bab ii landasan teori dan tinjauan pustaka 2.1 landasan
TRANSCRIPT
21
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Kualitas Layanan
Menurut Lovelock dan Wright (2005: 5), layanan adalah tindakan atau
kinerja yang menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan mewujudkan
perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan. Menurut Kotler dan
Armstrong (2003: 337), layanan adalah berbagai kegiatan atau manfaat yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud,
dan tidak menghasilkan perpindahan kepemilikan. Dari dua pengertian layanan ini
dapat dipahami layanan merupakan tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh
suatu pihak kepada pihak lainnya. Kinerja layanan pada dasarnya tidak nyata dan
biasanya tidak menghasilkan kepemilikian atas faktor-faktor produksi. Layanan
juga dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan
manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari
tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan
tersebut.
Layanan (service) merupakan suatu peristiwa yang sangat kompleks. Kata
“service” dapat memiliki makna yang berbeda, yaitu service sebagai layanan
seseorang (personal service) dan service sebagai suatu produk. Hal yang
terpenting dari layanan adalah bagaimana kualitas layanan dipersepsikan oleh
pelanggan. Layanan biasanya dirasakan secara subjektif oleh pelanggan dengan
melibatkan berbagai macam ekspresi yang terkait dengan pengalaman,
22
kepercayaan, perasaan, dan kenyaman pelanggan. Menurut Gronroos (1998),
layanan memiliki empat karakteristik dasar, yaitu: (1) bersifat tidak berwujud
(intangibles), (2) merupakan serangkaian aktivitas, (3) proses produksi dan
konsumsi dilakukan secara bersamaan, dan (4) adanya partisipasi konsumen
dalam proses produksi. Menurut Kotler dan Armstrong (2003; p.368), layanan
memiliki karakteristik yang terdiri atas: (1) tidak berwujud, (2) tidak terpisahkan
(inseparable), (3) berubah-ubah, dan (4) tidak tahan lama. Menurut Lovelock dan
Wright (2007), layanan merupakan serangkaian kegiatan yang memiliki
karakteristik: (1) tidak berwujud (intangible), (2) mudah rusak (perishable), (3)
sangat beragam (variability), (4) diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan
(inseparable), serta (5) pelanggan berpartisipasi aktif dalam proses produksinya.
Dari ketiga pendapat tersebut dapat dipahami bahwa layanan memiliki
karakteristik tidak berwujud (intangible), diproduksi dan dikonsumsi secara
bersamaan (inseparable), berubah-ubah/sangat beragam (variability), mudah
rusak (perishable), dan pelanggan berpartisipasi aktif dalam proses produksinya,
serta tidak menghasilkan kepemilikian bagi konsumen atas faktor-faktor produksi
layanan (lack of ownership).
Karakteristik tidak berwujud (intangibles) menyebabkan layanan tidak
dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli.
Karakteristik ini menyebabkan layanan berbeda dengan barang. Layanan
merupakan suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja, atau usaha.
Hal ini menyebabkan konsumen mengalami ketidakpastian dalam pembelian
layanan karena terbatasnya karakteristik fisik yang dapat dievaluasi konsumen
sebelum melakukan pembelian. Bagi konsumen kualitas apa dan bagaimana
23
layanan akan diterimanya, secara umum tidak dapat diketahui sebelum layanan
tersebut dikonsumsi. Dengan demikian konsumen akan merasakan resiko yang
besar pada saat awal pembelian layanan, sehingga dalam memutuskan untuk
membeli suatu layanan konsumen akan lebih banyak dipengaruhi oleh sumber
informasi yang bersifat personal (word of mouth – WOM) dan juga mencari
petunjuk fisik (tangibles clues), seperti penampilan fisik fasilitas layanan,
penampilan karyawan, atau harga yang ditetapkan untuk menilai kualitas layanan.
Karakteristik ketidak-berpisahan (inseparable) antara proses produksi dan
konsumsi menyebabkan layanan diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang
bersamaan dan tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, baik penyedianya berupa
manusia atau mesin. Layanan secara umum dijual terlebih dahulu, baru kemudian
diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Bagi layanan yang
memiliki tingkat kontak dengan pelanggan yang tinggi, penyedia layanan dan
pelanggan harus sama-sama hadir, dan interaksi di antara mereka merupakan
faktor penting yang menentukan kepuasan konsumen terhadap layanan tersebut.
Peranan karyawan pada lini depan sangat penting dalam menyampaikan atau
merealisasikan layanan kepada konsumen, dan bila konsumen menyukai
karyawan tersebut kemungkinan mereka akan puas dengan layanan yang
diberikan. Dengan demikian, karyawan lini depan menjadi representasi layanan
atau perusahaan penyedia layanan di mata konsumen. Selain itu, karakteristik ini
membawa implikasi pada kehadiran konsumen lainnya yang dapat mempengaruhi
kepuasan konsumen terhadap layanan yang disampaikan.
Karakteristik layanan yang berubah-ubah/sangat beragam (variability)
merupakan output layanan yang non-standardized, sehingga banyak variasi
24
bentuk dan kualitas dalam layanan yang tergantung kepada siapa, kapan, dan di
mana layanan tersebut diproduksi. Variasi ini terjadi karena layanan melibatkan
unsur manusia dalam proses produksi dan konsumsinya yang tidak dapat
diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap dan perilaku. Adanya
variasi dalam layanan yang diperankan oleh unsur manusia tergantung pada
kerjasama/partisipasi konsumen selama penyampaian layanan, moral/motivasi
karyawan dalam melayani konsumen, dan beban kerja perusahaan. Variasi ini
dapat diminimalkan dengan cara memilih karyawan yang tepat dan melakukan
service customization yaitu meningkatkan interaksi antara penyedia layanan dan
konsumen sedmikian rupa sehingga layanan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan keinginan individual setiap konsumen.
Karakteristik layanan yang mudah rusak (perishable) menunjukkan
layanan tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Karakteristik ini membawa
implikasi pada permintaan layanan yang berfluktuatif mengikuti musim sepi,
ramai, atau musim puncak. Kegagalan dalam memenuhi permintaan pada musim
puncak (peak season) akan menyebabkan ketidakpuasan konsumen, dan
sebaliknya bila perusahaan menyediakan kapasitas yang sesuai dengan peak
seasons akan mengalami masalah pada saat low seasons, karena banyak kapasitas
yang menganggur. Dilema ini mengharuskan perusahaan penyedia layanan harus
mengelola permintaan dan penawaran yang efesien sesuai dengan kebutuhan.
Mengelola permintaan dapat dilakukan dengan cara menerapkan harga yang
berbeda pada saat peak season dan low season, serta melakukan sistim pemesanan
(reservation) dan sistim antrean. Mengelola penawaran dapat dilakukan dengan
cara menggunakan karyawan paruh waktu pada periode sibuk sehingga
25
perusahaan dapat melayani permintaan konsumen dengan optimal, menyewa
fasilitas, menerapkan pelatihan silang kepada karyawan sehingga memiliki
karyawan yang multiskill, dan meningkatkan partisipasi konsumen dalam layanan.
Karakteristik lack of ownership merupakan perbedaan dasar antara layanan
dan barang. Pada pembelian barang konsumen memiliki hak penuh atas
penggunaan dan manfaat produk yang dimilikinya, yaitu mereka dapat
mengkonsumsi, menyimpan, dan menjualnya kembali. Pada pembelian layanan,
konsumen hanya memiliki akses personal atas suatu layanan untuk jangka waktu
yang terbatas. Pembayaran ditujukan hanya untuk pemakaian, akses, penyewaan
item-item tertentu yang berkaitan dengan layanan yang ditawarkan.
Perbedaan besar yang dapat dilihat dari layanan terletak pada apa yang
diprosesnya. Dalam layanan, manusia, benda fisik, dan data dapat diproses, serta
sifat dari proses tersebut dapat terlihat atau tidak terlihat. Menurut Lovelock dan
Wirtz (2011: 19) layanan dapat diklasifikasikan berdasarkan siapa atau apa yang
menjadi penerima langsung dari layanan, serta sifat dan tindakan layanan.
Layanan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: pemrosesan manusia,
pemrosesan kepemilikan, pemrosesan stimulus mental, dan pemrosesan informasi.
Pemrosesan manusia adalah layanan yang ditujukan pada tubuh seseorang
yang tindakannya dapat terlihat, diantaranya penumpang transportasi, perhotelan,
dan layanan kesehatan. Pemrosesan kepemilikian merupakan layanan yang
ditujukan pada benda fisik yang dimiliki dan tindakannya dapat terlihat, seperti
transportasi kargo, perbaikan dan perawatan benda, binatu, dan dry cleaning.
Pemrosesan stimulus mental adalah layanan yang ditujukan pada pikiran
seseorang dan tindakannya tidak dapat dilihat, seperti pendidikan, iklan/hubungan
26
masyarakat, dan psikoterapi. Pemrosesan informasi merupakan layanan yang
ditujukan kepada aset-aset tidak berwujud yang tindakannya tidak dapat dilihat,
yaitu akuntansi, perbankan, dan jasa hukum.
