bab ii tinjauan pustaka a. teori hermeneutika hukum 1
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Hermeneutika Hukum
1. Konsepsi dan Sejarah Perkembangan Hermeneutika Hukum
Secara etimologis, kata “ hermeneutic ” (tanpa „s) dan “hermeneutics”
(dengan huruf „s). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai bentuk adjective
(kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai ketafsiran, yakni menunjuk kepada “keadaan” atau sifat
yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara kata kedua (hermeneutics)
adalah sebuah kata benda (noun). Kata ini mengandung tiga arti:6
a. Ilmu penafsiran;
b. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan
ungkapan penulis;
c. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran atas teks atau
kitab suci.
Kata Hermeneutics juga berasal dari bahasa Yunani berupa kata kerja
“hermeneuein” yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda “hermeneia”
artinya “tafsiran” atau “interpertasi”. Dari kata kerja hermeneuein dapat
ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu:
a. Mengatakan : to express aloud in words, that is, "to say";
b. Menjelaskan : “to explain”, as in explaining a situation; and
6 Fakhruddin Faiz. 2002. Hermeneutika Al-Qur’an. Cet. 3. Yogyakarta. Qolam. Hal. 21.
18
c. Menerjemahkan : “to translate”, as in the translation of a foreign tongue.
All three meanings may be expressed by the English verb "to interpret,"
yet each constitutes an independent and significant meaning of
interpretation.
Dari ketiga makna tersebut, selanjutnya dalam bahasa inggris
diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian, perbuatan
interpretasi menunjuk tiga hal pokok:7
a. Pengucapan lisan (an oral recitation).
b. Penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation).
c. Terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau
mengekpresikan).
Richard E. Palmer mengkualifikasi hermeneutika yang berkembang pada
masa modern, didefinisikan, paling tidak kedalam 6 (enam) bentuk yang
berbeda. Enam bentuk tersebut antara lain (1) teori eksegesis Bibel, (2)
metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi
metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan
pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun
iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna dibalik mitos dan
simbol.8
Pada mitologi Yunani Kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari
kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan
7 Richard E. Palmer. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston. Northwestern University Press. Hal. 23.
8 Richard E. Palmer. 2016. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Intepretasi. Cet. 3.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 38.
19
menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi
mitos yang lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas
menafsirakan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian
hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan
sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci.9 Dalam agama islam
yang dimaksud Hermes ini diidentikan dengan Nabi Idris a.s.. Sementara
dikalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai Thoth atau Nabi Musa a.s.,
sementara dikalangan Yunani dikenal sebagai Unukh dan dikalangan
masyarakat Persia Kuno dikenal sebagai Hushang.10
Dalam konteks ilmu hukum, hermeneutika (Eng: hermeneutics) adalah ilmu
atau seni menafsirkan suatu pasal atau ketentuan (schriftverklaring).
Hermeneutika berangkat dari “kecurigaan” akan suatu teks undang-undang,
naskah, ataupun argumentasi yang dikemukakan hakim dalam putusannya.
Aksentualisasinya adalah upaya mencari jawaban dari “apa”. “kapan”, dan yang
paling mendasar adalah “mengapa”?. Dalam Black’s Law Dictionary,
hermeneutika didefinisikan sebagai :
“The science or art of construction and interpretation. By the phrase “legal
hermeneutics” is understood the systematic body of rules which are
recognized as applicable to the construction and interpretation of legal
writing.”
Michael N. Forster mendefinisikan hermeneutika dengan mengemukakan:
9 Habibul Umam Taqiuddin. 2016. Hermeneutika Hukum Sebagai Teori Penemuan Hukum
Baru. Jurnal Jime. Vol. 2 No. 2. Hal. 327.
10 Edi Susanto. 2016. Studi Hermeneutika: Suatu Pengantar. Jakarta. Kencana. Hal. 3.
20
“...hermeneutics means the theory of interpretation, i.e. the theory of
achieving an understanding of texts, utterances, and so on (it does not mean
a certain twentieth-century philosophical movement)”11
Hermeneutika dalam pemikiran barat dikembangkan dan dipopulerkan oleh
para filsuf dan pakar hukum diantaranya Friedrich Schleiermacher
(Hermeneutika romantis), Wilhelm Dilthey (hermeneutika metodologis), Emilio
Betti, Martin Heidegger (Hermeneutika eksistensial/dialektis), Hans-Georg
Gadamer (hermeneutika dialogis/filosofis), Jurgen Habermas (hermeneutika
kritis), Paul Ricoeur (hermeneutika fenomenologis/naratif), E. D. Hirsch. Jr.,
Jorge J. E. Gracia, Jasques Derrida (Hermeneutika dekonstruksionis). Secara
umum Josef Bleicher membagi dan mengkerucutkan hermeneutika menjadi 3
tiga metode pencarian makna berdasar hubungan triadic antara teks, penggagas,
dan penafsir yakni: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan
hermeneutika kritis.
Gagasan hermeneutika modern barawal dari gagasan FDE.
Schleiermacher. Ia telah membawa kajian hermeneutik tidak hanya berkutat
pada lingkup penafsiran terhadap kitab suci. Lebih dari itu ia melihat
hermeneutik dapat bermanfaat besar bagi semua kalangan. Dan pada faktanya
terus berkembang ke semua bidang baik agama, sastra, sejarah, hukum,
maupun filsafat. Ia telah berjasa dalam membakukan hermeneutika sebagai
acuan dalam hal interpretasi secara metodologis.12 Schleiermacher
mengemukakan hermeneutika sebagai seni memahami yang mengandung
11 M. Natsir Asnawi. 2020. Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan Multidisipliner dalam
Memahami Putusan Peradilan Perdata. Yogyakarta. UII Press. Hal. 3.
12 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 6-7.
21
makna sebagai proses yaitu proses mengungkap makna dari “bahasa”, “teks”,
dan “simbol”. Dalam memahami problem yang mendasarkan pada gagasan
Schleiermacher interpretasi yang berpengaruh adalah interprestasi psikologis
dan interpretasi gramatis/linguistik. Interpretasi psikologis menempatkan
pada isi pikiran penulis, sedangkan interpretasi gramatis menempatkan pada
unsur-unsur bahasa teks.13
Perkembangan selanjutnya oleh Wilhelm Dilthey. Hermeneutika
berperan sebagai fondasi ilmu kemanusiaan difungsikan sebagai landasan
metodologis bagi ilmu humaniora. Dilthey berusaha menggiring
hermeneutika sebagai landasan epistimologi bagi ilmu humaniora dan tidak
hanya sekedar sebagai ilmu penafsiran teks.14 Ia melakukan pengembangan
gagasan dalam memahami problem dengan menggunakan lingkaran
hermeneutika terbuka yaitu dalam memahami makna ada dipengaruhi oleh
historis dan sosial kemanusiaan, sehingga makna tersebut dapat berubah
makna menurut waktu dan hubungan-hubungan yang terlibat melalui proses
interpretasi.15
Tahap selanjutnya, kajian hermeneutika telah berhasil memasuki
pembahasan dalam ranah ontologis. Hermeneutika sebagai pemahaman
eksistensial dan fenomenologi eksistensi lebih difungsikan sebagai penafsiran
untuk melihat fenomena keberadaan manusia itu sendiri melalui bahasa.
13 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2017. Urgensi Penggunaan Hermeneutika Hukum Dalam
Memahami Problem Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Kertha Patrika. Vol. 39 No. 3. Hal.
162-163.
14 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 8.
15 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 163.
22
Tokohnya adalah Martin Heidegger dan Hans G. Gadamer. Dalam perspektif
Heidegger hermeneutika bukan hanya sebagai metode filologi, melainkan
menjadi karakteristik manusia itu sendiri. Memahami dan menafsirkan
merupakan bentuk paling mendasar dari eksistensi manusia. Gadamer
memandang hermeneutika sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan
pemahamannya sebagai proses ontologis manusia. Pemahaman merupakan
modus eksistensi manusia. Peristiwa pemahaman merupakan peristiwa
historis, dialektis, dan linguistik.16
Hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam konteks ini
hermeneutika lebih difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran
dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol, yaitu
dengan membuka selubung yang menutupinya.17 Hermeneutika yang
berpengaruh terhadap memahami problem ini adalah hermeneutika dari
Ricoeur yang menempatkan pada upaya menyingkap makna yang
tersembunyi di balik teks. Selanjutnya Ricoeur juga menegaskan bahwa
dalam menyingkap makna dalam teks, unsur metodologi sangat diperlukan.
Ricoeur menyebutnya sebagai jalan melingkar.18 Artinya dalam menyingkap
makna dalam teks harus didahului dengan adanya “metodologi”. Selanjutnya
dapat dilakukan proses “memahami” dan “menjelaskan”. Setelah ditemukan
maknanya, dengan demikian selanjutnya dapat dilakukan rekontruksi
terhadap makna tersebut.
16 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 9.
17 Ibid.
18 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 164.
23
Drucilla Corneel bahkan menyebut bahwasannya hermeneutika hukum
merupakan bagian dari Critical Legal Studies (CLS) Movement (Gerakan Studi
Hukum Kritis) yang berusaha mewujudkan prinsip etis berupa keadilan serta
prinsip-prinsip politik akan janji keselamatan hukum. Corneel bahkan
menentang mereka yang menganggap hermeneutika hukum sebagai sebuah
penemuan atau apropriasi masa lalu dari visi keadilan kontemporer.19
Francis Lieber menyatakan bahwa hukum mesti menggunakan
hermeneutika dalam memahami teks, kata, atau isi hukum itu sendiri.
Menurutnya hermeneutika bukan sekedar hal yang selalu ada dalam hukum
dan politik, melainkan menjadi bagian penting dalam hukum dan politik itu
sendiri. Maka para legislator, hakim, pengacara, dan administrator
membutuhkan aturan-aturan yang tepat, aman, dan sehat bagi interpretasi dan
konstruksi.20
Hermeneutika menjadi kajian yang relevan sebagai alternatif metode
penemuan hukum. Yang mana hal tersebut diperlihatkan dengan ciri khasnya
yakni bingkai pemahaman melalui proses timbal balik antara kaidah-kaidah
dan fakta-fakta. J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa lingkaran hermeneutical
dihasilkan dari proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Dalil
hermeneutical bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya
19 Jazim Hamidi. Loc., cit.
20 Urbanus Ura Weruin, Dwi Andayani B., St.Atalim. 2016. Hermeneutika Hukum: Prinsip dan
Kaidah Interpretasi Hukum. Jurnal Konstitusi. Vol. 13 No. 1. Hal. 103.
