bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 hasil...
TRANSCRIPT
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Evaluasi Pelaksanaan Kebijaksanaan PPh Pasal 21 PDAM Kota
Gorontalo
Suatu sistem manajemen pajak yang efektif merupakan hal terpenting bagi
perusahaan untuk tetap bertahan dalam kondisi yang sekarang ini, untuk itu
diperlukan adanya suatu perencanaan pajak (tax planning) dalam rencana kerja
tanpa harus melanggar Undang-undang Perpajakan yang berlaku. Pelaksanaan
perencanaan PPh Pasal 21 oleh perusahaan diharapkan dapat meminimumkan
beban pajak terhutang karyawan, yang nantinya akan menguntungkan kedua belah
pihak. Kebijakan PDAM Kota Gorontalo terhadap karyawannya yang
berhubungan dengan perpajakan khususnya PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan setahun karyawan berasal dari gaji pokok saja ditambah dengan
Tunjangan Hari Raya itupun hanya untuk karyawan yang bekerja dengan masa
kerja satu tahun penuh.
2. Untuk lebih memotivasi kinerja karyawan dan lebih memperlancar kegiatan
operasi perusahaan maka perusahaan memberikan kepada karyawannya
fasilitas-fasilitas berupa natura seperti makan siang ditempat, tempat tinggal
atau mess bagi kepala badan dan karyawan disediakan balai kesehatan.
3. Ditanggungnya seluruh PPh Pasal 21 terutang karyawan oleh perusahaan.
Berdasarkan kebijakan perusahaan di atas dan setelah dilakukan evaluasi
perhitungan SPT 1721 tahun 2011 yang dilakukan oleh PDAM Kota Gorontalo
34
pada bab 3 tadi maka dapat dilihat beberapa masalah yang menghambat kegiatan
operasi perusahan bahkan untuk kelangsungan hidup perusahaan. Masalah-
masalah tersebut akan dibahas dibawah ini beserta jalan keluarnya yang
merupakan bagian dari perencanaan pajak khususnya untuk PPh Pasal 21, yaitu:
1. Masih ditanggungnya PPh Pasal 21 karyawan secara keseluruhan oleh
perusahaan namun perusahaan tidak dapat membebankan biaya penanggungan
PPh Pasal 21 tersebut sebagai biaya fiskal perusahaan.
Berdasarkan Undang-undang Perpajakan No.17 tahun 2008 Pasal 9 ayat 1
(h) menyebutkan bahwa biaya atas penanggungan pembayaran PPh oleh
perusahaan merupakan biaya yang tidak dapat dijadikan biaya oleh
perusahaan dalam laporan keuangan fiskal. Terjadinya kondisi di atas
dikarenakan maksud awal perusahaan agar karyawan merasa senang atas
penghasilan yang diterima setiap bulannya dapat diterima penuh tanpa
potongan apapun. Apalagi perusahaan hanya memberikan gaji pokok saja
setiap bulannya tanpa tambahan kenikmatan lainnya.
Akibat hal tersebut perusahaan akan dirugikan secara material karena
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menanggung PPh Pasal 21
karyawan tidak dapat dijadikan biaya dalam laporan keuangan fiskal, dengan
begitu biaya yang dikeluarkan perusahaan berjumlah besar dengan hasil akhir
pajak badan yang juga berjumlah besar. Sebaiknya perusahaan memberikan
tunjangan PPh dengan cara gross up karena dengan begitu kedua belah pihak
akan diuntungkan satu sama lain. Di sisi perusahaan tunjangan PPh dapat
dijadikan biaya dalam laporan keuangan fiskal sehingga dapat menekan beban
35
pajak badan dan disisi karyawan pendapatan yang diterimanya tetap seutuhnya
karena perusahaan memberikan tunjangan PPh Pasal 21nya sebesar jumlah
PPh Pasal 21 terutang.
2. Adanya kebijakan yang dilakukan oleh PDAM Kota Gorontalo dalam
pemberian natura kepada karyawannya seperti pemberian mess (tempat
tinggal) dan balai kesehatan, namun perusahaan tidak dapat membebankan
biaya pemberian natura tersebut sebagai biaya fiskal perusahaan Berdasarkan
Undang-undang Pajak No.36 tahun 2008 Pasal 6 ayat 1 (a) menyebutkan
tunjangan dalam bentuk uang dapat dijadikan biaya oleh perusahaan dalam
laporan keuangan fiskal. Akan tetapi pemberian natura selain dalam bentuk
uang tidak dibolehkan dijadikan biaya, kecuali pemberian natura berupa
makan siang ditempat dan layanan bus antar jemput karyawan, sesuai dengan
Undang-undang Pajak No. 36 tahun 2008 Pasal 9 ayat 1 (e).
