bab ii tinjauan pustaka 2.1 tidur 2.1.1. definisi...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1. Definisi Tidur
Terdapat berbagai definisi tidur. Menurut beberapa
pakar, menurut Potter & Perry (2005), tidur adalah
perubahan keadaan kesadaran yang terjadi secara terus-
menerus dan berulang untuk menyimpan energi dan
kesehatan. Sementara Martini (2001) mendefinisikan tidur
sebagai suatu keadaan tidak sadar (unconsciousness)
tetapi dapat dibangunkan dengan perangsangan sensori
yang sesuai. Walaupun kedua definisi tersebut sedikit agak
berbeda namun pada dasarnya mereka setuju bahwa tidur
merupakan periode tanpa aktivitas. Dengan demikian
secara singkat tidur dapat didefinisikan sebagai suatu
aktivitas untuk mengistirahatkan fungsi tubuh dari aktivitas
guna menjaga kesejahteraan fisik dan kualitas hidup
individu.
2.1.2. Fungsi tidur
Tidur dipercaya mengkontribusi pemulihan fisiologis
dan psikologis (Potter & Perry, 2005). Selama tidur NREM,
fungsi biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada
12
orang dewasa sehat sepanjang hari rata-rata 70 hingga 80
denyut per menit atau lebih rendah jika individu berada
pada kondisi fisik yang sempurna. Akan tetapi selama tidur
laju denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit atau
lebih rendah. Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10
hingga 20 kali lebih sedikit dalam dalam setiap menit
selama tidur atau 60 hingga 120 kali lebih sedikit dalam
setiap jam. Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat
dalam memelihara fungsi jantung.
Teori lain tentang kegunaan tidur adalah tubuh
menyimpan energi selama tidur. Otot skelet berelaksasi
secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot
menyimpan energi kimia untuk proses seluler. Penurunan
laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan
energi tubuh (Potter & Perry, 2005). Tidur REM terlihat
penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan
dengan perubahan dalam aliran darah serebral,
peningkatan aktivitas kortika, peningkatan konsumsi
oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat
membantu penyimpanan memori dan pembelajaran.
Selama tidur, otak menyaring informasi yang disimpan
tentang aktivitas hari tersebut.
13
Kegunaan tidur pada perilaku seringkali tidak
diketahui sampai seseorang mengalami suatu masalah
akibat deprivasi tidur. Kurangnya tidur REM dapat
mengarah pada perasaan bingung dan curiga. Tidak ada
hubungan sebab dan akibat yang jelas keberadaannya
antara kehilangan tidur dan disfungsi tubuh yang spesifik
(Potter & Perry, 2005). Akan tetapi, berbagai fungsi tubuh
(misal: penampilan motorik, memori, dan keseimbangan)
dapat berubah ketika terjadi kehilangan tidur yang
memanjang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil
simpulan bahwa pada dasarnya tidur berfungsi untuk
mengembalikan tenaga untuk beraktifitas sehari-hari,
memperbaiki kondisi yang sedang sakit, tubuh menyimpan
energi selama tidur dan penurunan laju metabolik basal
menyimpan persediaan energi tubuh.