24
kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta,
termasuk dalam paradigma dari Teori Penemuan Hukum dewasa ini.21
Fungsi dari tujuan hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah
untuk bringing the unclear into clarty (memperjelas sesuatu yang tidak jelas
supaya lebih jelas). Adapun menurut Gregory Leyh, tujuan hermeneutika
hukum untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi
hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Hans-Georg
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat
berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah
orisinal dari teks hukum. Serta Charter, berpendapat bahwa, pengalaman
hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek di pengadilan
memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya.22
Dalam ranah kajian hukum, hermeneutika hukum ingin membantu yuris,
khususnya hakim, dalam membangun dan mengembangkan pemahaman
secara utuh terhadap teks-teks hukum. Hermeneutika bagi hakim pada
dasarnya berperan penting dalam menghindarkan hakim dari kesesatan dalam
menafsir teks-teks hukum (mislead). Selain berkutat pada dimensi menafsir
suatu teks, hermeneutika juga berkenaan dengan kegiatan konstruksi atau
membangun teks tertentu yang bermakna. Dengan demikian hermeneutika
juga menjadi patron bagi hakim dalam menyusun atau mengontruksi teks atau
kaidah hukum tertentu dan menerapkannya pada kasus atau perkara in
21 Dalam B. Arief Sidharta. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal.
209.
22 Abintoro Prakoso, 2016. Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran, dan Prosedur Dalam
Menemukan Hukum. Yogyakarta. LaksBang Group. Hal. 135.
25
konkreto.23 Selain daripada itu, Hermeneutika hukum juga menganjurkan
agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna
hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan,
sebagaimana dikatakan oleh Sarat, “…as an alternative, or addition, to (the
study of legal) behavior.”24
Van Apeldoorn berpendapat bahwa hakim harus menyesuaikan undang-
undang dengan fakta-fakta konkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam
masyarakat, serta menambah undang-undang apabila memang diperlukan.
Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian
konkrit. Karena undang-undang tidak dapat mencakup segala kejadian yang
ada atau timbul dan berlaku di dalam masyarakat.25
Keputusan yang dilakukan oleh hakim akhirnya merupakan suatu
lompatan dari penalaran yang logis kepada suatu penilaian. Keputusan hakim
senantiasa tidak terlepas dari tujuan akhir keputusan hukum itu, yaitu
keadilan. Keadilan inilah yang pada hakikatnya dilihat sebagai konsekuensi
yang harus diciptakan dalam masyarakat yang dapat dirumuskan sebagai
similia similibus atau memberikan perlakuan yang sama terhadap hal-hal
yang sama (perkara yang sama/sejenis harus diputus sama). Hal ini sejalan
berdasar perkataan Paul Scholten yang menyatakan bahwa:
“Wie ..... nieuw recht zoekt moet altijd vragen : hoe is het oude geworden,
kan ik er een lijn van ontwikkeling in onderkenmen, bouw ik voortr aan
23 M. Natsir Asnawi. Op., cit. Hal. 3.
24 Dalam Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta. Elsam dan Huma. Hal. 104-105.
25 Abintoro Prakoso. Op., cit. Hal. 19.
26
het bestaande, past het erebji? En tegelijk moet hij zich afragen : waar
ga ik heen als ik dezen stap doe, welke consequenties liggen er in
opsegolten?.
Artinya : Siapa yang hendak menemukan hukum baru selalu harus bertanya:
bagaimanakah hukum lama terbentuk, dapatkah saya menemukan “garis
merah”, dan apakah saya melanjutkan (pranata norma) hukum (yang baru ini)
di atas apa yang kini berlaku? Apakah (norma atau pranata) hukum baru yang
akan saya kemukakan itu serasi atau dapat diserasikan dengan (sistem) hukum
positif? Dan sekaligus ia harus bertanya : menuju ke manakah norma hukum
yang baru itu serta apakah konsekuensinya apabila saya menetapkan (norma)
hukum yang baru?. Hal ini berarti bahwa proses penemuan hukum tidak
hanya dilakukan oleh hakim atau siapa saja yang pada suatu waktu melakukan
penafsiran hukum, melainkan juga merupakan hasil dari interaksi dengan
masyarakat tempat keputusan itu diterapkan, yang disebut oleh Paul Scholten
unsur konsekuensi terhadap masyarakat.26
Menurut Jazim Hamidi, esensi dari hermeneutika hukum itu terletak pada
pertimbangan “trianggel hukum”-nya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya semata, tapi juga konteks
hukum itu dilahirkan, serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya
di masa kini dan mendatang. Salah satu kelebihan dari metode ini yakni terletak
pada cara dan lingkup interpretasinya yang “tajam”, “mendalam”, dan “holistik”
dalam bingkai keterkaitan antara “teks”, “konteks”, dan “kontekstualisasinya”.
Dengan demikian, peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan
26 Ibid. Hal 5-9.
27
tidak semata-mata dilihat/ditafsirkan dari aspek legalitas formal berdasar bunyi
teks-nya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar
belakangi peristiwa/sengketa itu muncul, apa akar masalahnya, adakah intervensi
politik yang membidani dikeluarkannya putusan itu, serta sudahkah dampak
putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan (aspek sosio-
politik-kulturnya) di kemudian hari.27
Sebagaimana banyak menjadi rujukan para pakar hukum di Indonesia,
perkembangan hermeneutika dalam ilmu hukum di Indonesia banyak diilhami
oleh pemikiran B. Arief Sidharta (Almarhum). Melalui pemikirannya,
hermeneutika semakin berkembang baik melalui tulisan-tulisan maupun kuliah
tamu yang diisi beliau. Shidarta mengatakan bahwa:
“Melalui pelbagai perpaduan cakrawala dalam dialogia rasional
(hermeneutika Gadamer) dalam forum-forum diskusi ilmiah hukum terbuka
diharapkan akan dihasilkan produk penafsiran hukum yang paling
akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena
kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakukan intersubjektif.”.
2. Kerangka Pemikiran Hans Georg Gadamer Pada Konsep Hermeneutika
Hukum
Bicara mengenai hukum, senyatanya tidak akan pernah lepas dari ihwal
menafsirkan. Hal ini tak lain karena hukum senantiasa dituangkan dalam
bentuk teks yuridik tertulis (terkecuali norma kebiasaan di masyarakat). Oleh
karenanya penafsiran menjadi jantung bagi hukum itu sendiri.
27 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 117-119.
28
Dalam ilmu hukum telah dikenal suatu ajaran metode penemuan hukum
dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi hukum. Meski
metode intrepretasi dan kontruksi hukum yang telah mengakar cukup lama
didunia hukum termasuk diterapkan di Indonesia. Terdapat alternatif
penemuan hukum lain yang kiranya dapat dipertimbangkan untuk dapat
digunakan didalam dunia penafsiran yang disebut sebagai hermeneutika
hukum. Pemikiran hermeneutika ala Hans-Georg Gadamer menjadi salah satu
rujukan yang sering dipakai dalam penerapan penafsiran hukum.
Hermeneutika hukum menjadi kajian yang relevan sebagai alternatif
penemuan hukum. Hal ini terlihat melalui ciri khasnya yakni bingkai
pemahaman melalui proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
Sejalan dengan pemahaman itu, J.J.H. Bruggink berpendapat bahwa
lingkaran hermeneutical dihasilkan dari proses timbal balik antara kaidah-
kaidah dan fakta-fakta. Artinya dalil hermeneutical menyatakan bahwa orang
harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan
menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk dalam
paradigma dari Teori Penemuan Hukum dewasa ini.28
Yang menjadi pertanyaan apakah persamaan dan titik taut perbedaan
ketiga alternatif penemuan hukum tersebut? Jazim Hamidi memberikan
penjelasan tersebut dalam bukunya Hermeneutika Hukum (Sejarah – Filsafat,
dan Metode Tafsir).29 Berikut akan dipaparkan melalui tabulasi dibawah ini:
28 Dalam Arief Sidharta. Op., cit. Hal. 209.
29 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 50-51.
29
Tabel 1: Persamaan Hermeneutika Hukum dengan Interpretasi dan
Konstruksi Hukum
Sumber: Jazim Hamidi
Adapun perbedaannya dapat dilihat dalam tabulasi berikut:
Tabel 2: Perbedaan Hermeneutika Hukum dengan Interpretasi dan
Konstruksi Hukum
Hermeneutika Hukum Interpretasi Hukum & Konstruksi
Hukum
Merupakan ajaran filsafat hukum dan
cara interpretasi atas “teks” atau
“sesuatu”.
Interpretasi = penafsiran teks
Konstruksi = analogi hukum
Lingkup kajiannya (hermeneutika
umum metode penafsiran kitab suci,
filologi, linguistic, ilmu-ilmu
humaniora (Geiteswissenschaften),
fenomologi dassein/eksistensial,
sistem penafsiran) dan hermeneutika
hukum itu sendiri.
Lingkup interpretasi hukum
(gramatikal, historis, sistematis,
sosiologis/teleologis, komparatif,
futuristik, restriktif, ekstentif, otentik,
interdisipliner, dan multidisipliner).
Lingkup konstruksi hukum
(argumentum per-analogium,
argumentum a-contrario,
rechtsvervijnings, dan fiksi hukum).
1. Sama-sama merupakan metode interpretasi;
2. Fungsi dan tujuannya untuk menggali makna hukum di balik teks
otoritatif;
3. Para pengguna terdiri dari: akademisi hukum, peneliti hukum,
penstudi hukum, ilmuwan hukum, hakim, jaksa, advokat,
konsultan hukum, polisi, notaris, dan para pencari keadilan
lainnya.
30
Cara menggunakannya dilakukan
secara holistik dan komprehensif.
Cara menggunakannya bisa
dilakukan secara komulatif dan/atau
fakultatif
Digunakan kapan saja. Digunakan jika hukum tidak jelas,
bermakna kabur/ganda, dan bila
terjadi antinomi norm atau benturan
norma. Sedangkan konstruksi hukum
digunakan saat wet vacuum.
Sumber: Jazim Hamidi
Secara umum, hermeneutika hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau seni
penafsiran terhadap teks yuridik. Dalam tataran filosofis, hermeneutika hukum
merupakan ajaran filsafat tentang intisari ‘memahami’ sesuatu. Hermeneutika
hukum sangat berperan dalam membongkar maksud terselubung dan berusaha
menggali ‘pemahaman’ (verstehen) terhadap suatu teks undang-undang,
naskah/dokumen resmi negara, doktrin hukum, asas hukum, norma hukum, fakta
hukum, atau argumentasi hukum yang dikemukakan hakim dalam putusannya.