Perusahaan memberikan natura seperti mess (tempat tinggal) dan balai
kesehatan disebabkan adanya maksud perusahaan agar karyawan dapat
meningkatkan produktifitas kerjanya dan lebih memperlancar kegiatan operasi
perusahaan. Hal tersebut memang dapat saja dilakukan perusahaan tapi
sangatlah merugikan karena akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh natura tadi tidak dapat dijadikan biaya pada saat pembuatan
laporan keuangan fiskal, otomatis hal tersebut bisa membuat pajak badan
menjadi lebih besar karena biaya yang dibebankan perusahaan terlalu kecil.
Untuk itu sebaiknya perusahaan memberikan natura atau kenikmatan
kepada karyawannya berupa tunjangan yang berbentuk uang, sebagaimana
36
yang dimaksud point 1. Dalam kasus ini, alangkah baik PDAM Kota
Gorontalo memberikan tunjangan berupa tunjangan rumah dan tunjangan
kesehatan.
3. Terdapat kesalahan hitung dalam SPT 1721 tahun pajak 2004 khususnya pada
perhitungan PPh Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah. Sebagai contoh
karyawan PDAM Kota Gorontalo yang bernama Lefrin Sako dengan status
K/3, nominal PPh Pasal 21 yang ditanggung Pemerintahnya berjumlah lebih
kecil dari yang seharusnya (dalam SPT 1721 berjumlah Rp.126.500
sedangkan jumlah seharusnya Rp. 138.000).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2006 menyebutkan
bahwa karyawan yang penghasilannya dibawah Rp. 2.000.000 maka atas
penghasilannya yang Rp.1.000.000 PPh Pasal 21 nya akan ditanggung
Pemerintah, otomatis karyawan yang penghasilan perbulannya dibawah Rp.
1.000.000 secara langsung PPh Pasal 21 nya nihil atau karyawan tersebut
tidak dibebani PPh Pasal 21 terutang.
Pemberlakuan sistem self assessment adalah sebab utama terjadinya
kondisi tadi, penyebab lainnya adalah staf perpajakan yang dimiliki PDAM
Kota Gorontalo kurang berkualitas atau kurang paham tentang pajak.
Akibatnya jumlah PPh Pasal 21 terutang karyawan bisa menjadi lebih
besar. Hal tersebut selain merugikan karyawan juga sangat merugikan
perusahaan karena dapat memperbesar biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Apalagi pada saat ini perusahaan masih menanggung pembayaran PPh Pasal
37
21 karyawan yang sebenarnya biaya tersebut tidak dapat dijadikan biaya
dalam laporan keuangan fiskal.
Untuk itu lebih baik PDAM Kota Gorontalo memberikan tunjangan pajak
agar biaya yang dikeluarkannya boleh mengurangi pendapatan perusahaan
seperti yang dimaksud point-point sebelumnya. Tunjangan PPh diberikan
untuk karyawan yang penghasilannya di atas Rp. 1.000.000 perbulan. Selain
itu sebaiknya perusahaan mempunyai staf perpajakan yang benar-benar
menguasai tentang perpajakan atau memberikan pelatihan/pendidikan
kepadanya sehingga memperkecil kesempatan adanya salah hitung kembali
dalam menghitung pajak terutangnya.
4. Tidak dilakukan pembulatan ribuan pada saat perhitungan PKP dalam mencari
PPh Pasal 21 terutang. Sebagai contoh PKP milik salah seorang karyawan
PDAM Kota Gorontalo yang bernama Alidah dengan status TK/0, dalam SPT
1721 A1 miliknya, PKP tersebut berjumlah Rp. 5.413.334. Seharusnya jika
dilakukan pembulatan PKP nya menjadi Rp. 5.413.000.
Kondisi di atas terjadi disebabkan kurangnya pengetahuan pajak yang
dimiliki staff perpajakan PDAM Kota Gorontalo. Akibatnya walaupun
pembulatan yang tidak dilakukan perusahaan bernominal kecil namun hal
tersebut lambat laun dapat saja menyebabkan jumlah PPh Pasal 21 terutang
menjadi lebih besar. Oleh karena itu PDAM Kota Gorontalo sebaiknya
melakukan pembulatan pada saat perhitungan PKP dalam PPh Pasal 21,
karena hal tersebut sangat menguntungkan (dapat mengurangi besarnya
jumlah pajak terutang). Selain itu sebaiknya perusahaan mempunyai staff
38
perpajakan yang benar-benar menguasai tentang perpajakan atau dengan
memberikan pelatihan/pendidikan kepadanya.
5. Tidak dilakukannya update data karyawan oleh perusahaan, dalam hal ini
adalah update status Wajib Pajak. Sebagai contoh salah seorang karyawan
PDAM Kota Gorontalo yang bernama Lefrin Sako. Pada awal masuk bekerja
tahun 2010 ia berstatus K/2. Kemudian pada pertengahan tahun 2011 isterinya
melahirkan kembali yang hal tersebut seharusnya merubah status
tanggungannya dalam perhitungan PTKP untuk tahun 2012 karena dari
statusnya K/2 menjadi K/3. Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Pajak
No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa penerapan
besarnya PTKP ditentukan oleh keadaan awal tahun pajak, dalam hal ini awal
tahun takwim.
