bell's palsy onel
DESCRIPTION
bell's palsyTRANSCRIPT
1
BELL’S PALSY
Pembimbing:
dr. Dina , Sp.S
disusun oleh:
Muhammad Aldi Rivai (080100228)
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
2012
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas
berkat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima
kasih kami ucapkan kepada dokter pembimbing kami, dr. Dina, Sp.S, yang telah
bersedia menjadi pembimbing makalah ini.
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah memenuhi tugas
kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan. Besar harapan, melalui makalah ini, akan
menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang salah satu penyakit saraf,
Bell’s Palsy.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mohon maaf. Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Terima kasih.
Medan, Juni 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... iKATA PENGANTAR.................................................................................. iiDAFTAR ISI................................................................................................. iiiDAFTAR TABEL......................................................................................... vDAFTAR GAMBAR.................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................ 11.1. Latar Belakang................................................................... 11.2. Tujuan................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 32.1 Definisi Sindroma Bell’s Palsy.......................................... 32.2. Epidemiologi Sindroma Bell’s Palsy................................. 42.3. Etiologi Sindroma Bell’s Palsy.......................................... 52.4. Patogenesis dan Gejala Klinik
Sindroma Bell’s Palsy........................................................ 52.5. Diagnosa Sindroma Bell’s Palsy........................................ 52.6. Differential Diagnosa Sindroma Bell’s Palsy.................... 72.7. Tatalaksana Sindroma Bell’s Palsy.................................... 82.8. Prognosa Sindroma Bell’s Palsy........................................ 9
BAB III METODE PENULISAN.............................................................. 123.1. Sumber dan Jenis Data....................................................... 123.2. Pengumpulan Data............................................................. 123.3. Pengolahan Data................................................................ 123.4. Penarikan Kesimpulan....................................................... 12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 343.1. Kesimpulan........................................................................ 343.2. Saran................................................................................... 34
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stenosis spinal adalah penyempitan kanal spinalis dan kanal syaraf akar dengan
pembesaran sendi facet. Penyebab paling sering stenosis spinal adalah spondilosis
vertebra. Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang.
Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang
dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti
perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan
berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,
dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis
(corpus). 1,2
Stenosis lumbalis akan menyebabkan nyeri sciatic dimana ada nyeri menjalar dari
punggung bagian bawah sehingga pantat dan kaki. Nyeri sciatic ini akan
bertambah parah dengan aktivitas. Manakala, stenosis servikalis adalah kondisi
lebih parah dibandingkan stenosis lumbalis dimana terjadi paresis pada pasien
dengan stenosis servikalis. 3
Spinal stenosis dikaitkan dengan penyakit degenerasi
1.2. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi bell’s palsy
2. Mengetahui etiologi bell’s palsy
3. Mengetahui epidemiologi bell’s palsy
4. Mengetahui patogenesis dan gejala klinik bell’s palsy
5. Mengetahui diagnosa bell’s palsy
6. Mengetahui tatalaksana bell’s palsy
7. Mengetahui prognosis bell’s palsy
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tiba-tiba
pada satu sisi muka. 3
2.2. Epidemiologi
60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah bell’s palsy.4
Di Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per 100,000 orang.4 63% pasien
yang didiagnosa bell’s palsy paralisis terjadi pada bagian kanan muka. Insidensi
bell’s palsy paling banyak terjadi di Japan dan insidensi paling sedikit di Sweden. 5 Secara umum, insidensi bell’s palsy ini terjadi pada 15-30 kasus per 100,000
populasi.5 Bell’s palsy menyerang perempuan dan pria dengan insidensi yang
sama.5 Namun begitu, wanita muda pada usia 10-19 tahun lebih sering terjadi
berbanding pria pada golongan usia yang sama. Resiko terkena bell’s palsy pada
wanita hamil adala 3,3 kali lebih tinggi banding pada perempuan yang tidak
hamil. Bell’s palsy pada perempuan hamil sering terjadi pada trimester ketiga.6
2.2. Etiologi
3
Dipercayai situasi seperti angin yang dingin dapat menyebabkan bell’s palsy
namun tidak ada pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV) adalah
penyebab paling sering bell’s palsy. 8
2.3. Patofisiologi dan Gejala Klinis
Gambar 2. Anatomi
nervus fasialis.
HSV menjadi latent pada ganglion geniculate dan teraktif apabila terjadi
imunosupresi HSV ini menjadi aktif dan menyebabkan demielienisasi syaraf
fasialis. Demielienisasi syaraf fasialis akan menyebabkan gangguan konduksi
impuls sehingga menyebabkan kelemahan otot unilateral dengan gejala
logoptalamus, mulut miring, nyeri auricular posterior, hiperakusis, otalgia,
gangguan pengecapan , paraesthesia pada mulut. 9
4
2.4. Grading
Sistem grading pada pasien Bell’s palsy adalah skala I hingga VI.1
Grade I adalah fungsi fasial yang normal.
Grade II adalah disfungsi yang ringan. Kelemahan yang ringan pada inspeksi
yang teliti. Tonus ototnya normal dan simetris, pergerakkan dahi
normal, dapat menutup mata secara sempurna, mulut sedikit
asimetris dengan usaha maksimal.
Grade III adalah disfungsi sedang dimana terjadi gangguan pergerakan dahi,
ada kontrktur, mata dapat menutup dengan usaha maksimal,
pergerakan mulut sedikit melemah, tonus otot normal.
Grade IV adalah disfungsi sedang yang berat. Kelemahan yang nyata terjadi
pada grade ini dimana tidak ada pergerakan dahi sama sekali, mata
tidak menutup secara sempurna, mulut asimetris.
