bab ii tinjauan pustaka -...

25
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan konsep-konsep penting yang berhubungan dengan fenomena yang hendak diteliti. Terdiri dari konsep mengenai pengambilan keputusan, yang berisi penjelasan mengenai pengertian pengambilan keputusan, tahapan dalam pengambilan keputusan. Pada bab ini, akan dibahas juga topik-topik mengenai biarawati Katolik dan Buddha, proses menjadi biarawati, yang sebelumnya didahului dengan pengertian biara, cara hidup membiara. A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Setiap harinya individu menghadapi proses-proses pengambilan keputusan. Menurut Sarwono (1976) pengambilan keputusan merupakan salah satu proses berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan kepada sesuatu, biasanya diarahkan kepada pemecahan persoalan. Pengertian pengambilan keputusan menurut Suharnan (2005) adalah suatu proses ketika seseorang sedang memilih di antara dua alternatif atau lebih, menaksir frekuensi suatu kejadian, atau memprediksi situasi di depan berdasarkan informasi yang terbatas. Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Terry 1960 (dalam Syamsi, 1989) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif

Upload: hadieu

Post on 25-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan konsep-konsep penting yang

berhubungan dengan fenomena yang hendak diteliti. Terdiri dari

konsep mengenai pengambilan keputusan, yang berisi penjelasan

mengenai pengertian pengambilan keputusan, tahapan dalam

pengambilan keputusan. Pada bab ini, akan dibahas juga topik-topik

mengenai biarawati Katolik dan Buddha, proses menjadi biarawati,

yang sebelumnya didahului dengan pengertian biara, cara hidup

membiara.

A. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian

Setiap harinya individu menghadapi proses-proses pengambilan

keputusan. Menurut Sarwono (1976) pengambilan keputusan

merupakan salah satu proses berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang

sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan kepada sesuatu, biasanya

diarahkan kepada pemecahan persoalan. Pengertian pengambilan

keputusan menurut Suharnan (2005) adalah suatu proses ketika

seseorang sedang memilih di antara dua alternatif atau lebih, menaksir

frekuensi suatu kejadian, atau memprediksi situasi di depan

berdasarkan informasi yang terbatas. Definisi tersebut sejalan dengan

yang dikemukakan oleh Terry 1960 (dalam Syamsi, 1989) yang

menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

12

perilaku dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan

masalah yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatif-

alternatif yang memungkinkan. Janis dan Mann (1977) mengartikan

pengambilan keputusan merupakan pemecahan dari masalah agar

terhindar dari faktor-faktor situasional.

Pengambilan keputusan juga merupakan suatu proses dan

berlangsung dalam suatu sistem, walaupun merupakan suatu keputusan

atau desisi pribadi sekalipun yang menyangkut suatu masalah pribadi.

Hal tersebut perlu untuk disadari agar supaya kita dapat berhasil di

dalam upaya mengembangkan kemampuan kita untuk mengambil desisi

mengenai problema-problema yang menghendaki suatu keputusan dari

kita. Makin mampu kita mengenali masalah-masalah yang selalu akan

kita jumpai di dalam perjalanan menuju ke kemajuan dalam hidup, dan

makin mampu kita mengatasi atau memecahkan masalah-masalah

tersebut, maka akan besar serta cepatlah sukses yang akan dicapai

(Atmosudirdjo, 1982). Sistem dalam proses pengambilan keputusan itu

berlangsung terdiri atas berbagai unsur (elemen), dan masing-masing

merupakan suatu faktor yang ikut menentukan segala apa yang akan

terjadi. Unsur yang terpenting dalam proses pengambilan keputusan

adalah “masalah” yang harus dihadapi dan menghendaki adanya

keputusan dari kita. Jadi, bagi seseorang yang ingin maju dalam

kehidupannya, mutlak diperlukan kemampuan untuk melihat, atau

mengenali, atau mengindentifikasi masalah. Sesuatu merupakan

masalah atau problema, dilihat dari segi pengambilan keputusan

bilamana kita mempunyai tujuan yang jelas dan tegas yang sedang kita

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

13

kejar. Untuk mencapai tujuan tersebut kita melakukan planning, secara

sederhana maupun kompleks, sehingga ada daya upaya dengan

memakai rencana-rencana tertentu sebagai pegangan atau sarana. Setiap

penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan yang kita rencanakan,

merupakan masalah bagi kita, yang memerlukan suatu keputusan dari

kita.

