bab ii landasan teori ii.1 keuangan daerah ii.1.1 …thesis.binus.ac.id/doc/bab2/2010-1-00972-ak bab...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Keuangan Daerah
II.1.1 Pengertian Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah (pasal 1 butir 5 PP No.58 Tahun 2005).
Dalam pengertian keuangan daerah yang dikutip oleh Basuki (2008) dari
PP No. 58 Tahun 2005 tersebut, Keuangan daerah melingkupi :
1. Hak daerah untuk melakukan pemungutan terhadap pajak daerah dan
retribusi daerah serta melakukan pinjaman.
2. Kewajiban daerah untuk mengadakan urusan pemerintahan daerah dan
membayar tagihan kepada pihak ketiga.
3. Penerimaan daerah.
4. Pengeluaran daerah.
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dan atau
kepentingan umum. (h. 14)
Pengertian dan ruang lingkup keuangan daerah mempunyai arti yang
cukup penting mengingat istilah dan pengertian keuangan daerah ini terdapat di
8
berbagai peraturan perundang-undangan yang kadang-kadang menjadi bahan
perdebatan apakah suatu keadaan atau permasalahan termasuk lingkup keuangan
daerah atau tidak.
II.1.2 Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah
Menurut Basuki (2008), “Organisasi keuangan daerah terdiri dari :
1. Pemegang kekuasaan pengelola keuangan yakni kepala daerah selaku kepala
Pemerintah Daerah
2. Koordinator pengelolaan keuangan daerah, dijabat oleh Sekretaris Daerah.
3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dijabat oleh Kepala Badan Pengelolaan
Keuangan (asset) daerah atau biro atau bagian keuangan PPKD ini juga
melaksanakan fungsi sebagai bendahara umum.
4. Pejabat pengguna anggaran atau pengguna barang daerah, dijabat oleh kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada setiap SKPD terdapat :
a. Kuasa penggunaan anggaran.
b. Pejabat pelaksana teknis kegiatan SKPD.
c. Pejabat penatausahaan keuangan SKPD.
d. Bendahara pengeluaran.
e. Bendahara penerimaan SKPD yang juga mengelola anggaran pendapatan
daerah.” (h. 26)
9
II.1.3 Tugas dan Wewenang
Menurut Basuki (2008), “Tugas dan wewenang pengelolaan keuangan daerah
adalah :
1. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, dengan wewenang sebagai
berikut :
a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD.
b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah.
c. Menetapkan kuasa pengguna anggaran atau barang.
d. Menetapkan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
2. Koordinator pengelolaan keuangan daerah
Koordinator pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi
sebagai berikut:
a. Koordinasi dibidang penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
APBD dan pengelolaan barang daerah
b. Penyusunan rancangan APBD dan perubahan APBD.
c. Perubahan APBD.
d. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
3. Pejabat pengelola keuangan daerah
PPKD mempunyai tugas :
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah.
10
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.
c. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggung
jawaban pelaksanaan APBD.
d. Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang daerah
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang daerah mempunyai tugas
sebagai berikut :
a. Menyusun rencana kerja anggaran SKPD
b. Menyusun dokumen pelaksanaan
c. Mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD
yang dipimpinnya.
d. Pengadaan barang milik daerah
Pengadaan barang pada umumnya dapat dipenuhi dengan cara :
a. Menggunakan penyedia barang/jasa (diborongkan pada rekanan)
b. Membuat sendiri (swakelola)
c. Penerimaan (hibah atau bantuan)
d. Tukan menukar
e. Guna susun.” (h. 27)
Berdasarkan Basuki (2008) dalam Perpres No.85 Tahun 2006,
pengadaan barang atau jasa (tender) melalui beberapa metode yaitu :
1. Pelelangan umum, adalah suatu metode pemilihan penyedia barang
atau jasa yang dilakukan secara terbuka dengan melakukan
pengumuman atau informasi secara luas melalui surat kabar nasional
atau surat kabar propinsi serta diupayakan pula melalui website
pengadaan nasional.
11
2. Pelelangan terbatas, yaitu pelelangan yang dilakukan dimana hanya
sedikit jumlah penyedia barang atau jasa yang mampu melakukannya
yaitu untuk pekerjaan yang kompleks dan pelelangan ini diumumkan
secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional atau
melalui website pengadaan. Dalam pengumuman ini, dicantumkan
informasi mengenai para penyedia barang atau jasa yang mampu
sehingga memberikan kesempatan bagi vendor lain untuk mengikuti
pelelangan.
3. Pemilihan langsung, yaitu metode pemilihan penyedia barang atau
jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak - banyaknya
penawaran, sekurang-kuranganya 3 penawaran dari penyedia barang
atau jasa yang telah lulus pra kualifikasi serta dilakukan negosiasi
baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui
papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila
memungkinkan melalui internet.Hal ini dilakukan jika metode
pelelangan umum atau pelelangan terbatas tidak efisien dari segi
biaya pelelangan, atau dapat dilakukan bila harga barang/jasa yang
diadakan diatas Rp 50juta hingga Rp 100juta.
