bab ii tinjauan pustaka a. kecemasan berbicara di depan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1020/3/bab...
TRANSCRIPT
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum
1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Kecemasan berbicara di depan umum merupakan keadaan tidak nyaman
yang sifatnya tidak menetap pada individu. Keadaan tidak nyaman tersebut
dialami ketika membayangkan akan tampil berbicara di depan umum, saat
menjelang berbicara di depan umum dan pada saat sedang melaksanakan
berbicara di depan orang banyak. Dalam kamus lengkap psikologi, Chaplin
(2002) menjelaskan pengertian kecemasan sebagai perasaan campuran berisikan
ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus
untuk ketakutan tersebut. Pendapat lain menurut Menurut Daradjat (dalam
Muslimin, 2013), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang
bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan
(frustasi) dan pertentangan batin (konflik).
Nevid (1997) menganggap kecemasan sebagai keadaan takut atau perasaan
tidak enak yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kesehatan individu,
hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah, masalah pekerjaan,
hubungan internal dan lingkungan sekitar. Selain itu juga, Hudaniah (2003)
menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif,
keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan
dan kegugupan. Beberapa individu mengalami perasaan yang tidak nyaman
24
dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang
ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari
interaksi sosial. Keadaan individu seperti ini dianggap mengalami kecemasan
sosial. Abdurachman (dalam Muslimin, 2013) mengartikan berbicara adalah cara
seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang
diinginkan. Kemudian Muslimin (2013) memberikan pernyataan bahwa berbicara
di depan umum sendiri memiliki pengertian sebuah metode komunikasi yang
dilakukan oleh seseorang baik secara perseorangan maupun dengan kelompok
orang.
Menurut Rogers (2008) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum
dengan pembicaraan biasa. Pada konsteks pembicaraan biasa individu merasa
aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima
(komunikasi dua arah atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum,
individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut
menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses
komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog).
Apollo (dalam Wahyuni, 2015) menyebut kecemasan berbicara di depan
umum dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan individu untuk
mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara
sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis.
Masing-masing gejala yang ditunjukkan ketika mengalami kecemasan berbicara
25
di depan umum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi masing-masing gejala saling
berhubungan. Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum
akan mengalami gejala pada psikologisnya, akan mempengaruhi fisiologis dan
kognitifnya semua gejala tersebut saling timbal balik satu dengan yang lainnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan
berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak
menetap pada diri individu yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan
perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) yang ditandai dengan reaksi
fisik dan psikologis saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di
depan umum di sini seperti melakukan presentasi di depan kelas, menjadi
presenter, atau menjadi pembicara dalam suatu kegiatan perkuliahan.
2. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Rogers (2004) memaparkan beberapa dari aspek-aspek kecemasan berbicara
di depan umum, antara lain:
a. Aspek Fisik
Komponen fisik biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan.
Gejala fisik tersebut dapat berbeda pada tiap orang. Gejala-gejala fisik
tersebut diantaranya jantung berdebar-debar, suara yang bergetar, kaki
gemetar, kejang perut, dan sulit untuk bernafas.
b. Aspek Mental
Aspek mental memiliki gejala seperti sering mengulang kata atau kalimat,
hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara
26
tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga
tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak
tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.
c. Aspek Emosional
Gejala-gejala yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa
tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa
kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya
seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan
rasa malu setelah berakhir pembicaraan.
Ada pendapat lain dari Burgoon (1994) yang memaparkan aspek-aspek
kecemasan berbicara di depan umum sebagai berikut:
a. Unwillingness
Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di
depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan
kegiatan tersebut.
b. Unrewarding
Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuman
atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut
menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di
muka umum lagi.
c. Uncontrol
Uncontrol adalah ketidakmampuan individu melakukan kontrol terhadap
situasi, peralatan, dan tempat komunikasi sehingga menyebabkan kecemasan.
27
Menurut Rogers (2004) ada tiga aspek-aspek kecemasan antara lain aspek
fisik, aspek mental dan aspek emosional. Burgoon (2994) mengungkapkan bahwa
aspek-aspek kecemasan dibagi juga menjadi tiga antara lain Unwillingness,
unrewarding dan uncontrol. Dari dua pendapat ahli tersebut yang diacu untuk
menjelaskan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dalam penelitian
ini adalah pendapat dari Rogers (2004). Teori tersebut dipilih karena aspek-aspek
kecemasan berbicara di depan umum dijabarkan secara jelas dan lebih terperinci.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan
Umum
Kecemasan berbicara di depan umum disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain faktor yang berasal dari luar diri individu (eksternal) dan faktor yang terdapat
dalam diri individu (internal), yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Faktor Eksternal
a. Lingkungan yang baru
Pada saat individu masuk dalam lingkungan yang baru, tidak
jarang mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Misalkan saja seorang
mahasiswa yang baru saja diterima di perguruan tinggi, secara tidak
langsung akan muncul perasaan cemas dan sulit untuk berbicara dengan
orang lain, baik yang bersifat formal maupun informal dengan satu orang
ataupun kelompok (Muslimin, 2013). Suasana yang baru, tim pengajar
yang berbeda, jumlah kelas dan teman yang lebih banyak serta beragam,
dapat menyebabkan munculnya perasaan cemas tersebut dapat
28
mempengaruhi partisipasi mahasiswa dalam hal berbicara khususnya
berbiacara di depan umum.
Penelitian dari Vevea (2010) juga menunjukkan bahwa adanya
masa transisi dari lingkungan sekolah ke lingkungan perkuliahan membuat
mahasiswa merasa gugup. Suasana yang baru membuat mahasiswa harus
belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut.
b. Budaya
Penelitian McCroskey dan Richmond (dalam Powel, 2010)
menunjukkan bahwa pelajar di pedesaan memiliki kecenderungan
kecemasan berbicara di depan kelas lebih tinggi dibandingkan pelajar di
perkotaan. Samovar (2007) mengungkapkan bahwa budaya memiliki efek
terhadap kecemasan berbicara pada individu sebab budaya dalam
masyarakat sangat menentukan proses berpikir, persepsi serta tindakan
individu terhadap suatu situasi.
