bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sesuai dengan judul di atas, Bab ini berisi gambaran konsep-konsep,
negara hukum, penilaian atau pengujian terhadap Keputusan atau tindakan dari Badan
atau Penyelenggara Negara; Kewenangan Pengadilan atau Hakim menilai tindakan
Badan atau Pejabat TUN; Pengertian kompetensi, khususnya berisi uraian mengenai
kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang merupakan
masalah utama dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
Adapun tujuan dari deskripsi hal-hal yang telah dikemukakan di atas itu,
tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, dengan
mengacu kepada sejumlah kepustakaan yang relevan. Adapun rumusan masalah
tersebut yaitu; “Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa
hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau
Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta?”
2.1. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Artinya, segala
21
tindakan Pemerintah maupun warga masyarakat harus berdasarkan hukum,1 bukan
berdasarkan kekuasaan (maachtsstaat).
Hukum mendikte bahwa dalam suatu Negara hukum,2 maka tujuan negara
seperti yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal ini
menandakan bahwa sejak semula negara Indonesia sudah mempunyai konsep negara
1Ridwan, HR., dalam bukunya: “Hukum Administrasi Negara”, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003,
dalam halaman 65-66 mengatakan: “Asas Legalitas yang merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan Pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara
hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental”.
Selanjutnya dikatakan, asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappij
van de wet). Dalam bidang hukum administrasi negara memiliki makna, “Dat het bestuur aan de wet is
onderworpen” (bahwa Pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legaliteitsbeginsel houdt
in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten” (asas legalitas
menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-
undang).Negara hukum (rechtsstaat).
2Dalam sebuah Seminar (workshop) pada tanggal 25 November 2011 di Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana, makalah dari Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D yang berjudul “Menegakkan
Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat” dalam halaman 4 dan 6, yang mengatakan: Secara
spesifik, negara hukum dimengerti manakala Hukum (the law) dilihat sebagai panglima tertinggi
(supreme) dalam negara yang menggeser kedudukan penggunaan kesewenang-wenangan.
Selanjutnya Beliau mengatakan, dalam pengertian yang menunjuk hakikat negara hukum, maka
tuntutan yang harus (niscaya) atau mau tidak mau wajib ada adalah bahwa semua penyelenggara
negara, termasuk di dalamnya kepala negara (the head of state) harus ditundukkan kepada hukum yang
berlaku (take it or simply leave it). Inilah yang telah menyebabkan seorang ahli hukum tata negara
Inggris (England) yang sangat terkemuka bernama Dicey bertekuk lutut dan mengakui kebenaran
hukum di negara tetangganya Skotlandia yang memaksa setiap orang untuk patuh kepada prinsip yang
didikte oleh hukum!! Bahwa setiap warga negara harus dimampukan untuk dapat meminta
pertanggungjawaban setiap pejabat Pemerintah atas setiap perbuatannya di Pengadilan (the ordinary
courts of law).
22
kesejahteraan,3 sebagaimana dikte hukum (the dictate of the law). Sehingga tidak
dapat dipungkiri bahwa konsep negara hukum ini sangat penting, tidak lain karena
negara hukum akan selalu baik dan benar, menurut dikte hukum.
Hadirnya pemahaman tersebut di dalam konstitusi, sesuai dengan
pengertian negara hukum (rechtsstaat) yang dikemukakan oleh sarjana di negara
Eropa Kontinental.
Immanuel Kant (1724-1804) memberikan unsur-unsur negara hukum
yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan.
Sejalan dengan Kant, Stahl juga mengamini dikte hukum ke dalam
“kepala” mereka, dan mengatakan bahwa unsur-unsur negara hukum, diantaranya
perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu, Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
serta Peradilan Administrasi dalam menyelesaikan perselisihan,4 antara Warga
Negara (privat) dengan pihak Pemerintah (publik).
Apabila konsep kontinental di atas dibandingkan dengan ajaran sistem
negara hukum (rule of law) yang dikemukakan oleh A. V. Dicey, konsep negara
hukum berarti supremasi aturan-aturan hukum (supremacy oh the law), kedudukan
3Prof. DR. Sri Soemantri M, S.H., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1992, hlm. 43-44.
4Ridwan, HR., dalam bukunya: “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 3.
23
yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), serta terjaminnya
hak-hak manusia oleh undang-undang.5
Adapun persamaan dari kedua konsep negara hukum ini, baik pada the
rule of law maupun pada rechtsstaat, diakui adanya kedaulatan hukum atau
supremasi hukum, melindungi individu terhadap Pemerintah yang sewenang-wenang
atau perlindungan atas hak-hak dasar manusia.6
2.2. Peradilan Administrasi
Peradilan administrasi tidak ditemui dalam ajaran sistem negara hukum
(rule of law)7 yang dikemukakan oleh F. J. Stahl meskipun sarjana itu sangat
memahami betul bahwa tindakan Pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakat
akan menimbulkan permasalahan.
Pandangan sebagaimana dikemukakan di atas itu dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa negara dalam perkembangannya terus memahami dikte hukum
untuk tidak hanya melakukan tugas (obligations) dalam menegakkan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat (negara jaga malam), akan tetapi sudah mengalami
5Ibid. 3.
6DR. H. Iriyanto A. Baso Ence, S.H., M.H., Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 14-15.
7Bandingkan dengan ajaran negara hukum yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang menyatakan
bahwa didalam paham negara hukum, kekuasaan negara diartikan secara pasif. DR. H. Iriyanto A.
Baso Ence, S.H., M.H., Ibid, hlm. 15.
Konsep negara hukum Kant menganggap bahwa dalam menjalankan tugasnya, Pemerintah dinggap
tidak akan melakukan kesewenang-wenangan. Hal ini yang menjadikan hadirnya perkembangan
pemahaman negara hukum yang dianutnya pemisahan dan pembatasan kekuasaan.
24
peningkatan yaitu memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum (welfare
state).8 Tugas atau obligations Pemerintah menjadi kompleks mengatur kehidupan
masyarakat, manakala dalam melaksanakan tugas-tugas (obligations) atau perikatan
tersebut Pemerintah ternyata menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar dari
setiap Warga Negara, sehingga menurut hukum Pemerintah harus diawasi yaitu
melalui lembaga judicial dengan (judicial review). Sejatinya negara hukum
sebagaimana didikte hukum dengan isi/kandungan dan keampuhan kaedah negara
hukum yang berpihak kepada kedaulatan rakyat9 sudah cukup, tapi ada saja
pandangan bahwa masih saja hal itu tidak dipatuhi (obeyed) oleh Pemerintah sebagai
penyelenggara kesejahteraan umum (welfare state) yang menyebabkan kesewenang-
wenangan.