Layanan juga dapat diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan karyawan
dan interaksi pelanggan dalam layanan. Menurut Olorunniwo et al. (2006),
layanan dapat diklasifikasikan menjadi empat kuadran, yaitu service factory,
service shop, mass service, dan professional service. Service factory merupakan
layanan yang intensitas keterlibatan karyawan rendah dan interaksi pelanggan
juga rendah, yaitu layanan pada airlines, trucking, hotel, resorts, dan recreations.
Service shop merupakan layanan yang intensitas keterlibatan karyawan rendah
dan interaksi pelanggan yang tinggi, yaitu hospitals, retoran, autoservice, dan
layanan perbaikan lainnya. Mass service adalah layanan dengan intensitas
keterlibatan karyawan tinggi dan interaksi pelanggan rendah, yaitu commercial
banking, retailing, sekolah, dan wholeselling. Professional service adalah layanan
yang intensitas keterlibatan karyawan tinggi dan interaksi pelanggan tinggi, yaitu
law firms, accounting firms, dan medical clinics.
Pada literatur tentang kualitas layanan terdapat perdebatan tentang aspek
yang dievaluasi oleh pelanggan berkaitan dengan layanan. Perdebatan itu
menyangkut dimensi dasar tentang kualitas layanan, serta dimensi-dimensi yang
bersifat umum dan khusus yang meliputi berbagai jenis jasa. Pemahaman tentang
kualitas layanan dapat dimulai dari makna kualitas. Pengertian kualitas adalah apa
yang dirasakan oleh pelanggan (Gronroos, 1988). Kualitas layanan merupakan
suatu fenomena yang kompleks yang memerlukan banyak model untuk
menjelaskannya. Layanan adalah sebagian besar tidak berwujud (intangibles)
27
yang secara subyektif proses produksi dan konsumsi dialami secara simultan. Ada
layanan yang frekuensi interaksi antara pelanggan dan penyedia layanan sangat
tinggi, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada interaksi ini berdampak pada
layanan yang dirasakan. Hal yang terpenting dari layanan adalah bagaimana
kualitas layanan dapat dipersepsikan oleh pelanggan, dan biasanya layanan secara
subjektif dirasakan oleh pelanggan dengan melibatkan berbagai macam ekspresi
berdasarkan pengalaman, kepercayaan, perasaan, dan kenyaman pelanggan.
Dalam literatur pemasaran, kualitas layanan pertama kali diperkenalkan
oleh Gronroos pada tahun 1982 dengan konsep perceived service quality dan
model total service quality (Gronroos, 1988). Dalam konsep perceived service
quality dan model total service quality, kualitas layanan yang dirasakan oleh
pelanggan memiliki dua dimensi, yaitu (1) dimensi teknis (outcome), dan (2)
dimensi fungsional (berhubungan dengan proses). Dimensi teknis (technical
quality) merupakan apa yang diterima oleh pelanggan dalam interaksinya dengan
perusahaan penyedia jasa, atau hasil proses produksi layanan yang secara teknis
berperan sebagai solusi dalam mengatasi suatu masalah. Dimensi fungsional
(functional quality) adalah menyangkut cara penyampaian layanan yang
merupakan proses mentransfer layanan kepada pelanggan. Dimensi ini sangat erat
hubungannya dengan interaksi pembeli-penjual, dan bagaimana fungsi mereka.
Dimensi functional quality tidak dapat dievaluasi secara obyektif seperti halnya
dimensi technical quality, sehingga functional quality sering diterima secara
subyektif. Dengan demikian dimensi kualitas layanan harus mampu menjawab
kata “what” dan “how”.
28
Dalam aplikasinya, dua dimensi kualitas layanan yang dikemukakan oleh
Gronroos (1988) dijabarkan ke dalam enam kriteria kualitas layanan, yaitu :
1. Professionalism and skills, adalah pelanggan menyadari bahwa penyedia
jasa, karyawan, sistem operasional, dan sumberdaya fisik memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah
mereka dengan cara yang professional (kriteria yang berhubungan dengan
outcome – technical quality dimensions).
2. Attitude and behavior, adalah pelanggan merasakan bahwa contact person
memperhatikan mereka dan secara genuine tertarik dalam mengatasi
masalah mereka dengan spontan dan ramah (kriteria yang berhubungan
dengan proses – functional quality dimensions).
3. Accessibility and flexibility, adalah pelanggan merasakan bahwa penyedia
jasa, lokasinya, jam kerja, karyawan, dan sistem operasional dirancang dan
beroperasi sedemikian rupa sehingga dapat dicapai dengan mudah dan
fleksibel terhadap permintaan (kriteria yang berhubungan dengan proses –
functional quality dimensions).
4. Reliability and trustworthiness, adalah pelanggan mengetahui bahwa
apapun yang telah disepakati, mereka dapat mempercayai penyedia jasa,
karyawan, dan sistem untuk menepati janji-janji dan berkinerja dengan
niat yang terbaik di hati pelanggan (kriteria yang berhubungan dengan
proses – functional quality dimensions).
5. Recovery, adalah pelanggan menyadari bahwa ketika terjadi sesuatu yang
salah atau tidak dapat diprediksi dan diharapkan, penyedia jasa dengan
29
segera dan aktif mengambil tindakan korektif (kriteria yang berhubungan
dengan proses – functional quality dimensions).
6. Reputation and credibility, adalah pelanggan percaya bahwa operasi dari
penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan kinerja dan nilai yang baik
bagi mereka (kriteria yang berhubungan dengan image – filtering
function).
Menurut Parasuraman, et al. (1991), kualitas layanan memiliki lima
dimensi yang disebut “servqual”, terdiri atas: (1) bukti fisik (tangibles), (2)
empati (empathy), (3) daya tanggap (responsiveness), (4) reliabilitas (reliability),
dan (5) jaminan (assurance). Dimensi bukti fisik (tangibles) meliputi fasilitas
fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Dimensi empati (empathy)
meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian
pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual pelanggan. Dimensi daya
tanggap (responsiveness) merupakan keinginan para staf untuk membantu para
pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Dimensi reliabilitas
(reliability) merupakan kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, dan memuaskan. Dimensi jaminan (assurance) mencakup
pengetahuan, kompetensi, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para
staf, bebas dari bahaya, risiko atau keraguan.
Cronin dan Taylor (1992), mengemukakan bahwa skala pengukuran
kualitas layanan dalam satu industri dimungkinkan untuk memiliki perbedaan
dengan industri jasa lainnya. Jasa dengan keterlibatan pelanggan yang tinggi,
seperti jasa kesehatan atau jasa keuangan memiliki perbedaan pengertian tentang
kualitas layanan daripada jasa dengan keterlibatan pelanggan yang rendah, seperti
30
jasa makanan cepat saji dan dry cleaning. Para pengelola jasa harus mengetahui
dimensi secara individual kualitas layanan dari masing-masing usaha jasa ketika
membuat perbandingan di antara jenis jasa. Pengelola jasa juga harus dapat
menyesuaikan strategi pemasarannya secara lebih efektif sesuai dengan dimensi
dari masing-masing jenis jasa yang dikelolanya.
Menurut McDougall dan Levesque (2000), secara empiris dan teoritis
terdapat dua dimensi dalam kualitas layanan, yaitu (1) kualitas layanan inti (core
service quality), dan (2) kualitas layanan relasional (relational service quality).
Kualitas layanan inti merupakan aspek inti atau hasil (bersifat kontraktual) dari
layanan, sedangkan kualitas layanan relasional menekankan pada aspek relasional
atau proses dari layanan yang lebih banyak mengekspresikan hubungan antara
karyawan dan pelanggan. Kualitas layanan inti mengungkapkan apa yang
disampaikan kepada pelanggan dan kualitas layanan relasional mengungkapkan
bagaimana layanan disampaikan kepada pelanggan, serta keduanya merupakan
elemen dasar bagi hampir semua jenis jasa. Kedua elemen dasar ini diyakini
memiliki hubungan dengan kepuasan pelanggan, khususnya pada studi yang
berfokus dalam menentukan dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan
pelanggan.
Menurut Juwaheer (2004), kualitas layanan hotel yang dipersepsikan oleh
tamu hotel terdiri atas: (1) faktor reliabilitas (reliability), (2) prospek dan
ketelitian karyawan (staff outlook and accuracy), (3) daya tarik dan dekorasi
kamar (room attractiveness and decor), dan (4) norma lingkungan di sekitar hotel
(hotels surrounding and environmental norms). Faktor reliabilitas (reliability)
meliputi karyawan hotel yang memberikan saran membantu kepada tamu, tidak
31
terlalu sibuk dalam merespon permintaan tamu, menunjukkan kesopanan secara
konsisten sepanjang waktu, hotel memberikan solusi yang efektif atas masalah
tamu, memenuhi janji secara tuntas kepada tamu, dan kinerja yang benar sejak
tahap awal layanan. Faktor prospek dan ketelitian karyawan (staff outlook and
accuracy) meliputi kerapihan karyawan dan penanganan pembayaran tamu yang
bebas dari kesalahan. Faktor daya tarik dan dekorasi kamar (room attractiveness
and decor) meliputi kebersihan, daya tarik, kebersihan kamar tidur, dekorasi,
kebersihan dan kenyamanan di kamar mandi dan kebersihan pantai. Faktor norma
lingkungan di sekitar hotel (hotels surrounding and environmental norms)
mencakup kondisi lingkungan di sekitar hotel.
