bab ii tinjauan teori 2.1 anatomi fisiologi sistem pernafasan
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
2.1.1 Anatomi Sistem Pernafasan
2.1.1.1 Hidung
Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua
lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya
terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung.
2.1.1.2 Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan
jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung,
dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ
lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan
lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan
lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
2.1.1.3 Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat
ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang
terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan
menutupi laring.
2.1.1.4 Trakhea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk
oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang
berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.
2.1.1.5 Bronchus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan
ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru. Bronkus kanan lebih pendek
dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari
9-12 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih
kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan
pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
2.1.1.6 Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m².
Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru),
lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun
oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-
paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5
buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah
segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah
segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi
belahan-belahan yang bernama lobulus.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi
pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali,
cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus
yang diameternya antara 0,2-0,3 mm.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada
atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau
hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput
yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral
(selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-
paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru
dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna
untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-
paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas.
2.1.2 Fisiologi Sistem Pernafasan
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat
membutukan okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4
menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagi
dan bisa menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan
menimbulkan kacau pikiran.
2.1.2.1 Pernafasan Paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada
paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen
diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk
melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler
pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen menembus membran,
diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke
seluruh tubuh.
Dalam alveoli, oksigen bergerak menuju kapiler pulmonalis sebagai gas terlarut,
bergerak menurunknan gradien konsentrasi. Oksigen diangkut dalam darah baik
yang terlarut maupun berikatan dengan hemoglobin. Ketika oksigen relatif sulit
larut dalam larutan, kemampuan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin
amat penting. Sekitar 98% hingga 99% oksigen diangkut dalam darah yang
berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin sehingga mempengaruhi
saturasi oksigen (Porth &Marfin, 2009).
Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasi dalam
darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak
untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan
O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak
mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil
karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernapasan
eksterna.
2.1.2.2 Diaphragma
Diafragma merupakan otot penting yang memisahkan rongga dada (berisi organ-
organ penting) dengan rongga perut. Biasanya ketika kita berbicara mengenai
diafragma, maka yang terpikirkan adalah diafragma thoraks (Diafragma Dada).
Gambar 3.a Diafraghma
Fungsi utama diaphragma dada adalah sebagai bagian dalam proses pernapasan,
yaitu mengatur masuk dan keluarnya udara dari dalam dan keluar tubuh melalui
kontraksi dan relaksasinya. Diaphragma mempunyai fungsi non-pernapasan, yaitu
untuk membantu mengeluarkan muntah yang membutuhkan peningkatan tekanan
bagian rongga perut.
Diafragma merupakan sekat otot berserat yang berbentuk seperti kubah.
Permukaan atas diafragma berbentuk cembung (pada rongga dada), berbentuk
cekung pada permukaan bawah rongga perut, dan terdiri dari jaringan otot, maka
diafragma dapat melakukan kontraksi dan relaksasi. Diaphragma disusun oleh
otot lurik (otot rangka) sehingga pergerakannya dapat kita sadari. Syaraf yang
mengatur pergerakan diafragma adalah saraf frenikus. Diafragma mempunyai
beberapa lubang yang berfungsi sebagai tempat lewatnya organ penting dari
bagian dada ke bagian perut. Tiga lubang utama yang terdapat pada diafragma
adalah sebagai berikut :
1. Lubang Aortic, merupakan lubang yang dilewati oleh Aorta.
2. Lubang Esophageal, merupakan lubang yang dilewati oleh esofagus.
3. Lubang Caval, merupakan lubang yang dilewati oleh vena kava inferior.
Gambar 2.d Lubang pada diafragma
Latihan otot- otot pernapasan yang manakala penderita telah mempelajari
pernapasan diafragmatik, suatu program pelatihan otot-otot pernapasan mungkin
diresapkan untuk membantu menguatkan otot- otot yang digunakan dalam
bernapas yang dapat disebut juga dengan Diaphragma Breathing Exercise.
2.2 Konsep PPOK
2.2.1 Pengertian PPOK
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2017
menjelaskan bahwa PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang
umumnya ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten atau terus-
menerus, yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon
inflamasi kronis pada saluran napas dan paru karena partikel atau gas berbahaya.
Gejala utamanya adalah gangguan pernapasan seperti sesak napas yang ditandai
dengan adanya mengi saat ekspirasi.