Ini menandakan bahwa Peradilan administrasi sangat penting dalam
sebuah negara hukum. Pentingnya keberadaan peradilan administrasi tersebut
berfungsi:10
(1) Menjalankan peran sebagai lembaga kontrol (control) terhadap
tindakan Administrasi Negara dalam hal ini Badan atau Pejabat TUN supaya tetap
berada dalam rel hukum; (2) Sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan
8Pontang Moerad B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana,
Alumni, Bandung, 2005, hlm. 38-41.
9Makalah dari Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D yang berjudul “Menegakkan Negara Hukum yang
Berkedaulatan Rakyat” dalam halaman 6.
10Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak (AAUPPL)
di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable Government”),
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 9.
25
warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan atau tindakan tidak
sewenang-wenang Administrasi Negara atau Badan/Pejabat TUN.
2.3. Fungsi Peradilan Administrasi Negara
Selanjutnya, fungsi penting PTUN, adalah sebagai forum khusus. Dalam
forum khusus itu, Pengadilan dapat memersoalkan tindakan-tindakan dalam
penyelewengan administrasi negara yang merugikan kepentingan warga negara atau
anggota masyarakat, serta berperan sebagai sarana kontrol (pengawasan dalam segala
bidang).11
Dalam kaitannya dengan rumusan kepustakaan itu, jelas bahwa kedua
fungsi di balik keberadaan Peradilan TUN atau Peradilan Administrasi Negara
tersebut sangat tepat dan saling berhubungan dalam negara hukum. Karena tindakan
dari Pejabat TUN tersebut harus diawasi, dan apabila terjadi sebuah tindakan
sewenang-wenang12
yang dilakukan oleh pejabat TUN maka dapat dilakukan gugatan
ke PTUN,13
sebagai suatu judicial review.
11
Prof. DR. Baharuddin Lopa, S.H., DR. Andi Hamzah, S.H., Niniek Suparni, S.H, Peradilan Tata
Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 18-19.
12
Disamping itu dapat dilihat dalam konsideran UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang
menyatakan bahwa “dalam pelaksanan pembangunan nasional ada kemungkinan timbul benturan
kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional”.
13
Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang berbunyi: “Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.
26
Uraian atas tinjauan kepustakaan di atas memerlihatkan dengan jelas
bahwa kompetensi absolut Peradilan Administrasi hanya sebatas mengadili tindakan
Pejabat atau Badan TUN semata-mata. Sehingga dengan demikian “tidak kompeten”,
adalah jawaban atas rumusan masalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam
memutus obyek sengketa hubungan Industrial antara Yayasan Swasta dengan buruh
atau pekerjanya. Artinya tidak berkompeten PTUN memutus hal itu.
2.4. PTUN Melaksanakan Judicial Review
Di atas, telah Penulis kemukakan bahwa dalam melaksanakan tugas untuk
mensejahterahkan rakyat, maka Pemerintah sebagai personifikasi negara (subyek
hukum) tentu melakukan perbuatan. Umum dipahami perbuatan Pemerintah tersebut
ada dua yaitu perbuatan hukum privat dan perbuatan hukum publik.14
Pembedaan ini
berhubungan dengan perbuatan sepihak dari Pemerintah dan bukan merupakan hasil
persetujuan dua belah pihak atau Jurist menyebutnya dengan perikatan bersegi satu.15
Ketika Pemerintah melakukan perbuatan hukum privat maka akan menggunakan segi
dua, sedangkan dalam melaksanakan hukum publik dari kepustakaan yang Penulis
teliti/studi dapat, maka akan menggunakan segi satu dan segi dua.16
14
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 40.
15
Lihat, Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Khususnya Bab II, tentang Perikatan Voluntir.
16
Ibid.
27
Menurut pendapat Penulis, Pemerintah dalam melaksanakan perbuatan
hukum publik merupakan perbuatan bersegi satu, karena Pemerintah mempunyai hak
monopoli penuh dalam pengelolaan administrasi suatu negara, yang tidak butuh
persetujuan pihak lain. Hal ini sejalan dengan pendapat, bahwa semua perbuatan
pemerintahan yang berdasarkan hukum publik sejauh perbuatan itu dilakukan oleh
aparat Pemerintah selaku penguasa, merupakan perbuatan bersegi satu. Kedudukan
antara penguasa dengan yang dikuasai tidak sejajar, akan tetapi lebih merupakan
hubungan hierarkhis. Sedangkan perbuatan hukum yang berdasarkan hukum publik
yang dilakukan oleh aparat Pemerintah selaku organ dari Pemerintah sebagai badan
hukum (bestuursorganen) mungkin sekali bersegi dua maupun bersegi satu, yang
sebenarnya di sini perbuatan tersebut merupakan pengkhususan dari hukum perdata
(privat),17
tetapi dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum perbuatan tersebut
adalah suatu perikatan.18
Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan suatu Yayasan atau
Badan Hukum Perdata tunduk pada Jurisdiksi Peradilan Perdata.
Artinya ditinjau dari perspektif pihak atau berseginya perbuatan hukum
Pemerintah, maka pembedaan penggunaan hukum publik terhadap hukum privat juga
akan berhubungan terhadap pengujiannya atau gugatan perbuatan hukum Pemerintah.
Dimana saat melaksanakan hukum privat maka Pemerintah akan digugat di
Pengadilan Negeri. Bila menggunakan hukum publik pengujiannya akan
17
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum administrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, Liberty, 1981, Yogyakarta, hlm. 20-21.
18
Lihat Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Loc. Cit.
28
menggunakan PTUN, sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN atau Peradilan
Administrasi Negara.
Dalam pelaksanaannya Pemerintah lebih dominan menggunakan hukum
publik, karena sifat Pemerintah dalam mengatur. Adapun sifat-sifat dari perbuatan
hukum publik, yaitu perbuatan/tindakan hukum tersebut dilakukan dalam hal atau
keadaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-
undangan, perbuatan/tindakan hukum tersebut mengikat warga masyarakat sekalipun
yang bersangkutan tidak menghendakinya, perbuatan/tindakan hukum tersebut
bersifat sepihak, perbuatan/tindakan hukum tersebut bukan merupakan hasil dari
persesuaian kehendak (consensus in idem) Badan atau Pejabat TUN dengan Warga
Masyarakat, melainkan merupakan suatu konsekuensi dari pelaksanaan fungsi
Pemerintahan yang dilandasi suatu wewenang, perbuatan/tindakan hukum tersebut
memerlukan pengawasan secara preventif/represif, serta dalam perbuatan/tindakan
hukum tersebut terdapat hubungan antara Penguasa dengan Warga Masyarakat yang
berbeda kedudukan atau statusnya, misalnya jika dibandingkan dengan perhubungan
hukum dalam hukum perdata.19
Begitu beragamnya tindakan Pemerintah yang dilakukan oleh Badan atau
Pejabat TUN dalam mensejahterahkan masyarakat, sehingga tindakan Badan atau
Pejabat TUN secara konkret ada yang ragamnya berupa Beschikking (mengeluarkan
19
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 41-42.