Menurut Hans-Georg Gadamer secara tersirat dalam bukunya (Wahrheit
und Methode) menyatakan bahwa sebuah teks hukum yang memiliki kekhasan
dogmatiknya, tidak dapat dipahami hanya secara literal saja.30 Pemahaman akan
sesuatu tidak dapat disandarkan hanya dengan melihat teks semata sebagaimana
yang dituliskan. Lebih dari itu, teks harus dapat dipahami dengan memperhatikan
bentangan historitas yang ada di masyarakat. Karena sejatinya, hukum tidak
dapat dipisahkan dari hakekat keberadaan manusia itu sendiri.
30 Hans-Georg Gadamer (diterjemahkan oleh: Ahmad Sahidah). 2020. Kebenaran dan Metode.
Cet. III. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 389-410.
31
Secara tidak langsung, hadirnya hermeneutika hukum mengisyaratkan
jawaban keresahan atas hegemoni positivisme. Lebih lanjut, hermeneutika
hukum hadir untuk membantu hakim dalam menafsirkan dan memahami teks
yuridik guna mencari kebutuhan hukum yang ideal di masa kini dan mendatang.
Alhasil pemaknaan teks hukum dan penerapannya merupakan satu kesatuan
yang utuh.
Dalam bukunya, Gadamer menyelipkan sub bab yang menjabarkan aplikasi
hermeneutikanya dalam ranah hukum. Sub bab ini diberi judul “Makna Teladan
Hermeneutika Hukum”. Gadamer mendefinisikan dan menyimpulkan bahwa :31
“Legal hermeneutics is no special case but is, on the contrary, capable of
restoring the hermeneutical problem to its full breadth and so re-
establishing the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian
meet the philologist.” (terjemahan bebasnya: Hermeneutika hukum
bukanlah suatu hal atau kasus yang khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya
memulihkan kembali problema yang utuh dari masalah hermeneutik dan
dengan demikian membentuk kembali kesatuan hermeneutik secara
menyeluruh seperti semula, dimana pakar hukum dan teologi bertemu
dengan para pakar ilmu humaniora).
Menurut Jazim Hamidi, esensi dari hermeneutika hukum ini (H. Georg
Gadamer) terletak pada pertimbangan “trianggel hukum”-nya, yaitu suatu
metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat
teksnya semata, tapi juga konteks hukum itu dilahirkan, serta bagaimana
31 Ibid. Hal. 394.
32
kontektualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan mendatang. Salah
satu kelebihan dari metode ini yakni terletak pada cara dan lingkup
interpretasinya yang tajam, mendalam, dan holistik dalam bingkai keterkaitan
antara “teks”, “konteks”, dan “kontekstualisasinya”.32
Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu hukum adalah sebuah eksemplar
hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan
bermasyarakat. Sebab, dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk
menyelesaikan masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan penafsiran itu
tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridik, tetapi juga terhadap kenyataan yang
menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan.33
Dengan demikian hermeneutika hukum bukanlah suatu metode, melainkan
cara atau seni memahami teks yuridik dengan sudut pandang yang lebih luas.
Bukan hanya menelisik objektifitas teks atau maksud penggagas semata, namun
juga dengan memahami keadaan aktual yang berhubungan dengan teks tersebut.
Dengan kata lain, juga melihat hukum dalam tataran praktis atau kenyataan yang
menimbulkan masalah hukum. Dengan demikian penafsir juga mengambil andil
penting didalamnya. Hal yang relevan, sebagaimana yang terjadi dalam subjek
permasalahan penelitian hukum ini.
Sebelumnya telah dijelaskan diatas tentang pemahaman dasar mengenai
hermeneutika hukum secara sederhana. Selanjutnya dalam penelitian hukum ini,
penulis secara khusus memilih dan akan melakukan analisa terhadap subjek
32 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 117-119.
33 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 26.
33
permasalahan menggunakan konsep hermeneutika berdasar pemikiran Hans-
Georg Gadamer. Oleh sebabnya, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai
implementasi hermeneutika hukum dalam pola kerja dan kerangka pemikiran
Hans-Georg Gadamer. Secara rigit pemikiran Gadamer dapat ditelisik melalui
Maha Karya-nya yang berjudul Wahrheit und Methode (Ing: Truth And Method;
Ind: Kebenaran dan Metode).
Pada perkembangannya hermeneutika telah mencapai tataran pembahasan
secara ontologis melalui pemikiran Heidegger yang kemudian dikembangkan
oleh muridnya Gadamer. Setelah sebelumnya masih berbasis pada tataran
metodologi yang dikembangkan oleh Schleiermarcher dan Dilthey.
Hermeneutika ala Gadamer tidak ingin menempatkan hermeneutika sebagai seni
menggali ‘pemahaman’ yang sukar mencapai kebenaran dalam kesempitan
sebuah metode. Alih-alih, ia ingin menempatkan hermeneutika untuk dapat
menembus dimensi kebenaran yang hakiki pada tingkat ontologis. Proses
mencapai kebenaran tersebut dilakukan melalui proses secara dialektis/dialogis.
Berbicara mengenai hermeneutika, maka berbicara mengenai masalah
hubungan antara penggagas, teks, dan penafsir/pembaca. Oleh sebabnya hasil
analisis terhadap pembacaan teks dapat saja berbeda antara maksud penggagas
dengan pembaca/penafsir. Oleh karenanya persoalan utama hermeneutika
terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif ataukah makna
subjektif.34 Tiga bentuk hubungan (triadic) dalam hermeneutika tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
34 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 26.
34
Gambar 1. Hubungan Triadic Konsep Hermeneutika
Pemahaman, bagi Gadamer sebagaimana digambarkan oleh Richard E.
Palmer merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik. Gadamer
mengisyaratkan bahwa inti dasar hermeneutika adalah ontologi dan
fenomenologi pemahaman. Itu sebabnya hermeneutika ini dikategorikan
kedalam hermeneutika filosofis. Kunci untuk memahami bukanlah
memanipulasi atau menguasai, melainkan partisipasi dan keterbukaan, bukan
pengetahuan tetapi pengalaman, bukan metodologi melainkan dialektika.35 Bagi
Grondin, konsep Gadamer difokuskan pada 3 (tiga) hal yakni pemahaman
sebagai kegiatan berpikir, kegiatan praktek, dan kesepahaman.36
Masalah utamanya yakni tentang “bagaimana tindakan memahami” perse,
bukan bagaimana memahami teks dengan benar dan objektif sebagaimana
hermeneutika teoritis. Hermeneutika filosofis menolak dengan tegas anggapan
hermeneutika teoritis yang menganggap hermeneutika bertujuan untuk
menemukan makna objektif.37 Melainkan makna yang lebih berarti bagi
eksistensi manusia itu sendiri.
35 Richard E. Palmer. Op., cit. Hal. 255.
36 Lina Kushidayati. 2014. Hermeneutika Gadamer dalam Kajian Hukum. Jurnal Yudisia. Vol.
5 No. 1. Hal. 70.
37 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 29.
Teks
Pembaca/penafsir Penggagas
35
Bicara hermeneutika maka tidak dapat dipisahkan mengenai adanya
kesenjangan jurang antara masa-lalu dan masa-kini. Kesenjangan tersebut tidak
harus diatasi penafsir dengan berusaha memahami teks dengan menanggalkan
masa kini. Melainkan dengan memediasikan keduanya. Hal tersebut diperantarai
melalui dalektika. Dengan dialektika maka makna, maksud, dan kenyataan akan
timbul dengan sendirinya kepermukaan.
Bagi Gadamer, pemahaman bersifat historikal. Artinya perlu dicamkan
bahwa manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sehingga tidak dapat diragukan
lagi bahwa horizon (cakrawala) besar masa-lalu tempat kebudayaan dan masa-
kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan,
atau kita takutkan, dan khawatirkan di masa-depan. Gerakan historikal menjadi
inti pemahaman. Dalam artian, didalam pemahaman terjadi interaksi antara
masa-lalu dengan masa-kini.38 Bahkan hasil mediasi keduanya harus
diproyeksikan kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang. Hubungan tersebut menciptakan gerak resiprokal sebagaimana
digambarkan berikut:
Gambar 2. Hubungan Resiprokal Historikal Masa Lalu, Masa Kini, dan
Masa Depan
38 W. Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika. Bandung. CV Pustaka Setia. Hal. 94-95
manusia
masa lalu masa depan
masa kini
36
Hermeneutika tidak ditujukan untuk berurusan dengan subjektifitas
penggagasnya, juga tidak berurusan dengan situasi historisnya. Makna
senantiasa melampaui jiwa dan pemahaman penggagas. Pemahaman bukan
hanya upaya reproduktif, tetapi juga kegiatan produktif.39 Sebagai ciri khas
hermeneutika Gadamer, bahkan ia mengartikan pemahaman adalah saling
memahami hingga sampai pada “titik kesepahaman”.
Terdapat pokok-pokok konsep hermeneutika dalam spektrum pemikiran
Gadamer diantaranya sebagai berikut:
a. Teori Kesadaran Sejarah Pengaruh (Jerm: Wirkungsgeschichte Bewubtsein;
Ing: Historically Effected Conscioucness)
Kesadaran sejarah pengaruh adalah kesadaran tentang ‘situasi’
hermeneutik.40 Situasi hermeneutik ini dapat berupa tradisi, budaya, atau
pengalaman hidup yang melingkupi penafsir. Teori ini mengandung makna
bahwa sejatinya seseorang yang merupakan pelaku sejarah, tidak dapat
melampaui sejarah itu sendiri. Kita senantiasa berada dalam lintasan sejarah
itu sendiri. Sehingga seorang penafsir harus sadar bahwa ia dipengaruhi oleh
‘situasi’ hermeneutik tertentu yang menyelimutinya.
Kesadaran sejarah pengaruh itu merupakan bagian dari pemahaman itu
sendiri. Pesan dari teori ini yakni kesadaran penafsir akan sejarah, dimana
penafsir tidak berada diluarnya, sehingga tidak akan mampu untuk
mempunyai pengetahuan objektif.41 Konsep ini pada intinya mengandung 2
39 Ibid. Hal. 96
40 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 363.