2.1.3. Mekanisme terjadinya tidur
Mekanisme terjadinya tidur telah banyak dipelajari
dan para ahli berkesimpulan bahwa tidur diatur secara
hormonal. Tidur yang menyehatkan adalah yang dapat
mengikuti/menyesuaikan ritme atau siklus tertentu yang
dikenal dengan istilah bioritme atau bioritme internal (ritme
kebutuhan biologis yang terjadi di dalam tubuh. Bioritme
14
inilah yang seringkali dikenal dengan istilah ritme circadian
(Kozier., Erb., Berman. & Snyder., 2003)
Namun demikian terkadang bioritme ini bisa
dikacaukan oleh keadaan eksternal (pengaruh dari luar)
seperti misalnya yang sering terjadi pada penderita jet lag
(kekacauan siklus biologi akibat telah mengadakan
penerbangan jarak jauh)
2.1.4. Tahap-tahap tidur
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada seseorang
yang sedang tidur diperlukan alat EEG (Electro
Encephalogram) dengan cara meletakkan elektroda pada
tiga tempat utama yaitu di kepala untuk mengukur
gelombang yang berasal dari otak, di pelipis untuk
mengukur pergerakan bola mata dan di dagu untuk
mengukur tegangan otot. Dapat juga ditambahkan
beberapa elektroda yang diletakkan pada kasur untuk
mengukur pergerakan tubuh, demikian juga dapat diamati
kecepatan bernafas, detak jantung, pergerakan kaki,
maupun perubahan suhu tubuh selama kita tidur (Coates,
2001)
Elektroda ini tidak akan mengganggu tidur kita,
kecuali terasa sedikit lain dari biasanya. Jadi selama tidur
alat ini bekerja terus dan setelah malam berakhir kita akan
15
memperoleh setumpuk kertas yang berupa pencatatan
gelombang oleh suatu pena khusus yang dihubungkan
dengan elektroda. Dan dari hasil pencatatan inilah maka
seseorang ahli dapat menarik kesimpulan mengenai apa
yang terjadi selama kita tidur. Alat Ini dapat memperlihatkan
fluktuasi energi (gelombang otak) pada kertas grafik. Pada
dasarnya ada dua macam tidur yaitu tidur REM ( Rapid Eye
Movement = gerakan mata cepat) dan tidur NREM (Non
Rapid Eye Movement = gerakan mata tidak cepat). Tidur
REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur
paradoksial yang ditandai dengan : mimpi yang bermacam-
macam, otot-otot kendor, kecepatan jantung dan
pernafasan tidak teratur, sering lebih cepat, perubahan
tekanan darah, gerakan otot tidak teratur, gerakan mata
cepat, pembebasan steroid, sekresi lambung meningkat,
ereksi penis pada pria.
Saraf-saraf simpatetik bekerja selama tidur REM.
Dalam tidur REM diperkirakan terjadi proses penyimpanan
secara mental yang digunakan sebagai pelajaran, adaptasi
psikologis dan memori
Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan
dalam tidur gelombang pendek karena gelombang otak
selama NREM lebih lambat daripada gelombang alpha dan
16
beta pada orang yang sadar atau tidak dalam keadaan
tidur. Tanda-tanda tidur NREM adalah mimpi berkurang,
keadaan istirahat, tekanan darah turun, kecepatan
pernafasan turun, metabolisme turun, gerakan mata lambat.
Tidur NREM mempunyai empat tahap yang masing-
masing tahap ditandai dengan pola gelombang otak.
a. Tahap I.
Merupakan tahap transisi, berlangsung selama lima
menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi
tidur. Seseorang merasa kabur dan relaks, mata
bergerak ke kanan dan ke kiri, kecepatan jantung dan
pernafasan turun secara jelas. Gelombang alpha
sewaktu seseorang masih sadar diganti dengan dengan
gelombang beta yang lebih lambat. Seseorang yang
tidur pada tahap I dapat dibangunkan dengan mudah.
b. Tahap II.
Merupakan tahap tidur ringan, dan proses tubuh terus
menurun. Mata masih bergerak-gerak, kecepatan
jantung dan pernafasan turun secara jelas, suhu tubuh
dan metabolisme menurun. Gelombang otak ditandai
dengan “sleep spindles” dan gelombang K komplek.
Tahap II berlangsung pendek dan berakhir dalam waktu
sepuluh sampai lima belas menit.
17
c. Tahap III.
Pada tahap ini kecepatan jantung, pernafasan serta
proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat
dominasi sistem saraf parasimpatik, seseorang menjadi
lebih sulit dibangunkan. Gelombang otak menjadi lebih
teratur dan terdapat penambahan gelombang delta
yang lambat.
d. Tahap IV.
Merupakan tahap tidur dalam yang ditandai dengan
predominasi gelombang delta yang melambat.
kecepatan jantung dan pernafasan turun. Seseorang
dalam keadaan rileks, jarang bergerak dan sulit
dibangunkan. Selama tidur seseorang mengalami
empat sampai enam kali siklus tidur dalam waktu 7
sampai 8 jam. Siklus tidur sebagian besar merupakan
tidur NREM dan berakhir dengan tidur REM.