Mengambil keputusan secara aktif akan memberikan individu suatu

tingkat pengendalian atas kehidupan individu, pilihan-pilihan yang

individu buat sebenarnya membantu individu menentukan hari depan

(Manullang, 1986). Suatu pengambilan keputusan yang menentukan

hari hari depan tentunya akan disertai dengan konsekuensi-

konsekuensi yang mungkin akan dihadapi sebelum mengambil sebuah

keputusan. Suparno (2009) mengatakan, bahwa pada pengambilan

keputusan persoalan yang sederhana, bila salah memutuskan maka akan

mengakibatkan kerugian kecil, dan tidak begitu merugikan, namun

pengambilan keputusan persoalan yang besar yang meyangkut hidup

individu yang penting, jika salah dapat sangat merugikan bahkan

membuat hidup individu tidak bahagia. Karena itu, individu pembuat

keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi

sebagai akibat keputusan yang diambilnya. Lebih lengkap mengenai

konsekuensi dalam pengambilan keputusan diungkapkan oleh

Anderson 1980 (dalam Suharnan, 2005), mengatakan bahwa

konsekuensi dari setiap keputusan meliputi konsekuensi yang dapat

terlihat langsung dan tidak langsung, jangka pendek dan jangka

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

14

panjang, bagi diri sendiri dan orang lain, dan keuntungan dan kerugian

yang mungkin akan didapatkan.

2. Tahapan – tahapan dalam pengambilan keputusan

Janis dan Mann (1977) memperkenalkan lima tahapan dalam

pengambilan keputusan, kelima tahapan tersebut meliputi :

a. Mengenali masalah (Appraising the Challenge).

Pada tahap ini, individu diterpa dengan berbagai informasi. individu

dihadapkan kepada suatu tantangan terhadap jalur tindakannya yang

berlaku. Tantangan dapat dipandang sebagai indikasi dari suatu

ancaman atau bayangan suatu peluang atau kesempatang. Individu

akan mengalami konflik sementara (personal temporary crisis),

yang mempengaruhi perilaku individu untuk bertahan dengan

keyakinan lamanya atau berubah. Informasi benar-benar efektif

untuk mendorong langkah yang menuju pada pengambilan

keputusan yang baru, haruslah cukup kuat untuk mempengaruhi

individu.

b. Mencari alternatif (Surveying alternatives).

Setelah kepercayaan individu terhadap kebijakan atau pemikiran

lamanya diguncang oleh informasi baru, individu merasa ada

konsekuensi negatif jika tidak mengambil tindakan. Individu mulai

memfokuskan perhatian pada satu atau lebih alternatif. Individu

mulai mencari di dalam memorinya berbagai alternatif tindakan dan

meminta saran atau informasi dari orang lain. Di akhir tahap ini,

pembuat keputusan telah mempersempit daftar alternatif-

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

15

alternatifnya yang muncul untuk tantangan yang baik yang dapat

mencegah kerugian.

c. Menimbang alternatif (Weighing alternatives).

Individu sekarang menuju pada analisis dan evaluasi yang lebih

dalam dengan berfokus pada sisi positif dan negatif pada tiap

alternatif yang lolos sampai ia merasa yakin untuk memilih satu

yang sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang, setelah berhati-hati

menimbang mengenai masing-masing alternatif, pembuat keputusan

menjadi tidak puas dengan semua alternatif-alternatif tersebut

(termasuk tindakannya sekarang). Pada waktu tersebut,

ketegangannya menjadi lebih gawat, dan, jika dia dapat terhindar

dari patah semangat, dia akan mencari pemecahan yang terbaik, dia

akan kembali ke tahap dua, berusaha untuk menemukan bagian

yang baru yang mungkin lebih baik daripada sebelumnya.

d. Menimbang komitmen (Deliberating about commitment).

Setelah secara tertutup memutuskan akan mengambil tindakan baru,

individu akan memakai rencana tindakan yang baru, dan mulai

berhati-hati menerapkan tindakan tersebut dan mengarahkan

perhatiannya pada hal-hal yang lain. Sebagai pembuat keputusan

yang waspada, dia menjadi lebih peduli tentang celaan yang

mungkin ada, yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Individu juga

mulai membicarakan dengan hati-hati mengenai penerapan

keputusan tersebut dan menyampaikan niatnya pada orang lain.

e. Menghadapi umpan balik (Adhering despite negative feedback).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

16

Individu yang merasa senang dan nyaman dengan keputusan baru

yang diambil tanpa ada keragu-raguan. Namun seringkali keadaan

tersebut terganggu oleh munculnya ancaman atau kesempatan baru.

Tahap kelima kemudian menjadi sepadan atau ekuivalen dengan

tahap pertama dalam hal bahwa informasi atau peristiwa baru yang

menghasilkan umpan balik (feedback) negatif mempunyai

kemungkinan yang mengarahkan pada pengambilan keputusan

baru. Bedanya adalah walaupun informasi tersebut cukup kuat

untuk mendorong individu agar berubah, individu hanya mengalami

guncangan sementara dan ia memilih untuk tetap bertahan dengan

keputusan yang telah diambil. Pada tahap ini individu mencari

dukungan dengan melakukan rasionalisasi agar merasa “aman”

dengan keputusannya.