PPOK dikarakterisasi oleh penyempitan jalan napas yang progresif secara
perlahan. Penyakit ini merupakan salah satu eksaserbasi atau kambuh, seringkali
berhubungan dengan infeksi pernafasan, meningkatnya gejala dispnea dan
produksi sputum. Tidak seperti proses akut di mana jaringan paru pulih, saluran
udara, dan paranchyma paru tidak kembali normal. Meskipun satu atau yang lain
mungkin mendominasi, PPOK mencakup komponen bronkitis kronis dan
emfisema, dua proses yang berbeda. Penyakit saluran udara kecil dan akan
terjadi penyempitan brochiolus kecil (Lemone, 2013).
Bronkitis kronis adalah gangguan sekresi mukus bronkhial berlebihan. Ditandai
dengan batuk produktif yang bertahan selama 3 bulan atau lebih pada 2 tahun
berturut-turut (Huether & McCance, 2008 dikutip oleh Priscilia Lemone, 2016
hal. 1537).
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk dan produksi sputum selama
minimal 3 bulan setiap tahun dalam dua tahun berturut-turut. Dimana kondisi ini
tidak merefleksikan dampak utama keterbatasan aliran udara pada morbiditas
dan mortalitas dalam kasus PPOK. Pada banyak kasus, merokok atau polutan
lingkungan lain mengiritasi jalan napas, menyebabkan inflamasi, dan
hipersekresi mukus/lendir. Iritasi yang terjadi secara terus-menerus
menyebabkan jumlah kelenjar yang menyekresi mukus dan sel goblet meningkat
sehingga terjadi peningkatan produksi mukus. (Brunner&Suddart edisi 12, 2016
hal. 87).
Bronkitis Kronis merupakan batuk menahun dan menetap yang disertai dengan
pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara
medis diketahui (contohnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil pasien
terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial
oleh lendir dan kejang pada otot polosnya, penyempitan ini memiliki sifat
sementara (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Secara klinis penyakit ini didefinisikan sebagai batuk produktif yang terjadi
sedikitnya 3 bulan per tahun selama paling tidak 2 tahun berturut- turut. Ditandai
oleh produksi mukus yang berlebihan dalam jalan napas. Mukus itu sendiri
secara khas lebih kental dibandingkan dahak yang normal. Peningkatan produksi
mukus dan penebalan dinding jalan napas akan mengurangi luas penampang
lumen sehingga meningkatkan resistensi dan menghambat aliran udara
pernapasan. (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Tanda dan gejala lain pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yaitu
emfisema. Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di
paru-paru yang disertai dengan kerusakan dindingnya. Pada emfisema dinding
alveoli mengalami kerusakan sehingga bronkioli kehilangan struktur
penyangganya. Dengan demikian pada saat udara dikeluarkan bronkioli akan
mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap (Suzanne C.
Smeltzer, 2010).
Emfisema adalah gangguan pertukaran oksigen dan karbon dioksida yang
disebabkan oleh hancurnya dinding- dinding alveoli yang terditensi. Emfisema
ini merupakan tahap akhir dari suatu proses yang berjalan lambat selama
bertahun- tahun. Setelah dinding alveoli hancur, area permukaan alveolar yang
bersentuhan langsung dengan kapiler paru terus menyusut. Hal ini menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area di paru yang didalamnya tidak terjadi pertukaran
gas) dan gangguan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia (Brunner &
Suddart edisi 12, 2016 hal. 231).
Emfisema ditandai dengan kerusakan dinding alveoli, dengan menyebabkan
pembesaran ruang udara yang abnormal. Seperti pada bronkitis kronik, merokok
sangat berimplikasi sebagai faktor penyebab pada kasus emfisema (Priscilia
Lemone, 2016).
Beberapa definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis yang dijabarkan di atas dapat
diperoleh kesimpulan Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang
dapat dicegah dan diobati ditandai dengan penyempitan aliran udara yang masuk
sehingga menimbulkan sesak napas.
2.2.2 Faktor resiko
Faktor resiko pada pasien PPOK yaitu kebiasaan merokok. WHO (2010)
menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Salah satu efek dari
penggunaan nikotin akan menyebabkan kontriksi bronkiolus terminal paru yang
meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua efek
iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-
cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat
melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan secara normal terus
bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran
pernapasan.
Resiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat
berat merokok seseorang berdasarkan dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu
perkalian jumlah rata- rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam per-tahun, sebagai berikut:
a) Ringan = 0-200 batang
b) Sedang = 200-600 batang
c) Berat > 600 batang
Faktor resiko yang berasal dari host, yaitu :
a) Usia
Semakin usia bertambah tua semakin beresiko terkena PPOK.
b) Jenis kelamin
Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita, dikarenakan laki-laki
terkait kebiasaan merokok. Dan menjadi perokok aktif maka prevalensi
PPOK pada laki-laki 10-15% dan wanita 1-5% dengan sex rasio 3-10 : 1
2.2.2 Klasifikasi
Gambar 2.b klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2.3.2 Etiologi
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah sebagai berikut :
a. Kebiasaan merokok
b. Polusi udara
c. Paparan debu, asap, dan gas- gas kimiawi akibat kerja
d. Riwayat infeksi saluran nafas
Tahap 0; beresiko. Fungsi paru normal, tetapi batuk kronik dan
produksi sputum ada.
Tahap 2 ; PPOK ringan. Keterbatasan aliran udara ringan,
biasanya dengan batuk kronik dan produksi sputum
Tahap 3 ; PPOK berat. Perburukan keterbatasan aliran udara
lebih lanjut, peningkatan sesak napas
Tahap 4 ; PPOK sangat berat. Keterbatasan aliran udara berat
dengan penurunan kualitas hidup yang parah dan kemungkinan
eksaserbasi mengancam jiwa
Note : Adapted from Global Strategy for the Diagnosis.
Management and prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (2008) Media Communication, Inc.
2.3.3 Tanda dan gejala
a) Batuk
Batuk adalah pelindung yang mencerminkan untuk membersihkan trakea, bronkus,
dan paru-paru dari iritasi dan sekresi. Batuk sulit untuk di evaluasi, dan hampir setiap
orang mengalami batuk. Penderita batuk kronis cenderung batuknya sering karena
sangat terbiasa dengan itu sehingga mereka tidak menyadari seberapa seringnya
terjadi batuk.
Penderita bronkitis kronis umumnya batuk dan menghasilkan dahak sepanjang hari,
meski jumlahnya lebih banyak dihasilkan setelah naik dari posisi semirecumbent
atau datar. Ini adalah hasil akumulasi sputum di saluran udara dan dihubungkan
dengan mobilitas yang kurang. Jika pasien batuk, tentukan seberapa sering hal itu
terjadi apakah itu produktif atau tidak produktif. Batuk produktif menyebabkan
produksi sputum. Anjurkan pasien untuk mencoba batuk, beberapa dahak dan jangan
yang hanya menghasilkan air liur. Periksa dahak untuk warna seperti hijau atau darah
yang diwarnai, konsistensi seperti kurus atau tebal. Adanya bau tidal sedap, dan
jumlahnya seperti naik atau turun. (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
c) Sesak napas atau dyspnea
Dispnea atau sesak napas adalah tanda klinis hipoksia. Ini adalah sensasi subjektif
dari pernapasan yang sulit atau tidak nyaman. Hal ini terkait dengan banyak kondisi
seperti penyakit paru, penyakit kardiovaskular, kondisi neuromuskular, dan anemia.
Akhirnya, faktor lingkungan seperti polusi, udara dingin, dan merokok juga
menyebabkan atau memperburuk dispnea. (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang
pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada
penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar,
gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), dan
kecemasan (Price dan Wilson, 2008).
Sesak napas ini sering menjadi alasan utama pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
Sesak napas ini digambarkan sebagai usaha bernapas yang meningkat, berat, dan
gasping. Sesak napas pada pasien PPOK bersifat persisten dan progresif. Awalnya
pasien sesak napas yang hanya dirasakan saat beraktivitas seperti berjalan, berlari,
tetapi ketika fungsi paru memburuk sesak napas menjadi lebih progresif dan tidak
dapat melakukan aktivitas sebagaimana orang lain dengan usia yang sama dapat
melakukannya (GOLD, 2006 ; Rab 2010).
