam dan putih saja. Tetapi polanya tetap mempesona. Saya perhatikan, selain warna dan pola yang beragam, sayap kupu-kupu diselimuti semacam sisik, tiga pasang kaki dan sejenis belalai di mulutnya. Kepala berantena, dada, perut, dan sayap. Begitu akhirnya saya simpulkan bagian-bagian makhluk indah itu. Adaptasi Kupu-kupu Kupu-kupu tergolong satwa kosmopolitan yang hampir bisa dijumpai pada berbagai tipe habitat. Menurut referensi, faktor utama yang menyebabkan kehadiran kupu-kupu adalah adanya tumbuhan inang. Faktor ketersediaan sumber air juga perlu diperhatikan untuk memilih lokasi pengamatan. Sebab kupu-kupu sering mengunjungi areal basah untuk memperoleh air. Kupu-kupu dewasa membutuhkan air, selain energi yang didapatkan dari makanan utamanya. Kupu-kupu adalah serangga poikilotermal, dimana suhu tubuhnya menyesuaikan dengan suhu lingkungan tempat ia tinggal. Beberapa temuan di lapangan, kami dapatkan jenis-jenis yang lebih suka pada area terbuka dengan suhu hangat. Jenis lainnya lebih suka di area sedikit tertutup. Seperti di bawah tajuk pohon yang lembab dan bersuhu lebih rendah (sejuk). Tetapi yang menarik, jenis yang sering dijumpai di kedua tipe habitat itu menunjukkan perbedaan warna yang mencolok. Kupu yang sering teramati di area terbuka biasanya mempunyai warna sayap yang lebih

cerah dan terdiri dari aneka warna. Kita bisa lihat Graphium antiphates atau Graphium sarpedon dengan paduan warna yang cerah. Sementara kupu-kupu yang hidup di area tertutup mempunyai warna sayap yang lebih gelap. Lexias pardalis adalah contohnya. Tadinya saya kira hal itu hanya semacam habitat preference saja. Tetapi ternyata, perbedaan warna merupakan salah satu pola adaptasi kupu-kupu terhadap kondisi lingkungannya. Warna gelap dan terang pada sayap kupu-kupu sangat penting, mengingat suhu tubuhnya akan berubah mengikuti suhu sekitarnya. Sayap kupu-kupu berperan dalam pengaturan suhu tubuh. Warna gelap akan membantu penyerapan panas lingkungan pada kupu-kupu yang hidup di habitat tertutup dengan suhu rendah. Manfaat Kupu-kupu Kehadiran kupu-kupu dapat digunakan sebagai indikator kualitas lingkungan yang baik. Kupu-kupu juga merupakan pollinator yang ideal dalam membantu penyerbukan tanaman. Pada sistem rantai makanan, tentu kupu-kupu juga mempunyai peran untuk menjaga kestabilannya. Sedangkan nilai estetika dari keindahan warna dan corak kupu-kupu bisa menjadi media pendidikan lingkungan. Dari hal-hal tersebut kupu-kupu bisa dikembangkan sebagai produk ekonomi wisata kreatif yang ramah lingkungan. Bahkan siklus hidup metamorfosis sempurna kupu-kupu pun dapat dikemas sebagai atraksi wisata khusus.

22Sebut saja paket wisata itu dengan nama butterfly watch alias pengamatan kupu-kupu. Sebuah istilah asing yang sejujurnya baru saya dengar beberapa tahun lalu. Ketika banyak kawan pengamat burung yang kemudian demam mengamati kupu-kupu. Kegiatannya cukup sederhana. Tidak selalu membutuhkan binokular seperti pada wisata bird watching yang sudah lebih dulu populer. Cukup menerapkan metode LT5M saja. Memang beberapa jenis agak sulit dikenali detailnya. Tetapi justru itulah yang membuatnya menarik. Justru akan timbul kepuasan tersendiri ketika kita berhasil mengidentifikasinya. Kita cukup mengenali perilaku dasar dan tempat-tempat favorit yang mereka kunjungi. Berdasarkan pengamatan saya, kupu-kupu sangat mudah dijumpai di pinggiran sungai. Tepatnya pada tanah-tanah berseresah yang lembab tetapi tetap terkena sinar matahari. Beberapa lainnya teramati pada bawah tajuk pohon, atau hinggap di dedaunan. Menariknya, beberapa kali saya juga bertemu kupu-kupu yang berkumpul di tanah yang tersiram materi berbau. Seperti sisa air sabun contohnya. Di lain lokasi, saya juga menjumpai kupu-kupu hinggap di sisa-sisa makanan, di buah yang hampir busuk dan bahkan di bangku meja yang kotor karena tersiram kuah sayur atau teh manis. Di balik keindahan dan manfaat-manfaatnya, kupu-kupu ternyata memiliki umur yang pendek. Mereka akan mati pada usia 20-40 hari dan memulai siklus hidup baru selanjutnya. Untuk itulah kita perlu terus bersama-sama mencintai dan melindungi kekayaan biodiversitas Indonesia itu.Euploea radamanthus, terkadang kupu-kupu bisa sangat bersahabat dengan mannusia.

23Pengamatan gratis Sebagai penutup, saya ingin membagi satu cerita konyol. Terjadi saat saya berkunjung ke Camp Leaky. Sebuah lokasi yang terkenal sebagai lokasi rehabilitasi dan reintroduksi orangutan di Tanjung Puting. Saat itu pukul 12.00 dan matahari bersinar begitu terang. Tepat di depan pos jaga di bawah jembatan yang tanahnya kering akibat kemarau, berkumpulah berbagai jenis kupu-kupu. Saya hitung tidak kurang dari lima bentuk. Pola warna dan corak juga berbeda jelas. Kupu-kupu itu sedang mengerumuni bagian tanah yang lebih basah dari bagian tanah lainnya. Setelah berbasa-basi menyapa seorang petugas jagawana saya pun mulai merayap mendekat. Menerapkan trik LT5M. Sungguh indah makhuk-makhluk berusia pendek itu. Menyesap, bergeser dan sedikit mengepakkan sayap untuk pindah tempat. Tak lama kemudian menyesap lagi, bergeser, mengepakkan sayap, dan begitu terus selanjutnya. Sepertinya mereka sedang mengambil mineral-mineral dari permukaan tanah yang basah. Jarak saya pun semakin dekat, tetapi mereka sama sekali tidak terganggu. Semakin dekat, semakin jelas saya baui. Sampai akhirnya saya mulai berpikir dalam hati, Bau ini seperti bau urin. Tak lama setelah itu, saya mendengar suara seseorang sedang tertawa terbahak-bahak. Menengok ke sumber suara, petugas jagawana tadi terlihat sedang menahan tawa sambil ngeloyor masuk ke dalam pos. Rupanya, ia baru saja membuang hajat urinnya di tempat itu. Inilah pelajaran yang sangat berharga di hari itu. Jika ingin pengamatan kupu-kupu pilihlah area yang potensial dijumpai adanya kupu-kupu. Terutama area yang agak terbuka. Kemudian mulailah kencing. Tunggu beberapa saat, hingga akhirnya kita dapat memulai pengamatan kupukupu gratis.

Idea stolli, salah satu jenis yang jarang ditemukan

Lamproptera meges

foto oleh Swiss Winnasis

Chersonesia rahria rahriafoto oleh Karyadi Baskoro

Spesies

26

BaikImam Taufiqurrahman

Kotor(an)

itu

Polyura hebe (kiri) dan Udara akasa (kanan). Foto oleh Imam Taufiqurrahman

B

27arang yang kotor tak selalu buruk. Contohnya kotoran. Di balik semua bayang pikiran tentang benda menjijikkan ini, alam punya konsep sendiri dalam menyikapi kehadirannya. Tanpa perlu diolah, kotoran, feses, atau ampas dari proses pencernaan itu, ternyata langsung dapat memberi manfaat dan kebaikan bagi kehidupan makhluk lain. Pada saat saya melihat beberapa jenis serangga berpesta menyantap satu yang enggak banget itu, kalimat dari salah satu iklan sabun cuci di televisi pun terngiang-ngiang. Kotor(an) itu baik, demikian dengan sedikit modifikasi. Kalau hanya lalat yang hinggap, pesta yang berlangsung di lereng selatan TN Gunung Merapi itu tentu biasa saja. Siapapun sering lihat. Sesuatu yang membuat saya terkesan adalah adanya kupu-kupu cantik macam Polyura hebe, Udara akasa dan Prosotas nora yang bergabung tanpa malu-malu. Seekor lebah, hewan yang selama ini saya kira hanya menghisap nektar juga tak mau ketinggalan. Tidak ada yang gengsi, meski mereka punya rupa cantik dan citra baik. Hal serupa pernah juga saya jumpai di Taman Nasional Baluran. Bedanya,

Junonia iphita, Junonia hedonia dan beberapa lycaenid sedang bancakan di atas kotoran mamalia karnivora Foto oleh Swiss Winnasis

28Udara akasa, lycaenid cantik nan imut ini tak malu-malu hinggap di atas kotoran foto oleh Imam Taufiqurrahman

saat itu hanya Charaxes harmodius seekor yang menikmati hidangan. Nah, persamaannya dengan yang di Merapi, saya tidak tahu kotoran itu produksi siapa. Serangga-serangga ini menghisap cairan yang ada pada kotoran tersebut untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi mereka. Sebagaimana kerap terjadi bilamana ada kupu-kupu yang tiba-tiba hinggap di kulit kita tanpa permisi. Maka, jangan geer dulu bila mendapati hal itu. Kupu-kupu tersebut bukan menganggap Anda temannya, tidak pula ia menyukai Anda. Ia cuma tertarik untuk menyeruput keringat Anda. Selain serangga, kelompok hewan lain juga tercatat memakan kotoran. Bayi-bayi gajah, panda, koala dan kuda nil diketahui memakan feses induk mereka atau hewan lain. Tak seperti serangga, mamalia muda ini melakukannya untuk mendapatkan bakteri yang bisa membantu mencerna makanan yang mereka santap. Menurut para ahli, usus mereka ternyata tidak mengandung bakteri penting tersebut. Menyantap hidangan lauk tinja dikenal sebagai coprophagia. Terdapat tiga pengelompokkan berdasar siapa produsen menu santapan. Heterospesific untuk santapan asal feses hewan lain, allocoprophagy bila yang dimakan merupakan feses individu lain dari spesiesnya dan autocoprophagy untuk yang makan feses produksi sendiri. Kira-kira dari tiga itu, Anda pilih menyantap menu produksi hewan, teman, atau diri sendiri? HeheDalam versi lain, tulisan dengan tema yang sama dimuat oleh majalah Intisari pada edisi November 2011.