29
keputusan), Regeling (mengeluarkan peraturan), dan Materiele Daad (melakukan
perbuatan materiil).20
2.5. Beschikking dan Sifat Perbuatan Hukumnya
Beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu.
Dalam kepustakaan, beschikking digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu
Beschikking bersifat sepihak-konkret-individual; Beschikking yang bersifat sepihak-
konkret-umum misalnya Keputusan Presiden tentang kenaikan gaji PNS; Beschikking
lebih dari satu badan/pejabat TUN-konkret-umum sebagai contoh Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan tentang Pengangkatan Guru
Agama.21
Beschikking dalam pembahasan Bab III lebih menekankan pada
Beschikking yang bersifat sepihak-konkret-individual, yang dilakukan oleh Badan
atau Pejabat TUN, bukan keputusan yang dilakukan oleh Badan atau orang Perdata,
atau Partikelir.
Kaitan dengan kenyataan perbuatan TUN, harus dilihat pula kompetensi
yang dilaksanakan oleh Peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung (MA) men-
judicial review hal itu. Dalam lingkungan kekuasaan MA, terdapat 4 (empat)
20
Ibid, hlm 42.
21
Ibid, hlm 42.
30
lingkungan peradilan, di antaranya: peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan TUN.22
Usaha yang dilakukan untuk mengawasi segala tindakan Pemerintah,
yang dilakukan oleh keempat lingkungan peradilan di atas, terbagi menjadi peradilan
khusus23
yaitu peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN dan peradilan
umum dilaksanakan oleh peradilan umum yang membidangi masalah perdata dan
masalah pidana.
Beschikking sebagai instrumen dalam mengatur kehidupan masyarakat
yang bersifat individual perlu diawasi, agar tindakan Pemerintah tidak sewenang-
wenang. Pengawasan tersebut dilakukan dengan judicial review,24
wilayah
kewenangan mengadili/jurisdiksi absolut PTUN,25
mengingat yang disengketakan
dalam suatu proses di PTUN adalah pelaksanaan dari suatu wewenang pemerintahan
menurut hukum publik yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN,26
bukan
dilaksanakan oleh suatu badan hukum privat/partikelir.
22
Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 jo Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
23
Prof. DR. Baharuddin Lopa, S.H., DR.Andi Hamzah, S.H., Niniek Suparni, S.H, Peradilan Tata
Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 30.
24
Ini berbeda dengan konsep judicial review terhadap regeling yang berkembang di Indonesia.
25
Kehadiran PTUN dalam sistem peradilan Indonesia, semakin memberi pemahaman yang jelas dan
menguatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana yang diamanatkan
UUD 1945.
26
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
63.
31
Kewenangan ini terdapat dalam Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986, berbunyi:
“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara”.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN diatur bahwa:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, hadirnya UU No.5 Tahun 1986
tentang PTUN, hanya berwenang menguji tindakan Badan atau Pejabat TUN, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan (beschikking) Badan atau Pejabat TUN,27
bukan
perselisihan ketenagakerjaan, kecuali sengketa kepegawaian.
Simpulan yang dapat ditarik sementara adalah beschikking yang bersifat
sepihak-konkret-individual, dalam kepustakaan lebih sering disebut dengan
Keputusan TUN (KTUN). KTUN merupakan suatu norma penutup atau norma akhir
dalam rentetan perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh Badan atau
Pejabat TUN.28
27
Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986
tentang PTUN.
28
Lutfi Effendi, S.H., Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm.
54.
32
2.6. Terminologi KTUN
Hadirnya PTUN untuk melakukan pengujian terhadap KTUN,
merupakan fungsi vital PTUN dan latar belakang berdirinya PTUN. Namun, banyak
kalangan yang masih salah memahami KTUN, hal ini terbukti dengan dua Putusan
yang Penulis bahas dalam skripsi ini.
Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Keputusan berasal dari bahasa
Belanda disebut “beschikking” sedangkan di Perancis disebut “acte Administratif”
dan di Jerman dinamakan “Verwaltungsakt”.29
Ada yang memakai kata “ketetapan” sebagai terjemahan dari kata
“beschikking”,30
juga istilah “ketetapan” sebagai terjemahan dari “beschikking”.31
Pemakaian istilah “beschikking” diterjemahkan banyak sarjana secara
berbeda-beda. Namun, Penulis lebih setuju dengan penggunaan istilah Keputusan, hal
ini merujuk pada undang-undang yang lebih menggunakan istilah KTUN.
Keputusan TUN dalam Pasal 1 ayat (9) sebagai suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
29
SF. Marbun, S.H., Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 39.
30
Prof. H. Amrah Muslimin, S.H., Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan
Hukum Administrasi, Alumni, 1985, Bandung, hlm. 120. Sebagaimana dikutip dari pendapat E.
Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
31
Ibid, hlm. 120. Sebagaimana dikutip dari pendapat R.D.H. Koesoemahatmadja, S.H dalam bukunya
Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
33
Selanjutnya beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi
negara yang mempunyai akibat hukum.32
Ada pula pendapat bahwa beschikking adalah perbuatan hukum publik
bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan
istimewa).33
Ketetapan atau beschikking itu adalah de eenzijdige rechtshandeling op
bestuurs gebied, door een Overheidsorgaan verricht uit krachte van zijn bijzondere
bevoegdheden.
Artinya, perbuatan hukum yang bersegi satu yang di dalam lapangan
pemerintahan dilakukan oleh suatu alat pemerintahan berdasarkan wewenangnya
yang istimewa.34
Ketetapan juga diartikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan alat-
alat pemerintahan, pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam
menyelenggarakan hal khusus dengan maksud mengadakan perubahan dalam
lapangan hubungan hukum.35
Dari definisi di atas maka “beschikking” yaitu perbuatan hukum publik
yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari Pemerintah dan bukan merupakan hasil
32
Ridwan, HR, “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 109.
33
Ibid, hlm. 109.
34
Inleiding in het Administratief Recht van Indonesia sebagaimna dikutip dari C.S.T.Kansil, Hukum
Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur,1983, hlm. 23.
35Ibid. 23. Dalam Nederlands Bestuursrecht sebagaimana dikutip dari C.S.T.Kansil.