Sebab terjadinya kondisi diatas karena kurangnya pengetahuan pajak yang
dimiliki oleh karyawan PDAM Kota Gorontalo khususnya pengetahuan yang
mengharuskan dirinya melakukan pelaporan atas datanya jika mengalami
perubahan.
Akibatnya adalah PTKP karyawan tersebut akan berjumlah lebih kecil dari
yang seharusnya sehingga PPh Pasal 21 nya akan berjumlah lebih besar, Oleh
karena itulah hal tersebut akan merugikan bagi karyawan itu sendiri.
Sebaiknya setiap karyawan PDAM Kota Gorontalo diberikan
pendidikan/pelatihan tentang perpajakan atau setidak-tidaknya bagian staf
perpajakan setiap awal tahun pajak menanyakan informasi tentang ada atau
tidak adanya perubahan status atau perubahan data lainnya milik setiap
39
karyawan, sehingga tidak terjadi lagi kerugian baik dari sisi karyawan maupun
dari sisi perusahaan.
Dengan timbulnya beberapa masalah tadi maka dapat disimpulkan bahwa
PDAM Kota Gorontalo belum melaksanakan perencanaan pajak secara efektif
khususnya untuk PPh Pasal 21 karyawan dan hal tersebut sangatlah
merugikan, baik itu bagi perusahaan sendiri maupun bagi karyawan.
4.1.2 Analisis Perhitungan PPh Pasal 21 Dengan Perencanaan Pajak
Setelah disimpulkan bahwa PDAM Kota Gorontalo belum melaksanakan
perencanaan pajak secara efektif khususnya untuk PPh Pasal 21, maka dibawah
ini merupakan beberapa contoh perhitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan
tiga alternatif, yaitu perhitungan PPh Pasal 21 tanpa pemberian tunjangan (PPh
Pasal 21 ditanggung perusahaan), perhitungan PPh Pasal 21 dengan diberikan
tunjangan PPh dan perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross up serta
ditambah dengan pemberian tunjangan tempat tinggal & tunjangan kesehatan
dalam setiap alternatif sebagaimana telah disebutkan dalam saran di atas tadi.
Adapun perinciannya sebagai berikut:
1. Mr. SS merupakan Direktur PDAM Kota Gorontalo yang berstatus K/1. Setiap
Bulan ia menerima gaji pokok sebesar Rp.7.500.000 dengan tunjangan rumah
dan kesehatan sebesar Rp. 250.000. Jadi jumlah penghasilan bruto yang
diterimanya setiap bulan sebesar Rp. 7.750.000. Oleh karena itulah PPh Pasal
21 terutangnya nanti tidak ada yang ditanggung pemerintah. Di bawah ini
merupakan perhitungan PPh Pasal 21 Mr. SS setelah disetahunkan, yaitu:
40
Tabel 3
Perhitungan Gross Up
Uraian
Tanpa Tunjangan
PPh (Rp.)
Tunjangan
PPh (Rp.) Gross Up (Rp.)
Gaji setahun 90.000.000 90.000.000 90.000.000
Tunjangan rumah dan
kesehatan
3.000.000 3.000.000 3.000.000
Tunjangan PPh - 4.882.000 7.214.118
Jumlah penghasilan bruto 93.000.000 97.882.000 100.214.118
Pengurangan:
5% x penghasilan bruto
Max. 6.000.000/tahun
(6.000.000) (6.000.000) (6.000.000)
Penghasilan netto setahun 87.000.000 91.882.000 94.214.118
PTKP (21.120.000) (21.120.000) (21.120.000)
PKP 65.880.000 70.762.000 73.094.118
PPh Pasal 21 setahun 4.882.000 5.614.300 5.964.118
Tunjangan PPh - (4.882.000) (7.214.118)
PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
4.882.000 732.300 1.250.000
Perhitungan PPh Pasal 21 setahun:
1. 5% x 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x 15.880.000 = Rp. 2.382.000
PPh Pasal 21 setahun Rp. 4.882.000
2. 5% x 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x 20.762.000 = Rp. 3.114.300
PPh Pasal 21 setahun Rp. 5.614.300
3. 5% x 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x 23.094.118 = Rp. 3.464.118
PPh Pasal 21 setahun Rp. 5.964.118
PTKP:
Wajib Pajak Pribadi Rp. 15.840.000
Wajib Pajak Kawin Rp. 1.320.000
Tanggungan 3 Rp. 3.960.000
Total PTKP Rp. 21.120.000
41
Perhitungan Tunjangan Gross Up:
= 1/204 (3 x Rp. 65.880.000) - Rp. 75.000.000)
= 1/204 x (Rp. 19.7640.000 - Rp. 75.000.000)
= 1/204 x Rp. 122.640.000
= Rp. 601.176
= Rp. 601.176 x 12 = Rp. 7.214.118
2. Mr. IM merupakan karyawan PDAM Kota Gorontalo dengan status K/3.
Setiap bulannya ia menerima gaji pokok sebesar Rp. 2.665.000 dengan
tunjangan rumah dan kesehatan sebesar Rp. 250.000. Jadi dengan begitu
jumlah penghasilan bruto yang diterimanya setiap bulan berjumlah Rp.
