bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapan
Lingkungan (Environmental Disclosure)
Akuntansi lingkungan adalah metodologi untuk
mengidentifikasi dan mengukur biaya dan manfaat dari
sebuah kegiatan lingkungan untuk mengurangi
dampak lingkungan (Chrismawati, 2007). Akuntansi
lingkungan bertujuan mengukur biaya (cost) dan
manfaat (benefit) sosial sebagai akibat kegiatan
perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan sebagai
akibat dari kerusakan lingkungan, maka muncullah
biaya lingkungan (Anggraini, 2008). Biaya lingkungan
(environmental cost) adalah dampak baik finansial
maupun non finansial yang menjadi beban sebagai
akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas
lingkungan (Djogo, dalam Kartikasari, 2012). Hasil
akuntansi lingkungan ini digunakan oleh para
pimpinan perusahaan untuk membuat keputusan yang
berkaitan dengan perbaikan lingkungan.
Bethelot (dalam Al Tuwaijri, 2004) mendefinisikan
environmental disclosure sebagai kumpulan informasi
yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan
lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang
dan yang akan datang. Informasi ini dapat diperoleh
15
dengan banyak cara, seperti pernyataan kualitatif,
asersi atau fakta kuantitatif, bentuk laporan keuangan
atau catatan kaki. Sejalan dengan ini, menurut
Wilmshurst dan Frost (2000) environmental disclosure
adalah pengungkapan perusahaan yang terkait dengan
dampak aktivitas-aktivitas perusahaan pada
lingkungan fisik atau alam, di mana perusahaan
tersebut beroperasi.
Zhegal dan Ahmed (1990) mengidentifkasi bahwa
pelaporan lingkungan hidup meliputi antara lain
pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau
perbaikan kerusakan lingkungan, konservasi alam dan
pengungkapan lain yang berhubungan dengan
lingkungan. Pengungkapan lingkungan hidup juga
merupakan respon terhadap kebutuhan informasi dari
berbagai kelompok yang berkepentingan (interest
groups) seperti serikat pekerja, aktivis lingkungan
hidup, kalangan religius dan kelompok lain (Guthrie
dan Parker, 1990).
Dari beberapa definisi pengungkapan lingkungan
(environmental disclosure) di atas maka dapat
disimpulkan bahwa environmental disclosure adalah
pengungkapan perusahaan yang terkait dengan
dampak aktivitas-aktivitas perusahaan pada
lingkungan fisik atau alam, di mana perusahaan
tersebut beroperasi. Atau secara singkat, environmental
16
disclosure adalah pengungkapan informasi yang
berkaitan dengan lingkungan didalam laporan tahunan
perusahaan.
Environmental disclosure merupakan wujud
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Mengingat
environmental disclosure ini banyak menimbulkan biaya
maka tentunya harus ada manfaat yang dapat
diperoleh dari pengungkapan tersebut. Adapun manfaat
dari adanya environmental disclosure menurut Parsons
(dalam Suhardjanto, 2010) adalah bahwa stakeholder
perusahaan dapat memantau aktivitas yang dilakukan
oleh perusahaan dalam rangka memenuhi tanggung
jawab sosialnya. Dengan cara demikian, perusahaan
akan memperoleh perhatian, kepercayaan dan
dukungan dari stakeholder sehingga perusahaan dapat
tetap eksis.
Corporate environmental disclosure (CED) dapat
mempengaruhi tuntutan dan ketersediaan atas
pelaporan keuangan yang bermutu melalui salah satu
dari dua cara, yaitu entrenchment effect dan
alignment effect. Entrenchment effect memotivasi
perusahaan sebagai penyedia laporan keuangan untuk
mengelola laba secara oportunistik. Manajemen
mungkin memiliki insentif untuk mengejar keuntungan
pribadinya dan mengambil alih kekayaan dari
pemegang saham lainnya (Prior et al., 2010). Hal ini
17
dikarenakan kurang efektifnya pengawasan yang
dilakukan oleh dewan komisaris. Pandangan lain
adalah alignment effect, yang didasarkan pada argumen
bahwa perusahaan memiliki insentif untuk melaporkan
dengan itikad baik dan dengan demikian memiliki laba
yang berkualitas. Perusahaan dapat membuat
keputusan lebih cepat dan memiliki insentif untuk
menciptakan kesetiaan karyawan dalam jangka
panjang (Wang, 2006).
