bab ii landasan teori ii. a. emosi ii. a. 1. definisi...
TRANSCRIPT
24
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Emosi
II. A. 1. Definisi emosi
Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari kata emouvoir, yang
berarti kegembiraan. Selain itu emosi juga berasal dari bahasa Latin emovere yang
berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Lahey (2003) mengatakan
emosi merupakan suatu hal yang dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan
munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca namun hanya dapat dilihat
dari ekspresinya dan perilaku saja.
Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat
menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi sangat berkaitan erat
dengan aktivitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi
yang dialaminya. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi, disadari atau tidak
memiliki dampak yang bersifat membangun atau merusak. Dengan demikian bisa
dikatakan emosi tidak hanya merupakan reaksi terhadap kondisi diri sendiri
maupun luar diri sendiri, tetapi juga upaya pencapaian ke arah pembentukan diri
menuju hidup yang transendental (spiritual).
Sementara itu, menurut Lazarus (dalam Gross, 2002) menyatakan bahwa
emotions represent the ‘wisdom of the ages” – emosi-emosi mengambarkan
“kebijaksanaan usia”, membutuhkan respon-respon yang telah teruji waktu
terhadap masalah-masalah adaptif yang berulang. Hal yang penting,
bagaimanapun, emosi-emosi tidak memaksa kita untuk berespon dalam suatu cara
Universitas Sumatera Utara
25
tertentu, emosi-emosi hanya membuat kita lebih berkemungkinan untuk
mengambil tindakan tertentu. Hal inilah yang membuat kita mampu untuk
mengatur emosi kita. Saat merasa takut, kita bisa saja lari, namun tidak selalu
akan berlari. Saat marah, kita bisa saja menghantam sesuatu, tetapi juga tidak
selalu. Bagaimana kita meregulasi emosi kita merupakan suatu persoalan dari
bagaimana kesejahteraan (well-being) tidak mungkin dipisahkan dari kaitannya
dengan emosi kita.
Menurut Frijda (dalam Nyklicek, Vingerhoets, Zeelenberg, 2011) emosi
adalah fenomena dasar dari fungsi manusia, secara normalnya memiliki nilai
adaptif untuk meningkatkan keefektifan kita dalam hal mencapai tujuan kita
dalam arti yang lebih luas. Pada level antar individu, emosi membantu
menginformasikan kepada orang lain mengenai emosi yang mendasari dan
maksud suatu perilaku. Pertukaran informasi antar masing-masing orang
merupakan hal yang penting bagi suatu hubungan antar manusia, hal yang
menentukan dari kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu juga berfungsi
sebagai intrapersonal atau hubungan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam hal
memperoleh insight kedalam nilai personal seseorang yang penting untuk
mengambil suatu keputusan.
Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
emosi adalah respon kognitif, perasaan, dan perilaku yang muncul akibat stimulus
tertentu.
Universitas Sumatera Utara
26
II. A. 2. Ciri-ciri utama emosi
Tiga ciri utama dari emosi menurut Gross (2007) merupakan prototype
yang berhubungan dari penyebab awal adanya emosi, respon terhadap emosi, dan
hubungan antara penyebab awal adanya emosi dan respon terhadap emosi. Ketiga
ciri-ciri utama tersebut adalah:
1. Emosi-emosi akan mencul saat seseorang berada pada suatu situasi dan
melihat sesuatu yang berhubungan dengan tujuannya. Apapun tujuannya,
dan apapun sumber makna dari situasinya bagi seseorang, hal ini
memberikan arti bagi seseorang, dan arti ini bisa membangkitkan emosi
seseorang. Berdasarkan arti tersebut terjadi perubahan dari waktu ke waktu
(baik perubahan berarti dalam situasi itu sendiri maupun perubahan pada
arti situasinya), maka emosi juga akan berubah.
2. Emosi itu berbagai jenis.
3. Emosi lebih menekankan pada pentingnya kualitas – hal ini seperti yang
dikemukakan Frijda (1986) yang membuat istilah “ control precedence” –
berarti bahwa emosi-emosi bisa menginterupsi apa yang sedang kita
lakukan dan memaksa masuk kedalam kesadaran kita. Bagaimanapun,
emosi sering bersaing dengan respon lain yang juga dihasilkan dari
lingkungan sosial dimana emosi itu berperan. Kemampuan emosi untuk
berubah sudah ditekankan oleh William James (1884), yang menyatakan
bahwa emosi sebagai respon kecenderungan yang bisa dihasilkan dari
berbagai cara. Aspek ketiga dari emosi inilah yang menjadi hal penting
untuk analisa regulasi emosi karena ciri ini membuat regulasi bisa
dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
27
Berdasarkan dari ketiga ciri emosi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi
dapat muncul saat seseorang melihat tujuannya, emosi itu terdiri dari berbagai
jenis dan emosi itu dapat diubah dan diregulasi. Ciri yang ketiga bahwa emosi
dapat diregulasi atau diatur ini yang menjadi dasar dari analisa regulasi emosi.
II.A.3. Bagian-Bagian Emosi
Secara umum emosi yang terdapat di dalam diri manusia terdiri dari dua
bagian yaitu emosi positif dan emosi negatif. Hal-hal positif dan negatif memang
sellau datang silih berganti dalam kehidupan kita. Terkadang, kita terlalu egois
dalam menyikapi kondisi yang di alami, karena ingin semua hal yang terjadi
berjalan positif atau mungkin juga kita tidak mampu bersabar menunggu waktu
datangnya hal positif setelah terjebak sekian lama dalam kondisi yang negatif.
a. Emosi Positif
Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan
positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Hill (dalam
Syukur, 2011) mengatakan bahwa terdapat tujuh macam emosi
yang masuk dalam emosi positif, diantaranya adalah hasrat,
keyakinan, cinta, seks, harapan, romansa dan antusiasme. Ketujuh
emosi tersebut merupakan bentuk emosi yang paling dominan,
kuat, dan paling umum digunakan dalam usaha kreatif. Jenis emosi
ini dapat menunjang keberhasilan karir dan dianggap tidak
merugikan orang lain. Seberapa besar keberhasilan dari emosi
positif ini tergantung dari batas kewajaran yang digunakannya.