34
persetujuan dua belah pihak. Sifat hukum publik diperoleh berdasarkan wewenang
atau kekuasaan istimewa, serta pembuatannya disertai maksud terjadinya perubahan
dalam lapangan hubungan hukum.36
2.7. Unsur KTUN (Beschikking)
Definisi KTUN (beschikking) di atas, mengandung 6 (enam) unsur-unsur
(beschikking).37
Yaitu bentuk penetapan itu harus tertulis, dikeluarkan oleh Badan
atau Jabatan TUN, berisi tindakan hukum TUN, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final, serta menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Penetapan harus tertulis maksudnya adalah mengenai syarat-syarat bentuk
formalnya seperti surat pengangkatan dan sebagainya, asal tampak keluar sebagai
tertulis. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan segi pembuktiannya.
Ada yang memberikan pengertian bahwa keputusan tersebut dikeluarkan secara lisan
tidak ditujukan dalam bentuk formalnya,tetapi pada “isi”.38
Selanjutnya harus dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN. Berkaitan
dengan pengertian ini, maka akan merujuk terhadap Pasal 1 Angka (8) berbunyi
bahwa: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
36
SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 39.
37
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
161-183.
38
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,
1987, hlm. 85.
35
melaksanakan urusan pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Pengertian akan Badan atau Pejabat TUN yang melaksanakan urusan
pemerintahan, telah menimbulkan perdebatan dikalangan sarjana hukum dan bahkan
ada yang keliru memahaminya.
Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh pihak swasta tidak serta-
merta menjadikan pihak swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, karena pihak
swasta hanya meminta ijin kepada Pemerintah, dan posisi Pemerintah menjalankan
koordinasi dan mengawasi tindakan pihak Swasta tersebut.
Berisi tindakan hukum TUN, diartikan bahwa suatu keputusan yang
dibuat akan menciptakan atau menentukan mengikatnya atau menghapuskan suatu
hubungan hukum yang telah ada. Jadi penetapan tertulis di atas dapat dianggap,
ketika Keputusan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan
hukum, yang artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
memiliki pengertian bahwa pembuatan dan penetapan ketetapan harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada
wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Bersifat konkret, individual, dan final diartikan secara terpisah-pisah.
Dimana bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu
tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu.
36
Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih
dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan,
sehingga keputusan demikian itu lalu dapat disebut suatu Kumpulan Penetapan
Tertulis.
Bersifat final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan
dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar sudah merupakan akibat
hukum yang definitif atau tidak memerlukan persetujuan instansi atasan, langsung
dapat dilaksanakan.
Yang terakhir menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata yaitu menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan
suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada.
Selain versi undang-undang di atas, ada yang mengemukakan lima unsur
dari beschikking.39
Diantaranya beschikking adalah pernyataan kehendak sepihak,
dikeluarkan oleh organ pemerintahan, didasarkan pada kewenangan hukum publik,
ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual, menimbulkan
akibat hukum dalam hukum administrasi.
Pernyataan kehendak sepihak, diartikan bahwa senantiasa hubungan
hukum publik (publiek-rechtsbetrekking) bersifat sepihak atau bersegi satu. Berbeda
39
Ridwan, HR, “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 109-121.
37
halnya dalam bidang keperdataan yang selalu bersifat dua pihak.40
Sebagai wujud
dari pernyataan kehendak sepihak, pembuatan dan penerbitan ketetapan hanya berasal
dari pihak Pemerintah, tidak tergantung kepada pihak lain.
Dikeluarkan oleh organ Pemerintahan adalah, ketetapan di sini hanyalah
ketetapan yang dikeluarkan oleh Pemerintah selaku administrasi negara. Didasarkan
pada kewenangan hukum publik, pembuatan dan penerbitan ketetapan harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan
pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau Badan/Pejabat TUN tidak dapat membuat
dan menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah.
Pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk membuat ketetapan
tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual artinya
tidak untuk umum, tertentu berdasarkan apa yang dituju oleh keputusan itu, dan
konkret artinya tidak bersifat umum (tidak abstrak) obyeknya, yang mungkin terbatas
waktu atau tempatnya.
Menimbulkan akibat hukum dalam hukum administrasi, telah disebutkan,
bahwa ketetapan merupakan wujud konkret dari tindakan hukum pemerintahan,
40
Orang privat juga dapat melakukan perbuatan hukum sepihak ini pendapat yang benar, lihat Jeferson
Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Op.Cit.
38
tindakan hukum pemerintahan yang dimaksud ialah tindakan hukum yang dilakukan
oleh organ Pemerintahan41
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu.
Bertolak dari unsur-unsur (beschikking) tersebut, maka jelas sudah bahwa
dalam obyek sengketa PTUN harus memenuhi unsur-unsur tersebut. Secara a
contrario, segala Keputusan yang tidak memiliki unsur-unsur tersebut, maka tidak
dapat dikategorikan sebagai KTUN dan tidak dapat diajukan di PTUN, seperti
misalnya Keputusan dari Rektor suatu Universitas Swasta dari Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta.
2.8. Perolehan Kewenangan Pelaksanaan KTUN
Tanpa memiliki kewenangan maka KTUN yang dikeluarkan tersebut
dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Kewenangan dari Badan atau
Pejabat TUN tersebut bersumber dari atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi diartikan wewenang yang langsung diberikan atau langsung
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat TUN.42
Sedangkan wewenang yang didapat dari delegasi artinya pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
41
Seseorang atau Badan Hukum Perdata dimaksud adalah badan hukum menurut pengertian hukum
perdata berstatus sebagai badan hukum, seperti CV, PT, Firma, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan
Perdata (maatschap) dan sebagainya yang berstatus badan hukum.
42
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 67.
39
lainnya.43
Adapun delegasi selalu didahului oleh atribusi; dan mandat artinya
wewenang yang diberikan kepada mandataris dari mandataris melaksanakan
wewenang untuk dan atas nama mandans.44
Tidak heran jika beschikking disebut sebagai suatu norma penutup atau
norma akhir dalam rentetan perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh
Badan atau Pejabat TUN, karena hadirnya beschikking setelah memperoleh
kewenangan yang bersumber dari atribusi maupun delegasi.
Berbeda dengan apa yang dikatakan Indroharto, Badan atan Jabatan TUN
memperoleh hanya dua cara saja yaitu dengan atribusi dan delegasi, sedangkan
mandat tidak termasuk dalam memperoleh wewenang.
Dalam mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan petunjuk
kepada Ketua PT TUN dan Ketua PTUN, yaitu:45
(a) Jika wewenang yang diberikan
Badan atau Pejabat TUN adalah atribusi atau delegasi, maka yang menjadi Tergugat
adalah Badan atau Pejabat TUN yang memperoleh wewenang tersebut untuk
mengeluarkan Keputusan TUN yang disengketakan; (b) Jika wewenang yang
43
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
91.
