bab ii landasan teori a. emosi 1. definisi emosi emosi berasal
TRANSCRIPT
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Emosi
1. Definisi Emosi
Emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti “luar” dan
movere dengan arti “bergerak”. Menurut Lahey (2007), emosi merupakan
suatu hal yang dihasilkan dari proses fisiologis sehingga menyebabkan
munculnya reaksi emosi, reaksi emosi ini tidak dapat dibaca akan tetapi
hanya dapat dilihat melalui ekspresi dan perilaku individu saja. Sedangkan
menurut Goleman (2002) yang mengatakan bahwa emosi merujuk pada
suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis
dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak, emosi juga merupakan
reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.
Lazarus (1999) juga menjelaskan mengenai emotions represent the
“wisdom of the ages” yaitu emosi mengambarkan dari kebijaksanaan usia
yang membutuhkan respon-respon terhadap masalah-masalah adaptif yang
berulang. Selanjutnya Lazarus menyatakan bahwa emosi hanya membuat
individu lebih berkemungkinan untuk mengambil tindakan tertentu,
sehingga individu harus mampu untuk mengatur emosi. Menurut Lazarus
(1999), emosi terbagi dua yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi
positif yaitu emosi yang sesuai (congruent) dengan tujuan individu, seperti
happiness (gembira), pride (bangga), relief (lega), hope (harapan), love
(kasih sayang), compassion (kasihan), dan sebaliknya emosi negatif yaitu
15
Universitas Sumatera Utara
16
emosi yang tidak sesuai dengan tujuan individu, seperti anger (marah),
anxiety (cemas), fright (takut), jealously (perasaan bersalah), shame (malu),
disgust (jijik).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah
suatu hal yang dihasilkan dari proses fisiologis yang merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran (kognitif) yang khas yang bereaksi terhadap
rangsangan dari luar dan dalam diri individu sehingga berkemungkinan
untuk mengambil tindakan tertentu.
2. Proses Emosi
Menurut Gross (2007), proses emosi sebagai model modalitas yang
didasari oleh adanya suatu transaksi antara individu dengan situasi. Proses
emosi meliputi situation-attention-appraisal-response yang kemudian Gross
menyebutnya sebagai The Modal Model of Emotion. Rangkaian ini dimulai
dengan situasi (situation) external dan internal yang relevan dengan individu
secara psikologis, selanjutnya individu anak memberi perhatian (attention)
apabila situasi tersebut relevan dengan dirinya, kemudian individu memberi
penilaian (appraisal) sehingga muncul respon emosi (response). Rangkaian
proses emosi ini bersifat dinamis dan dapat terjadi berulang serta
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, hal ini tergantung dari
situasi yang dihadapi oleh individu.
Bagan 2. The Modal Model Of Emotion
Universitas Sumatera Utara
17
B. Regulasi Emosi
1. Definisi Regulasi Emosi
Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai kemampuan
individu untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi
emosional untuk mencapai tujuan. Menurut Gross (2007), regulasi emosi
merujuk untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan mengungkapkan
emosi tersebut, regulasi emosi terkait dengan cara emosi dapat
diregulasi/dikontrol. Selanjutnya Gross menambahkan, regulasi emosi
dlakukan pada saat proses emosi tertentu yaitu terjadi sebelum atau sesudah
munculnya respon emosi
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, regulasi emosi adalah
kemampuan individu untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi
reaksi emosional untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan
mengungkap emosi tersebut yang terjadi sebelum atau sesudah munculnya
respon emosi.
2. Aspek Regulasi Emosi
Menurut Thompson (1994), ada tiga aspek regulasi emosi yaitu;
a) Kemampuan memonitor emosi (emotions monitoring) yaitu kemampuan
untuk menyadari dan memahami dari keseluruhan proses yang terjadi
dalam diri, pikiran dan latar belakang dari tindakan individu.
b) Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu
kemampuan untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang
dialami individu. Kemampuan untuk mengelola emosi negatif seperti
Universitas Sumatera Utara
18
kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat
individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat
mengakibatkan individu tidak dapat berfikir secara rasional.
c) Kemampuan memodifikasi emosi (emotions modification) yaitu
kemampuan untuk merubah emosi sehingga mampu memotivasi diri
terutama ketika individu berada dalam putus asa, cemas dan marah.
Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang
sedang dihadapinya.
3. Strategi Regulasi Emosi
Menurut Gross (2014), strategi regulasi emosi didasarkan oleh
proses emosi atau the modal model of emotion. Berdasarkan dari modal
model of emotion, Gross membentuk 5 kelompok strategi regulasi emosi
sehingga individu dapat melakukan regulasi emosi mereka yang kemudian
disebut dengan process model of emotion regulation. Adapun strategi
regulasi emosi tersebut adalah:
1. Pemilihan Situasi (Situation Selection)
Situation selection meliputi tindakan yang menentukan individu
mendapatkan situasi yang diharapkan, sehingga menyebabkan emosi
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Strategi ini terkait
dengan tindakan mendekati atau menghindari orang lain (hubungan
interpersonal) atau situasi berdasarkan dampak emosional yang
muncul. Contohnya menghindar dari kemarahan orang lain, mencari
tempat untuk menangis
Universitas Sumatera Utara
19
2. Modifikasi Situasi (Situation Modification)
Situation modification mengacu pada usaha untuk mengubah situasi
secara langsung untuk mengubah dampak emosional atau teralihkan.
Situation modificaton berhubungan dengan proses modifikasi
lingkungan external dan fisik. Contohnya mengubah lingkungan yang
menyebabkan munculnya emosi negatif.
3. Penyebaran Perhatian (Attentional Deployment)
Attentional deployment yaitu mengarahkan perhatian dalam situasi
tertentu untuk mempengaruhi dan mengatur emosi yang muncul.
Salah satu bentuk umum dari attentional deployment adalah distraksi
dan konsentrasi. Distraksi yaitu cara dengan memfokuskan perhatian
pada aspek-aspek lain dari situasi secara bersamaan. Contohnya
individu mengalihkan pada ingatan yang menyenangkan ketika
menghadapi keadaan emosi yang negatif. Berbeda dengan distraksi,
konsentrasi yaitu menarik perhatian pada aspek-aspek yang
berhubungan dengan situasi. Contohnya individu memfokuskan atau
melibatkan ingatannya mengenai suatu situasi yang memunculkan
emosi.
4. Perubahan Kognitif (Cognitive Change)
Cognitive change mengacu pada cara individu menilai situasi tertentu
sehingga dapat mengubah makna emosional, baik itu dengan
mengubah cara berpikir mengenai situasi atau kemampuan seseorang
untuk mengelola atau mengatur tuntutan. Salah satu bentuk sangat
Universitas Sumatera Utara
20
baik yang dipelajari dari cognitive change adalah reappraisal, bentuk
cognitive change sering digunakan untuk mengurangi emosi negatif
tetapi dapat juga untuk meningkatkan atau menurunkan emosi positif
dan negatif.
5. Perubahan Respon ( Response Modulation)
Response modulation terjadi diakhir proses emosi yaitu setelah
kecenderungan respon dimulai atau sudah terjadi dan mempengaruhi
secara langsung experiential, behavioral, atau komponen
physiological respon emosi. Salah satu contoh dari response
modulation adalah expressive suppression, yaitu individu mencoba
untuk mencegah secara terus-menerus perilaku emotion-expressive
negatif atau positif.
Model strategi regulasi emosi tersebut dapat dibagi menjadi dua
kelompok strategi yaitu antecedent-focused strategies dan response-focused
strategies. Antecendent-focused strategies digunakan untuk proses
mempersiapkan kecenderungan respon sebelum sebelumnya diaktifkan,
tipe yang termasuk antecedent-focused strategies adalah situatian selection,
situation modification, attentional deployment dan coginitive change.
Sedangkan response-focused strategies digunakan untuk penggerakan
respon emosi yang sebenarnya ketika emosi sedang berlangsung, tipe untuk
response-focused strategies yaitu response modulation.