Grade V adalah disfungsi yang parah dimana terjadi paresis unilateral, tidak
ada pergerakan dahi , mata tidak dapat menutup sama sekali,
pergerakan mulut sedikit.
Grade VI adalah paresis total. Tidak ada pergerakan sama sekali.
2.5. Diagnosa
Anamesa pada pasien bell’s palsy dilakukan dimana pasien biasanya mengeluhkan
onset bell’s palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat terdedah situasi yang
dingin. 8
Pemeriksaan fisik pada pasien bell’s palsy menunjukkan pasien tidak dapat
mengangkat alis, tidak menutup mata secara sempurna, serta senyuman tidak
simetris. Pada pemeriksaan otologik dilakukan , biasanya pada pasien bell’s palsy
tidak ada keluhan pendengaran namun jika ada, berarti bell’s palsy disebabkan
oleh otitis media. Pemeriksaan ocular pada pasien bell’s palsy menunjukkan
pasien logotalamus dan gangguan pengeluaran tangisan. Pemeriksaan oral
menunjukka pasien bell’s palsy ada gangguan pengecapan dan saliva.9
5
2.6. Differensial Diagnosa
Diagnosa banding bell’s palsy adalah stroke sirkulasi anterior, tumor jinak
tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma, meningococcal meningitis. 10
2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bell’s palsy adalah terapi
farmakologi, terapi lokal, pembedahan. Terapi farmakologi yang diberikan pada
pasien bell’s palsy adalah pemberian kortikosteroid dimana dapat mengurangi
inflamasi sehingga dapat memperbaiki mielinasasi syaraf fasialis. Selain itu,
pemberian antiviral juga diberikan pada pasien bell’s palsy asiklovir karena
dipercayai penyebab bell’s palsy adalah HSV. Terapi lokal adalah seperti
perawatan mata karena pasien bell’s palsy ada resiko mata kering maka diberikan
lubrikasi ocular topical. Selain itu, terapi loka adalah dengan penggunaan
pemberat eksternal pada kelompok mata yang dapat memperbaiki logoptalamus.
Botulinum toksin dapat diinjeksi secara transkutaneous yang dapat merelaksasi
otot fasialis. Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien Bell’s palsy adalah
dekompresi nervus fasialis dan pembedahan ini diindikasi apabila tidak respon
terhadap terapi yang lain. 10
2.8. Prognosis
Prognosis bell’s palsy digolong ke 3 kelompok ; dimana kelompok 1 terjadinya
kesembuhan komplit fungsi motorik tanpa sekuele, kelompok 2 terjadi
penyembuhan inkomplit fungsi motorik tetapi tidak ada defek kosmetik,
kelompok 3 terjadi sekuale neurologis yang tetap dan gangguan kosmetik. Pasien
biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun prognosis
menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total, penurunan
pengecapan atau saliva.10
BAB III
METODE PENULISAN
6
1.1. Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam karya tulis ini bersumber dari berbagai
referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas.
Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif
1.2. Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan
dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku ilmiah, tesis,
jurnal ilmiah, majalah dan artikel ilmiah, serta data dari internet. Data-data
tersebut dikaji dan dipilih berdasarkan teknik critical apraisal yakni validitas,
hasil, dan relevansinya dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau analisis
pembahasan.
1.3. Pengolahan Data
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara sistematis, mulai
dari latar belakang hingga kesimpulan dan saran.
1.4. Penarikan Simpulan
Setelah proses analisis data, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun
dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan landasan teori.
Selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan
beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.
7
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Bell’s palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tiba-
tiba pada satu sisi muka.3
2. Resiko terkena bell’s palsy pada wanita hamil adala 3,3 kali lebih tinggi
banding pada perempuan yang tidak hamil. Bell’s palsy pada perempuan
hamil sering terjadi pada trimester ketiga.6
3. Dipercayai situasi seperti angin yang dingin dapat menyebabkan bell’s palsy
namun tidak ada pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV) adalah
penyebab paling sering bell’s palsy. 8
4. Demielienisasi syaraf fasialis akan menyebabkan gangguan konduksi impuls
sehingga menyebabkan kelemahan otot unilateral dengan gejala
logoptalamus, mulut miring, nyeri auricular posterior, hiperakusis, otalgia,
gangguan pengecapan , paraesthesia pada mulut. 9
5. Sistem grading pada pasien Bell’s palsy adalah skala I hingga VI.1
6. Anamesa pada pasien bell’s palsy dilakukan dimana pasien biasanya
mengeluhkan onset bell’s palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat
terdedah situasi yang dingin. 8
7. Diagnosa banding bell’s palsy adalah stroke sirkulasi anterior, tumor jinak
tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma, meningococcal meningitis. 10
8. Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bell’s palsy adalah terapi
farmakologi, terapi lokal, pembedahan.
9. Pasien biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun
prognosis menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total,
penurunan pengecapan atau saliva.10
4.2. Saran
8
1. Diagnosa dan tatalaksana bell’s palsy harus dilakukan secepat mungkin
untuk menghindari defisit nervus fasialis yang menetap.
2. Dilakukan penelitian deskriptif mengenai bell’s palsy untuk mengetahui
prevalensi dan insidensi sindroma ini.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Peitersen E. The natural history of Bell’s palsy. Am J Otol. Oct 2002;
4(2):107-11.
2. Hashisaki GT. Medical management of Bell’s palsy. Compr Ther. Nov
2007;23(11):715-8.
3. Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT Morrison JM, Smith BH, Mckinstry B,
et al. Early treatment with prednisolone oracyclovir in Bell’s palsy. N Engl
J Med. Oct 18 2007; 357(16):1598-607.
4. McCormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bell’s palsy. Lancet.
Apr 29 2001; 1(7757):937-9.
5. Stowe J, Andrews N, Wise