Universitas Sumatera Utara
28
Dari kenyataan yang sering terjadi, energi emosi positif lebih baik
digunakan dalam proses mengingat jika dibandingkan dengan
energi emosi negatif. Emosi yang positif akan menghadirkan
perasaan senang, sebab emosi ini dapat membuat otak ingin
mengenang kembali bayangan tersebut. selain itu emosi positif
juga dapat menumbulkan sebuah motivasi karena memang
memiliki unsur motivasi yang luar biasa kuat. Untuk
menumbuhkan emosi positif ini kita harus mampu mengalahkan
energi yang terkandung dalam muatan emosi negatif.
b. Emosi Negatif
Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan
perasaan tidak menyenangkan dan dapat mengakibatkan perasaan
negatif pada orang yang mengalaminya. Biasanya emosi negatif ini
berada di luar batas kewajaran, seperti marah-marah yang tidak
terkendali, berkelahi, menangis meraung-raung, tertawa keras dan
terbahak-bahak bahkan timbulnya tindakan kriminal. Umumnya,
emosi negatif menimbulkan permasalahan yang dapat menganggu
orang yang mengalaminya, bahkan berdampak pada orang lain dan
masyarakat secara luas. Biasanya, orang yang mengalami emosi
negatif cenderung lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai
negatif, seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik,
prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya. Emosi semacam itu
akan berdampak buruk bagi yang mengalaminya dan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
29
1. II.A.4. Jenis-jenis emosi
Hurlock (1993) mengatakan bahwa ada 5 jenis emosi pada anak,
diantaranya adalah :
a. Marah
Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai
permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak
lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang
ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat
atau memukul orang lain.
b. Takut
Kebiasaan atau ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan
berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita,
gambar – gambar, acara televisi, radio maupun film yang mengandung
unsur yang menakutkan. Biasanya reaksi awal anak untuk rasa takut adalah
panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar,
bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.
c. Cemburu
Anak menjadi cemburu apabila ia menginar bahwa minat dan perhatian
orangtuanya beralih kepada orang lain di dalam keluarga. Biasanya
kehadiran adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat
mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya
dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura –
pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik
perhatian.
Universitas Sumatera Utara
30
d. Gembira atau senang
Anak merasa gembira biasanya dikarenakan mendapatkan nilai yang bagus,
hadiah, dan pujian. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan
tersenyum dan tertawa, melompat – lompat atau memeluk benda atau orang
yang dapat membuatnya bahagia.
e. Sedih
Anak – anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang
dicintainya atai sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya apakah itu
orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak
mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan
minat terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.
Berdasarkan lima jenis emosi yang biasanya terjadi pada anak maka dalam
penelitian ini juga akan diteliti mengenai emosi-emosi tersebut yaitu marah, sedih,
cemburu, takut dan senang atau gembira.
II. A. 5. Fungsi Emosi
Bagi manusia, dalam teori Coleman dan Hammen dalam Syukur (2011),
emosi tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri atau sekedar
mempertahankan hidup. Emosi pada manusia seperti yang dikemukakan oleh
Martin dalam buku Psikologi Belajar, juga memberikan fungsi sebagai
pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam hidup manusia. Emosi
juga berfungsi sebagai messenger artinya adalah emosi yang terjadi dalam diri
seseorang dapat membawa pesan atau informasi. Emosi memberitahukan kita
bagaimana keadaan orang-orang yang berada di sekitar kita, terutama orang yang
Universitas Sumatera Utara
31
kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu
yang tepat dengan kondisi tersebut.
Dalam konteks ini, emosi bukan hanya pembawa informasi (messenger)
dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga dalam komunikasi interpersonal.
Lebih dari itu, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Setiap emosi yang ada dalam diri kita memberikan rangsangan terhadap
pemikiran, khayalan baru dan tingkah laku yang baru.
II.B.6. Ekspresi Emosi
Emosi adalah keadaan internal yang memiliki perwujudan secara
ekstrenal. Meskipun yang bisa merasakan emosi adalah orang yang
mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi
terekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk
verbal maupun nonverbal. Syukur (2011) mengatakan bahwa ada beberapa jenis
ekspresi emosi yang menunjukkan kepribadian seseorang, diantaranya adalah:
a. Ekspresi wajah
Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui
raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa
dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain
tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih,
bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan
sedih pastilah berbeda.
Universitas Sumatera Utara
32
b. Ekspresi vokal
Nada suara seseorang akan berubah seiring dengan emosi yang
sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah, nada suaranya
pasti akan terdengar meninggi. Demikian juga seseorang yang
sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas dan lancar.
Sementara itu, seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa
dan mengalami kesedihan, kemungkinan besar nada suaranya akan
terbata-bata, bahkan tidak berbicara.
c. Perubahan fisiologis
Saat kita merasakan perubahan sebuah emosi, terdapat perubahan
fisiologis yang mengiringinya, baik yang bisa kita rasakan atau
tidak. Saat takut, kita akan merasakan detak jantung yang
meningkat, berdebar-debar, kaki dan tangan gemetar. Selain itu,
kita juga merasakan bulu kuduk merinding, otot wajah menegang,
berkeringat, kencing di celana, dan lain sebagainya. Bahkan,
perubahan tersebut jarang juga diketahui oleh orang lain.
d. Gerak dan isyarat tubuh
Sering kali, emosi emosi seseorang akan diekspresikan melalui
gerak dan isyarat tubuh. Terkadang, kita cukup mengetahui
seseorang sedang gugup atau jatuh cinta hanya dari bahasa
tubuhnya. Ia akan menjadi tidak hati-hati, banyak melakukan
gerakan yang tidak perlu, sering melakukan kesalahan berkeringan
dan lain sebagainya. Orang yang jatuh cinta menatap yang
Universitas Sumatera Utara
33
dicintainya lebih sering, duduk condong padanya, tersenyum lebih
lebar dan lain-lain.
e. Tindakan-tindakan emosional
Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi marah
melanda, terkadang seseorang hanya diam. Diam dianggap sebagai
salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosionalnya.
Namun, tidak jarang kira melihat emosi seseorang yang sedang
marah dengan membentak, memaki bahkan memukul. Sementara
itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup
mengapresiasikannya dengan menangis.