2.1.5. Pola tidur
Pola tidur didefinisikan Noor (2003) sebagai model,
bentuk, atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif
menetap serta meliputi jadwal jatuh tidur dan bangun, irama
tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi
tidur, dan kepuasan tidur.
18
Tidur dengan pola yang berkualitas lebih penting
jika dibandingkan dengan jumlah jam tidur. Adapun yang
dimaksud dengan tidur yang berkualitas adalah tidur yang
nyenyak, tidak terlalu sering terbangun di tengah malam,
dan apabila terbangun akan mudah untuk tertidur kembali
serta tidak mengalami gangguan-gangguan yang berarti
(Handayani, 2008). Pada beberapa orang, mereka merasa
cukup dengan hanya tidur selama 5 jam saja setiap malam
(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2003).
Secara umum durasi atau waktu lama tidur
mengikuti pola seperti di bawah ini sesuai dengan tahap
tumbuh kembang manusia.
a. Bayi baru lahir
Bayi baru lahir tidur selama 16 sampai 18 jam sehari.
Biasanya terbagi dalam 7 periode tidur. Tidur NREM
ditandai dengan pernafasan yang teratur, mata
menutup, tidak adanya gerakan tubuh atau mata. Tidur
REM adalah tidur dengan gerakan mata yang cepat,
dapat diobservasi melalui kelopak mata menutup, ada
pergerakan tubuh dan pernafasan yang tidak teratur.
Sebagian besar dari waktu tidur adalah tidur pada tahap
III dan IV NREM. Hampir 5 % dari tidurnya adalah tidur
REM.
19
b. Bayi
Sebagian bayi tidur selama 22 jam sehari, sebagian lain
tidur selama 12 sampai 14 jam sehari. Sekitar 20 %
sampai dengan 30 % tidurnya adalah tidur REM.
Pertama bayi bangun setiap 3 atau 4 jam, minum ASI
dan kemudian tidur lagi. Sebelum usia 4 bulan bayi tidur
sepanjang malam dan membutuhkan tidur siang yang
bervariasi. Pada umumnya mereka terjaga pada awal
pagi. Pada akhir tahun pertama bayi biasanya tidur
siang satu atau dua kali dan tidur selama kurang lebih
14 jam sehari. Sekitar separuh dari tidur bayi adalah
tidur dangkal. Selama tidur ini bayi masih tampak
bergerak, batuk. Sebaiknya orang tua memastikan dulu
bahwa bayinya benar benar dalam keadaan bangun
sebelum menggendongnya. Pada beberapa bayi usia 5
dan 9 bulan terbangun pada tengah malam. Untuk
orang tua yang memandang ini sebagai suatu masalah
perawat perlu mengkaji pola tidur bayi dan
membandingkannya dengan pola tidur orang tuanya.
c. Toddler
Kebutuhan tidur pada toddler menurun menjadi 10
sampai dengan 12 jam sehari. Sekitar 20 % sampai 30
% tidurnya adalah tidur REM. Kebanyakan dari mereka
20
masih membutuhkan tidur siang meskipun kebutuhan
untuk tidur siang secara bertahap akan berkurang. Anak
yang terbangun pada malam hari mungkin mereka takut
kegelapan atau mengalami mimpi buruk.
d. Preschool
Anak preschool biasanya memerlukan waktu tidur 11
sampai 12 jam semalam. Banyak anak pada usia ini
tidak menyukai waktu tidur. Bisa jadi anak usia 4
sampai 5 tahun mengalami kurang istirahat dan mudah
sakit jika kebutuhan tidurnya tidak terpenuhi. Tidur
sebentar pada siang hari atau suasana yang tenang
pada siang hari mungkin dibutuhkan pada anak usia ini.
Anak preschool sering kali terbangun malam hari.
e. Anak usia sekolah
Anak usia sekolah tidur antara 8 sampai dengan 12 jam
semalam tanpa tidur siang. Anak usia 8 tahun
membutuhkan waktu tidur paling tidak 10 jam setiap
malam. Pada anak usia 11 sampai 12 tahun seringkali
mereka tidur pada jam 10 malam. Tidur REM pada anak
usia ini berkurang sekitar 20 %. Meskipun beberapa
anak masih mengalami bangun di malam hari dan
mimpi buruk namun masalah ini akan membaik dengan
sendirinya seiring dengan bertambahnya usia.