41 Ibid.
37
(dua) pokok persoalan yang saling mangandaikan. Pertama, dalam proses
memahami, seseorang sadar atau tidak sadar telah berhadapan dengan sebuah
karya sejarah atau data sejarah yang mendahuluinya. Arti singkatnya manusia
telah memiliki bahan pengetahuan. Kedua, dalam proses memahami, manusia
telah menemukan dirinya selalu dalam hubungan dengan apa yang hendak
ditafsirkannya.42
b. Teori Prasangka atau pra-pemahaman (pre-understanding)
Dalam mewujudkan pemahaman yang utuh, dimulai dengan suatu yang
disebut oleh Gadamer sebagai prasangka (vorverstandnis) atau
prapemahaman. Prasangka-prasangka ini terbentuk dari keterpengaruhan
sejarah pengaruh oleh ‘situasi’ hermeneutik tertentu yang menyelimuti
penafsir dan teks sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini sebagai permulaan
untuk mewujudkan tujuan suatu pemahaman terhadap teks dengan baik.
Pesan dari teori ini adalah penafsir tidak akan bisa lepas dari ‘situasi’
hermeneutik, yang mana hal tersebut akan membentuk suatu prasangka (basis
pengetahuan awal) penafsir.
Namun demikian, menurut Gadamer, harus ada keterbukaan terhadap
prasangka ini. Prasangka-prasangka ini harus terus diuji, direhabilitasi, dan
dikritisi oleh penafsir.43 Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman (mislead) terhadap maksud teks tersebut. Hasil akhirnya
42 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 130.
43 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 368.
38
akan menciptakan apa yang disebut Gademer sebagai kesempurnaan
prasangka (Vollkemmenheit des Vorverstandnisses).
c. Teori Peleburan Horizon (Fusion of Horisons) dan Lingkaran Hermeneutik
(Hermeneutical Circle/Spiral)
Teori ini bermakna bahwa seorang penafsir harus sadar bahwa terdapat
dua horizon yang melingkupi hermeneutika. Dua horizon itu yakni ruang
lingkup (horizon) tersendiri bagi teks (horizon teks) yang dibuat di masa lalu
(makna objektif teks), serta horizon penafsir (subjektifitas penafsir) dilain sisi.
Prasangka membentuk horizon tersendiri bagi penafsir. Horizon penafsir
bisa saja tidak sepaham dengan horizon teks. Penafsiran adalah kegiatan
dimana bertemunya antara interpretator dan interpretandum. Perjumpaan
seperti itu menimbulkan ketegangan antara horizon penafsir dengan horizon
teks. Menurut Gadamer, memahami bukanlah menghapus ketegangan itu,
misalnya dengan membiarkan horizon teks “mencaplok” horizon pembaca,
melainkan justru mengeksplisitkan tegangan itu. Peleburan horizon-horizon
bukan asimilasi naif sebuah horizon ke horizon lain, melainkan sebuah
interseksi diantara keduanya.44 Dengan demikian, memahami teks berarti
membiarkan teks yang dimaksud berbicara.
Interaksi kedua horizon tersebut menimbulkan proses resiprokal yang
disebut Gadamer sebagai lingkaran atau sepiral hermeneutika. Yakni proses
penggabungan sintesis dan analisis: sintesis adalah proses penggabungan
44 F. Budi Hardiman. 2015. Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher sampai Derrida.
Sleman. PT Kanisius. Hal. 182-183.
39
bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan; analisis ialah proses timbal balik
pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagian.45 Lihat gambar berikut:
Gambar 3. Lingkaran/Sepiral Hermeneutika
Sumber : Jazim Hamidi
Agar pemahaman utuh dapat tercapai, peleburan horizon (fusi
cakrawala) haruslah terjadi. Peleburan horizon terjadi karena teks bersifat
kebahasaan dan interpretator berada lewat dan berdiri didalam tradisi (situasi)
yang bersifat kebahasaan. Bahasa menjadi medium proses appropriasi
didalam peleburan horizon.46
Peleburan horizon ini menyebabkan horizon penafsir bergeser yang
menghasilkan, memantapkan, atau bahkan mengubah pengetahuan subjek.
Peleburan horizon yang menyebabkan pergeseran horizon disebut
Horisontverschmelzung. Dalam dinamika perpaduan horizon ini, prasangka-
prasangka yang tidak disadari sebelumnya dapat muncul ke permukaan
(kesadaran kognitifnya) sehingga terbuka kemungkinan untuk mengkajinya
secara rasional dan faktual.
45 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 81.
46 W. Poespoprodjo. Op., cit. Hal. 139.
teks
satu keutuhan
bagian-bagian
an
ali
sis
sin
tesi
s
40
Bagan 1. Peleburan Horizon dan Sepiral Hermenutika
d. Teori Penerapan (Application)
Menurut Gadamer, hermeneutika berkaitan dengan 3 (tiga) hal yakni
subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas explicandi (penafsiran), dan
subtilitas applicandi (penerapan).47 Setelah berhasil sampai pada kesimpulan
utuh atas pemahaman, penerapan (anwendung) menjadi hal yang penting.
Pertanyaannya apakah makna objektif teks terus dipertahankan dan
diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir saat ini? Dalam pandangan
Gadamer, pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsir bukan makna
literal (harfiah) teks semata, tetapi meaningful sense (makna yang berarti) atau
pesan yang lebih berarti daripada sekedar makna literal teks.48 Aplikasi
47 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 370.
48 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 54-55.
Terjadi proses dialektika dan
keterbukaan.
Bergerak
sepiral
Terjadi pergeseran horizon dan
perluasan.
Horizon Penafsir Horizon Teks Fusi
41
bukanlah hal yang terpisah dari pemahaman, melainkan merupakan bagian
integral.49
Pesan yang terkandung didalamnya yakni perlu pula memperhatikan
penerapan makna dengan memperhatikan kenyataan saat ini. Atau dalam
konteks penerapan hukum terhadap teks yuridik yang ditafsirkan perlu
mempertimbangkan keberlakuan hasil tafsiran tersebut saat ini serta pengaruh
keberlakuannya selanjutnya.
Pada puncaknya, melalui pemikiran Heidegger dan Gadamer, hermeneutika
mendapatkan landasan kefilsafatannya. Dalam buku karya Gadamer Wahrheit
und Methode, juga memberikan bab tersendiri pembahasan mengenai aplikasi
hermeneutika hukum (legal hermeneutic). Dengan demikian hermeneutika dapat
menjadi landasan kefilsafatan baik secara ontologi dan epistimologi bagi
keberadaan ilmu hukum, maupun filsafat ilmu dalam ilmu hukum.
Berbeda dengan teori penemuan hukum yang selama ini kerap digunakan
dalam ranah hukum yakni metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum.
Hermeneutika hukum hadir sebagai pembeda dalam kerangka kerja penafsiran
terhadap teks yuridik. Melalui hermeneutika hukum Gadamer, teks ditafsirkan
secara terbuka melalui dialektika. Teks diajak berbicara untuk menampilkan
makna yang esensial ke permukaan.
Dalam pemikirannya, hermeneutika mendudukkan penafsir sebagai hal
yang penting. Penafsir mengambil andil dalam proses mencari pemahaman yang
utuh terhadap makna yang terselubung dibalik teks yuridik. Lebih lanjut, penafsir
49 F. Budi Hardiman. Op., cit. Hal. 189.
42
juga dituntut untuk dapat menggali dan membuka tabir kebenaran dan keadilan
di masyarakat. Bahkan jika diperlukan, dapat memberikan lompatan hukum
guna meningkatkan efektifitas dan progresifitas hukum.
Dengan hadirnya hermeneutika hukum, suatu teks yuridik ditafsirkan secara
terbuka dengan menyadari eksistensi manusia. Artinya keberadaan manusia
sejatinya senantiasa melakukan penafsiran dan pemahaman. Penafsiran disini
dilakukan dengan memperhatikan fakta yang melingkupi manusia itu sendiri.
Penafsiran melalui pemahaman (verstehen) tidak melulu berbicara mengenai
otomomi teks semata melainkan juga terhadap fakta aktual yang berhubungan
dengan teks. Disamping itu, alih-alih hanya melihatnya sebagai teks masa lalu,
hermeneutika hukum melihatnya sebagai hubungan kontinuitas masa lalu, masa
kini, dan masa mendatang. Meski demikian, perlu mendapat perhatian disini
bahwasannya kehadiran hermeneutika hukum tidak pernah mengakui dirinya
sebagai ketunggalan ajaran mengenai penafsiran. Menurut hemat penulis,
kesemua alternatif penemuan hukum tersebut dapat digunakan secara
proporsional sesuai kebutuhan penafsir.
B. Teori Asas Proporsionalitas
1. Uji Proporsionalitas (Proportionality Test)
Dalam praktik peradilan konstitusi di dunia internasional terdapat formulasi
pengujian konstitusionalitas yang dikembangkan yang disebut sebagai uji
proporsionalitas (proportionality test). Pada mulanya, formula ini diterapkan
untuk mengukur bilamana terdapat tumpang tindih antara hak-hak yang harus
dilindungi oleh pengadilan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
43
untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. Pengadilan dihadapkan pada
sebuah dilemma antara melindungi hak warga negara atau mempertahankan
program yang akan dilakukan pemerintah. Dalam menimbang problematika
tersebut, ukuran-ukuran proporsionalitas digunakan sebagai acuan sebelum
mengambil keputusan.50
Praktik uji proporsionalitas sejatinya belum begitu akrab dikenal dalam
diskursus uji konsitusionalitas di Indonesia. Meski demikian praktik ini sudah
lama dikenal di dunia Internasional. Bahkan terdapat kesepakatan yang kuat
bahwa uji proporsionalitas memainkan peran yang tidak bisa digantikan
(indispensible) dalam penalaran hak konstitusional. Proporsionalitas juga telah
dimuat dalam General Comments dari komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta Siracusa dalam Konvensi Internasional mengenai hak-hak
sipil dan politik.
Jerman menjadi negara yang pertama kali menerapkannya. Rupprecht
Krauss merupakan orang yang dianggap pertama kali mengenalkan dan
menggunakan penerapan uji proporsionalitas dalam penyelesaian perkara di
Mahkamah Konstitusi Jerman. Menurutnya pendekatan proporsionalitas akan
membuat negara akan menaruh perhatian lebih terhadap penghormatan hak
warga negaranya.51
Aharon Barak mendefinisikan proporsionalitas dengan pengertian berikut:
50 Bisariyadi. 2018. Penerapan Uji Proporsionalitas Dalam Kasus Pembubaran Partai Politik:
Sebuah Perbandingan. Jurnal Hukum dan Perbandingan. Vol. 48 No. 1. Hal. 87.
51 Alec Stone Sweet dan Jud Mathews. 2008. Proportionality Balancing and Global
Constitutionalism. Columbia Journal of Transnational Law. Vol. 47. Hal. 105.