4. Penunjukan langsung, yaitu melakukan penunjukan langsung
terhadap 1 penyedia barang atau jasa dengan cara melakukan
negosiasi dan memperhatikan segi teknis ataupun biaya sehingga
memperoleh harga yang murah atau sesuai dengan harga pasar
sehingga tidak merugikan pihak pengada tender. Pelelangan dengan
cara ini dapat dilakukan apabila ada dalam keadaan tertentu atau
12
keadaan darurat dimana dibutuhkan sesegera mungkin barang atau
jasa tersebut. (h. 191)
II.1.4 Pendanaan keadaan darurat
Mengacu kepada pandangan Basuki (2008), sesuatu keadaan dapat
dinyatakan sebagai keadaan darurat jika memiliki beberapa kriteria sebagai
berikut:
1. Suatu kegiatan yang tidak biasa dan tidak dapat diprediksi akan terjadinya hal
tersebut.
2. Keadaan tersebut tidak diharapakan terjadi lagi.
3. Berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah.
4. Mempunyai efek yang luar biasa terhadap kegiatan pemerintah. (h 119)
Dalam keadaan darurat pemerintah daerah dapat menempuh cara-cara
seperti melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, tetapi bukan
bersumber dari Dana Penerimaan Perlakuan Khusus bagian kabupaten atau kota
yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
451/KMK.07/2001 dikarenakan dana tersebut untuk membiayai pembelanjaan
pegawai dan non pegawai. Tetapi dana tersebut dapat diusulkan pada rancangan
perubahan APBD dimana pengeluaran ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan daerah tentang APBD.
Berdasarkan Basuki (2008), kriteria keperluan mendesak mencakup:
a. Program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum
tersedia dalam tahun anggaran belanja berjalan; dan
b. Keperluan yang dapat merugikan pemerintah daerah dan masyarakat apabila
13
ditunda.
c. Dapat menggunakan belanja tidak terduga jika belum tersedianya dana untuk
keadaan darurat.
Apabila dalam hal belanja tak terduga tidak mencukupi dalam
pendanaannya, maka dapat dilakukan dengan cara :
1. Menggunakan dana yang diperoleh dari penjadwalan ulang capaian target
kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan.
2. Memanfaatkan uang kas yang tersedia.
Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD,
pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi
anggaran. Pelaksanaan pengeluaran untuk mendanai kegiatan dalam keadaan
darurat termasuk belanja untuk keperluan mendesak terlebih dahulu ditetapkan
dengan peraturan kepala daerah. (h.191)
II.1.5 Anggaran kas
Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan APBD dalam hal pelaksanaan
belanja daerah, maka perlu diadakan sebuah sarana pengatur kas daerah agar tidak
terjadi kesalahan atau penyalahgunaan dana dalam pembiayaan kebutuhan daerah.
Oleh karena itu dibutuhkan anggaran kas yang merupakan sarana untuk menjamin
ketersediaan dana yang cukup dalam kas daerah untuk membiayai pelaksanaan
daerah. Anggaran kas diperlukan mengingat penerimaan kas yang bersumber dari
pendapatan daerah tidak selalu dapat diharapkan terjadi awal tahun anggaran dan
penerimaan kas pendapatan tidak sama besarnya setiap bulan atau setiap triwulan.
14
Menurut Basuki (2008), Anggaran kas merupakan sebuah data keuangan
yang telah disusun secara teknis dalam periode tertentu untuk memperkirakan
kemampuan pemenuhan target penerimaan atau pendapatan daerah dan
pengeluaran atau belanja daerah agar terdapat ketersediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan daerah. Anggaran kas disusun oleh PPKD (Pejabat pengelola
Keuangan Daerah) berdasarkan DPA-SKPD yang disahkan memuat perkiraan
arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan kas keluar yang
digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.
II.2 Pengertian Kecurangan
Berikut ini dikutip beberapa pengertian kecurangan dari berbagai literatur:
Pengertian kecurangan menurut Comer (1998) adalah sebagai berikut:
Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over another. A crime is an intentional act that violates the criminal under which no legal excuse applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in respons to their breach. The distinction is important. Not all frauds are crime and the majority of crimes are not frauds. Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only against crimes. (h. 9)
Sedangkan Bologna, Lindquist dan Wells (1991) memberikan pengertian
sebagai berikut : “Fraud is criminal deception intendd to financially benefit
deceiver.” (h. 3)
Kriminal bukan digunakan secara ketat dalam arti hukum. Kriminal berarti
setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat.
