bab ii tinjauan pustaka 2.1 new media dan masyarakateprints.umm.ac.id/40914/3/bab ii.pdf · selama...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 New media dan masyarakat
New media merupakan media yang menggunakan internet, media online
berbasis teknologi, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif dan dapat berfungsi
secara privat maupun secara publik (Mondry, 2008:13). Definisi lain
mengemukakan, media baru merupakan digitalisasi yang mana sebuah konsep
pemahaman dari perkembangan zaman mengenai teknologi dan sains, dari semua
yang bersifat manual menjadi otomatis dan dari semua yang bersifat rumit
menjadi ringkas. Digital adalah sebuah metode yang complex dan fleksibel yang
membuatnya menjadi sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Digital juga
selalu berhubungan dengan media karena media ini adalah sesuatu yang terus
selalu berkembang dari media zaman dahulu (old media) sampai sekarang yang
sudah menggunakan digital (media baru/new media ). Selama tahun 2000, internet
telah memasuki fase yang disebut web 2.0. (web two point-oh), dimana semua
menjadi lebih interaktif dan telah menjadi area untuk semua orang, tidak hanya
milik beberapa pihak saja. Semua orang saat ini dapat langsung mengambil peran
dan menaruh apapun kedalam internet.
Memperbincangkan media baru, terdapat dua periode pada masa
perkembangannya. Menurut David Holmes dalam bukunya: “Communication
Theory: Media, Technology and Society” (2012) terdapat dua periode, yaitu: First
Media Age dan Second Media Age. Kedua istilah tersebut digunakan untuk
9
menyebut periode media yang berbeda dimana First Media Age berkaitan dengan
era broadcast (media massa), sedangkan Second Media Age berkaitan dengan
media lebih baru yang mengandalkan interaktivitas berbasis internet.
First Media Age (broadcast) dianggap memiliki kekurangan dalam proses
interaksi khalaknya. Media terpusat kepada seorang komunikator yang
menyampaikan pesan kepada banyak komunikan. Sehingga komunikasi yang
dihasilkan menjadi satu arah dan timbal balik tidak dapat tersampaikan secara
langsung. Tersentralnya alur komunikasi tersebut mendorong negara untuk terus
mengawasi dan mengontrol setiap proses komunikasi yang terjadi. Audien dalam
masa pertama ini dianggap terkotak – terkotakan dipandang sebagai suatu massa
yang dapat dipengaruhi tingkat kesadarannya.
Sedangkan, Second Media Age (interactivity) menurut holmes bukunya:
“Communication Theory: Media, Technology and Society”. Informasi tidak
tersebar secara terpusat namun setiap individu atau kelompok saling bertukar
informasi (banyak berbicara kepada banyak/many to many). Sehingga,
komunikasi yang terjalin menjadi dua arah dan tingkat interaksi menjadi sangat
tinggi dalam pertukaran informasi. Kebebasan dalam menyampaikan informasi
tersebut tidak dipungkiri bahwa setiap proses interaksi menghindari pengawasan
dari negara. Kemudahan berkomunikasi ini juga dianggap memfasilitasi pengguna
media untuk menyampaikan segala aspirasi dan meningkatkan nilai demokrasi
dalam suatu negara. Pengguna media dipandang tetap bisa mempertahankan
individualitas mereka dan pengalaman individu terpengaruh mengenai ruang dan
waktu.
10
Perkembangan teknologi media baru memberikan kemudahan kepada para
pengguna dalam mengoperasikan perangkat-perangkat komunikasi. Dari semula
yang analog dengan operasional yang rumit, kini teknologi digital memungkinkan
dikuasai bahkan oleh mereka yang awam sekalipun. Realitas ini memberikan
konsekuensi pada pergeseran kebiasaan dalam menerima, mengolah, dan
membagikan informasi. Siapapun kini dapat berbagi informasi tanpa harus
memiliki kualifikasi tertentu atau bernaung dalam lembaga media tertentu.
Kemudahan teknologi digital menjadikan individu dapat berperan sebagai
penyampai berita (agen) dan mengaburkan definisi audien.
Proses pengolahan informasi pada media sebelumnya banyak bergantung
pada perangkat analog yang relatif rumit dan membutuhkan skill tertentu untuk
mengoperasikannya. Untuk mendapatkan informasi melalui wawancara saja
dibutuhkan serangkaian proses konversi data yang tidak bisa dibilang sederhana,
tetapi dengan perkembangan teknologi digital, kegiatan news gathering seperti
merekam audio, video dan foto, hingga distribusinya bisa dilakukan melalui
handset yang praktis. Seiring dengan perkembangan tersebut, kebutuhan khalayak
media juga ikut berubah. Jika dahulu, khalayak menerima saja apa yang disajikan
oleh media. Kini khalayak mununtut yang lebih di butuhkan oleh dirinya.
Sekarang jika sebuah media tidak mampu memenuhi kebutuhan khalayak akan
informasi maka dia akan meninggalkan media tersebut. Aktualitas informasi saat
ini menjadi salah satu kebutuhan khalayak. Orang sudah tidak mau lagi diberi
informasi basi karena sekarang segalanya serba cepat tersaji. Aneka informasi
yang terjadi di mana pun selalu ingin cepat diketahui. Itu sebabnya internet
11
menjadi media alternative karena mampu menyajikan aneka berita yang terus
menerus di-update dari waktu ke waktu.
2.2 Media massa dan industri budaya
Dalam perkembangan masyarakat saat ini, media massa dipandang sebagai
produsen kebudayaan massa. Kemampuan media massa untuk melipatgandakan
pesan sehingga mampu menyebarluaskan simbol-simbol budaya masyarakat
industri yang kemudian me-massa. Dalam setting budaya massa aspek utama
adalah pada faktor hiburan bukan kedalaman makna apalagi kedalaman filosofi
yang dikembangkan dalam suatu tayangan. Hiburan telah menjadi semacam
ideologi utama bagi industri media massa. Ini berarti segala sesuatu yang akan
dijadikan acara atau program media massa akhirnya harus dikemas sebagai
hiburan. Demikian pula dengan para pemirsa atau pembaca media massa memiliki
predisposisi untuk menikmati hiburan. Sehingga tolak ukur penilaian bagus
tidaknya suatu tayangan atau program ditentukan seberapa besar kandungan
hiburannya.