3. Lima pola coping dalam pengambilan keputusan

Dalam pengambilan suatu keputusan setiap individu memiliki pola

coping, lima pola coping yang individu lakukan dalam proses

pengambilan keputusan (Janis & Mann, 1977). Coping tersebut di

antaranya:

a. Unconflicted adherence yaitu, melanjutkan saja kepercayaan atau

tindakan yang sebelumnya dilakukan.

b. Defensive avoidance yaitu, menunda dan menghindari pengambilan

keputusan

c. Unconflicted change yaitu, individu langsung mengambil tindakan

atau kepercayaan baru tanpa konflik.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

17

d. Hypervigilance yaitu, pengambilan keputusan yang disertai rasa

panik akibat terdesak oleh batas waktu.

Vigilance yaitu, individu mencari berbagai informasi secara

menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi

tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan

yang tinggi.

4. Faktor-faktor pengambilan keputusan

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

menurut Gunarsa dan Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011) adalah :

a. Faktor dari dalam

1) Bakat

Yaitu suatu kondisi, kualitas yang dimiliki seseorang yang

memungkinkan individu berkembang pada masa mendatang.

2) Minat

Yaitu suatu perangkat mental yang terdiri dari kombinasi,

perpaduan dan campuran perasaan, harapan dan kecenderungan-

kecenderungan lain yang mengarah pada suatu pilihan tertentu.

3) Sikap

Yaitu suatu kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara

tertentu terhadap hal-hal tertentu. Suatu kecenderungan yang

relatif stabil yang dimiliki seseorang di dalam bereaksi terhadap

diri sendiri, orang lain dan situasi-situasi tertentu.

4) Kepribadian

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

18

Yaitu suatu organisasi yang dinamis di dalam diri seseorang

yang berisikan sistem-sistem psikofisik dan penyesuaian yang

baik terhadap lingkungan.

5) Aspirasi

Yaitu suatu ketertarikan yang berkaitan langsung dengan

perwujudan cita-cita seseorang.

6) Inteligensi

Yaitu kemampuan seseorang untuk bertingkah laku sesuai

dengan tujuan yang telah ditetapkan.

7) Urutan Lahir

Urutan lahir yang mempengaruhi kualitas hubungan, baik

dengan orang tua maupun orang lain atau pun lingkungan luar.

b. Faktor dari sosial

1) Kelompok primer

Keluarga merupakan kelompok primer dan bagian dari

masyarakat (social cells) yang membentuk ide-ide, sikap,

melatih kebiasaan-kebiasaan, dasar-dasar pendidikan,

membangun kreativitas dan kedisplinan.

2) Kelompok sekunder

Keadaan masyarakat, mengenai sifat, sikap, dan pandangan dari

masyarakat.

Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Anna dan kawan-kawan (2010)

mengenai pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa pengambilan

keputusan merupakan suatu keterampilan yang kompleks, dan Anna

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

19

dkk juga mengungkapkan, ada dua aspek yang mempengaruhi

pengambilan keputusan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Mario dan Peter (2010). Aspek-aspek tersebut antara

lain :

a. Pengambilan Keputusan pada Situasi Afektif

Dalam situasi afektif, pengambilan keputusan yang diambil oleh

individu akan mengakibatkan konsekuensi emosional yang

signifikan (keuntungan atau kerugian), karena individu dihadapkan

langsung dengan hasil keputusan yang mereka ambil (Anna dkk,

2010). Sejalan dengan itu Mario dan Peter pun mengungkapkan hal

yang serupa bahwa evaluasi afektif mengacu pada emosi dan

dorongan yang diasosiasikan dengan objek sikap.

b. Pengambilan Keputusan pada Situasi Kognitif

Dalam situasi kognitif, keputusan individu tidak mengakibatkan

konsekuensi emosional yang signifikan, karena individu tidak

langsung dihadapkan dengan hasil dari keputusan mereka (Anna

dkk, 2010). Evaluasi kognitif juga mengacu pada pikiran dan

penyesuaian mengenai objek sikap itu (Mario & Peter, 2010).

B. Hidup Membiara

1. Pengertian

Biara menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI Daring

oleh Sugono, 2008), adalah rumah atau asrama tempat para petapa dan

bisa juga diartikan sebagai bangunan tempat tinggal orang-orang laki-

laki atau perempuan yg mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

20

ajaran agama di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan

tarikatnya. Hidup membiara, adalah gaya hidup yang dipahami sebagai

bentuk mencintai penderitaaan dan menjauhi semua kenikmatan dunia.

Gaya hidup seperti ini disebut juga monastisime (monasticism) yang

mulai muncul sekitar akhir abad ke-3.

Menurut Plato (dalam Niko Dister, 1989: 19), setiap orang

mempunyai keinginan dasariah untuk mengatasi keterbatasannya dan

mencapai keutuhan serta kepenuhan dalam persatuan. Plato menyebut

keinginan ini dengan “eros” yang berarti “cinta” dan “hasrat”. Manusia

itu makhluk antara, ia terdiri dari yang terbatas dan yang tak terbatas.

Hatinya didiami oleh “eros” yang menghubungkan manusia dengan

dewata. Karena jiwanya berasal dari dunia baka, sakit rindulah manusia

akan Nan Ilahi. Kerinduan itulah yang oleh plato disebut “eros”.