Pendapat kedua ahli tersebut dapat dimaknai bahwa kecemasan
berbicara pada invidu yang tinggal di pedesaan dapat disebabkan oleh
lingkungan pedesaan yang relatif lebih kecil dan homogen serta kuatnya
budaya untuk selalu patuh terhadap peraturan dan guru serta adanya
budaya malu pada diri individu. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya
frekuensi siswa di pedesaan untuk berbicara, sehingga menyebabkan
keterampilan berbicara dan keberanian pelajar untuk berbicara di depan
umum di daerah pedesaan kurang terasah berbeda dengan daerah
29
perkotaan yang lebih terampil McCroskey dan Richmond (dalam Powel,
2010).
c. Komunikasi dalam keluarga
Hasibuan (2011) menyatakan bahwa perkembangan kecemasan berbicara
pada individu mulai terjadi sejak usia kanak-kanak dan berkembang
hingga usia dewasa. Keluarga adalah lingkungan pertama dalam
kehidupan individu, tempat individu belajar menyatakan diri sebagai
makhluk sosial. Rothlisberg (dalam Rice, 2002) mengungkapkan bahwa
interaksi yang berkualitas antara anggota keluarga berpengaruh terhadap
kesuksesan individu dalam tumbuh kembangnya. Individu yang terbiasa
direspon dengan baik dalam keluarga akan menunjukkan perilaku yang
lebih positif seperti pencapaian prestasi yang tinggi, konsep diri yang
positif, moral yang baik, serta mampu berkomunikasi secara efektif.
2) Faktor Internal
a. Pola pikir
Pola pikir sangat berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik
dan akan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang.
Perubahan dalam perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana
individu tersebut berpikir dan juga terhadap bagaimana individu tersebut
merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola pikir seseorang
sangat membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan
suasana hati (mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan,
kecemburuan, rasa bersalah dan rasa malu (Mapes, 2006).
30
Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi
dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang
mempunyai pola pikir yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi
masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila
seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut
cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang
pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.
Albrecth (2009) menyatakan bahwa individu yang berpikir positif
akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke hal-hal yang positif, akan
berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada
kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada
ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan
bersikap positif dalam menghadapi permasalahan.
Pola pikir seseorang dapat membantu dalam menyelesaikan
masalahnya, dapat pula merugikannya. Seseorang yang sering mengalami
musibah kebanyakan berpola pikir takut musibah, selalu cemas atau selalu
memikirkan kecelakaan. Sebaliknya, orang yang selalu bergembira
memiliki pola pikir positif, mampu melihat kebaikan dalam setiap
peristiwa, tidak ada kecenderungan menyakiti diri sendiri dan orang lain
(Elfiky, 2009).
31
Begitu juga dengan kecemasan berbicara di depan umum, saat
seseorang berpikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di
depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka
akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat
disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan
memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam
interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki kecenderungan individu
untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir
optimis terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat
membantu individu dalam mengatasi masalahnya (William, 2004).
b. Keterampilan komunikasi
Manusia dalam kehidupan sosial tidak dapat terlepas dari proses interaksi
dengan orang lain. Sifat sosial manusia adalah membutuhkan orang lain
dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Hubungan
timbal balik membutuhkan komunikasi verbal dan non verbal.
Keterampilan komunikasi yang baik cenderung mengurangi kecemasan
berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum yang
dimaksud peneliti adalah kecemasan yang terjadi pada individu ketika
tampil berbicara di depan publik, menjadi presenter, menjadi MC, menjadi
announcer (penyiar radio), sebagai negosiator dalam melaksanakan nego–
siasi dengan orang lain, pada saat melaksanakan praktik profesi di
semester enam, kuliah kerja nyata ataupun terjun ke masyarakat secara
langsung (Wahyuni, 2015).
32
c. Pengalaman individu
Burgoon (1994) menyebutkan bahwa satu faktor yang menyebabkan
kecemasan berbicara di depan umum yaitu kurangnya pengalaman atau
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu.
Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan
perasaan yang negatif terhadap dirinya dan kemudian menghindar untuk
berbicara di depan umum. Individu meyakini bahwa kejadian yang buruk
akan terjadi.
d. Kepercayaan diri
Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah keyakinan
seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku
tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain,
kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita
sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari.
Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas
mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan
dari proses pendidikan atau pemberdayaan.
Menurut Rakhmat (2009), apabila orang merasa rendah diri, ia
akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan gagasannya pada
orang lain, dan menghindar untuk berbicara di depan umum, karena takut
orang lain menyalahkannya. kecemasan dalam interaksi sosial lebih sering
dikarenakan adanya pikiran-pikiran negatif dalam diri individu. Individu
merasa orang lain tidak dapat menerima dirinya karena perbedaan-
33
perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan status sosial, status
ekonomi dan tingkat pendidikan. Kepercayaan diri mahasiswa
diasumsikan dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam
berbicara di depan umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri
yang memadai akan dapat meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri
mereka saat mengadakan sebuah presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat
menyikapi sebuah proses presentasi dengan respon yang positif.
e. Efikasi diri
Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di
depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang
menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (2006) keyakinan terhadap
diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan
ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta
keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan
yang dirasakan akan menuntut seseorang untuk berperilaku secara mantap
dan efektif.
Bandura (1997) menyatakan bahwa sebagai keyakinan individu bahwa
dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif adalah
efikasi diri. Sejalan dengan hal tersebut, Sarafino (1994) mengungkapkan
bahwa kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat
berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan
yang dimilikinya yang disebut dengan efikasi diri.
34
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan
berbicara di depan umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan
faktor internal yang dapat dijabarkan masing-masing. Faktor eksternal meliputi
lingkungan yang baru, budaya dan komunikasi dalam keluarga. Sedangkan faktor
internal meliputi pola pikir, keterampilan komunikasi, pengalaman individu,
kepercayaan diri dan efikasi diri.
Mapes (2006) menyatakan bahwa pola pikir berpengaruh terhadap suasana
hati, reaksi fisik dan akan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial
seseorang. Perubahan dalam perilaku individu tersebut akan mempengaruhi cara
individu berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun emosional. Pola pikir
terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Individu yang
mempunyai pola pikir yang positif akan dapat mengatasi masalah yang
berhubungan dengan suasana hati, misalnya mampu mengatasi perasaan
cemas/panik, mengatasi rasa bersalah dan malu yang pada akhirnya dapat
membantu individu tersebut dalam interaksi sosialnya (Peale (2001). Sehingga
individu yang mampu berpikir positif akan mampu untuk mengurangi kecemasan
saat berbicara di depan umum. Penelitian dari Rahayu (2006) menemukan adanya
hubungan negatif antara pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di depan
umum. Semakin tinggi tingkat berpikir positif, maka semakin rendah tingkat
kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah tingkat berpikir
positif, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.