Fenomena seperti itu tidak lepas dari ideologi media massa yang concern
terhadap setiap fenomena sebagai sebuah produk yang harus dikemas, dipelihara
sebagai sebuah komoditas yang siap disajikan kepada khalayak. Dengan konsep
setiap fenomena merupakan komoditaslah yang menjadikan fenomena apapun
akan makin menancapkan kukunya karena media massa baik cetak maupun
elektronik kemudian mem-blow up berbagai komentar dari berbagai kalangan
masyarakat baik yang keberatan maupun yang mendukung terhadap fenomena
yang berkembang. Fun, fashion, dan fast food adalah fenomena sebuah kehadiran
12
ketika produk-produk budaya lahir yang dari mobilitas media. Hiburan, gaya
pakaian, mode pakaian serta makanan cepat saja adalah fakta dari sebuah
kehadiran dan wajah budaya pop yang dibesarkan oleh ideologi media. Dalam
pandangan budaya massa publik adalah objek yang dihadapkan pada dua pilihan
membeli atau tidak membeli.
Industri budaya membawa semua keunggulan produksi kapitalis.
Produduknya distandarkan, dikosongkan dari manfaat estetika dan bisa diproduksi
secara massal, dan mereka bisa dikonsumsi dalam skala sejauh mereka bisa
diproduksi. Menurut Adorno dan Horkheimer (dalam Holmes, 2012:51)
masifikasi budaya memiliki konsekuensi dalam implikiasi mendalam bagi
penerimaan soal estetika. Seni dihargai bukan karena kemampuan khususnya
untuk mengkomunikasikan kebenaran atau keindahan tetapi untuk pemasarannya.
Tetapi, tidak hanya perubahan genre konten media yang menjadi distandarkan,
namun munculnya konten baru dalam media yang muncul untuk mengejek massa
yang seharunya media wakili, misalnya tontonan yang bercirikan olok-olok atau
konsep mengenai isu-isu sosial serius seperti AIDS, bantuan untuk Dunia ketiga
atau masalah lingkungan hidup akan menerima perhatian biasa-biasa saja kecuali
jika dipromosikan oleh selebriti musik atau film. Menurut Holmes (2012: 53)
industri budaya tidak hanya menghasilkan konten terstandarisasi, namun juga
menghasilkan audiens itu sendiri dengan cara lingkaran manipulasi dan retroaktif
yang diperlukan di mana kesatuan sistem (produksi dan konsumsi pemaknaan)
tumbuh lebih kuat. Sehingga berdasarkan formulasi tersebut menekankan fakta
bahwa broadcast menghasilkan konten untuk audiens, pada saat yang sama media
memproduksi audiens untuk konten tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
13
massa dibentuk oleh broadcast, seperti halnya tubuh tanpa bentuk yang dikenakan
suatu konten.
2.3 Media sebagai Aparat Ideologi
Jean Baudrillard dan Guys Debord (dalam Holmes, 2012: 58) berpendapat
bahwa media itu sendiri, dalam bentuk sign (tanda-tanda), telah menjadi terikat
secara intrinsik dengan pola pertukaran atas komuditas media. Menurut Marx dan
Engels (dalam Holmes, 2012:59) media sebagai apparat ideologi berasaskan ide-
ide tentang kelas berkuasa dalam setiap zaman adalah ide-ide yang menguasai,
yaitu kelas yang menguasai kekuatanmaterial dalam masyarakat dan pada saat
yang sama kekuatan intelektual yang berkuasa. Kelas yang memiliki alat-alat
produksi material pada penuntasannya memiliki kontrol pada saat yang sama atas
alat-alat produksi mental. Dengan demikian, secara umum ide-ide dari pihak yang
tidak memiliki alat-alat produksi akan tunduk pada mereka.
Berdasarkan kajian Marx dan Engels diatas dapat dipahami bahwa
ideologi yang disediakan dalam media adalah salah satu di mana ide-ide dari suatu
kelompok, yakni kelompok yang berkuasa sehingga ide-ide tersebut
digeneralisasikan keseluruh masyarakat. Namun pada masa sekarang pemikiran
tersebut tidak akan berjalan dengan lancar, fakta bahwa suatu kelas mungkin
memonopoli sarana produksi mental dan material tidak menjamin ia dapat begitu
saja memaksakan ide-idenya, sehingga ide-ide tersebut harus dinegosiasikan
sedemikian rupa hingga aturan mereka bisa diterima.
Menurut Gramsci (dalam Holmes, 2012:60) kelas-kelas dominan tidak
hanya menyampaikan ideologi untuk konsumsi kelas-pekerja, melainkan mereka
14
harus terus berupaya membatasi batas-batas pembuatan pemaknaan untuk
mengecualikan definisi atas realitas sosial yang bertentangan dengan pemikiran
mereka, pemikiran hegemoni merupakan urusan menang dan kalah bukan hanya
di media, namun juga dalam lembaga-lembaga masyarakat sipil. Althusser (dalam
Holmes, 2012: 61) menganalisis ulang pemikiran Gramsci diatas dan
mengembangkan hubungan sangat kuat antara ideologi dan kekuasaan negara.
Althusser berpendapat bahwa ideologi dan apa yang ia sebut apparat negara
ideologis, telah menjadi lebih penting pada abad dua puluh daripada aparatur
negara represif dan koersif abad ke-19. Perubahan ini bisa disebabkan pada
tambahan penting yang Althusser buat pada aparatur negara, yakni apparat
broadcast.