Vergote menyebut keinginan manusia akan keabadian serta hasratnya

akan persatuan dengan Yang Ilahi itu “eros religius”. Istilah ini dengan

tepat mengungkapkan hasrat manusia yang mendalam untuk

dibebaskan dari yang fana untuk memperolah keutuhan serta

kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati. Pada zaman

Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib dan rubiah tak lain

dari mencari Tuhan. Itulah yang mereka anggap sebagai satu-satunya

keaktifan yang dapat memuaskan dahaga manusia yang terdalam.

2. Sejarah Hidup Membiara Agama Katolik

Monasticism (Yun. monos, “satu, sendiri) adalah bentuk kebiasaan

kehidupan religius asketis, di mana individu mengambil kaul

kemiskinan, kemurnian, ketaatan, dan keseimbangan, memisahkan diri

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

21

dari masyarakat baik sendiri-sendiri atau dalam masyarakat. Tujuan

dari monastisisme adalah untuk mengejar, di bawah bimbingan aturan

formal, kehidupan doa dan bekerja untuk kemuliaan Allah, bagi

pengudusan pribadi, dan demi kebaikan Gereja dan dunia (McBrien,

1989: 883).

Sejak pada abad keempat, beberapa orang Kristen ingin

membaktikan dirinya semata-mata untuk hidup dalam kesederhanaan

dan doa. Tidak lama setelah kelahiran gereja Kristen, banyak umat

ingin membaktikan dirinya secara total kepada Allah dan dengan

demikian lahirlah gerakan hidup membiara. Sama seperti Yesus,

mereka pun mengasingkan diri ke padang gurun untuk berdoa (Keene,

2006). Seperti yang terdapat dalam kitab Markus pasalnya yang ke 10

ayat 21 mengatakan “Pergilah, jualah apa yang kaumiliki dan

berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh

harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku”.

Santo Antonius dari Mesir yang lahir pada tahun 251-356, adalah

salah satu dari antara mereka yang hidup menyendiri. Antonius

memberikan semua miliknya dan hidup menyendiri di padang gurun,

tetapi tidak lama kemudian dia mempunyai banyak pengikut. Untuk

memulai hidup bertapa bersama, Antonius sendiri menghabiskan waktu

selama 20 tahun dalam keheningan penuh, mereka kemudian

membentuk komunitas hidup membiara (Keene, 2006). Hal yang sama

juga disampaikan oleh Jacobs (1987), pada abad ke-3 dan ke-4 di

Palestina dan Mesir dalam padang gurun, di situ orang bertapa dan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

22

biasanya mengikuti seorang guru dan lama kelamaan terjadilah

kelompok pertapa disekitar seorang tokoh kesucian.

Banyak orang yang merasa tertarik akan cara hidup menyepi beliau,

lalu menetap di dekatnya. Banyak pula orang datang berkunjung minta

didoakan atau kesembuhan maupun meminta nasihat beliau. Selain itu

sejak pada zaman para rasul dan segera sesudahnya semangat kristiani

redup karena masyarakat hidupnya seringkali kurang kristiani, dan

sejak saat itu kaum biara pun timbul untuk menghidupkan kembali

semangat kristiani yang sejati, memperlihatkan cita-cita kristiani di

dalam gereja, kaum biara menjadi kelompok kecil di dalam gereja dan

menghidupkan semangat kristiani pada umat.

Dalam kehidupan membiara para biarawan dan biarawati

mengikrarkan tiga kaul yang terdiri dari kaul kemurnian, ketaatan, dan

kemiskinan yang nanti akan dijelaskan secara lengkap. Pada awalnya

ketiga kaul ini tidak diucapkan bagi para biarawati maupun biarawan,

mereka hanya mengikatkan diri pada peraturan biara dan berusaha

sebaik mungkin “pengingkaran diri”, yang dipandang sebagai pokok

hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula

keperawanan atau kemurnian akan tetapi tidak dinyatakan secara

khusus. Pada tahun 1400 ketiga kaul dengan terang disebutkan (Jacobs,

1987).

Para biarawan dan biarawati harus dan mau menjadi orang kristiani

yang sejati, dan pokok bagi hidup membiara adalah tetap iman

Kristiani. Iman selalu berupa panggilan dan tuntutan, dapat dilihat

bagaimana Yesus memanggil Petrus, Paulus, atau Maria Magdalena,

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

23

atau semua orang yang mau mengikutiNya, “Setiap orang yang mau

mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan

mengikut Aku” (Markus 8 : 34). Jika pokok hidup membiara adalah

iman, maka pusat intinya adalah kesatuan dengan Kristus. Kesatuan

yang menentukan dan mewarnai hidup.