29

Spesies

Di Balik Indahnya

Gunung Kidul

Tebing

Teks dan foto oleh Zulkarnain Assiddiqi

Tetapi justru dari pinggiran tebing itulah pengamatan dilakukan. Jika beruntung, tak perlu menunggu lama untuk dapat melihat sang primadona kawasan ini...

unung Kidul merupakan salah satu kabupaten di Yogyakarta yang menyimpan begitu banyak keunikan. Wilayahnya didominasi kawasan gersang perbukitan karst (batu kapur) yang membentang luas. Bahkan kawasan karst tersebut terbentang hingga berbatasan langsung dengan laut. Kondisi tersebut tidak banyak dimiliki daerah lain di Indonesia atau bahkan dunia Ke area tebing kapur yang berbatasan dengan laut itulah saya dan teman-teman pergi. Tujuannya, untuk mengetahui keberadaan burung yang belum banyak di amati di pulau Jawa; Buntut-sate putih (Phaethon lepturus). Burung berukuran sedang (39 cm) berbulu dominan putih dengan garis hitam di sayap bagian atas dan berparuh kuning itu, hanya tersebar di daerah tropis dan subtropis. Maka tidak heran jika dalam bahasa Inggris namanya adalah White-tailed tropic bird. Ciri yang paling utama dari burung tersebut adalah ekornya yang panjang menjuntai. Terutama untuk burung yang telah mencapai usia dewasa. Terlihat begitu cantik dengan warna putih yang sama seperti tubuhnya. Membuat saya jatuh hati dan melupakan penatnya perjalanan. Bukan perkara mudah untuk menuju lokasi pengamatan. Perlu menghabiskan 2 - 2,5 jam berkendara motor. Panasnya kawasan karst, tanjakan terjal, tikungan tajam, membuat perjalanan terasa menegangkan. Apalagi ada jalan yang belum beraspal, sehingga jika musim hujan tiba, bisa menjadi begitu liat dan licin.

G

30

Si cantik Buntut Sate-putih Phaethon lepturus Nama lokasi tebingnya adalah tebing Ngongap. Diambil dari nama desa Ngongap, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung kidul. Kawasannya unik dan memang jarang ada orang yang mengetahuinya. Tebingnya begitu tinggi mencapai puluhan meter. Dengan sudut kemiringan rata-rata 90 derajat. Hingga bagi Anda yang memiliki fobia ketinggian (Jawa: singunen) akan merasakan desir-desir aneh di jantung Anda. Apalagi debur ombak dan angin laut selatan yang kencang juga terasa begitu kuat di muka.

Sebagai burung laut burung ini tak ragu melawan ganasnya ombak pantai selatan untuk mencari makan

Tetapi justru dari pinggiran tebing itulah pengamatan dilakukan. Jika beruntung, tak perlu menunggu lama untuk dapat melihat sang primadona kawasan ini. Bahkan ia bisa terlihat bergantian berseliweran dengan saudaranya, si Phaethon lepturus fulvus. Perbedaan dengan Phaethon lepturus lepturus yang bertubuh dominan putih adalah Phaethon lepturus fulvus memiliki warna tubuh yang lebih keemasan. Sehingga ia dimasukkan sebagai subspesies dari Phaethon lepturus. Pada dinding tebing terdapat cerukan-cerukan kecil, yang ternyata dimanfaatkan oleh burung buntut-sate untuk bersarang. Sehingga atraksi terbang keluar-masuk sarang menjadi salah satu sajian pengamatan burung di Ngongap. Selain kegiatan terbang berkejaran dalam kelompok kecil atau berpasangan. Menurut literatur, awal musim kemarau atau bulan JuniJuli adalah waktu pengamatan terbaik. Sebab pada saat-saat itu bermunculan ikan pelagis (ikan apung permukaan) yang menjadi sumber makanan burung buntut-sate. Sehingga pengamatan akan lebih terasa asyik karena burung jadi mudah terlihat. Berbagai atraksi perburuan burung ini terhadap ikan-ikan apung di laut dapat menjadi bonus dalam kenikmatan mengamati burung ini.

Sesekali kehadiran Kuntul karang (Egretta sacra) dalam fase gelap maupun fase terang menjadi selingan. Cekakak Sungai (Todirhampus chloris) pun terkadang tak malu dalam menampakkan paruh besar kokohnya itu. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica) juga sering bersarang di cerukan tebing karang sebagai tetangga Buntut-sate Putih. Ia menjadi pengiring sepanjang pengamatan, karena tak henti-hentinya burung akrobatis ini melayang-layang. Burung cikalang, baik Cikalang Christmas (Fregata andrewsi), Cikalang Besar (Fregata minor), maupun Cikalang Kecil (Fregata ariel) pun sering melintas. Tetapi butuh kejelian untuk melihat burung ini, karena biasanya burung cikalang terbang begitu tinggi. Selain juga faktor keberuntungan tentunya. Kesan kengerian tegarnya karang menjulang kini terbayar sudah dan hampir tak terasa lagi saat kembali mengamati keindahan burung-burung di tempat itu. Begitu indah, begitu bersifat candu. Dalam hati, saya berjanji untuk kembali lagi suatu saat. Silahkan mencoba!

32

Menonton keanggunan burung buntut sate putih ketika terbang menghilangkan penat perjalanan

Spesies

Hukum Alam

ULAR

& KODOK

Teks dan foto oleh Asman Adi Purwanto

34

U

lar memakan kodok itu memang kodrat illahi. Mangsa dimakan pemangsa, itu sudah sewajarnya. Ya, itulah yang terjadi pada suatu pagi di Way Rilau. Sebuah kawasan hutan lindung di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Tanpa sengaja ketika sedang asyik memperhatikan kawankawan membersihkan kiambang, sejenis tanaman air, tibatiba ada pergerakan yang membuat saya terpancing untuk mengintipnya. Berada di bawah batang pohon yang tumbang, rerumputan yang masih basah karena embun itu bergerak. Seekor Ular Picung Leher Biru (Macropisthodon rhodomelas) sedang melumpuhkan Kodok Puru Hutan (Bufo biporcatus).

kawan-kawan di Uni Konservasi Fauna (UKF) bertanya penasaran. Pun demikian dengan saya. Bufo biporcatus kelenjar kulitnya itu terkandung racun yang sebenarnya sebagai perlindungan diri dari pemangsa. Tapi, dalam kasus ini racun yang terkandung dikumpulkan di mulut Ular Picung ini yang kemudian dimasukan kembali ke tubuh si Bufo melalui gigitan si ular yang lama kelamaan melumpuhkan si Bufo tersebut Jelas ucok yang alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Ah, ini seperti senjata makan tuan. Memang, pada saat gigitan pertama kodok Bufo terlihat kuat meronta. Seperti mencoba melepaskan diri dari bencana maut yang menimpa dirinya. Tapi tak kurang dari sepuluh menit tubuh si Bufo mulai lemas dan mati. Ular Picung Leher Biru ini tidak melilit mangsanya seperti yang menjadi perilaku ular lain. Mangsa akan tetap dalam gigitan sampai benar-benar tidak berdaya yang kemudian secara perlahan, sedikit demi sedikit tubuh si kodok dimasukan kedalam perutnya. Gigitan pertama tepat di perut. Ketika kodok yang biasa disebut kodok buduk oleh warga itu sudah benar-benar lemas, perlahan gigitan bergeser ke kepala. Mulut ular membuka sedikit demi sedikit. Sepertinya mulut si ular memang didesain untuk hal-hal seperti ini. Mampu membuka menganga mencapai hampir 180 derajat. Hingga sanggup melumat mangsa yang ukuran tubuhnya tiga kali lipat dari dirinya. Sungguh ini adalah sebuah keagungan Tuhan yang sangat luar biasa. Saya merasa beruntung menjadi saksi berlangsungnya proses seleksi alam. Saya pun bersyukur karenanya. Terima kasih Tuhan.