d) Pink Puffers
Pink Puffers adalah timbulnya sesak napas tanpa disertai batuk dan produksi sputum
yang berarti. Biasanya sesak napas timbul antara usia 30-40 tahun dan semakin lama
semakin berat. Pada penyakit yang sudah lanjut akan kehabisan napas sehingga tidak
lagi dapat makan dan tubuhnya terlihat bertambah kurus. Selanjutnya akan terjadi
gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi minimal sehingga dengan hiperventilasi
pasien pink puffer dapat mempertahankan gas dalam darah batas normal sampai
penyakit ini mencapai tahap lanjut (Price & Wilson, 2005 ; Rab 2010).
e) Blue blatters
Pasien biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun- tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi akhirnya timbul gejala sesak napas, sianosis pada waktu
pasien melakukan kegiatan fisik (Price & Wilson, 2005 ; Rab 2010).
f) Perubahan bentuk dada
Pada pasien PPOK dengan stadium lanjut akan ditemukan tanda- tanda hiperinflasi
paru seperti barrel chest dimana diafragma terletak lebih rendah dan bergerak tidak
lancar, kifosis, diameter antero-posterior bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid
suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal, dan sudut subkostal bertambah
(Price & Wilson, 2005).
2.3.4 Patofisiologi
PPOK ditandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan napas. Melalui
mekanisme yang berbeda, proses ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi
terhadap aliran udara untuk meningkat dan ekspiransi menjadi lambat.
Gambar 2.f
Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Smeltzer & Bare, 2013).
Penjelasannya faktor resiko Penyakit Paru Obstruksi Kronis ialah merokok dan polusi
udara sehingga mengakibatkan iritasi dan inflamasi bronkus berlanjut. Iritasi dan
inflamasi dengan tanda- tandanya inflamasi yaitu bronkitis kronik dengan edema
bronkial, batuk kronik, dan bronkospasme maka saluran jalan pernapasan menjadi
menyempit. Jalan napas menyempit akan mengalami sesak napas. Ketika sedang
mengalami sesak napas maka mengakibatkan kekurangan oksigen didalam darah dan
Merokok
Polusi udara
Kerusakan elastin
pd jaringan ikat
paru
Iritasi dan
inflamasi bronkus
berlanjut
Bronkitis kronik
Edema bronkial, batuk
kronik, bronkospasme
Emfisema
Kerusakan septa alveolar,
ketidakstabilan jalan napas
Obstruksi jalan napas
Dispnea
Hipoksemia
Hipoventilasi
kurangnya ventilasi dalam pernapasan. Faktor resiko pasien PPOK lainnya dengan
adanya kerusakan elastin pada jaringan ikat paru yaitu emfisema. Emfisema yaitu
kerusakan septa alveolar, dan ketidakstabilan jalan napas yang akan mengakibatkan
sesak napas sehingga oksigen dalam darah berkurang dan mengalami
ketidakefektifannya oksigen dan karbon dioksida (Smeltzer & Bare, 2013).
2.3.5 Komplikasi
Insufisiensi dan kegagalan pernafasan adalah komplikasi yang mengancam jiwa.
Insufisiensi dan kegagalan terjadi kronis atau akut. Insufisiensi dan kegagalan
pernafasan akut mungkin memerlukan dukungan ventilasi sampai komplikasi akut
lainnya, seperti infeksi, dan dapat diobati. Komplikasi lain dari PPOK meliputi
pneumonia, dan atelektasis (Smeltzer & Bare, 2013).
Pneumonia adalah proses inflamator parenkim paru yang disebabkan oleh agen
infeksius. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi termasuk
diantaranya mereka yang mendapati terapi kortikosteroid (Smeltzer & Bare, 2013).
Ateletaksis merupakan obstruksi bronchial oleh sekresi adalah penyebab utama
terjadinya kolaps pada alveolus, lobus atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan
mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara alveolar
yang terperangkap menjadi terserap dalam pembuluh sarah, tetapi udara luar tidak dapat
menggantikan udara yang terperangkap karena obstruksi. Akibatnya paru menjadi
terisolasi karena kekurangan udara dan ukurannya menyusut dan bagian sisa paru
lainnya berkembang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2013).
2.4 Diafraghma Breathing Exercise
2.4.1 Pengertian
Diaphragma breathing exercise merupakan latihan pernapasan yang digunakan untuk
mengkompensasi kekurangan oksigen dengan meningkatkan efisiensi pernapasan.
Latihan ini dilakukan untuk menyimpan energi melalui pernapasan terkendali. Tindakan
ini dilakukan dengan tujuan untuk merelaksasikan otot pernapasan yang tidak
terkordinasi, menurunkan Respiratory Rate dan beban kerja penapasan (Sylvia, 2003).