II. A. 7. Perkembangan regulasi emosi
Dodge dan Garber (1991) menyatakan bahwa regulasi dari sistem-sistem
respon sering dianggap sebagai suatu prestasi perkembangan karena hal ini
merupakan koordinasi yang tidak diperoleh langsung saat kita dilahirkan sehingga
biasanya diperoleh pada masa-masa awal kehidupan. Kopp (1989) menyatakan
bahwa regulasi awalnya diperoleh dari lingkungan eksternal (pengasuh) dan tugas
perkembangan hubungan antara bayi dan pengasuh adalah untuk mentransfer
kontrol tersebut pada bayi. Pada bulan pertama kehidupan, peristiwa-peristiwa
yang terjadi tanpa disadari, seperti mengisap, memutar kepala, dan pergerakan
tangan ke mulut merupakan hasil pembelajaran terhadap adanya stimulus negatif
(negative arousal states). Cicchetti, Ganiban, dan Barnett (dalam Dodge dan
Garber, 1991) memandang adanya kontribusi dari sistem-sistem saraf pada bulan-
Universitas Sumatera Utara
34
bulan pertama kehidupan, yang membuat bayi mampu memiliki kendali atas
respon-respon motorik dan fisiologis. Selain itu, menurut Malatesta dan Walden
adanya fungsi pengaturan dari interaksi antara bayi dan pengasuh, yang kemudian
nantinya akan menjadi sumber informasi yang akan menjadi kontrol perilaku yang
tidak nampak terutama pada hal-hal yang negatif.
Pada saat bayi mulai matang, kemampuan kognitifnya mulai berkembang
(seperti diskriminasi, perencanaan, dan selective attention) membuat mereka
sudah mulai bisa untuk melakukan regulasi emosi. Seluruh kegiatan ini didukung
dan dimonitor oleh pengasuh. Diantara yang paling penting pada pencapaian
perkembangan dikaitkan dengan munculnya regulasi emosi adalah pencapaian
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Menangis menjadi sangat
komunikatif, membuat bayi mampu untuk menunjukkan isyarat kepada pengasuh
saat regulasi eksternal diperlukan. Dan menangis berubah menjadi sinyal-sinyal
nonverbal, seperti melihat kepada ibunya saat dipaparkan stimulus yang baru atau
ambigu, kemudian dengan munculnya bahasa.
II. B. Anak Tunarungu
II. B. 1. Definisi anak tunarungu
Menurut Heward (1998) tunarungu (hearing impairment) adalah suatu
istilah genetik yang mencakup ketidakmampuan mendengar (hearing disabilities)
dari rentang ringan hingga parah (mild to profound), sehingga meliputi anak-anak
yang tuli (deaf) dan mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing). Ketulian
(deaf) adalah mereka yang tidak mampu mendengar untuk mengerti sebuah
percakapan, walaupun mereka menerima beberapa suara. Terkadang walaupun
Universitas Sumatera Utara
35
memakai alat bantu dengar, kehilangan pendengaran yang sangat besar tidak bisa
membuat mereka bisa mengerti sebuah percakapan jika hanya mengandalkan
telinganya saja. Hal ini berbeda dengan seseorang yang mengalami kesulitan
pendengaran (hard of hearing) yaitu seseorang yang memiliki kehilangan
pendengaran yang signifikan sehingga memerlukan adapatasi khusus. Berg (1986)
menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan anak yang memiliki kesulitan
pendengaran dapat merespon percakapan dan stimulus auditori lainnya. Dengan
kata lain, kemampuan bahasa dan berbicara anak yang mengalami kesulitan
pendengaran yang mengalami penurunan atau keterlambatan bisa berkembang
dengan saluran suara (auditory channel). Anak-anak yang mengalami kesulitan
pendengaran mampu menggunakan pendengaran mereka memahami suatu
percakapan, terutama jika menggunakan bantuan alat bantu dengar.
Somantri (2007) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai
suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Batasan pengertian anak tunarungu banyak diungkapkan oleh para ahli. Seperti
menurut Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2007) yang mengemukakan bahwa
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (low of hearing). Tuli atau tunarungu adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran
tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk
mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar atau
Universitas Sumatera Utara
36
hearing aids. Selain itu Salim (dalam Somantri, 2007) juga menyimpulkan bahwa
anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus
untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Memperhatikan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian
(hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya
tidak berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
II. B. 2. Klasifikasi tunarungu
Menurut Somantri (2007) klasifikasi tunarungu dibagi menjadi dua, yaitu
secara etiologis dan menurut tarafnya:
a. Klasifikasi secara etiologis
Yaitu pembagian yang berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab
ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu:
1. Sebelum dilahirkan
a) Salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu atau
mempunyai gel sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominan
gen, resesif gen, dan lain-lain.
b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu
penyakit terutama penyakit-penyakit yang diderita saat-saat
Universitas Sumatera Utara
37
kehamilan tri semester pertama, yaitu pada saat pembentuka ruang
telinga. Penyakit itu adalah rubella, moribili, dan lain-lain.
c) Karena keracunan obat-obatan, pada suatu kehamilan ibu
meminum obat-obatan terlau banyak, ibu seorang pencandu
alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya, sehingga
dia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat
menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
2. Saat kelahiran
a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan
dibantu dengan penyedotan.
b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
3. Setelah kelahiran (post natal)
a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak
(meningitis) atau infeksi umum, seperti difteri, morbili, dan lain-
lain.
b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
c) Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran
bagian dalam, misalnya jatuh.
b. Klasifikasi menurut tarafnya
Menurut Heward (1995) ada beberapa tingkatan dari kerusakan
pendengaran dan berbagai pengaruhnya pada anak. Tidak ada dua anak yang
benar-benar memiliki pola pendengaran yang sama. Anak-anak mendengar suara
dengan derajat kejelasan yang berbeda dan anak yang memiliki kemampuan
Universitas Sumatera Utara
38
mendengar sama bervariasi dari hari ke hari. Beberapa tingkatan dari kerusakan
pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pendengaran lebih ringan (27-40 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran slight loss bisa memiliki kesulitan
mendengar samar-samar atau pidato yang jauh dan anak-anak ini biasanya
tidak memiliki kesulitan dalam situasi sosial.
b. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran ringan masih bisa memahami
percakapan dengan jarak 3-5 kaki (face to face) dan bisa kehilangan
sekitar 50% diskusi di kelas jika suaranya samar-samar atau tidak sejajar
dengan garis penglihatan. Bisa memiliki keterbatasan kosakata dan
ketidakteraturan dalam berbicara.
c. Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB)
Anak yang mengalami gangguan pendengaran sedang hanya bisa mengerti
percakapan dengan suara keras, kesulita dalam diskusi kelompok semakin
meningkat, berkemungkinan adanya gangguan berbicara, kesulitan dalam
penggunaan pemahaman bahasa dan berkemungkinan memiliki kosakata
yang terbatas.
d. Gangguan pendengaran berat (71-90dB)
Anak yang mengalami gangguan pendengaran berat hanya bisa mendengar
suara dengan jarak 1 kaki dari telinga mereka dan mampu untuk
mengidentifikasi suara-suara pada lingkungan, mampu untuk membedakan
huruf hidup tetapi tidak dengan konsonan (huruf mati). Kemampuan
berbahasa dan berbicara bisa mengalami gangguan atau penurunan dan
Universitas Sumatera Utara
39
tidak bisa berkembang secara spontan jika kehilangan pendengaran
dimulai pada sebelum usia 1 tahun.
e. Gangguan pendengaran sangat berat (91 dB atau lebih)
Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran pada tahap sangat
berat, mereka bisa mendengar beberapa suara keras tetapi lebih
menggunakan sensasi getaran dibandingkan dengan gaya suara. Lebih
menekankan pada penglihatan dibandingkan dengan pendengaran untuk
berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dan berbicara berkemungkinan
besar mengalami kerusakan dan kemampuan ini tidak berkembang secara
spontan jika kehilangan pendengaran pada masa prelingual.