Dengan demikian, meskipun seorang pelaku kecurangan dapat menghindari
penuntutan kriminal secara berhasil, tindakan mereka tetap dipertimbangkan
15
criminal. Yang menjadi sasaran kecurangan pada umunya adalah dunia bisnis
dimana dalam dunia usaha ini banyak terjadi kecurangan, penyelewengan dan
pemborosan yang merugikan pihak negara/daerah. Mengacu pada pendapat
Tuanakotta (2007), kecurangan dibagi dengan 3 cara, yaitu :
1. Corruption adalah dimana kecurangan yang terjadi dengan melakukan
penggelapan sejumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
dengan bekerjasama oleh pihak lain.
2. Asset Missapproriation, dimana terjadi penggelapan atau penjarahan aset
perusahaan untuk memperkaya diri sendiri.
3. Fraudelent statements adalah pihak manajemen melakukan kecurangan atas
laporan yang dibuatnya dengan memperbagus angka-angka akun tertentu
agar terlihat menarik. (h. 96)
Berdasarkan Amin (2008), kecurangan terjadi dalam 3 langkah yaitu
pencurian yang dilakukan merupakan suatu tindakan (the act) kecurangan yang
merugikan perusahaan,lalu menyembunyikan (the concealment) kecurangan
tersebut dengan membuat transaksi fiktif agar tak terdeteksi dan yang terakhir,
pelaku akan melakukan konversi (the conversion) untuk menghilangkan jejak
dengan memakai sendiri atau menjual persediaan itu.
16
Gambar II.2 Bagan fraud Tree (Sumber : Theodorus T.M, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, 2007)
17
Berdasarkan Simanjuntak (2008), kecurangan dapat terjadi karena adanya
4 faktor pendorong yang memotivasi atau memicu sehinga terjadinya kecurangan
tersebut, yaitu:
1. Tekanan (Pressure), yang merupakan motivasi seseorang untuk melakukan
suatu tindakan fraud. Faktor ini disebabkan kondisi ekonomi seseorang yang
mengalami tekanan terhadap kebutuhan hidupnya karena makin tingginya
harga kebutuhan sehari-hari, sehingga membuatnya terdorong untuk
melakukan fraud dalam mencukupi kehidupannya.
2. Peluang (Opportunity), yaitu suatu kesempatan yang dimiliki seseorang
untuk melakukan atau menutupi tindakan fraud. Ini dikarenakan seseorang
tersebut memiliki wewenang dan otorisasi yang tinggi sehingga
menimbulkan hasrat untuk melakukan kecurangan.
3. Rasionalisasi (Rationalization), bagaimana seseorang tersebut memikirkan
dan berusaha mencari cara untuk melakukan kecurangan agar tidak diketahui
oleh orang atau pihak lain.
4. Keserakahan (Greed), dimana seseorang ingin memiliki dan memperkaya diri
sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Karena keempat hal diatas, tindak pidana korupsi terjadi walaupun
awalnya mereka tidak memiliki moral bobrok seperti itu. Terkadang, manusia
yang awalnya memiliki moral yang sangat bagus dapat tergiur dan melakukan
tindak pidana korupsi tersebut karena adanya peluang dan kesempatan untuk
mereka. Dalam melakukan tindak korupsi ini, perpetrator tidak menjalaninya
sendiri, tetapi mereka memiliki modus – modus tertentu unttuk mengajak pihak
lain agar kejahatan yang dilakukannya dapat berjalan dengan baik. Oleh karena
18
itu, kita harus dapat mengerti akan modus yang dilakukan oleh para koruptor
sehingga tidak ikut terbawa dalam kejahatan tersebut. Berikut adalah jenis modus
kejahatan korupsi yang terjadi pada lembaga negara atau pemerintahan menurut
intervansir KPK yang dikutip oleh anwariansyah dalam situs wikimu :
1. Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah
mengintervensi proses penagadaan barang atau jasa dalam rangka
memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai
kontrak.
2. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses
pengadaan barang atau jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender
atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up).
3. Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang
mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan
rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
4. Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk
mencairkan dan menggunakan dana anggaran yang tidak sesuai dengan
peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.
5. Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana untuk
kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu
kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif.
6. Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau
honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih tinggi,
19
namun sudah tidak berlaku lagi.
7. Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan
ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga
aset Pemda, serta meninggikan harga aset milik pengusaha.
8. Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender
sebelum melaksanakan proyek.
9. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan
akan diberikan proyek pengadaan.
10. Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen
pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk
mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11. Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro / tabungan dana pemerintah
yang ditempatkan di bank.
12. Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada
perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
13. Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses
perijinan yang dikeluarkannya.
14. Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang
dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke pemda dengan harga
yang sudah di-mark up.
15. Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya
20
menggunakan anggaran daerah.
16. Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada
anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau DAU
(Dana Alokasi Umum).
17. Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan
APBD.
18. Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban
anggaran daerah.