2.4 Media global dan konteks sosial
Dalam beberapa dekade terakhir, manusia melakukan percobaan-
percobaan yang mengembangkan teknologi komunikasi hingga sukses memasuki
era dunia motion picture. Menurut Nurudin (2013: 59) pada permulaan abad ke-20
masyarakat Barat melakukan percobaan untuk mengembangkan teknik
komunikasi yang paling luas. Sepanjang masa pertama decade abad ke-20 motion
picture menjadi media hiburan keluarga. Kemudian pada tahun 1920-an dengan
pengembangan radio rumah tangga dan pada tahun 1940-an dengan dimulainya
televisi rumah tangga. Pada masa kini komunikasi massa berkembang lebih pesat
lagi dengan munculnya internet sebagai bagian dari media massa. Internet dapat
mengatasi permasalah perbedaan ruang dan waktu dalam penyebaran informasi di
dunia ini.
15
Percepatan fenomena komunikasi diatas tentunya membawa dampak pada
pola komunikasi massa, sehingga pada masa sekarang komunikasi massa global
merupakan hal yang nyata. Komunikasi massa bersifat global menjadi sesuatu
yang tak terbantahkan dan tidak bisa dipisahkan dengan fenomena atau gejala
globalisasi. Dengan kemudahan dalam berkomunikasi tersebut tentunya pembuat
pesan media mampu memanfaatkannya untuk menyampaikan informasi tertentu
mungkin saja sebuah propaganda terhadap audiens secara cepat.
Dengan pembahasan media global tentunya berkaitan dengan gagasan
McLuhan tentang media adalah pesan (Holmes, 2012: 82), ada istilah yang lazim
digunakan McLuhan yakni Global Village atau desa global. Penggunaan istilah
desa global ini mengacu pada bentuk baru bagi organisasi sosial dunia yang
membentuk suatu sistem sosial, politik dan sistem budaya yang besar. McLuhan
berfokus pada isu-isu mikroskopik seperti dampak media terhadap indera manusia
dan pengaruh seperti apa yang akan muncul dari media terhadap masyarakat.
Media global juga berkaitan bagaimana media dipandang dalam sudut pandang
globalisasi yang mana konten maupun media itu sendiri mampu tersebar
keseluruh dunia. Dalam konteks ini globalisasi lebih ditekankan dalam aspek
universalisasi dan westernisasi yang memiliki arti mengenai penggambaran
tersebaran hal material maupun nonmaterial ke seluruh dunia. Disisi lain
pengertian ini diasumsikan dengan semakin menyebarnya pemikiran dan budaya
dari barat sehingga mengglobal.
Dalam perspektif cultural imperialism theory oleh Schiller
(dalam Nurudin, 2013:175) media massa negara barat mendominasi media di
seluruh dunia. Hal tersebut berarti, media massa barat mendominasi media massa
16
di dunia ketiga. Tujuan dalam mendominasi media tersebut untuk mempengaruhi
media massa dunia ketiga sehingga media barat mengesankan budaya barat dan
pada akhirnya budaya barat akan ditiru oleh masyarakat dunia ketiga melalui
media. Kebudayaan barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di
dunia, seperti film, berita, komik, foto, dan lain-lain. Sebagai contohnya budaya
"Hollywood" dan momok budaya dominasi AS tetap menjadi perhatian utama di
banyak negara. Dampak yang diterima oleh orang-orang dunia ketiga ketika
melihat melihat media massa dinegaranya akan menikmati sajian yang berasal
dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran.
Menurut Nurudin (2013:176) ketika menonton film Independence Day,
audiens akan belajar mengenai bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau
perjuangan Rakyat Amerika dalam menggapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup
masyarakatnya, kepercayaan dan pemikiran orang Amerika dalam film tersebut.
Kemudian dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang
sudah banyak di isi dengan kebudayaan barat tersebut. Saaat itulah terjadi
penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan
dengan budaya barat.
Dominasi barat ini oleh Gramsci (dalam Holmes, 2012: 60) kemudian
diartikan dengan bagaimana suatu kelompok dominan dapat memainkan
pengaruhnya yang tanpa sadar kelompok subordinat mengikuti struktur yang
ditawarkan oleh kelompok dominan. Konsep yang oleh Gramsci dikenal dengan
Hegemoni. Dalam kajian ini hegemoni tidak saja melibatkan hegemoni sosial saja,
melainkan juga melibatkan hegemoni budaya melalui pengalaman yang
diciptakan atas dasar membentuk suatu masyarakat untuk menemukan makna dan
17
tujuan bersama termasuk bahasa. Media massa cenderung mengukuhkan ideologi
dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melalui hegemoni. Melalui
media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya
massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus
menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak
yang dikuasainya. Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi
juga mempengaruhi nilai nilai budaya dan membuat streotype mengenai gender,
ras, dan etnik. Gramsci menyoroti hubungan media massa, kelompok dominan,
dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik.
Perubahan ekonomi politik global, gagasan bahwa perusahaan media
perusahaan hanyalah penyetor budaya AS sebagai sistem media yang menjadi
semakin terkonsentrasi, komersial, dan global. Media global raksasa adalah
perusahaan multinasional klasik, dengan pemegang saham, kantor pusat, dan
operasi yang tersebar di seluruh dunia. Sistem media global lebih baik dipahami
sebagai salah satu bahwa kemajuan korporasi dan kepentingan komersial dan
nilai-nilai dan mencemarkan nama orang baik atau mengabaikan hal yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam misinya. Tidak ada perbedaan dalam konten
perusahaan, apakah mereka dimiliki oleh pemegang saham di Jepang atau
Perancis atau memiliki kantor pusat perusahaan di New York, Jerman, atau
Sydney seperti halnya VOA dan CNN. Dalam pengertian ini, perpecahan dasar
bukan antara negara-bangsa, tetapi antara kaya dan miskin, di seberang perbatasan
nasional.
18
2.5 Propaganda
Pada awal mula istilah propaganda baru muncul pada abad 17 yang
dicetuskan oleh Gereja Katolik Roma dalam penyebaran agama Nasrani. Pada
waktu itu Paus membentuk Majelis Suci untuk Propaganda Agama (The Sacra
Congregatio de Propaganda Fide) yang bertugas menjelajahi daerah dan
memasuki pelosok untuk berkhotbah memuji keagungan Tuhan. Selama Perang
Dunia ke III propaganda memegang peran penting dalam perang dingin.