44
“Proportionality is an analitycal framework used by courts in many
countries in determining whether or not limitations on the exercise of rights
are justified, and therefore constitutional.”52
Dalam terjemahan bebasnya bermakna bahwa uji proporsionalitas ialah
kerangka analisis yang dipakai pengadilan dibanyak negara untuk menentukan
apakah batasan terhadap hak telah sesuai dengan koridor dalam konstitusi. Hal
ini bermakna bahwa dalam menentukan ukuran pembatasan hak diperlukan
prinsip kesesuaian, kecermatan, dan kehati-hatian untuk menimbang
proporsionalitas suatu norma dengan dampak faktual di masyarakat.
Pertimbangan proporsionalitas ini selanjutnya diukur melalui uji proporsionalitas
yang lazim digunakan dalam sistem peradilan konstitusi di berbagai negara.
Kai Moller, yang merupakan seorang dosen hukum di London School of
Economics and Political Science melakukan sistematisasi penggunaan asas
proporsionalitas untuk membumikan penerapan hak asasi manusia dalam
konstitusi masing-masing negara. Menurutnya, proporsionalitas adalah sebuah
doktrin yang bisa digunakan sebagai alat penyelesaian konflik persaingan hak
atau kepentingan antara satu pihak dengan pihak lain, yang pada intinya doktrin
tersebut berguna untuk menyeimbangkan antara hak atau kepentingan yang
saling bersaing.53
Dalam praktik peradilan konstitusi, terdapat perkembangan indikator-
indikator yang menjadi penilaian dalam uji proporsionalitas. Teori tradisional
52 Aharon Barak. 2012. Proportionality and Pretense. Constitutional Commentary. Vol. 29. No.
228. Hal 229.
53 Faiq Tobroni. 2018. Asas Proporsionalitas Sebagai Moderasi Pandangan Hukum Diametral.
Jurnal Yudisial. Vol. 11. No. 3.
45
menyebutkan ada 3 (tiga) indikator penting yang dijadikan pertimbangan dalam
melakukan uji proporsionalitas dalam pembatasan hak asasi manusia yakni:
adequacy (sufficiency), necessity, and proportionality in narrow sense (stricto
sensu). Dalam perkembangannya para pakar menambahkan indikator yang
keempat yakni the existence of legitimate aim for limitation. 54
Keempat indikator diatas saat ini disebut dengan istilah dan pemaknaan
sebagai berikut: (1) tujuan sah yang hendak dicapai terhadap pembatasan
(legitimate goal of law), (2) apakah pembatasan tersebut mempunyai kesesuaian
atau pertalian yang rasional (rational achievement or suitability), (3) apakah
pembatasan telah sesuai dengan kebutuhan dan memberikan kadar kerugian
konstitusional paling rendah (necessity), dan (4) apakah pembatasan telah
menghasilkan keseimbangan dalam arti sempit (balancing in narrow sense).55
Teori ini selanjutnya menjadi teori yang lazim diterapkan dipelbagai negara
sebagai indikator-indikator dalam melakukan uji proporsionalitas.
Proporsionalitas suatu peraturan dapat dicermati mulai dari hal-hal yang
melandasi dibentuknya peraturan tersebut, materi-materi pasal-pasal yang ada,
hingga yang dilakukan uji konstitusional sebagai satu kesatuan.56 Uji
proporsionalitas sejatinya tidak baku dan rigid, melainkan tergantung pada
kondisi tiap-tiap negara yang menggunakannya dengan tidak hanya melihat
54 Luka Andelkovic. 2017. The Elements Of Proportionality As A Principle Of Human Rights
Limitations. Law and Politics Journal. Vol. 15 No. 3. Hlm. 237.
55 Kai Moller. 2012. Proportionality: Challaenging The Critics. International Journal of
Constitutional Law. Vol 10. No. 3. Hal. 715.
56 Surya Oktaviandra. 2020. Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas, dan Konstitusionalitas
Ketentuan Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020. Majalah Hukum Nasional. Vol. 50. No. 2.
46
tujuan dan cara, tetapi juga memeriksa derajat kerugian konstitusional yang akan
diderita.57
Dalam rangka mengatasi dilematis benturan antar hak asasi masyarakat
dengan pembatasan hak oleh pemerintah, tak terkecuali juga terhadap benturan-
benturan hak keperdataan para pihak dalam hubungan kontraktual, penilaian
kadar proporsionalitas harus dinilai secara hati-hati dan cermat. Oleh karenanya,
hasil akhir suatu norma yang mencerminkan kedudukan hak-hak pihak yang
berkepentingan tersebut telah atau tidak proporsional dapat diwujudkan atau
dinilai melalui uji proporsionalitas.
2. Kedudukan Asas Proporsionalitas dalam Hubungan Kontraktual
Salah satu bagian yang harus menjadi pegangan agar hukum dapat berjalan
dengan baik adalah asas hukum. Karl Larenz dalam bukunya “Methodenlehre
der Rechtswissenschaft” menyebutkan bahwa asas hukum merupakan ukuran-
ukuran ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.58 Menurut
Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum.59
Sebagai bagian yang integral dengan hal tersebut, asas hukum mengandung
tuntutan etis maka asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara
peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.60
Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas hukum yang sangat
penting dalam praktik hubungan kontraktual. Menurut Agus Yudha Hernoko,
57 Bisariyadi. Loc., Cit.
58 Dewa Gede Atmaja. 2018. Asas-asas Hukum Dalam Sistem Hukum. Jurnal Kertha
Wicaksana. Vol. 12 No. 2. Hal. 146.
59 Satjipto Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 45.
60 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan. 2019. Pemahaman Terhadap Asas Kepastian
Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. Jurnal Crepido. Vol. 1 No. 1. Hal. 13.
47
asas proporsionalitas dimaknai sebagai asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam
seluruh proses kontraktual (fase prakontraktual, pembentukan kontrak, maupun
pelaksanaan kontrak).61
Terbentuknya pemahaman mengenai asas proporsionalitas sejatinya tidak
dapat luput dari esensi ajaran keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Gustav
Rudbruch dalam bukunya berjudul “einfuhrung in die rechtswissenschaften”, ia
membagi 3 (tiga) tujuan hukum yakni: keadilan (Gerechtigkeit); kemanfaatan
(zweckmassigkeit); dan kepastian hukum (rechtssicherheit). Bagi Rudbruch
keadilan merupakan hal yang paling fundamental dalam tujuan hukum.62
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Agus Yudha Hernoko menemukan
makna asas proporsional sebagaimana disebutkan diatas beranjak dari makna
filosofis keadilan.63 Pandangan Aristoteles, tentang keadilan menurut dalam
karyanya “Nichomachean ethics”, adalah berbuat kebajikan, atau dengan
kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles,
”justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in
proportion to their inequality (Bermakna bahwa: untuk hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama,
secara proporsional”.64
61 Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta. Kencana. Hal. 87.
62 Satjipto Rahardjo. Op. Cit., Hal. 19.
63 Agus Yudha Hernoko. Op. Cit., Hal. 84.
64 Raymond Wacks. 1995. Jurisprudence. London. Blackstone Press Limited. Hal. 178.
48
Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constans et
perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak
yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang
menjadi haknya) atau “tribuere cuique suum” - “to give everybody his own”,
memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya (Artinya: keadilan
dapat tercapai manakala sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding
dengan apa yang ia peroleh).65
Bagi Van Apeldoorn keadilan bukanlah penyamarataan. Keadilan bukanlah
berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.66 Thomas Hubbes
berpendapat bahwa keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu perjanjian
yang kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan aturan yang
berlaku tanpa berat sebelah. Sejalan dengan esensi tersebut, bagi Mahdi Achmad
Mahfud adil adalah tidak harus sama namun memberikan sesuatu sesuai pada
porsinya tidak berlebihan dan tidak pula kurang.67
Beauchamp dan Bowie, dengan kriteria pembagian proporsionalnya,
serta pemikiran John Rawls tentang ”justice as fairness” yang menekan
prinsip hak berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Lebih lanjut,
menurut P.S. Atiyah landasan pemikian tentang asas proporsionalitas dalam
kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di
dalam dunia bisnis, yang mana pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar
65 Ibid. Hal 18-19.
66 Dalam Margono. 2019. Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Dalam Putusan
Hakim. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 107-110.
67 Mahdi Achmad Mahfud dan Vinaricha Sucika Wiba. 2019. Kumpulan Teori-teori Hukum
Baru. Surabaya. Pustaka Media. Hal. 96-98.
49
harus sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion what they want), adalah
bentuk pertukaran yang adil (fair exchange).68
Menurut Lyons suatu iklim kontrak yang sesungguhnya, pada hakikatnya
memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar-menawar, atau bahkan
perbedaan-perbedaan yang relevan di antara para pihak. Hanya dalam proses
seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh-sungguh merefleksikan
kepentingan semua pihak.69 Disamping itu setiap kontrak harus didasarkan
pretium iustum yang bersandar pada reason dan equality yang mensyaratkan
adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi para pihak dalam
kontrak (just price). Hal mana sejalan dengan tujuan utama hukum untuk
merealisasikan keadilan. Artinya subtansi kontrak harus memenuhi aspek
atau nilai-nilai keadilan.70
Menurut Agus Yudha Hernoko, fungsi asas proporsionalitas setidaknya
ada 5 (lima). Kelima fungsi proporsionalitas itu baik terdapat dalam proses
pra kontrak, pembentukan, maupun pelaksanaan kontrak bisnis komersial.
Adapun kelima fungsi tersebut antara lain sebagai berikut:71
a. Dalam tahap pra kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang
negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban
secara fair. Oleh karena itu adalah tidak proporsional dan harus ditolak
proses negosiasi dengan itikad buruk;
68 P.S. Atiyah. 1995. An Introduction to the Law of Contract. Oxford. Clarendon Press. Hal. 5
69 Ibid.
70 Ridwan Khairandy. 2015. Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt Servanda versus Itikad Baik:
Sikap yang Harus Diambil Pengadilan. Yogyakarta. FH UII. Hal. 63.
71 Agus Yudha Hernoko. Op., Cit. Hal. 459.
50
b. Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin kesetaraan hak
serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban
para pihak berlangsung secara fair;
c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya
distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang
disepakati/dibebankan pada para pihak;
d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus
dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental
(fundamental breach) sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar
kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor
importanance). Oleh karena itu pengujian melalui asas proporsionalitas
sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan
sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan
klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan
salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;
e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas
menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus
dibagi menurut pertimbangan yang fair.
Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada
nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional,
tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan
(zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid; reasonableness), dan kepatutan
(billijkheid; equity). Untuk menemukan asas proporsionalitas dalam kontrak
51
dengan menggunakan kriteria atau ukuran nilai-nilai tersebut di atas,
hendaknya tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan berupa angka-angka
secara matematis.72
Menurut M. Yahya Harahap, asas proporsionalitas ini sangatlah penting,
termasuk dalam hal penyelesaian sengketa kontrak. Dalam hal ini hakim
harus mampu memeriksa dan mengadili suatu sengketa kontraktual dengan
dilandaskan pada fungsi asas proporsionalitas dalam memberikan beban
pembuktian secara adil kepada para pihak.73
Bertalian dengan itu, dalam konteks penyelesaian sengketa kontrak di
pengadilan, hakim dituntut untuk mampu menguasai dan memahami konsepsi
teoritis asas proporsionalitas sebagai asas fundamental dalam hubungan
kontraktual, serta mengaplikasikannya dalam suatu kasus konkret. Dengan
demikian pertimbangan dan putusan hakim akan sangat bergantung pada
penilaian hakim terhadap wujud pertukaran serta pemenuhan hak dan
kewajiban akan eksistensi kontrak para pihak.
C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia
1. Pranata Umum dan Karakteristik Jaminan Fidusia
Mengenai pengertian-pengertian pokok pranata hukum positif jaminan
fidusia telah dijelaskan secara rigit dalam ketentuan umum dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya
disebut dengan UU Jaminan Fidusia). UU Jaminan Fidusia memberikan definisi
72 Ibid. Hal 460.
73 M. Yahya Harahap. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 507.
52
yang berbeda antara fidusia dengan jaminan fidusia. Pasal 1 angka 1 dan 2 UU
Jaminan Fidusia memberikan definisi sebagai berikut:74
1) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2) Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Jaminan Fidusia merupakan bagian dari pranata hukum perjanjian.
Pengertian perjanjian berdasarkan ketentuan pada pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa:75
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sudikno Mertokusumo memberi batasan bahwa perjanjian itu suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.76 Menurut Subekti, perjanjian merupakan bentuk
konkrit dari perikatan sedangkan perikatan merupakan bentuk abstrak dari
74 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1
angka 1 dan 2.
75 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Buku Ketiga. BAB II. Pasal 1313.
76 Dalam H.P. Panggabean. 2012. Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam
Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung. Alumni. Hal. 58.
53
perjanjian, hal ini dapat diartikan adanya hubungan hukum antara dua pihak
yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu dan
sebaliknya suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.77
Sebagaimana penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwasannya
perjanjian merupakan pula suatu bentuk perikatan, khususnya yang lahir dari
adanya kesepatakan para pihak. Dalam kehidupan sehari-hari selanjutnya
perjanjian juga dikenal dengan istilah kontrak.
Salah satu sifat jaminan fidusia adalah bersifat accesoir. Sebagai bagian
jaminan kebendaan, pada dasarnya jaminan fidusia berbentuk perjanjian ikutan
terhadap perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok menurut Rutten adalah
perjanjian yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (welke elftandig
een raden van bestaan heeft).78 Sedangkan pengertian jaminan asesor, J. Satrio
menyebutkan bahwa perjanjian assesoir merupakan suatu perjanjian yang lahir
adanya perpindahan dan berakhir/hapusnya bergantung pada perjanjian
pokoknya.79
Dalam sistem hukum perdata, telah kita ketahui bahwa pada dasarnya
perjanjian jaminan merupakan perjanjian ikutan terhadap perjanjian pokoknya.
Dengan kata lain perjanjian jaminan lahir akibat adanya perjanjian pokok atau
yang dikenal dengan sebutan perjanjian accessoir. Dimana dalam hal ini
77 Hartana. 2016. Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara). Jurnal Komunikasi Hukum. Vol. 2 No. 2. Universitas Pendidikan
Ganesha Singaraja. Hal. 149.
78 Dalam D.Y. Witanto. 2015. Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen. Bandung. Mandar Maju. Hal. 106.
79 Ibid. Hal. 105.
54
biasanya perjanjian pokok tersebut berbentuk perjanjian utang piutang atau
kontrak kredit. Hal ini tak terkecuali terhadap jaminan fidusia.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, lebih tegas lagi pasal 4 UU Jaminan
Fidusia menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian
assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;
c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan
yang disyaratkan dalam perjanjan pokok telah atau tidak dipenuhi.80
Tindakan hukum dalam setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani
benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
Indonesia. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU
Jaminan Fidusia yang berbunyi:81
“Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris
dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia”
Menurut Fred B.G. Tumbuan, mengingat objek jaminan fidusia pada
umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, sudah sewajarnya bentuk
akta autentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum
80 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Praktik Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia.
Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal. 125.
81 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 5
ayat (1).
55
berkenaan dengan objek jaminan fidusia. Lebih lanjut, menurut Sri Soedewi
Masjcoen Sofwan sering juga perjanjian fidusia dituangkan dalam akta notaris,
mengenai kredit dalam jumlah besar, dimana bank merasa lebih aman demi
kekuatan pembuktian yang dituangkan dalam akta notaris.82 Selain daripada itu,
hal ini juga telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata bahwa pada prinsipnya akta autentik merupakan alat bukti yang
sempurna.
Mengenai ketentuan biaya pembebanan jaminan fidusia dahulu diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Namun demikian,
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia telah dinyatakan
tidak berlaku lagi melalui ketentuan pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akta Fidusia (selanjutnya disebut dengan PP Jaminan Fidusia).83 Hal
ini diberlakukan sebagai akibat hukum diterbitkannya Surat Edaran Ditjen
Administrasi Hukum Umum Nomor AHU-06.OT.03.01 tahun 2013 tentang
Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara
Elektronik (Online System) serta amanat Peraturan Kementerian Hukum dan
HAM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia
Secara Elektronik. Dengan demikian segala hal-hal yang bertalian dengan
82 Dalam Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.
190.
83 Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015, tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Fidusia. Pasal 22.
56
pendaftaran, perubahan, dan penghapusan jaminan fidusia tidak dilakukan lagi
di Kantor Pendaftaran Fidusia, melainkan dilakukan dalam jaringan (online)
melalui website www.fidusia.ahu.go.id.
UU Jaminan Fidusia juga mengisyaratkan terhadap objek atau benda yang
dibebani jaminan fidusia untuk dilakukan pendaftaran. Pendaftaran jaminan
fidusia diatur secara kompleks dalam pasal 11 sampai dengan pasal 18 UU
Jaminan Fidusia. Kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia diatur dalam pasal 11
ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang berbunyi:84
“Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.”
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pendaftaran jaminan fidusia saat
ini diajukan melalui sistem pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (vide
pasal 2 ayat 2 PP Jaminan Fidusia). Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia
diajukan Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 ayat (1) PP Jaminan
Fidusia yang menyatakan bahwa:
“Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan perbaikan
sertifikat Jaminan Fidusia, permohonan perubahan sertifikat Jaminan
Fidusia, dan pemberitahuan penghapusan sertifikat Jaminan Fidusia
diajukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri.”
Permohonan pendaftaran yang telah memenuhi syarat akan mendapatkan
bukti pendaftaran. Setelah mendapatkan bukti pendaftaran, pemohon harus
84 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 11
ayat (1).
57
melakukan pembayaran melalui bank persepsi dengan mengajukan bukti
pendaftaran tersebut (vide pasal 6 ayat 1 PP Jaminan Fidusia). Selanjutnya
Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat Jaminan Fidusia secara elektronik.
Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan
Fidusia dicatat.
Sebagai bukti adanya Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia akan
menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia (SJF) yang ditandatangani secara
elektronik oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sertifikat Jaminan
Fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan
Fidusia dicatat (vide pasal 8 PP Jaminan Fidusia). Adapun apabila terjadi
kesalahan subtansi, kerusakan, perbaikan, atau perubahan terhadap isi Sertifikat
Jaminan Fidusia, lebih lanjut diatur secara rinci pada pasal 9 sampai dengan pasal
15 PP Jaminan Fidusia.
Sertifikat Jaminan Fidusia akan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (vide
pasal 15 ayat 1 UU Jaminan Fidusia). Irah-irah tersebut akan berimplikasi hukum
dengan memiliki kekuatan eksekutorial yang kedudukannya sama dengan
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Eksekusi Jaminan Fidusia
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan eksekusi adalah upaya dari pihak
yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya
dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk
melaksanakan putusan. Sedangkan menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar
58
Oeripkartawinata menyatakan, bahwa eksekusi adalah tindakan paksaan oleh
pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan
dengan sukarela.85
Beberapa pengertian eksekusi menurut para ahli diatas hanya berbicara
mengenai eksekusi dalam pengertian eksekusi oleh putusan hakim. Pengertian
mengenai eksekusi yang lebih luas dapat dilihat melalui pendapat Bachtiar
Sibarani yang menyebutkan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa
putusan pngadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau
pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.86
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang
menyatakan bahwa eksekusi adalah upaya kreditur merealisasikan hak secara
paksa karena debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya.
Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa
hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi objek eksekusi tidak hanya putusan
hakim dan Grosse Akta melainkan juga putusan dari institusi yang berwenang
bahkan kreditur sendiri secara langsung (parate eksekusi).87
UU Jaminan Fidusia menjamin aspek kepastian hukum serta kemudahan
dalam hal pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Kemudahan eksekusi jaminan
85 Junaidi Abdullah. 2017. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian
Pembiayaan Di KSPS Logam Mulia Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan. Jurnal Yudisia. Vol.
8 No. 1. Hal. 126.
86 Bachtiar Sibarani. 2001. Parate Eksekusi dan Paksa Badan. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 15.
No. 8. Hal. 6.
87 Mochammad Dja’is. 2000. Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum.
Disampaikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke-43. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Hal. 7.
59
tersebut juga sama halnya seperti lembaga hak kebendaan lainnya seperti gadai,
hak tanggungan, maupun hipotek. Yang mana ketentuan mengenai eksekusi
jaminan dalam gadai dan hipotek diatur dalam pasal 1155 ayat (1) dan pasal 1178
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta hak tanggungan diatur
dalam pasal 6 dan pasal 14 ayat (2) juncto pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dalam UU Jaminan Fidusia, ketentuan mengenai eksekusi jaminan fidusia
diatur dalam pasal 29 ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Adapun ketentuan tersebut
diuraikan sebagai berikut:88
“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cedera janji, eksekusi terhadap
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (2) oleh Penerima Fidusia. Pelaksanaan titel eksekutorial sabagai
implikasi berkepala atautertuangnya irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan demikian Sertifikat Jaminan
Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang diserupakan dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Dalam praktik hukum bisnis jenis eksekusi ini dikenal dikenal dengan
sebutan eksekusi grosse akta sebagaimana diatur pada Pasal 224
HIR/Pasal 258 RBg. UU Jaminan Fidusia mengakui keberadaan
88 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 29
ayat (1).