44
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 67.
45
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 70. Dikutip dari buku wiyono, dari butir I. 1 dalam Surat Mahkamah agung RI tanggal 24
Maret 1992 Nomor 052/Td.TUN/III/1992.
40
diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN itu adalah mandat, maka yang menjadi
Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang memberikan wewenang kepada
Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.
Apabila ada pejabat atau Badan yang mengeluarkan keputusan tapi bukan
wewenangnya maka tidak dapat dimasukkan menjadi tergugat dalam PTUN.
2.9. Judicial Review
Di atas telah dijelaskan mengenai pengertian KTUN (beschikking) dan
pengawasan terhadap KTUN yang dilakukan PTUN yang disebut dengan konsep
judicial review.
Dalam UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5
Tahun 1986 tentang PTUN mengenal judicial review ini dengan mengajukan
gugatan. Prosedur yang ditempuh ada dua, yaitu melalui upaya administrasi (pasal 48
jo pasal 51 ayat 3) dan melalui gugatan (pasal 1 angka 5 jo pasal 53). Artinya bahwa
sebelum mengajukan gugatan di PTUN, maka harus melalui upaya administratif,46
dimana yang menguji bukan lembaga peradilan.
Ada dua prosedur yang dapat ditempuh yaitu upaya administratif dan
melalui gugatan. Melalui upaya administratif sesuai dengan penjelasan Pasal 48 ayat
46
Pasal 48 ayat 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
41
(1) Orang atau Badan Hukum Perdata dapat menyelesaikan permasalahan KTUN
melalui 2 (dua) cara, yaitu:47
Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau
badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN, yang penyelesaian sengketa
TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan sendiri oleh Badan
atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang dimaksud.
Kedua melalui banding administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh
oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN
penyelesaian sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut, dilakukan
oleh atasan dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN atau instansi
lain dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN. Selanjutnya yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan sesuai kompetensi relatif yang dimiliki
PTUN.
Ada pula yang mengatakan bahwa:“ada dua macam upaya administratif,
banding administratif dan prosedur keberatan. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan
oleh instansi yang sama, yaitu, Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN,
maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya
47
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 110-111.
42
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding
administratif”.48
Juga ada yang mengemukakan bahwa perlindungan hukum akibat
dikeluarkannya Keputusan ditempuh melalui dua kemungkinan yaitu peradilan
administrasi (administratieve rechtspraak) dan banding administrasi (administratief
beroep).49
Perbedaan antara peradilan administrasi dengan banding administrasi yaitu
sebagai berikut:50
“Het woord „rechtspraak‟ duidt aan dat het hier gaat om een rechtsgang
op van het bestuur onafhankalijke instanties. Deze onafhankelijkheid
blijk ten aanzien van de professionele administratieve rechters ook uit
hun rechtspositie; benoeming voor het leven, regeling van de bezoldiging
bij de wet, afzetbaarheid (bij wangedrag) allen door rechterlijke
uitspraak. Een tweede hiermee samenhangend kenmerk is dat deze
instantie het overheidsoptreden uitsluitend toetsen op rechtmatigheid”.
(Kata „peradilan‟ menunjukan bahwa hal ini menyangkut proses
peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka.
Kemerdekaan ini tampak pada Hakim administrasi yang profesional, di
samping juga kedudukan hukumnya; pengangkatan untuk seumur hidup,
ketentuan mengenai penggajian terdapat pada undang-undang,
pemberhentian-ketika melakukan perbuatan tidak senonoh-hanya
dilakukan melalui Putusan Pengadilan. Sifat kedua yang berkenaan
48
Philipus M. Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran Basah, Bagir Manan, H.M. Laica
Marzuki, J.B.J.M. ten Berge, P.J.J. van Buuren, F.A.M. Stroink, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, cetakan ke sepuluh, 2008, hlm. 317.
49
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 222-223
50
Ibid, hlm. 222-223. Sebagaimana dikutip dari pendapat F.H. van Der Burg.
43
dengan hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan
Pemerintah berdasarkan hukum).
“Administratif beroep, hierbij het om een rechtsgang binnen de sfeer van
de administratie; de instanties van administratief beroep zijn
bestuursorganen, toegerust met bestuursverantwoordelijkheid. Hiermee
hangt samen dat in administratief beroep het overheidsoptreden niet
allen getoetst wordt op rechtsmatigheid maar ook op doelmatigheid”.
(Banding administrasi, berkenaan dengan proses peradilan di dalam
lingkungan administrasi; instansi banding administrasi adalah organ
pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban pemerintahan.
Dalam hal banding administrasi ini tindakan pemerintahan tidak hanya
dinilai berdasarkan hukum, tetapi juga dinilai aspek kebijakannya).
Sementara itu ada lagi yang memberikan tiga jalur prosedur penyelesaian
sengketa administratif, yaitu:51
(a) Jalur Prosedur Keberatan. Pengertiannya sama
dengan yang dijelaskan di atas, diajukan keberatan kepada instansi yang mengambil
keputusan semula.
Akan tetapi Indroharto memberikan sebuah contoh yaitu di mana seorang
yang wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas Surat
Ketetapan Pajak atau SKP Tambahan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak; (b) Jalur
Banding Administratif. Pada jalur ini, penyelesaiannya sama-sama dilakukan di
dalam lingkungan Pemerintah itu sendiri. Bedanya dengan jalur keberatan yaitu
dilakukan oleh instansi banding administratif yang bersangkutan yang mungkin
51
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
45-52.
44
berkedudukan sebagai atasan dari instansi yang mengeluarkan KTUN yang
bersangkutan atau mungkin pula instansi lain yang oleh peraturan perundang-
undangan diberi wewenang untuk bertindak sebagai instansi pengawas administratif
terhadapnya; (c) Jalur prosedur gugatan perdata berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata
yang berpokok pada tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada Pengadilan Perdata
yang bebas.
Dalam jalur ini dapat dilakukan, mengadili gugatan ganti rugi, dengan
suatu memertanyakan apakah perbuatan Pemerintah (dalam hal ini KTUN) itu
bersifat melawan hukum atau tidak.
Agar tuntutan ganti rugi dapat dikabulkan, maka harus terbukti bahwa
KTUN yang digugat itu bersifat melawan hukum. Syarat harus terbuktinya sifat
melawan hukum perbuatan yang digugat itu serupa dengan apa yang terjadi dalam
proses di muka Hakim TUN. Kemudian instansi yang digugat untuk diketahui apakah
dia benar bersalah melakukan perbuatan yang bersangkutan, Penggugat memang
menderita kerugian, dan sebagai akibat perbuatan (KTUN) instansi yang digugat
tersebut.