Diaphragma Breathing Exercise adalah strategi bernafas yang sering diaplikasikan,
tujuannya untuk meminimalkan pernapasan dari penyakit Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (Marcelo Fernandea, Alberto Cukier & Maria Ignez, 2011). Diaphragma
Breathing Exercise banyak digunakan pada rehabilitasi paru pasien dengan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik namun sedikit dipelajari dalam literatur ilmiah. Tujuan utamanya
adalah untuk memperbaiki gerakan perut dan aktivitas otot pernafasan tulang rusuk
(Braz. J. Phys, 2014).
Pernapasan diaphragma juga melibatkan ekspansi, kontraksi perut, dan kontraksi dari
tulang rusuk bagian bawah (Nurbasuki, 2008). Dalam hasil penelitiannya Diaphragma
Breathing Exerise dapat menkontraksikan otot- otot pernapasan utama yaitu otot
diafragma, sehingga otot- otot bantu pernapasan tidak terlibat pada pernapasan ini dan
dapat menurunkan kerja pernapasan. Pernapasan diafragma melibatkan ekspansi,
kontraksi perut dan kontraksi dari tulang rusuk bagian bawah. Pada Diaphragma
Breathing Exercise memusatkan perhatian pada gerakan perut yang akan berpengaruh
pada organ dalam, seperti gerakan diaphragma dan otot- otot perut yang akan
merangsang organ dalam. Ketika organ dalam yang ditekan maka darah, getah bening,
dan syaraf juga akan terangsang, dan oksigen akan disampaikan ke setiap sudut tubuh
(Joseph, 2004).
Diaphragma Breathing Exercise dapat disimpulkan bahwa latihan pernapasan ini dapat
mengurangi kecepatan respirasi, dan terkadang membantu mengeluarkan udara
sebanyak- banyaknya selama ekspirasi.
2.4.2 Indikasi dan kontra indikasi Diaphragma Breathing Exercise
Adapun indikasi Diaphragma Breathing Exercise ditujukan pada pasien penderita
gangguan sistem pernapasan seperti penyakit PPOK, hipoksia, dan pasien yang
mengalami kesulitan dalam bernapas. Tindakan ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan oksigen dengan mengurangi ketegangan otot pernapasan
sehingga mengurangi pemakaian energi saat bernapas (Tambayong, 2000).
Kontraindikasi Diaphragma Breathing Exercise yaitu pasien mengalami gagal napas,
dan obstruksi pernapasan terhalangi karena ada massa.
Pasien diajarkan metode untuk meringankan gejala. Latihan pernafasan serta latihan
ulang dan program latihan digunakan untuk memperbaiki status fungsional (Suzanne C.
Smeltzer, 2010).
Pola pernapasan orang dengan PPOK adalah dangkal, cepat, dan tidak efisien. Semakin
parah penyakitnya, semakin tidak efisien pola pernapasannya. Dengan dilakukan
Diaphragma Breathing Exercise dapat mengurangi laju pernapasan, meningkatkan
ventilasi alveolar, membantu mengeluarkan udara sebanyak mungkin, dan
memungkinkan pasien untuk mengatasi sesak napas dan mengurangi perasaan panik.
(Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Pernapasan diafragma adalah teknik yang mendorong pernapasan dalam untuk
meningkatkan udara ke paru-paru bagian bawah. Perut bergerak keluar saat bernafas
dan masuk saat bernafas (CFF 2005 dikutip oleh Fundamental Of Nursing Edisi 8 Potter
And Perry 2013).
2.5 Prosedur Diaphragmatic Breathing menurut Fundamental of Nursing Edisi 8,
2013), yaitu sebagai berikut :
2.5.1 Instruksikan posisi pasien untuk telentang atau setengah duduk dikursi dan
meletakkan telapak tangan di dada dan perut dan fleksikan lutut pasien untuk
merileksasikan otot abdomen.
2.5.2 Tunjukkan kepada pasien bagaimana menarik napas dalam-dalam, menghirup
hidung, jaga mulut tetap tertutup dan mendorong perut. Hitung sampai 3 selama
menarik napas.