60
eksekusi grosse akta yakni melalui kewajiban pembebanan jaminan
fidusia melalui akta otentik jaminan fidusia dihadapan notaris serta
kewajiban pendaftaran fidusia yang selanjutnya dibuktikan dengan
diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia.
b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan (jo pasal 15
ayat 3 UU Jaminan Fidusia); Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan,
parate executie merupakan eksekusi yang dilaksanakan tanpa
mempunyai title eksekutorial (Grosse Akta Notaris atau keputusan
hakim), melalui eksekusi langsung yaitu pemegang hak kebendaan
dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat
melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim
atau grosse akta notaris.89
c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.”
Terhadap ketentuan diatas, saat ini pengaturan mengenai eksekusi jaminan
fidusia khususnya yang tertuang pada pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan
Fidusia telah terjadi pergeseran pemaknaan norma berdasar putusan Mahkamah
89 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2000. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta. Liberty.
Hal. 32.
61
Konstitusi Republik Indonesia No. 18/PUU-XVII/2019 yang dikeluarkan pada
tanggal 6 Januari 2020.
Sebagaimana disebutkan diatas, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
sejatinya dapat terjadi apabila pihak debitur melakukan perbuatan cidera janji
(wanprestasi). Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai wanprestasi diatur
tersebar diantaranya pada pasal 1238, 1243, 1244, 1245, 1246, 1247, 1248,
1249, 1250, dan 1251 KUH Perdata. Pemahaman mengenai bentuk-bentuk
wanprestasi selanjutnya dapat ditelisik melalui ajaran konsepsi wanprestasi
menurut para pakar hukum.
Menurut Subekti, begitupula Ahmadi Miru, berpendapat bahwa
wanprestasi itu merupakan kelalaian atau kealpaan oleh debitur yang dapat
berupa 4 (empat) macam perbuatan yakni:90
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
c. Terlambat memenuhi prestasi.
d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Debitur akan dinyatakan wanprestasi manakala ia tidak segera memenuhi
prestasi dan telah ditegur atau diberi somasi secara tertulis (sommatie, in
gebreke stelling, or aamaning). Ketentuan perihal somasi dan pernyataan
lalai ini diatur pada pasal 1238 KUH Perdata. Dalam kondisi tertentu somasi
tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan
90 R. Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta. Pembimbing Masa. Hal. 50. Lihat juga Ahmadi
Wiru dan Sakka Pati. 2008. Hukum Perikatan. Jakarta. Rajawali Press. Hal. 12.
62
wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu yang disyaratkan dalam
perjanjian (verval termijn), debitur mengakui dirinya wanprestasi, debitur
telah segera melakukan prestasinya yang telah jatuh tempo namun tidak
sempurna, atau manakala debitur melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan isi perjanjian.
Pernyataan lalai atau wanprestasi yang tidak memerlukan adanya somasi
dengan mensyaratkan mengenai batas waktu (fatal terminj) pelaksanaan
kontra prestasi dalam perjanjian disebut dengan mora ex re. Meski demikian
yang dimaksud dalam ketentuan pasal 1238 KUH Perdata ini hanya berlaku
terhadap jenis perikatan yang dengan tidak atau telat dilaksanakan kewajiban
debitur, berakibat hukum membuat prestasi tidak sebernilai jika prestasi tidak
terlambat dilaksanakan.
Mengenai pernyataan lalai dan perihal kapan debitur dapat dikatakan
telah lalai selain diatur dalam KUH Perdata, perlu juga memperhatikan
yurisprudensi yang berkembang. Menurut kaidah yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 186 K/Sip/1959 menyatakan bahwa:91
“Apabila dalam perjanjian telah ditentukan dengan tegas kapan pihak
yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau
waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut
hukum belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian
selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh
pihak lawan (ingebreke gesteld).”
91 Republik Indonesia, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959.
63
Artinya terhadap jenis perjanjian tertentu sebagaimana dimaksud diatas,
meskipun telah mencantumkan perihal kapan debitur dinyatakan lalai dalam
perjanjian, kreditur tetap harus melakukan langkah hukum pemberian somasi
secara tertulis.
Dalam hal debitur wanprestasi, terdapat 5 (lima) kemungkinan yang
dapat dilakukan kreditur (vide pasal 1276 KUH Perdata) antara lain:
a. Menuntut pemenuhan perjanjian;
b. Menuntut pembatalan perjanjian;
c. Menuntut ganti rugi (berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi
tersebut terdiri dari biaya, rugi, dan bunga);
d. Menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; atau
e. Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
Dalam hal terjadinya wanprestasi, Pasal 30 UU Jaminan Fidusia
mewajibkan pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam rangka untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.
Bahkan jika diperlukan penerima fidusia dapat menggunakan haknya untuk
meminta pihak yang berwenang sebagaimana telah diatur dalam Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Terhadap benda perdagangan atau efek yang menjadi objek jaminan fidusia
yang dapat dijual di pasar atau di bursa, pasal 31 UU Jaminan Fidusia mengatur
bahwa penjualannya dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan
64
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, pasal 32 Undang-
Undang Jaminan Fidusia memberikan ketentuan sebagai berikut:92
“Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum”
Ketentuan diatas mengartikan bahwa dalam pasal 29 dan pasal 31 UU Jaminan
Fidusia pada prinsipnya mengikat secara hukum. Sebagai konsekuensi
yuridisnya bahwa setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang lain atau bertentangan dengan
kedua pasal diatas maka hukum tidak mengakui keberadaannya sedari awal.
D. Tinjauan Umum Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Konsepsi Konstitusi
Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan. Kata konstitusi sendiri
berasal dari bahasa Perancis yaitu constituer yang bermakna membentuk.
Pemaknaan istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu
Negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.93 Dalam bahasa Latin,
kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere.
Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan...”, sedangkan
statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja yang berarti berdiri.
Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri
atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constutio)
92 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 32.
93 Wiryono Projodikoro. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta. Dian
Rakyat. Hal. 10.
65
berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.94
Istilah ini berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau
prinsip. Saat ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi adalah
bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda.
Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution dalam bahasa
Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie dan grondwet,
sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan gerundgesetz.
Malah dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini dibedakan pula
antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan
grondwet dalam bahasa Belanda. Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht
(Belanda) secara harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai
hak asasi manusia.95
Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit Constitutionel untuk
pengertian luas, sedangkan pengertian sempit, yaitu konstitusi yang tertulis
digunakan istilah Loi Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan
pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik dengan Undang-
Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam arti konstitusi tertulis.96
Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian konstitusi
adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab dipakai pula beberapa
94 Koemiatmanto Soetoprawiro. 1987. Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya. Jakarta.
Pro Justitia. Hal. 28-29.
95 Isharyanto. 2016. Konstitusi dan Perubahan Konstitusi: Kajian Efek Perubahan Undang-
Undang Dasar Dalam Penyelenggaraan Negara. Surakarta. Pustaka Hanif. Hal. 1.
96 Ibid.
66
istilah yang terkait dengan pengertian konstitusi itu, yaitu Masturiyah,
Dustuur, atau Qanun Asasi. Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan
istilah staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa Gijbert
Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet digunakan untuk
menggantikan istilah staatsregeling yang juga memiliki pengertian Undang-
Undang Dasar atau konstitusi.97
Dalam tataran kajian teoritis, konstitusi dibedakan menjadi dua yakni
konstitusi yang dituangkan dalam dokumen tertulis (written constitutions)
dan konstitusi yang tidak tertulis (unwritten constitutions). Menurut Jimly
Asshiddiqie, di berbagai negara di Eropa Kontinental, yang menganut tradisi
civil law, istilah konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis itulah
yang biasa disebut dengan istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz
(Jerman), Loi Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie,
verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel, Dirrito
Constitutionale, merupakan istilah-istilah yang dipakai dalam arti luas.98
Dalam perkembangan teori hukum konstitusi, konstitusi dapat diartikan
dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian konstitusi dalam arti sempit
hanya menyangkut dokumen hukum saja, yang didalam mengatur pembagian
kekuasaan negara, fungsi, tugas antara lembaga, dan hubungan antara
kekuasaan pemerintah dengan hak-hak rakyat. Terdapat beberapa ahli yang
97 Ibid. Hal. 2.
98 Ibid.
67
memberikan pengertian konstitusi dalam arti sempit seperti Lord James
Brace, K.C where, dan John Alder. Sedangkan pengertian konstitusi dalam
arti luas tidak hanya menyangkut dokumen hukum saja melainkan aspek
diluar hukum (tertulis). Beberapa ahli yang memberikan pengertian konstitusi
dalam arti luas ini antara lain Leon Duguit, Ferdinand Lassalle, Strong,
Bolingbroke, Hermann Heller. Artinya konstitusi mencakup pula konstitusi
dalam arti sosial-politik, kebiasaan, atau konstitusi yang lahir dan hidup di
masyarakat.99
Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep konstitusi itu mencakup pengertian
peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan
(ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
negara tersebut dengan warga negara.100 Pengertian konstitusi, dalam praktik
dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada
juga yang menyamakan pengertian Undang-undang Dasar. Bagi para sarjana
ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu
keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.101
Sebagai hukum dasar tertinggi, konstitusi disusun secara sistematis dan
berfungsi sebagai pijakan dasar dalam penyelenggaraan suatu negara baik
99 Muhammad Ilham Hermawan. Op., Cit. Hal. 23-25.
100 Erry Gunawan. 2019. Perkembangan Teori Konstitusi Untuk Mendukung Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ensiklopedia of journal. Vol. 1 No. 2. Hal. 164-165.
101 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi.
Jakarta. Rajawali Pers. Hal.7.
68
mengatur struktur, komposisi, fungsi, kewenangan lembaga-lembaga negara,
serta alat kelengkapan negara; perlindungan hak-hak dasar warga negara;
serta hubungan antara Negara dan warga negaranya. Serangkaian kesatuan
tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan suatu negara. Dimana didalamnya
berisikan norma-norma fundamental baik secara tertulis maupun tidak tertulis
berupa norma kebiasaan yang hidup dimasyarakat. Dengan demikian,
konstitusi merupakan bentuk legitimasi dan otoritas tertinggi bagi peraturan
perundang-undangan dibawahnya.