Menjadi saksi berjalannya proses rantai makanan adalah hal yang sangat menarik. Sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa ada pendokumentasian. Bergegas, saya ambil kamera dan mengabadikan fenomena alam yang jarang saya temui di lapangan. Hampir satu jam proses itu berjalan. Dengan sabar saya menunggu pengabadian peristiwa berharga itu. Bukan hanya sepuluh, tapi lebih dari jepretan demi jepretan foto yang memenuhi memory card 4 GB di kamera pinjaman yang saya bawa. Inilah hukum alam yang berlaku. Pertegasan bahwa yang lemah menjadi mangsa dari sang pemangsa yang lebih kuat. Kodok Puru Hutan atau yang bernama Inggris Crested Toad, ukuran tubuhnya 3 kali lipat dari si Ular Picung. Tapi tanpa kesulitan berarti, perlahan namun pasti tubuh kodok tertelan. Hal menarik lain terungkap ketika saya menunjukan foto perilaku ular bernama Inggris Blue-necked Keelback ini ke kawan saya Sasi Kirono. Pria yang akrab dipanggil Ucok itu mengatakan Ular picung ini melumpuhkan mangsanya (Bufo biporcatus) dengan racun di Bufo. Kok bisa, Bang? serentak

Detik-detik Terakhir si Bufo

PARI RAKSASAPERAIRAN

Teks Oka Dwi P. Foto-foto oleh Faisal Karim

Spesies

KOMODO

ari kegelapan biru tiba-tiba saja ia muncul. Pertama-tama hanya terlihat bayangan hitam yang lebar. Melayang melawan arus dengan tenang dan tanpa suara. Kami tak menduganya sama sekali. Perlahan, kejernihan air dan kedekatan jarak memperjelas wujudnya. Itulah pari manta, salah satu jenis ikan pari terbesar di dunia. Ikan tersebut saya temui ketika sedang menyelam di perairan Taman Nasional Komodo. Tepatnya di titik penyelaman yang disebut dengan Manta Point. Nama yang diambil dari spesies ikan yang sering ditemui di titik itu. Lokasi itu merupakan salah satu dari banyak titik penyelaman yang sudah terpetakan dengan baik untuk kepentingan wisata di sana. Saya saat itu sedang tergabung dalam program Aku Cinta Indonesia milik DetikCom. Sebuah program yang memberangkatkan 60 orang petualang ke seluruh penjuru Indonesia secara gratis. Tujuannya untuk menyebarkan semangat cinta Indonesia. Ikan pari Di dunia, ada sekitar 200 spesies ikan pari. Tersebar di daerah tropis maupun subtropis dan hidup di perairan laut maupun tawar. Ada yang bisa menyengat sambil menyuntikkan racun tetapi banyak pula yang tidak. Salah satu yang bisa menyengat hingga menyebabkan kematian seorang konservasionis terkenal Australia, Steve Irwin, adalah stingray (Dasyatis sp.). Tetapi tidak seperti stingray, jenis pari manta raksasa tidaklah menyengat. Ia bahkan tidak punya taji pada pangkal ekornya. Meskipun bentuk ekornya juga sama selayaknya ikan pari lainnya. Hanya saja ekor mantayang seperti cambuk itu lebih pendek dari panjang ekor ikan pari lain. Ciri yang paling khas dari ikan pari manta adalah

D

37ukurannya yang luar biasa besar. Pernah ada yang mencapai 7 m. Ukuran itu adalah ukuran lebar ujung sirip dada ke ujung sirip dada lainnya. Itulah sebabnya dia dinamakan manta. Sebuah nama spanyol yang berarti selimut. Tak heran, jika ia kemudian menjadi inspirasi terbentuknya pesawat pengintai siluman yang disebut Stealth. Padahal makanannya hanyalah plankton. Sehingga ia lebih mirip paus yang juga tidak berbahaya seperti hiu. Untuk menunjang kesukaannya memakan plankton itu, pari manta memiliki dua tanduk di dekat mulutnya. Tandukitu sebenarnya adalah sepasang sirip kepala yang bisa ditekuk dan membantu memasukkan air laut yang mengandung planktonke dalam mulut. Manta juga memiliki lima pasang celah insang di bagian bawah tubuhnya. Celah insang itu berfungsi untuk mengeluarkan air yang masuk melalui mulutnya dan untuk memerangkap plankton yang masuk bersama air laut. Alat penyaring plankton tersebut dinamakan piringan penyaring (filter plate). Oleh karena itulah ia sangat suka mendiami daerah berarus cukup kencang seperti di Manta Point. Dimana ia hanya tinggal membuka mulut lebar-lebar sembari berenang melayang melawan arus. Kemudian membiarkan plankton-plankton yang terbawa air laut memasuki mulutnya. Perilaku itu pula yang membuat saya cukup mudah melihatnya kala menyelam. Sebab saya hanya tinggal menyelam mengikuti arus sambil membuka mata melihat sekeliling. Di musim kawin, sejumlah besar manta akan berkumpul untuk mencari pasangan kawin. Beberapa jantan bisa saling bersaing untuk satu betina pasangannya. Ketika berhasil mendapatkan pasangannya, si jantan akan berpegangan pada sirip betina menggunakan giginya dan merapatkan perutnya.

Pari Manta raksasa Manta birostris

39

Meskipun besar, Pari Manta tidaklah berbahaya dan cukup mudah didekati penyelam Lalu memulai perkawinan yang berlangsung selama kurang lebih 90 detik. Pari manta adalah ovovivipar, di mana telur menetas saat masih berada di dalam tubuh induknya. Seekor manta betina bisa membawa 2 bayi manta sekaligus dalam tubuhnya. Periode kehamilan manta sendiri belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan bisa berlangsung antara 9-12 bulan. Bayi manta yang baru menetas akan keluar dari tubuh induknya dengan kondisi sirip yang masih terlipat. Ia mulai aktif segera setelah berhasil mengembangkan siripnya dan langsung mulai berenang. Ukuran tubuh bayi manta mencapai lebar 1,2 meter dan berat 45 kg. Bayi manta bisa tumbuh sangat cepat dan mencapai ukuran hampir 2 kali lebarnya saat pertama kali lahir dalam waktu satu tahun. Usia maksimal pari manta juga diketahui bisa mencapai 20 tahun. Meskipun saya menyelam tidak saat musim kawinnya, saat itu saya berhasil menemui 9 ekor pari manta. Tujuh ekor saat menyelam dan 2 ekor yang terlihat menyembul ke permukaan air dari atas kapal. Peristiwa itu melekat sebagai salah satu pengalaman main laut saya yang tak terlupakan.

Atrophaneura aristolochiaefoto oleh Lutfian Nazar

Spesies

Spesies KunciTeks oleh Nur Azizah Foto-foto oleh Patrick Centurioni

Hutan

TROPIS

42aya yakin, banyak di antara orang Indonesia yang sudah mengenal rangkong. Salah satu jenis burung berukuran besar penghuni hutan hujan tropis. Suaranya yang terdengar berat saat terbang melintas membuatnya berwibawa. Sedangkan sifatnya yang penuh kesetiaan menjadikannya berkharisma. Burung rangkong merupakan salah satu burung berukuran tubuh besar. Panjangnya bisa mencapai 160 cm dan beratnya berkisar 83 gram sampai 4.191 gram. Memiliki pola warna beraneka ragam pada bulu dan yang mencolok pada paruh dan casque (bagian yang membesar di atas paruh, mirip dengan tanduk atau cula). Pola warna pada bulu bervariasi dari hitam, putih, abu-abu, hingga coklat. Variasi warna juga terlihat pada jambul Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus), dan bulu ekor yang panjang pada Rangkong Gading (Rhinoplax vigil). Kulit rangkong yang terbuka dan area mata mempunyai warna cerah, yaitu merah, kuning, biru, dan hijau. Maka sangat tidak heran jika burung ini terlihat begitu cantik. Kepada turis asing pernah saya bertanya begini, Hi, do you know hornbill? Dan dijawab, No, I dont know. What is that? Kemudian saya menjelaskan, The big bird in Asian countries which has big bill and a horn on the bill. Setelah itu sang turis tersebut membalas lagi dengan, Aha, I know that bird, which is similar with Toucan in Amazon. Pengalaman saya di atas sekaligus menjelaskan mengapa burung rangkong dinamai hornbill dalam bahasa Inggris. Dimana horn berarti cula dan bill berarti paruh. Sedangkan di Indonesia burung tersebut punya banyak nama. Rangkong, enggang, kangkareng, serta julang. Semuanya masuk ke dalam famili Bucerotidae.Julang Emas Rhyticeros undulatus hasil tangkapan pemburu

S

Beberapa peneliti mengatakan organ yang berada pada atas paruh rangkong tidak dapat diartikan cula, karena rangkong bukan merupakan mamalia. Jadi sampai saat ini belum ada terminologi yang tepat untuk mendeskripsikan bentuk tersebut dan tetap menuliskannya dengan istilah casque . Secara global, rangkong tersebar di Afrika, Asia dan wilayah Australasian, termasuk didalamnya Indonesia sampai Papua Nugini. Dari 45 jenis yang tersebar di beberapa negara, ada 13 jenis burung rangkong yang menempati hutan Indonesia. Dalam tabel di bawah terlihat jelas persebaran serta statusnya. Selama pengamatan burung rangkong di salah satu areal bekas hutan produksi di Kabupaten Batanghari Jambi dan Kabupaten Musi, Banyuasin, Sumatera, saya berhasil melihat tujuh dari sembilan jenis yang ada di Sumatera. Yaitu; Enggang Jambul