II.2.1 Korupsi
Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun
kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian
Indonesia, hal ini terlihat dari peringkat Indonesia dalam ICW yang berada dalam
peringkat ke 130 pada tahun 2008 dengan point 2,6. Walaupun peringkat ini lebih
baik dari tahun 2004 yang dimana Indonesia menduduki posisi 20 besar negara
terkorup dengan point 2,0. Dalam ilmu akuntansi, korupsi merupakan bagian dari
kecurangan (Fraud) namun secara sehari - hari istilah korupsi lebih terkenal
dibandingkan kecurangan. Untuk mengatasi korupsi ini, pemerintah telah
membuat undang – undang khusus mengenai tindak pidana korupsi yaitu tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang didalamnya terdapat pasal – pasal
yang berisi tentang peraturan pemerintah dalam memberikan penjelasan akan
tindakan korupsi oleh para koruptor.
21
Peraturan tentang korupsi ini tercantum pada KUHP Undang – Undang no
31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan menjelaskan
pengertian korupsi adalah :
• Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.. (Pasal 2)
• Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu koorporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana
yang ada padanya jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan Negara
atau … (Pasal 3)
Korupsi biasanya dilakukan oleh eksekutif, manajer, pemimpin atau
karyawan dari suatu organisasi yang melakukan kolusi dengan pihak luar.
Mengacu pada pengidentifikasian korupsi menurut Suradi (2006), korupsi dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu :
1. Penyuapan (Bribery)
Penyuapan mencakup penawaran, pemberian, penerimaan, atau permintaan
sesuatu yang berharga kepada seseorang yang dibutuhkan dengan tujuan
untuk mempengaruhi (to influence) orang tersebut dalam memberikan
keputusan yang akan diambil oleh pemegang otoritas,baik di sector
pemerintah maupun di sector swasta dan menguntungkan pihak pemberi
suap.
22
2. Uang pemberian secara illegal (illegal gratuities)
Uang pemberian secara illegal mencakup pemberian, penerimaan,
penawaran, atau permintan suatu yang berharga karena pemegang otoritas
telah melakukan tindakan sesuai yang dikehendaki oleh pihak lain. Hal ini
mirip dengan penyuapan, tetapi pemberian uang dilakukan setelah tindakan
dilakukan.
3. Konflik kepentingan (conflict of interest)
Setiap pembeli kerja menghendaki agar karyawannya melaksanakan
pekerjaan dengan cara yang telah ditentukan untuk kepentingan pemberi
kerja. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang karyawan melaksanakan
suatu pekerjaan atas nama pihak ketiga, padahal yang bersangkutan sedang
bekerja diperusahaan atau memiliki kepentingan pribadi yang dikerjakan.
Ketika karyawan memiliki konflik kepentingan dan tidak diketahui oleh
pemberi kerja dan menimbulkan kecurangan berupa kerugian keuangan.
4. Pemerasan ekonomi (economic extortion)
yaitu menggunakan ancaman atau kekuatan (mencakup sangsi ekonomi)
yang dilakukan baik oleh individu maupun organisasi untuk mendapatkan
sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai dapat berupa uang, asset yang
bersifat ekonomi, informasi, atau kerjasama untuk mendapatkan suatu
keputusan yang menguntungkan baginya.
23
Jenis kecurangan Korban kecurangan
Pelaku kecurangan Penjelasan
Kecurangan oleh karyawan (employee embezzlement)
Majikan Karyawan Karyawan mencuri harta milik majikannya baik secar langsung ataupun tidak.
Kecurangan oleh manajemen (Management fraud)
Pemegang saham Kreditor Pihak lain pengguna lap. Keuangan
Manajemen puncak (top management)
Manajemen menyajikan laporan yang salah.
Penipuan investasi (investment scams)
Para investor Individu Individu menipu investo dengan membawa lari uang investasi.
Kecurangan oleh vendor (vendor fraud)
Organisasi yang membeli barang atau jasa
Organisasi atau individu yang menjual barang
Penjual menaikkan harga. Tidak mengirimkan barang.
Kecurangan oleh konsumen
Organisasi yang menjual barang atau jasa
Konsumen Konsumen tidak membayar uang tagihannya.