Menurut Olorunniwo et al. (2006), terdapat empat dimensi yang
mendominasi pembentukan kualitas layanan pada service factory (hotel dan
retoran), yaitu: (1) bukti fisik (tangibles), (2) pemulihan layanan (recovery), (3)
daya tanggap (responsiveness), dan (4) pengetahuan (knowledge). Dimensi bukti
fisik (tangibles) meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan personel.
Dimensi pemulihan layanan (recovery) merupakan tingkatan penyedia layanan
yang secara aktif mengambil tindakan perbaikan ketika terjadi kesalahan atau
sesuatu yang tidak diharapkan. Dimensi daya tanggap (responsiveness)
merupakan keinginan atau kesediaan karyawan atau para professional untuk
menyediakan layanan. Dimensi pengetahuan (knowledge) merupakan pengetahuan
atau kompetensi penyedia layanan, khususnya pengetahuan para karyawan dalam
layanan.
Menurut WTO, 2003 (dalam Eraqi, 2006) kualitas layanan dalam bidang
pariwisata (Tourism Service Quality-TourServQual) terdiri atas: (1) keselamatan
32
dan keamanan (safety and security), (2) kebersihan (hygiene), (3) akses
(accessibility), (4) transparansi (transparency), (5) orisinalitas (authenticity), dan
(6) harmoni (harmony). Faktor keselamatan dan keamanan (safety and security)
menjelaskan produk atau jasa pariwisata tidak boleh membahayakan kehidupan,
kesehatan, dan kepentingan vital lainnya (termasuk wisata petualangan). Faktor
kebersihan (hygiene) meliputi kebersihan seluruh failitas akomodasi serta
kebersihan yang terkait dengan makanan dan minuman. Faktor akses
(accessibility) meliputi akses untuk memperoleh layanan pariwisata bagi semua
orang tanpa diskriminasi dan terlepas dari perbedaan, termasuk penyandang cacat.
Faktor transparansi (transparency) merupakan legitimasi harapan dan
perlindungan konsumen. Hal ini terkait dengan penyediaan informasi yang jujur
mengenai karakteristik dan cakupan produk dan harganya. Faktor orisinalitas
(authenticity) adalah keaslian budaya yang membuat produk secara nyata berbeda
dari produk sejenis lainnya. Faktor harmoni (harmony) merupakan keselarasan
manusia dengan lingkungan alam yang berkaitan dengan keberlanjutan. Menjaga
keberlanjutan pariwisata memerlukan pengelolaan dampak lingkungan dan sosial-
ekonomi, membangun indikator lingkungan dan menjaga kualitas produk wisata
dan pasar wisata.
Menurut Reisinger dan Turner (1999), dimensi kualitas layanan suatu
destinasi wisata terdiri atas: (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and
responsiveness), (2) kompetensi (competence), (3) interaksi (interactions),
idealisme (idealism), dan (4) komunikasi (communication). Dimensi kesopanan
dan daya tanggap (courtesy and responsiveness) merupakan kemampuan penyedia
jasa untuk merespon kebutuhan wisatawan seperti sikap membantu, akurat, cepat,
33
hormat, dapat dipercaya, percaya diri, dan sopan. Dimensi ini termasuk
kemampuan untuk memecahkan masalah, melakukan layanan yang diperlukan,
menjawab semua pertanyaan, dan berperilaku dengan cara yang menunjukkan
bahwa wisatawan diperlakukan sebagai tamu. Dimensi kompetensi (competence)
merefleksikan isyarat yang terkait dengan prestasi seperti cara berpikir yang logis,
intelektual, mandiri, ceria, dan harga diri, serta menyiratkan kemampuan penyedia
jasa untuk berpikir dan berperilaku secara profesional. Dimensi interaksi
(interactions) merupakan preferensi untuk bentuk-bentuk interaksi sosial seperti
memiliki hubungan pribadi, berbagi makanan, berolahraga bersama, mengundang
ke rumah, dan bertukar hadiah. Dimensi idealisme (idealism) meliputi
ketenangan, kebahagiaan dan keindahan. Dimensi komunikasi (communication)
menjelaskan kemampuan penyedia jasa untuk menjaga informasi wisatawan,
memberikan penjelasan yang memadai, mendengarkan wisatawan dan peduli
dengan kesejahteraan wisatawan.
Menurut Narayan et al. (2008), kualitas layanan suatu destinasi wisata
tergantung pada dimensi kualitas layanan yang meliputi: (1) keramahtamahan
(hospitality), (2) makanan (food), (3) logistik (logistics), (4) keamanan (security),
(5) nilai uang (value for money), (6) fasilitas (amenities), (7) pengalaman inti-
pariwisata (core-tourism experience), (8) kebersihan (hygiene), (9) harga yang
adil (fairness of price), (10) pusat informasi (information centers), (11) budaya
(culture), (12) gangguan (distractions), (13) informasi secara personal (personal
information), dan (14) hiburan malam (pubs). Keramahtamahan (hospitality)
mengacu pada kesopanan dan keramahan dari petugas imigrasi di pelabuhan, tour
operator, karyawan hotel, dan penduduk lokal. Ada wisatawan yang melakukan
34
perjalanan ke destinasi untuk memahami dan mengalami masakan lokal dan ada
pula sejumlah wisatawan yang ingin dilayani dengan jenis makanan dari negara
asal mereka, sehingga rasa makanan lokal dan ketersediaan pangan bagi
wisatawan menjadi indikasi dimensi makanan (food). Wisatawan sangat peduli
dengan transportasi dan logistik yang ada pada destinasi. Aksesibilitas tempat-
tempat wisata serta kondisi infrastruktur sangat penting bagi wisatawan dan
kemacetan lalu lintas dapat menjadi elemen yang tidak diinginkan, sehingga
logistik (logistics) menjadi dimensi dalam kualitas layanan suatu destinasi wisata.
Keamanan (security) merupakan dimensi yang menjelaskan keinginan wisatawan
untuk merasa aman di hotel tempat mereka tinggal dan obyek wisata yang
dikunjungi, terutama terbebas dari serangan teroris. Nilai uang (value for money)
merupakan dimensi kualitas layanan yang terkait dengan keinginan wisatawan
akan nilai uang sehubungan dengan paket wisata, akomodasi, penerbangan
domestik, makanan di restoran, pengangkutan lokal, dan juga saat berbelanja.
Dimensi fasilitas (amenities), meliputi internet, layanan telekomunikasi
dan fasilitas penukaran uang pada titik-titik kritis yang penting bagi wisatawan.
Wisatawan juga memerlukan akses ke bantuan medis dalam situasi darurat.
Pengalaman inti-pariwisata (core-tourism experience) mengacu pada esensi utama
dari tur, yang meliputi keindahan alam, iklim yang baik, kekayaan warisan
budaya, kedekatan dengan alam, sight seeing, privasi, dan suasana yang
memungkinkan waktu bersantai. Kebersihan (hygiene), merupakan dimensi yang
terkait dengan kebersihan dan kesehatan di bandara, tempat tinggal, tempat-
tempat wisata dan restoran, kebersihan jalan-jalan, serta tingkat kebersihan
makanan yang tersedia di destinasi wisata yang dapat menjadi masalah yang
35
memprihatinkan bagi wisatawan. Di banyak negara tujuan, wisatawan umumnya
mengalami diferensial harga yang merugikan mereka tidak hanya pada tempat-
tempat wisata, tetapi juga di toko-toko dan alat angkut lokal. Sistem ini dirasakan
tidak adil pada saat menjadi bagian dari model penghasil pendapatan bagi
destinasi wisata, karena menimbulkan berbagai tingkat ketidakpuasan bagi
wisatawan, sehingga harga yang adil (fairness of price) menjadi salah satu
dimensi dalam kualitas layanan destinasi. Pusat informasi (information centers)
merupakan dimensi kualitas layanan yang terkait dengan informasi tentang
destinasi yang tersedia di bandara, tempat tinggal, tempat-tempat wisata, layanan
pemandu wisata, serta kemudahan berkomunikasi dalam bahasa yang umum
(misalnya bahasa Inggris). Dimensi budaya (culture) merujuk pada kekayaan
warisan budaya dan interaksi budaya dengan masyarakat setempat. Dimensi
gangguan (distractions) merujuk pada gangguan dan suasana yang tidak
menyenangkan pada destinasi seperti gangguan yang dibuat oleh pengemis dan
pedagang asongan. Dimensi informasi secara personal (personal information)
merupakan kemudahan setiap wisatawan untuk mengakses informasi secara
personal. Kehidupan malam juga merupakan aspek yang cukup penting bagi
banyak wisatawan. Terlepas dari ketersediaan pub, jam operasi pub juga mungkin
penting bagi beberapa orang. Beberapa wisatawan mungkin ingin pub yang buka
sampai larut malam sehingga hiburan malam (pubs) menjadi salah satu dimensi
dari kualitas layanan suatu destinasi wisata.
World Tourism Organization (WTO), 2003 (dalam Eraqi, 2006) telah
menetapkan standar kualitas produk atau layanan dalam bidang pariwisata,
(Tourism Service Quality-TourServQual), diantaranya (1) orisinalitas
36
(authenticity), dan (2) harmoni (harmony). Faktor orisinalitas (authenticity) dan
harmoni (harmony) merupakan faktor yang terkait dengan budaya dan kearifan
lokal. Dalam konteks bisnis pariwisata, orisinalitas (authenticity) merupakan
faktor penentu yang paling krusial dalam pemasaran dan persaingan bisnis.