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Nama Ilmiah Berenicornis comatus Anorrhinus galeritus Penelopides exarhatus Aceros corrugatus Aceros cassidix Rhyticeros undulates Rhyticeros plicatus Rhyticeros everitti Anthracoceros malayanus Anthracoceros albirostris Buceros rhinoceros Buceros bicornis Rhinoplax vigil

Nama Inggris White-crowned Hornbill Bushy-crested Hornbill Sulawesi Hornbill Wrinkled Hornbill Knobbed Hornbill Wreathed Hornbill Blyths Hornbill Sumba Hornbill Black Hornbill Oriental Peid Hornbill Rhinoceros Hornbill Great Hornbill Helmeted Hornbill

Nama Indonesia Enggang Jambul Enggang Klihingan Kangkareng Sulawesi Julang Jambul-hitam Julang Sulawesi Julang Emas Julang Irian Julang Sumba Kangkareng Hitam Kangkareng Perut-putih Enggang Cula Enggang Papan Rangkong Gading

Penyebaran SK SK Sl SK Sl SKJ M IJ NT (Sumba) SK SKJ SKJ S SK

Status IUCN CITES II NT NT II LC II II NT II LC II LC II LC VU II II NT LC II II NT NT I I NT

43UU AB AB AB AB AB AB AB AB AB AB AB AB AB

Tabel Penyebaran dan status IUCN dan CITES Pada Jenis Famili Bucerotidae yang terdapat di Indonesia.Catatan : Daerah Penyebaran: S: Sumatera; K: Kalimantan; J:Jawa, Sl: Sulawesi; NT: Nusa Tenggara; M: Maluku; IJ: Irian Jaya. Keterangan status : IUCN; NR: Near Threatened (mendekati terancam); VU: Vulnerable (terancam), LC: Least Concern (kurang perhatian). CITES; I (spesies tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan secara Internasional), II (spesies yang pemanfaatannya perlu pengawasan Internasional, kemungkinan terancam punah). UU; A (UU No. 5 tahun 1990), B (PP No. 7 tahun 1999)

(Berenicornis comatus), Enggang Cula (Buceros rhinoceros), Rangkong Gading (Rhinoplax vigil), Julang Jambul-hitam (Aceros corrugatus), Julang Emas (Rhyticeros undulatus), Kangkareng Htam (Anthracoceros malayanus) dan Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus). Saya menjumpai burung-burung rangkong tersebut saat beraktivitas terbang, istirahat, membersihkan bulu (preening), makan, bersuara, serta bersarang. Sedangkan jenis yang paling sering melintas di area pengamatan adalah Julang jambul-hitam. Seluruh jenis rangkong menempati bermacam-macam habitat mulai dari padang rumput kering (steppa) hingga hutan hujan tropis. Khusus rangkong Asia hanya mendiami hutan hujan tropis. Dimana hutan tersebut menyediakan berbagai macam pohon sebagai sumber pakan dan tempat bersarang bagi rangkong. Karakteristik tegakan kesukaan burung rangkong adalah pohon yang memiliki tinggi lebih dari 30 m, berbatang besar, cabang besar, kanopi lebar, serta rimbun dedaunan. Namun tidak semua tegakan tinggi disukai oleh rangkong. Kondisi tegakan tinggi

namun rapuh, serta memiliki diameter kecil (kurang dari 50 cm) dan tidak terdapat dedaunan tidak disukai rangkong. Bahkan dipakai untuk hinggap pun tidak, walaupun hanya sebentar. Lokasi hinggap dan istirahat favorit burung rangkong ada di tempat terbuka. Yaitu lokasi yang terdapat tegakan pohon dengan dahan besar. Seperti jenis pohon Kempas (Koompasia excelsa) dan Medang (Cryptocarya sp.). Burung rangkong sering disebut sebagai petani hutan alami dalam regenerasi di hutan tropis. Hal tersebut dikarenakan rangkong merupakan satwa pemakan pemakan buah (frugivorous) dengan sedikit memakan daging. Sehingga ia bekerja sebagai pembawa dan penyebar biji-bijian tanaman kehutanan. Biji - biji tersebut kemudian tersebar, terjatuh, serta keluar bersama kotoran (faeces) yang dihasilkan. Luas jangkauan rangkong dalam beraktivitas berkisar dari 10 ha sampai 100 km2 per hari. Jenis buah ara (Fig) merupakan pakan utama bagi burung rangkong. Jenis pohon dari famili Moraceae ini merupakan jenis yang banyak tersebar di Asia. Ditemukan empat jenis pohon pakan burung rangkong yang sedang berbuah pada saat dilakukan pengamatan, yaitu Ara (Ficus variegata), Ketam/Bedih (Balakata baccata), Terap (Artocaspus elasticus) dan Medang (Cryptocarya sp.). Masing masing famili dari jenis tersebut secara berturut turut, yaitu Moraceae, Euphorbiaceae dan Lauraceae. Kharisma burung ini ada pada perilaku bersarangnya yang unik. Ketika musim berbiak, anggota famili Bucerotidae betina berada di dalam lubang sarang. Kemudian bersama jantan ia akan menutup seluruh lubang dengan lumpur dan menyisakan celah kecil. Celah tersebut digunakan untuk memasukkan pakan yang

Kangkareng Perut-putihAnthracoceros albirostris

dibawa oleh jantan di dalam kerongkongan sang betina. Beberapa rangkong hidup menetap bersama pasangannya (monogamous) di dalam wilayah pertahanan (territory). Jika pasangannya sedang mengalami fase berbiak (breeding) maka sang jantan dan beberapa kelompok pasangan akan melindungi betina dan anakan yang sedang dalam berada di dalam sarang. Selama pengamatan bulan Januari hingga Februari 2010, kami menemukan burung Julang Emas dan Enggang Klihingan melakukan aktivitas bersarang tersebut. Sebuah hasil pengamatan yang menyenangkan hati kami. Mengingat burung rangkong termasuk dalam jenis spesies kunci (key species) bagi regenerasi hutan hujan tropis kawasan Asia.

Spesies

Pertahanan TerakhirExecutive Officer Forum HarimauKita

Hariyawan Agung Wahyudi

Mahkota

Sang Raja

arimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan spesies harimau terakhir yang dimiliki Indonesia setelah dua saudaranya dinyatakan berstatus punah. Harimau Bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah pada tahun 1950-an, sedangkan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada tahun 1980-an oleh IUCN. Sang raja yang menempati strata tertinggi dalam rantai makanan ini sedang menghadapi masalah terberat, yaitu kepunahan. Populasi harimau Sumatera liar di hutan-hutan Sumatera cenderung menurun setiap tahunnya. Perburuan liar dan konflik dengan manusia menjadi penyebab semakin langkanya top predator yang kharismatik ini. Kondisi tersebut diperparah oleh laju deforestasi Sumatera yang mencengangkan. Diperkirakan pada tahun tujuh puluhan, populasi harimau Sumatera masih sekitar 1000 ekor. Angka tersebut diperoleh dari penelitian Borner melalui survey kuisioner di tahun 1978. Pada tahun 1985, Santiapillai dan Ramono mencatat setidaknya 800 ekor tersebar di 26 kawasan lindung. Di tahun 1992, Tilson et. al. memperkirakan antara 400 500 ekor yang hidup di 5 Taman Nasional dan 2 kawasan lindung. Dan di tahun 2007, Kementrian Kehutanan Indonesia memperkirakan minimal 250 individu harimau Sumatera hidup di 8 dari 18 habitat harimau Sumatera. Angka-angka di atas, secara langsung tidak dapat dijadikan data seri. Hal tersebut karena riset tersebut dilakukan dengan metode dan lokasi yang tidak sama. Akan tetapi, cukup memberikan gambaran keterancaman harimau terakhir yang tersisa di Indonesia. Angka Perburuan Mencengangkan Sampai saat ini, perburuan ilegal masih menjadi ancaman utama kelestarian harimau Sumatera. Hampir seluruh bagian tubuh harimau menjadi koleksi yang paling diincar di pasar gelap. Mills dan Jackson melaporkan lebih dari 3.990 kilogram tulang harimau Sumatera diekspor ke Korea Selatan sejak 1970 sampai 1993. Tulang-tulang tersebut dijadikan bahan baku obat tradisional China.

H

Selain itu, Sheppard dan Magnus memperkirakan setidaknya 253 ekor harimau Sumatera diambil dari habitatnya antara tahun 1998 hingga 2002. Sebagian besarnya diambil secara ilegal. Konflik Yang Tak Kunjung Usai Tingginya laju deforestasi Sumatera juga menjadi penyebab serius turunnya populasi harimau terakhir Indonesia. Forest Watch Indonesia mencatat laju pembukaan hutan sebesar 0,37 juta hektar setiap tahunnya, semenjak tahun 2000 sampai 2009. Sebagian besar, hutan diubah menjadi perkebunan baik legal maupun ilegal. Menyempitnya habitat harimau Sumatera tersebut membuat pergerakan harimau semakin terbatas. Juga interaksi harimau Sumatera dengan manusia menjadi semakin tinggi.