Table II.2.1 Jenis, korban, dan pelaku kecurangan (Sumber : Suradi SE, Korupsi Sektor Pemerintahan & swasta, 2006)
II.3 Auditing
II.3.1 Pengertian Auditing
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan audit investigatif, perlu
terlebih dahulu memahami pengertian mengenai auditing. Beberapa pengertian
mengenai pemeriksaan (auditing) yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai
berikut :
24
Robertson dan Louwers (1999) menyatakan, “Auditing is a systematic
process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions
abuot ecenomic actions and event to ascertain the degree of correspondence
between the assertions and established criteria and communcatinng the result to
interested ushers”. (h. 4)
Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan
Budi (2002) mendefinisikan auditing sebagai “Suatu proses sistematis untuk
memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi
kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian
antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”
Menurut Susilo, W (2002), audit adalah kegiatan mengumpulkan
informasi faktual dan signifikan melalui interaksi (pemeriksaan, pengukuran dan
penilaian serta penarikan kesimpulan) secara sistematis, objektif dan
terdokumentasi yang berorientasi azas nilai manfaat.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan (auditing) merupakan suatu proses sistematik untuk mengumpulkan
dan mengevaluasi bahan bukti yang berhubungan dengan suatu entitas ekonomi
tertentu yang bertujuan untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian
antara informasi yang dikumpulkan dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
25
GENERAL AUDIT INVESTIGATIF AUDIT
Audit dilakukan secara berulang kali secara teratur. Lingkup audit adalah terhadap laporan keuangan perusahaan. Tujuan audit untuk memperoleh opini dari auditor atas kewajaran laporan keuangan. Sifat pekerjaan audit tidak bermusuhan. Audit terutama dilakukan dengan pemeriksaan data keuangan. Auditor melakukan tugasnya dengan profesional skeptism.
Pemeriksaan tidak berulang dan dilakukan setelah ada cukup indikasi. Fraud lebih diarahkan kepada tuduhan, sangkaan dan dugaan yang spesifik. Tujuan audit untuk memastikan bahwa fraud benar-benar terjadi dan siapa yang bertanggungjawab. Sifat pekerjaanya bermusuhan karena harus memutuskan siapa yang bersalah. Fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern dan wawancara. Pemeriksa fraud berusaha mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan, tuduhan atau sangkaan terhadap fraud.
Tabel II.3.1 Perbedaan General Audit dengan Audit Investigatif (Sumber : Aren & Lobbecks (Edisi Indoneia), 2006)
II.3.2 Audit investigative
Audit investigatif adalah suatu bidang audit yang berhubungan dengan
kecurangan-kecurangan (fraud) yang terjadi pada dunia bisnis perusahaan atau
pun pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan
yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi pada lembaga pemerintahan negara
sehingga bisa menekan resiko penggelapan atas asset negara ataupun perusahaan.
Audit investigatif merupakan gabungan antara disiplin ilmu hukum dan
audit yang baru berkembang diawal abad 20 karena merebaknya kejahatan kerah
putih (white collar crime) di lingkungan pemerintahan. Kegunaan masing –
26
masing disiplin ilmu adalah, dalam mengadakan suatu audit, tentu dibutuhkan
disiplin ilmu akuntansi untuk melakukan suatu perhitungan terhadap harta yang
dimiliki suatu perusahaan dan untuk mengetahui mengenai sebuah laporan
keuangan apakah telah terjadi suatu kecurangan atau tidak. Sedangkan dalam
disiplin ilmu hukum dibutuhkan untuk melanjutkan penemuan kecurangan ke
pengadilan untuk diproses secara hukum agar pelaku kejahatan dihukum dengan
setimpal dan mengembalikan harta korupsi yang telah diambil atau dimiliki
tersebut ke pihak yang dirugikan.
Karakteristik yang dimiliki oleh auditor investigasi pun tidak jauh berbeda
dengan auditor pada umunya yaitu harus kreatif, rasa ingin tahu yang tinggi,
pantang menyerah, memiliki akal sehat dan percaya diri. Tetapi memiliki standar
yang agak berbeda dengan audit pada umunya dimana audit investigasi
menjunjung tinggi hak-hak asasi. Dalam uatu investigasi dapat di mulai apabila
ada dasar yang layak, yang dalam investigasi dikenal sebagai predication.
Menurut Tuanakotta (2007) pengertian predication adalah “Keseluruhan
dari peristiwa,keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau
berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman
dengan kehati – hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah,
sedang atau akan berlangsung.” (h. 210)
Dengan landasan atau dasar ini, seorang investigator mereka-reka
mengenai apa, bagaimana, siapa dan pertanyaan lain yang di duganya relevan
dengan pengungkapan kasusnya. Investigasi secara sederhana dapat di definisikan
sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan
ketentuan hukum (acara) yang berlaku.
27
II.3.3 Investigasi Pengadaan
Pengadaan merupakan salah satu sumber dimana sering terjadi kasus
korupsi dalam sektor keuangan baik dari swasta maupun pemerintahan,
dikarenakan lebih mudahnya untuk dilakukan marked up. Dengan wewenang
atau otorisasi dari pimpinan pengadaan tender barang, para pengada tender
dapat memainkan harga sesuka hati sehingga dapat menimbulkan kerugian
dimana membuat anggaran yang telah dianggarkan menjadi membengkak
karena pengada tender lebih memilih harga yang mahal agar mendapatkan
keuntungan pribadi. Dalam mengadakan tender, terdapa beberapa tahapan dan
para investigator (auditor) harus dapat memahami gejala – gejala kecurangan
yang mungkin akan terjadi pada setiap tahapan – tahapan tersebut.