21
f. Adolesen
Kebanyakan remaja memerlukan waktu tidur sekitar 8
sampai 10 jam tiap malamnya untuk mencegah
terjadinya kelemahan dan kerentanan terhadap infeksi.
Tidur pada usia ini 20 % adalah tidur REM. Pada masa
remaja anak laki-laki mengalami Nocturnal Emission
(orgasme dan megeluarkan cairan semen pada waktu
tidur malam) yang biasa kita kenal dengan ustilah mimpi
basah. Pada usia ini anak laki-laki memerlukan
informasi bahwa mimpi basah adalah normal untuk
mencegah terjadinya kebingungan dan ketakutan
g. Dewasa muda
Pada masa dewasa muda ini umumnya mereka sangat
aktif dan membutuhkan waktu tidur antara 7 sampai 8
jam semalam.
h. Dewasa tengah
Pada masa dewasa tengah ini mungkin mengalami
insomnia dan sulit tidur. Mereka biasanya tidur selama 6
sampai 8 jam semalam. Sekitar 20 % adalah tidur REM.
i. Dewasa akhir
Pada masa dewasa akhir kebutuhan untuk tidur kurang
lebih 6 jam semalam. Sekitar 20 % sampai 25 % adalah
tidur REM. Tidur tahap IV mengalami penurunan.
22
Periode REM menjadi lebih lama. Banyak diantara
mereka bangun tengah malam dan perlu waktu lama
untuk kembali tidur.
2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola tidur
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kualitas
dan kuantitas tidur. Kualitas tidur merujuk pada
kemampuan seseorang untuk dapat tidur dan mendapatkan
tidur REM dan NREM yang tepat, atau dapat la merujuk
pada nyenyak atau tidaknya tidur seseorang. Sedangkan
kuantitas tidur adalah jumlah total waktu tidur seseorang,
atau juga dapat diterjemahkan lamanya seseorang untuk
tidur selama 24 jam (dalam satu hari) (Handayani, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur dapat di
uraikan sebagai berikut : (Kozier., Erb., Berman. & Snyder,
2003)
a. Penyakit
Sakit yang menyebabkan nyeri dapat
menimbulkan masalah tidur. Seseorang yang sedang
sakit membutuhkan waktu tidur lebih lama daripada
keadaan normal. Dan seringkali pada orang yang sakit
pola tidurnya juga akan terganggu.
Bagi pasien tuberkulosis, penyakit yang disertai
terjadinya nyeri dada, batuk, sesak nafas, nyeri otot, dan
23
keringat malam mengakibatkan tergantungnya
kenyamanan tidur dan istirahat penderita (Doengoes,
2000).
b. Lingkungan
Lingkungan dapat mendukung atau menghambat
tidur. Temperatur lingkungan yang tidak nyaman dan
ventilasi yang kurang akan berpengaruh terhadap tidur.
Penerangan ruangan juga menjadi faktor lain yang
berpengaruh terhadap tidur, seseorang yang terbiasa
tidur dengan ruangan yang gelap akan mengalami
kesulitan jika harus tidur pada ruangan yang terang.
Kondisi ruang rawat inap dapat menyebabkan
gangguan pola tidur pasien tuberkulosis, seperti aktifitas
yang menimbulkan kegaduhan, lampu yang menyala
terang, temperatur udara yang panas karena kurangnya
ventilasi, terganggu oleh dengkuran pasien lain ataupun
yang terpaksa dibangunkan karena adanya prosedur
tindakan tertentu (Kozier., Erb., Berman. & Snyder,
2003).
c. Stres emosi
Depresi dan kecemasan seringkali mengganggu
tidur. Seseorang yang dipenuhi dengan masalah
mungkin tidak bisa cukup rileks untuk bisa tidur.