2.915.000. Dikarenakan penghasilan bruto Mr. IM setiap bulannya masih
dibawah Rp. 5.000.000 maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47
tahun 2009, PPh Pasal 21 Mr. IM sebagian masih ditanggung Pemerintah (atas
penghasilan yang Rp. 2.000.000). Perhitungan PPh Pasal 21 yang sebagian
ditanggung pemerintah, gross up nya dilakukan dua kali agar selisih yang ada
dalam PPh Pasal 21 disetor (dalam gross up awal) bisa sesuai dengan
tunjangan PPh gross up yang diberikan perusahaan (dalam hal ini tunjangan
yang akan diberikan perusahaan sebesar tunjangan PPh yang ada dalam tabel
gross up akhir). Di bawah ini merupakan perhitungan PPh Pasal 21 Mr. IM
setelah disetahunkan, yaitu:
42
Tabel 4
Perhitungan Gross Up
Uraian
Tanpa
Tunjangan PPh
(Rp.)
Tunjangan
PPh (Rp.)
Gross Up
Awal (Rp.)
Gross Up
Akhir (Rp.)
Gaji setahun 31.980.000 31.980.000 31.980.000 31.980.000
THR 1.750.000 1.750.000 1.750.000 1.750.000
Tunjangan rumah dan
kesehatan
3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
Tunjangan PPh - 605.000 654.000 636.000
Jumlah penghasilan bruto 36.730.000 37.335.000 37.384.000
37.366.000
Pengurangan:
Biaya jabatan:
5% x penghasilan bruto
(1.836.500) (1.866.750) (1.869.200) (1.868.300)
Penghasilan netto
setahun
34.893.500 35.468.250 35.514.800 35.497.700
PTKP (17.160.000) (17.160.000) (17.160.000) (17.160.000)
PKP 17.733.500 18.308.250 18.354.800 18.337.700
PPh Pasal 21 setahun 887.000 915.000 918.000 917.000
PPh Pasal 21 ditanggung
Pemerintah
(282.000) (282.000) (282.000) (282.000)
Total PPh Pasal 21
setahun
605.000 633.000 636.000 636.000
Tunjangan PPh (605.000) (654.000) (636.000)
PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
605.000 28.000 (18.000) -
Perhitungan PPh Pasal 21 setahun:
1. 5% x Rp. 17.733.500 = Rp. 887.000
2. 5% x Rp. 18.308.250 = Rp. 915.000
3. 5% x Rp. 18.354.800 = Rp. 918.000
4. 5% x Rp. 18.337.700 = Rp. 917.000
PTKP
Wajib Pajak Pribadi Rp. 15.840.000
Wajib Pajak Kawin Rp. 1.320.000
Total PTKP Rp. 17.160.000
Perhitungan Tunjangan PPh dengan
Gross Up Awal:
43
Rp. 17.733.500 x 1/228,6 = Rp. 78.000
Rp. 78.000 x 12 = Rp. 936.000
Rp. 936.000 - Rp. 282.000 = Rp. 654.000
Perhitungan Tunjangan PPh dengan
Gross Up Akhir:
Rp. 17.733.500 x 1/228,6 = Rp. 78.000
Rp. 78.000 x 12 = Rp. 936.000
Rp. 936.000 - Rp. 282.000 - 18.000 = Rp. 636.000
Perhitungan PPh Pasal 21ditanggung Pemerintah:
Gaji Rp. 2.000.000 x 12 bulan Rp. 24.000.000
Biaya jabatan 5% x Rp. 24.000.000 Rp. (1.200.000)
PTKP Rp. (17.160.000)
PKP Rp. 5.640.000
Tarif 5% x Rp. 5.640.000 = Rp. 282.000
3. Mr. LS merupakan karyawan pada PDAM Kota Gorontalo dengan status K/2
pada awal masuk bekerja tahun 2006. Pada tahun 2011 Mr. LS mempunyai
anak lagi yang hal tersebut seharusnya merubah status tanggungannya dalam
perhitungan PTKP. Besarnya gaji pokok sebulan adalah Rp. 2.048.750 dengan
tambahan tunjangan rumah dan kesehatan sebesar Rp. 250.000. Jadi
penghasilan bruto yang diterimanya setiap bulan berjumlah Rp. 2.298.750.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2009, PPh Pasal 21 Lefrin
Sako sebagian masih ditanggung Pemerintah (atas penghasilan yang Rp.