Orisinalitas secara budaya dapat menjadikan suatu layanan kepada wisatawan
menjadi berbeda dengan layanan sejenis yang ditemukan pada destinasi wisata
lain. Secara prinsip, pengembangan pariwisata pada setiap destinasi sebaiknya
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesinambungan. Pariwisata
yang berkualitas menurut WTO adalah pariwisata yang tidak merusak budaya dan
kearifan lokal yang ada pada destinasi, tetapi pariwisata dapat melestarikan
keberadaan budaya dan kearifan lokal dengan menjaga hubungan yang harmonis
antara wisatawan dan penduduk lokal, serta lingkungan sekitarnya. Dengan
demikian layanan yang berkualitas dalam bidang pariwisata adalah layanan yang
memperhatikan keberadaan unsur-unsur yang terkait dengan budaya dan kearifan
lokal.
Produksi dan distribusi layanan di bidang pariwisata internasional pada
dasarnya melibatkan sejumlah pengalaman lintas-budaya dan pengalaman tersebut
terpusat pada kedua pihak, yaitu wisatawan dan penyedia layanan di bidang
pariwisata. Menurut Weiermair (2000), rantai nilai suatu destinasi yang berbasis
pada nilai-nilai budaya dapat berpengaruh pada perilaku wisatawan. Konstruk
budaya yang komprehensif dapat meramalkan perilaku wisatawan dan penilaian
wisatawan atas kualitas layanan destinasi. Norma-norma budaya berdampak pada
harapan dan persepsi wisatawan terhadap kualitas layanan yang dirasakan.
Wisatawan sebagai konsumen di bidang pariwisata biasanya membeli dan
37
mengkonsumsi berbagai macam layanan, yang secara bersamaan akan membentuk
pengalaman dalam liburan. Dengan demikian, wisatawan cenderung untuk
mendasarkan penilaian mereka pada kualitas layanan dan kepuasan atas
pengalaman liburan pada seluruh komponen dari sistem pariwisata yang
kompleks. Komponen-komponen merupakan rantai nilai pariwisata yang
mendasari produksi dan konsumsi pengalaman liburan. Salah satu komponen
dalam rantai nilai pariwisata adalah budaya lokal pada destinasi wisata yang
menjadi basis dalam kualitas layanan destinasi secara keseluruhan. Kualitas
layanan destinasi yang tinggi akan memberikan pengalaman liburan yang
menyenangkan bagi wisatawan.
Menurut Reisinger dan Turner (1999), faktor budaya dapat mempengaruhi
pengalaman liburan wisatawan Jepang di Australia, terutama persepsi layanan dan
hubungan interpersonal dengan host. Ciri budaya dalam persepsi kualitas layanan
bagi wisatawan Jepang terdiri atas: (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and
responsiveness), (2) kompetensi (competence), (3) interaksi (interactions),
idealisme (idealism), dan (4) komunikasi (communication). Di antara dimensi-
dimensi budaya ini, dimensi yang dominan membentuk persepsi wisatawan
Jepang adalah (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and responsiveness), (2)
kompetensi (competence), dan (3) interaksi (interactions). Dimensi kesopanan dan
daya tanggap (courtesy and responsiveness) menjelaskan kemampuan penyedia
jasa untuk merespon kebutuhan wisatawan seperti sikap membantu, akurat, cepat,
hormat, dapat dipercaya, percaya diri, dan sopan. Variabel ini termasuk
kemampuan untuk memecahkan masalah, melakukan layanan yang diperlukan,
menjawab semua pertanyaan, dan berperilaku dengan cara yang menunjukkan
38
bahwa wisatawan diperlakukan sebagai tamu. Dimensi kompetensi (competence)
menjelaskan isyarat terkait dengan prestasi seperti berpikir logis, intelektual,
mandiri, ceria, dan harga diri, serta menyiratkan kemampuan penyedia jasa untuk
berpikir dan berperilaku secara profesional. Dimensi interaksi (interactions)
menggambarkan preferensi untuk bentuk-bentuk interaksi sosial seperti memiliki
hubungan pribadi, berbagi makanan, berolahraga bersama, mengundang ke
rumah, dan bertukar hadiah. Dimensi idealisme (idealism) merupakan variabel
yang terkait dengan kebutuhan untuk ketenangan, kebahagiaan dan keindahan.
Dimensi komunikasi (communication) mencerminkan kebutuhan untuk
komunikasi yang memadai antara penyedia jasa dan wisatawan, yaitu,
kemampuan penyedia jasa untuk menjaga informasi wisatawan, memberikan
penjelasan yang memadai, mendengarkan wisatawan dan peduli dengan
kesejahteraan wisatawan.
2.1.2 Teori Kepuasan
Kepuasan pelanggan merupakan konsep sentral dalam bisnis, serta
dipandang sebagai salah satu dimensi kinerja bisnis (Gaskill dan Winzar, 2013).
Peningkatan kepuasan pelanggan dapat berpotansi mengarah kepada pertumbuhan
penjualan dalam jangka panjang dan jangka pendek, serta pangsa pasar sebagai
hasil dari loyalitas pelanggan. Sebaliknya, ketidakpuasan pelanggan dapat
menyebabkan sejumlah risiko dalam bisnis, seperti keluhan pelanggan dan
berpindahnya pelanggan ke perusahaan lain.
Dalam literatur bisnis, konsep kepuasan pelanggan memiliki pengertian
yang beragam. Menurut Oliver (1980), kepuasan dapat dilihat sebagai fungsi dari
39
tingkat harapan (adaptasi) dan persepsi diskonfirmasi. Pengertian kepuasan ini
menggambarkan upaya pemenuhan harapan seseorang yang diturunkan dari
adaptation-level theory. Teori ini dikemukakan oleh Helsen pada tahun 1964 yang
menjelaskan bahwa individu hanya akan mempersepsikan stimuli berdasarkan
standar yang diadaptasinya (Tjiptono dan Chandra, 2012). Standar tersebut
tergantung pada persepsi individu terhadap stimulus, konteks, serta karakteristik
psikologis dan fisiologis organisme. Apabila tingkat adaptasi (adaptation level)
individu sudah terbentuk, maka tingkat adapatasi tersebut akan menentukan
evaluasi berikutnya, serta memastikan bahwa setiap penyimpangan positif dan
negatif akan tetap berada dalam rentang posisi orisinal individu yang
bersangkutan. Hanya pengaruh kekuatan besar terhadap adaptation level yang
mampu mengubah evaluasi akhir seseorang. Fenomena adaptation level dalam
proses kepuasan pelanggan dapat dijelaskan dengan beberapa konsep, seperti
ekspektasi, kinerja, dan diskonfirmasi. Ekspektasi pelanggan berperan sebagai
standar pembanding (adaptation level) bagi kinerja produk, sedangkan
diskonfirmasi berperan sebagai kekuatan prinsip yang menyebabkan
penyimpangan positif atau negatif dari adaptation level.
Menurut Kotler dan Armstrong (2003: 10), kepuasan pelanggan adalah
tingkatan di mana anggapan kinerja (perceived performance) suatu produk sesuai
dengan harapan pelanggan. Kepuasan pelanggan tergantung pada anggapan
kinerja suatu produk dalam memberikan nilai relatif terhadap harapan pelanggan.
Pengertian kepuasan ini merujuk pada cognitive dissonance theory yang
dikemukakan oleh Leon Festinger tahun 1957 (Gbadamosi, 2009). Teori ini
berfokus pada keselarasan antara dua elemen kognitif, jika salah satu elemen tidak
40
sesuai atau selaras dengan elemen lainnya maka tercipta situasi dissonance.
Dalam konteks kepuasan pelanggan, kedua elemen kognitif dapat
direpresentasikan dengan harapan terhadap produk sebelum pemakaian atau
konsumsi, dan kinerja produk. Dissonance merupakan kesenjangan atau
perbedaan antara harapan dan kinerja produk. Apabila kinerja produk lebih buruk
daripada harapan pelanggan, maka situasinya adalah negative disconfirmation.
Jika kinerja produk lebih baik daripada harapan pelanggan, maka situasinya
adalah positive disconfirmation. Sedangkan, jika kinerja produk sama atau sesuai
dengan harapan, situasinya disebut simple confirmation. Apabila diskonfirmasi
terjadi, pelanggan akan berusaha menekan atau mengasimilasinya dengan jalan
mengubah persepsinya terhadap produk agar lebih konsisten dengan
ekspektasinya.
Pelanggan mengalami berbagai tingkat kepuasan atau ketidakpuasan
setelah mengkonsumsi produk atau mengalami layanan sesuai dengan sejauh
mana harapan mereka terpenuhi atau terlampaui. Menurut Lovelock dan Wright
(2007: 5), kepuasan adalah keadaan emosional pelanggan yang merupakan reaksi
pasca pembelian produk yang dapat berupa kemarahan, kesedihan, ketidakpuasan,
kejengkelan, netralitas, kegembiraan, atau kesenangan. Pelanggan yang marah
atau tidak puas akan menimbulkan masalah bagi perusahaan, karena mereka dapat
berpindah ke perusahaan lain dan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut.