24
Kecemasan akan meningkatkan kadar norepinephrin
dalam darah yang akan merangsang sistem saraf
simpatetik. Perubahan ini menyebabkan berkurangnya
tahap IV NREM dan tidur REM.
Bagi pasien TB, masalah stres dan emosi juga
mengakibatkan gangguan pola tidur. Masalah stress dan
emosi yang diakibatkan karena perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke
lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya (Doengoes,
2000), mengalami perasaan isolasi karena penyakit
menular (Doengoes, 2000), adanya proses pengobatan
yang lama (Nodesul, 2005), dan perasaan cemas
sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan akibat ketidakmampuan untuk bernafas
(Engram, 2003).
d. Kelelahan
Kelelahan akan berpengaruh terhadap pola tidur
seseorang. Semakin lelah seseorang maka akan
semakin pendek periode tidur paradoxical (REM)
e. Obat-obatan
Beberapa obat-obatan yang mengandung obat
keras misalnya diuretik, anti-depresan, beta bloker dan
25
narkotika sangat berpengaruh terhadap kualitas
tiduryang sebagian mengandung obat keras sehingga
dapat menstimulasi sistem saraf pusat.
f. Diet
Diet L-trptophan, tinggi energi tinggi protein
(TETP) seperti yang terkandung dalam keju dan susu
akan mempermudah orang untuk tidur. Hal ini bisa
menjelaskan mengapa minum susu hangat akan
membantu seseorang untuk bisa tidur.
g. Motivasi
Keinginan untuk tetap terjaga sering kali
berpengaruh terhadap tidur seseorang. Sebagai contoh
adalah saat dimana seseorang ingin tetap terjaga ketika
melihat pertunjukan musik maka orang tersebut akan
tetap terjaga meskipun dalam keadaan lelah.
2.1.7. Gangguan pola tidur
Gangguan tidur adalah suatu kondisi dimana
seseorang mengalami resiko perubahan jumlah dan
kualitas pola istirahat yang menyebabkan ketidaknyamanan
(Japardi, 2002).
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang
paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke
praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
26
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan
rendah maupun orang muda, serta yang paling sering
ditemukan pada usia lanjut (Japardi, 2002).
Pada orang normal, gangguan tidur yang
berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-
perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurun daya
tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah
tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri
sendiri atau orang lain. Menurut beberapa peneliti
gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali
lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan
pada orang yang tidurnya cukup (Japardi, 2002).
Hampir semua orang pernah mengalami gangguan
tidur selama masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun
20%-40% orang dewasa mengalami kesukaran tidur dan
17% diantaranya mengalami masalah serius (Japardi,
2002).
Dalam sumber lain disebutkan, jika gangguan tidur
tidak segera diatasi maka jangka waktu yang lama akan
berhubungan dengan penyakit-penyakit serius seperti
tekanan darah tinggi, serangan jantung, gangguan jantung,
stroke, kegemukan, dan luka akibat kecelakaan. Selain itu
27
gangguan tidur juga dapat berpengaruh terhadap masalah
kesehatan psikis seperti depresi, gangguan jiwa, kerusakan
mental, mempengaruhi pertumbuhan janin dan anak-anak,
serta terjadinya penurunan kualitas hidup. Menurut
penelitian Doghramji, penanganan yang tidak segera
dilakukan pada orang yang mengalami insomnia atau
gangguan tidur lainnya dapat menyebabkan kerusakan
fungsional tubuh sehingga memerlukan biaya perawatan
yang mahal. Dikatakan pula bahwa tidur yang berlebih
tanpa diiringi kualitas tidur yang baik juga dapat
berhubungan dengan meningkatnya angka kematian,
kesakitan, dan kecelakaan yang dapat mengancam jiwa
(Handayani, 2008).
Menurut data Internasional of Sleep Disorder,
prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah
sebagai berikut: Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat
pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),
psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%),
ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-
10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan
jadwal kerja (2- 5%), gangguan obstruksi sesak saluran
nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy
(mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Japardi, 2002).