Universitas Sumatera Utara
21
Bagan 3. Process Model Of Emotion Regulation
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Menurut Sheppes (dalam Gross, 2014), terdapat tiga faktor penentu
utama yang mempengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi, yaitu;
1. Intensitas emosional merupakan dimensi utama variasi di konteks
emosional. Pada situasi dengan intensi rendah dan emosi yang
negatif, individu akan lebih memilih untuk melakukan penilaian
kembali. Sedangkan individu dalam situasi intensitas tinggi dengan
emosi negatif cenderung memilih untuk memblokir informasi
emosional atau dengan menghindar situasi yang menimbulkan
emosi sebelum mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi.
2. Kompleksitas kognitif dapat menghasilkan sebuah strategi regulasi
emosi. Hal ini dapat dilihat dengan melibatkan proses kognitif yang
berurutan yaitu generasi, implementasi dan pemeliharaan. Generasi
melibatan untuk menemukan opsi pengaturan yang memadai
sehingga dapat menggantikan pegolahan infomasi emosional.
Implementasi melibatkan untuk mengaktifkan strategi regulasi
Universitas Sumatera Utara
22
emosi dan pemeliharaan memegang peran dalam mempertahankan
regulasi emosi selama yang diperlukan
3. Tujuan motivasi yaitu mengevaluasi stimulus emosional akan
ditemui dalam sekali atau beberapa kali. Stimulus emosional yang
dihadapi beberapa kali dapat lebih baik dalam melakukan regulasi
emosi.
Selain faktor pemilihan strategi regulasi emosi, menurut Riediger &
Klipker (dalam Gross, 2014) bahwa terdapat faktor yang mempengaruhi
kemampuan individu terutama pada usia remaja dalam melakukan regulasi
emosi yaitu familial context. Faktor familial context mempengaruhi cukup
penting dalam memfasilitasi atau menghambat keterampilan regulasi emosi.
Familial context mempengaruhi perkembangan regulasi emosi selama masa
kanak-kanak dan remaja dalam tiga cara yaitu; melalui observasi
pembelajaran, melalui pola pengasuhan orang tua dan melalui iklim
emosional dalam keluarga.
C. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Bunuh diri berasal dari bahasa Latin yaitu “suicidium”. Kata “sui”
yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara
sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh individu yang memandang
bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Selanjutnya Shneidman
mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung
Universitas Sumatera Utara
23
melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan
frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai
satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa
menghentikan rasa sakit yang dideritanya (dalam Silverman, 2006).
Bunuh diri dan percobaan bunuh diri memiliki sedikit perbedaan
definisi. Percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan
memiliki hubungan yang kompleks (Silverman, 2006). Hal ini dikarenakan
adanya interaksi antara etiologi kedua perilaku tersebut, kebanyakan pelaku
bunuh diri melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya
berhasil bunuh diri. Silverman (2006) mendefinisikan percobaan bunuh diri
sebagai sebuah situasi individu telah melakukan sebuah perilaku yang
sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi
hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat
pada kematian.
Berdasarkan penjelasan tersebut, yang dimaksud dengan percobaan
bunuh diri adalah situasi individu untuk membunuh diri dengan intensi
menghabisi hidupnya tetapi belum berakibat kematian.
2. Faktor Penyebab Bunuh Diri
Menurut Maris dkk. (2000), terdapat beberapa faktor penyebab
individu melakukan percobaan bunuh diri dan setiap faktor tersebut saling
berinteraksi. Berikut faktor-faktor yang menyebabkan individu melakukan
percobaan bunuh diri diantaranya;
Universitas Sumatera Utara
24
1. Adanya gangguan mental pada individu, seperti major-deppressive
illness, affective disorder
2. Adanya penyalahgunaan obat-obatan pada individu
3. Individu memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri dan telah
mempersiapkan percobaan bunuh diri
4. Individu memiliki sejarah percobaan bunuh diri , baik pada dirinya
sendiri dan dalam keluarga
5. Individu merasa terisolasi, hidup sendiri, dan penolakan
6. Adanya hopeless dan cognitive rigdity pada individu
7. Individu memiliki permasalahan dalam kehidupannya sehingga
menyebabkan stres, seperti masalah pekerjaan, pernikahan, patologi
keluarga, konflik interpersonal, dan berhubungan langsung dengan
kelompok yang suicidal
3. Dampak Percobaan Bunuh Diri
Menurut Cerel, dkk. (2008), terdapat 4 variabel dampak negatif pada
anak yang menghadapi percobaan bunuh diri pada anggota keluarganya,
yaitu;
1. Muncul simptom-simptom gangguan kesehatan mental pada anak
(mood disorder, anxiety disorder, perilaku bunuh diri, posttraumatic
stress disorder, traumatic grief)
2. Anak memunculkan emosi-emosi negatif (kesedihan, marah dan merasa
bersalah) yang berdampak jangka panjang pada anak.