Mengacu pada pendapat Tuanakotta (2007), Tahapan dalam pengadaan
tender terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu :
1. Tahapan pra tender (presolicitation phase)
Dalam tahapan ini, perusahaan yang mengadakan tender akan memilih
perusahaan yang layak untuk dijadikan klien dengan memperhatikan
kriteria seperti pemahaman mengenai perusahaan yang akan dijadikan
klien, harga yang ditawarkan dan mengenai spek yang dibutuhkan.
Biasanya, tanda – tanda (redflags) yang terjadi pada tahapan ini adalah
pemberian informasi oleh orang dalam ke salah satu klien yang mengikuti
tender sehingga menguntungkan pihak klien tersebut dalam pembuatan
spek barang yang dibutuhkan karena sudah diberitahukan terlebih dahulu.
2. Tahap Penawaran (solicitation and negotiation phase)
Pada tahapan ini, antara pengada tender dan pengikut tender mengadakan
28
penawaran harga yang cocok untuk dipilih dan dijadikan klien. Semua
klien pada tahapan ini berlomba – lomba memberikan spek dan harga
terbaiknya agar dapat dipilih dan dijadikan klien. Tetapi sebenarnya,
dibalik itu semua sudah ada permainan antara pengada tender dengan
mereka para kontraktor yang akan dipilih nantinya sebagai klien.
Pengadaan tender ini hanyalah formalitas semata untuk mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan, padahal dibalik itu semua telah terjadi
persengkokolan. Hal ini dapat diketahui dari para peserta tender yang
msh dapat memberikan dokumen lewat dari batas waktu yang telah
ditentukan. Bahkan para pengikut tender yang lain hanyalah perusahaan
fiktif atau tidak pernah ada. Selain itu, telah terjadi suap antara pengada
tender dengan pemasok yang akan dipilih sehingga harga yang ada
sangatlah tinggi karena telah di mark up sebelumnya. Tentu hal ini telah
menyalahi aturan dan harus membuat auditor jeli akan proses yang terjadi
dalam pengadaan negosisasi ini.
3. Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administratif (performance and
administration phase)
Ini adalah tahap akhir dari pengadaan tender dan pada tahap ini
kecurangan – kecuranga akan banyak terjadi karena pada tahap ini
peusahaan yang dipilih sudah di approve dan telah pasti menjadi
pemenang tender sehingga pemasok bebas untuk melakukan
keinginannya. Kecurangan yang terjadi pada tahap ini adalah perubahan
order pembelian yang telah dilakukan dimana pihak pemasok melakukan
pengiriman barang yang mutunya tidak sesuai dengan spek atau dibawah
29
Gambar II.3.3 Bagan skema fraud (kickback) (Sumber : Theodorus T.M, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, 2006)
standar mutu. Oleh karena itu, auditor harus melakukan pengecekan
terhadap surat irder dan barang yang telah dikirim untuk memastikan
kalau barang yang dipesan benar – benar telah sesuai denga spek dan
harganya pun tidaklah tinggi atau telah di mark up. (h. 294)
30
II.3.4 Aksioma dalam investigasi
Menurut Tuanakotta (2007) menyatakan bahwa “aksioma adalah asumsi
dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian
mengenai kebenarannya.” (h. 208)
Selain itu, Tuanakotta (2007) juga menyatakan bahwa, “Terdapat 3
aksioma dalam investigatif yaitu :
1. Fraud selalu tersembunyi
Sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang
terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung).
2. Pembuktian fraud secara timbal balik.
Pembuktian ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk
membuktikan fraud itu tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan
fraud tidak terjadi, kita harus berupaya membuktikan fraud itu terjadi. Harus
ada upaya pembuktian timbal balik atau reverse proof. Kedua sisi fraud
(terjadi dan tidak terjadi) harus di periksa. Dalam hukum Amerika Serikat,
“proof of fraud must preclude any explanation other than guilt” artinya
pembuktian fraud harus mengabaikan setiap penjelasan, kecuali pengakuan
kesalahan.
3. Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi
Pemeriksa fraud berupaya membuktikan fraud terjadi. Hany pengadilan yang
mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Di Amerika Serikat
wewenang itu ada pada pengadilan (majelis hakim).” (h. 208)
Di atas dikatakan pemeriksa fraud harus menolak memberikan pernyataan
bahwa hasil pemeriksaannya membuktikan tidak ada fraud. Di sini harus
31
pemeriksa fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa pemeriksaanya
membuktikan adanya fraud. Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa
membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah dugaan atau bagian dari
“teori”, sampai pengadilan memberikan keputusannya.