35
Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan
umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara
individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997)
menyatakan bahwa keyakinan akan kemampuan dalam diri individu bahwa
dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif disebut efikasi
diri. Dengan keyakinan akan kemampuan tersebut, individu akan berusaha
semaksimal mungkin dalam mencapai hasil yang baik. Saat individu mendapatkan
tugas (khususnya berbicara di depan umum), maka ia akan berusaha untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga rasa cemas yang muncul saat harus
berbicara di depan umum akan dapat dikendalikan oleh individu. Penelitian dari
Djayanti (2015) menemukan adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan
kecemasan berbicara di depan umum. Semakin tinggi tingkat efikasi diri, maka
semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat efikasi diri, maka semakin tinggi tingkat kecemasan
berbicara di depan umum.
Dua faktor berpikir positif dan dan efikasi diri kemudian dipilih
berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya. Selain itu juga peneliti
ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana faktor dari dalam diri (internal)
yang meliputi berpikir positif dan efikasi diri mempengaruhi kecemasan berbicara
di depan umum pada mahasiswa.
36
B. Berpikir Positif
1. Pengertian Berpikir Positif
Ada beberapa konsep dari berpikir diantaranya yaitu thinking, thought, and
mind (Chaplin, 2008). Konsep berpikir yang digunakan dalam penelitian ini
adalah thinking. Thinking atau Berpikir didefiniskan sebagai proses menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan
interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Walgito
(2003) menjelaskan bahwa berpikir merupakan kemampuan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap
masalah yang timbul dari dunia luar sehingga dapat dikatakan bahwa individu
berpikir apabila menghadapi permasalahan atau persoalan. Bono (1990)
menyatakan bahwa berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara
sadar dalam mencapai suatu tujuan.
Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi dua yaitu
berpikir positif dan berpikir negatif. Seseorang yang mempunyai pola pikir positif
maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan
suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif,
maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul
perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.
Albrecth (2009) mengemukakan bahwa berpikir positif adalah mengatur
antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa
yang positif dan menunjukkan pikiran-pikirannya. Individu yang berpikir positif
akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke hal-hal yang positif, akan berbicara
37
tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian,
kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan
daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi
permasalahan.
Peale (2001) menyebutkan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari
pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.
Dengan berpikir positif akan melihatkan sesuatu pengetahuan bahwa akan ada
yang baik dan yang buruk dalam kehidupan, tetapi hal ini lebih ditekankan pada
yang baik. Berpikir positif membawa banyak keuntungan bagi kesehatan tubuh.
Selain itu juga berpikir positif saat mengalami keadaan yang buruk akan
memberikan kekuatan pada diri untuk terus berpikir mencari jalan keluar.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
berpikir positif memiliki pengertian bentuk dari pemikiran mengatur antara
perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang
positif dengan menunjukkan pikiran-pikirannya serta selalu melihat hasil yang
baik dari suatu situasi yang buruk.
2. Aspek-aspek Berpikir Positif
Menurut Albrecth (2009) aspek-aspek dari berpikir positif adalah sebagai
berikut:
a. Pernyataan yang tidak memihak (non judgment talking)
Pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai keadaan.
Pernyataan ataupun penilaian ini dimaksudkan sebagai pengganti pada saat
38
seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaian yang negatif.
Aspek ini sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung
negatif.
b. Harapan yang positif (positive expectation)
Melakukan sesuatu dengan memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimis,
pemecahan masalah yang menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan
dengan menggunakan kata-kata yang mengandung harapan.
c. Penyesuaian diri yang realistis (realistic adaptation)
Mengakui kenyataan dan segera berusaha menyesuaikan diri dan menjauhkan
diri dari penyesalan, frustasi, kasihan diri dan menyalahkan diri sendiri.
d. Afirmasi diri (self affirmative)
Memusatkan perhatian pada kekuatan diri dan melihat secara lebih positif
dengan dasar pikiran bahwa setiap individu sama berartinya dengan individu
lain.
Selain itu ada pendapat lain dari Ubaedy (dalam Elfiky, 2009) yang
menyatakan bahwa dimensi-dimensi dari berpikir positif dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Muatan pikiran
Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang
positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan muatan
positif untuk pikiran adalah berbagai bentuk pemikiran yang memiliki
kriteria: benar (tidak melanggar nilai-nilai kebenaran), baik (bagi diri sendiri,
39
orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang
berguna).
b. Penggunaan pikiran
Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif
namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika
muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena
itu isi muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan
agar ada dampak yang ditimbulkan.
c. Pengawasan pikiran
Dimensi ketiga dari berpikir positif adalah pengawasan pikiran. Aktivitas ini
mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang dimasukkan ke
ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui terdapat hal-hal
yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu dilakukan tindakan berupa
mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut dengan menggantinya dengan
yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi bahwa pikiran
bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk memperbaiki
kelemahan atau kesalahan tersebut.
Menurut Albrecth (2009) terdapat empat aspek berpikir positif yaitu
pernyataan yang tidak memihak, harapan yang positif, penyesuaian diri yang
realistis, dan afirmasi diri. Sedangkan Ubaedy (dalam Elfiky, 2009) menjabarkan
dimensi-dimensi berpikir positif menjadi tiga yaitu muatan pikiran, penggunaan
pikiran dan pengawasan pikiran. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori dari Alberth. Teori tersebut dipilih karena aspek-aspek berpikir positif
40
dalam teori Albrecth (2009) lebih mendetail untuk menjelaskan dan mewakili
masalah yang ada.
C. Efikasi Diri
1. Pengertian Efikasi Diri
Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu
bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Hal ini
akan mengakibatkan bagaimana individu merasa, berpikir dan bertingkah laku
terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan dan
keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, individu merasa mampu untuk
mengendalikan lingkungan sosialnya. Keyakinan pada seluruh kemampuan
meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif,
kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan. Penilaian
seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal bagaimana
seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan.
Selain itu juga Schultz (1994) mendefiniskan efikasi diri sebagai perasaan kita
terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.