Pelanggan yang sedikit puas atau netral dapat direbut oleh pesaing, namun
pelanggan yang senang akan tetap loyal walaupun ada tawaran yang menarik dari
pesaing. Kepuasan pelanggan memainkan peran yang sangat penting dalam
industri yang sedang bersaing, karena terdapat perbedaan yang sangat besar dalam
41
loyalitas antara pelanggan yang sekedar puas dan yang benar-benar puas atau
senang.
Menurut Parker dan Mathews (2001), kepuasan merupakan perasaan yang
dihasilkan dari proses mengevaluasi suatu produk, yaitu apa yang diterima
terhadap apa yang diharapkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan/keinginan
seseorang. Pada pengertian ini kepuasan dipahami sebagai suatu hasil dan proses
mengkonsumsi suatu produk. Sebagai suatu hasil, kepuasan difokuskan pada
akibat yang ditimbulkan oleh kepuasan dan merupakan respon afektif dari
pengalaman mengkonsumsi produk, sedangkan sebagai suatu proses, kepuasan
difokuskan pada penyebab dari kepuasan, sehingga pengertian kepuasan
diarahkan pada proses kognitif. Menurut Espejel et al. (2007), pemahaman
terhadap kepuasan tergantung pada perbedaan antara kualitas yang dipersepsikan
dan kualitas yang dialami oleh pelanggan dari suatu produk dan layanan. Dalam
hal ini, kepuasan diakui sebagai suatu respon dengan dimensi ganda, yaitu
emosional dan kognitif. Secara khusus respon emosional muncul sebagai suatu
hasil dari perasaan pelanggan terhadap produk, dan respon kognitif muncul ketika
pelanggan membuat evaluasi obyektif dari harapan tertentu dan penerimaan akhir
dari produk dan layanan. Kedua pendapat ini searah dengan pengertian kepuasan
yang dikemukakan oleh Kotler dan Keller (2009: 177), yaitu kepuasan merupakan
perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan
kinerja produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang diharapkan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa kepuasan pelanggan
merupakan konsep yang beragam. Dalam konteks layanan, Hellier et al. (2003)
mendifinisikan kepuasan secara keseluruhan (overall satisfaction) sebagai tingkat
42
kesenangan atau rasa puas secara keseluruhan yang dirasakan oleh pelanggan
yang dihasilkan dari kemampuan layanan untuk memenuhi keinginan, harapan
dan kebutuhan pelanggan dalam kaitannya dengan layanan. Pada pengertian ini,
kepuasan secara keseluruhan dapat dipahami sebagai tingkat kesenangan
pelanggan secara keseluruhan dari kinerja layanan dalam pemenuhan harapan
pelanggan.
Dari uraian di atas, makna kepuasan dapat dipahami dengan dua
pengertian, yaitu pemahaman kepuasan secara kognitif dan kepuasan secara
afektif. Pemahaman kepuasan secara kognitif difokuskan pada penyebab dari
kepuasan, yaitu apa yang diterima terhadap apa yang diharapkan dalam upaya
pemenuhan kebutuhan/keinginan seseorang, sedangkan pemahaman secara afektif
menyangkut perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah
membandingkan kinerja produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang
diharapkan. Dalam perkembangannya, kepuasan juga dipahami secara
keseluruhan yang merupakan tingkat kesenangan atau rasa puas secara
keseluruhan yang dirasakan oleh pelanggan yang dihasilkan dari kemampuan
produk dalam memenuhi harapan pelanggan.
2.1.3 Theory of Reasoned Action Dan Niat Perilaku Pelanggan
Menurut Taylor et al. (2009: 204), niat perilaku (behavioral intentions)
merupakan niat sadar untuk menjalankan suatu tindakan. Dengan merujuk pada
teori tindakan yang beralasan (theory of reasoned action) yang dikemukakan oleh
Fishbein dan Ajzen (1975), dikemukakan bahwa perilaku nyata individu dapat
didasarkan pada niat perilaku individu. Dalam model yang menjelaskan teori ini,
43
diuraikan bahwa niat perilaku dapat ditentukan oleh dua variabel, yaitu sikap
seseorang terhadap perilaku (attitude) dan norma sosial subyektif (subjective
norms). Sikap seseorang terhadap perilakunya sendiri diprediksi oleh keyakinan
sikap (attitudinal belief) yang merupakan kerangka ekspektasi nilai dan keinginan
untuk mencapai suatu hasil yang akan dipertimbangkan berdasarkan kemungkinan
akan terwujudnya hasil tersebut. Norma sosial (subjective norms) merupakan
ekspektasi tentang bagaimana pemikiran atau perilaku anggota kelompok sosial,
dan norma sosial dapat diprediksi oleh keyakinan normatif individu (normative
belief), yaitu ekspektasi terhadap pertimbangan orang lain dengan motivasi untuk
menyesuaikan diri dengan ekspektasi itu. Secara ringkas model dalam theory
reasoned action ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Theory of Reasoned Action - Fishbein dan Adzen (1975)
Dalam konteks bisnis pariwisata, model dalam theory of reasoned action
dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan niat perilaku loyal wisatawan terhadap
produk layanan yang ditujukan kepada wisatawan, seperti layanan suatu hotel.
Niat perilaku loyal wisatawan dapat diartikan sebagai niat sadar wisatawan untuk
44
setia terhadap layanan suatu hotel. Jika seorang wisatawan mengatakan bahwa
dirinya berniat loyal terhadap layanan suatu hotel, maka dia kemungkinan besar
akan melakukannya daripada wisatawan yang tidak berniat loyal. Dengan
demikian, model tindakan beralasan ini dapat dijadikan rujukan untuk
menjelaskan niat perilaku loyal wisatawan yang dipengaruhi oleh kualitas layanan
dan kepuasan wisatawan.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Kearifan Lokal Pembentuk Karakteristik Orang Bali
Karakter dapat diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, ahlak,
atau budi pekerti (W.J.S. Poerwadarminta). Makna kata “tabiat” merujuk pada
peringai, watak, dan juga budi pekerti. Kata “watak” sebagai akar kata dari
karakter merupakan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
perbuatannya; juga berarti tabiat dan budi pekerti. Selain itu, juga dipaparkan
tentang pendidikan watak, yaitu pendidikan yang bermaksud membentuk watak
orang.
Dari makna kata karakter di atas dapat diketahui bahwa karakteristik setiap
orang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup dan
berkembang. Demikian pula halnya dengan karakteristik orang Bali tidak hanya
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan
spiritual yang telah menjadi kearifan lokal yang sangat kuat dalam membentuk
karakteristik orang Bali seutuhnya. Untuk mengetahui dan meneliti sifat
karakteristik masyarakat di suatu daerah, dapat dinilai dari cara bersosialisasi dan
kebiasaan–kebiasaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Kearifan lokal (local
45
genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil
adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang
dikomunikasikan dari generasi ke generasi (Restu Gunawan, 2008 dalam
Wisnumurti, 2010). Masing-masing daerah, suku, atau komunitas dalam suatu
wilayah memiliki pengetahuan tradisional yang secara empiris merupakan nilai-
nilai yang diyakini oleh komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam
menjalin hubungan antara sesama dan lingkungannya. Dengan demikian kearifan
lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk
bertahan hidup dalam lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan,
norma, budaya, serta diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam
jangka waktu lama. Di Bali, proses regenerasi kearifan lokal ini biasanya dapat
dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti
babad, suluk, tembang, hikayat, lontar, dan lain-lain.
Masyarakat Bali dengan mayoritas beragama Hindu memiliki nilai-nilai
kearifan lokal sebagai pengetahuan yang dipergunakan dalam mengatur tata
kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan
ajaran Agama Hindu. Nilai-nilai yang telah teruji dan terbukti dalam mengatasi
berbagai problematika kehidupan telah berkembang dan diyakini sebagai
pengetahuan yang dapat menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat di Bali.
Salah satu kearifan lokal yang memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan
masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana, yang mengandung pengertian tiga
penyebab kesejahteraan dengan bersumber pada keharmonisan hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia
dengan sesamanya yang saling terkait satu sama lain (Peters dan Wardana, 2013).
46
Dalam kearifan lokal ini, setiap hubungan yang tercipta memiliki pedoman hidup
yang menghargai sesama aspek sekelilingnya dan dilaksanakan secara seimbang
serta selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia
akan hidup dengan menghindari segala tindakan buruk, sehingga hidupnya akan
seimbang, tenteram, dan damai. Tri Hita Karana menjadi falsafah hidup yang
sangat kuat bagi orang Bali, yaitu orang Bali selalu menghargai Tuhan dengan
cara mengingatNya kapanpun dan dimanapun, menghargai alam dengan tidak
merusaknya dan tidak menyalahi aturan yang sudah ada, serta menghargai sesama
manusia dengan menjaga perasaan dan bersikap empati agar selalu rukun dan
damai.