Propaganda mampu mengacaukan keadaan, sehingga negara – negara saling
berperang dan seakan – akan terpisah menjadi dua blok yang saling bertentangan.
Pada perang tersebut propaganda juga memegang peranan penting dalam
mengadu domba (Djoenasih dan Sunarjo, 1982:4).
Menurut Barnays (dalam Nurudin, 2008:10) propaganda modern sebagai
suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau
membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap
suatu usaha atau kelompok. Sedangkan menurut Ralp D. Casey, propaganda
adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dan sadar untuk memantapkan
suatu sikap atau merupakan suatu pendapat yang berkaitan dengan suatu doktrin
atau program dan di pihak lain, merupakan usaha yang sadar dari lembaga –
lembaga komunikasi untuk menyebarkan fakta dalam semangat objektivitas dan
kejujuran. Menurut Harold D. Laswell (dalam Djoenasih dan Sunarjo, 1982:26)
berdasarkan karya klasiknya “Propaganda Technique in The World War”
menjelaskan propaganda merujuk pada kontrol opini dengan simbol-simbol
penting, berbicara secara lebih kongret dan kurang akuat melalui cerita, rumor,
berita, gambar atau bentuk-bentuk komunikasi sosial lainnya.
19
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
propaganda dalam arti yang paling luas adalah teknik mempengaruhi tindakan
manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berupa
lisan, tulisan, gambar atau musik. Dalam pelaksanannya propaganda memiliki 3
sifat yaitu dilakukan oleh individu, kelompok, dan negara, kemudian dilakukan
secara langsung dengan atau tanpa media sehingga dapat mengubah perasaan,
pemikiran dan tindakan masyarakat lain.
2.5.1 Media Propaganda
Media merupakan salah satu elemen penting komunikasi dalam proses
penyebaran pesan. Media mampu mempengaruhi suatu pesan bisa efektif
atau tidak dan tersebar luas atau tidak. Kesalahan memilih media tentu
mengakibatkan pesan yang disampaikan kurang mengena. Berdasarkan hal
tersebut, propaganda mampu tersebar dengan mudah apabila menggunakan
media yang tepat sebagai sarana pendukung. Tujuan umum dan strategi
propaganda sangat sempurna apabila digunakan melalui media yang benar.
Disisi lain media memiliki banyak produk, sehingga dapat mendukung
penyebaran propaganda dalam tubuh media itu sendiri.
Dalam Nurudin (2008:35) media massa dalam konteks media
propaganda merupakan media elektronik dan media cetak. Salah satu
keunggulan media massa memiliki jangkauan yang luas. Media massa
melingkupi media dalam ruang seperti televisi, internet maupun radio juga
media luar luang seperti baliho, spanduk dan sebagainya. Dan juga media
20
non kontemporer pun mempunyai andil yang besar dan berpengaruh untuk
propaganda saat ini.
Dalam sejarahnya, media massa berperan secara efektif dalam
propaganda. Menurut Djoenasih dan Sunarjo (1982: 8) pada masa Napoleon
Bonaparte media massa dianggap sangat berpengaruh terhadap opini publik.
Sehingga media massa harus dipilih selektif oleh pemerintah agar tidak
menimbulkan propaganda yang merugikan pemerintah. Sehingga pada masa
tersebut propaganda digunakan untuk tujuan politik. Dalam penjelasan
media propaganda Nurudin (2008:35) mencontohkan Jerman di bawah
pemerintahan Hitler melakukan propaganda melalui media massa. Hitler
menggunakan Koran Der Stuemmer pada mei 1934 untuk menyebarkan
ilustrasi kartun darah orang – orang Jerman yang tidak bersalah berada di
piring orang – orang yahudi. Kartun itu ditunjukkan Nazi bahwa orang
Yahudi menghabiskan sumber hidup orang Jerman. Propaganda ini
bertujuan meningkatkan nilai kebencian terhadap orang Yahudi.
Amerika dalam sejarahnya juga pernah melakukan propaganda
terhadap Irak sebagaimana dalam Nurudin (2008:80). Pada tahun 1991
Amerika mencurigai Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Kemudian
pada tahun 2002 Amerika melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
melakukan inpeksi tentang senjata pemusnah massal. Namun senjata
pemusnah massal tersebut tidak di temukan di Irak. Walaupun tidak
ditemukan senjata tersebut Amerika tetap menyerang Irak. Dalam kasus
perang Irak melawan AS-Inggris ini, berita-berita sekitar kecurigaan AS
21
terhadap Irak yang menyimpan senjata pemusnah massal dan angkuhnya AS
dalam menggulingkan Saddam Hussein merupakan contoh kongkret dimana
media berperan penting dalam menyampaikan ideologi khusus dan merubah
padangan audiens.
Media baru sebagai produk dari perkembangan teknologi infomasi dan
komunikasi merupakan sebuah teknologi yang cukup dikenal oleh
masyarakat. Masyarakat lebih bebas dalam memilih dan memilah informasi
bahkan mampu saling berbagi informasi. Media baru dianggap sebagai
media yang interaktif yang mana alur komunikasi tidak hanya satu arah
namun dapat dua arah dan umpan balik dapat secara langsung diterima oleh
pengguna. Namun pemanfaatan media baru pada masa kini tidak dapat
dikontrol dengan baik. Sehingga beberapa media digunakan sebagai alat
propaganda guna mempengaruhi persepsi seseorang akan suatu hal.
Dalam masa damai ini, propaganda yang dijalankan memiliki pola
lebih halus. Seperti hal-nya pemerintah negara-negara besar lazim
mendirikan perpustakaan, menyelenggarakan seminar, diskusi, acara
budaya, membuat film maupun permainan digital yang pada dasarnya
berfungsi mempengaruhi publik luar negeri mendukung negara besar
tersebut. Hampir setiap negara juga menyelenggarakan stasiun radio
gelombang pendek untuk menjalankan propaganda internasional mereka.