Efikasi diri adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang
kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari hasil kerja kerasnya
mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1997). Dalam teori sosial
kognitif (Bandura, 1997), dinyatakan bahwa efikasi diri membantu seseorang
dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan
yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan dan derajat kecemasan atau
41
ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang
mencakup kehidupan mereka.
Baron & Byrne (2000) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan
penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan
suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan Feist &
Feist (2000) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa
mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan
mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.
Efikasi diri memiliki keefektifan yaitu individu mampu menilai dirinya
memiliki kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Tingginya
efikasi diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk
bertindak secara tepat dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai
merupakan tujuan yang jelas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan
seberapa besar usaha yang dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap
bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak meyenangkan.
Efikasi diri selalu berhubungan dan berdampak pada pemilihan perilaku, motivasi
dan keteguhan individu dalam menghadapi setiap persoalan (Bandura, 1997).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai
situasi untuk memperoleh hasil yang positif secara kecukupan dan efisien dalam
mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan
mereka sendiri.
42
2. Aspek-aspek Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek-aspek dari efikasi diri, yaitu:
a. Level
Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan
mampu mengatasinya. Tingkat efikasi diri seseorang berbeda satu sama lain.
Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan
menentukan efikasi diri. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat
suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat
mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai efikasi diri yang tinggi
pada permasalahan ini.
b. Generality
Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa
pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap
pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan
pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas.
c. Strength
Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari efikasi diri seseorang ketika
berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Efikasi diri yang
lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang
menggelisahkan ketika menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang
memiliki keyakinan yang kuat akan bertekun pada usahanya meskipun pada
tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda
kemalangan. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu
43
terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan
keuletan.
Ada pendapat lain dari Corsini (1994) yang membagi aspek-aspek
efikasi diri menjadi empat yaitu:
a. Kognitif
Kognitif merupakan keyakinan seseorang untuk memikirkan cara-cara yang
dapat digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah semakin
efektif keyakinan seseorang dalam berpikir dan dalam berlatih
mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya, maka akan mendukung
seseorang untuk bertindak dengan tepat guna mencapai tujuan yang
diharapkan.
b. Motivasi
Motivasi merupakan keyakinan seseorang dalam memotivasi diri melalui
pikirannya untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan guna
mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap orang berusaha memotivasi diri
dengan menetapkan keyakinannya pada tindakan yang akan dilakukan,
merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Motivasi dalam efikasi diri
digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan seseorang.
c. Afeksi
Afeksi merupakan keyakinan untuk mengatasi emosi yang timbul pada diri
sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami
dalam diri seseorang dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman
44
emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan
depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
d. Seleksi
Seleksi merupakan keyakinan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan
lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Seleksi tingkah laku mempengaruhi perkembangan personal. Asumsi yang
timbul pada aspek ini adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan
seleksi tingkah laku membuat seseorang tidak percaya diri, bingung, dan
mudah menyerah ketika menghadapi situasi sulit.
Pada penelitian ini yang dipakai untuk mendukung teori efikasi diri adalah
teori dari Bandura (1997) dengan pertimbangan keterangan dari aspek-aspek yang
diungkapkan lebih sesuai digunakan untuk penelitian ini.
D. Hubungan antara Berpikir Positif dengan Kecemasan Berbicara di
Depan Umum pada Mahasiswa
Pola pikir berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik dan akan
menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang. Perubahan dalam
perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana individu tersebut berpikir dan
merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola pikir seseorang sangat
membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati
(mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan, kecemburuan, rasa
bersalah dan rasa malu (Mapes, 2006).
45
Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumnya terbagi menjadi dua yaitu
berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang mempunyai pola pikir
yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan
dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang
negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul
perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.
Meskipun berpikir positif bukanlah solusi terhadap berbagai masalah kehidupan,
tetapi pemikiran akan membantu menentukan suasana hati yang dialami dalam
situasi tertentu. Begitu individu mengalami suasana hati tertentu, suasana hati
tersebut akan disertai dengan pemikiran lain yang mendukung dan memperkuat
suasana hati.
Miller & Tesser (1990) mengungkapkan bahwa pikiran memiliki pengaruh
terhadap sikap dan perilaku. Sikap terdiri dari komponen kognitif dan afektif.
Pikiran menekankan komponen afektif untuk menghasilkan penilaian dan
perkiraan mengenai perwujudan perilaku (afektif menggerakkan perilaku). Di sisi
lain, pikiran menekankan komponen kognitif untuk menghasilkan penilaian dan
perkiraan mengenai perilaku (kognitif menggerakkan perilaku). Pikiran positif
akan menghasilkan sikap mental yang positif yang akan membantu individu
membangun harapan serta mengatasi keputusasaan dan ketidakberanian (Hills,
2009).
Menurut Opt & Loffredo (2000) individu yang menggunakan pola pikir
positif mempunyai kecemasan yang lebih rendah daripada individu yang berpola
pikir negatif. Individu dengan pola pikir yang positif akan melihat segala hal dari
46
sisi positif, suka bekerja keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika
berbicara di depan umum, sehingga kecemasan saat berbicara di depan umum
dalam diri seseorang rendah. Individu dengan pola pikir negatif lebih
menggunakan perasaaanya, lebih mudah stress dan mengekspresikan kecemasan
karena selalu fokus pada pendapatnya sendiri. Bertentangan dengan pola pikir
positif, kecemasan berbicara di depan umum pada seseorang dengan pola pikir
negatif akan tinggi.
Devito (1995) menyatakan kecemasan berbicara di muka umum dapat
terjadi karena individu memiliki pola pikir negatif sehingga komunikasi yang
dilakukan memberikan hasil negatif. Sebagai contoh dalam sebuah diskusi
kelompok umumnya siswa diminta untuk maju dan berbicara di depan kelas, saat
ujian, dan ketika berlatih bicara dengan orang asing. Pada saat diminta untuk
berbicara di depan kelas, sebagian besar siswa mengungkapkan bahwa mereka
merasa kaget dan ragu-ragu. Pada saat mereka telah selesai berbicara dan
melakukan suatu kesalahan, mereka akan merasa malu dan takut dimana hal
tersebut karena adanya kekhawatiran terjadinya penilaian sosial yang negatif
terhadap mereka dan disebabkan karena adanya ketakutan akan gagal.