Dalam konteks bisnis pariwisata, di antara ketiga hubungan yang diajarkan
dalam filosofi Tri Hita Karana, hubungan manusia dengan manusia adalah
merupakan pengetahuan lokal yang sangat terkait dalam layanan kebutuhan dan
keinginan wisatawan sebagai konsumen dalam bisnis pariwisata. Beberapa ajaran
lokal yang terkait dengan hubungan antar manusia telah berkembang dari generasi
ke generasi melalui ajaran Agama Hindu dan kehidupan budaya di Bali,
diantaranya Tri Kaya Parisuda, Tatwam Asi, Salunglung Sabayantaka, Paras
Paros Sarpanaya, Bhineka Tunggal Ika, dan nilai kearifan lokal Menyama Braya
(Wisnumurti, 2010). Semua nilai-nilai kerafian lokal tersebut sangat bermakna
bagi kehidupan sosial orang Bali, dan dijadikan rujukan serta bahan acuan dalam
menjaga dan menciptakan relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal
ini merupakan sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara
kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin heterogen
dan kompleks. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang
47
pada masyarakat Bali telah teruji keampuhannya dalam mengatasi konflik-konflik
sosial, masalah ekonomi, dan politik sehingga Bali dikenal sebagai daerah yang
relatif aman di antara daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kearifan lokal pada
masyarakat Bali dan kondisi keamanan yang kondusif serta keindahan alam dan
kualitas budaya yang tinggi telah menjadi faktor-faktor pendorong dalam bisnis
pariwisata di Bali.
Pada penelusuran berbagai literatur Agama Hindu dan tradisional,
diketahui bahwa nilai kearifan lokal Tri Kaya Parisuda, merupakan wujud
keseimbangan dalam membangun karakter dan jati diri manusia dengan
menyatukan unsur pikiran, perkataan, dan perbuatan. Tertanamnya nilai kearifan
ini dapat membentuk manusia yang berkarakter, memiliki konsistensi, dan
akuntabilitas dalam menjalankan kewajiban sosial. Nilai kearifan lokal Tatwam
Asi, mengajarkan pemahaman bahwa semua manusia adalah sama, dengan slogan
“kamu adalah aku dan aku adalah kamu”, memberikan fibrasi bagi sikap dan
perilaku manusia untuk mengakui eksistensi dan menghormati orang lain,
sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai Salunglung Sabayantaka, Paras
Paros Sarpanaya, adalah sutu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan
kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan
sosial yang saling menghargai dan menghormati. Nilai Bhineka Tunggal Ika,
mengajarkan sikap sosial yang menyadari akan kebersamaan di tengah-tengah
perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk
diaktualisasikan dalam tatanan kehidupan sosial yang multikultural. Nilai kearifan
lokal Menyama Braya, mengandung makna persamaan dan persaudaraan serta
pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial
48
dalam persaudaraan, maka sikap dan prilaku diatur agar dapat memandang orang
lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka.
Seluruh nilai-nilai kerafian lokal tersebut telah memberikan makna bagi
kehidupan sosial pada masyarakat Bali, dan menjadi rujukan serta bahan acuan
dalam menjaga dan menciptakahn relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan
lokal ini dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus
secara kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin
heterogen dan kompleks. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap
menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi
dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik.
Ajaran Agama Hindu telah menjadi pedoman dalam kehidupan mayoritas
masyarakat di Bali dan dipelajari dalam tiga bagian, yaitu filsafat, tata susila,
serta upakara (Mantra, 1989). Ketiga bagian ini tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya dan diyakini dapat saling mengisi kehidupan masyarakat Bali
sehari-hari. Dalam hubungan antar manusia, tata susila memainkan peranan yang
sangat penting bagi pembentukan karakter orang Bali. Tata susila merupakan
peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup
manusia. Tujuan tata susila menurut ajaran Agama Hindu adalah untuk membina
hubungan yang selaras antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk yang hidup di
sekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat
dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, dan
antara manusia dengan alam sekitarnya. Semua hubungan yang diajarkan dalam
tata susila ini telah menjadi keyakinan masyarakat Bali sebagai faktor penyebab
kehidupan yang aman dan sejahtera. Suatu keluarga masyarakat bangsa atau
49
manusia yang anggota-anggotanya tidak hidup rukun atau tidak selaras maka
masyarakat dapat menjadi runtuh. Hubungan yang selaras ini diyakini merupakan
cara untuk menuju kebahagiaan, dan sebaliknya hubungan yang tidak selaras akan
menyebabkan malapetaka.
Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga,
masyarakat, dan manusia yang memiliki kepribadian mulia, serta membimbing
mereka untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu tata susila juga menuntun
seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan makhluk sesamanya, dan pada
akhirnya tata susila dapat menuntun manusia untuk mencapai kesatuan jiwatma
(roh) dengan Paramatma (Hyang Widhi Wasa atau Brahma). Kebahagiaan yang
mutlak dan abadi, hanya dapat dicapai bila jiwatma dapat menyatu dengan
Paramatma, yang meliputi perasaan tenang dan tenteram karena murninya roh
(atma) yang disebut Sanskrit Ananda (Bhagawad Gita VI, 20, 21, 22).
Agama merupakan dasar tata susila yang kuat dalam membentuk pribadi
manusia (Mantra, 1989). Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama
terungkap dalam kitab suci Upanisad (wedanta), tattwa-tattwa (tutur-tutur), mulai
dari dalil (axioma) yang mengakui tunggalnya jiwatma (roh) semua mahkluk
dengan Brahma (Paramatma atau Parama Ciwa, Hyang Widhi Wasa). Dalam
kitab suci Upanisad dijelaskan bahwa menyatunya semua jiwatma makhluk
dengan Brahma, menyebabkan jiwatma suatu makhluk menyatu juga dengan
semua jiwatma. Hal ini menimbulkan kesadaran bagi manusia secara individu
bahwa manusia sebenarnya menyatu dan sama dengan manusia dan makhluk lain
(Mascaro dan Harshananda, 2010). Perbuatan seseorang yang baik dan tidak baik
kepada orang lain berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri.
50
Pemahaman ini menghasilkan konsep Tat Twam Asi, yang merupakan salah satu
ajaran tata susila yang pada prinsipnya mencegah seseorang untuk menyakiti
orang lain dan mkhluk lainnya.
Kata “susila” dalam ajaran tata susila, terdiri atas kata “su” dan “sila”.
Kata “su” berarti baik, indah, harmonis. Kata “sila” berarti dasar, perilaku, tata
laku. Dengan demikian “susila” berdekatan dengan pengertian etika, yang
mengandung makna sopan santun, kaidah, norma yang baik (Putra dkk., 2013).
Susila merupakan tingkah laku manusia yang baik dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, di mana realitas hidup manusia tidak dapat terlepas dari hubungan
dengan lingkungannya, dengan sesama, atau dengan alam. Dalam konteks ini,
susila memegang peranan penting dalam membangun watak dan tingkah laku
manusia sehingga dapat menjadi anggota keluarga atau masyarakat yang
berkepribadian mulia untuk mencapai kebahagiaan. Susila dalam ajaran Agama
Hindu mengajarkan tuntunan kesusilaan untuk mencapai kebahagiaan,
keharmonisan, dan kesempurnaan hidup jasmani dan rohani.
Pada dasarnya, susila dipengaruhi oleh dua kategori, yaitu perbuatan baik
yang harus dijalankan dan perbuatan buruk yang harus dihindari. Dalam kitab
Sasamuccaya, diungkapkan bahwa susila adalah hal yang paling utama pada
titisan sebagai manusia. Apabila perilaku sebagai titisan manusia tidak baik dalam
hidup, kekuasaan, atau perbuatannya maka semua akan sia-sia. Susila sesuai
dengan artinya adalah tingkah laku yang baik dalam hubungan timbal balik yang
selaras, harmonis antara manusia dengan alam semesta berdasarkan kasih sayang
dan yajna. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi pola hubungan ini adalah konsep
Tat Twam Asi, yang memiliki makna “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.
51
Konsep ini menekankan pemahaman bahwa hidup segala makhluk adalah sama.
Pemberian bantuan kepada orang lain berarti juga membantu diri sendiri.
Demikian pula sebaliknya dengan menyakitti orang lain berarti menyakiti diri
sendiri. Konsep kesadaran sosial seperti ini dilandasi filsafat bahwa atma adalah
percikan kecil dari Hyang Widhi (Mascaro dan Harshananda, 2010). Atman adalah
Brahman atau Hyang Widhi pada diri manusia, sehingga rumusan ini
membimbing setiap manusia untuk wajib mengasihi orang lain sebagaimana
menyayangi dirinya sendiri. Hal ini merupakan jalan utama menuju masyarakat
yang santi, yaitu masyarakat yang hidup damai dan harmonis. Konsep Tat Twam
Asi dalam pergaulan sosial pada masyarakat terdiri atas cinta kasih, bhakti, dan
yajna (Putra dkk., 2013). Cinta kasih ditandai dengan kecintaan pada kebenaran
dan kebaikan sehingga menjadi kewajiban masyarakat Bali yang beragama Hindu
untuk berbuat baik dan benar. Bhakti merupakan hati nurani yang tulus ikhlas
yang ditujukan kepada Hyang Widhi, orang tua, guru, dan negara. Yajna,
merupakan persembahan yang tulus kepada Hyang Widhi, bangsa, dan negara
dalam bentuk Panca Yajna atau dalam bentuk Swayajna.