2. Uji Konstitusionalitas (Judicial Review)
Perkembangan teori konstitusi dan pengujian konstitusionalitas diawali
dengan berkembangnya teori negara hukum, pergeseran kedaulatan parlemen
menjadi supremasi konstitusi, pemisahan kekuasaan, dan konsep negara
demokrasi. Konsep negara hukum (rechtstaats dan rule of law) yang
memberikan dasar pemaknaan bahwa kekuasaan harus dijalankan
berdasarkan hukum. Arus demokratisasi yang telah membawa konsekuensi
memudarnya konsep kedaulatan parlemen “parliamentary sovereignty” dan
semakin menguatnya konsep supremasi konstitusi di dunia. Konstitusi yang
hadir sebagai bentuk pembatasan kekuasaan guna melindungi hak-hak warga
negara. Serta, konsep negara demokrasi yang memberikan legitimasi
kekuasaan kepada penguasa berdasar kedaulatan rakyat. Kesemua ini
membawa dampak semakin berkembangnya gagasan konsep uji
konstitusionalitas atau judicial review.
69
Konsep judicial review berangkat dari sejarah yang ditelisik para
sejarawan dan ahli ketatanegaraan. Pelacakan sejarah yang dilakukan oleh
Mauro Cappelleti menunjukkan bahwa konsep judicial review telah dimulai
sejak sistem hukum Yunani kuno yang menetapkan keniscayaan suatu
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan nilai peraturan
yang berada diatasnya.102 Kerajaan Athena membedakan secara prinsip antara
nomoi (konstitusi) dan psephisma (undang-undang) yang menyatakan bahwa
apapun isi dan bentuk psephisma tidak boleh bertentangan dengan nomoi
yang memiliki implikasi terhadap pemberlakuannya.103
Setelah Perang Dunia Ke-I mulai berkembang teori Stufenbau atau
hierarki yang menjabarkan bahwa norma hukum tersusun secara hierarki dan
norma hukum yang lebih rendah bergantung kepada norma hukum yang lebih
tinggi (Konsep ini juga membedakan antara penciptaan hukum dan penerapan
hukum) oleh Hans Kelsen.104 Serta teori yang menyatakan bahwa
Staatsfundamentalnorm (norma dasar negara) sebagai norma yang tertinggi
yang harus menjadi acuan bagi norma-norma hukum yang ada dibawahnya
oleh Hans Nawiasky.105 Konsepsi judicial review mulai tersebar diseluruh
dunia bermula dari kasus Judicial Review pertama di Amerika Serikat dalam
102 Saldi Isra. Negative Legislator, diakses dari http://www.saldiisra.web.id, diakses tanggal 20
Januari 2021, pukul 13.12 WIB.
103 Machmud Aziz. 2010. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam sistem Peraturan
Perundang-undangan Indonesia. Jurnal Konstitusi. Vol. 7 No. 5. Hal. 121.
104 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 63.
105 Maruarar Siahaan. 2010. Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara
Kita: Masalah dan Tantangan. Jurnal Konstitusi. Vol. 7 No. 4. Hal. 14.
70
kasus Marbury vs Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat
dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803.106
Secara sederhana, judicial review dimaknai sebagai “the power of courts
to decide upon the constitutionality of legislative act” (terjemahan secara
bebas: judicial review diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk
menentukan konstitusionalitas undang-undang legislatif). Dalam Black’s
Law Dictionary, judicial review diartikan sebagai:
a. A court’s power to review the actions of other branches or levels of
government; esp., the court’s power to invalidated legislative and
executive actions as being unconstitutional (Kewenangan pengadilan
untuk menguji tindakan pemerintah dan cabang pemerintah lain,
khususnya kewenangan pengadilan untuk membatalkan tindakan eksekutif
dan legislative yang tidak sesuai dengan konstitusi.);
b. The constitutional doctrine providing for this power (Kewenangan untuk
melengkapi doktrin konstitusional.);
c. A court’s review of lower court’s or an administrative body’s factual or
legal finding107 (Pengujian oleh pengadilan terhadap putusan pengadilan
yang lebih rendah atau lembaga-lembaga administratif berdasarkan fakta
atau penemuan hukum).
Mengutip pendapat Joseph Tanenhus, Judicial Review diartikan sebagai
“the process with his a body judicial specify unconstitutional from action-
106 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 53.
107 Ali Marwan Hsb. 2017. Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara.
Malang. Setara Press. Hal. 23-25.
71
what is done by legislative bidy abd by excecutive head”. Rumusan ini
menggambarkan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk
menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau
badan eksekutif. Jika dilakukan breakdown terhadap definisi tersebut
rumusan ini menandung 3 unsur pokok tentang judicial review. Pertama,
badan yang melaksanakan judicial review adalah badan/lembaga kekuasaan
kehakiman (dapat berupa Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi).
Kedua, adanya unsur pertentangan antara norma hukum yang derajatnya di
bawah dengan norma hukum yang dirajatnya diatas, dan ketiga, objek yang
diuji adalah lingkup tindakan atau produk hukum badan legislatif dan
ketetapan kepala eksekutif.108
Dalam kerangka pikir untuk menegakkan ideologi negara hukum atau
konstitusionalisme, judicial review memiliki sekurangnya sepuluh fungsi
pokok yang merupakan dasar atau landasan teoritis untuk membenarkan
judicial review di negara-negara modern. Kesepuluh fungsi pokok judicial
review adalah sebagai berikut: (1) untuk melindungi konstitusi sebagai
hukum tertinggi; (2) untuk menjamin pelaksanaan tujuan penyusunan
konstitusi; (3) untuk memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai
fundamental kenegaraan yang tercantum dalam konstitusi; (4) untuk
mengontrol kekuasaan legislatif; (5) untuk menjamin penyelenggara negara
dan rakyat mematuhi konstitusi; (6) untuk menjamin tegaknya prinspip
108 Zainal Arifin Hoesein. 2009. Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-undangan. Jakarta. Rajawali Press. Hal. 41-42.
72
control dan perimbangan; (7) untuk mencegah tirani mayoritas atau
mengontrol prinsip hukum mayoritas; (8) untuk menegakkan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional; (9) untuk mewujudkan ideologi
negara hukum; dan (10) untuk menjaga konsistensi sistem hierarki norma
hukum.109
3. Judicial Review Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang
pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review.110 Dari
sisi hukum, keberadaan MK adalah salah satu konsekuensi perubahan dari
supremasi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadi supremasi
konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara
hukum.111 Dengan demikian, prinsip supremasi konstitusi telah diterima
sebagai bagian dari prinsip negara hukum.112
Konstitusi menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus
sebagai batas penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi
manusia dan hak konstitusional warga negara yang perlindungan,
109 Benny K. Harman. 2013. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran
Pengujian UU terhadap UUD. Jakarta. Kepustakaan Popular Gramedia. Hal. 95-96.
110 Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara.
Jakarta. Konpress. Hal. 6.
111 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hal. 7.
112 Menurut A.V. Dicey, Salah satu prinsip negara hukum adalah supremasi hukum (supremacy
of law). Salah satu konsekuensi dari kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka berlaku
pula prinsip supremasi konstitusi. Lihat A.V. Dicey. 1959. Introduction to the Study of the Law of
the Constitution, Tenth Edition. London. Macmillan Education LTD.
73
pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung jawab negara. Agar konstitusi
tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka harus dijamin
bahwa ketentuan hukum didalam Undang-Undang tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta
membatalkan jika memang ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan
konstitusi.
Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan hukum undang-undang
itulah yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran
yang paling mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak
konstitusional yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).
Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui Perubahan Ketiga
UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD
1945.113
Salah satu kewenangan yang melekat pada Mahkamah Konstitusi adalah
pengujian konstitusional atau judicial review Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini
sebagaimana amanah konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa:114
113 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Op., cit. Hal. 8.
114 Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 24C
ayat (1) dan (2).
74
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar,…”
Selain daripada itu, terdapat perkembangan terbaru bahwa dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, MK juga berwenang
untuk melakukan pengujian atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (selanjutnya disebut PERPPU). Hal ini dikarenakan dalam PERPPU
melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat
menimbulkan (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, (c) dan akibat
hukum baru.115
4. Putusan Mahkamah Konstitusi
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan
MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat
meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam
perkara pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut UU), putusan yang
mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi
hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan
keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan
keadaan hukum baru.
Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses
pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
115 Ali Marwan Hsb. Op., cit. Hal. 99.
75
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.116 Putusan harus
diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk
mufakat.117 Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai
RPH berikutnya.118 Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.119 Di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK) ditentukan bahwa dalam sidang
permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain.120
Putusan MK dibuat berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesuai dengan
alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim.121 Putusan
harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti.122 Jika tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah antara hakim konstitusi dalam menjatuhkan
putusan, maka putusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Putusan
dibacakan oleh Hakim MK dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.123
116 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (5).
117 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (4) dan (7).
118 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (6).
119 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (7).
120 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5 ayat (5).
121 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (1).
122 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 ayat (2).
123 Munafrizal Manan. 2012. Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi. Bandung. Mandar
Maju. Hal. 51-52.
76
Dalam putusannya, MK harus memuat beberapa hal yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Setiap putusan MK harus memuat:124
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan
termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik
prinsipal maupun kuasa hukum;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Pasal 56 UU MK mengatur tiga jenis amar putusan, yaitu permohonan
tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.125
Mengenai tata cara beracara pengujian UU terhadap UUD NRI Tahun 1945
secara lengkap selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
Selain kemungkinan diputus dengan amar putusan permohonan tidak
dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak, terdapat
pula kemungkinan lainnya, yaitu perkara tersebut ditarik kembali dan
124 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 48.
125 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 56.
77
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang. Dalam
hal perkara tersebut ditarik kembali, maka sebagaimana diatur dalam Pasal
17 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian UU, maka Ketua Mahkamah Konstitusi menerbitkan Ketetapan
Penarikan Kembali yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.126
Dalam dinamika perkembangannya, amar putusan dalam praktik judicial
review di MK, terdapat beberapa model putusan diantaranya yakni: (i)
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), (ii) inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional), (iii) penundaan keberlakuan
putusan, dan (iv) perumusan norma dalam putusan.127 Putusan MK
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.128 Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat
putusan MK yang ditentukan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
jo. Pasal 10 ayat (1) UU MK yakni bersifat final dan mengikat (final and
binding). Dengan demikian peradilan MK merupakan peradilan pertama dan
terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum.
126 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Op., cit. Hal. 137.
127 Ibid. Hal 142-147.
128 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 47.