Dwidjokusumo (dalam Somantri, 2007) mengemukakan klasifikasi
menurut taraf dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan
pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB,
penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar
secara khusus.
b. Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,
penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus,
dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan
latihan berbahasa secara khusus.
c. Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.
d. Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Universitas Sumatera Utara
40
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam
kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa,
dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan
kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
II. B. 3. Sejarah perkembangan tunarungu
Wouk (2011) menyatakan bahwa pada beberapa tahun awalnya, orang-
orang yang menderita tunarungu memiliki kehidupan yang terisolasi, terpisah dari
kehidupan sehari. Sekarang hal ini tidak sepenuhnya benar. Saat para peneliti
menemukan berbagai cara yang berbeda untuk menentukan masalah pendengaran,
mereka juga memiliki cara untuk memperbaikinya. Pada tahun 1995, pemenang
dari Miss America merupakan seorang yang mengalami kehilangan pendengaran
semenjak bayi. Untuk pertama kalinya dalam 75 tahun sejarah miss Amerika
dimenangkan oleh seorang yang menderita kecacatan. Setelah beberapa abad
lamanya orang tunarungu mengalami diskriminasi yang mengerikan. Lebih dari
2000 tahun yang lalu, fisuf yunani yaitu Aristoteles dan Plato menyatakan bahwa
orang tunarungu tidak bisa mendapatkan pengajaran dan pada zaman romawi
kuno seorang tunarungu tidak mendapatkan hak penuh sebagai seorang warga
negara.
Pada abad ke 16 hingga 17 tepatnya pada tahun sekitar tahun 1500 an.
Seorang doktor berkebangsaan Itali dan seorang ahli matematika yang bernama
Girolamo Cardano menjadi tertarik terhadap ketulian karena anak tertuanya tidak
bisa mendengar pada salah satu telinganya. Cardano melakukan eksperimen
Universitas Sumatera Utara
41
dengan serangkaan gambar yang diajarkan sehingga bisa mengajar orang yang
tuli. Dia menyebut sebagai kode-kode images visual sehingga Cardano menjadi
orang pertama yang menyatakan bahwa Plato dan Aristoteles salah karena orang
tunarungu bisa diajar. Sekitar 1 abad kemudian, doktor berkebangsaan Ingris yang
bernama John Buwler sepakat dengan Cardano. Buwler mengajarkan orang
berkomunikasi dengan menggunakan tangan mereka. Dia mengajarkan orang
tunarungu menggunakan untuk pergerakan tangan untuk mengekspresikan pikiran
mereka. Dia menyarankan bahasa tanda alphabet. Perbedaan pergerakan tangan
dan jari bisa menunjukan huruf-huruf. Dengan perpindahan tangan ini, orang
tunarungu bisa menghasilkan kata-kata.
Pada tahun 1980 an, Alexander Graham Bell, penemu telepon, adalah
salah satu dari orang yang percaya bersuara akan lebih baik daripada bahasa
isyarat. Tunarungu sudah menjadi bagian dari dirinya semenjak dia masih kecil
karena memiliki ibu yang tuli, dan sebagai anak dia berbicara dengan bahasa
isyarat tetapi semenjak dia mengajar pada anak tunarungu dan menikahi salah
seorang muridnya maka Bell dan yang lain percaya bahwa jika hanya
menggunakan bahasa isyarat maka akan menghambat seseorang berkomunikasi
hanya dengan orang yang tunarungu. Dengan belajar bersuara, maka orang
tunarungu bisa berbicara dengan setiap orang sehingga pada tahun 1880, para
pendidik anak tunarungu mengadakan sebuah pertemuan dunia. Mereka
memutuskan unruk menghentikan untuk mengajarkan bahasa isyarat dan hanya
mengajarkan mereka bersuara.
Pada abad 20-an, sekolah hanya membantu orang tunarungu untuk
berkomunikasi namun tidak melakukan apapun untuk meningkatkan kekurangan
Universitas Sumatera Utara
42
fisik mereka. Hal ini berlangsung sampai abad 20 dan kemudian terjadi
perubahan. Selama bertahun-tahun mulai ada beberapa cara tradisional untuk
menyembukan ketulian dan sebagian besar dari cara tersebut tidak masuk akal
seperti meletakan ranting di telinga dari pagi hingga malam hari. Selain itu, ada
juga dengan memakan lada sehingga mereka bersin dengan anggapan bersin akan
menyembuhkan ketulian. Salah satu metode tertua adalah candling dengan cara
meletakan lilin di dekat telinga mereka untuk menarik kotoran telinga.
Setelah abad 20, para penemu menemukan alat untuk membuat suara lebih
terdengar keras semacam terompet di telinga yang diadaptasi dari penemuan
telepon dari Alexander Graham Bell. Selanjutnya dengan bentuk yang lebih
kecil, terdiri dari mikrophone kecil yang bisa meningkat suara dan membuat
suaranya terdengar lebih keras. Namun, hal ini hanya efektif dalam ruangan
yang tenang, namun tidak membantu saat seseorang berada di restoran yang ribut
karena segala sesuatunya termasuk latar suara yang bising juga ikut terdengar
lebih keras sehingga banyak orang yang menyudahi memakai alat ini karena
alasan tersebut. Saat ini ada alat terbaru, yaitu alat bantu dengar digital yang
terbuat dari komputer sangat kecil yang mengubah suara menjadi kepingan data.
Komputer tersebut tetap bisa menjaga agar latar suara bising tetap terdengar lebih
pelan dan menghasilkan suara yang lebih pelan dibandingkan dari suara yang
terdekat. Alat bantu dengar digital lebih rumit dibandingkan dengan model yang
terdahulu. Satu alat telah dirancang untuk kebutuhan pengguna tertentu, tetapi
alat bantu ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih cerdas, dan
menggunakan power baterai yang lebih kecil dan jika ada kesalahan pada
Universitas Sumatera Utara
43
pengguna maka tidak perlu mengganti alat yang baru hanya dilakukan
penyesuaian.