3. Gangguan fungsional (masalah sosial, masalah akademik di sekolah).
Universitas Sumatera Utara
25
4. Gangguan kesehatan pada fisik (mudah terserang sakit, perubahan
gangguan fisiologis).
D. Remaja
1. Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin yaitu
adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Menurut
Piaget (dalam Hurlock 2007), masa remaja adalah usia individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia individu tidak lagi merasa dibawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.
Piaget juga menjelaskan bahwa kata adolescence memiliki makna yang
lebih dari tumbuh, dimana meliputi kematangan mental, emosional, sosial,
dan fisik. Selain itu, menurut Papalia (2009) masa remaja merupakan masa
transisi atau perubahan dari masa anak-anak menuju masa dewasa,
perubahan yang dimaksudkan meliputi perubahan fisik, kemampuan
kognitif, sosial, harga diri, otonomi, dan keintiman.
Menurut Hurlock (2007), secara umum masa remaja dibagi menjadi
dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja. Awal masa remaja
berlangsung dari umur 13 tahun sampai dengan 16 atau 17 tahun dan akhir
masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai dengan 18 tahun,
yaitu usia matang secara hukum.
2. Perkembangan Emosi Pada Remaja
Menurut Hurlock (2007), masa remaja dianggap sebagai periode
“badai dan tekanan”, yaitu periode terjadinya ketegangan emosi yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
26
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar atau hormon pada tubuh
remaja. Pertumbuhan pada tahun-tahun awal masa remaja terus berlangsung
akan tetapi berjalan lebih lama. Hurlock juga menjelasakan bahwa remaja
lebih banyak dikelilingi maupun dituntut dari kondisi sosial sehingga
munculnya kestabilan atau tidak emosi pada masa remaja karena berada
ditekanan sosial dan menghadapi kondisi yang baru sedangkan pada masa
kanak-kanak mereka kurang mempersiapkan untuk menghadapi keadaan-
keadaan tersebut.
Menurut Gessel, sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan
emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri
pada pola perilau yang baru dan harapan sosial yang baru. Selanjutnya
Gessel juga menjelaskan walaupun emosi remaja seringkali kuat, tidak
terkendali dan tampak irasional, tetapi pada umumnya setiap tahun masa
remaja akan terjadi perbaikan perilaku emosional misalnya, remaja 14 tahun
lebih sering mudah marah, mudah terangsang dan emosi mereka cenderung
“meledak” sedangkan remaja 16 tahun, mereka lebih “lebih tidak punya
keprihatinan” (dalam Hurlock 2007).
Menurut Santrock (2007), masa remaja merupakan suatu masa
fluktuasi emosi (naik-turunnya) yang dapat berlangsung lebih sering.
Selanjutnya, penelitian Rosenblum & Lewis (dalam Santrock 2007)
menujukkan bahwa remaja memiliki suasana hati yang dapat berubah-ubah,
terkadang remaja akan merasa bahagia dan bahkan merasa sangat sedih
tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi remaja. Pada kompetensi
Universitas Sumatera Utara
27
emosional, masa remaja cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya,
seperti perasaan bersalah karena marah. Kesadaran yang dimiliki remaja
dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi emosinya.
Kemampuan remaja yang menyadari siklus emosional sehingga mereka
dapat mempersiapkan untuk dapat mengatasi stres dan fluktuasi emosional
secara efektif, namun banyak juga remaja tidak dapat mengelola emosinya
secara lebih efektif (dalam Santrock 2007). Remaja yang tidak dapat
mengelola emosi secara lebih efektif cenderung untuk mengalami depresi,
mudah marah, cemas yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai
masalah seperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja
atau gangguan makanan.
