bab ii landasan teori subjektif. perasaan nyeri pada
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Nyeri
1. Definisi nyeri.
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat
subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala maupun tingkatannya,
dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya (Tetty, 2015).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan potensial, yang menyakitkan tubuh
serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami
cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus
reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk, 2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan
tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya. Nyeri
dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentifikasi.
Meskipun ada sensasi nyeri yang ddihubungkan dengan status mental atau status
psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya
membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulus fisik dan
mental atau stimuli emosional (Potter dan Perry, 2005).
Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit untuk didefinisikan.
Nyeri merupakan pengalaman personal dan subjektif, dan tidak ada dua individu yang
merasakan nyeri dalam pola yang identik. Nyeri dapat didefinisikan dengan berbagai cara.
Nyeri biasanya dikaitkan dengan beberapa jenis kerusakan jaringan, yang merupakan tanda
peringatan, namun pengalaman nyeri lebih dari satu. International Association for the
Study of Pain (IASP) memberikan definisi medis nyeri yang sudah diterima sebagai
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan, actual ataupun potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan yang
sama.
Margo McCaffery, salah seorang penggagas dalam keperawatan nyeri,
mendefinisikan nyeri sebagai segala sesuatu yang dikatakan oleh individu tersebut
mengatakan ada. Definisi ini membuat masing-masing individu adalah ahli dari nyeri yang
mereka alami sendiri. Oleh karena nyeri merupakan hal yang subjektif, satu-satunya
individu yang dapat dengan akurat mendefinisikan nyeri mereka sendiri adalah mereka
yang mengalami nyeri tersebut. Terlepas dari subjektifnya, perawat memiliki tanggung
jawab untuk mengkaji secara akurat dan menolong meredakan atau menurunkan nyeri,
serta definisi McCaffery membantu perawat mencapai tujuan tersebut. Semua nyeri adalah
nyata walaupun penyebabnya belum bias dipastikan. Perawat tidak boleh berasumsi dalam
memutuskan apakah nyeri tersebut ada atau tidak.
Beberapa nyeri menjelasakan respons terhadap nyeri dan berbagai pengalaman
individu terhadap nyeri. Makna atau persepsi nyeri dapat dimodifikasi melalui pengalaman
masa lalu, motivasi, perhatian, saran, kepribadian, dan budaya. Teori spesifitas dan pola
menjelasakn impuls saraf berbagai intensitas diakhiri dipusat nyeri di otak depan. Teori ini
memberikan penjelasan mengenai dasar neurofisiologis nyeri. Selanjutnya, pada tahun
1965, Melzack dan Wall mengeluarkan teori control gerbang (gate control theory) (Helms
& Barone, 2012 dalam Bunner & Suddarth, 2014). Menurut teori ini, aktivasi diameter
besar, serat pemicu yang lebih cepat oleh stimulus taktil (misal memijat siku setelah
memukul benda tajam) mengaktivasi mekanisme gerbang yang kemudian menghambat
impuls dari serat nyeri yang lebih kecil (Porth & Matfin, 2010 dalam Bunner & Suddarth,
2014).
Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan bahwa control dan medulasi nyeri jauh
lebih kompleks dibandingkan penjelasan mengenai teori kontrol gerbang, yang berperan
sebagai dasar untuk riset lebih lanjut tentang informasi sistem Taktil pemodulasi nyeri yang
saat ini diketahui ditransmisikan melalui serat berdiameter besar dan kecil, dan interaksi
diantara neuron sensori yang diketahui terjadi pada berbagai tingkat sistem saraf pusat.