28
Klasifikasi gangguan tidur menurut International
Classification of Sleep Disorders, adalah sebagai berikut :
1. Dissomnia
Dissomnia adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur
(failling as sleep), mengalami gangguan selama tidur
(difficulty in staying as sleep), bangun terlalu dini atau
kombinasi diantaranya (Japardi, 2002).
a. Gangguan tidur intrisik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma
kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi,
post traumatik kepala, tidur berlebihan (hipersomnia),
idiopatik (Japardi, 2002).
b. Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi
tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik
atau stimulan (Japardi, 2002).
c. Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma
fase terlambat tidur, sindroma fase tidur belum
waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur
selama 24 jam (Japardi, 2002).
29
2. Parasomnia
Parasomnia yaitu merupakan kelompok
heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode
yang berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau
pada waktu antara bangun dan tidur. Kasus ini sering
berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku
danaksi motorik potensial, sehingga sangat potensial
menimbulkan angka kesakitan dan kematian, Insidensi
ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun
(15%) dan mengalami perbaikan atau penurunan
insidensi pada usia dewasa (3%) (Japardi, 2002).
Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya
parasomnia yaitu (Japardi, 2002):
a. Peminum alkohol
b. Kurang tidur (sleep deprivation)
c. Stres psikososial
Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi
pada stadium transmisi antara bangun dan tidur.
Gambaran berupa aktivitas otot skeletal dan perubahan
sistem otonom. Gejala khasnya berupa penurunan
kesadaran (konfuosius), dan diikuti aurosal dan amnesia
episode tersebut. Seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4
(Japardi, 2002).
30
3. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan
kesehatan/psikiatri
a. Gangguan mental
Psikosis, ansietas, gangguan afektif, panik (nyeri
hebat), alkohol (Japardi, 2002).
b. Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple
sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala,
Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la
tourette sindroma (Japardi, 2002).
c. Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus,
sindroma fibrositis, refluks gastrointestinal, penyakit
paru kronik (PPOK) (Japardi, 2002).
2.2 Tuberculosis Paru
Menurut data international of sleep disorder di atas,
gangguan penyakit pusat pernafasan termasuk didalamnya
penyakit tuberkulosis memiliki prevalensi yang cukup tinggi
(40-50%) sebagai penyebab gangguan tidur. tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan
urutan atas atau mortalitas tinggi, angka kejadian penyakit
(morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Di
31
Indonesia, tuberkulosis masih menempati urutan kedua (7,5
persen) pola penyebab kematian semua umur setelah
stroke. Angka kematian tuberkulosis (death rate) secara
nasional, diperkirakan sebesar 68 per 100.000 penduduk
dan angka kematian kasus (case fatality rate) sebesar 24
persen. Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report
2009, pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat 5
dunia penderita tuberkulosis terbanyak setelah India, China,
Afrika Selatan dan Nigeria.
2.2.1. Pengertian Tuberculosis Paru
Menurut Departemen Kesehatan (2002),
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman TBC menyerang paru, tetapi juga mengenai
organ tubuh lainnya.
2.2.2. Etiologi
Tuberculosis paru disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm. Sebagian
besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid inilah
yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga
disebut bakteri tahan asam. Sifat lain kuman ini adalah
32
aerob yaitu kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan O2 nya. Dalam hal ini tekanan O2 pada bagian
apikal paru–paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga
bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis (Mansjoer, 2002). Mereka yang paling beresiko
tertular basil adalah mereka yang tinggal berdekatan
dengan orang yang terinfeksi aktif khususnya individu yang
sistem imunnya tidak adekuat.
2.2.3. Gejala Penyakit
Gejala penyakit tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala
umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ
yang terlibat, gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
1. Gejala umum tuberkulosis
Menurut Mansjoer (2002) adalah sebagai berikut:
a. Demam biasanya subfebril menyerupai demam
influenza, tapi kadang–kadang panas badan
mencapai 40 derajat celcius.
b. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk- produk
radang keluar, sifat batuk dimulai dari batuk kering
(non produktif) kemudian setelah muncul peradangan
33
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak nafas pada penyakit yang ringan (baru tumbuh)
belum dirasakan sesak nafas, sesak nafas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai
ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis
e. Maleise sering ditemukan anoreksia, tidak ada nafsu
makan, berat badan turun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat malam.