Dillon (dalam Dornan, 2010) menyatakan bahwa alat bantu dengar terdiri
dari suatu microphone yang mengubah suara kedalam elektro, suatu cetakan
telinga yang mengubah suara kedalam telinga, suatu pengeras suara untuk
meningkatkan kekuatan dari sinyal elektrik, suatu miniatur loudspeaker,
sepasang alat untuk memperkuat suara kedalam terusan telinga dan sebuah
baterai. Alat bantu dibelakang telinga (Behind Ear Aid) adalah alat bantu dengar
yang paling sesuai untuk anak-anak dan alat bantu dengar yang sesuai secara
bilateral direkomendasikan untuk anak-anak dengan bilateral hearing loss
(American Academy of Audiology, 2004). Alat bantu dengar digital adalah alat
yang menerima suara dan membuatnya menjadi digital atau gelombang suara
dibagi menjadi unit yang kecil, diskrit unit sebelum menjadi amplifikasi. Alat
bantu dengar digital bisa diprogram dan disesuaikan pada lingkungan akustik
juataan waktu per detik. Teknologi digital juga membuat hal ini menjadi
mungkin bagi clinician untuk menghasilkan program yang telah disesuaikan
untuk kesulitan mendengar pada orang tertentu.
Universitas Sumatera Utara
44
II. B. 4. Perkembangan emosional anak tunarungu
Goldstein (2005) menyatakan bahwa perkembangan emosional dan
motivasional tidak bisa dianggap sesuatu yang terpisah. Sesuatu yang
menyenangkan akan dicari dan sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari.
a. Severe/profound congenital hearing loss
Pada saat anak baru lahir mereka tidak begitu banyak memiliki
pengalaman auditori. Sehingga pada kondisi tantrum yang
dikombinasikan dengan pengaruh dari hambatan fisik dan kata-kata
yang menenangkan tidak ada. Anak yang mengalami gangguan
pendengaran akan mengacau saat menghadapinya dan menutup mata
dengan air mata yang mengalir seperti juga anak normal lainnya.
Hanya dengan adanya sentuhan yang menetap. Anak kecil yang marah
cenderung untuk mengangkat bahu dan bergerak meninggalkan.
Sebagai akibatnya anak dengan profound congenital hearing loss
berkemungkinan akan mengalaminya dalam waktu yang lebih lama,
ledakan kemarahan dan kejengkelan yang tak henti-henti, menjadi
kurang terbuka terhadap bujukan.
Bayi yang mengalami gangguan pendengaran, saat mereka
ditinggalkan, saat kontak mata mereka telah hilang, mereka merasa
terisolasi. Tidak adanya isyarat auditori menyebabkan baik sering
mengalami keterkejutan singkat. Reaksi terhadap keterkejutan adalah
suatu respon emosional yang tergabung dengan produksi adrenalin.
Universitas Sumatera Utara
45
b. Moderate congenital hearing loss
Masih adanya kemungkinan bahwa frekuensi rendah dalam
percakapan bisa didengar. Dan juga berdampak bisa mendeteksinya
suara bising. Walaupun pengalaman auditori masih lemah, pada masa
awal perkembangan suara-suara yang menenangkan dan bersenandung
akan menjadi efektif. Nada dan bukan isi yang penting. Pada akhirnya,
saat komunikasi verbal merupakan elemen kunci , suatu
ketidakmampuan untuk memahami dengan segera atau mampu untuk
mengekspresikan pikiran yang mengarahkan pada frustasi. Seperti
yang diprediksi bahwa kelompok anak ini juga menunjukkan lebih
banyak tanda-tanda dari kemarahan dan keras kepala.
c. Mild congenital and fluctuating hearing losses
Mild hearing loss bisa jadi yang paling terprovokasi. Jika anak
berbicara dan secara jelas memahami dalam suatu situasi dia
diharapkan bisa merespon pada keseluruhan situasi. Namun hal ini
justru yang tidak bisa dilakukan oleh banyak anak yang mengalami
mild hearing loss. Untuk situasi berikutnya dalam beberapa cara yang
salah karena saat pada hari yang bagus segala sesuatunya tersenyum
dan pada hari yang buruk (poor hearing) instruksi dan penjelasan
susah untuk diikuti atau tidak berhasil diselesaikan. Karena mereka
dianggap suka membantah mereka mudah terprovokasi untuk
mengeluarkan respon marah, yang bisa menjadi ke bentuk temper
tantrum atau menarik diri.
Universitas Sumatera Utara
46
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa gambaran emosional
pada anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu kategori ringan
sampai sedang adalah seringnya mereka marah-marah dengan perilaku
tantrumnya dan juga terkadang menjadi mengeluarkan emosi-emosi yang
menunjukkan penarikan diri.
II. C. Parental Emotional Coaching
II. C. 1. Landasan awal parental emotional coaching
Pelatihan orangtua dalam emotional coaching diawali dengan penelitian
longitudinal yang dilakukan oleh Gottman et al. (dalam Coffrin, 2007) pada 56
pasang suami istri di Illinois dengan anak mereka saat berusia empat atau lima
tahun yang kemudian ditelaah kembali ketika berusia tujuh atau delapan tahun.
Penelitian longitudinal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
sikap orangtua dan respon emosional anak (baik pada diri mereka maupun anak
mereka) dan regulasi emosi anak, tingkah laku, keterampilan sosial, dan performa
akademik (dalam Havinghurst, 2009). Gottman et al, (dalam Cook, 2004)
menemukan bahwa meta emotion coaching mempengaruhi hubungan antara
tingkah laku orangtua dalam pengasuhan dan keterampilan sosial anak.
Gottman dan koleganya (dalam Coffrin, 2007) melakukan penelitian
mengenai parents’meta philoshopy yang mengacu pada serangkaian pikiran dan
perasaan yang terorganisir mengenai emosi orangtua dan emosi anak. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa meta emosi pada dasarnya bervariasi
untuk masing-masing orangtua. Beberapa orangtua memandang bahwa emosi-
emosi negatif, seperti marah dan sedih sebagai hal yang menganggu, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
47
yang lainnya memandang sebagai emosi yang wajar sehingga memerlukan atensi
atau indikator-indikator yang membantu bahwa ada sesuatu yang salah atau terjadi
hal yang mengecewakan dan hal lainnya yang perlu diatasi. Perbedaan makna dari
emotional arousal juga ditemukan oleh yang lainnya (contohnya, Haviland-Jones,
Gebelt & Stapley, 1997; Thompson, Flood, && Lundquist, 1995).