46

HarimauKita, forum peneliti dan pemerhati harimau Sumatera melaporkan, setidaknya 563 konflik tercatat semenjak tahun 1998 2011. Angka tersebut dikompilasi dari laporan lapang Wildlife Conservation Society (WCS), Leuser International Foundation (LIF), Fauna and Flora International (FFI), Zoological Society of London (ZSL) dan World Wildlife Fund (WWF) dan PHKA. Lembaga-lembaga tersebut secara konsisten melakukan upaya konservasi harimau Sumatera di habitatnya. Sebagian kecil data bersumber dari informasi surat kabar. Dari sekian konflik yang terjadi, tercatat 46 ekor harimau terbunuh. Di lain pihak, sebanyak 57 orang meninggal dalam rentang waktu yang sama. Riau merupakan provinsi dengan tingkat konflik tertinggi. Upaya Konservasi HarimauKita sebagai forum bagi para praktisi dan pemerhati konservasi harimau Sumatera mendorong agar terwujud sinergi aksi dalam upaya pelestarian harimau Sumatera di habitatnya. Sinergi ini akan diwujudkan dalam kegiatan penyusunan protokol monitoring populasi dengan menggunakan metode yang sama, dan dilakukan oleh seluruh lembaga mitra di seluruh Sumatera, pengembangan jaringan pemantau perdagangan ilegal harimau Sumatera, serta penyatuan sistem data dalam mitigasi

konflik antara manusia dengan harimau Sumatera. Dalam bidang peningkatan kapasitas, pelatihan untuk dokter hewan dalam menangani harimau Sumatera yang terlibat konflik (bekerja sama dengan ZSL), bersama lembaga mitra dan pelatihan MIST (Management Information System) untuk memperkuat patroli di kawasan yang menjadi habitat harimau Sumatera.

Untuk memperkuat upaya pelestarian secara terintegrasi, HarimauKita dan lembaga-lembaga mitra akan menyelenggarakan Workshop penggalangan sumber daya untuk terwujudnya konservasi harimau Sumatera yang termaktub dalam dokumen National Tiger Recovey Program dalam waktu dekat.

47

Profil Forum HarimauKitaForum HarimauKita merupakan forum yang didirikan oleh para praktisi dan pemerhati konservasi Harimau Sumatera yang didirikan di Lembah Harau Sumatera Barat pada 11 Mater 2008 yang memiliki VISI mengupayakan kelestarian Harimau Sumatera hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat. MISI Dalam melaksanakan kegiatannya Forum HarimauKita mengacu pada misi-misi: 1. Memperkuat upaya pelestarian dan bentang alam Harimau Sumatera dengan menjalin komunikasi, menyediakan informasi dan memadukan aksi antar para pihak 2. Menjadikan Forum HarimauKita sebagai acuan utama upaya pelestarian Harimau Sumatera melalui peran aktif dalam isu terkait Harimau Sumatera baik dalam lingkup nasional maupun internasional 3. Memastikan dan mengawasi pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Pelestarian Harimau Sumatera Indonesia KEGIATAN Peningkatan kapasitas institusional Forum Pembangunan Pusat Informasi dan Database Harimau Sumatera Penyusunan Modul Pelatihan untuk Konservasi Harimau Sumatera, untuk Pemantauan Populasi serta Penegakan Hukum Melakukan pemantauan jaringan perdagangan ilegal Harimau Sumatera Secara aktif mengkampanyekan isu pelestarian Harimau Sumatera kepada publik melalui penerbitan newsletter dan website Pada bulan Desember 2010, dua anggota Forum HarimauKita mempublikasikan jurnal ilmiah berjudul Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) : A Review of Conservation Status melalui situs Interactive Zoology.

Loxura atymnus

foto oleh Karyadi Baskoro

Spesies

Batu HijauTeks oleh Agung Satriya Wibowo Foto-foto oleh Imam Taufiqurrahman

Burung Kampung

Haliastur indus

50

A

rga, siswa kelas 3 Sekolah Dasar bersama 30-an rekannya pagi itu tampak antusias mengamati burung. Mereka bergabung bersama adik-adik Taman Kanak-kanak (TK), siswi SMP Buin Batu serta juga para guru dan orang-tua murid dalam acara Family Birdwatching. Sebuah acara yang digagas oleh Divisi Lingkungan PT. Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Family Birdwatching menjadi salah satu sesi dalam rangkaian acara Clean Up Day 2011. Biar adik-adik itu kenal dengan lingkungan mereka sejak dini, papar Muhammad Salammudin Yusuf. Bapak yang akrab dipanggil Pak Alam itu berlaku sebagai koordinator acara Clean Up Day 2011. Backyard birds Sesi pengamatan burung dimulai pukul 06.30. Semenit kemudian teriakan riang khas anak-anak ketika menemukan burung yang sedang melintas atau bertengger mulai memecah heningnya pagi. Targetnya memang burung-burung disekitar tempat tinggal mereka, yaitu Townsite PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Batu Hijau. Aku lihat kayak ada burung, kecil gini, warna kayak ada hitam sama putih di sayapnya, tapi kok kayak melompat gitu di dahan, celetuk Arga ketika berusaha mendeskripsikan burung Decu Belang yang baru saja dia lihat. Burung-burung yang dijumpai di sekitar rumah biasa disebut sebagai backyard birds. Anggotanya adalah semua jenis burung yang hidup dekat dengan permukiman atau di dalam kawasan urban. Biasanya mereka merasa nyaman tinggal di kompleks gedung, perumahan, halaman, taman, kebun, jalur hijau, serta vegetasi tepian sungai dekat permukiman. Alasannya bisa jadi karena ketersediaan perlindungan, ransum, dan tempat kencan yang mendukung kelangsungan hidupnya. Oleh karena itulah, keberadaan backyard birds di suatu lokasi bisa mencerminkan perilaku manusia yang hidup di dalam kawasan yang sama.Antusiasnya anak-anak SD dalam mengamati burung

51

Atas: Family Day menjadi sarana mengenal lebih dekat terhadap alam sekitar Kanan: saat istirahat di bawah pohon digunakan untuk identifikasi dari buku dan diskusi

Tidak sulit menjumpai berbagai jenis burung di kawasan townsite PT. NNT. Mungkin karena sudah terlalu lama dicuekin oleh penduduk kawasan itu. Dimana mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya di salah satu perusahaan tambang asing terbesar di Indonesia ini. Saking mudah ditemui dan jinaknya, burung di kawasan townsite diistilahkan sebagai burung-burung Jablay oleh rekan saya, Imam Taufiqurrahman. Seperti apa yang dilakukan sekelompok burung Perkutut Loreng pagi itu. Seakan menggoda, mereka mematuk-matuk tanah, memungut biji-biji rumput yang tersembunyi di balik remah seresah, sementara lima orang anak tampak asyik menggambar sketsa dan mengamati gerak-gerik si Perkutut. Keakraban dengan hiruk-pikuk aktifitas manusia memang membuat backyard birds cenderung mudah didekati dan diamati dengan mata telanjang. Tanpa perlu binokuler atau monokuler yang mahal. Habitatnya yang dekat dengan tempat tinggal atau tempat kerja juga membuat pengamatan backyard birds juga tidak menguras energi dan waktu. Cukup dengan berjalan kaki, bersepeda atau yang lebih ekstrim, sambil ongkang-

ongkang ngopi pagi ditemani koran. Burung-burung di Batu Hijau Data dari Departemen Lingkungan PT. NNT tercatat setidaknya ada 178 jenis burung di Batu Hijau. Penelitian selama 8 tahun (19962004) yang dilakukan Yayasan Pusat Pengkajian Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati mencatat 121 jenis burung penetap, 17 jenis burung dengan sebaran terbatas, 6 jenis burung endemik dan 46 jenis burung yang merupakan catatan baru. Menariknya, catatan baru itu bukan hanya bagi Batu Hijau, tetapi juga untuk keseluruhan Pulau Sumbawa. Penelitian tersebut merupakan satu dari delapan penelitian tentang burung yang mengkaji Pulau Sumbawa sejak tahun 1821. Sebuah suksesi luar biasa mengingat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 menghapus kehidupan di pulau ini. Bahkan hingga 50 tahun kemudian. Seperti yang disebutkan oleh Sir Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago, bahwa sebagian besar pulau

Atas: Cabai Dahi-hitam (Dicaeum igniferum) Kanan: Srigunting Wallacea (Dicrurus densus)

tersebut masih berupa hamparan abu vulkanik. Tetapi kini semua sudah berubah. Seperti di pagi itu, seekor Alap-alap Sapi melayang rendah diatas lapangan rumput. Beberapa anak yang sedang mengamati Pipit Zebra di atas lapangan itu, tiba-tiba berteriak, berlarian sambil menunjuk ke atas. Elang...elang..!! Seru mereka kegirangan. Sementara di seberang jalan sekelompok anak perempuan dengan tenang berjalan diteduhi pohon Angsana yang ranting-rantingnya ditumpangi benalu. Sesekali mereka mengamati tajuk pohon angsana. Sehingga tampaklah Burung-madu Sriganti, Kacamata Wallacea dan Cabai Dahi-hitam memeriksa daun-daun rimbun benalu. Seakan berharap menemukan serangga atau buah benalu masak yang lengket. Di seberang lapangan ada hal lain lagi. Di sana terdapat lokasi rindang