Percaya akan kristus berarti bahwa tidak ada jalan lain kepada Bapa

selain melalui Putra. Jadi iman berdasarkan panggilan, dan tanpa

panggilan tidak ada iman. Panggilan ini berarti bahwa kita

diperbolehkan mengenal Kristus, dari dalam. Sungguh mengenal

Kristus dari pusat hati kita. Panggilan bukan hanya dasar iman,

melainkan sekaligus juga intinya sebab panggilan berarti hubungan

pribadi dengan Allah. Iman yang berpangkal pada panggilan berarti

iman yang sungguh memberi nilai hidup (Jacobs, 1987).

Maka menjadi jelaslah bahwa panggilan bukan sesuatu yang

ditambahkan. Panggilan adalah dasar. Juga panggilan khusus untuk

menjadi biarawati. Kekhasan hidup membiara ialah mau menyatakan

sejelas-jelasnya bahwa hidup kristiani secara hakiki bersifat panggilan.

Dan dasar hidup membiara kristiani adalah hidup terpanggil (Jacobs,

1987). Misalnya saja dengan memilih pekerjaan tertentu atau dengan

menjadi mempelai atau menetap disana atau disini. Tidak untuk kaum

biarawan, seluruh hidup mereka ditentukan oleh panggilan.

Sekali lagi dikatakan bahwa pokok hidup membiara adalah

mengikuti Kristus. Selain iman yang menjadi pokok hidup membiara,

ada juga yang menjadi sangat penting yaitu kebersamaan hidup dalam

iman akan Kristus itu sendiri. Hidup bersama dengan saling

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

24

meneguhkan dan menguatkan dalam iman, dan hidup bersama berarti

harus ada pengaturan hidup bersama. Kalau mau saling meneguhkan

iman harus ada komunikasi iman. Jika membentuk suatu komunitas

dalam Kristus, maka harus ada bentuk dan gaya hidup. Semula umat

Kristiani membedakan diri dari gaya hidup masyarakat kafir, tetapi

abad ke-4 ketika masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, maka

kekhas Kristiani mulai luntur. Pada saat itu ada orang-orang yang

mengundurkan diri dari mayarakat ramai untuk mencari bentuk

kehidupan yang lebih khas Kristiani. Ini adalah titik pangkal dalam

selibat. Bukan selibat sebagai janji saja, tetapi selibat sebagai gaya

hidup mereka.

Hidup membiara berhubungan dengan kemampuan intuisi rohani

manusia, dimana intuisi rohani ini lebih merupakan suatu rahmat yang

dianugerahkan, meski dapat dilatih secara akademik atau secara

pengalaman (Emmanuel, 2009). Menurut Darminta, 2006 (dalam

Emmanuel, 2009) mengatakan bahwa hidup membiara terlepas dari

kemampuan inderawi, tetapi lebih nampak dalam hidup secara terarah

ketujuan, secara merdeka dalam keterfokusan dan membuahkan

kemauan atau komitmen yang kuat.

Dasar hidup bersama dalam membiara jelas bukan karena kesamaan

hobi atau sifat atau suku, tetapi karena panggilan Tuhan sendiri

(Markus 3:13-19). Seperti para murid Tuhan Yesus yang dipanggil dan

diutusNya sendiri (Emmanuel, 2009). Masing-masing biarawan tetap

pribadi yang lain yang berbeda dengan segala kekhasan, sifat, watak,

kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena dasarnya adalah

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

25

panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan

menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas dalam membiara

(Emmanuel, 2009).

3. Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha

Orang-orang sudah mengikuti pengajaran-pengajaran Buddha lebih

dari 2.500 tahun, berasal dari India tempat tinggalnya, lalu menyebar ke

Eropa dan Amerika. Sekarang ada hampir 400 juta orang Buddha di

seluruh dunia. Umat Buddha percaya bahwa manusia terikat di dalam

lingkaran lahir, hidup, dan mati dan bahwa mereka dapat lahir kembali

berulang kali sampai tak terhitung jumlahnya dengan tingkatan hidup

yang berbeda. Dan mereka juga percaya bahwa mereka dapat

menghindarkan diri dari kelahiran kembali dan dapat masuk 1nirwana.

Pengajaran-pengajaran Buddha merupakan bimbingan bagi seluruh

umat Buddha yang mempunyai keinginan besar meningkatkan

kebijaksanaan, belas kasihan, dan menghindari kekerasan, hingga pada

akhirnya mereka seperti Buddha dan dapat menerima pencerahan.

Dalam agama Buddha, hidup membiara dimulai oleh Sidharta

Gautama. Menurut para ahli barat, Buddha Gautama pendiri agama

Buddha dilahirkan pada tahun 563 S.M (Hadiwijono, 2003). Ia adalah

anak Raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya dan nama

ibunya permasuri Maya. Ia dibesarkan di ibukota Kapilawastu. Pada

waktu perayaan di Kapilawastu, permasuri Maya memimpikan seekor

gajah putih masuk ke dalam rahimnya kemudian 10 bulan kemudian ia

1Surga (KBBI) atau secara harafiah berarti pendinginan (Hadiwijono, 2003)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

26

melahirkan dan seketika itu bumi bergetar selama bulan purnama pada

bulan Mei. Maya meninggal 7 hari kemudian, dan pangeran dibesarkan

dalam kehidupan yang serba mewah oleh bibinya yang sekaligus juga

ibu tirinya yang bernama Ratu Mahaprajapatt.