Konsep lainnya dalam tata susila adalah Tri Kaya Parisudha, yang berasal
dari kata “tri” berarti tiga, “kaya” berarti perbuatan, dan “parisudha” berarti
sekitar perbuatan yang harus disucikan (Putra dkk., 2013). Tri Kaya Parisudha
adalah tiga perbuatan yang baik, yang terdiri atas manacika (berpikir yang baik),
wacika (berkata yang baik), dan kayika (bertingkah laku yang baik). Tingkah laku,
pikiran, dan perkataan yang baik dapat dicapai dengan pengendalian diri (karma
patha). Dengan akal yang dikaruniai Tuhan, manusia harus mampu
mengendalikan tingkah laku dan perkataan melalui analisa logis tentang yang baik
52
dan buruk. Kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk merupakan
kelebihan manusia daripada makhluk lainnya. Tri Kaya Parisudha mengandung
nilai-nilai universal yang selaras dengan pemikiran moderen, di mana berpikir,
berkata, dan berbuat yang baik dapat diterima oleh semua orang dari berbagai
bangsa dan negara, karena secara filosofi manusia dibedakan berdasarkan
perbuatan (kaya), ucapan (wak), dan pikiran (manah). Pengendalian hawa nafsu
(karma patha) dalam ajaran Tri Kaya Parisudha, terdiri atas :
1. Pengendalian diri melalui tingkah laku, yaitu tidak melakukan penyiksaan
atau pembunuhan terhadap makhluk yang tidak bersalah (himsa karma),
tidak curang terhadap harta benda atau mencuri, dan tidak berzinah.
2. Pengendalian diri melalui perkataan, yaitu tidak mencaci maki orang lain,
tidak berkata-kata kasar terhadap orang lain, tidak menfitnah, dan tidak
ingkar terhadap janji.
3. Pengendalian diri melalui pikiran, yaitu tidak menginginkan sesuatu yang
tidak halal, tidak berfikir buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari
hukum karmaphala. Hukum karmaphala mengungkapkan bahwa semua
perbuatan akan berakibat sesuai dengan perbuatan tersebut.
Pengendalian diri berdasarkan tata susila juga dapat ditemukan dalam
konsep Dasa Yama Brata dan Dasa Nyama Brata. Konsep Dasa Yama Brata
adalah sepuluh jenis pengekangan diri berdasarkan upaya individu untuk menjauhi
larangan agama sebagai norma kehidupan (Putra dkk., 2013). Dasa Yama Brata
terdiri atas tidak egois (anresangsya), suka mengampuni dan tahan uji
menghadapi pasang surutnya kehidupan (ksama), jujur dan setia (satya), kasih
kepada makhluk lain (ahimsa), dapat menasehati diri sendiri dalam
53
mengendalikan nafsunya (dama), berpegang teguh pada kebenaran (arjawa), cinta
dan kasih sayang kepada sesama makhluk hidup (priti), berpikir dan berhati suci
tanpa pamrih (prasada), ramah tamah dan sopan santun (madurya), dan rendah
hati tidak sombong (mardharwa). Konsep Dasa Nyama Brata adalah sepuluh
jenis pengekangan hawa nafsu yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam
menjalankan kehidupan secara individu maupun sosial kemasyarakatan agar
tercapainya kebahagiaan lahir dan bathin. Dasa Nyama Brata terdiri atas rela
memberikan sumbangan atau dana punia (dhana), hormat kepada leluhur dan
orang tua (ijya), melatih diri agar dapat mencapai ketenangan hati (tapa), tekun
memusatkan diri kepada Hyang Widhi (dhyana), mengendalikan hawa nafsu
(uphasthanigraha), mengekang diri pada makanan dan minuman atau taat kepada
sumpah dan janji (brata), melakukan puasa untuk mendekatkan diri dengan Hyang
Widhi (upawasa), membatasi perkataan dan tidak berbuat seenaknya (mona),
tekun mempelajari kitab suci dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi
kehidupan dan kebudayaan (swadhayaya), dan tekun melakukan penyucian diri
setiap hari dengan jalan mandi dan sembahyang (snana).
Semua konsep-konsep tata susila dalam ajaran Agama Hindu tersebut
telah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Bali yang diregenerasi dalam
waktu yang panjang, sehingga menjadi nilai-nilai kerafian lokal yang membentuk
karakter orang Bali. Adapun sifat-sifat khas dan unggul orang Bali tersebut adalah
polos, cucud, jemet, tresna, asih (Wardana, 2014). Polos dimaknai sebagai
kejujuran yang sebenar-benarnya. Orang Bali pantang berbohong dan hampir
tidak bisa berbohong, sehingga orang Bali kentara kalau dia berbohong. Orang
Bali tak pernah berlatih berbohong, dia akan merasa tersiksa jika disuruh
54
berbohong. Orang Bali lebih suka terus terang agar merasa ringan, walaupun ada
resiko dengan berterus terang. Inilah yang menjadi salah satu karakteristiknya
orang Bali. Cucud dimaknai sebagai sifat bertanggung jawab. Tanggung jawab itu
adalah terkait dengan tanggung jawab karma, di mana orang Bali akan
bertanggung jawab atas segala pekerjaan dan perbuatannya, tidak suka
menghindar dari masalah, sangat kesatria, dan orang Bali percaya kepada Hukum
Karma (Karma Phala). Orang Bali percaya bahwa karma tidak bisa dihindari, dan
hukum energi ini kekal dan sempurna adanya. Dengan demikian, orang Bali
disebut cucud yang dalam perilakunya orang Bali pasti akan membayar sesangi
atau janji sekalipun saat dia berjanji tak ada yang tahu. Sifat yang percaya dan
astiti bhakti kepada Hyang Widhi (Tuhan) inilah yang melahirkan salah satu unsur
Tri Hita Karana yaitu Parhyangan. Jemet diartikan sebagai kreatif dan suka
bekerja berdasarkan kreatifitas. Orang Bali akan senang dan sangat rajin serta
antusias, jika diberikan ruang dan waktu untuk mengembangkan kreativitasnya.
Orang Bali pada dasarnya semua seniman, sehingga memiliki perasaan yang peka
dan halus. Tresne adalah sikap saling menghormati yaitu suatu sikap yang
demokratis. Sikap inilah yang melahirkan salah satu roh (spirit) dalam Tri Hita
Karana yaitu Pawongan. Sikap menghormati orang lain ini menyebabkan Bali
terkenal dengan keramah tamahannya. Orang Bali kalau berbicara jarang dengan
muka seram dan serius. Orang Bali lebih suka tersenyum dengan siapa saja, baik
itu sesama orang Bali, maupun orang dari suku lainnya termasuk orang asing dari
negara yang berbeda. Asih diartikan sebagai sifat menyayangi. Rasa sayang ini
tergambar bagaimana orang Bali membangun tata bangunan, tata desa, dan tata
adat. Semua terkesan seolah - olah penuh dengan sentuhan kasih sayang. Orang
55
Bali jarang membuat bangunan yang kaku, sombong, angkuh dan tak bersahabat.
Bangunan orang Bali begitu humanis. Sifat inilah yang menghidupi roh orang
Bali. Palemahan, sebagai salah satu unsur Tri Hita Karana mengemukakan orang
Bali tak suka menebang pohon sembarangan dan menyemblih hewan
sembarangan. Semua itu haruslah untuk suatu persembahan yadnya, persembahan
kepada Tuhan dan alam semesta.
Nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber dari ajaran Agama Hindu telah
menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakan relasi sosial
yang harmonis pada masyarakat Bali. Komitmen kebersamaan dalam perbedaan
dan perbedaan dalam kebersamaan sebagaimana nilai Bineka Tunggal Ika, dengan
dilandasi semangat menyama braya, tidak saja diterapkan pada situasi dan kondisi
konflik, tetapi lebih jauh dari itu dapat menjadi pendoman hidup sehari-hari dalam
mengatasi problem sosial, ekonomi, dan politik yang kerap muncul ditengah-
tengah dinamika kehidupan sosial. Rasa selunglung sabayantaka, yaitu di mana
bumi dipijak di sana langit dijunjung menjadi landasan berpikir bagi setiap orang
Bali untuk selalu menghormati nilai-nilai kearifan lokal dan menjadikannya
pedoman bersama dalam kehidupan sosial. Semua nilai-nilai yang terkandung
dalam kearifan lokal ini menyebabkan Bali tampil sebagai daerah yang damai dan
dikenal secara nasional dan internasional.
2.2.2 Penelitian Tentang Dampak Kualitas Layanan Terhadap Kinerja Bisnis
Penelitian tentang kualitas layanan telah banyak dilakukan dalam berbagai
bisnis jasa yang menunjukkan pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan dan
niat perilaku pelanggan sebagai tujuan bisnis. Pada umumnya pengukuran kualitas
56
layanan menggunakan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman
et al (1988) dengan lima dimensi, yaitu (1) tangibles, (2) reliability, (3)
responsiveness, (4) assurance, dan (5) empathy. Pengukuran kualitas layanan
dengan dimensi yang berbeda masih jarang dilakukan dan pengukuran kelima
dimensi servqual tidak selalu dapat diterapkan pada setiap bidang jasa. Dengan
demikian penelitian tentang kualitas layanan dengan dimensi yang berbeda
dengan servqual sangat diperlukan untuk memperluas pengukuran kualitas
layanan pada jenis layanan yang memiliki latar belakang budaya lokal.