2.5.3 Konsentrasi dan rasakan gerakan naiknya abdomen sejauh mungkin, tetap
dalam kondisi rilekas dan cegah lengkung pada punggung. Jika ada kesulitan
menaikkan abdomen, ambi napas dengan cepat kemudian napas kuat lewat
hidung.
2.5.4 Kemudian perlahan-lahan menghembuskan napas melalui mulut seolah meniup
lilin (melalui bibir yang mengerucut). Konsentrasi dan rasakan turunnya
abdomen dan kontraksi otot abdomen ketika ekspirasi. Hitung sampai 7 selama
ekspirasi.
2.5.5 Ulangi latihan pernapasan lengkap 3 sampai 5 kali.
2.5.6 Gunakan latihan Diaphragma Breathing Exercise ini setiap kali merasakan
napas pendek.
2.5.7 Cuci tangan
Langkah- langkah melakukan latihan ini sambil duduk di kursi :
2.5.8 Duduklah dengan nyaman, dengan lutut ditekuk dan bahu Anda, kepala dan
leher relaks.
2.5.9 Bernapaslah dengan perlahan melalui hidung sehingga perut Anda bergerak ke
tangan Anda. Tangan di dada Anda harus tetap diam.
2.5.10 Letakkan satu tangan di dada bagian atas dan yang lainnya tepat di bawah
tulang rusuk Anda. Ini akan memungkinkan Anda merasakan gerakan
diafragma Anda saat Anda bernafas.
Dengan dilakukan Diaphragma Breathing Exercise pada Penyakit Paru Obstruksi
Kronik dapat mengatur pola pernapasan untuk tidak terjadinya peningkatan frekuensi
pernapasan.
2.6 Respiratory Rate
Istilah pernapasan (respiratory) berarti pertukaran gas antara sel tubuh dan lingkungan.
Hal ini melibatkan bernapas (ventilasi paru) yang berarti perpindahan udara ke dalam
dan keluar paru, serta pertukaran gas yang berlangsung didalam paru (respiratory
eksternal) dan didalam jaringan (respiratory internal).
Otot pernapasan yang digunakan saat bernapas normal dalam keadaan tenang adalah
otot interkosta dan diafragma. Otot interkosta terdiri atas 11 pasang yang berada di
ruangan antara 12 pasang iga. Otot ini tersusun dari dua lapisan, otot interkosta internal
dan eksternal. Serat otot interkosta eksternal memanjang ke bawah dan kedepan dari
tepi bawah iga hingga ke tepi atas iga. Serat otot interkosta internal memanjang
kebawah dan kebelakang dari tepi iga atas hingga ke bawah, yang melintasi serat otot
interkosta eksternal disudut kanannya.
Iga pertama terfiksasi. Oleh karena itu, saat otot interkosta berkontraksi, otot ini
bersama-sama menarik iga lain menuju iga pertama. Karena bentuk dan ukuran iga, iga
bergerak keluar saat otot tertarik keatas, dan memperbesar rongga toraks.
Otot diafragma berbentuk seperti kubah yang memisahkan rongga toraks dan abdomen.
Otot ini menyusun dasar rongga toraks dan bagian atas rongga abdomen serta terdiri
atas tendon sentral. Saat otot diafragma berelaksasi, tendon sentral berada pada
vertebrata torasik ke- 8. Saat otot diafragma berkontraksi, serta otot memendek dan
tendon sentral tertarik kebawah hingga vertebra torasik ke-9 yang menyebabkan rongga
toraks membesar. Hal ini menurunkan tekanan didalam rongga toraks dan
meningkatkan tekanan didalam rongga abdomen dan panggul. Diafragma dipersarafi
oleh saraf frenik (Anne Waugh & Allison Grant, 2016).
Sistem pernapasan berfungsi untuk mengelola pertukaran oksigen dan karbondioksida
antara udara dan darah. Oksigen diperlukan oleh semua sel untuk menghasilkan sumber
energi. Karbondioksida diperlukan untuk sel- sel yang secara metabolis aktif dan
membentuk suatu asam yang harus dibuang dari tubuh. Untuk melakukan pertukaran
gas, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan harus bekerja sama (Cowin, 2009).