Atas: Kacamata Wallacea (Zosterops wallacei) Tengah: Perkutut Loreng (Geopelia maugei) Bawah: Pipit Zebra (Taeniopygia guttata)

dengan pohon-pohon tinggi tumbuh di tepi sungai kecil berbatu. Di situlah sesekali terdengar decitan melengking Udang-merah Api yang diselingi dengan kelebatan si kuning Kepodang Kuduk-hitam. Kemudian tak jauh dari situ, seekor Srigunting Wallacea terlihat baru saja bertengger. Dengan tenangnya menikmati sarapan berupa belalang segar yang baru saja dipatuk langsung dari rantingnya. Selama acara Family Birdwatching tercatat 28 jenis burung. Menurut Pak Alam, semuanya merupakan jenis yang umum dijumpai di kawasan ini. Termasuk di dalamnya Elang-laut perutputih dan Elang Bondol. Tetapi dari daftar perjumpaan itu hanya 9 jenis yang umum dijumpai di sebagian besar kawasan urban di pulau Jawa. Inilah yang membuat pengamatan backyard birds terasa mengasyikan. Sebab semakin ditelusuri, semakin banyak terungkap hal sehari-hari yang luput dari perhatian. Seperti keberadaan jenis baru dan hilangnya jenis tertentu. Dimana kedua hal itu menjadi dinamika backyard birds yang merupakan indikator nyata tentang proses yang sedang terjadi pada lingkungan urban. Khusus untuk perjumpaan dengan jenis baru dalam pengamatan backyard birds, sensasinya seringkali terasa luar biasa. Sebab selain hal itu berarti menambah pengetahuan terhadap suatu lokasi, informasinya bisa membuat banyak orang lain iri. Terutama untuk para twitcher, yaitu orang-orang yang rela mengorbankan waktu luang dan uang mereka hanya untuk dapat melihat jenis burung tertentu. Apalagi jika burung jenis baru itu ternyata merupakan jenis endemik daerah tertentu. Maka bisa dibilang, menemukan satu atau dua anggota baru burung kampung bisa berbuntut panjang. Mulai dari ketagihan pengamatan, rajin bangun pagi, hingga senang bikin tulisan. Untuk itu mari kita sama sama perhatikan siapa saja jenis burung di sekitar kampung kita.

54

PapilionidaedariTeks dan foto ole Yusri Syam

Inang Baru

S

Rokan

ebagai peneliti pemula, baru kali ini saya mendapatkan pengalaman yang mengesankan. Sebab sejak mengintip dan memburu spesies Papilionidae dari tahun 2003, di tahun 2010 yang lalu, secara tidak sengaja saya melihat seekor betina Atrophaneura antiphus bertelur pada pucuk tumbuhan Aristolochia berdaun berjari tiga. Waktu itu saya sedang melakukan penelitian terhadap spesies Papilionidae di area hutan sekitar Gedung Pusat Informasi Kupu-kupu Sumatera.

Semenjak itu, saya mulai memperhatikan dan terus aktif mengamati tumbuhan tersebut. Dalam rentang waktu enam bulan (Nov 2010-Mei 2011) telah terpergoki pula tiga spesies Papilionidae yang lain. Mereka mempertontonkan sifat berjamaahnya dalam menjadikan Aristolochia sebagai menu santapannya. Ketiganya berasal dari jenis Atrophaneura nox, Troides cuneifera, serta Atrophaneura varuna yang diketahui belakangan. Tumbuhan Aristolochia merupakan perdu. Umumnya memiliki daun yang berpola seperti sirih. Ada juga sebagian yang berbentuk bulat, namun ada yang berjari tiga seperti Aristolochia triloba dan Aristolochia caudata. Aristolochia memiliki bunga yang indah berbentuk terompet yang muncul dari ketiak daun. Lazimnya, daun tumbuhan ini memiliki aroma seperti sirih, namun tidak rodeh (pedas seperti rasa sirih). Ada kandungan senyawa di dalamnya yang berguna dalam proses persalinan, sehingga tumbuhan dari famili Aristolochiae ini sangat dihormati oleh bangsa Yunani dan

Romawi. Dari perkara persalinan inilah nama Aristolochia disematkan. Aristos yang berarti terbaik dan lechera yang artinya melahirkan atau nifas. Untuk marga Aristolochia sendiri diketahui terdiri lebih dari 500 spesies yang tersebar di seluruh dunia.

55

Menurut penuturan Bapak Taslim, seorang etnozoologis Rokan, masyarakat menyebutnya dengan aka spotuih. Kalau dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, sebut saja dengan akar petir. Diceritakan oleh para orang tua, bahwa tumbuhan ini banyak dimanfaatkan pada masa dahulu. Sayangnya sekarang sudah jarang ditemukan. Bahkan ada kemungkinan mendekati pupuih (punah). Mengapa namanya akar petir dan apa manfaat kesehatannya, saya abaikan hal itu untuk sementara. Dari hasil pengamatan saya, secara umum keempat spesies Papilionidae yang memanfaatkan Aristolochia daun berjari tiga, disamping A. tagala dan A. foveolata, dapat dilihat ontogeninya sebagai berikut; Troides cuneifera Stadium telur 8 hari Stadium ulat 30 hari Stadium pupa 26 hari

56

Atrophaneura nox Stadium telur 5-6 hari Stadium ulat 20 hari Stadium pupa 16 hari

Atrophaneura antiphus Stadium telur 4-5 hari Stadium ulat 19-20 hari Stadium pupa 16 hari

Atrophaneura varuna Belum diketahui jelas, kemungkinan sama dengan Atrophaneura nox, baik ulat maupun pupa.

Tidak tertutup kemungkinan adanya temuan baru di masa mendatang. Bahkan mungkin akan ada kupu-kupu jenis lain yang berhubungan dengan tumbuhan ini. Seperti kebiasaan Trogonoptera brookiana yang memanfaatkan Aristolochia foveolata sebagai pakan utamanya. Boleh jadi juga menjadikan Aristolochia daun berjari ini sebagai pakan cadangan atau bahkan pakan utama ulatnya. Kepastian species Aristolochia Hal yang membuat darah saya mendidih adalah ada kemungkinan tumbuhan ini memiliki sebaran terbatas dan memiliki hubungan spesifik dengan kupu-kupu. Sebab, diketahui ulat kupu-kupu sejenis yang ada di Sulawesi, menyantap Aristolochia tagala (daun bulat telur bentuk jantung). Di Arau, Sumatera Barat dan Lampung, Troides helena disamping memakan A. tagala juga A. foveolata yang berdaun bulat telurjantung juga. Sementara di Rokan, Riau, saya temukan memakan Aristolochia berdaun menjari tiga, yang mirip dengan A. triloba dan A. tricaudata. Untuk sementara ini jenis yang ada di Rokan memang belum dapat teridentifikasi dengan pasti. Apakah termasuk A. triloba atau A. tricaudata. Alasannya, untuk memastikan perlu melihat bunga dan buahnya. Sedangkan tumbuhan ini belum pernah dijumpai berbunga sempurna, dikarenakan setiap muncul bakal bunga selalu disantap oleh semut hitam yang menggerayanginya. Mereka ini merupakan semut yang bermutualisme dengan ulat Papilionidae yang menjadi langganan Aristolochia daun berjari tiga. Dimana setiap sobekan daun yang dibuat para larva menjadi oase

bagi kaum semut yang memanfaatkan cairan getah manis yang keluar dari sobekan daun.

57

Itulah tantangan terberat saya, sebab saya melakukan pengamatan sendiri tanpa ada pendamping untuk berdiskusi. Hanya mengandalkan mengharap kontak dengan beberapa pakar Papilio di Sumatera. Seperti Bapak Dahelmi, peneliti Papilio dari Sumatera Barat, yang bersama Pak Iwan pernah berkunjung ke Rokan. Beliau menyatakan, kalau tumbuhan tersebut belum pernah dijumpai sebelumnya. Dari sampel tumbuhan yang saya tunjukkan, beliau memang memastikan sebagai Aristolochia meski belum bisa yakin dari spesies apa. Sebab belum mendapatkan bunga dan buahnya. Seumpama dicoba berusaha mencari di hutan pun tidak cukup mudah, karena harus menunggu beberapa bulan. Kemudian ada juga Ibu Herawati, seorang dosen sekaligus pakar kupu-kupu Lampung. Tetapi ketika saya hubungi melalui ponsel, beliau juga tidak bisa yakin untuk menyebutkan jenis tumbuhan yang telah saya kirim sebelumnya secara spesifik. Beliau akhirnya merekomendasikan seorang pakar kupu-kupu yang ada di lembah Arau, Sumatera Barat. Tetapi mudah-mudahan informasi dari saya ini bisa mengembangkan penelitiannya tentang kupu-kupu di Lampung. Mengingat ibu Herawati memiliki Taman dan Penangkaran Kupu-kupu Gita Persada. Upaya penyelamatan Endemik Rokankah tumbuhan ini? Endemik atau bukan bagi saya bukanlah status temuan spektakuler. Sebab sering

Aristolochia berdaun menjari tiga atau Aka Spotuih atau Akar Petir

58kali terasa hanya sebagai basa basi untuk mengatakan bahwa Sungai Rokan masih memiliki tumbuhan Aristolochia daun berjari tiga yang mulai hilang. Hal paling utama dan lebih penting adalah bertambahnya satu lagi khazanah pengetahuan tentang tumbuhan inang Papilionidae. Untuk itu sembari terus mencari cara supaya bisa kami telah melakukan langkah penyelamatan. Sebanyak 7 titik telah dipagar sebagai spesimen dengan tanda W (spesies alam) atau F0 (tumbuhan yang didapat langsung dari alam). Lokasinya terletak 300 meter dari Gedung Pusat Informasi dan Penangkaran Kupu-kupu Sumatera di Pasirpengaraian. Tepatnya di kaki Bukit Barisan Kabupaten Rokan Hulu, Riau, Sumatera. Dari 9 ha luas kawasan, sebagian tempat akan diplot sebagai zona yang tidak boleh diganggu untuk dipakai sebagai penangkaran alami. Selanjutnya akan diterapkan metode pengembangan populasi berbasis alam (wild bassed population management). Itupun jika mendapat dukungan dari Pemerintah serta pihak yang peduli. Namun setidaknya kita para bioders telah berupaya mengekspose temuan, yang tidak semua orang akan ambil peduli (hobi minoritas). Walau sekedar temuan perdu yang ada hubungannya dengan kupu-kupu cantik dan langka, diharapkan bisa menjadi penambah motivasi di masa mendatang untuk terus foto, foto, foto dan up load, up load, up load. Sehingga meningkatkan ke-Bhinekaan flora dan fauna Nusantara. Terakhir, saya semakin bersemangat untuk terus menelitinya dan melalui FOBI, saya berharap dapat mengekspose penemuan ini, sekaligus sebagai bahan diskusi bersama tentang biodiversitas di Indonesia.