Dalam penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan pada parents’meta
philoshopy (Gottman dan koleganya, 1996) ada dua tipe dasar dari perilaku pola
asuh terhadap emosi-emosi: emotion dismissing dan emotion coaching. Orangtua
yang memiliki pola asuh emotion dismissing memandang bahwa kesedihan dan
kemarahan anak sebagai racun, atau berpotensi akan membahayakan anak.
Mereka percaya bahwa tugas mereka adalah mengubah emosi negatif ini secepat
mungkin dan menjelaskan kepada anak bahwa emosi tersebut tidak penting.
Selain itu, orangtua tersebut bisa jadi tidak melihat adanya alasan anak untuk
bersedih, sebagai contoh komentar orangtua yang pertama adalah, “Apa anak
harus bersedih mengenai...?” (Gottman dan koleganya, 1996). Sehingga pada
akhirnya orangtua memandang kemarahan anak (tanpa adanya kelakuan buruk)
sebagai alasan yang sudah cukup untuk menghukum anak. Orangtua ini memiliki
filosofi meta-emotion menyamakan emosi negatif dengan keegoisan, kehilangan
kontrol, ketidakpedulian, atau kegagalan. Namun hal ini bukan berarti bahwa
orangtua ini selalu keras. Pada kenyataannya, Gottman menemukan bahwa
orangtua dengan pola asuh ini bisa jadi sensitif terhadap perasaan anak mereka
dan ingin membantu, tetapi pendekatan mereka terhadap perasaan-perasaan
negatif adalah mengabaikan atau menolaknya sebisa mungkin.
Universitas Sumatera Utara
48
Sementara itu, orangtua yang memiliki teknik pola asuh yang emotional
coaching akan sangat menyadari terhadap perasaan anak dan sering membuat
suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara
untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosi-emosi.
Orangtua yang mendengarkan anak dan menggunakan berbagai strategi untuk
membantu anak mereka mengatur emosi. Hal ini akan membawa berbagai
keuntungan seperti pemahaman emosi yang lebih baik dan akan lebih mudah
memperbaiki dari situasi yang tidak menyenangkan. Terkait pola pengasuhan,
terdapat tiga macam gaya pengasuhan yaitu
a. Gaya pengasuhan suka menghina (derogation)
Merupakan pengasuhan negatif dimana orangtua bertingkah laku
dengan mengkritik, mengejek anak, dan tidak sabar ketika
mengajarkan sesuatu kepada anak.
b. Gaya pengasuhan yang hangat (warmth)
Orangtua yang menunjukkan kehangatan terhadap anak.
c. Gaya pengasuhan scaffolding
Orangtua responsif dan hangat terhadap anak, tapi berbeda dengan
pengasuhan warmth, orangtua mengajarkan anak hal-hal baru dan
memberi struktur ketika berhadapan dengan situasi dimana mereka
harus mengajarkan anak suatu hal (ketika mengajarkan suatu
permainan, orangtua dengan gaya pengasuhan ini bisa
menjelaskan dengan tenang tujuan dan prosedur permainan,
menunggu anak untuk mencoba dan memberi pujian ketika anak
melakukannya dengan benar).
Universitas Sumatera Utara
49
Secara lebih spesifik, emotion coaching berkorelasi negatif dengan
derogatory parenting dan berkorelasi positif dengan scaffollding (praising parent
behavior).
II. C. 2. Definisi Parental Emotional Coaching
Menurut Gottman (1996) emotional coaching mencakup lima komponen,
yaitu:
1. Aspek pertama yaitu menyadari munculnya emosi anak, bahkan jika emosi
tersebut hanya memiliki intensitas yang rendah. Hal ini membuat orangtua
memungkinkan untuk mengenali tanda-tanda awal dari kesedihan dan
kemarahan anak dan mengaitkannya dengan emosi negatif yang pernah
terjadi, sebelum mulai meningkat ke intensitas yang tinggi.
2. Emotion coaching parent memandang emosi-emosi negatif dari anak
merupakan suatu kesempatan untuk melakukan keakraban dan pengajaran
kepada anak. Orangtua ini memandang kesedihan, sebagai informasi
penting dan suatu isyarat bahwa sesuatu telah salah dan menggunakan
ekspresi dari anak mereka ini untuk sebagai cara untuk membuat
hubungan dengan mereka. Contohnya, orangtua memberi skor yang tinggi
pada variabel perasaan dekat dengan anak-anak mereka saat mereka
merasa sedih (Gottman et al., 1997).
3. Komponen yang bertujuan untuk memvalidasi atau berempati pada emosi
negatif anak. Hal ini mencakup komunikasi dengan anak bahwa
merupakan sesuatu yang wajar apabila mengalami emosi negatif pada
situasi yang tidak menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
50
4. Emotional coaching parents membantu anak memberi label terhadap
emosi negatif. Yaitu, orangtua membantu anak untuk menempatkan
perasaan mereka ke dalam kata-kata yang dapat meningkatkan
pemahaman mereka dari pengalaman emosi yang pernah mereka alami..
5. Komponen dari emotion coaching mengacu pada pemecahan masalah
anak. Hal-hal ini bisa mencakup membuat batasan waktu sebagai contoh,
“Ok jika kamu marah, namun kamu tidak boleh memukul adikmu,
mengambarkan perilaku yang tepat, dan membantu anak untuk
memperjelas tujuan dan strategi-strategi untuk mencapainya.
Berdasarkan pada penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa
emotional coaching terdiri dari lima komponen. Komponen tersebut dimulai pada
saat orangtua mulai menyadari emosi anak muncul, emosi negatif yang muncul
tersebut dianggap sebagai media pembelajaran bagi anak dan sarana orangtua
untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak mereka. Selain itu,
bagaimana orangtua bisa memastikan dan berempati terhadap emosi negatif yang
dialami oleh anak, membantu anak memberikan label terhadap emosi negatif yang
sedang dialami anak sehingga akhirnya bisa mencari pemecahan masalah terhadap
emosi negatif yang sedang dialami anak. Namun, dalam penelitian ini juga
memasukan emosi gembira atau senang dari emosi dasar manusia selain dari
emosi-emosi negatif yaitu marah, cemburu, kecewa, dan takut.