Spielberger, dkk (dalam Ghufron 2012) menyatakan bahwa kecemasan
berbicara saat presentasi yang dialami individu tersebut didefinisikan sebagai
konsep yang terdiri dari dua dimensi utama, yaitu kekhawatiran dan
emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf
otomatik yang timbul akibat atau suatu objek tertentu. Hal tersebut juga
merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal
47
buruk yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar
keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir
merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran
yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak
adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri
sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan
tentang kemungkinan apa yang dilakukan.
Menurut Bandura (1997), kognisi adalah proses berpikir individu tentang
situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana
individu merasa dan berbuat (Corsini, 1994). Dengan kata lain, cara individu
memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan
berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang
mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka
pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya
sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di
depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan
berdampak pada perilaku (Ayres, 1992).
Suasana hati tergantung dari perasaan yang diasosiasikan terhadap
peristiwa atau situasi tertentu (Wolpe, 2001). Asosiasi terhadap situasi tertentu
dipelajari berdasarkan observasi dan pengalaman (Hergenhahn & Olson, 2001).
Sebagai contoh, jika seseorang pernah dihujani kritik dan ejekan pada saat
berbicara di depan umum, maka ia akan mengasosiasikan situasi tersebut sebagai
48
suatu hukuman, sehingga rasa takut dipermalukan dapat menjadi penghambat
untuk berbicara di depan umum (Ayres, 2002).
Opt & Loffredo (2000) memaparkan hasil penelitiannya, bahwa semakin
seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di
depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan
semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan
karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal
yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Peale
(2001) menyatakan bahwa seseorang yang berpikir positif akan memandang
segala persoalan yang muncul dari sudut pandangan yang positif. Individu yang
berpikir positif akan menanggapi dan mengatasi persoalan secara lebih optimis
dan mengarahkan pikirannya pada hari depan yang gemilang.
Hasil penelitian dari Rahayu (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa
dengan tingkat berpikir positif yang rendah, maka tingkat kecemasan berbicara di
depan umum akan tinggi. Sebaliknya jika tingkat berpikir positif tinggi, maka
tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan rendah. Dengan demikian bila
individu berada dalam masa-masa penuh kesulitan, sehingga individu akan
mempunyai sikap untuk selalu menanggapi dan mengatasi persoalannya secara
optimis maka sikap yang demikian itu telah membantu mengubah saat-saat gelap
menjadi lebih cerah, produktif dan kreatif. Kecemasan berbicara di depan umum
diharapkan dapat berkurang jika individu atau mahasiswa selalu berpikir positif,
karena dalam berpikir positif mahasiswa tidak hanya dapat membebaskan diri dari
rasa cemas yang berkepanjangan, tetapi juga akan mampu menghilangkan
49
berbagai perasaan negatif seperti takut salah atau ditertawakan, malu, merasa
tidak bisa dan rendah diri dan lain sebagainya.
Rogers (2004) mengemukakan bahwa kecemasan berbicara di depan
umum adalah pola pikiran yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan
umum merasa bahwa dirinya sedang diadili, merasa penampilan dan gerak gerik
serta ucapannya sedang menjadi perhatian khalayak. Atau dengan kata lain hal
tersebut dikarenakan pikiran-pikiran yang negatif dan tidak rasional. Reaksi
emosional yang tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan
sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak
rasional.
Albrecht (2009) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat
berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkan, meskipun
lingkungan sekitarnya tifak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki
tingkat berpikir positif yang rendah, maka maka akan timbul hambatan dalam diri
individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkungan disekitarnya tidak
mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama dengan mahasiswa.
Mahasiswa yang memiliki pikiran positif akan memiliki kemampuan yang baik
dalam mengolah kecemasan saat berbicara di depan umum agar hal tersebut tidak
akan mengganggu performanya.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi maka kecemasan
berbicara di depan umum akan rendah. Apabila seseorang memiliki tingkat
berpikir positif yang rendah, maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum
50
akan tinggi. Hal ini menandakan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan
yang saling berkaitan.
E. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan
Umum pada Mahasiswa
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi memegang
peranan penting dalam kegiatan pendidikan. Beberapa bentuk komunikasi seperti
bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi
kelompok yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa
tidak hanya berinteraksi dengan dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara,
mengemukakan pendapat, ide-idenya secara lisan di depan banyak orang (Elliot,
2000). Ada harapan-harapan yang diberikan kepada mahasiswa sebagai kelompok
yang mengeyam pendidikan tinggi untuk memiliki kompetensi yang lebih baik
dalam hal ini kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara di depan umum
sebagai bekal mahasiswa di kehidupan masyarakat. Faktanya di lapangan
kecemasan muncul saat mahasiswa ditunjuk untuk berbicara di depan umum
(Wahyuni, 2015).
Sarafino (1994) menyatakan bahwa penanganan kecemasan antara satu
individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi
individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan efikasi diri.
Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal
bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas,
dan tantangan.
51
Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan
umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara
individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997)
menyatakan bahwa keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan
memperoleh hasil yang positif disebut efikasi diri.
Efikasi diri mempengaruhi bagaimana perasaan individu, cara berfikir,
memotivasi diri, dan bagaimana individu bertingkah laku. Efikasi diri juga
mempengaruhi individu dalam penelitian tugas, kegigihan dalam usaha meraih
prestasi. Efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang
berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa
mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami
kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak
dapat mengatur ancaman, maka akan mengalami kecemasan yang tinggi
(Bandura, 1997). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2002)
yang menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi,
kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka kecenderungannya
mereka mempunyai tingkat efikasi diri yang rendah. Sementara mereka yang
memiliki efikasi diri yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan
dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan
yang tidak perlu dihindari.
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi menganggap kegagalan
sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan.
Individu yang ragu akan kemampuan mereka (efikasi diri yang rendah) akan
52
menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut di pandang sebagai
ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta
komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka
tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan
kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi,
dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki efikasi
diri yang rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam
menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka
mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam
membenahi ataupun mendapatkan kembali efikasi diri mereka ketika menghadapi
kegagalan (Suryabrata, 2010).
Individu yang menghadapi situasi menekan, dalam hal ini berbicara di
depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka efikasi diri akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura,
1997). Tingginya efikasi diri yang dimiliki akan memotivasi individu secara
kognitif untuk bertidak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang
hendak di capai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila
ditemukan hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan prestasi dan
performasi individu tersebut.