Namun, seperti terlihat dalam kasus AS, „peperangan informasi‟ itu tak
hanya dijalankan sepenuhnya oleh organ-organ pemerintah, namun juga
didukung oleh inisiatif-inisiatif non-pemerintah, serta melalui media massa
22
swasta yang baik secara terencana atau tidak terencana mendukung
kebijakan pemerintah tersebut. Zaman propaganda dalam sejarah masa
Hitler, jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada sekarang, telah banyak
berubah. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan saat ini juga masih
terdapat propaganda yang seperti dilakkukan Hitler pada saat itu.
Diantaranya: Propaganda Amerika Serikat terhadap Irak dan Palestina dalam
setiap pemberitaan media maupun informasi yang terdapat dalam produk
media baru masa kini.
2.5.2 Video game dalam media propaganda
Menurut Putra (2013) permainan adalah sebuah aktivias rekreasi
dengan tujuan bersenang – senang, mengisi waktu luang, atau berolahraga
ringan, permainan merupakan sebuah langkah kreatif dari aktifitas rekreasi
yang dilakukan dengan memasukan nilai- nilai pembelajaran. Permainan
merupakan simulasi yang dapat mengungkap kepribadian, memediasi anak
memotivasi serta menumbukan jiwa sosial dalam diri anak. Sebuah
permainan dapat dilakukan dengan media ataupun tanpa media. Media
yang bisa digunakan dalam sebuah permainan adalah mainan (baik
tradisional maupun modern), alat peraga, binatang, ataupun benda-benda
yang berada di sekitar lingkungan. Permainan juga dapat dilakukan sendiri
ataupun berkelompok. Permainan berkelompok lebih ditujukan untuk
menumbuhkan jiwa sosial pada anak. Dalam permainan, terdapat tingkat
kesulitan serta tahapan tahapan tersendiri. Biasanya permainan dimulai
dari tingkatan yang paling midah kemudian meningkan ke jenjang tingkat
kesulitan yang semakin tinggi secara bertahap.
23
Perkembangan teknologi yang begitu pesat mendorong tumbuhnya
industri permainan. Perkembangan video game menjadi sebuah fenomena
yang terus hidup dari tahun ke tahun. Menurut Roger Fidler (dalam Bucy,
2002:24) pada tahun 1972 dengan permainan bola dan dayung yang
disebut “Odyssey dan Pong” mampu memikat hati remaja dan dewasa
muda. Tingkat peminatan yang tinggi tersebut mampu mendorong
terciptanya berbagai aliran baru dalam dunia video game. Salah satu aliran
yang cukup terkenal pada masa itu adalah aliran video game arcade,
seperti Pac-Man dan Space Invaders. Dalam sepuluh tahun terakhir masa
itu, orang – orang Amerika menghabiskan lebih banyak uang untuk sistem
video game rumahan dan video game arcade daripada menghabiskan
untuk film dan musik dengan total lebih dari 11 milyar dolar.
Unsur terpenting dalam video game bukan saja masalah teknis
berkaitan dengan audio visual yang bagus, namun juga unsur penceritaan
dan konsep permainan. Unsur penceritaan tentunya tidak jauh berbeda
dengan apa yang ada dalam film. Sebagaimana film menyampaikan drama
tiga babak, yaitu : pengenalan karakter, konflik dan penyeselaian. Tiga
ritme penceritaan tersebut sering kali terjadi dalam video game dengan
genre tertentu yang memiliki cerita Panjang yang terbagi kedalam
beberapa chapter atau satu kesatuan scene. Sebagaimana konten cerita film
seringkali dijadikan sebagai media propaganda.
Amerika sebagai salah satu Negara yang sengaja atau tidak
melakukan propaganda melalui film – filmnya. Menurut Nurudin
(2008:36) propaganda dalam film – film buatan Amerika sering kali
24
mengangkat tema kepahlawanan tentara Amerika. Film Rambo merupakan
salah satu film popular buatan Amerika yang mempropagandakan
kepahlawan tentara Amerika dalam perang Vietnam. Adapun contoh film
antara lain Coming Home (Hal Ashby, 1978) The Deer Hunter (Michael
Comino, 1978), Rambo First Blood Part II (George F. Cosmatus, 1985),
Platon (Oliver Stome, 1986), Full Metal Jacket (Stanley Kubrick, 1987),
dan Apocalypse Now (Francis Ford Capollo, 19779).
Dengan berkembangnya video game tidak hanya sebuah permainan
langsung namun dibekali dengan unsur cerita yang komplek mampu
memperkuat peminatan dan penyampaikan informasi secara efektif.
Perkembangan tersebut lantas banyak digunakan untuk menyampaikan
propaganda. Sering kali video game bergenre peperangan buatan Amerika
Serikat digunakan sebagai media propaganda. Seperti halnya video game
Call Of Duty, menurut situs www.callofduty.com video game tersebut
menggunakan latar perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang
dingin, perang timur tengah, dan perang di vietnam.
Dalam pembuatan konsep dan konten video game harus sesuai
dengan klasifikasi (umur, genre dan konten) yang telah di sepakati.
Sehingga klasifikasi tidak hanya sekedar sebuah logo dan batasan
penggunaan game, namun sebagai acuan dari sebuah video game. Pada
awal mula video game dibuat sebagai hiburan semata, namun beberapa
video game dibuat untuk tujuan lain dari kelompok kepentingan tertentu.
Developer game memasukkan unsur petualangan, seksual, pendidikan
hingga propaganda yang bertujuan untuk memperdayai pemain agar
25
mengikuti budaya, gaya dan doktrin tertentu. Sebagaimana konten cerita
film sebagai media propaganda dibuat seperti yang telah dituliskan diatas.