3. Regulasi Emosi Pada Remaja
Regulasi emosi berperan penting dalam kemampuan remaja ketika
menghadapi suatu tantangan maupun peristiwa yang menekan kondisi
psikologisnya. Remaja yang mampu untuk melakukan regulasi emosi
mampu untuk beradaptasi dalan kehidupan sosial dan kestabilan emosinya
(dalam Gross, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gebeck dan
Skinner (dalam Gross 2014), ketika remaja dalam kondisi stres umumnya
akan melakukan strategi regulasi emosi dengan cara menghindar dari situasi
yang memunculkan emosi negatif. Namun, secara kognitif remaja mampu
untuk merefleksikan keadaan emosional mereka sendiri. Remaja juga dapat
menggunakan strategi cognitive change untuk menghadapi ketidakstabilan
emosi mereka seperti self-talk positif dan penilaian kembali.
Universitas Sumatera Utara
28
E. Gambaran Regulasi Emosi Remaja Terhadap Percobaan Bunuh Diri
Orang Tua
Percobaan bunuh diri adalah suatu tindakan individu ketika telah
melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam
hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi,
tetapi belum berakibat pada kematian (Silverman, 2006). Terdapat beberapa
fakor yang menyebabkan individu melakukan percobaan bunuh diri, salah
satunya yang paling banyak ditemukan adalah permasalahan dalam
kehidupannya sehingga menyebabkan stres.
Percobaan bunuh diri tidak hanya berdampak negatif pada pelaku,
namun juga berdampak negatif pada anggota keluarga terutama pada anak-
anak yang menginjak usia remaja. Menurut Cerel, dkk. (2008), salah satu
variabel dampak negatif pada anak yang menghadapi percobaan bunuh diri
orang tuanya adalah anak akan memunculkan emosi-emosi negatif seperti
kesedihan, marah dan merasa bersalah yang berdampak negatif dalam
jangka panjang pada anak. Melihat dampak tersebut, anak-anak perlu untuk
melakukan suatu cara mengontrol emosinya.
Regulasi emosi adalah suatu cara untuk membentuk salah satu atau
lebih emosi dan belajar untuk mengungkapkan emosi yang muncul.
Regulasi emosi terkait dengan cara emosi dapat diregulasi atau dikontrol
(Gross, 2007). Regulasi emosi sendiri dapat menjadi upaya yang dilakukan
remaja untuk mengontrol dan mengurangi emosi-emosi negatif yang
muncul terhadap peristiwa percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh salah
Universitas Sumatera Utara
29
satu orang tuanya. Remaja yang mampu melakukan regulasi emosi mampu
untuk mengekspresikan emosi dengan baik sehingga dapat mengubah situasi
terhadap dampak dari percobaan bunuh diri orang tua dan juga mengubah
lingkungan sosial menjadi lebih baik (Garrison, 2003).
Terdapat lima strategi regulasi yang dapat dilakukan remaja. Strategi
regulasi emosi terdiri dari situation selection, situation modification,
attentional deployment, cognitive change dan response modulation (Gross,
2007). Kelima strategi regulasi tersebut didasarkan dari proses emosi yaitu
proses situation-attention-appraisal-response.
Strategi situation selection dihasilkan dari proses situation. Pada
strategi ini, remaja yang menghadapi percobaan bunuh diri salah satu orang
tuanya memilih situasi yang diinginkannya dengan cara menghindari orang
yang terkait dengan peristiwa tersebut sehingga membuat remaja merasa
lebih tenang dan dapat menghindari emosi negatif yang muncul. Menurut
Gross (2007), strategi situation selection memiliki manfaat dalam kurun
waktu yang singkat, hal ini dikarenakan individu mencoba untuk
menghindari situasi.
Strategi situation modification juga dihasilkan dari proses emosi
pertama yaitu situation. Berbeda dengan strategi sebelumnya, strategi ini
mengacu pada upaya remaja untuk mengubah situasi percobaan bunuh diri
orang tuanya secara langsung dengan cara memodifikasi lingkungan
remaja, hal ini digunakan untuk mengalihkan dampak emosi negatif yang
dirasakan oleh remaja tehadap peristiwa tersebut. Menurut Gross (2007),
Universitas Sumatera Utara
30
situation modification dilakukan hanya pada lingkungan eksternal dan
lingkungan fisik.