Pengukuran pengungkapan lingkungan
perusahaan dapat menggunakan indeks social
responsibility disclosure yang dikembangkan dari
Hackson and Milne (1996); Deegan, Rankin and Tobin
(2002); Branco, Eugénio and Ribeiro (2008); William
and Pei (1999); dan Gray, et al (1995) seperti dikutip
oleh Eugenio (2009). Dalam indeks social responsibility
disclosure mencakup aspek pengungkapan lingkungan,
pengungkapan sumber daya manusia, pengungkapan
produk dan konsumen, serta pengungkapan
keterlibatan terhadap masyarakat, Namun dalam
penelitian ini pengukuran hanya difokuskan pada
pengungkapan lingkungan. Untuk setiap item yang
diungkap dalam daftar pernyataan pengungkapan
lingkungan dinilai 1, sedangkan untuk item yang tidak
diungkap dalam daftar pernyataan pengungkapan
lingkungan dinilai 0. Pengungkapan lingkungan
18
perusahaan dilakukan dengan perhitungan sebagai
berikut:
Jumlah item yang diungkapkan perusahaan
CED = Jumlah item pengungkapan lingkungan
2.2 Good Corporate Governance
Komit Cadbury mendefinisikan Good Corporate
Governance yaitu prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan
perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban
kepada para shareholders khususnya dan stakeholders
pada umumnya (Daniri, 2005). Dalam konteks di
Indonesia, Good Corporate Governance didefinisikan
sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan
nilai tambah kepada pemegang saham secara
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang
berlaku (Daniri, 2005). Dari beberapa definisi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa Good Corporate
Governance adalah adalah suatu praktik pengelolaan
perusahaan secara baik dengan mempertimbangkan
keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh
stakeholders sehingga dengan demikian maka
19
pengelolaan sumberdaya perusahaan diharapkan
menjadi efisien, efektif, ekonomis dan produktif dengan
selalu berorientasi pada tujuan perusahaan.
Kebutuhan good corporate governance timbul
berkaitan dengan agency theory, yaitu untuk
menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Konflik muncul karena perbedaan kepentingan tersebut
haruslah dikelola sehingga tidak menimbulkan
kerugian pada para pihak. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Setyawan dan Zhulaikha (2012)
bahwa Good Corporate Governance sebagai sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
diharapkan dapat memberikan kepercayaan terhadap
manajemen dalam mengelola kekayaan pemilik
(pemegang saham), sehingga dapat meminimalkan
konflik kepentingan dan meminimumkan biaya
keagenan.
Sebagaimana diketahui bahwa agency theory
menjelaskan hubungan kerja antara pihak pemberi
wewenang (prinsipal) dengan pihak penerima wewenang
(agen). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa
dalam hubungan keagenan terdapat adanya konflik
kepentingan anatara prinsipal dan agen. Konflik
kepentingan tersebut terjadi karena kemungkinan agen
bertindak tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Selain itu, dalam agensi teori juga terdapat masalah
20
asimetris informasi. Manajer sebagai pengelola
perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dal prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh
karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban
untuk memberikan informasi kondisi perusahaan yang
sebenarnya kepada pemilik. Akan tetapi, informasi
yang disampaikan terkadang tidak sesuai dengan
kondisi perusahaan yang sebenarnya (Hendriksen &
Van Breda, 2000). Adanya masalah keagenan yang
disebabkan karena konflik kepentingan dan informasi
asimetris mengakibatkan munculnya biaya keagenan
(agency cost) yang ditanggung perusahaan.
Sehubungan dengan adanya masalah keagenan
tersebutlah maka muncul pemikiran mengenai Good
Corporate Governance dimana pengelolaan perusahaan
harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan
bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh
kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan
yang berlaku (Daniri, 2005). Good Corporate Governance
diharapkan mampu untuk mengatasi konflik
kepentingan dan informasi asimetris sehingga dapat
menekan biaya keagenan.
Pengimplementasian Good Corporate Governance
memerlukan komitmen dari seluruh elemen organisasi
dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang mengikat
21
di dalamnya. Setidaknya ada dua elemen organisasi
yang berperan dalam implementasi good corporate
governance tersebut yaitu dewan komisaris dan komite
audit. Kedua elemen tersebut dipilih karena mekanisme
Corporate Governance diarahkan untuk menjamin dan
mengawasi jalannya sistem governance dalam sebuah
organisasi (Walsh dan Schward, dalam Sabeni, 2005).