Menurut Prakosa (2006) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan
oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada
pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang
didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut seseorang
53
untuk berperilaku secara mantap dan efektif. Sehingga mahasiswa yang memiliki
tingkat efikasi diri yang tinggi akan memiliki performa yang baik jika ia ditunjuk
untuk berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan
fungsi rendahnya efikasi diri. Efikasi diri berperan menentukan bagaimana
seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan.
Pada saat merasa takut dan cemas, biasanya individu mempunyai efikasi diri
rendah. Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi, merasa mampu dan
yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman
sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.
Penelitian Djayanti (2015) menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif
antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum, yang berarti
bahwa apabila efikasi diri tinggi maka kecemasan berbicara di depan umum
rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila efikasi diri rendah maka kecemasan
berbicara di depan umum tinggi. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian
Wahyuni (2015) yang menunjukkan ada hubungan negatif antara efikasi diri
dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang memiliki tingkat efikasi yang tinggi maka kecemasan berbicara di
depan umum akan rendah. Apabila seseorang memiliki tingkat efikasi yang
rendah, maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan tinggi. Hal ini
menandakan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.
54
F. Hubungan antara Berpikir Positif dan Efikasi Diri dengan Kecemasan
Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa
Komunikasi adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan
manusia yang lain. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia,
menurut penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun manusia
digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi memiliki pengertian proses di mana
seorang individu mengoperkan perangsang (lambang-lambang bahasa) untuk
mengubah tingkah laku individu yang lainnya Abdurachman (dalam Muslimin,
2013). Komunikasi merupakan gambaran bagaimana seseorang memahami,
melihat, mendengar dan merasakan tentang dirinya (sense of self), kemampuan
memahami media serta bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan
lingkungan, dari mengumpulkan, dan mempresentasikan informasi, hingga
menyelesaikan konflik (Muslimin, 2013).
Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia (Rakhmat, 2008).
Berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk
menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Setiap orang dapat berbicara, tetapi tidak
semua orang dapat berbicara baik dan berkomunikasi di depan umum.
Mahasiswa sebagai peserta didik yang mengeyam pendidikan lebih tinggi
tentunya tidak dapat menghindari proses komunikasi yang di mana bentuk
komunikasi yang ada di setting perkuliahan dapat berupa bertanya kepada dosen,
mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi kelompok. Tidak hanya di
setting perkuliahan, terkadang mahasiswa dituntut untuk mampu berbicara,
mengemukakan pendapat, ide-idenya secara lisan di depan banyak orang (Elliot,
55
2002). Kenyataan yang ada di lapangan, berbicara di depan umum bukanlah suatu
hal yang mudah. Adanya tekanan-tekanan membuat seseorang khususnya di sini
mahasiswa mengalami hambatan yang akan memicu kecemasan (Bandura, 1997).
Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu
masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada
umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons
terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem
saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon
tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung,
pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan
psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung,
tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).
Pada umumnya kecemasan dalam berbicara (baik dengan perorangan
maupun secara publik) bukan disebabkan oleh ketidakmampuan individu, tetapi
sering disebabkan oleh tingkatan berpikir positif yang rendah atau pikiran-pikiran
negatif dan tidak rasional (Rogers, 2004). William (2004) menjelaskan bahwa
kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang keliru. Terlalu
menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba sesuatu yang
tidak kita kuasai dengan sangat sempurna. Selain itu, mengingat secara terus-
menerus mengenai sesuatu yang menakutkan sehingga diri merasa diteror sampai
56
rasa takut tersebut menjadi jauh lebih besar dari diri sendiri dan akhirnya berhenti
sambil meyakinkan bahwa semuanya adalah malapetaka. Hal ini juga ditemukan
dalam penelitian Marinho (2015) yang ditemukan bahwa saat mahasiswa
ditunjuk untuk berbicara di depan umum, sering sekali muncul pikiran negatif
yang menyebabkan mereka menjadi cemas. Kecemasan bebicara di depan umum
akan mengarah pada ketakutan dan tentunya memiliki dampak negatif dalam
keberhasilan akademik mahasiswa tersebut.
Spielberger, dkk (dalam Ghufron 2012) menetapkan kecemasan berbicara
saat berbicara di depan umum menjadi dua dimensi yaitu kekhawatiran dan
emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf
otomatik yang timbul akibat atau suatu objek tertentu. Dimensi ini juga meliputi
perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang
tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras,
tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir
merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran
yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak
adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri
sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan
tentang kemungkinan apa yang dilakukan.
Menurut Bandura (1997), kognisi adalah proses berpikir individu tentang
situasi tertentu. Corsini (1994) menyatakan bahwa cara berpikir menentukan
bagaimana individu merasa dan berbuat. Cara individu memaknai hubungan
antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh terhadap
57
perasaan dan perilakunya. Jika individu mempunyai pikiran yang negatif tentang
situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan
mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut.
Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan
perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku. Tetapi
jika individu memiliki pikiran yang positif, maka ia akan mampu untuk
menaklukkan perasaan cemasnya (Ayres, 1992).
Dalam mengurangi atau mengatasi kecemasan dalam berbicara di depan
umum, individu dapat mengubah cara berpikir dari yang negatif atau tidak
rasional menjadi cara berpikir positif. Peale (2001) menjelaskan bahwa untuk
membentuk pikiran yang positif dapat digunakan pernyataan-pernyataan positif.
Jika individu secara terus-menerus mengguakan kata-kata yang positif maka akan
berpengaruh terhadap kesehatan tubuh dan kekuatan stimulus positif yang akan
memberikan efek yang baik. Kata-kata yang digunakan akan merefleksikan secara
kuat ke dalam pikiran dan pikiran akan memberikan efek positif atau negatif
terhadap individu.
Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini dilakukan oleh
Rahayu (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa yang cenderung berpikir positif
akan mampu mengendalikan perasaan dan kegugupannya sehingga individu
tersebut mampu untuk mengendalikan kecemasan untuk berbicara di depan
umum. Sedangkan mahasiswa dengan pikiran negatif akan sulit mengendalikan
kegugupannya sehingga kurang mampu untuk mengendalikan kecemasaan saat
berbicara di depan umum.