Strategi attentional deployment dihasilkan dari proses emosi tahap
kedua yaitu attention. Strategi ini mengarahkan perhatian remaja terhadap
situasi yang memunculkan emosi negatif pada peristiwa percobaan bunuh
diri orang tuanya. Pada strategi ini remaja akan memilih untuk mengalihkan
perhatian terhadap situasi tersebut atau mencoba untuk memperhatikan
situasi yang dialaminya. Menurut Gross (2007), strategi attentional
deployment memiliki berbagai bentuk yaitu menarik diri secara fisik,
pengalihan secra internal, dan pengalihan respon.
Cognitive change merupakan strategi yang dihasilkan pada tahap
appraisal pada proses emosi. Strategi cognitive change mengarahkan remaja
untuk menilai mengenai peristiwa percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh
orang tuanya. Penilaian digunakan remaja utnuk melihat sisi lain dari
peristiwa tersebut sehingga mengubah emosi negatif menjadi lebih positif.
Menurut Gross (2007), strategi cognitive change digunakan untuk
pengalaman atau peristiwa internal, misalnya physiological arousal yang di
alami individu terhadap suatu situasi tertentu.
Strategi terakhir yang dihasilkan dari proses emosi pada tahap
response adalah strategi response modulation. Pada strategi ini remaja yang
mengalami peristiwa percobaan bunuh diri orang tuanya menujukkan
response dalam bentuk perilaku yang dapat diamati atau dilihat secara
Universitas Sumatera Utara
31
langsung. Pada umunya, individu dapat melakukan regulasi emosi, jika
individu dapat menemukan cara untuk mengekspresikan emosi yang muncul
dalam cara yang lebih adaptif daripada maladaptif (Gross, 2007).
Menelaah lebih lanjut, menurut Gross (2007) proses emosi
berlangsung secara dinamis, sehingga proses emosi dapat terjadi berulang
dan berlangsung dalam waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi
regulasi emosi dapat terjadi secara berulang dan dinamis. Setiap individu
dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi
emosi dalam suatu kondisi dan situasi tertentu. Hal ini tergantung pada
situasi yang sedang dihadapi individu (Gross, 2007).
Selanjutnya Sheppes (dalam Gross,2014) menambahkan, terdapat tiga
faktor penentu yang mempengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi
yaitu intensitas emosional, kompleksitas kognitif dan tujuan motivasi.
Intensitas emosional adalah dimensi dalam konteks emosional yang
berhubungan dengan intensitas situasi dan level dari emosi yang muncul.
Kompleksitas kognitif yaitu berkaitan dengan proses kognitif remaja dalam
menghadapi suatu situasi dan kemunculan emosinya. Selanjutnya, tujuan
motivasi berkaitan dengan dorongan dan pengalaman individu terhadap
situasi yang dialaminya. Selain tiga faktor tersebut, menurut Riedger &
Klipker (dalam Gross, 2014) terdapat faktor familial context yang
mempengaruhi kemampuan remaja dalam melakukan regulasi emosi.
Familial context mempengaruhi perkembangan regulasi emosi selama masa
kanak-kanak dan remaja dalam tiga cara yaitu; melalui observasi
Universitas Sumatera Utara
32
pembelajaran, melalui pola pengasuhan orang tua dan melalui iklim
emosional dalam keluarga.
Universitas Sumatera Utara
33
Situation
Regulasi Emosi Remaja yang MengalamiPercobaan Bunuh Diri Orang Tua
Response
Appraisal
Attention
Situation Selection
Situation Modification
Attentional Deployment
Cognitive Change
Response Modulation
Faktor PemilihanStrategi RegulasiEmosi:1. Intensitas
Emosional2. Kompleksitas
Kognitif3. Tujuan Motivasi
Faktor KemampuanRegulasi EmosiRemaja:
Familial Context
Keterangan:
Proses KognitifStrategi Regulasi EmosiFaktor yang Mempengaruhi
Bagan 4. Paradigma Teoritis
Universitas Sumatera Utara