Gambar 2.1 : Terdapat tulisan Abbasia (Kekhalifahan Islam) pada
plat penunjuk jalan yang dilewati oleh tentara Amerika dengan
background peperangan dalam game Call of Duty (sumber:
http://hostilecontact.com/call-of-duty-4-modern-warfare)
Gambar 2.2 : Potongan gambar dalam video game Homefront yang
memperlihatkan aksi pembunuhan dengan latar poster Kim Jong Il
(pemimpin Korea Utara).
26
2.5.3 Teknik propaganda
Pendapat Paul Kecskemeti pada buku Propaganda dalam Hand
book of Communication (1973 : 844) Dalam jaman modern propaganda
digunakan dalam hal-hal yang sekuler (duniawi), dari kenyataan ini dapat
dikatakan bahwa propaganda digunakan dalam hal-hal yang berbeda.
Perbedaan yang dapat dilihat antara lain dalam kehidupan ekonomi
(komersial) dan kehidupan politik serta beberapa sektor lainnya yang tidak
kurang pentingnya dalam masyarakat.
Fakta inilah yang mendasari pula bahwa propaganda membutuhkan
sebuah teknik yang tepat. Jika diamati secara lebih dalam, ada beberapa
teknik yang bisa digunakan dalam melancarkan propaganda. Efektif
tidaknya dan pilihan mana yang digunakan sangat bergantung pada
kondisi komunikan, kemampuan komunikator (propagandis) dan
lingkungan sosial politik dan budaya masyarakatnya. Menurut Nurudin
(2008:29-34) ada 9 jenis teknik propaganda yang dapat digunakan
sehingga pesan propaganda dapat tersampaikan dengan baik. Adapun 9
teknik tersebut yaitu :
1. Name calling
Name Calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide
atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan
menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksinya/memeriksanya terlebih
dahulu. Salah satu ciri yang melekat pada teknik ini adalah propagandis
menggunakan sebutan-sebutan yang buruk pada lawan yang dituju. Ini
27
dimaksudkan untuk menjatuhkan atau menurunkan derajat seseorang
atau sekelompok tertentu. Sebutan, “jahanam”, “biang kerok”,
“provokator”, ” Partai Komunis Indonesia (PKI)” “Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK)” menjadi ciri khas yang melekat pada teknik ini.
Teknik ini sering digunakan dalam propaganda tisan.
2. Glittering generalities
Glittering Generalities adalah mengasosiasikan sesuatu dengan
suatu “kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan
menyetujui hal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu.Teknik
propaganda ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan
mengidentifikasi dirinya dengan segala apa yang serba luhur dan
agung. Dengan kata lain propagandis berusaha menyanjung dirinya
mewakili sesuatu yang luhur dan agung. Ungkapan kata-kata “demi
keadilan dan kebenaran” menjadi salah satu ciri teknik propaganda ini.
Sekedar contoh adalah, “Demi keadilan dan kebenaran, maka
demokrasi harus ditegakkan dalam semua bentuknya” yang pernah
sangat marak ketika era reformasi tiba dan banyak diteriakkan oleh
mahasiswa.
Teknik ini dimunculkan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat
agar mereka ikut serta mendukung gagasan propagandis. Hanya
kelemahannya, kadang sang propagandis sangat menonjolkan dirinya
dengan sebutan agung dan luhur serta menganggap dirinyalah yang
paling benar sedangkan orang lain salah. San-jungan ini mempunyai
28
kelemahan jika propagandis termasuk orang yang tak mau kompromi
dan mempunyai tujuan terselubung pada setiap tindakannya.
Akibatnya, bisa jadi menimbulkan klaim kebenaran sepihak.
3. Transfer
Transfer meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang
lebih dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat “sesuatu” lebih
bisa diterima. Teknik propaganda transfer bisa digunakan dengan
memakai pengaruh seseorang atau tokoh yang paling dikagumi dan
berwibawa dalam lingkungan tertentu. Propagandis dalam‟hal ini
mempunyai maksud agar komunikan terpengaruh secara psikologis
terhadap apa yang sedang dipropagandakan. Transfer juga bisa
digunakan dengan menggunakan cara simbolik, Seorang calon
presiden yang kurang terkenal dari Chicago bernama Lar Daley biasa
berkampanye menggunakan pakaian khas “Paman Sam”. Presiden
Richard Nixon sendiri biasa menggunakan sebuah bendera Amerika
pada bagian depan leher baju pada saat kampanye pula.
4. Testimonials
Testimonials berisi perkataan manusia yang dihormati atau
dibenci bahwa ide atau program/produk adalah baik atau buruk. Propa-
ganda ini sering digunakan dalam kegiatan komersial, meskipun juga
bisa digunakan untuk kegiatan politik. Dalam teknik ini digunakan
nama seseorang terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise
sosial tinggi di dalam menyodorkan dan meyakinkan sesuatu hal
29
dengan jalan menyatakan bahwa hal tersebut didukung oleh orang-
orang terkemuka tadi.
5. Plain folk
Plain folk Adalah propaganda dengan menggunakan cara
memberi identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentikkan
yang dipropagandakan milik atau mengabdi pada komunikan.
Misalnya dengan kata-kata milik rakyat atau dari rakyat. Richard
Nixon menggunakannya secara halus dan cerdik selama menjadi
presiden, terutama dalam melawan tuduhan Watergate. Selama
melakukan perjalanan ke Houston, dia minum kopi di sebuah counter
makanan ringan di dalam toko obat dan ngobrol dengan pelayan.
Potret dari pemandangan itu dipublikasikan ke semua penjuru dunia.
Cara yang dilakukan Nixon ini (basa basi politik) seolah menunjukkan
bahwa ia adalah milik rakyat, bagian dari mereka dan akan berada di
depan dalam memperjuangkan kepentingan mereka pula.
6. Card stacking
Card Stacking meliputi seleksi dan kegunaan fakta atau
kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk
akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau
terbaik untuk suatu gagasan, program, manusia dan barang.Teknik
propaganda yang hanya menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja,
sehingga publik hanya melihat satu sisi saja.