II.3.5 Metodelogi Audit Kecurangan
Setiap pemeriksaan kecurangan di mulai dengan dalil bahwa semua kasus
akan berakhir dalam litigasi, yaitu persiapan dan presentasi dari setiap kasus,
termasuk memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan
kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan
yang tak terduga.. Untuk mencari jawaban suatu kecurangan tanpa bukti yang
lengkap, auditor perlu membuat asumsi tertentu. Dalam kasus kecurangan yang
rumit, penggunaan teori kecurangan sangat diperlukan. Teori kecurangan mulai
dengan asumsi, berdasarkan asumsi, berdasarkan fakta yang di ketahui, tentang
apa yang mungkin terjadi. Kemudian asumsi tersebut diuji untuk menentukan
apakah asumsi tersebut dapat di buktikan. Menurut Tuanakotta (2007) “Teori
kecurangan mencakup:
1. Menganalisis data yang tersedia.
2. Menciptakan suatu hipotesis.
3. Menguji hipiotesis.
5. Memperbaiki dan mengubah hipotesis.” (h. 210)
32
II.4 Pemeriksaan dalam hukum acara pidana
Menurut Tuanakotta (2007), “Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Undang-undang No.8 tahun 1981) mengatur tahap-tahap hukum acara pidana
sebagai berikut :
1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu perbuatan yang dduga merupakan tindak pidana guna
menentukan dapat/tidaknya penyidikan dilakukan.
2. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan
mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi untuk menemukan tersangkanya.
3. Prapenuntutan
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (penuntut umum) untuk memantau
perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas
yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh
penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
4. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum yang melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam
hukum acara pidana, dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.
33
5. Pemeriksaan di pengadilan
Dalam tahap ini, tidak berkenaan lagi dengan pembuktian. Semua bukti-bukti
yang telah diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa kembali di sidang
pengadilan untuk dijadikan alat bukti. Dan alat bukti yang sah terdiri dari :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Keterangan terdakwa
e. Petunjuk
6. Putusan pengadilan
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah. Kesalah terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun
keyakinan itu harus didasarkan atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain.
7. Upaya hukum
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali, atau hak jaksa agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan
hukum dalan hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” (h.
220)
34
II.5 Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan
Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan dan pelaporan transaksi keuangan merupakan salah satu bentuk
akuntabilitas penyelenggara pemerintahan kepada rakyat melalui perwakilannya di
lembaga legislatif. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 telah secara tegas dinyatakan
bahwa pengelola keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah
diwajibkan untuk menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset,
utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
Sistem akuntansi tersebut digunakan sebagai sarana penyusunan laporan keuangan
Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan yang
berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya meliputi
Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas
Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara/daerah dan badan lainnya. Selanjutnya, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran, Presiden selaku kepala pemerintahan di pusat
dan Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan di daerah
menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
Badan Pemeriksa Keuangan selaku auditor eksternal pemerintah
melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah tersebut
berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku. Jangka waktu pelaksanaan audit
atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah oleh BPK ini sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 harus diselesaikan paling lama dalam
35
jangka waktu 3 (tiga) bulan. Alasannya, Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota
sudah harus menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah,
meskipun telah menggunakan sistem akuntansi keuangan yang terkomputerisasi,
pada umumnya masih memerlukan waktu yang cukup lama sehingga baru
diselesaikan dan disampaikan kepada BPK sekitar 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk dapat memenuhi
jadwal yang sangat ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu
melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah praktis
dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan tentu saja diperlukan pemanfaatan sumber
daya dan dana yang tersedia pada lembaga auditor eksternal secara arif, efektif, dan
efisien. Yang menarik untuk didiskusikan di sini adalah apakah BPK selaku auditor
eksternal pemerintah sanggup untuk melaksanakan pekerjaan yang maha berat itu
dalam waktu yang relatif sangat terbatas? Bagaimana kualitas hasil auditnya nanti
dengan kendala seperti itu? Bagaimana pengaruhnya kepada pihak DPR dan
masyarakat luas nantinya dalam pengambilan keputusannya jika sampai terjadi
pelaksanaan audit yang tidak sesuai dengan standar audit sehingga laporan hasil
audit malah menyesatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan
keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tersebut.
Meskipun sudah ada kewajiban APIP untuk melaksanakan reviu atas
laporan keuangan sebelum disampaikan kepada BPK untuk diaudit, tetapi sampai
saat ini, pelaksanaan reviu tersebut ternyata masih belum sepenuhnya dapat
36
meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya laporan keuangan pemerintah baik di tingkat kementerian maupun di
tingkat daerah yang masih mendapatkan opini disclaimer dari BPK. Hal ini
merupakan masalah serius yang harus segera dicari alternatif jalan keluarnya
sehingga tidak sampai menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu yang
terkait dengan permasalahan ini. Terdapat dua hal pokok yang diuraikan pada
bagian ini untuk meminimalisasi permasalahan yang kemungkinan terjadi dalam
audit atas laporan keuangan pemerintah oleh BPK, yaitu pemberdayaan peran dan
fungsi audit internal dan sinerji pengawasan di antara sesama Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah (APIP).
