bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Metode Suzuki
Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk
pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini
menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan atas berat jenis sehingga
telur akan mengapung dan mudah diamati.
Waktu apung adalah waktu lama pengapungan yang digunakan pada
beberapa pemeriksaan telur cacing termasuk Metode Suzuki. Waktu apung
dalam Metode Susuki belum ditetapkan. Maka perlu melakukan pemeriksaan
efektif waktu pengapungan dalam variasi lama apung pada jumlah telur Soil
Transmitted Helminths pada (Metode Suzuki, 1977).
B. Infeksi Parasit Soil Transmitted Helminths
Infeksi cacing Soil Transmitted Helminths merupakan infeksi kronik
yang diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi dan paling
banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing ini
ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing. Pencemaran telur cacing
itu terjadi karena pencemaran tanah oleh tinja, ini memudahkan transmisi telur
dari tanah kepada manusia melalui tangan yang tercemar oleh telur cacing
parasit, kemudian masuk ke mulut bersama makanan.
5
6
Spesies cacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing
gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus (cacing tambang) (Srisasi Ganda Husada, 2006:8).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah caccing dalam perut)
berbeda (Departemen Kesehatan RI, 2008).
C. Cacing Usus yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah
Di Indonesia, nematoda usus lebih sering disebut sebagai cacing
Perut. Sebagian besar penularannya melalui tanah maka digolongkan ke dalam
kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted
Helminths. (Soedarto, 1991)
Yang termasuk dalam Soil Transmitted Helminths yaitu :
1. Ascaris lumbricoides
Merupakan nematoda usus terbesar. Parasit ini hampir tersebar
di seluruh dunia, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk.
(Poorwo,Soedarmo S, Herry G, Sri Rezeki S, Hindra I, 2008)
a. Klasifikasi
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascaridoidea
Genus : Ascaris
7
Spesies : Ascaris lumbricoides (Jeffrey dan Leach,
1993).
b. Morfologi
Gambar 1. Telur Cacing Ascaris lumbricoides
Cacing betina panjangnya 20 – 35 cm, sedangkan cacing
jantan 15 – 30 cm. Cacing dewasanya hidup di usus halus. Pada
cacing jantan ujung posteriornya melengkung ke arah ventral,
dan dua buah spekulen berukuran 2 mm, sedangkan pada
cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus, dan 1/2
(setengah) pada anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi,
tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan.
8
Telur Ascaris lumbricoides dindingnya memiliki 3
lapisan yaitu :
1) Lapisan luar yang tebal, dari bahan albuminoid yang
bersifat impermiabel.
2) 2. Lapisan tengah, dari bahan hialin bersifat impermiabel (
lapisan ini yang membentuk telur ).
3) Lapisan paling dalam, dari bahan vitelline bersifat sangat
impermiabel sebagai pelapis sel telurnya.
(Hadidjaja, P dan Srisasi Gandahusada, 2002).
c. Siklus hidup
Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Ascaris
9
Telur ascaris berkembang biak pada tanah liat yang
mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25 – 30o C pada
kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung
larva) dalam waktu 2-3 minggu (Jangkung Samidjo, 2001).
2. Trichuris trichiura
Cacing ini tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak
terdapat di daerah panas dan lembab dan sering terlihat bersama –
sama dengan infeksi Ascaris. (Gandahusada, S, 1998).
a. Klasifikasi
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinellidea
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura (Jeffry dan Leach, 1993).
b. Morfologi
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura
10
Panjang cacing betina antara 35-50, sedangkan cacing
jantan 30-40 mm. Bentuknya seperti cambuk, bagian anterior
kecil seperti benang, sedang bagian posteriornya, kira-kira 2/5
(dua perlima) dari panjang cacing, jadi lebih besar. Biasanya
menempati daerah cecum dan appendix (Indan Entjanng,
2003).
Telur berukuran (50-54)x32 mikron, bentuknya seperti
tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup
(operkulum) dari bahan mukus yang jernih. Telur berisi sel
telur (dalam tinja segar). Telur yang sudah dibuahi di alam
dalam waktu 3 sampai 6 minggu akan menjadi matang
(Jangkung Samidjo, 2001).
Resistensi telur genus Trichuris trichiura lebih kecil dari
pada telur Ascaris. Telur Trichuris trichiura akan rusak bila
terkena sinar matahari dan bahan-bahan kimia tertentu. Telur
akan mati dalam waktu pendek dalam suhu 52 – 54 oC dan
pada suhu 9 – 12oC (Soejoto, 1996).
11
c. Siklus hidup
Gambar 4. Siklus Hidup Cacing Trichuris trichiura
Telur tumbuh di dalam tanah liat, tampat lembab dan
teduh dengan suhu optimum kira-kira 30o C. Frekuensinya
berkisar antara 30% - 90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan
pada anak-anak (Jangkung Samidjo, 2001).