2. Gejala Khusus
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila
terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang
menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar
getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-
paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti
infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk
34
saluran dan bermuatan pada kulit diatasnya, pada
muaranya ini akan keluar cairan nanah.
2.2.4 Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi TB paru terdapat beberapa pegangan
yang prinsipnya hampir sama. Dalam Pedoman
Penanggulangan TB Nasional dijelaskan bahwa
klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil
pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan
sebelumnya (Dep Kes, 2006). Klasifikasi ini digunakan
untuk menetapkan strategi pengobatan dan
penanganan pemberantas TB, yaitu :
1. TB paru BTA positif adalah :
a. BTA positif mikroskopis positif 2
b. BTA positif mikroskopis positif biakan positif
c. BTA positif mikroskopis positif radiologis positif
d. Gambaran radiologis sesuai dengan TB paru
2. TB paru BTA negatif adalah :
a. Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai
dengan TB paru aktif
b. Bakteriologis ( sputum BTA ) negatif
c. Mikroskopis negatif , biakan, klinis dan radiologis
positif
35
3. Bekas TB paru yaitu :
a. Bakteriologis ( mikroskopis dan biakan ) negatif
b. Gejala klinis tidak adaatau ada gejala sisa akibat
kelainan paru yang ditinggalkan
c. Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB
inaktif, terlebih menunjukkan gambaran serial
foto toraks yang sama/tidak berubah
d. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, akan
lebih mendukung.
2.3 Hubungan Faktor Penyakit Pasien Tuberkulosis dengan
Pola Tidur Pasien Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi penyebab
kematian dengan urutan atas atau mortalitas tinggi, angka
kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup
lama. Di Indonesia, tuberkulosis masih menempati urutan
kedua (7,5 persen) pola penyebab kematian semua umur
setelah stroke.
Menurut data international of sleep disorder,
gangguan penyakit pusat pernafasan termasuk didalamnya
penyakit tuberkulosis memiliki prevalensi yang cukup tinggi (40-
50%) sebagai penyebab gangguan tidur (Alawiyah, 2009).
Temuan data international of sleep disorder didukung oleh
pendapat Doenges (2000), Mansjoer (2002), dan Kozier., Erb.,
Berman & Snyder (2003) bahwa bagi pasien tuberkulosis,
36
penyakit yang disertai terjadinya nyeri dada, batuk, sesak
nafas, nyeri otot, dan keringat malam mengakibatkan
tergantungnya kenyamanan tidur dan istirahat penderita.
Berpijak dari penjelasan tersebut di atas maka dapat
dikatakan jika penyakit tuberkulosis merupakan salah satu
faktor yang mengganggu pola tidur penderita sebagai akibat
terjadinya nyeri dada, batuk, sesak nafas, nyeri otot, keringat
malam, sakit kepala, dan demam tinggi.
2.4 Hubungan Faktor Lingkungan Ruang Rawat Inap Pasien
dengan Pola Tidur Pasien Tuberkulosis
Selain faktor penyakit, masalah faktor lingkungan
ruang rawat inap pasien juga mempengaruhi pola tidur pasien
tuberkulosis. Dijelaskan oleh Kozier., Erb., Berman. & Snyder
(2003), kondisi ruang rawat inap yang menyebabkan gangguan
pola tidur pasien tuberkulosis, antara lain: aktifitas yang
menimbulkan kegaduhan, lampu yang menyala terang,
temperatur udara yang panas karena kurangnya ventilasi,
terganggu oleh dengkuran pasien lain ataupun yang terpaksa
dibangunkan karena adanya prosedur tindakan tertentu.
Berpijak dari penjelasan tersebut di atas maka dapat
dikatakan jika faktor lingkungan ruang rawat inap merupakan
salah satu faktor yang mengganggu pola tidur penderita
sebagai akibat aktifitas yang menimbulkan kegaduhan, lampu
yang menyala terang, temperatur udara yang panas karena
kurangnya ventilasi, terganggu oleh dengkuran pasien lain
37
ataupun yang terpaksa dibangunkan karena adanya prosedur
tindakan tertentu.