Fungsi pengawasan itu sendiri dilakukan oleh dewan
komisaris, dan dewan komisaris dapat membentuk
suatu komite audit untuk membantu menjalankan
fungsi mereka. Dalam penelitian ini, dewan komisaris
dan komite audit dilihat berdasarkan ukurannya
(jumlah anggota yang dimiliki) karena dengan
banyaknya jumlah anggota yang memadai diharapkan
pelaksanaan fungsi pengawasan akan menjadi efektif.
Dewan komisaris dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas
dan bertanggung jawab secara kolektif untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasihat
kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan
selalu melaksanakan tanggung jawab sosialnya dan
memantau efektifitas penerapan GCG yang
dilaksanakan perusahaan (Daniri, 2005).
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah
anggota dewan komisaris yang diangkat, bertugas, dan
22
bertanggung jawab untuk mengawasi dan memberi
nasehat kepada direksi. Ukuran dewan komisaris
dalam penelitian ini dihitung dari banyaknya jumlah
anggota dewan komisaris dalam perusahaan yang
informasinya dapat dilihat dari laporan tahunan
perusahaan.
Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris
dapat membentuk komite-komite yang dapat
membantu pelaksanaan tugasnya. Salah satu komite
yang dibentuk adalah komite audit, yang berfungsi
memberikan suatu pandangan tentang masalah
akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya,
sistem pengawasan internal serta auditor independen
(FCGI, 2002).
Sehubungan dengan komite audit ini, Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) telah mengeluarkan
keputusan ketua Bapepam nomor: Kep-29/PM/2004
mengenai Peraturan Nomor IX.1.5 tentang
Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite
Audit. Beberapa hal penting dalam peraturan tersebut
yang dapat dikemukakan disini antara lain bahwa:
komite audit wajib dimiliki oleh setiap perusahaan
publik; selain itu pedoman kerja komite audit (audit
committee charter) juga wajib diperlukan oleh
perusahaan publik; dalam pembentukan komite audit
disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa komite
23
audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang
komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua
orang anggota lainnya berasal dari luar emiten atau
perusahaan publik; dan mengingat bahwa komite audit
dibentuk oleh dewan komisaris maka komite tersebut
nantinya harus mempertanggung jawabkan
pekerjaannya kepada dewan komisaris.
Ukuran komite audit merupakan jumlah anggota
komite audit dalam perusahaan. Ukuran komite audit
diukur dengan menghitung jumlah anggota komite
audit dalam suatu perusahaan berdasarkan jumlah
keseluruhan anggota komite audit baik yang berasal
dari internal perusahaan maupun anggota komite audit
independen. Jumlah komite audit dalam penelitian ini
dapat dilihat dari laporan tahunan perusahaan.
2.3 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan (size) merupakan skala yang
digunakan dalam menentukan besar kecilnya suatu
perusahaan (Sari, 2012). Perusahaan yang skalanya
besar biasanya cenderung lebih banyak
mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan
daripada perusahaan yang mempunyai skala kecil.
Dikaitkan dengan teori agensi seperti yang dinyatakan
Sembiring (2005), bahwa semakin besar suatu
perusahaan maka biaya keagenan yang muncul juga
24
semakin besar, untuk mengurangi biaya keagenan
tersebut, perusahaan cenderung mengungkapkan
informasi yang lebih luas.
Ukuran perusahaan diukur berdasarkan total aset
yang dimiliki oleh perusahaan yang informasinya dapat
dilihat dari laporan tahunan perusahaan. Ukuran
perusahaan yang diukur dari total aset akan
ditransformasikan dalam bentuk logaritma dengan
tujuan untuk menyamakan dengan variabel lain,
karena nilai total aset perusahaan relatif lebih besar
dibandingkan dengan variabel-variabel lain dalam
penelitian ini.
2.4 Profitabilitas
Profitabilitas adalah ukuran mengenai
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan selama periode tertentu (Hanafi dan Halim,
1996). Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja
yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan
perusahaan yang ditunjukan oleh laba yang dihasilkan.
Secara garis besar laba yang dihasilkan perusahaan
berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan
oleh perusahaan. Ukuran profitabilitas dapat berbagai
macam seperti laba operasi, laba bersih, tingkat
pengembalian investasi/aktiva, dan tingkat
pengembalian ekuitas pemilik.