30
7. Bandwagon technique
Teknik ini dilakukan dengan menggembar-gemborkan sukses
yang dicapai oleh seseorang, suatu lembaga atau suatu organisasi.
Dalam bidang ekonomi, teknik propaganda ini digunakan untuk
menarik minat pembeli akan suatu produk tertentu yang laku keras di
pasaran. Sebuah perusahaan minuman ringan dengan semboyan “Inilah
Generasi Pepsi”, memberi kesan bahwa seluruh generasi meminum
produk itu.
8. Reputable mounthpiece
Teknik yang dilakukan dengan mengemukakan sesuatu yang
tidak sesuai kenyataan. Teknik ini biasanya digunakan oleh seorang
yang menyanjung pemimpin, akan tetapi tidak tulus. Bung Karno
pernah diangkat sebagai waliyul amri dan panglima besar revolusi.
Teknik ini dilakukan karena ada ambisi seseorang atau sekelompok
orang yang ingin aman di lingkaran kekuasaan. Atau bisa jadi teknik
ini untuk memerosokkan pemimpim dengan mengemukakan yang
baik-baik saja sehingga, sang pemimpin jadi lupa diri. Ini
dimungkinkan sebab dengan cara lain tidak bisa dilakukan. Maka jalan
memuji yang pada prinsipnya ingin menjatuhkan pun dilakukan.
9. Using all forms of persuations
Teknik yang digunakan untuk membujuk orang lain dengan
rayuan, himbauan dan “iming-iming”. Teknik propaganda ini sering
digunakan dalam kampanye Pemilu. Di Indonesia untuk mendapatkan
31
simpati masyarakat, ada sebuah partai politik yang menjanjikan pada
masyarakat untuk mengenyam pendidikan gratis jika partainya
menang. Ada pula, partai politik yang menjanjikan akan mengaspal
suatu jalan jika warga di daerah tersebut memenangkan partai tertentu.
2.6 Semiotika Media
Semiotika merupakan suatu ilmu yang mengkaji mengenai tanda dan
segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata “semiotika” sendiri berasal dari
bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir
tanda”. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda.
Semiotika secara sistematik menjelaskan esensi, ciri – ciri, bentuk suatu tanda,
serta proses pembentukan dan pembacaan yang menyertainya (Alex Sobur,
2004:16).
Semiotika menurut Fiske (dalam Freddy, 2005:27) adalah studi mengenai
pertandaan atau tanda itu sendiri, makna dari sistem tanda dan kebudayaan tempat
kode dan tanda bekerja. Bagaimana makna dibangun dalam “teks” media atau
bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi
makna. Penggunaan kode – kode dan tanda – tanda untuk keberadaan dan
bentuknya sendiri.
Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media
dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat
tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah
membawa makna tunggal. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi
dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks
32
media membawa kepentingan – kepentingan tertentu juga kesalahan – kesalahan
tertentu yang lebih kompleks (Sobur, 2009:95).
Menurut Kris Budiman (dalam Freddy, 2005:26) Semiotika pada dasarnya
dapat dibedakan kedalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni
sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mengkaji hubungan formal di antara suatu tanda dengan tanda – tanda
yang lain, dengan perkataan lain, karena hubungan – hubungan formal
ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan
interpretasi.
2. Semantik, yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designate atau
objek-objek yang diacunya”. Menurut Morris yang dimaksudkan
dengan „designata‟ adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di
dalam tuturan tertentu.
3. Pragmatik, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
“hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter atau para
pemakainya”. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek
komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatara
tuturan.
Aliran semiotik dipelopori oleh dua tokoh, yaitu Ferdinand de Sausure dan
Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam
memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan
33
semiotika. Ferdinand de Sausure sebagai salah satu pengembang bidang ini di
Eropa menggunakan istilah „semiologi‟ sedangkan Charles Sanders Pierce
mengembangkan bidang ini di Amerika dengan istilah „semiotika‟.
Istilah semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang
tanda, (Alex Sobur, 2013: 12). Namun, ada kecenderungan istilah semiotika lebih
popular dibandingkan istilah semiologi, sehingga istilah semiotik lebih sering
digunakan dalam bidang ini. Dalam pandangan Sausure, semiotik dibagi menjadi
dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat
sebagai bentuk fisik dapat dikenal melalui wujud suatu karya, sedangkan petanda
dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dana tau nilai-nilai
yang terkandung di dalam suatu karya. Hubungan antara penanda dan petanda
berdasarkan konversi yang disebut signifikasi. Signifikasi yaitu system tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Menurut Saussure,”signifier dan signified merupakan kesatuan,
tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas” (Sobur, 2013:46).
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Menurut
Littlejohn (dalam Sobur,2013) tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai
dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
bersama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya
mempelajari tentang kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal (things).
Memaknai berarti tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek
itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
34
tanda. Tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning)
ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda.
2.6.1 Aplikasi Semiotika Komunikasi
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas.
Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika menurut Sobur (2013:110-
149) di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain
komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari
mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah
ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan
pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya
media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang
melatari pemberitaan media.
2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda
dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal
(bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan
dalam iklan). Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain (Berger) : penanda dan petanda; Gambar,
indeks dan simbol; fenomena sosiologi; sifat daya tarik yang dibuat
untuk menjual produk; desain dari iklan dan publikasi yang
35
ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis
berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu : pertama pesan
Linguistik yang merupakan semua kata dan kalimat dalam iklan,
kedua pesan yang terkodekan yang merupakan konotasi yang
muncul dalam foto iklan dan ketiga pesan ikonik yang tak
terkodekan meruapakan denotasi dalam foto iklan.
3. Tanda Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata
– kata dan bahasa. Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara
yaitu : Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian
diketahui manusia melalui pengalamannya. Tanda yang
ditimbulkan oleh binatang dan tanda yang ditimbulkan oleh
manusia, bersifat verbal dan nonverbal. Namun tidak keseluruhan
tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini
dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda
bagi setiap budaya yang lain. Dalam hal pengaplikasian semiotika
pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah
pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan
benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera
manusia.