Tentang Gedung Pusat Informasi dan Penangkaran Kupu-kupu Sumatera.

Lokasinya berada di obyek wisata Hapanasan, Pasirpengaraian, Kab. Rokan Hulu, Riau, Sumatera. Gedung yang dibangun tahun 2009-2010 saat ini memang belum diresmikan, namun telah dapat disaksikan beberapa temuan dari hasil penelitian sejak tahun 2003 sampai sekarang. Di Gedung ini sudah tersedia informasi dalam bentuk data belum dicetak. Berisi tentang lebih dari 200 spesies kupu-kupu Rokan-Sumatera. Telah terinventarisasi pula dalam bentuk visualisasi foto lebih dari 100 spesies dengan ontogeni yang hampir lengkap hingga yang lengkap (telur-ulat-kepompong dan kupu-kupu). Dengan bantuan FOBI Insya Allah terbuka pintu untuk melengkapi data teknis koleksi kupu-kupu saya dikemudian hari. Sehingga cita-cita untuk menerbitkan buku ontogeni bersama dengan etnozoologinya dapat tercapai. Selain data informasi saya telah menanam beberapa pakan yang dicurigai langka, pakan utama dan sampingan yang berhubungan dengan kupukupu langka pula. Setidaknya semua jenis kupu-kupu yang jarang ditemui. Adapun jumlah tumbuhan sudah melebihi 25 spesies.

Graphium evemon

foto oleh Karyadi Baskoro

60

Bioders

Imam Taufiqurrahman

KUPU KUPUBanyak orang mengagumi keindahan kupukupu. Namun, hanya sedikit yang memiliki ketertarikan untuk tekun mempelajarinya berpuluh tahun. Di antara yang sedikit itu, terdapatlah Djunianti Peggie dan Ayam Hugeng Hunianto.

para Pecinta

61

Peggieselalu mengarahkan kegiatannya pada serangga. Penelitian skripsinya pun tentang serangga. Setamat kuliah, Peggie diterima di LIPI dan langsung bekerja di laboratorium serangga. Di awal-awal bekerja, Peggie mendapat kebebasan untuk memilih. Ia yang awalnya mencoba mendalami Arachnida (laba-laba) kemudian beralih ke kupukupu. Kupu-kupu juga masih kosong waktu itu. Walaupun jenisnya bagus-bagus, orang senang melihatnya, tapi saat tahun 90 itu, belum ada yang menangani betul memang. Tidak berselang lama setelah memulai pekerjaannya, kelahiran 7 Juni 1965 ini melanjutkan pendidikan di Imperial College, University of London, Inggris. Bidang yang dipelajarinya adalah pengendalian hama terpadu (entomologi terapan). Setelah satu tahun di Inggris, minatnya yang besar terhadap biologi dasar, yakni mengenai sistematika kupu-kupu, membuatnya memutuskan untuk melamar bekerja magang di British Museum. Di sanalah Peggie berkesempatan bertemu dan belajar dari Dick Vane-Wright, ahli kupu-kupu yang kemudian banyak memberinya bimbingan. Bahkan hingga saat ini Peggie masih menjalin komunikasi yang intens. Termasuk saat mempublikasikan Ideopsis fojana, spesies baru dari Pegunungan Foja, Papua. Ia, Vane-Wright dan Bruder Henk van Mastright menjadi author dari kupu-kupu hitam-putih itu. Publikasinya terbit pada 2009 dalam jurnal Sugapa (Suara Serangga Papua) dengan judul A new member of the Ideopsis gaura superspecies (Lepidoptera: Danainae) from the Foja Mountains, Papua, Indonesia. Sekembalinya dari Inggris, Peggie meraih beasiswa untuk jenjang S-3 dari American Museum. Ia pun memilih Cornell University, Amerika Serikat, yang memiliki bidang entomologi. Studinya saat itu mencakup sistematika famili Nymphalidae Indo-Australian yang sebarannya mulai dari India hingga Kepulauan Solomon.

Ketertarikan Peggie terhadap kupu-kupu tumbuh semenjak ia belia. Peneliti kupu-kupu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini telah melakwukan kegiatan di alam semenjak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya memang dari SMP senang dengan alam. Waktu SMA juga saya ikutan grup pecinta alam, akunya. Saat berkegiatan, seperti naik gunung, trekking atau susur pantai itulah ia kemudian merasa tertarik dengan beraneka satwa yang ia jumpai. Ada kumbang, kerang, dan juga kupu-kupu. Tapi sekadar tertarik dan kagum, nggak tau gitu jenis-jenisnya. Baru setelah melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, minatnya terhadap serangga mendapat penyaluran. Saat berkuliah di Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, ia

Sebagaimana Peggie, Hugeng pun mulai tertarik pada kupu-kupu semenjak masih di bangku sekolah. Lebih tepatnya di SMA, saat ia berkenalan dengan seseorang yang berprofesi sebagai kolektor kupukupu. Perkenalan itulah yang kemudian membuatnya menekuni kupu-kupu hingga sekarang. Hugeng murni belajar secara otodidak. De Vlinders van Java karya W. Rpke yang terbit pada 1932 menjadi pegangannya untuk mempelajari kupu-kupu Jawa. Buku lain, The Butterflies of Malay Peninsula (terbit pertama tahun 1934) ia dapat dari LIPI. Dari situlah kemudian Hugeng mulai mengoleksi kupu-kupu. Demi hobinya itu, ia kerap bepergian menjelajahi Nusantara. Maluku Utara, Morotai, Halmahera, Sorong dan Arfak menjadi tempattempat yang pernah ia jelajahi pada rentang tahun 80 hingga 90-an. Semua itu murni atas biaya sendiri. Lha kan saya hobi, akunya. Kalau orang-orang yang cenderung bisnis, kalau nggak untung ya nggak pergi. Sementara baginya, Hobi kan nggak menghitung soal duit. Tidak hanya sekadar mengoleksi, ia pun juga berupaya untuk mempelajari daur hidup dari berbagai jenis hingga mampu mengembangbiakkan kupu-kupu di habitat alaminya. Seperti yang dilakukannya di Seram, saat ia bekerja di satu perusahaan udang sekitar tahun 2001-2006. Di sela-sela pekerjaannya, ia keluar-masuk hutan dan berhasil membudidayakan beberapa jenis kupu-kupu. Di sana kan ada kupu-kupu jenis Ornithoptera (kupu-kupu sayap burung.red). Nah, saya budidayakan di dalam hutan, jelasnya. Pengetahuan mengenai daur hidup kupu-kupu tersebut didapatnya dari berbagai sumber, termasuk dari penduduk setempat.

62

Hugeng

Kini di usianya yang menjelang 60 tahun, Hugeng masih bepergian mencari kupu-kupu. Meskipun kini daerah-daerah tujuannya hanya di seputaran Jawa Barat, seperti Danau Telaga Warna, G. Halimun, Pengalengan dan G. Wayang. Perburuan Hugeng dalam mengoleksi kupu-kupu rupanya tidak main-main. Jumlah koleksi dari hobi yang ditekuninya selama empat puluh tahun ini telah mencapai lebih dari 800 jenis. Jumlah yang berarti mencakup 30% dari total jenis kupu-kupu Indonesia.

63

Harapan untuk Masa Depan

Hugeng yang menjadi praktisi ahli untuk Taman Kupu-kupu Cihanjuang, Bandung, memiliki kekhawatiran. Menurutnya, banyak jenis kupu-kupu di Indonesia yang mulai sulit ditemukan, sementara pengetahuan tentang jenis tersebut belum lagi utuh. Ditambah lagi, di Indonesia orang yang memiliki minat mendalam untuk menjadi peneliti maupun pemerhati kupu-kupu masih jarang. Masa yang ahli Delias Papua itu malah orang Belanda? Tanyanya, merujuk pada Henk van Mastright. Kita harus punya expert orang Indonesia juga lah. Masa dari 200 juta orang nggak ada? Peggie seperti menangkap kekhawatiran Hugeng. Berbagai upaya ia lakukan untuk memasyarakatkan pengetahuan tentang kupu-kupu Indonesia, terutama melalui penerbitan buku. Buku pertamanya, Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor, terbit tahun 2003. Kupukupu Indonesia yang Bernilai dan Dilindungi menjadi buku kedua yang terbit pada November 2011. Peggie pun tengah menyiapkan dua buku lain. Buku tersebut berupa panduan sederhana mengenal kupu-kupu dan semacam buku mewarnai untuk anak-anak. Saya tergugah untuk membuat buku-buku panduan sederhana yang bisa langsung dipahami dan terjangkau, jelasnya. Sebagai Ibu dari tiga anak, Peggie merasakan kelangkaan bukubuku pengetahuan populer semacam itu. Saya lihat buku-buku buat anak-anak sangat terbatas. Padahal pada usia-usia mereka itu kita bisa membekalinya dengan kecintaan terhadap alam. Ia sadar betul pentingnya buku-buku pengetahuan yang bersifat lokal. Sayangnya, selama ini buku-buku yang tersedia merupakan produk luar negeri dengan pengetahuan mengenai binatangbinatang yang kebanyakan tidak dijumpai di Indonesia. Peggie berharap buku-bukunya itu dapat diterima masyarakat luas. Karena sebagaimana dirinya, ia melihat banyak orang tua yang membelikan anak-anaknya buku mewarnai. Hanya buku mewarnai mobil atau pohon, itu saja ada orang yang mau beli, saya mau beli, terangnya. Jadi, saya pikir, orang tua yang mau membuka wawasan untuk anak-anaknya juga mau membelikan buku mewarnai kupu-kupu ini.