58
Mahasiswa yang diberikan tugas atau kegiatan yang mengharuskan mereka
berhadapan dan berbicara di depan banyak orang tentunya tak terhindar dari
adanya perasaan cemas. Hal ini salah satunnya dapat disebabkan oleh adanya
pikiran-pikiran negatif. Saat seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah
kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir
negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini
dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan
memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam
interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki kecenderungan individu untuk
memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir optimis terhadap
lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat membantu individu
dalam mengatasi masalahnya (William, 2004). Maka mahasiswa yang mampu untuk
tetap mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan
umum tidak akan tinggi. Tetapi bila mahasiswa kurang mampu untuk
mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan umum
akan tinggi.
Ketika menghadapi situasi yang menekan, dalam hal ini berbicara depan
umum, keyakinan terhadap kemampuan individu (efikasi diri) akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura,
1997). Bandura menyatakan bahwa efikasi diri berguna untuk melatih kontrol
terhadap stressor yang berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu
yang percaya bahwa ia mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak
mengalami kecemasan yang tinggi. Sebaliknya individu yang percaya bahwa ia
tidak dapat mengatur ancaman, mengalami kecemasan yang tinggi.
59
Dalam teori sosial kognitif yang diungkapkan oleh Bandura (1997), efikasi
diri akan membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju,
kegigihan serta ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan
dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka
mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Hal ini juga
sejalan dengan pendapat dari Lent (1991) bahwa keyakinan yang kuat dalam diri
untuk mencapai performansi yang diharapkan akan memberi dorongan dan
kekuatan pada diri individu itu sendiri.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Feist & Feist (2002) bahwa ketika
seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat
stres yang tinggi, maka individu tersebut mempunyai efikasi diri yang rendah.
Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi merasa mampu dan yakin
terhadap kesuksesan dalam menghadapi rintangan dan menganggap ancaman
sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin
tinggi efikasi diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan
umum akan semakin rendah. Begitu pula sebaliknya jika semakin rendah efikasi
diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan umum akan
semakin tinggi.
Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri aakan menentukan
bagaimana individu merasa berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang
dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan, dan keteguhannya pada saat
menghadapi hambatan, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk
mengendalikan lingkungan sosialnya. Keyakinan pada seluruh kemampuan
60
meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif,
kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.
Myers (1996) mengungkapkan bahwa individu dengan efikasi diri yang
tinggi tidak mudah mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki pola hidup
yang terfokus, sehingga dapat hidup lebih sehat dan sukses dalam bidang
akademis. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri rendah kurang terampil dalam
mengendalikan kecemasan, sedangkan mahasiswa yang memiliki efikasi tinggi
akan lebih terampil dalam mengendalikan kecemasan ketika berbicara di depan
umum.
Penelitian dari Djayanti (2015) yang menjadi pendukung untuk penelitian
ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan
kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Selain itu juga ada dua
penelitian lain dari Shagita (2013) dan Wahyuni (2015) di mana hasil dari kedua
penelitian tersebut sama-sama menemukan bahwa ada hubungan negatif antara
efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.
Semakin tinggi efikasi diri, maka kecemasan berbicara di depan umum pada
mahasiswa semakin rendah. Sebaiknya, jika semakin rendah efikasi diri, maka
kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semakin tinggi.
Kesimpulan yang dapat diambil ialah apabila mahasiswa memiliki tingkat
berpikir positif tinggi, maka kecemasan berbicara di depan umum akan rendah.
Sebaliknya, apabila mahasiswa memiliki tingkat berpikir positif rendah, maka
kecemasan berbicara di depan umum akan tinggi. Sama halnya dengan efikasi
diri. Semakin tinggi efikasi diri mahasiswa, maka akan semakin rendah
61
kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah efikasi diri
mahasiswa, semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Sehingga kedua
variabel berpikir positif dan efikasi diri memiliki hubungan dengan kecemasan
berbicara di depan umum.
G. Landasan Teori
Setiap orang bisa berbicara, tetapi tidak setiap orang dapat berbicara baik dan
komunikatif di depan umum. Berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi
dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Komunikasi
adalah cara manusia berinteraksi dengan manusia lain. Berkomunikasi dengan
orang lain merupakan situasi yang hampir terjadi di seluruh proses kehidupan.
Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia, dan memiliki kemampuan
berkomunikasi yang efektif sangatlah diperlukan, untuk menyam–paikan ide,
gagasan dan pengetahuan kepada masyarakat. Tidak ada individu yang mampu
hidup normal tanpa adanya proses komunikasi atau berbicara dengan orang lain
(Rakhmat, 2009).
William (2004) menyatakan bahwa tidak semua komunikasi dapat berjalan
efektif. Ada hambatan dalam komunikasi yang disebut dengan communication
apprehension. Orang yang mengalami hambatan komunikasi akan merasa cemas
ketika melakukan komunikasi, baik secara perorangan maupun dengan
sekelompok orang. Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecemasan berbicara di depan umum.
62
Chaplin (2002) menjelaskan pengertian kecemasan sebagai perasaan
campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang
tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Pendapat lain menurut Menurut
Daradjat (dalam Muslimin, 2013), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai
proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami
tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Hudaniah (2003)
menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif,
keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan
dan kegugupan.
Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu
masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada
umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons
terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem
saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon
tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung,
pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan
psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung,
tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).
63
Abdurachman (dalam Muslimin, 2013) mengartikan berbicara adalah
cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu
yang diinginkan. Kemudian Muslimin (2013) memberikan pernyataan bahwa
berbicara di depan umum sendiri memiliki pengertian sebuah metode komunikasi
yang dilakukan oleh seseorang baik secara perseorangan maupun dengan
kelompok orang.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan
berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak
menetap pada diri individu yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan
perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) yang ditandai dengan reaksi
fisik dan psikologis saat berbicara di depan orang banyak.
Kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari tiga aspek. Pertama,
aspek fisik yang merupakan gejala-gejala fisik yang dialami seseorang sebelum
memulai pembicaraan seperti jantung berdebar-debar, suara yang bergetar, kaki
gemetar, kejang perut, dan sulit untuk bernafas. Kedua, aspek mental adalah
gejala mental seperti sering mengulang kata atau kalimat, hilang ingatan secara
tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara tepat dan melupakan hal-hal
yang sangat penting. Ketiga, aspek emosional merupakan gejala seperti adanya
rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil, rasa
kehilangan kendali, serta muncul rasa malu setelah selesai melakukan
pembicaraan di depan umum (Rogers, 2004).
64
Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu
masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada
umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons
terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem
saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon
tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung,
pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan
psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung,
tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).