2.000.000). Maka perhitungan gross up nya akan dilakukan dua kali agar
selisih yang ada dalam PPh Pasal 21 disetor (dalam tabel gross up awal) bisa
sesuai dengan tunjangan PPh gross up yang diberikan perusahaan (dalam hal
ini tunjangan yang akan diberikan perusahaan sebesar tunjangan PPh yang ada
44
dalam tabel gross up akhir). Di bawah ini merupakan perhitungan PPh Pasal
21 Mr. LS setelah disetahunkan, yaitu:
Tabel 5
Perhitungan Gross Up
Uraian
Tanpa
Tunjangan
PPh (Rp.)
Tunjangan
PPh (Rp.)
Gross Up
Awal (Rp.)
Gross Up
Akhir (Rp.)
Gaji setahun 24.585.000 24.585.000 24.585.000 24.585.000
THR 1.750.000 1.750.000 1.750.000 1.750.000
Tunjangan rumah dan
kesehatan
3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
Tunjangan PPh - 253.000 270.000 266.000
Jumlah penghasilan bruto 29.335.000 29.588.000 29.605.000 29.601.000
Pengurangan:
Biaya jabatan 5% x penghasilan
bruto
(1.467.000) (1.479.000) (1.480.000) (1.480.000)
Penghasilan netto setahun 27.868.000 28.109.000 28.125.000 28.121.000
PTKP (19.800.000) (19.800.000) (19.800.000) (19.800.000)
PKP 8.068.000 8.309.000 8.325.000 8.321.000
PPh Pasal 21 setahun 403.000 415.000 416.000 416.000
PPh Pasal 21 ditanggung
Pemerintah
(150.000) (150.000) (150.000) (150.000)
Total PPh Pasal 21 setahun 253.000 265.000 266.000 266.000
Tunjangan PPh - (253.000) (270.000) (266.000)
PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
253.000 12.000 (4.000) --
Perhitungan PPh Pasal 21 setahun:
1. 5% x Rp. 8.068.000 = Rp. 403.000
2. 5% x Rp. 8.309.000 = Rp. 415.000
3. 5% x Rp. 8.325.000 = Rp. 416.000
4. 5% x Rp. 8.321.000 = Rp. 416.000
PTKP:
Wajib Pajak Pribadi Rp. 15.840.000
Wajib Pajak Kawin Rp. 1.320.000
45
Tanggungan 2 Rp. 2.640.000
Total PTKP Rp. 19.800.000
Perhitungan Tunjangan Gross Up Awal:
Rp. 8.068.000 x 1/228,6 = Rp. 35.000
Rp. 35.000 x 12 = Rp. 420.000
Rp. 420.000 - 150.000 = Rp. 270.000
Perhitungan Tunjangan Gross Up Akhir:
Rp. 8.068.000 x 1/228,6 = Rp. 35.000
Rp. 35.000 x 12 = Rp. 420.000
Rp. 420.000 - 150.000 – 4.000 = Rp. 266.000
Perhitungan PPh Pasal 21ditanggung Pemerintah:
Gaji Rp. 2.000.000 x 12 bulan Rp. 24.000.000
Biaya jabatan 5% x Rp. 24.000.000 Rp. (1.200.000)
PTKP Rp. (19.800.000)
PKP Rp. 3.000.000
Tarif 5% x Rp. 3.000.000 = Rp. 150.000
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis di atas dan dari beberapa alternatif yang ada,
perbandingan antara gaji Dibawah pulang (take home pay), biaya komersial dan
fiskal merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka
pemilihan alternatif. Di bawah ini adalah suatu ringkasan dari beberapa contoh
tadi dengan beberapa alternatif yang ada, yaitu sebagai berikut:
Tabel 6
Perbandingan Perhitungan Take Home Pay, Biaya Fiskal, Biaya Komersial
dan Selisih Antara Keduanya
Uraian Sesuai Kebijakan
Yang Dijalankan
Perusahaan (Rp.)
Tanpa
Tunjangan
PPh (Rp.)
Tunjangan
PPh (Rp.)
Gross Up
(Rp.)
46
Dibayar Perusahaan Dibayar
Perusahaan
Take Home Pay
Gaji 146.565.000 146.565.000 146.565.000 146.565.000
THR 3.500.000 3.500.000 3.500.000 3.500.000
Tunjangan PPh - - 5.740.000 11.029.000
Tunjangan Rumah & Kesehatan
-
6.600.000
6.600.000
6.600.000
Dikurangi:
PPh Pasal 21 - - (6.512.300) (6.866.118)
Jumlah 150.065.000 156.665.000 155.892.700 160.827.882
Biaya Fiskal
Penghasilan Bruto 150.065.000 156.665.000 155.892.700 160.827.882
Ditambah:
Makan Siang &
Antar Jemput Karyawan(natura)
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
Jumlah 160.865.000 167.465.000 166.692.700 171.627.882
Biaya Komersial
Biaya Fiskal 160.865.000 167.465.000 166.692.700 171.627.882
Ditambah:
PPh Pasal 21 4.525.700 5.740.000 - -
Jumlah 165.390.700 173.205.000 166.692.700 171.627.882
Selisih B. Fiskal
dan B. Komersial
4.525.700 5.740.000 - -
Ikhtisar dari take home pay, biaya fiskal dan biaya komersial serta
selisihnya merupakan faktor-faktor penentuan pemilihan alternatif yang dapat
dilihat di awah ini:
Tabel 7
Pemilihan Alternatif
Uraian Take Home
Pay (Rp.)