Gagasan dari Indroharto yang menambahkan jalur prosedur gugatan
perdata merupakan suatu prosedur yang imperatif. Artinya jalur prosedur gugatan
perdata tidak dapat dilakukan atau tidak berhasil apabila belum diputuskan oleh
PTUN dan dinyatakan sebagai bersifat melawan hukum.
Disini hanya Hakim PTUN yang berkompeten untuk menyatakan
keputusan-keputusan TUN tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
45
2.10. Review oleh Hakim PTUN
Dalam acara PTUN ada kewajiban bagi setiap penggugat yang harus
menempuh jalur administratif telah dijelaskan di atas. Selanjutnya akan ditempuh
dengan prosedur gugatan.
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat TUN dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan Putusan.52
Dalam
mengajukan gugatan harus memuat alasan-alasan yang termuat dalam pasal 53 ayat 2
UU No. 5 Tahun 1986, yaitu: KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan Keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut; Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Keputusan sebagaimana dimaksud setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan Keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan Keputusan
tersebut.
Berbeda dengan pengujian melalui upaya administratif yang hasil
pengujiannya hanya bersifat subyektif dari Pejabat TUN, melalui gugatan akan diuji
oleh Hakim yang bersifat obyektif.
52
Pasal 1 angka 11 UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
46
Selanjutnya, apabila salah satu pihak tidak menerima Putusan dari PTUN
tersebut, maka dapat melakukan banding di Pengadilan Tinggi TUN53
dan
mengajukan kasasi di Mahkamah Agung.
2.11. Kompetensi Absolut PTUN
Pembahasan mengenai kompetensi berkaitan dengan peradilan. Adapun
pengertian peradilan adalah “segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus
perkara dengan menerapkan hukum “in concreto” dalam mempertahankan dan
menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang
ditetapkan oleh hukum formal”.54
Unsur-unsur peradilan, berupa:55
(a) Adanya suatu aturan hukum yang
abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; (b)
Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; (c) Ada sekurang-kurangnya dua
pihak; (d) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan
perselisihan.
Unsur-unsur tersebut berhubungan terhadap mengajukan gugatan, karena
gugatan tersebut akan ditentukan Pengadilan mana yang berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara. Kewenangan yang dimiliki
53
Pasal 51 ayat 1 dan 4 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
54
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1989, hlm. 29.
55
Sjachran Basah, Ibid, hlm. 28. Sjachran Basah yang mengutip mengenai unsur-unsur peradilan dari
beberapa ahli seperti van Praag, van Apeldoorn, P. Scholten, Bellefroid, G. Jellinek dan Kranenburg.
47
oleh peradilan yang diberikan oleh undang-undang, dapat disebut dengan istilah
kompetensi. Kompetensi berasal dari bahasa Latin, yaitu competentia yang berarti
hetgeen aan iemand toekomt (apa yang menjadi wewenang seseorang).56
Selanjutnya
kompetensi diartikan sebagai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan sesuatu).57
Kompetensi yang dimiliki oleh badan peradilan diperoleh dari 2 (dua)
cara. Pertama, kompetensi kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) adalah
kewenangan mutlak. Kompetensi absolut ialah kompetensi badan peradilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
peradilan lain.
Kedua, kompetensi kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht)
atau sering disebut dengan kompetensi relatif ialah sesuai dengan asas actor seguitur
forum rei (yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat).58
Kompetensi absolut adalah berhubungan dengan kompetensi Peradilan
TUN untuk mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok
sengketa.59
Sejalan dengan pendapat itu, ada yang mengatakan bahwa berkaitan
56
Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 29. Sebagaimana dikutip dari Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan
Tolok Ukur Bada Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 65.
57
Ibid, hlm. 29-30. Sebagaimana dikutip dari Departemen Pendidikan Nasional.
58
Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 32-33.
59
Ibid, hlm. 32.
48
dengan kompetensi absolut, maka yang menjadi obyek sengketa Peradilan TUN
adalah perbuatan Pemerintah yang “mengeluarkan keputusan (Beschikking)”.60
Penting dipahami dari kompetensi absolut yaitu sengketa TUN, menurut
Pasal 47 adalah “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN”. Selanjutnya pada Pasal 1 Angka (10) diatur bahwa,
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara
orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa
Kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Adapun ciri-ciri dari kompetensi absolut PTUN:61
(1) Pihak-pihak yang
bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
TUN; (2) Obyek yang disengketakan adalah KTUN yakni penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN; (3) Keputusan yang dijadikan obyek
sengketa itu berisi tindakan hukum TUN; (4) Keputusan yang dijadikan obyek
sengketa itu bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum Perdata.
Ciri-ciri tersebut lebih kepada menunjukan unsur-unsur dari sengketa
TUN dari subyek dan obyek sengketanya.62
Kedua unsur ini penting dalam penentuan
60
SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 61.
61SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,
1987, hlm. 186.
62
Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 47.
49
kompetensi absolut PTUN. Dus, menurut Pasal 1 Angka (10) UU No. 5 Tahun 1986,
maka yang menjadi subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum Perdata
dan Badan atau Pejabat TUN.
Subyek adalah orang atau badan hukum Perdata secara absolut pasti
selalu menjadi Penggugat. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
Indroharto, bahwa orang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh keluarnya
suatu KTUN dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:63
Pertama, orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang
dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata tersebut secara
langsung terkena kepentingannya oleh keluarnya KTUN yang dialamatkan
kepadanya. Karena itu, jelaslah ia berhak untuk mengajukan gugatan.
Kedua, orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut
sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi: (a) individu-individu yang
merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena
kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya
dialamatkan kepada orang lain; (b) Organisasi-organisassi kemasyarakatan sebagai
pihak ketiga dapat merasa kepentingannya karena keluarnya suatu KTUN itu
dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
Ketiga, Badan atau jawatan TUN yang lain, namun undang-undang
PTUN tidak memberi hak kepada Badan atau Jabatan TUN untuk menggugat. Sebab
63
Ibid, hlm 49.
50
subyek sebagaimana Badan atau Pejabat TUN secara absolut hanya akan menjadi
Tergugat.