25
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba atau profit dalam upaya
meningkatkan nilai pemegang saham. Dalam penelitian
ini profitabilitas perusahaan diukur dengan Return on
Equity (ROE) yang merupakan ukuran efektifitas
perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan
dengan memanfaatkan modal yang dimilikinya. ROE
dihitung dengan menggunakan rumus :
Laba bersih setelah pajak (EAT) ROE = X 100%
Total ekuitas
2.5 Leverage
Leverage merupakan alat untuk mengukur
seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur
dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan yang
mempunyai tingkat leverage yang tinggi berarti
perusahaan sangat tergantung pada pinjaman luar
untuk membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan
yang mempunyai tingkat leverage rendah berarti
perusahaan lebih banyak membiayai asetnya dengan
modal sendiri. Dengan demikian tingkat leverage
menggambarkan resiko keuangan perusahaan
(Sembiring, 2005).
Dalam penelitian ini leverage perusahaan diukur
dengan Debt to Equity Ratio (DER) yang merupakan
ukuran kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan
26
semua kewajibannya dengan menggunakan modal yang
dimilikinya. DER dihitung dengan menggunakan
rumus :
Total Kewajiban
DER = X 100% Total ekuitas
2.6 Kepemilikan Saham Publik
Kepemilikan saham oleh publik adalah jumlah
saham yang dimiliki oleh publik. Pengertian publik
disini adalah pihak individu di luar manajemen dan
tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan
(Mulyono, 2010).
2.7 Pengembangan Hipotesis
2.7.1 Pengaruh Karakteristik Good Corporate
Governance terhadap Pengungkapan
Lingkungan
Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan
Lingkungan
Dewan komisaris merupakan salah satu elemen
penting bagi tata kelola perusahaan. Mengacu pada
pasal 108 UU No. 40 Th. 2007 disebutkan bahwa
dewan komisaris mempunyai tugas untuk melakukan
pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan
maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat
27
kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat
sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi
lingkungan oleh perusahaan, ukuran dewan komisaris
dapat memberi efek positif ataupun negatif. Jika
memberi efek positif berarti semakin besar ukuran
dewan komisaris maka komposisi pengalaman dan
keahlian yang dimiliki oleh anggota dewan komisaris
semakin meningkat sehingga dapat melakukan
aktivitas monitoring dengan lebih baik (Akhtaruddin et
al, 2009). Dengan proses monitoring yang lebih baik,
maka diharapkan pengungkapan informasi lingkungan
semakin luas dikarenakan kemungkinan manajer
untuk menyembunyikan informasi dapat dikurangi.
Sementara itu jika memberi efek negatif, maka ukuran
dewan komisaris yang berjumlah kecil akan memiliki
efektivitas yang baik terhadap pengawasan manajemen
perusahaan. Sebaliknya, dewan komisaris yang
berjumlah terlalu besar menjadi kurang efektif karena
dominasi anggota dewan komisaris yang mementingkan
kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya
sehingga mengesampingkan kepentingan perusahaan
(Muntoro, dalam Nur dan Priantinah, 2012). Selain
itu, jumlah dewan komisaris yang tidak terlalu banyak
28
akan menimbulkan kesepakatan mengenai
pengungkapan tanggungwajab sosial akan lebih mudah
didapat (Permana dan Raharja, 2012).
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Sembiring (2005) menemukan adanya pengaruh
ukuran dewan komisaris dalam perusahaan terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial pada perusahaan
yang tercatat (go-public) di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
seperti yang tercantum dalam Indonesian Capital
Market Directory 2002. Penelitian oleh Akhtaruddin et
al. (2009), menunjukan bahwa ukuran dewan
komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap
luas pengungkapan sukarela pada perusahaan-
perusahaan yang tercatat di Malaysia.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari
ukuran dewan komisaris terhadap
pengungkapan lingkungan.