Dalam penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 antara lain dinyatakan bahwa
untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan
hasil pekerjaan aparat pengawasan intern pemerintah. Dengan demikian, luas
pemeriksaan yang akan dilakukan dapat disesuaikan dan difokuskan pada bidang-
bidang yang secara potensial berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta
tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Sebagai
konsekuensinya, APIP diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil
pemeriksaannya kepada BPK. Untuk dapat menghasilkan laporan hasil audit yang
dibutuhkan oleh BPK, tentunya diperlukan kejelasan wewenang, peran dan ruang
lingkup pekerjaan yang dilaksanakan oleh APIP. Apabila hal ini diabaikan maka
besar kemungkinan akan terdapat hasil pekerjaan APIP yang tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan
audit oleh BPK.
fungsi audit internal yang efektif mencakup reviu yang dilaksanakan secara
37
sistematis, penilaian dan pelaporan atas kehandalan dan efektivitas penerapan
sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional dan penganggaran, yang
setidak-tidaknya meliputi berbagai aktivitas reviu sebagai berikut:
Tingkat relevansi atas kebijakan yang ditetapkan, perencanaan dan prosedur,
tingkat kesesuaian antara praktik dengan kebijakan, rencana, dan prosedur yang
telah ditetapkan, termasuk implikasinya terhadap aspek keuangan negara.
Kehandalan dan keakuratan atas peraturan yang dibuat sebagai penjabaran dari
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Ketepatan mengenai penyusunan struktur organisasi, pengembangan sumber daya
manusia (personil), dan supervisi.
Reviu terhadap pelaksanaan program dan kegiatan berdasarkan rencana yang
telah ditetapkan dan manfaat atas program dan kegiatan apakah telah selaras
dengan tujuan diadakannya program dan kegiatan tersebut.
Evaluasi terhadap pertanggungjawaban dan pengamanan atas penggunaan aset
dan sumber daya lainnya dari penyalahgunaan wewenang, pemborosan,
kelalaian, salah urus, dan lain-lainnya.
Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, dan kejujuran atas proses pengolahan dan
pelaporan informasi keuangan dan manajemen.
Penilaian terhadap tingkat keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya.
Penilaian terhadap integritas sistem yang terkomputerisasi berikut
pengembangan sistemnya, dan
Evaluasi terhadap tindak lanjut yang telah dilaksanakan untuk mengatasi
permasalahan yang terjadi pada periode sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit
38
internal sangat luas dan komprehensif agar dapat menjamin pencapaian tujuan
organisasi.
II.6 BAWASDA (Badan Pengawas Daerah)
BAWASDA memiliki peranan penting sebagai eksternal auditor terhadap
penyelenggaraan pemerintah daerah. Peranan yang dilakukan oleh BAWASDA
adalah :
1. Membantu gubernur dalam menyiapkan implementasi kebijakan pengawasan
nasional di provinsi melalui RAKORWASDA (Rapat Kordinasi Pengawas
Daerah).
2. Melakukan pengawasan terhadap pemrintah kabupaten/kotasecara berkala sesuai
KPPT.
3. Melakukan pengawasan terhadap tugas – tugas dekonsentrasi sepanjang telah
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah kepada gubernur.
4. Melakukan penanganan atau pemeriksaan kasus yang dilimpahkan oleh
pemerintah di lingkungan pemerintah kabupaten atau kota.
5. Melakukan pemeriksaan akhir masa jabatan terhadap bupati atau walikota yang
telah berakhir masa jabatannya.
6. Membantu melakukan pengawasan atau pemeriksaan dalam melaksanakan tugas
pembantuan dari pemerintah.
7. Melakukan pengawasan terpadu bersama APIP lainnya sesuai MoU terhadap
pelaksanaan urusan dekonsentrasi.
Pandangan BAWASDA atas peran eksternal auditor dalam mendorong
akuntanbilitas penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu :
39
1. Eksternal auditor berperan secara independen dan satu – satu lembaga Negara
(BPK) sesuai undang – undang nomor 15 tahun 2004 yang berhak memeriksa
dan menilai dengan cara memberikan opini terhadap laporan keuangan
pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada DPRD.
2. Eksternal auditor (BPK) membantu pemerintah daerah dalam mengungkapkan
kelemahan – kelemahan manajemen pengelolaan keuangan daerah terhadap
pemeriksaan belanja daerah tiap tahun termasuk mengungkap kerugian keuangan
daerah serta melanjutkan dengan audit investigative bila ditemukan unsure tindak
pidana korupsi.
3. Membantu DPRD untuk mengawasi tindak lanjut hasil pemeriksaan melalui
penyampaian setiap laporan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD sesuai MoU
yang telah disepakati.