Universitas Sumatera Utara
51
II. C. 3. Kecenderungan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif
anak berdasarkan teori Gottman
Gottman & DeClaire (1998) menjelaskan bahwa ada empat gaya
pengasuhan yang berkaitan dengan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi
negatif anak, yaitu orangtua yang mengabaikan (dimissing style), tidak menyetujui
(disaproving style), membebaskan (laissez-faire), dan pelatih emosi (the emotion
coaching style). Umumnya orangtua lebih dominan pada satu gaya. Namun
demikian, penggunaan gaya lain dapat terjadi sesekali. Berikut penjelasan dari
empat gaya tersebut (Gottman & DeClaire, 1998; Gottman & Talaris Institute,
2004):
1. Orangtua yang mengabaikan (dimissing style)
Orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak didasari oleh
keyakinan emosi negatif adalah sesuatu yang tidak perlu atau justru
berbahaya, dan perlu dihindari. Akibatnya, mereka menghindari
emosi-emosi tersebut, berusaha “memperbaiki” perasaan anak, atau
berupaya mengalihkan mereka dari perasaan tersebut. Mereka
berpendapat tidaklah sehat “menyimpan” emosi berlama-lama. Bila
mereka terlibat dalam penyelesaian masalah dengan anak-anak
mereka, mereka memusatkan perhatian pada yang dibutuhkan untuk
“mengatasi” emosi, bukan pada emosi itu sendiri.
Sebagian dari orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak
cenderung meremehkan perasaan anak karena anak-anak dalam
pandangan mereka “hanyalah anak-anak”. Mereka berpandangan
bahwa kesedihan/kekecewaan anak (misalnya kesedihan atas mainan
Universitas Sumatera Utara
52
yang rusak atau masalah di tempat bermain) adalah “hal-hal kecil”,
terutama bila dibandingkan dengan kecemasan-kecemasan orang
dewasa mengenai hal-hal seperti kehilangan pekerjaan. Hal ini bukan
mengisyaratkan bahwa setiap orangtua yang mengabaikan tidak
mempunyai kepekaan. Pada kenyataannya, banyak yang merasa sangat
akrab dan melindungi mereka.
Dengan orangtua yang cenderung mengabaikan emosi negatif, anak
dapat merasa, seringkali diabaikan ketika ia merasakan emosi yang
kuat. Anak belajar untuk percaya bahwa emosi seperti sedih atau
marah adalah sesuatu yang buruk dan perlu diperbaiki segera. Anak
tidak belajar bagaimana mengatasi emosi, dan dapat mengalami
kesulitan untuk itu ketika ia mengalami kekecewaan.
2. Orangtua yang tidak menyetujui (disapproving style)
Orangtua semacam ini mempunyai banyak persamaan dengan orangtua
yang mengabaikan emosi-emosi anaknya, dengan beberapa perbedaan;
secara mencolok orangtua tersebut kritis dan tidak berempati saat anak
mengambarkan pengalaman-pengalaman emosional. Mereka bukan
sekedar mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi-emosi
negatif anak, mereka tidak menyetujuinya. Hal ini dilandasi keyakinan
bahwa emosi-emosi negatif adalah hal yang tidak dapat diterima dan
dapat dikontrol. Sehingga, jangankan memahami emosi anak, orangtua
justru memberikan disiplin atau menghukum anak karena emosi yang
mereka rasakan.
Universitas Sumatera Utara
53
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orangtua
yang cenderung menolak maka akan mengalami kesulitan dalam
menyakini penilaian mereka sendiri, tumbuh dengan perasaan “ada
sesuatu yang salah” pada diri mereka, cenderung memiliki harga diri
yang rendah, mengalami kesulitan dalam melakukan regulasi emosi,
mengalami kesulitan berkonsentrasi, belajar, dan bersosialisasi dengan
anak lain.
3. Orangtua laissez faire
Orangtua yang menerima emosi anak, bersedia menerima tanpa syarat
perasaan-perasaan apa saja yang diungkapkan anak mereka. Orangtua
seperti ini penuh empati terhadap anak dan mereka memberitahukan
anak-anak mereka bahwa apapun yang mereka alami, orangtua
memperbolehkannya. Tetapi, orangtua tidak memberikan bimbingan
kepada anak mereka tentang bagaimana mengatasi emosi-emosi
negatif.
Orangtua menginginkan agar anak mengetahui bahwa
mengekspresikan emosi adalah suatu hal yang positif, dan apapun
tingkah laku yang ditunjukkan anak mereka akan selalu dicintai.
Terkait emosi negatif, orangtua cenderung melihat amarah dan
kesedihan sebagai suatu masalah “melepaskan uap”, membiarkan anak
mengungkapkan emosi-emosinya, maka pekerjaan sebagai orangtua
telah selesai. Kesadaran tentang bagaimana menolong anak-anak untuk
belajar dari pengalaman emosional tergolong rendah. Karenanya,
mereka tidak mengajarkan bagaimana memecahkan masalah kepada
Universitas Sumatera Utara
54
anak dan banyak yang merasa kesulitan menentukan batas-batas
tentang tingkah laku.
Pada dasarnya, pendekatan ini baik dalam beberapa hal, tetapi tidak
cukup adekuat untuk membantu perkembangan emosional bagi anak.
Dengan orangtua laissez-faire, anak dapat merasa cukup nyaman untuk
mengekspresikan perasaaanya. Akan tetapi, tanpa adanya batasan akan
perilaku maupun bimbingan untuk mengatasi emosi, anak tidak belajar
untuk mengatasi emosi dengan cara yang tepat. Dampaknya, anak
kurang memiliki kemampuan untuk menenangkan diri ketika
mengalami emosi negatif, mengalami kesulitan untuk menangkap
isyarat-isyarat sosial, sehingga dapat lebih sulit untuk menjalin atau
mempertahankan hubungan pertemanan.
4. Pelatih emosi (the emotion coaching style)
Dalam beberapa segi, para orangtua pelatih emosi tidaklah berbeda
dengan orangtua laissez-faire. Kedua kelompok tampaknya menerima
perasaan anak mereka tanpa syarat. Tidak satupun dari kedua
kelompok ini mencoba mengabaikan atau menyangkal perasaan anak
mereka. Namun, ada perbedaan-perbedaan penting antara kedua
kelompok, antara lain para orangtua pelatih emosi berfungsi sebagai
pemandu anak ketika anak mengalami pengalaman emosional. Mereka
tidak hanya menerima emosi anak, tapi juga memberi batasan-batasan
terhadap tingkah laku yang tidak tepat, mengajar anak dalam mengatur
perasaan, menemukan ungkapan-ungkapan yang tepat untuk perasaan
mereka dan memecahkan masalah.