Pada waktu hidupnya sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh

kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Sang raja, ayah dari

Siddharta ingin menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi

pemimpin agama. Akan tetapi Siddharta tidak merasa senang dengan

kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik pada kehidupan petapaan.

Kehidupan istana yang memberikan hak-hak istimewa pada pangeran

Siddharta Gautama diubahnya untuk selama-lamanya ketika ia pertama

kalinya melihat orang yang sudah tua, orang sakit, sekelompok orang

sedang berduka, dan orang suci. Ketika perlahan-lahan berhasil keluar

istana, ia mendapat empat pengalaman yang memperkuat kehendaknya

:

Pengalaman 1: Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan

menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan,

dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu dengan orang tua

sebelumnya.

Pengalaman 2: Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, dan

ia merasa terkejut melihat penderitaan demikian dan “bergetar seperti

pantulan cahaya bulan dalam riak air”. Ia tidak pernah mengalami

penderitaan seperti ini.

Pengalaman 3: Ia melihat orang yang sedang menangis dalam duka

pada prosesi pemakaman dan perasaannya terganggu oleh suasana

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

27

penderitaan karena kematian. Ia tidak pernah melihat peristiwa

kematian sebelumnya.

Pengalaman 4: Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan

rasa puas dan gembira, berjalan berkeliling dengan mangkok derma di

tangannya. Ia tiba-tiba mengerti bahwa semua kesenangan hidup tidak

berarti.

Dari pengalaman tersebut pada akhirnya memperkuat tekadnya dan

ia berhasil keluar istana. Siddharta pergi meninggalkan anak dan

istrinya serta segala kenikmatan hidup dalam istana.

Dimulailah kehidupan pengembaraan untuk mencapai kelepasan.

Pada suatu sore (waktu itu ia berumur 30 tahun) ia duduk di bawah

pohon bodhi di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan

pohon itu sebelum mendapat pencerahan. Dan kemenangannya dicapai

ketika matahari terbit. Kemudian Siddharta Gautama mengajarkan apa

yang sudah didapatnya itu kepada umat manusia, awalnya pengikutnya

hanya 5 orang, tetapi kemudian bertambah banyak hingga saat ini.

Di negara Indonesia yang paling jelas sifat kebiaraannya ialah

agama Buddha. Boleh dikatakan bahwa pokok agama Buddha sendiri

adalah hidup membiara. Ciri khas para pertapa Buddha ialah matiraga

dan konsentrasi. Dan inti hidup membiara Buddhis adalah latihan

2askese dengan syaratnya yang utama ialah meninggalkan segala harta

miliknya dan janji hidup wadat (Jacob, 1987)

Semula seorang rahib atau bhikkhu diharuskan hidup tanpa rumah

atau tanpa tempat berlindung tetap. Oleh karena itu barangsiapa hendak

2 Ulah tapa mati raga (KBBI).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

28

menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya, hidup dari iman saja.

Biasanya mereka hidup mengembara dan mencari tempat berlindung di

hutan-hutan atau di bawah pohon yang rindang. Hanya pada musim

hujan mereka diperkenankan berlindung di rumah yang dibuatnya

sendiri. Akan tetapi kemudian mereka diperkenankan berkumpul dalam

biara (Hadiwijono, 2003).

Biara atau wihara, menjadi pusat devosi umat Buddha, walaupun

ibadat dapat juga dilaksanakan di kuil dan di tempat pemujaan di

rumah-rumah umat Buddha. Selain itu biara juga merupakan tempat

untuk kegiatan spiritual disamping sebagai tempat belajar. Dalam biara

para raihb Buddha menjalani hidup berdevosi dan bermeditasi. Mereka

mengajarkan Dharma “hukum universal”, yaitu ajaran-ajaran Buddha

kepada manusia dan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan spiritual

mereka. Mereka juga dibutuhkan oleh umat untuk berbagai upacara

yang menyangkut kehidupan khususnya upacara kelahiran, perkawinan,

dan kematian.

Hal diatas serupa dengan yang dikatakan oleh Zhao (2007), mereka

pengikut yang telah meninggalkan keduniawian masuk dalam

komunitas yang disebut 3sangha, di dalam sangha para bhikkhu dan

bhikkhuni membantu dalam pelatihan dan penghidupan orang-orang

yang telah meninggalkan keduniawian, mereka harus menjalankan

kehidupan dalam komunitas kebiaraan.

3 Pelembagaan agama Buddha (Becher, 2001; 209).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

29

Hidup kerahiban diatur di dalam Kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini

kita dapat mengetahui bahwa hidup para bhikkhu maupun bhikkhuni

ditandai oleh 3 hal yaitu (Hadiwijono, 2003),:

a. Kemiskinan, seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan.

Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya. Semula

seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tempat yang tetap

(tetapi sekarang mereka diperkenankan berkumpul dalam biara),

karena itu barangsiapa hendak menjadi rahib ia harus meninggalkan

rumahnya dan hidup dari iman saja. Makanan pun mereka harus

mendapatkan dari mengemis, hidup mengemis memberikan sumber

inspirasi bagi banyak kebajikan.

b. Hidup membujang, seorang rahib harus membujang, mereka tidak

diperkenankan berhubungan sebab hubungan seks dipandang

sebagai sumber dosa. Dosa yang terbesar yang menjadikan seorang

rahib dikeluarkan dari sangha (persekutuan) ialah hidup mesum.

c. Ahimsa (tanpa perkosaan), hal ini berarti mereka tidak

diperkenankan membunuh atau melukai makhluk lainnya.

Seorang rahib, disebut bhikkhu atau bhikkhuni bagi wanita dalam

bahasa 4Pāli. Pertama-tama bhikkhu maupun bhikkhuni ditahbiskan

sebagai samanera atau samaneri (calon bhikkhu dan bhikkhuni) untuk

jangka waktu setahun atau lebih. Mereka kerap ditahbiskan pada usia

yang sangat belia, akan tetapi umumnya tidak di bawah usia 8 tahun.

Mereka hidup sesuai dasasila, namun tidak diwajibkan menaati seluruh

peraturan monastik. Tahbisan yang lebih tinggi, yakni status penuh

4 Bahasa yang digunakan penganut agama Buddha di India (Theravada).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

30

sebagai seorang bhikkhu maupun bhikkhuni, biasanya hanya diberikan

kepada yang sudah berusia 20 tahun atau lebih.

Seorang samaneri menjalankan tiga tahapan untuk bisa ditabhiskan

menjadi seorang bhikkhuni : (1) pabbajja, merupakan penahbisan

pemula, seorang wanita harus meninggalkan kehidupan duniawinya

seperti meninggalkan rumahnya; (2) sikkhamana, merupakan pelatihan

untuk persiapan ditahbiskan secara penuh, pelatihan ini untuk jangka

waktu dua tahun; (3) upasampada, samaneri ditahbiskan menjadi

bhikkhuni oleh sangha bhikkhuni dan sangha bhikkhu (Ven. Bhikkhu

Bodhi, 2009).

Selain peraturan-peraturan tersebut, ada beberapa peraturan yang

khusus diberikan oleh para bhikkhuni-bhikkhuni dalam menjalani

kehidupan membiaranya. Dan peraturan-peraturan tersebut akan

dibahas dalam judul bhikkhuni Buddha dan aturan-aturannya.

C. Biarawati

1. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring oleh

Sugono, 2008), biarawati adalah seorang perempuan yg hidup di dalam

biara. Biarawati juga dapat diartikan sebagai seorang perempuan yang

secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan

hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah.

Istilah ini juga dipakai di berbagai agama seperti Katolik Roma, Jain,

Lutheran, dan Buddhisme.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

31

Dalam agama Kristen Katolik biarawati dikenal dengan sebutan

suster dan saudari, sedangkan dalam agama Buddha biarawati disebut

dengan panggilan bhikkhuni maupun rubiah yang kesemuanya itu

berarti adalah orang-orang yang menjadi anggota perkumpulan

kerohanian yg hidup di dalam biara dan menjalani kehidupan monastik.

Mereka yang memilih profesi sebagai biarawati memiliki

konsekuensi-konsekuensi yang terdapat dalam tradisi agama mereka

dan tarikat mereka. Karena setiap agama memiliki konsekuensi yang

berbeda, tetapi tetap memiliki cita-cita yang sama yaitu mencapai

kesempurnaan bersama Ilahi. Dengan berbagai konsekuensi yang

mereka lakukan mereka mejauhkan diri dari yang fana dan duniawi

untuk melayani Tuhan.

Pada umumnya, biarawan maupun biarawati mengusahakan cara

hidup yang sesuai dengan cita-cita injil. Mereka suka membantu orang

yang membutuhkan bantuan. Ada biarawan yang membentuk kelompok

usaha pertanian selaras dengan kehidupan di pedusunan.

2. Biarawati Katolik dan Peraturan-peraturannya

Biarawan Katolik pada abad ke-5 jumlahnya bertambah banyak. Di

kota Konstantinopel sudah ada sekitar enam puluh lima biara untuk pria

dan enam puluh lima biara untuk wanita (Schie, 1994). Santo

Benedictus (480-550) dianggap sebagai bapak hidup membiara di Barat

karena beliau yang menciptakan peraturan hidup membiara yang masih

digunakan oleh banyak biarawan dan biarawati untuk mengatur

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

32

kehidupan komunitas mereka (Keene, 2006). Peraturan itu berisi tiga

kaul yang harus ditaati oleh para biarawan dan biarawati, tiga kaul

tersebut antara lain:

a. Kaul kemurnian, seorang biarawan atau biarawati hidup selibat,

tidak menikah demi kerajaan sorga. Anggota komunitas religius

dilarang melakukan segala macam bentuk hubungan seksual atau

nafsu birahi yang kuat (Kenee, 2006). Hidup selibat tidak berarti

memiliki sikap acuh terhadap sesama, baik secara jenis maupun

lawan jenis, seseorang biarawati tetap menjalin hubungan dengan

semua orang, tidak terbatas bagi orang tertentu saja (Emmanuel,

2009).

b. Kaul ketaatan, seorang biarawan atau biarawati harus tunduk pada

otoritas yang ada di dalam Gereja. Barang siapa memasuki ordo

religius diwajibkan hidup taat secara total kepada kaul komunitas

dan akhirnya taat total kepada kehendak Allah (Kenee, 2006).