Melzack mengembangkan teori nyeri neuromatriks secara berurutan untuk
mengintegrasikan faktor budaya dan genetik dengan fungsi neoruofisiologis dasar. Teori
ini sesuai, tetapi lebih kompleks disbanding teori kontrol gerbang. Berdaarkan teori
neuromatriks, otak berisi neuromatriks dari tubuh, yang mendistribusikan jaringan neuron
secara luas yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan pengalaman sensori. Neuromatriks
mengintegrasikan berbagai sumber input selain stimulus nyeri dan sentuhan. Pengalaman
nyeri bagi individu dipengaruhi oleh input dari system sensori lain yang membantu
mengintepretasikan stimulus (misal melihat luka); faktor-faktor seperti perhatian, harapan,
kepribadian, dan budaya; system modulasi nyeri utama; dan komponen system regulasi
stress (Porth & Matfin, 2010 dalam Bunner & Suddarth, 2014). Mekanisme ini diyakini
ada pada level medulla spinalis yang terdiri dari beberapa bagian, komponen medulla
spinalis pada teori gerbang control. Transmisi nyeri oleh serat berdiameter kecil dihambat
ketika serat berdiameter besar membawa impuls sentuhan yang mendominasi, menutup
gerbang dalam kornu dorsalis pada medua spinalis.
Salah satu teori nyeri yang signifikan dalam istilah klinis menjelaskan efek
sensabilitas system saraf pusat dan perifer terhadap stimulus nyeri. Berdasarkan teori ini,
tanda penyebab nyeri membuat rangkaian perubahan pada system saraf yang meningkatkan
responsivitas neuron perifer dan sentral. Perubahan tersebut pada akhirnya meningkatkan
respon terhadap tanda nyeri selanjutnya dan menguatkan rasa nyeri. Studi tentang prosedur
penimbul nyeri yang dilakukan pada bayi menunjukkan bahwa mereka yang mendapatkan
analgesia mengalami penurunan sensitivitas terhadap kejadian penimbul nyeri yang akan
dating, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan analgesia mengalami sensitivitas yang
lebih besar (Taddio & Katz, 2015 dalam Joyce M Black, 2014). Sensabilitas terjadi akibat
serangan nosiseptif dan inflamasi sehingga mengakibatkan cedera atau membutuhkan
tindakan insisi. Pada orang dewasa, teori ini menunjukkan nilai pencegahan sensabilitas
dan penanganan nyeri yang dirasakan dengan berbagai terapi modalitas nyeri. Anestesi
local dan regional digunakan dengan dikombinasikan bersama anestesi sentral sebelum
tindakan insisi untuk mengurangi sensabilitas alur ini sebagai akibat dari oenurunan
konsumsi morfin intravena yang sangat banyak dengan menggunakan PCA dalam 5 hari
setelah pembedahan (Hartrick, 2000 dalam Joyce M Black, 2014).
2. Klasifikasi nyeri.
Dalam buku ajar fundamental keperawatan konsep, proses dan praktik.
1) Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi.
a. Nyeri akut (nyeri nosiseptif).
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi
bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat.
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpa
pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali.
Pada penelitian ini termasuk nyeri akut karena nyeri pemasangan infus adalah
nyeri yang berdurasi singkat atau kurang dari enam bulan.
b. Nyeri kronik (nyeri neuropatik).
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermitan yang menetap sepanjang
suatu periode waktu, nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang
bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.
2) Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi.
a. Supervicial atau kutaneus.
Nyeri supervicial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari
nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai
sensasi yang tajam. Contohnya seperti tertusuk jarum suntik dan luka potong
kecil atau laserasi.
b. Visceral dalam.
Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulus organ-organ internal.
Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar ke beberapa arah. Nyeri ini
menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-
gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan
sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.
c. Nyeri alih (referred pain).
Nyeri alih merupakan venomena umum dalam nyeri visceral karena banyak
organ yang tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di
bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristk. Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang
menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan
nyeri ke selangkangan.
d. Radiasi.
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke
bagian tubuh yang lain. Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian
tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung bagian
bawah akibat diskusi interavertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi
sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.
3) Factor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman terhadap nyeri. Seorang perawat harus memperhatikan hal-hal tersebut
dalam menghadapi pasien yang nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri
yang akurat dalam memilih terapi nyeri.
a. Usia.
Usia merupakan hal yang terpenting dalam mempengaruhi nyeri pada individu.
Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur
yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri, sedang pada lansia untuk
menginterpretasi nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan
berbagai penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai tubuh
yang sama (Potter & Perry, 2006).
b. Jenis kelamin.
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon
terhadap nyeri, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia
tanpa memperhatikan jenis kelamin (Nugroho, 2010).
c. Kebudayaan.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan diterima oleh kebudayaan
mereka, hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry,
2006).
d. Makna nyeri.
Dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu yang akan
mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda.
e. Perhatian.
Perhatian yang meningkat dikaitkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
f. Ansietas.
Seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas, pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan
ansietas, sulit untuk memisahkan dua sensasi.
g. Keletihan.
Rasa lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping.
h. Pengalaman.
Klien yang tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat
mengganggu koping terhadap nyeri.
i. Gaya koping.
Klien yang memiliki focus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai
individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu
peristiwa, seperti nyeri (Potter & Perry 2006).
j. Dukungan sosial dan keluarga.
Klien dari kelompok sosio-budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda
tentang orang, tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri,
klien yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Apabila
tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien
semakin tertekan (Potter & Perry 2006).
3. Nyeri pemasangan infus.
a. Transduksi.
Merupakan proses dimana suatu stimulus nyeri (noxious stimuli) dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimulus ini dapat berupa
stimulus fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri). Terjadi perubahan
patofisiologis karena mediator-mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar
daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses
sensitivisasi perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena
pengaruh mediator tersebut dan penurunan Ph jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul
karena rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan
(Bunner & Suddarth, 2014).
b. Transmisi.
Merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati
korda dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson
berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca
sinaps melewati neurotransmitter (Bunner & Suddarth, 2014).
c. Persepsi.
Adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga
mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa
tanggapan terhadap nyeri tersebut (Bunner & Suddarth, 2014).
d. Modulasi.
Adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada
sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini
dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan) (Bunner &
Suddarth, 2014).
4. Pengkajian nyeri.
1. Subyektif (self report).
a. NRS (Numeric Rating Scale).
Merupakan alat penunjuk laporan nyeri untuk mengidentifikasi tingkat nyeri
yang sedang terjadi dan menentukan tujuan untuk fungsi kenyamanan bagi klien
dengan kemampuan kognitif yang mampu berkomunikasi atau melaporkan
informasi tentang nyeri (Kuntono, 2011).
Gambar 2.1 Numeric Rating Scale (NRS)
b. Faces Analog Scale.
Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri, terdiri dari enam wajah
kartun yang diurutkan dari seorang yang tersenyum (tidak ada rasa sakit),
meningkat wajah yang kurang bahagia hingga ke wajah yang sedih, wajah penuh
air mata (rasa sakit yang paling buruk) (Kuntono, 2011).
Gambar 2.2 Faces Analog Scale
c. Deskriptif / VRS (Verbal Rating Scale).
Pasien dapat diminta untuk membuat tingkat nyeri pada skala verbal (misal:
tidak nyeri, sediit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau 0 sampai 10; 0 =
tidak ada nyeri, 10 = nyeri sangat hebat), nomor yang menerangkan tingkat nyeri
yang dipilih oleh pasien akan mewakilkan tingkat intensitas nyerinya (Kuntono,
2011).
Gambar 2.3 Verbal Rating Scale (VRS)
Keterangan:
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tetapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang
dan distraksi).
10 : Nyeri sangat berat (klien tidak dapat lagi berkomunikasi, memukul).
d. Visual analog scale (VAS).
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual
Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasanya
10cm, dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti
angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri
ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7 – 10 = nyeri berat (Kuntono, 2011).
Gambar 2.4 Visual Analog Scale (VAS)
2. Obyektif.
Pada pasien yang tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya, yang perlu
diperhatikan adalah perubahan perilaku pasien. CPOT (Critical Care Pain
Observation Tool) dan BPS (Behavioral Pain Scale) merupakan instrument yang
dapat digunakan untuk menilai adanya perubahan perilaku tersebut.
a. Behavioral pain scale (BPS).