Biaya Fiskal
(Rp.)
Biaya
Komersial
(Rp.)
Selisih Biaya
Fiskal &
Biaya
Komersial
(Rp.)
Sesuai dengan kebijakan yang
dijalankan perusahaan (tanpa
tunjangan rumah, tunjangan
kesehatan dan
tunjangan PPh) – dibayarkan
perusahaan
146.565.000 160.865.000 165.390.700 4.525.700
47
Diberikan tunjangan rumah dan
tunjangan kesehatan (tanpa
tunjangan PPh) – dibayarkan
perusahaan
156.665.000 167.465.000 173.205.000 9.454.000
Diberikan tunjangan PPh dan
tunjangan rumah serta tunjangan
kesehatan
155.892.700 166.692.700 166.692.700 -
Diberikan tunjangan PPh (Gross
Up) dan tunjangan rumah serta
tunjangan kesehatan
160.827.882 171.627.882 171.627.882 -
Setelah memperhatikan alternatif di atas maka pilihan dijatuhkan pada
alternatif keempat, karena dari sudut pandang karyawan gaji yang dibawa pulang
mereka merupakan jumlah yang terbesar (Rp. 160.827.882), tanpa adanya selisih
biaya fiskal dan biaya komersial yang dapat memperbesar jumlah PPh Badan dan
juga pemilihan alternatif keempat ini dapat menghemat PPh Pasal 21 karyawan
sebesar Rp. 11.029.000.
Penghematan disini bukan berarti tidak ada transaksi pembayaran PPh
pasal 21 karyawan, akan tetapi penghematan atas tidak ada lagi pajak yang
dipotong dari penghasilan pokok karyawan. Dari segi komersial, biaya fiskal yang
besar tampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus diperhatikan pula bahwa
akibat biaya fiscal yang besar akan berdampak kepada laba sebelum pajaknya
menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh Badan pun akan menjadi lebih kecil.
Alternatif kedua memang menguntungkan dari sisi karyawan karena gaji
yang dibawa pulang mereka juga merupakan jumlah yang terbesar (Rp.
160.827.882). Akan tetapi disisi perusahaan pemilihan alternatif ini sangat
merugikan karena adanya selisih biaya fiskal dan komersial akibat PPh 21
ditanggung perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan koreksi fiskal sebesar Rp.
48
5.740.000 yang berarti adanya pertambahan PPh Badan sekitar 25% x Rp.
5.740.000 = Rp. 1.435.000.
Alternatif ketiga sebaiknya tidak dilakukan oleh perusahaan karena
walaupun selisih biaya fiskal dan biaya komersial tidak ada, akan tetapi gaji
yang dibawa pulang karyawan tidaklah maksimal, hal ini sangat merugikan
karyawan. Alternatif pertama adalah alternatif yang sekarang dijalankan
perusahaan. Hal ini sebaiknya tidak lagi dilakukan perusahaan karena merugikan
kedua belah pihak, baik itu karyawan maupun perusahaan. Disisi karyawan gaji
yang dibawa pulang merupakan jumlah terkecil dari empat alternatif di atas (Rp.
146.565.000) dan disisi perusahaan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp. 4.525.700
yang dapat mengakibatkan jumlah PPh Badan bertambah besar (25% x Rp.
4.525.700= Rp. 1.131.000).
Untuk lebih memudahkan dalam menilai seberapa besar keseluruhan
keuntungan karyawan dan perusahaan dalam menggunakan metode gross up,
maka di bawah ini merupakan ringkasan perhitungan PPh Pasal 21 atas seluruh
karyawan PDAM Kota Gorontalo sesuai dengan peraturan perpajakan, yaitu
sebagai berikut:
49
Tabel 8. Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan PDAM Kota Gorontalo Tahun 2011
(Metode Gross Up)
No Nama Status Penghasilan
Bruto (Rp.)
Penghasilan
Netto (Rp.)
PKP (Rp.)
PPh
Pasal 21
Terutang (Rp.)
PPh 21
ditanggung
Pemerintah (Rp.)
Tunjangan
PPh
(Gross Up) (Rp.)
PPh
Pasal 21
Dipotong (Rp.)