Universitas Sumatera Utara
55
Dengan dibesarkan oleh orangtua yang melatih emosi, anak merasa
dihargai dan diberikan rasa nyaman ketika seluruh emosi dirasakannya
diterima. Pada saat yang bersamaan, anak belajar bahwa ada batasan-
batasan ketika emosi dirasakan begitu kuat. Anak menerima empati
ketika ia marah atau kecewa dan bimbingan untuk mengatasi emosi.
Selain itu, anak belajar untuk menghargai perasaannya dan
memecahkan masalah.
II. D. Parental Emotional Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan
Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu
Anak yang terlahir dengan kondisi tunarungu memiliki konsekuensi
terhadap dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Banyak penelitian
menunjukan seseorang tunarungu bisa juga mempengaruhi psikososialnya.
Terutama pengaruh yang negatif, tetapi pengaruh positif juga pasti ada. Area-area
yang paling banyak terpengaruh akibat keadaan seseorang yang tunarungu adalah
area komunikasi dan bahasa. Hal ini mempengaruhi dalam hal penyampaian
informasi dan keinginan sehingga akan berpengaruh terhadap adanya masalah
sosialisasi dan emosi.
Emosi adalah suatu perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang
berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting baginya
(Santrock, 2002). Perkembangan emosi merupakan suatu hal yang harus
diperkenalkan atau diajarkan kepada anak sejak dini. Setiap orang harus dapat
mengenali emosi sebab penting untuk keberhasilan hidup. Saat orangtua
Universitas Sumatera Utara
56
mengajarkan emosi kepada anaknya sejak kecil artinya mereka telah mengurangi
rentan terjadinya konflik dengan orang lain.
Eisenberg dan koleganya (Eisenberg, Cumberland & Spinrad, 1998;
Fabes, Poulin, Eisenberg, & Madden-Derdich, 2002) berpendapat bahwa fokus
dari proses sosialisasi emosi dan pengaruhnya terhadap kompetensi emosi
seharusnya berada pada keluarga, dimana komunikasi emosi dipercaya sebagai hal
pertama yang penting. Sehingga, orangtua memainkan peranan penting dalam
mengajari anak mengenai emosi dan pengalaman emosi. Parke (dalam Cofrin,
2002) menyatakan bahwa orangtua mensosialisasikan emosi-emosi anak mereka
dengan cara berinteraksi dan mengajari dan melatih mereka mengenai emosi
(seperti membantu anak untuk mengidentifikasi dan memberi label mengenai
emosi mereka dan orang lain). Cara orangtua mengenalkan tentang emosi dapat
melalui ekspresi wajah, misalnya saat menunjukkan rasa marah, senang, sedih,
terkejut dan takut dapat diperlihatkan melalui dahi yang berkerut, mata serta
mulut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson dalam Santrock (2002) bahwa
orangtua merupakan pihak yang dapat membantu anak-anak dalam menyalurkan
emosi mereka yang sangat beragam. Orangtua dapat mengajarkannya dengan
membuat label pada emosi tersebut serta melatih anak untuk berhadapan dengan
emosi itu secara efektif
Hasil penelitian dari Gottman menyatakan bahwa anak-anak dari
emotional-coaching parents menunjukkan kemampuan regulasi emosi yang lebih
tinggi, kemampuan yang lebih besar untuk memberikan fokus atensi, dan masalah
perilaku yang lebih sedikit berdasarkan dari penilaian oleh guru (Gottman et al.,
1996; 1997). Hal ini sama seperti yang dikemukan oleh Eisenberg dan koleganya
Universitas Sumatera Utara
57
(Eisenberg dan Fabes, 1994; Eisenberg, Fabes, dan Losoya, 1997) menyatakan
bahwa hasil positif dari anak sebagai akibat dari orangtua yang bereaksi terhadap
emosi negatif anak dengan cara yang positif. Mereka berpendapat bahwa anak
yang merasa diterima berdasarkan pengalaman mereka dan mengekspresikan
emosi negatif dan apa yang mereka pelajari dengan cara yang membangun untuk
mengatasi emosi-emosi negatif ini lebih mungkin untuk merasakan simpati
kepada orang lain, bertindak tepat secara sosial, berperilaku positif, dan
konsekuensinya, disukai oleh guru dan teman-teman.
Orangtua diharapkan bisa memiliki gaya pengasuhan yang scaffolfing
dimana orangtua bisa responsif dan hangat terhadap anak, selain itu juga
mengajarkan anak hal-hal baru dan memberikan struktur pemecahan ketika
berhadapan dengan situasi dimana harus mengajarkan anak mengenai suatu hal.
Gaya pengasuhan ini berkorelasi positif dengan emotional coaching. Sementara
itu, saat menghadapi emosi negatif anak maka gaya pengasuhan yang diharapkan
adalah orang tua bisa menjadi pelatih emosi setelah mendapatkan program
parental emotional coaching. Dengan dibesarkan oleh orangtua yang bisa menjadi
pelatih emosi, anak merasa dihargai dan diberikan rasa nyaman ketika seluruh
emosi dirasakannya. Anak bisa menerima empati ketika ia marah atau kecewa dan
bimbingan untuk mengatasi emosi. Selain itu, anak belajar untuk menghargai
perasaanya dan memecahkan masalah. Hasil ini akan dilihat dari kemampuan
orangtua untuk bisa menerapkan problem focused reaction yaitu sejauhmana
orangtua membantu anak dalam memecahkan masalah yang menjadi penyebab
kesedihan/kemarahan/kekecewaanya .
Universitas Sumatera Utara
58
II. E. Hipotesa
Dalam penelitian ini diajukan hipotesa atau jawaban sementara terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesa dalam penelitian ini
adalah:
H0 : tidak terdapat perbedaan kemampuan dalam menghadapi emosi
negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program
parental emosional coaching
Ha : terdapat perbedaan kemampuan dalam menghadapi emosi
negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program
parental emosional coaching
Universitas Sumatera Utara
59
Skema Permasalahan, Realitas, Intervensi, dan Kondisi yang Diharapkan
Permasalahan :
1. Bayi yang terlahir dengan keterbatasan tidak mampu mendengar
dan mendapat diagnosa tunarungu
2. Memiliki hambatan dalam bahasa dan komunikasi
3. Memerlukan penyesuaian dalam ekspresi emosi
Realitas : orangtua binggung dalam memahami ekspresi
emosi negatif anak
Intervensi : Parental emotional coaching kepada
orangtua untuk meningkatkan kemampuan orangtua
dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu
Universitas Sumatera Utara