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang
menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. BPS terdiri
dari tiga penilaian yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians
dengan mesin ventilator. Setiap sub skala di skoring dari 1 (tidak ada respon)
hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12
(nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai
nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain) (Kuntono, 2011).
Tabel 2.1 The Behavioral Pain Scale (BPS)
b. Critical care pain observation tool (CPOT)
CPOT dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi antara lain: mengalami
penurunan kesadaran dengan GCS >4, tidak mengalami brain injury, memiliki
fungsi motoric yang baik. CPOT terdiri dari empat domain yaitu ekspresi wajah,
pergerakan, tonus otot dan toleransi terhadap ventilator atau vokalisasi 9 pada
pasien yang tidak menggunakan ventilator). Penilaian CPOT menggunakan skor
0-8, dengan total skor ≥ 2 menunjukkan adanya nyeri (Kuntono, 2011).
Tabel 2.2 Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)
Indikator Kondisi Skor Keterangan
Rileks 0Tidak ada
ketegangan otot
Ekspresiwajah
Kaku 1Mengerutkan
kening
Meringis 2Menggigitselang ETT
GerakanTidak adagerakan
0 Tidak bergerak
5. Manajemen Nyeri.
Tujuan dari penatalaksanaan nyeri adalah menurunkan nyeri sampai tingkat yang dapat
ditoleransi. Upaya farmakologis dan non-farmakologis diseleksi berdasarkan pada
kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila
dilakukan sebelum nyeri menjadi parah dan jika diterapkan secara simultan (Kuntono,
2011).
a. Intervensi farmakologis.
Menurut Kuntono (2011), dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter atau pemberi
perawatan utama lainnya dan pasien. Sebelum memberikan obat apa saja, pasien
ditanyai mengenai alergi sebelumnya. Pereda nyeri farmakologis dibagi menjadi tiga
yaitu golongan opioid, nin opioid dan anestetik. Anestesi local yang bekerja dengan
memblok konduksi saraf, dapat diberikan langsung ke tempat yang cadera, atau
langsung ke serabut saraf melalui suntikan atau pada saat pembedahan. Golongan
opioid (narkotika) dapat diberikan melalui berbagai rute, yang karenanya efek
samping pemberian harus dipertimbangkan dan diantisipasi, diantaranya adalah
depresi pernafasan, sedasi, mual dan muntah, konstipasi, pruritus dan peningkatan
risiko toksik pada penderita hepar atau ginjal. Jenis opioid diantaranya adalah morfin,
kodein, meperidine. Sedang golongan non-opioid diantaranya adalah obat-obatan
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang menurunkan nyeri dengan menghambat
produksi prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi. Jenis
NSAID diantaranya adalah ibuprofen.
b. Intervensi non-farmakologis.
Saat nyeri hebat berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari,
mengkombinasikan teknik non-farmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang
efektif untuk menghilangkan nyeri. Beberapa teknik non farmakologis yang dapat
dilakukan untuk mengatasi nyeri adalah massage kutaneus, terapi es dan panas,
stimulasai saraf elektris transkutan, distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing
dan hypnosis.
Stimulasi kutaneus dan massage bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang
menstransmisikan sensasi tidak nyeri, memblok atau menurunkan transmisi impuls
nyeri. Massage dapat membuat pasien lebihnyaman karena massage membuat
relaksasi otot.
Terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri dalam bidang
reseptor yang sama seperti pada cedera, terapi es dapat menurunkan prostaglandin
dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan
nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Terapi panas dan es harus digunakan
dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh
baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi
kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS menurunkan nyeri
dengan stimulasi reseptor tidak nyeri dalam area yang sama seperti pada serabut yang
menstransmisikan nyeri.
Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri merupakan
mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif. Distraksi menurunkan
persepi dengan menstimulasi system control desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak, keefektifan distraksi tergantung
kemampuan pasien untuk menremia dan membangkitkan input sensori selain nyeri,
distraksi berkisar dari hanya pencegahan monoton hingga menggunakan aktifitas
fisik dan mental seperti misalnya kunjungan keluarga dan teman, menonton film,
melakukan permainan catur.
Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang
menunjang nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen
dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas
dengan perlahan dan nyaman, irama yang konstan dapat dipertahankan dengan
menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekhalasi. Pada saat
mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras
bersama pasien pada awalnya.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Imajinasi
terbimbing untuk meredakan nyeri dan relaksasi dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan.
Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa dengan
setiap napas yang diekhalasi secara lambat, ketegangan otot dan ketidaknyamanan
dikeluarkan, menyebabkan tubuh rileks dan nyaman. Setiap kali napas dihembuskan,
pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan
membawa pergi nyeri dan ketegangan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi
terbimbing dapat berfungsi hanya pada beberapa orang.
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri dan menurunkan jumlah analgesic yang
dibutuhan pada nyeri akut dan kronis, mekasisme kerja hipnosis tampak diperantarai
oleh sistem endorphin, keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik
individu, bagaimanapun pada beberapa kasus teknik ini tidak akan bekerja.
Relaksasi genggam jari menghasilkan impuls yang dikirim melalui serabut saraf
aferon non noniseptor sebagai counter stimulasi dari rasa nyeri dikorteks serebri,
menyebabkan intensitas nyeri berubah atau mengalami modulasi akibat stimulasi
relaksasi genggam jari yang terlebih dahulu dan lebih banyak mencapai otak.
6. Lokasi Pemasangan Infus.
Menurut Perry dan Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan
pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia
subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intaravena. Daerah tempat
infus yang memungkinkan adalah permukaan punggung tangan (Vena supervisial
dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena
sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan
dorsal (Vena safena magna, ramus dorsalis).
Pada penelitian ini lokasi yang digunakan untuk pemasangan infus adalah pada
permukaan punggung tangan.
2.2 Relaksasi Genggam Jari
1. Definisi relaksasi genggam jari.
Teknik relaksasi genggam jari membantu tubuh, pikiran dan jiwa untuk mencapai
relaksasi. Dalam keadaan relaksasi secara alamiah akan memicu pengeluaran horomon
indorfin. Hormone ini merupakan analgesic alami dari tubuh sehingga nyeri akan
berkurang (Sofiyah, Ma’rifah, Susanti, 2014).
Relaksasi genggam jari menghasilkan impuls yang dikirim melalui serabut saraf aferon
non-nosiseptor. Serabut saraf non-nosiseptor mengakibatkan “gerbang” tertutup sehingga
stimulus pada kortek serebri dihambat atau dikurangi akibat counter stimulasi relaksasi
dan menggenggam jari. Sehingga intensitas nyeri akan berubah atau mengalami modulasi
akibat stimulasi relaksasi genggam jari yang lebih dahulu dan lebih banyak mencapai otak
(Pinandita, 2012).
Relaksasi genggam jari dapat mengendalikan dan mengembalikan emosi yang akan
membuat tubuh menjadi rileks. Adanya stimulasi pada luka bedah menyebabkan
keluarnya mediator nyeri yang akan menstimulasi transmisi impuls disepanjang serabut
aferon noniseptor ke substansi gelatinosa (pintu gerbang) di medula spinalis untuk
selanjutnya melewati thalamus kemudian disampaikan ke kortek serebri dan
diinterpretasikan sebagai nyeri (Pinandita, 2012).
Relaksasi genggam jari adalah sebuah teknik relaksasi yang sangat sederhana dan mudah
dilakukan oleh siapapun yang berhubungan dengan jari tangan serta aliran energy didalam
tubuh kita. Di sepanjang jari-jari tangan kita terdapat saluran atau meridian energy yang
terhubung dengan berbagai organ dan emosi. Titik-titik reflek pada tangan memberikan
rangsangan secara reflek (spontan) pada saat genggaman.