3. Strongyloides stercoralis
Nematoda ini tersebar luas di daerah tropik dan subtropik
sedangkan di daerah dingin jarang ditemukan. Parasit ini dapat
menyebabkan penyakit strongilodiasis.
12
a. Klasifikasi
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloidea
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis (Jeffry dan Leach,
1993).
b. Morfologi
Gambar 5. Telur Strongyloides stercoralis
Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna
dan panjangnya 2 mm. Bentuk bebas betina lebih kecil dari
bentuk parasit. Cacing jantan bebas lebih kecil dari betina
dengan ekor melingkar. Larva rabditiform bentuk halus pendek
dan mulut lebar pendek.
13
Sedangkan larva filariform bentuk halus panjang dan
ekor bertakik / bercabang. Telur bentuk parasitik, sebesar 54 x
32 mikron. Bentuk bulat oval dengan selapis dinding yang
transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang.
c. Siklus hidup
Gambar 6. Siklus Hidup Cacing Strongyloides stercoralis
Parasit ini mempunyai 3 macam daur hidup :
1) Siklus langsung
Larva rabditiform setelah 2 – 3 hari di tanah akan
berubah menjadi larva filariform (bentuk infektif). Larva ini
hidup di tanah dan dapat menembus kulit manusia
14
kemudian masuk ke vena menuju jantung kanan dan
paru – paru. Dalam paru – paru, cacing menjadi dewasa dan
menembus alveolus kemudian masuk ke trakea dan laring.
Hal itu menyebabkan batuk – batuk di laring sehingga
cacing terasa tertelan hingga ke usus halus bagian atas.
2) Siklus tidak langsung
Pada siklus ini, larva rabditiform berkembang menjadi
cacing jantan dan betina bentuk bebas. Telur betina setelah
dibuahi selanjutnya menetas menjadi larva rabditiform.
Larva ini setelah beberapa hari berkembang menjadi larva
filariform (bentuk infektif) kemudian masuk ke dalam
hospes baru. Larva rabditiform dapat mengulangi fase
bebas.
3) Autoinfeksi
Larva rabditiform juga dapat berkembang menjadi larva
filariform di rongga usus atau di daerah perianal. Bila larva
filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka
terjadi daur perkembangan di dalam hospes.
(Onggowaluyo, Jangkung S., 2001).
4. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus merupakan
cacing tambang (hookworm). Hospes parasit ini adalah manusia,
cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.
15
a. Klasifikasi
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Famili : Ancylostomaidea dan Necator
Genus : Ancylostoma dan Necator
Spesies : A. duodenale dan N. americanus (Jeffrey dan
Leach, 1993).
b. Morfologi
Telur Ancylostoma duodenale
Telur Necator americanus.
Gambar 7. Telur Ancylostoma duodenale dan NecatorAmericanus.
16
Cacing betina Necator americanus tiap hari mengeluarkan
telur kira– kira 9000 butir, sedangkan Ancylostoma duodenale
kira – kira 10.000 butir. Cacing betina berukuran panjang
kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk
badan Necator americanus biasanya menyerupai huruf S,
sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C.
Telur cacing tambang yang besarnya kira – kira 60 x 40
mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel. Larva rabditiform panjangnya
kira – kira 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya
kira – kira 600 mikron.
(Gandahusada, S, 1998).
c. Siklus Hidup
Gambar 8. Siklus Hidup Cacing Tambang
17
Telur cacing tambang ini keluar bersama – sama dengan
tinja. Di dalam tubuh manusia, dengan waktu 1 – 1,5 hari telur
telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform. Selanjutnya
dalam waktu kira – kira 3 hari, larva rabditiform berkembang
menjadi larva filariform (bentuk infektif). Larva filariform
dapat tahan di dalam tanah selama 7 – 8 minggu. Infeksi pada
manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau
tertelan. Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari
larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke
kapiler darah dan berturut – turut menuju jantung kanan,
paru – paru, bronkus, trakea, laring, dan terakhir dalam usus
halus sampai menjadi dewasa. (Onggowaluyo,
Jangkung S, 2001)
D. Pemeriksaan Telur dengan Menggunakan Metode Suzuki, 1997.
Pemeriksaan Metode Suzuki adalah pemeriksaan yang digunakan
untuk pemeriksaan tanah. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan telur Soil
Transmitted Helminths yang tercampur dengan tanah. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah larutan Hipoklorit 30%, larutan Sulfas magnesicus
(282 gr/liter) dan sampel tanah yang mengandung telur Soil Transmitted
Helminths.
18
E. Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan prosedur kerja yang akan dikerjakan, maka kerangka
konsep yang akan digunakan adalah :
Variabel bebas Variabel terikat
Paparan STH padatanah
Jumlah telur STH yangditemukan padaMetode Suzuki
Lama waktu apung
Waktu apung padapemeriksaan Metode
Suzuki
Jumlah temuantelur STH