36
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada
tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna
yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat
nonverbal. Dalam meneliti tanda nonverbal menentukan model
semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian
merupakan suatu hal yang penting. Tujuan digunakannya model
tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan
atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi
analisis struktural atau semiotika. Van Zoest film dibangun dengan
tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis,
yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang
dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda.
Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film
menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni,
mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
Menurut Sardar & Loon (dalam Sobur, 2013:130) film dan
televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata
bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk –
bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan
37
yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran semiotika
sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole
des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris.
Menurutnya, penanda (signifier) sinematografis memiliki
hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak
jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk.
Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak
pernah semena.
5. Komik Kartun Karikatur
Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar,
atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.
Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan
ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak
selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan
moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa
teks. Sedangkan kartun adalah sebuah gambar lelucon yang
muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa
membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun
mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan
humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum
sendirian.
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah
seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya
38
dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan
mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai
karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus
situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat
kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Pada
perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk
menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya
dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik bahkan tidak
jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.
Tommy Christomy (dalam Sobur, 2013:135) berpendapat
bahwa secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam
kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang
dibentuk oleh kombinasi tanda. Untuk menganalisis kartun atau
komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus
agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi
tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.
Menurut Setiawan (dalam Sobur, 2013:136) komik-kartun
penuh dengan perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji
sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan
menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang
menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di
maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus
menghindari pembiasan tafsiran.
39
6. Sastra
Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya
secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai
suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat
kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan
mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna
semiotika.
Aminudin Wawasan dalam Sobur (2013:142) berpendapat
bahwa semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi. Karya
sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan
pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca. Karya
sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda yang
memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Karya sastra
merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan
dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Menurut Junus Pradopo (dalam Sobur, 2013:144) penelitian
sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan
lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat
dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan
struktur tanda – tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan
sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya
sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.
Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan
40
semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari,
yaitu berupa tanda – tanda yang menunjukkan hubungan sebab-
akibat. Preminger Studi semiotika sastra adalah usaha untuk
menganalisis sistem tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus
menentukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna.
7. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik,
adanya tanda – tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam
partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat
memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah
sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada
sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya
dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa
semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.
Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin
lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam
ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang
dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa,
agama, dan falsafah.
2.6.2 Semiotika Rolland Barthes
Roland Barthes sebagai penerus dari Saussure dalam bidang
semiotik menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal
41
dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diaharapkan oleh penggunanya. Barthes (dalam
Sobur, 2013:65) berpendapat bahwa terdapat lima jenis kode yaitu : kode
hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode
simbolik, kode proarektik (logika tindakan), dan kode genomik atau
kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan
pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul
dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam
narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan sudut
pandang. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks.
Berdasarkan konotasi-konatasi dalam teks tersebut akan membentuk suatu
tema di dalam cerita. Sehingga jika konotasi melekat pada suatu nama
tertentu. Pembaca kode akan mampu mengenali suatu tokoh dengan
atribut tertentu.
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling
khas bersifat struktural. Hal ini berdasarkan pada gagasan bahwa makna
berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan dalam taraf bunyi
menjadi suatu fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf
oposisi psikoseksual. Tema merupakan sesuatu yang tidak stabil, dan tema
ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan
42
sudut pandang (perspektif) yang digunakan. Kode simbolik juga berkaitan
dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur,
skizofrenia.
Kode proairetik atau kode narasi. Merupakan tindakan naratif dasar
(basic narative action), yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam
berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula
sebagai suara empirik. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe
pengetahuan (fisika, fisiologi, sejarah, dan sebagainya). Kemudian, dicoba
untuk mengkonstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu
kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut
pula sebagai suara ilmu. Dan yang terakhir kode gnomik atau kultural,
kode ini merupakan acuan teks benda-benda yang sudah diketahui dan
dikodefikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi
oleh acuan kea pa yang telah di ketahui.
Gagasan Barthes sering dikenal dengan “order of signification”
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Disinilah
titik perbedaan Saussure dan Barthes, meskipun Barthes tetap
menggunakan istilah „signifier dan signified’ yang diusung oleh Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada
tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda, penanda dan
petanda, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian
43
memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna denotasi kemudian berkembang menjadi
makna konotasi, maka makna konotasi tersebut akan menjadi mitos.
2.7 Penelitian terdahulu
Propaganda Amerika pada video game Call Of Duty (Analisis Semiotik
didalam video game Call Of Duty : Modern Warfare Episode I), disusun oleh
Rizky Agung Windiarto bertujuan untuk mengungkapkan sisi propaganda dalam
sebuah game FPS yang sangat banyak memiliki cerita peperangan antara militer
Amerika beserta sekutunya Inggris dalam melaman negara Arab. Secara garis
besar penelitian tersebut menganalisa bentuk-bentuk propaganda Amerika atas
negara Arab dan orang-orang Rusia, melalui tanda dan simbol-simbol. Penelitian
terdahulu menyimpulkan bahwa dalam game Amerika digambarkan sebagai
negara yang memiliki kekuatan militer luar biasa dan mampu berkerja sama
dengan pasukan sekutu walaupun jumlah pasukan dan tekanan lawan sangat kuat.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian terdahulu adalah sama-
sama meneliti tentang propaganda Amerika pada game FPS, penelitian ini
menganggap bahwa dalam sebuah game saat ini tidak hanya terdapat kesenangan
saja, namun juga terdapat pesan-pesan propaganda dari Amerika yang berpotensi
membuat pemain game menjadi pro-Amerika tanpa melihat kenyataan. Penelitian
ini menggangap bahwa militer Amerika Serikat memiliki kekuatan besar dalam
mengkontrol perdamaian di dunia. Selain itu penelitian ini juga menggunakan
model analisis semiotik Roland Barthes dengan konsep denotasi dan konotasi
untuk tahapan analisisnya.