1 ID TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
2 H TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
3 AS TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
4 MM TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
5 PI TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
6 MH TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
7 NS TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
8 MB TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
9 AS TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
10 AP TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
11 HI TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
12 AI TK2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
13 SH TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
14 SA TK2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
15 BE TK/2 10.529.825 10.003.334 7.123.000 356.000 426.000 - -
16 HL TK/0 5.750.675 5.463.141 2.583.000 129.000 249.000 - -
17 NH TK/0 7.282.748 6.918.611 4.039.000 202.000 350.000 - -
18 OD TK/0 4.796.369 4.556.551 1.677.000 84.000 249.000 - -
19 RP TK/0 4.477.953 4.254.055 1.374.000 69.000 213.000 - -
20 SM TK/0 6.033.888 5.732.194 2.852.000 143.000 284.000 - -
21 SL TK/0 5.839.958 5.547.960 2.668.000 133.000 284.000 - -
49
50
22 DW TK/0 7.664.842 7.281.600 4.402.000 220.000 355.000 - -
23 RS TK/0 7.539.914 7.162.918 4.283.000 214.000 355.000 - -
24 SK TK/0 6.257.468 5.944.595 3.065.000 153.000 282.000 - -
25 ES K/3 12.899.000 12.254.000 6.494.000 325.000 282.000 43.000 -
26 LS K/2 29.601.000 28.121.000 8.321.000 416.000 150.000 266.000 -
27 AR K/3 21.572.000 20.493.000 11.853.000 593.000 138.000 455.000 -
28 NY K/1 15.130.000 14.373.000 8.613.000 431.000 282.000 149.000 -
29 RA K/2 11.680.025 11.096.024 8.216.000 411.000 426.000 - -
30 MH K/3 15.549.000 14.771.000 9.011.000 451.000 282.000 169.000 -
31 ML K/2 22.962.000 21.814.000 18.934.000 948.000 426.000 522.000 -
32 VK K/2 10.524.588 9.998.359 7.118.000 356.000 426.000 - -
33 AP K/2 10.492.638 9.968.006 7.008.000 354.000 426.000 - -
34 IM K/3 37.366.000 35.497.700 18.337.700 917.000 282.000 636.000 -
35 SL K/2 15.636.000 14.854.000 11.974.000 600.000 426.000 174.000 -
36 FS K/2 10.737.500 10.200.625 3.000.000 150.000 210.000 - -
37 HP K/2 10.737.500 10.200.625 7.321.000 366.000 426.000 - -
38 SS K/1 100.214.118 94.214.118 73.094.118 5.964.118 - 7.214.118 -
Jumlah 538.692.559 510.767.092 333.082.818 18.969.118 13.193.000 9.628.118 -
51
Berdasarkan ringkasan perhitungan tadi akan kita bandingkan dengan
perhitungan yang dijalankan perusahaan sebelumnya, agar terlihat jelas perbedaan
sebelum perencanaan pajak dan setelah perencanaan pajak, perhitungannya adalah
sebagai berikut:
Tabel 9
Perbandingan Perhitungan Take Home Pay, Biaya Fiskal, Biaya Komersial
dan Selisih Antara Keduanya
Uraian Sesuai Kebijakan
Yang Dijalankan
Perusahaan
(Rp.) Dibayar
Perusahaan
Gross Up
(Rp.)
Take Home Pay
Gaji Setahun & THR 438.022.000 433.064.000
Tunjangan PPh - 12.541.000
Tunjangan Rumah & Kesehatan - 69.600.000
Dikurangi:
PPh Pasal 21 (12.541.000)
Jumlah 438.022.000 502.664.000
Biaya Fiskal
Penghasilan Bruto 438.022.000 515.205.000
Ditambah:
Makan Siang & Biaya Layanan
Antar Jemput Karyawan (Natura)
138.800.000 136.800.000
Jumlah 576.822.000 652.005.000
Biaya Komersial
Biaya Fiskal 576.822.000 652.005.000
Ditambah:
PPh Pasal 21 10.422.000 -
Jumlah 587.224.000 652.005.000
Selisih Biaya Fiskal dan Biaya
Komersial
10.422.000 -
52
Ikhtisar dari take home pay, biaya fiskal dan biaya komersial serta
selisihnya merupakan faktor-faktor penentuan pemilihan alternatif yang dapat
dilihat di bawah ini:
Tabel 10
Pemilihan Alternatif
Uraian Take Home
Pay (Rp.)
Biaya Fiskal
(Rp.)
Biaya Komersial
(Rp.)
Selisih Biaya
Fiskal & Biaya
Komersial
(Rp.)
Sesuai dengan
kebijakan yang
dijalankan
perusahaan (tanpa
tunjangan rumah,
tunjangan
kesehatan dan
tunjangan PPh) –
dibayarkan
perusahaan
438.022.000 576.822.000 587.224.000 10.422.000
Diberikan
tunjangan PPh
(Gross Up) dan
tunjangan rumah
serta tunjangan
kesehatan
502.664.000 652.005.000 652.005.000 -
Setelah memperhatikan alternatif di atas maka sudah jelas penggunaan
metode gross up sangatlah menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dilihat dari
sudut pandang karyawan gaji yang dibawa pulang mereka merupakan jumlah
yang terbesar (Rp. 502.664.000), tanpa adanya selisih biaya fiskal dan biaya
komersial dan juga pemilihan alternatif metode groos up ini dapat menghemat
PPh Pasal 21 karyawan sebesar Rp. 12.542.000. Selain itu adanya kenaikan biaya
fiskal sebesar Rp. 75.183.000 yang akan berdampak kepada laba sebelum
pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh Badan pun akan menjadi lebih
53
kecil oleh karena itulah perusahaan juga akan diuntungkan jika menggunakan
metode gross up ini.