Selanjutnya yang menjadi obyek sengketa TUN adalah Keputusan TUN
itu sendiri, sebagaimana yang ada pada Pasal 1 Angka (9) UU No.51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Termasuk ke
dalam Kompetensi PTUN adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3. Para sarjana
hukum menyebut hal ini dengan KTUN yang bersifat Fiktif-Negatif, yaitu; (1)
apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Keputusan, sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan KTUN; (2) jika suatu
Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Keputusan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud; (3) dalam hal peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu, dan setelah
lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan tetapi tidak
dikeluarkan KTUN apapun, maka Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
2.12. Kompetensi Peradilan di Luar PTUN
Selebihnya yang tidak memenuhi syarat-syarat formal dalam undang-
undang PTUN akan menjadi kompetensi peradilan lain. Dalam Pasal 2, tidak
termasuk dalam pengertian KTUN menurut undang-undang adalah; (a) KTUN yang
51
merupakan perbuatan hukum perdata; (b) KTUN yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum; (c) KTUN yang masih memerlukan persetujuan; (d) KTUN yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana; (e) KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(f) KTUN mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia: (g)
Keputusan Penitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.
Adapun isi dari Pasal 2 tersebut di atas banyak ahli hukum mengatakan
bahwa ini merupakan pembatasan dari kompetensi absolut PTUN. Pembatasan ini
diperlukan mengingat ada beberapa jenis keputusan yang sifat atau maksudnya
memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian KTUN menurut UU No.51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Plus,
menurut Penulis, sangat signifikan dalam menentukan kompetensi memeriksa dan
memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta dengan Dosen tau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.
Selain itu Pasal 49 “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal Keputusan yang disengketakan
itu dikeluarkan; (a) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-
52
undangan yang berlaku; (b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bertitik tolak akan perumusan dalam pasal-pasal di atas ternyata hanya
KTUN yang memenuhi unsur sebagaimana dalam Pasal 1 Angka (9) dan Pasal 3
yang menjadi obyek dari kompetensi absolut PTUN. Sedangkan KTUN yang lainnya
menjadi berada diluar dari kewenangan PTUN.
2.13. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif adalah kompetensi Pengadilan ditentukan berdasarkan
wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu Pengadilan berwenang
memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang
bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya.64
Kompetensi relatif PTUN dan Peradilan Tinggi TUN dibedakan atas tiga
daerah atau wilayah hukum, yaitu wilayah kota, kabupaten, dan provinsi.
Kompetensi relatif diartikan sebagai kewenangan Pengadilan untuk
mengadili perkara sesuai dengan wilayahnya.65
Suatu Badan Pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak yang sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di satu daerah hukum yang menjadi
64
Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 31.
65
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,
1987, hlm. 183.
53
wilayah hukum Pengadilan itu.66
Ini artinya bahwa dalam pengajuan gugatan ke
peradilan harus melihat subyek yang berperkara yaitu tergugat dan penggugat untuk
menentukan Peradilan TUN mana memiliki kompetensi ini.
Untuk PTUN dan PT TUN pengaturannya terdapat dalam Pasal 6 dan
Pasal 54 UU No.5 Tahun 1986, dimana Pasal 6 menentukan batas daerah hukum
suatu Pengadilan TUN.67
Batas daerah hukum itu dibedakan atas tiga wilayah kota,
kabupaten, dan wilayah provinsi. Pasal 6 berbunyi: (1) Pengadilan TUN
berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Kotamadya atau Kabupaten; (2) Pengadilan Tinggi TUN berkedudukan di
ibu kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat
kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat atau pihak Tergugat, diatur tersendiri di
dalam Pasal 54 sebagai berikut:68
(1) Gugatan sengketa TUN diajukan kepada
Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Tergugat; (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat TUN dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat TUN; (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
66
SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 59.
67
Ibid, hlm. 59.
68
Ibid, hlm. 60.
54
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan; (4) Dalam hal-hal
tertentu sesuai dengan sifat sengketa TUN yang bersangkutan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat; (5) Apabila Penggugat
dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di Jakarta; (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan
Tergugat.
2.14. Kompetensi PHI
UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PHI) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004, dimuat dalam
Lembaran Negara RI No. 4356,69
dinyatakan bahwa hadirnya undang-undang ini
dikarenakan perselisihan perburuhan yang semakin kompleks dan dibutuhkan
penyelesaian perburuhan yang cepat, tepat, adil, dan murah.70
Kehadiran UU No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam menjamin hak buruh dalam mencari
keadilan mendorong hadir PHI.
69
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hlm. 129
70
Terdapat dalam diktum menimbang UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
55
Sebelumnya perselisihan hak menjadi wewenang Pengadilan Negeri
sesuai dengan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951. Namun dalam
perkembangannya UU No.22 Tahun 1957 tantang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, memberikan wewenang kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4) untuk menyelesaikannya.71
Dulu, terdapat dua instansi yang
berwenang menyelesaiakan perselisihan Perburuhan. Yang dapat menuntut di depan
Pengadilan adalah pekerja secara perorangan. Sedangkan di depan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah buruh/pekerja secara organisatoris.72
Melalui UU No.2 Tahun 2004, saat ini, kewenangan tersebut terpusat
dalam satu Pengadilan yaitu PHI. Adapun letak PHI dalam sistem hukum Indonesia
merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.73
Pasal
56 UU No.2 Tahun 2004, PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: (a)
di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; (b) di tingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan kepentingan; (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja; dan (d) di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
71
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di Luar
Pengadilan, Raja Grafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 84-85.
72
Ibid, hlm. 85.
73
Pasal 55 UU No.2 Tahun 2004.
56
Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk
di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.74
Pasal 1 Angka (1) dikatakan bahwa perselisihan hubungan industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.75
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan Pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila
dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.76
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses produksi di perusahaan
pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha.
Sedangkan peran Pemerintah sebagai pihak mengawasi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha agar terwujudnya hubungan kerja yang harmonis
sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat
74
Pasal 1 angka 17 UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
75
Definisi ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 22 UU No13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
76
Pasal 1 angka 16 UU No13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
57
yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat
meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat,77
sebagaimana hakikat dari
negara hukum. Dalam peran mengawasi maka Pemerintah mewujudkannya dengan
mengeluarkan berbagai kebijakan, baik itu peraturan perundang-undangan yang harus
ditaati oleh pekerja/buruh dan pengusaha.
2.15. Sifat Hubungan Perburuhan
Sifat dari hubungan hukum perburuhan, yaitu: Pertama, sifat hukum
perdata (privatrechtelijk). Artinya, bahwa pengaturan hubungan antara individu-
individu, yaitu buruh dan majikan yang sanksi hukumnya adalah ganti rugi atau
mengembalikan/mencabut hak-hak pribadi. Contohnya: memberikan uang pesangon
dan ganti rugi yang harus dibayar oleh majikan jika memutuskan hubungan kerja.