Siklus pernapasan, tiap pernapasan terdiri atas fase inspirasi, dan ekspirasi.
a. Inspirasi
Saat kapasitas toraks meningkat oleh kontraksi simultan otot interkosta dan
diafragma, pleura parietal bergerak bersama otot interkosta dan diafragma. Hal
ini mengurangi tekanan didalam rongga pleura hingga tekanan tersebut lebih
rendah daripada tekanan atmosfer. Pleura visera mengikuti pleura parietal,
menarik paru bersamanya. Hal ini menyebabkan paru mengembang dan tekanan
didalam alveoli dan dijalan napas menurun sehingga udara ditarik (masuk) ke
paru agar menyamakan tekanan udara atmosfer dan paru. Proses berlangsung
aktif karena menggunakan energi untuk kontraksi otot. Tekanan negatif yang
dihasilkan dalam rongga toraks membantu aliran balik vena ke jantung dan
disebut sebagai pompa respiratorik. Pada saat istirahat, inspirasi berlangsung
sekitar 2 detik.
b. Ekspirasi
Relaksasi otot interkosta dan diafragma menyebabkan gerakan sangkar iga ke
bawah dan dalam. Saat ini terjadi, tekanan didalam paru lebih daripada tekanan
atmosfer sehingga udara dikeluarkan dari saluran napas. Paru masih berisi
sebagian udara dan dicegah dari kondisi kolaps total oleh pleura yang utuh. Saat
istirahat, ekspirasi berlangsung sekitar 3 detik. Setelah ekspirasi terdapat keadaan
istirahat sebelum siklus berikutnya dimulai.
Respiratory Rate menghitung tingkat ventilasi atau pernapasan. Tingkat
pernafasan yang biasa bervariasi seiring bertambahnya usia. Pernafasan biasa
menurun sepanjang hidup (Fundamental Of Nursing Edisi 8 Potter And Perry
2013).
Selama inspirasi pusat pernafasan mengirimkan impuls di sepanjang saraf frenik
dan menyebabkan diafragma berkontraksi. Organ perut bergerak dari bawah dan
ke depan, meningkatkan panjang rongga dada untuk memindahkan udara ke
paru-paru. Pergerakan diafragma kira-kira 1 cm (4/10 inci), dan tulang rusuknya
ditarik ke atas dari garis tengah tubuh kira-kira 1,2 sampai 2,5 cm (1/2 sampai 1
inci) selama nafas yang normal dan menghirup oksigen sampai 500 mL udara,
jumlah ini disebut sebagai volume tidal. Selama ekspirasi diafragma rileks, dan
organ perut kembali ke posisi semula. Dinding paru-paru dan dada kembali ke
posisi rileks. Expirasi adalah proses pasif. Pernapasan dalam adalah mekanisme
untuk memperluas saluran udara kecil dan alveoli tidak berventilasi selama napas
normal hidup (Fundamental Of Nursing Edisi 8 Potter And Perry 2013).
Identifikasi faktor risiko untuk perubahan pernafasan, termasuk sebagai berikut:
2.6.1 Demam
2.6.2 Distensi lambung yang menilai tanda dan gejala perubahan pernafasan seperti
penampilan kebiruan (sianosis), dan gelisah.
2.7 Implementasi pengukuran sistem pernapasan Respiratory Rate (Fundamental Of
Nursing Edisi 8 Potter And Perry 2013), yaitu sebagai berikut :
2.7.1 Cuci tangan.
2.7.2 Tentukan posisi nyaman untuk pasien (semifowler).
2.7.3 Tempatkan pasien dalam posisi rileks.
2.7.4 Observasi sistem pernapasan secara lengkap satu inspirasi dan satu ekspirasi.
2.7.5 Setelah itu, observasi daerah sekitar pernapasan pasien, tangan kiri melihat jam
tangan dalam 1 menit dan tangan kanan menghitung pernapasan klien dalam 1
kali bernapas dan 1 kali menghembuskan napas.
2.7.6 Dokumentasikan dalam buku catatan.
2.7.7 Cuci tangan.
Respiratory rate pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis akan mengalami
peningkatan hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru adalah penyakit yang diakibatkan
karbon dioksida berlebih yang terperangkap dalam paru-paru. Gejala hiperinflasi paru
adalah perhatikan perubahan pola napas pasien seperti berat untuk menarik napas, dan
mengalami batuk kronis atau batuk terus menerus kurang lebih 3 minggu tidak sembuh
(D.E. O’Donnell and P. Laveneziana, 2006)
Hiperinflasi paru ini menyebabkan masalah pada otot inspiratory sehingga terjadi
peningkatan ketidakseimbangan antara pernapasan, kekuatan dalam bernapas, dan
kemampuan usaha bernapas yang bertujuan untuk memenuhi volume kapasitas paru
(Smeltzer & Bare, 2013).