Ketaatan biarawati dalam penyerahan kehidupannya merupakan

wujud penyerahan diri secara total untuk gereja dan juga sesama

(Emmanuel, 2009).

c. Kaul kemiskinan, seorang biarawan atau biarawati harus hidup

miskin. Harta milik harus dibawa ke komunitas jika mereka

menjadi biarawan atau biarawati dan digunakan untuk kepentingan

bersama (Charly&Kurniati, 2006). Hidup miskin bukan berarti

hidup melepaskan secara total terhadap barang-barang duniawi,

dengan kaul kemiskinan biarawan tetap membutuhkan barang-

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

33

barang duniawi tersebut, namun tidak mengikat diri pada barang-

barang tersebut (Emmanuel, 2009).

3. Biarawati Buddha dan Peraturan-peraturannya

Ordo monastik Buddhis terdiri atas dewan para bhikkhu (laki-laki)

dan dewan para bhikkhuni (perempuan). Pada awalnya dewan ini hanya

beranggotakan kaum pria namun berkembang hingga mencangkup

kaum wanita setelah ibu tiri dari Sang Buddha, yaitu Maha prajapati,

ingin menjadi pendeta perempuan. Pada awalnya meskipun ia

melakukan upaya-upaya dahsyat untuk mencapai kerinduannya menjadi

pendeta, ia tidak diterima oleh Buddha. Akhirnya atas nasihat Ananda,

seorang murid Buddha, ia diperbolehkan menjadi pendeta (Becher,

2001).

Sang Buddha memperkenankan mereka menjadi bhikkhuni apabila

mereka bersedia menerima delapan persyaratan yang keras atau

garukamma (Tim Penyusun, 2003), yaitu :

a. Seorang bhikkhuni, meskipun telah ditahbiskan selama 100 tahun,

harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempatnya, memberi

hormat dengan kedua tanggannya dirangkap di dada kepada seorang

bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Aturan ini harus dipatuhi dan

tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

b. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang

tidak terdapat bhikkhu. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh

dilanggar selama hidupnya.

c. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal

dari bhikkhu sangha, yaitu; hari untuk melakukan latihan dan hari

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

34

untuk mendapatkan nasehat-nasehat dan teguran-teguran. Aturan ini

harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

d. Setelah menjalani vassa, seorang bhikkhuni harus memohon kepada

bhikkhu sangha dan bhikkhuni sangha untuk mendapatkan teguran

dan peringatan apa yang dilihat, didengar dan dicurigai (mengenai

dirinya). Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama

hidupnya.

e. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani

hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya dari bhikkhu

sangha dan bhikkhuni sangha. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak

boleh dilanggar selama hidupnya.

f. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang

calon bhikkhuni harus memohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni.

g. Seorang bhikkhu tidak boleh dimarahi dan dihina dengan cara

apapun oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak

boleh dilanggar selama hidupnya.

h. Mulai hari ini, seorang bhikkhuni dilarang memberikan peringatan

kepada seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang

memberikan peringatan kepada seorang bhikkhuni. Aturan ini harus

dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

Peraturan-peraturan yang lengkap berjumlah 348 yang umumnya

disebut 500 Aturan-aturan bhikkhuni. Aturan-aturan bhikkhuni terdiri

dari 348 pasal yang dibagi atas 7 judul; 1) Parajika, 2) Snghavasesa, 3)

Naihsargika-prayascittika, 4) Prayaascitta, 5) Pratidesaniya, 6)

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/2/T1_802007079_BAB II.pdf · Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib

35

Siksakaraniya, 7) Adhykarana-Samadha. Dalam parajika sendiri

terdapat delapan aturan.

Menghindari seksualitas merupakan hal yang terpenting dalam

kehidupan bhikkhu dan bhikkhuni, hubungan heteroseksual maupun

homoseksual adalah pelanggaran parajika. Jika bhikkhu maupun

bhikkhuni yang melakukan hubungan seksual itu berarti mengeluarkan

dirinya sendiri dari sangha, segala tindakan yang mengarah pada

hubungan seksual dapat menimbulkan sanksi skorsing sampai pada

pengusiran dari sangha dan tidak lagi menjadi bagian dari bhikkhu

maupun bhikkhuni lagi.