Pengaruh Komite Audit terhadap Pengungkapan
Lingkungan
Komite audit merupakan komite yang bertugas
membantu dewan komisaris dalam melakukan
mekanisme pengawasan terhadap manajemen. FCGI
29
(2002) menyatakan bahwa komite audit harus terdiri
dari individu-individu yang mandiri dan tidak terlibat
dengan manajemen dalam melakukan tugas
operasional, dan harus memiliki pengalaman dalam
melasanakan fungsi pengawasan secara efektif. Focker
(dalam Said et al., 2009) menyebutkan bahwa komite
audit dianggap sebagai alat yang efektif untuk
melakukan mekanisme pengawasan, sehingga dapat
mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas
pengungkapan informasi perusahaan. Hal senada
dikemukakan oleh Ho dan Wong (dalam Akhtaruddin et
al., 2009) bahwa keberadaan komite audit dapat
mempengaruhi pengungkapan yang dilakukan
perusahaan secara signifikan. Jumlah komite audit
sangat penting bagi pengawasan dan pengendalian
perusahaan sehingga dengan adanya komite audit pada
suatu perusahaan maka akan menambah efektifitas
pengawasan termasuk praktik pengungkapn
lingkungan perusahaan. Dengan demikian, diharapkan
dengan ukuran komite audit yang semakin besar maka
pengawasan yang dilakukan akan semakin baik
sehingga kualitas pengungkapan lingkungan akan
semakin meningkat atau semakin luas.
Namun, tidak selalu ukuran komite audit yang
semakin besar akan semakin baik juga fungsi
pengawasannya. Hal ini dikarenakan besarnya ukuran
30
Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan tidak
mampu menjalankan fungsinya sebagai pengawas
internal perusahaan dengan baik, dalam hal ini untuk
mendorong corporate environmental disclosure.
Menurut Sommer (dalam Effendi, 2005), Komite Audit
di banyak perusahaan masih belum melakukan
tugasnya dengan baik. Banyak komite audit yang
hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti
review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak
mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara
mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan
tanggung jawab oleh manajemen.
Penelitian yang dilakukan oleh Said et.al. (2009)
menemukan bahwa ukuran komite audit berpengaruh
positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial.
Demikian halnya pada penelitian yang dilakukan oleh
Kamaliah dkk. (2011) yang menyatakan bahwa ukuran
komite audit berpengaruh positif luas pengungkapan
tanggung jawab sosial dalam laporan tahunan
perusahaan manufaktur di Indonesia.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H2 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari
ukuran komite audit terhadap pengungkapan
lingkungan.
31
2.7.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap
Pengungkapan Lingkungan
Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga
yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Secara umum perusahaan besar memiliki kelengkapan
informasi yang lebih luas dibandingkan dengan
perusahaan kecil. Semakin besar ukuran perusahaan
maka semakin besar kemungkinan perusahaan
tersebut untuk melaksanakan aktivitas tanggung jawab
sosial dan lingkungan. Dengan kata lain semakin besar
aset perusahaan maka semakin besar tanggung jawab
sosialnya, dan hal ini akan dilaporkan dalam laporan
tahunan, sehingga pengungkapannya juga semakin
luas (Lerner, dalam Siregar, 2001).
Suripto (1999) menyebutkan bahwa perusahaan
besar umumnya memiliki jumlah aktiva yang besar,
penjualan besar, sistem informasi yang canggih, jenis
produk yang banyak, struktur kepemilikan lengkap,
sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan secara
luas. Di samping itu perusahaan besar merupakan
emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih
besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai
wujud tanggung jawab sosial (Yulfaida dan Zhulaikha,
2012).
32
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Galani et al (2011) menyatakan bahwa ukuran
perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap
pengungkapan lingkungan dalam laporan tahunan
perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring
(2005) menemukan adanya pengaruh positif ukuran
perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan pada perusahaan yang tercatat (go-
public) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) seperti yang
tercantum dalam Indonesian Capital Market Directory
2002.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H3 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari
ukuran perusahaan terhadap pengungkapan
lingkungan.
2.7.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap
Pengungkapan Lingkungan
Profitabilitas merupakan faktor yang digunakan
oleh manajemen untuk lebih bebas dan fleksibel dalam
mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan
kepada pemgang saham. Belkaoui & Karpik (dalam
Darlis et al, 2009) mengatakan bahwa dengan
kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial)
33
menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan
menjadi profitable. Preston (dalam Anggraini, 2006)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas
perusahaan maka semakin besar pengungkapan
informasi sosial lingkungan. Bowman & Haire (dalam
Darlis et al, 2009) juga menyatakan hal yang sama
bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas maka
semakin tinggi juga pengungkapan informasi
lingkungan hidup suatu perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fatayatiningrum
(2011) menyatakan bahwa profitabilitas mempunyai
pengaruh positif terhadap pengungkapan lingkungan
dalam laporan tahunan perusahaan. Penelitian yang
dilakukan oleh Kokobu dkk (dalam Anggono dan Jesica,
2009) menyatakan bahwa semakin besar profitabilitas
akan membuat perusahaan mengungkapkan tanggung
jawab sosialnya.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H4 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari
profitabilitas terhadap pengungkapan
lingkungan.