Selain terjadinya peningkatan ketidakseimbangan antara pernapasan dan kemampuan
usaha untuk bernapas secara efektif, respiratory rate juga akan mempengaruhi saturasi
oksigen.
2.8 Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam
arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Dalam kedokteran, oksigen
saturasi (SO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen
yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang
rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses
pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh (Hidayat, 2007).
Saturasi oksigen adalah rasio kadar hemoglobin oksigen/hemoglobin teroksidasi
(HbO2) dengan hemoglobin dalam darah (total kadar HbO2 dan hemoglobin
terdeoksigenasi (Hb), dengan demikian saturasi oksigen pun akan meningkat PaO2 akan
meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan penurunan jumlah CO2 juga akan
meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan sebaliknya (Khasanah, 2013).
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam
arteri. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin
terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri
ke jaringan tubuh (Hidayat, 2007, dalam Khasanah, 2013).
Didalam alveoli, oksigen bergerak menuju ke kapiler pulmonalis, kemudian oksigen
diangkut dalam darah baik yang terlarut maupun yang berikatan dengan hemoglobin.
Suplai oksigen masuk ke dalam otak dan jaringan dalam tubuh pasien sehingga dapat
mempengaruhi saturasi oksigen.
Saturasi oksigen pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah dibawah dari
nilai normal, yaitu 95%. Semakin lama penderita PPOK yang tidak terpantau oksigenasi
pada tubuh penderita maka saturasi oksigen akan terus menurun (Hidayat, 2007, dalam
Khasanah, 2013).
2.8.1 Pengukuran Saturasi Oksigen
Pengukuran saturasi oksigen sangat penting dilakukan terutama pada pasien dengan
gangguan sistem pernapasan, termasuk pasien serangan asma akut yang perlu
penanganan cepat. Hal ini sangat berguna untuk mendeteksi secara cepat dan akurat
akan kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh pasien sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan lebih lanjut.
A. Persiapan Alat
a) Pulse Oximetry
b) Pembersih cat kuku (bila diperlukan)
B. Persiapan Pasien
a) Pada pasien dan keluarganya
b) Bersihkan tempat yang akan diukur
c) Tentukan tempat yang akan diukur
C. Pelaksanaan
a) Cuci tangan
b) Cek sirkulasi perifer dengan menggunakan teknik pengisian kapiler
c) Cek fungsi alat oksimetri nadi
d) Bersihkan area pengukuran dengan alcohol
e) Tekan tombol on pada oksimetri nadi
f) Dengarkan suara atau tanda dari oksimetri nadi
g) Observasi gelombang yang ada pada oksimetri nadi
h) Yakinkan bahwa batas alarm alat sudah sesuai dengan kondisi yang
diperlukan
i) Baca dan catat hasil pengukuran
j) Bila dilakukan pemantauan yang terus menerus maka pindahkan
sensor probe tiap 2 jam
k) Bila dilakukan sesaat, lepaskan probe dan matikan oksimetri nadi,
kemudian cuci tangan
(Sumber: Brunner & Suddart, 2005)
Adapun cara pengukuran saturasi oksigen (Fundamental Of Nursing Edisi 8 Potter
And Perry 2013) yaitu :
a) Tentukan kebutuhan untuk mengukur kejenuhan oksigen pasien, yaitu:
- Identifikasi faktor risiko penurunan saturasi oksigen.
- Identifikasi tanda dan gejala perubahan saturasi oksigen seperti
perubahan frekuensi pernafasan, kedalaman, atau rhytm.
b) Observasi untuk faktor-faktor yang biasanya mempengaruhi
pengukuran saturasi oksigen (SpO2).
c) Tentukan lokasi pasien yang tepat untuk penempatan sensor dengan
mengukur kapiler refill. Jika isi ulang kapiler lebih besar dari 3 detik,
pilih tempat alternatif.
2.9.2 Factor yang Mempengaruhi Bacaan Saturasi
Menjelaskan beberapa factor yang mempengaruhi bacaan saturasi (Kozier,2010):
a) Hemoglobin
Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb rendah maka
akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada klien dengan
anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas normal.
b) Aktivitas
Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor dapat
menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.