Gunung Ungaranfoto oleh Lutfian nazar

Kantong Biodiversitas

di Gunung

JacobsoniUngaranTeks dan foto oleh Lutfian Nazar

Berkah

Philautus aurifasciatus

Leptobrachium haseltii

B

ukan karena bosan mengamati burung hingga kami beralih ke amfibi. Ada banyak alasan kuat yang menyebabkan saya dan teman-teman Biologi Universitas Negeri Semarang (UNNES) ingin tahu lebih jauh tentang hewan ini. Keinginan belajar yang menggebu adalah salah satunya. Adalah Gunung Ungaran yang menjadi tempat kuliah kami untuk belajar tentang amfibi. Meskipun tanaman kopi sudah merambah hampir seluruh kawasan, Gunung Ungaran masih memiliki hutan alam yang bagus. Konturnya berbukit-bukit dengan luas 5.500 hektar.

67

Polypedates macrotis

Lokasinya termasuk dalam dua kabupaten, Semarang dan Kendal. Di area itu juga mengalir sungai-sungai yang membelah lembah. Dimana diketahui merupakan habitat yang disukai oleh kebanyakan amfibi. Selain itu, data dasar satwa amfibi di Gunung Ungaran belumlah ada. Atau mungkin sudah ada, tetapi masih disimpan dengan rapi oleh pemiliknya. Sehingga kami pun tidak tahu, dan dengan serta-merta mengatakan; data dasar tentang amfibi di daerah tersebut belum ada. Satu lagi alasan kuat yang membuat kami penasaran dengan satwa amfibi adalah keberadaan katak yang sudah masuk daftar merah IUCN, Philautus jacobsoni. Katak pohon endemik Gunung Ungaran, yang dideskripsikan oleh van Kampen pada tahun 1912 ini, tak diketahui lagi ke mana perginya. Laju deforestasi yang sangat cepat dan minimnya penelitian satwa amfibi di kawasan Gunung Ungaran, menyebabkan katak pohon kecil ini hilang dari peredaran. Itulah modal awal kami mengeksplorasi kawasan di selatan Semarang. Berbekal proposal yang digarap oleh beberapa teman, akhirnya kami mencoba mengirimnya ke Amphibian Specialist Group (ASG). Pucuk dicinta ulampun tiba. Kami mendapatkan dana untuk mencari si kecil eksotis itu. Pertengahan tahun 2010 kami memulai pencarian Philautus jacobsoni. Dengan harapan bisa menemukannya kembali sekaligus menginventaris amfibi di kawasan Gunung Ungaran. Selama 2 minggu kami menjelajah lereng sebelah barat Gunung Ungaran. Dimulai dari Dusun Banyuwindu, Kabupaten Kendal, dan bukit Gajah Mungkur. Suatu kawasan yang bisa dikatakan belum terinvasi tanaman kopi. Berlanjut ke lereng sebelah utara, yaitu Medini, Watu Ondo, dan Gunung Gentong. Kemudian naik menuju Promasan (dusun terakhir di kaki Gunung Ungaran).

68

Nyctixalus margaritifer

Eksplorasi dilakukan kembali pada awal tahun 2011, merampungkan sisa kawasan yang belum terjelajahi, yaitu lereng bagian timur dan selatan. Dari eksplorasi itu, belumlah dapat disimpulkan bahwa kami telah menemukan kembali si Philautus jacobsoni. Hasil pengamatan, pengukuran morfologi, dan identifikasi beberapa sampel yang kami bawa langsung ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tidak dapat mengubah tanda tanya besar itu menjadi sebuah jawaban pasti. Para ahli mengatakan sampel yang kami bawa adalah spesies yang sama, yakni katak pohon emas (Philautus aurifasciatus). Memang sulit mengidentifikasinya hanya dari morfologi. Beberapa literatur yang kami baca mengatakan, P. jacobsoni memang sangat mirip dengan P. aurifasciatus. Ada alternatif lain untuk mengidentifikasinya, yaitu dengan uji DNA. Tetapi hal itu belum menjadi porsi kami yang minim materi dan pengetahuan tentang hal itu.

69

Kiri: Bufo asper; kanan: Megophyrs montana

Meskipun begitu, kami tetap bersyukur karena telah mendapatkan data dasar keanekaragaman amfibi kawasan Gunung Ungaran yang berjumlah 17 spesies. Jumlah tersebut hampir setengah dari 38 spesies amfibi di Jawa (di luar spesies introduksi). Satu temuan yang menarik adalah katak pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer). Spesies dengan sebaran terbatas ini sebelumnya hanya ditemukan di daerah Jawa Barat (Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun-Salak, Situ Gunung, dan Gunung Putri), serta Jawa Timur di Gunung Wilis. Selama eksplorasi, spesies ini hanya ditemukan di hutan Banyuwindu dan Gunung Gentong, itu pun cuma empat individu. Dengan adanya temuan tersebut, informasi tentang sebaran katak cantik berwarna merah

ini pun bertambah. Dengan diperolehnya data dasar, Gunung Ungaran patut diperhitungkan dalam peta penelitian amfibi. Selain menampung spesies endemik yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya, Gunung Ungaran juga menampung hampir setengah dari jumlah amfibi yang ada di pulau Jawa. Tentunya tulisan ini hanyalah sekelumit cerita dibandingkan dengan luasnya kawasan Pegunungan Ungaran beserta keanekaragaman yang ada di dalamnya. Masih banyak yang harus dikerjakan. Masih banyak yang harus dipelajari untuk keberlangsungan hidup spesiesspesies yang habitat asli mereka sudah mulai tergantikan dengan perkebunan.

Kantong Biodiversitas

70

Inspirasi RohaneTeks dan foto oleh Swiss Winnasis

Rohana nakula

71aya tidak pernah membayangkan, kalau pada akhirnya sampai ketagihan memotret kupu-kupu. Saya memang suka kupu-kupu. Terutama karena kecantikan warna dan pola pada sayapnya. Tapi untuk memotret mereka sepertinya bukan pilihan utama. Alasannya sederhana saja; karena kelakuannya yang tidak pernah bisa diam. Kalaupun sudah diam atau hinggap, ada masalah kedua. Yaitu saya tidak bisa mendekati mereka untuk mengambil jarak terdekat. Tapi sekarang saya baru menyadari kenapa dulu terasa sangat susah mendapatkan foto kupu-kupu. Penyebab utamanya karena memang tidak ada niat saja. Sangat sederhana. Lalu kenapa tiba-tiba saya jadi keranjingan motret kupu-kupu? Pertanyaan itu seringkali dilontarkan kepada saya, dan jawabannya adalah Saya terinspirasi!. Adalah artikel Kupu-Kupu Endemik JawaBali, Nasibnya Kini yang menginspirasi saya. Artikel itu dimuat di website FOBI dan ditulis dengan apik oleh Imam Taufiqurrahman. Dalam tulisannya, Imam melampirkan foto dan tabel kupu-kupu endemik Jawa-Bali. Lalu terperangahlah saya pada foto Rohana nakula milik Karyadi Baskoro yang ditemukan di Taman nasional Baluran. Di FOBI, foto ini berjaya mendiami folder spesies ini sendirian. Menariknya, jenis ini termasuk sebagai kupu-kupu yang sangat langka. Wow! Gak trimo aku! Masa saya yang orang pribumi Baluran tidak punya fotonya, eh malah orang lain punya, begitu pikir saya. Akibatnya kemudian, satu per satu foto kupu-kupu Baluran pun mulai saya dokumentasikan. Hingga akhirnya saya benar-benar tidak menyangka kalo Baluran adalah gudangnya kupu-kupu. Bukannya nyombong atau nglamak sama Bantimurung, Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai taman nasional kupu-kupu. Tapi jika sampeyan datang ke tepi hutan campur dimana terdapat kerumunan Kirinyu (Chlomolaena odorata), maka saya menjamin, sampeyan akan keponthal-ponthal memotret kupu-kupu. Saking banyaknya.Udara akasa

S

72

Rohane Behind the SceneAtas: Sungai Kacip yang mengalir ajeg sepanjang tahun di tengah-tengah kawah Gunung Baluran yang lebat Kiri bawah: Perjalanan menuju Kacip, melewati savana Bukit Talpat yang sedang menguning Kanan bawah: Saya dan