Kebijakan pajak yang sekarang dijalankan perusahaan sebaiknya tidak lagi
dilakukan perusahaan karena sangat merugikan kedua belah pihak, baik itu
karyawan maupun perusahaan. Disisi karyawan gaji yang dibawa pulang mereka
sangatlah tidak maksimal karena hanya mengandalkan gaji pokok dan THR saja.
Selain itu dilihat dari sisi perusahaan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp.10.422.000
yang dapat mengakibatkan jumlah PPh Badan juga akan bertambah besar (25% x
Rp. 10.422.000 = Rp. 2.606.000).
Dampak Perencanaan PPh Pasal 21 Terhadap Karyawan dan Perusahaan
Beberapa dampak positif baik untuk karyawan maupun perusahaan setelah
dilakukan perencanaan pajak PPh Pasal 21 dengan metode gross up, yaitu:
1. Adanya penghematan PPh Pasal 21 karyawan yang dilakukan perusahaan
sebesar Rp. 12.542.000. Penghematan disini bukan berarti tidak ada transaksi
pembayaran PPh pasal 21 karyawan, akan tetapi penghematan atas tidak ada
lagi pajak yang dipotong dari penghasilan pokok karyawan. Hal ini terjadi
karena perusahaan memberikan tunjangan PPh kepada karyawannya sebesar
PPh Pasal 21 terutang. Sehingga penghasilan karyawan akan diterimanya
dengan maksimal.
Besarnya penghematan PPh Pasal 21 di atas didapat dari:
PPh Pasal 21 Terutang Rp. 12.542.000
Tunjangan PPh Rp. (12.542.000)
PPh Pasal 21 Dipotong -
54
Bertambahnya biaya fiskal perusahaan sebesar Rp. 75.183.000 karena
dilakukannya pemberian tunjangan PPh (gross up), tunjangan rumah dan
tunjangan kesehatan kepada karyawan oleh perusahaan.
Secara sekilas mungkin hal ini tidaklah menguntungkan perusahaan
bahkan sangat merugikan karena dapat mengurangi laba perusahaan. Akan tetapi
jika dilihat dari segi fiskal hal ini sangat menguntungkan perusahaan karena pada
saat pembuatan laporan keuangan fiskal pertambahan biaya ini dapat menambah
biaya perusahaan menjadi lebih besar sehingga pendapatan perusahaan menjadi
lebih kecil, otomatis pembayaran pajak badan PDAM Kota Gorontalo juga dapat
lebih ditekan.
Hal tersebut juga bisa disebut sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi
biaya operasi perusahaan, karena walaupun terjadi pertambahan biaya operasi
perusahaan disisi lain biaya tersebut dapat mengefisiensikan pembayaran pajak
badan PDAM Kota Gorontalo dan dapat memaksimalkan laba perusahaan.
Pertambahan biaya ini boleh mengurangi pendapatan perusahaan karena sesuai
dengan Undangundang Pajak No.36 tahun 2008 Pasal 6 ayat 1(a).
Besarnya nominal pertambahan biaya fiskal yang dikeluarkan perusahaan
setelah perencanaan pajak didapat dari:
Biaya fiskal setelah perencanaan pajak Rp. 652.005.000
Biaya fiskal sebelum perencanaan pajak Rp. (576.822.000)
Kenaikan biaya fiskal perusahaan Rp. 75.183.000
Bertambahnya penghasilan yang diterima karyawan sebesar
Rp.64.642.000. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi karyawan dan juga
55
berdampak positif bagi perusahaan, karena dengan begitu karyawan merasa lebih
dihargai sehingga dapat lebih termotivasi lagi dalam bekerja, otomatis kinerja
operasi perusahaan akan semakin meningkat. Perhitungan bertambahnya
penghasilan yang diterima karyawan sebesar nominal diatas didapat dari:
Take Home Pay After Tax Plan Rp. 502.664.000
Take Home Pay Before Tax Plan Rp. 438.022.000
Keuntungan bagi karyawan Rp. 64.642.000
Dengan adanya perbandingan di atas (sebelum perencanaan pajak dan setelah
perencanaan pajak) maka terlihat jelas keuntungan bagi kedua belah pihak, baik
itu untuk perusahaan khususnya dalam hal ini PDAM Kota Gorontalo dan juga
untuk karyawannya. Oleh karena itu perencanaan pajak dalam suatu perusahaan
sangatlah penting untuk dilakukan.