34
2.7.4 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan
Lingkungan
Leverage memberikan gambaran mengenai
struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga
dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang
(Wijaya, 2012). Rasio leverage yang tinggi menunjukkan
bahwa perusahaan banyak dibiayai oleh investor atau
kreditur luar. Semakin tinggi rasio leverage berarti
semakin besar pula proporsi pendanaan perusahaan
yang dibiayai dari hutang (Waryanto,2010).
Dalam kaitannya dengan luas pengungkapan
informasi, teori keagenan memprediksi bahwa
perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi
akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena
biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal
seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976).
Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan
keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya
hak-hak mereka sebagai kreditur (Schipper dalam
Marwata, 2001). Oleh karena itu perusahaan dengan
rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk
melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada
perusahaan dengan rasio leverage yang rendah.
Sementara itu, pendapat berbeda dikemukakan
oleh Scott (dalam Wijaya, 2012) yang menyampaikan
pendapat bahwa semakin tinggi leverage kemungkinan
35
besar perusahaan akan mengalami pelanggaran
terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha
untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi
dibandingkan laba di masa depan. Perusahaan yang
memiliki rasio leverage tinggi akan lebih sedikit
mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial,
supaya dapat melaporkan laba sekarang yang lebih
tinggi (mengurangi biaya pengungkapan).
Penelitian yang dilakukan oleh Hossain et al (2006)
menyatakan bahwa leverage mempunyai pengaruh
negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Effendi dkk
(2012) menyatakan bahwa leverage perusahaan
berpengaruh negatif terhadap environmental disclosure.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H5 : Terdapat pengaruh negatif yang signifikan
dari leverage terhadap pengungkapan
lingkungan.
2.7.5 Pengaruh Kepemilikan Saham Publik
terhadap Pengungkapan Lingkungan
Semua peerusahaan yang go public dan telah
terdaftar dalam BEI adalah perusahaan-perusahaan
yang memiliki proporsi kepemilikan saham oleh publik,
36
yang artinya bahwa semua aktivitas dan keadaan
perusahaan harus dilaporkan dan diketahui oleh publik
sebagai salah satu bagian pemegang saham. Akan
tetapi tingkat kepemilikan sahamnya berbeda-beda
satu sama lain (Putra dan Rahardjo, 2011).
Perusahaan yang memiliki pemegang saham
publik akan terdorong untuk mengungkapkan aktivitas
corporate social responsibility lebih banyak (Cahyono,
2010). Semakin besar saham yang dimiliki oleh publik,
akan semakin banyak informasi yang diiungkapkan
dalam laporan tahunan, investor ingin memperoleh
informasi seluas-luasnya tentang tempat berinvestasi
serta dapat mengawasi kegiatan manajemen, sehingga
kepentingan dalam perusahaan terpenuhi (Rahajeng,
2010).
Penelitian oleh Hasibuan (2001) menjelaskan
bahwa semakin tinggi rasio/tingkat kepemilikan publik
dalam perusahaan diprediksi akan melakukan tingkat
pengungkapan yang lebih luas. Hal tersebut dikaitkan
dengan tekanan dari pemegang saham, agar
perusahaan lebih memperhatikan tanggung jawab
sosialnya terhadap masyarakat.
Berdasarkan uraian dan temuan penelitian
sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
37
H5 –
f
H6 +
f
H6 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari
kepemilikan saham publik terhadap
pengungkapan lingkungan.
2.8 Model Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pengembangan hipotesis seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat sebuah
model hipotesis seperti tampak pada Gambar 2.1.
berikut ini :
Gambar 2.1 Model Hipotesis Penelitian
H1 +
H2 +
H3 +
H4 +
Dewan Komisaris
(X1)
Komite Audit
(X2)
Ukuran Perusahaan
(X3)
Profitabilitas
(X4)
Leverage
(X5)
Kepemilikan Saham
Publik (X6)
Pengungkapan Lingkungan
(Y)