Kecemasan berbicara di depan umum tentunya dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain pola pikir. Pola pikir dapat mempengaruhi suasana hati, reaksi
fisik dan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang.
Perubahan dalam perilaku individu akan mempengaruhi bagaimana individu
tersebut berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola
pikir seseorang sangat membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan
dengan suasana hati (mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan,
kecemburuan, rasa bersalah dan rasa malu (Mapes, 2006).
Peale (2001) menyatakan bahwa pola pikir umumya terbagi menjadi dua
yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Seseorang yang mempunyai pola pikir
positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan
65
suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif,
maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul
perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.
Pada penelitian ini lebih difokuskan kepada berpikir positif.
Berpikir didefiniskan sebagai proses menghasilkan representasi mental
yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara
kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Walgito (2003)
menjelaskan bahwa berpikir merupakan kemampuan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap
masalah yang timbul dari dunia luar sehingga dapat dikatakan bahwa individu
berpikir apabila menghadapi permasalahan atau persoalan.
Albrecth (2009) mengemukakan bahwa berpikir positif adalah mengatur
antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa
yang positif dan menunjukkan pikiran-pikirannya. Berpikir positif adalah
Perubahan dalam perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana individu
tersebut berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun secara emosional.
Kesimpulan dari berpikir positif yang dapat diambil adalah bentuk dari
pemikiran mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif,
membentuknya dengan bahasa yang positif dengan menunjukkan pikiran-
pikirannya serta selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.
Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana individu
merasa dan berbuat (Corsini, 1994). Dengan kata lain, cara individu memaknai
hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh
66
terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai
pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran
negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan
dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum
akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak
pada perilaku. Apabila individu memiliki pikiran positif, maka ia akan mampu
untuk mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum (Ayres, 1992).
Penelitian dari Opt & Loffredo (2000) ditemukan bahwa semakin
seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di
depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan
semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan
karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal
yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi.
Berpikir positif terdiri dari empat aspek. Pertama, pernyataan yang tidak
memihak adalah pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai
keadaan. Kedua, harapan yang positif adalah memusatkan perhatian pada
kesuksesan, optimis, pemecahan masalah yang menjauhkan diri dari perasaan
takut akan kegagalan dengan menggunakan kata-kata yang mengandung harapan.
Ketiga, penyesuaian diri yang realistis yaitu mengakui kenyataan dan segera
berusaha menyesuaikan diri dan menjauhkan diri dari penyesalan, frustasi,
kasihan diri dan menyalahkan diri sendiri. Keempat, afirmasi diri yaitu
memusatkan perhatian pada kekuatan diri dan melihat secara lebih positif dengan
67
dasar pikiran bahwa setiap individu sama berartinya dengan individu lain
(Albrecth, 2009).
Selain pola pikir, faktor lain yang mempengaruhi kecemasan berbicara di
depan umum adalah efikasi diri. Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri
sebagai keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan
memperoleh hasil yang positif. Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu
merasa, berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-
usaha yang akan dilakukan dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan,
individu merasa mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya. Baron &
Byrne (2000) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu
terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai
suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan Feist & Feist (2000)
menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki
kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap
peristiwa lingkungan mereka sendiri.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi
untuk memperoleh hasil yang positif secara kecukupan dan efisien dalam
mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan
mereka sendiri.
Sarafino (1994) menyatakan bahwa penanganan kecemasan antara satu
individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi
individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan efikasi diri.
68
Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal
bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas,
dan tantangan. Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di
depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan.
Efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan
penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka
mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami kecemasan yang
tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengatur
ancaman, maka akan mengalami kecemasan yang tinggi (Bandura, 1997). Hal ini
juga sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2002) yang menyatakan bahwa
ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau
tingkat stress yang tinggi, maka kecenderungannya mereka mempunyai tingkat
efikasi diri yang rendah. Sementara mereka yang memiliki efikasi diri yang tinggi
merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan
menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.
Efikasi diri terdiri dari tiga aspek. Pertama, level merupakan aspek yang
mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu
mengatasinya. Kedua, generality merupakan aspek yang berhubungan luas dengan
bidang tugas atau tingkah laku. Ketiga, strenght merupakan aspek yang terkait
dengan kekuatan dari efikasi diri seseorang ketika berhadapan dengan tuntutan
tugas atau suatu permasalahan (Bandura, 1997).
69
Pada penelitian ini akan dilihat hubungan antara berpikir positif (X1)
dengan kecemasan berbicara di depan umum (Y) dan hubungan antara efikasi diri
(X2) dengan kecemasan berbicara di depan umum (Y). Kemudian dilihat juga
berpikir positif (X1) dan efikasi diri (X2) keduanya memiliki hubungan dengan
kecemasan berbicara di depan umum (Y). Pada gambar 2.1 akan diuraikan
hubungan antara variabel X1 dengan Y, variabel X2 dengan Y dan Variabel X1,
X2 dengan Y. Kerangka teoritis pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
1
3
2
Gambar 2. 1
Kerangka Teoritis
BERPIKIR POSITIF (X1)
Aspek-aspek:
Pernyataan yang tidak
memihak
Harapan yang positif
Penyesuaian diri yang
realistis
Afirmasi diri
EFIKASI DIRI (X2)
Aspek-aspek:
Level
Generality
Strength
KECEMASAN BERBICARA
DI DEPAN UMUM (Y)
Aspek-aspek:
Fisik
Mental
Emosional
70
Keterangan gambar:
1: X1 berhubungan dengan Y; Menunjukkan hubungan antara berpikir
positif dengan kecemasan berbicara di depan umum.
2: X2 berhubungan dengan Y; Menunjukkan hubungan antara efikasi diri
dengan kecemasan berbicara di depan umum.
3: X1 dan X2 keduanya memiliki hubungan dengan Y; Menunjukkan
hubungan antara berpikir positif dan efikasi diri dengan kecemasan
berbicara di depan umum.
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan negatif antara berpikir positif dengan kecemasan berbicara di
depan umum pada mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UBM Jakarta.
Semakin tinggi berpikir positif mahasiswa, maka semakin rendah tingkat
kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya jika semakin rendah
berpikir positif mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara
di depan umum.
2. Ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di
depan umum pada mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UBM Jakarta.
Semakin tinggi efikasi diri mahasiswa, maka semakin rendah tingkat
kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya jika semakin rendah efikasi