Rangsangan tersebut akan mengalirkan semacam gelombang kejut atau listrik menuju
otak. Gelombang tersebut diterima otak dan diproses dengan cepat diteruskan menuju
saraf pada organ tubuh yang emngalami gangguan, sehingga sumbatan dijalur energy
menjadi lancar (Puwahang, 2011).
Teknik menggenggam jari bagian dari teknik Jin Shin Jyutsu. Jin Shin Jyutsu adalah
akupresur Jepang. Bentuk seni yang menggunakan sentuhan sederhana tangan dan
pernafasan untuk menyeimbangkan energy di dalam tubuh. Tangan (jari dan telapak
tangan) adalah alat abntuan sederhana dan ampuh untuk menyelaraskan dan membawa
tubuh menjadi seimbang. Setiap jari tangan berhubungan dengan sikap sehari-hari, ibu
jari berhubungan dengan perasaan khawatir, jari telunjuk berhubungan dengan ketakutan,
jari tengah berhubungan dengan kemarahan, jari manis berhubungan dengan kesedihan,
dan jari kelingking berhubungan dengan rendah diri dan kecil hati (Hill, 2011).
2. Tujuan relaksasi genggam jari.
Terapi teknik relaksasi genggam jari sebagai pendamping terapi farmakologi yang
bertujuan untuk mengurangi nyeri pada saat pemasangan infus. Dilakukan saat nyeri tidak
dirasakan pasien. Terapi relaksasi bukan sebagai pengganti obat-obatan tetapi diperlukan
untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung beberapa menit atau detik.
Kombinasi teknik ini dengan obat-obatan yang dilakukan secara simultan merupakan cara
efektif untuk menghilangkan nyeri, tujuannya untuk mengurangi nyeri, takut dan cemas.
Dapat juga mengurangi perasaan panik, khawatir dan terancam. Relaksasi genggam jari
juga dapat menenangkan pikiran dan mengontrol emosi, juga melancarkan aliran darah
(Smeitzer, 2003).
3. Teknik relaksasi genggam jari.
Teknik ini dilakukan pada klien saat pemasangan infus, klien dalam keadaan sadar saat
dilakukan tindakan. Lakukan pengkajian relaksasi genggam jari dan tunjukkan gambar
skala nyeri terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Langkah prosedurnya adalah
sebagai berikut:
- Jelaskan tindakan dan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan pada klien serta
menanyakan ketersediaannya.
- Posisikan klien dengan berbaring lurus di tempat tidur, minta klien untuk mengatur
nafas dan merilekskan semua otot.
- Perawat mengidentifikasi lengan atau lokasi daerah pemasangan infus.
- Peneliti berada disamping klien, relaksasi dimulai dengan mengajarkan dan
menganjurkan menggenggam jari klien selama kurang lebih 3-5 menit dengan
bernapas secara teratur, kemudian perawat melakukan pemasangan infus.
- Setelah selesai pemasangan infus peneliti melakukan pengukuran nyeri dengan
skala nyeri Verbal Rating Scale.
4. Mekanisme relaksasi genggam jari dalam menurunkan nyeri.
Jenis relaksasi ini sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang
berhubunagn dengan jari tangan serta aliran energy di dalam tubuh kita. Apabila individu
mempersiapkan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon
relaksasi (Potter & Perry, 2005).
Mekanisme relaksasi genggam jari dijelaskan melalui teori gate-control yang menyatakan
bahwa stimulasi kutaneous mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang
lebih besar dan cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-
A yang berdiameter lebih kecil. Proses ini terjadi dalam kornu dorsalis medulla spinalis
yang dianggap sebagai tempat memproses nyeri. Sel-sel inhibitori dalam kornu dorsalis
medulla spinalis mengandung enkefalin yang menghambat transmisi nyeri, gerbang
sinaps menutup transmisis impuls nyeri sehingga bila tidak ada informasi nyeri yang
disampaikan melalui saraf asenden menuju otak, maka tidak ada nyeri yang dirasakan
(Pinandita, 2012).
Gambar 2.5 Finger Hold Relaxation