Kedua, bersifat hukum publik (publikrechtelijk). Mengatur mengenai hubungan
antara Masyarakat/Negara dengan individu yang sanksi hukuman kurungan/penjara
dan denda. Contoh: pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah.78
Pada sifat yang kedua inilah peran Pemerintah sebagai pengawas kegiatan
perburuhan oleh pengusaha dan pekerja/buruh, dan ini tidak serta merta badan hukum
perdata yang diawasi Pemerintah seperti kasus yang dibahas dalam skripsi ini
menjadikan badan hukum perdata tersebut melakukan urusan pemerintahan atau
77
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di Luar
Pengadilan, Raja Grafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 17.
78
Edy Saputra Sofyan, Dasar-dasar Hukum Perburuhan di Indonesia, Yogyakarta Offset, 1983,
Yogyakarta, hlm. 5-6.
58
disebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Ini penting, agar tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan dalam proses ajudikasi di sistem hukum Indonesia.
Untuk itu mengenai Perselisihan hubungan industrial antara
pekerja/buruh dengan pengusaha terjadi di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja,
sangat tepat jika dipergunakan sebagai acuan penyelesaiannya di Pengadilan
Hubungan Industrial. Kompetensi yang dimiliki oleh PHI adalah memeriksa,
mengadili, dan memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, yang
dimana pihak hubungan industrial tersebut adalah pekerja/buruh dan pengusaha.
2.16. Perbedaan Buruh dan Pegawai Negeri
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat peristilahan mengenai Pekerja,
yaitu Buruh, Karyawan, atau Pegawai. Namun sesungguhnya dapat dipahami, bahwa
maksud dari semua peristilahan tersebut adalah sama, yaitu: orang yang bekerja pada
orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya. Singkatnya bahwa
Pekerja/Karyawan/Buruh atau Pegawai itu mencakup Pegawai Swasta maupun
Pegawai Negeri (Sipil atau Militer).79
Ciri khas yang melekat pada lembaga pegawai negeri itu adalah mereka
mempunyai hubungan dinas publik.80
Artinya bahwa ketika membandingkan dengan
pegawai dalam suatu Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, Pegawai/Buruh Swasta tidak
79
Darwan Prinst, S.H., Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.
20.
80
Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 1.
59
akan memiliki hubungan dinas publik dengan Pemerintah karena pengangkatannya
tidak mengikuti peraturan perundangan yang berlaku bagi pejabat publik. Adapun
hubungan dinas publik, yaitu:
“Adalah bilamana seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada
perintah dari Pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa
macam jabatan yang dalam melakukan sesuatu atau beberapa macam
jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan
lain.”81
Dengan adanya hubungan dinas publik ini Pemerintah berhak
mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya
persesuaian kehendak dari yang bersangkutan, meskipun demikian timbul dan
berakhirnya lembaga dinas publik itu tidak tergantung pada pengangkatan dalam atau
pemberhentian dari satu jabatan.82
Perburuhan adalah suatu kejadian di mana seseorang, biasanya disebut
buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan, dengan menerima upah
dengan sekaligus mengenyampingkan persoalan antara pekerjaan bebas dan
pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, dan
mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja.83
Definisi di atas memisahkan antara buruh yang bekerja pada majikan
dalam swasta, dengan pegawai negeri. Terhadap pegawai negeri tidak diperlakukan
81
Ibid, hlm. 3.
82
Ibid, hlm. 3.
83
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, 1982, Jakarta, hlm.
299-300.
60
peraturan-peraturan tentang perburuhan, tetapi diadakan peraturan-peraturan
tersendiri bagi mereka yang disebut dengan Peraturan Kepegawaian PNS. Sehingga
perselisihan kepegawaian dengan Badan atau Pejabat TUN menjadi salah satu
kompetensi dari PTUN, artinya hal itu tidak terjadi dengan buruh, pada perusahaan
atau Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.
Pasal 1 Angka (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo
Pasal 1 Angka (9) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Disamping itu harus dipahami bahwa dari pegawai negeri, yaitu:84
(1)
Memenuhi syarat-syarat menurut peraturan perundangan; (2) Diangkat oleh Pejabat
yang berwenang; (3) Diserahi tugas dalam jabatan negeri atau tugas Negara lainnya;
(4) Digaji menurut peraturan perundang-undangan.
Tentunya dengan beberapa unsur tersebut, sudah dapat diketahui bahwa
Rektor Perguruan Tinggi suatu Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tidak dapat
diklasifikasikan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Misalnya, apakah Rektor diangkat
oleh Pejabat yang berwenang? Tentunya tidak. Rektor Perguruan Tinggi suatu
84
Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 17.
61
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta diangkat oleh Yayasan Swasta yang tunduk pada
aturan yang dibuat oleh Yayasan tersebut.
2.17. Yayasan Perguruan Tinggi Swasta
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta disini merupakan pemberi kerja
(dalam istilah perburuhan disebut majikan) kepada buruh dalam hal ini Dosen dan
atau Karyawan. Ini menandakan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta
merupakan badan hukum perdata, bukan Badan atau Pejabat TUN. Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta tidak terikat dengan Pemerintah dalam hubungan kerja
terhadap Dosen. Keberadaan Pemerintah sebatas fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.85
Hubungan
kerja ini disebut dengan Hubungan Industrial atau “Suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan Pemerintah yang didasarkan pada nilai-
nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”.86
Hubungan kerja tersebut terjadi karena adanya perjanjian antara
pengusaha dan pekerja/buruh yang dapat berupa tertulis atau lisan.87
Ini sejalan
dengan pendapat bahwa “Guru dan Dosen adalah berstatus swasta, dimana sistem
85
Pasal 102 ayat 1 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
86
Pasal 1 angka 16 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
87
Pasal 50 dan pasal 51 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
62
pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian dilakukan berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”.88
Ketika sudah ada kontrak antara seseorang (Dosen atau Karyawan)
dengan badan hukum perdata (Yayasan Perguruan Tinggi Swasta), maka Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta harus tunduk pada Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Ini tidak boleh ditumpangtindihkan dengan UU No.51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dus, ada
perbedaan antara pekerja/buruh dengan Pejabat TUN. Pembedaan ini konsekuensinya
yaitu ketika terjadi perselisihan maka gugatan yang diajukan berbeda juga. Dalam
perselisihan Perburuhan, maka hal ini merupakan kompetensi absolut PHI.
Simpulan yang dapat dikemukakan, setelah tinjauan kepustakaan terhadap
perumusan masalah bagaimanakah kompetensi PTUN memutus obyek sengketa
hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau
Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah hanya sebatas memutuskan
bahwa gugatan tidak dapat diterima, sebab kompetensi absolut untuk hal ini berada di
PHI.
88
Sahala Aritonang, Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. hlm. 7. Ia membedakan
dengan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh pemerintah karena mereka pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur
oleh peraturan pemerintah sehingga berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).