2.5 Hubungan Faktor Stres dan Emosi Pasien dengan Pola
Tidur Pasien Tuberkulosis
Selain faktor penyakit dan lingkungan ruang rawat
inap pasien, faktor stres dan emosi juga ikut mempengaruhi
pola tidur pasien tuberkulosis. Dijelaskan oleh Doenges (2000),
perpindahan penderita TB dari lingkungan rumah yang
cenderung cukup tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana
banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya
(Doengoes, 2000) akan berakibat stres dan emosi pasien
meningkat. Selain itu Doengoes (2000) juga menjelaskan
bahwa adanya perasaan isolasi karena penyakit menular juga
menyebabkan stres dan emosi pada pasien. Kemudian
menurut Nodesul (2005), adanya proses pengobatan yang
lama pada pasien juga menjadi faktor pemicu stres dan emosi
pasien. Engram (2003) juga menjelaskan bahwa adanya
perasaan cemas sehubungan dengan adanya ancaman
kematian yang dibayangkan akibat ketidakmampuan untuk
bernafas juga salah satu hal yang memicu stress dan emosi
pasien. Tidak jauh berbeda Kozier., Erb., Berman. & Snyder
(2003) juga menyatakan bahwa banyak orang yang mondar-
mandir, berisik, mengalami perasaan isolasi karena penyakit
menular, adanya proses pengobatan yang lama, cemas tidak
dapat membayar biaya pengobatan, dan perasaan cemas
38
sehubungan dengan adanya ancaman kematian merupakan
pemicu stres dan emosi pada pasien.
2.6 Kerangka Teori
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dan
kuantitas tidur, seperti halnya : faktor penyakit, lingkungan,
kelelahan, stres emosi, obat-obatan, diet, dan motivasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat
digambarkan model kerangka teori sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber : Kozier., Erb., Berman. & Snyder (2003)
Penyakit
Lingkungan
Stres Emosi
Kelelahan
Diet
Motivasi
Pola Tidur
Obat-Obatan
Tuberkulosis (nyeri dada, batuk, sesak nafas, nyeri otot, dan keringat malam).
Kegaduhan, lampu terang, temperatur ruang, dengkuran pasien lain, terpaksa dibangunkan karena tindakan tertentu.
Banyak orang yang mondar-mandir, berisik, mengalami perasaan isolasi karena penyakit menular, adanya proses pengobatan yang lama, cemas tidak dapat membayar biaya pengobatan, dan perasaan cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian.
Kondisi badan capek
Diuretic, anti-depresan, beta bloker dan narkotika
Diet L-trptophan
Keinginan tetap terjaga
39
Keterangan :
: Faktor yang diteliti
: Faktor yang tidak diteliti
2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian pada tinjauan teori maka dapat
disusun kerangka konsep sebagai berikut
Variabel bebas Variabel Terikat
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
1. Variabel Independen (Xi) = Penyakit Tuberkulosis (X1),
Lingkungan Ruang Rawat Inap (X2), Stress dan Emosi (X3)
2. Variabel Dependen (Y) = Pola Tidur Pasien Rawat Inap
Tuberkulosis
2.8 Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara
terhadap pertanyaan penelitian dan harus diuji
Penyakit Tuberkulosis
(X1)
Pola Tidur Pasien Rawat Inap Tuberkulosis (Y)
Lingkungan Ruang Rawat
Inap (X2)
Stres dan Emosi Pasien
(X3)
40
kebenarannya lewat pengumpulan data-data dan
penganalisaan data penelitian (Azwar, 2003).
Berdasarkan definisi hipotesis tersebut di atas maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Terdapat hubungan penyakit tuberkulosis dengan pola tidur
pasien rawat inap tuberkulosis di Rumah Sakit Paru dr. Ario
Wirawan Salatiga.
2. Terdapat hubungan lingkungan ruang rawat inap pasien
dengan pola tidur pasien rawat inap tuberkulosis di Rumah
Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga
3. Terdapat hubungan stres dan emosi pasien dengan pola
tidur pasien rawat inap tuberkulosis di Rumah Sakit Paru dr.
Ario Wirawan Salatiga.