Penelitian kualitas layanan pada umumnya bertujuan untuk mengetahui
variabel-variabel yang membentuk kualitas layanan dan dipakai sebagai dasar
dalam menyusun strategi pemasaran produk layanan yang bersangkutan. Beberapa
penelitian mengenai pengukuran kualitas layanan dalam bisnis hospitaliti
disajikan sebagai berikut :
1. Penelitian Parasuraman et al. (1991) yang berjudul “Refinement and
Reassessment of the SERVQUAL Scale” menunjukkan lima dimensi
kualitas layanan dalam jasa reparasi telephone, bank, dan asuransi. Kelima
dimensi kualitas layanan ini dikenal dengan konsep SERVQUAL, yang
terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya
tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati
(empathy).
2. Penelitian Cronin dan Taylor (1992) yang berjudul “Measuring Service
Quality: A Reexamination and Extension” menunjukkan kualitas layanan
sebagai variabel yang berpengaruh terhadap kepuasan dan niat perilaku
pelanggan dalam empat jenis layanan, yaitu bank, pest control, dry
57
cleaning, dan fast food di Amerika Serikat. Dalam penelitian ini
menggunakan lima dimensi pengukuran kualitas layanan berdasarkan
konsep servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman et al (1988), terdiri
atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya tanggap
(responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati (empathy).
Cronin dan Taylor (1992) menyimpulkan bahwa kualitas layanan yang
terdiri atas lima dimensi tersebut berpengaruh kuat dan signifikan
terhadap kepuasan dan niat pembelian pelanggan pada keempat jenis jasa
yang diteliti.
3. Penelitian Youssef et al., (1996) yang berjudul “Health Care Quality in
NHS Hospitals” menunjukkan pengukuran kualitas layanan pada rumah
sakit di West Midland dengan menggunakan pendekatan servqual yang
dikemukakan oleh Parasuraman et al (1988), terdiri atas (1) fisik
(tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya tanggap (responsiveness),
(4) jaminan (assurance), dan (5) empati (empathy). Hasil analisis tingkat
ekspektasi pelanggan tertinggi adalah dimensi reliability, disusul oleh
empathy, responsiveness, assurance, dan tingkat ekspektasi pelanggan
paling rendah adalah dimensi tangibles.
4. Penelitian McDougall dan Levesque (2000) yang berjudul “Customer
Satisfaction with Services: Putting Perceived Value into the Equation”
menunjukkan kualitas layanan sebagai variabel penentu kepuasan
pelanggan dan membawa dampak pada niat beralih dan niat loyalitas
pelanggan pada empat jenis jasa, yaitu dentist, auto service, restaurant,
and hairstylist di Canada. Dalam penelitian ini kualitas layanan terdiri atas
58
dua dimensi, yaitu kualitas layanan inti (core quality) dan kualitas layanan
relasional (relational quality), di mana kualitas layanan inti dilaporkan
memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kepuasan pelanggan
dibandingkan dengan kualitas layanan relasional.
5. Penelitian Curry dan Sinclair (2002) yang berjudul “Assessing the Quality
of Physiotherapy Services Using Servqual” menunjukkan pengukuran
kualitas layanan pada jasa physiotherapy di Scotland dilakukan dengan
menggunakan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman
et al (1988), terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability),
(3) daya tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5)
empati (empathy). Hasil analisis menunjukkan tingkat ekspektasi
pelanggan yang tertinggi dari dimensi servqual adalah dimensi assurance,
disusul oleh reliability, empathy, responsiveness, dan tingkat ekspektasi
paling rendah adalah dimensi tangibles. Pada tingkat persepsi pelanggan
ditemukan tingkat tertinggi pada dimensi assurance, disusul oleh dimensi
reliability, responsiveness, accessibility, dan tingkat persepsi paling
rendah adalah dimensi tangibles.
6. Penelitian Jabnoun dan Chaker (2003) yang berjudul “Comparing the
Quality of Private and Public Hospitals” menunjukkan pengukuran
kualitas layanan pada rumah sakit pemerintah dan swasta dengan
menggunakan dimensi yang terdiri atas: (1) empathy, (2) tangibles, (3)
reliability, (4) administrative responsiveness, dan (5) supporting skill.
Dari kelima dimensi tersebut, hanya tiga dimensi yang menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara layanan pada rumah sakit pemerintah
59
dan swasta di UEA, yaitu: (1) empathy, (2) administrative responsiveness,
dan (3) supporting skill.
7. Penelitian Chumpitaz dan Paparoidamis (2004) yang berjudul “Service
Quality and Marketing Performance in Business-to-Business Markets:
Exploring the Mediating Role of Client Satisfaction” menunjukkan
dimensi-dimensi dalam kualitas layanan dapat menjadi variabel penentu
kepuasan industri dan membawa dampak pada loyalitas dalam industri
teknologi informatika. Dalam penelitian ini pengukuran kualitas layanan
dalam industri teknologi informatika terdiri atas empat dimensi, yaitu: (1)
accessability, (2) delivery service, (3) product and service reliability, dan
(4) technical assistance. Keempat dimensi kualitas layanan tersebut
terbukti berpengaruh terhadap kepuasan dan loyalitas industri teknologi
informatika.
8. Penelitian Tsoukatos dan Rand (2006) yang berjudul “Path Analysis of
Perceived Service Quality, Satisfaction and Loyalty in Greek Insurance”
menunjukkan konsep servqual oleh Parasuraman et al. (1988) dapat
menjadi kualitas layanan pada industri asuransi di Greek, namun dengan
analisis faktor kelima dimensi dalam servqual berubah menjadi dua
dimensi, yaitu: (1) non-tangibles, dan (2) tangibles. Dimensi non-
tangibles merupakan gabungan indikator-indikator dalam dimensi
reliability, assurance, responsiveness, dan empathy, sedangkan dimensi
tangibles masih tetap mengandung indikator-indikator pengukuran
tangibles dalam servqual. Dengan menggunakan path analysis, dimensi
non-tangibles terbukti dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan,
60
sedangkan dimensi tangibles tidak dapat mempengaruhi kepuasan
pelanggan. Selanjutnya, kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap niat
untuk merekomendasikan asuransi tetapi tidak berpengaruh terhadap niat
pembelian kembali.
9. Penelitian Hoare dan Butcher (2008) yang berjudul “Do Chinese Cultural
Values Affect Customer Satisfaction/Loyalty ?”, menunjukkan bahwa
kualitas layanan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
kepuasan dan loyalitas pelanggan pada restoran Cina di Australia. Dalam
penelitian ini, pengukuran kualitas layanan terdiri atas empat dimensi,
yaitu: (1) interaction quality, (2) food appeal, (3) facility quality, dan (4)
product knowledge. Dengan menerapkan analisis faktor pada keempat
dimensi ini, hanya tiga dimensi yang dikonfirmasi sebagai kualitas
layanan pada restoran Cina, yaitu (1) interaction quality, (2) food appeal,
dan (3) performance comparison. Berdasarkan hasil analisis regresi,
dimensi food appeal dan performance comparison terbukti dapat
mempengaruhi loyalitas pelanggan, sedangkan dimensi interaction quality
tidak terbukti dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan pada restoran Cina
di Australia.
10. Penelitian Rigopoulou et al. (2008) yang berjudul “After Sales Service
Quality as an Antecedent of Customer Satisfaction. The Case of Electronic
Appliances”, menunjukkan kualitas layanan pasca pembelian berpengaruh
terhadap kepuasan dan niat perilaku pelanggan peralatan elektronika di
Greece. Penelitian ini menunjukkan terdapat dua dimensi dalam kualitas
layanan pasca pembelian peralatan elektronika, yaitu: (1) delivery, dan (2)
61
installation. Kedua dimensi ini merupakan dimensi yang dapat
membentuk kualitas layanan pasca pembelian peralatan elektronika, dan
menentukan kepuasan serta niat perilaku pelanggan yang menguntungkan
bagi perusahaan.
11. Penelitian Gounaris et al. (2010) yang berjudul “An Examination of the
Effects of Service Quality and Satisfaction on Customer’s Behavioral
Intentions in e-Shopping”, menunjukkan kualitas layanan dalam konteks
internet shopping secara positif dan signifikan dapat mempengaruhi
kepuasan dan niat perilaku pelanggan dalam melakukan pembelian secara
online. Penelitian ini dilaksanakan di Greece dengan pengukuran kualitas
layanan terdiri atas empat dimensi, yaitu: (1) information, (2) user
friendliness, (3) aesthetics, dan (4) interaction/adaptation. Keempat
dimensi ini dibuktikan dapat membentuk variabel kualitas layanan yang
berpengaruh terhadap kepuasan dan niat perilaku yang menguntungkan
pelanggan pada internet shopping.
12. Penelitian Jeong dan Lee (2010) yang berjudul “A Study on the Customer
Satisfaction and Customer Loyalty on Furniture Purchaser in On-Line
Shop”, menunjukkan bahwa kualitas layanan dapat berpengaruh terhadap
kepuasan dan loyaltas pelanggan dalam melakukan pembelian produk
furniture dari on-line shopping mall. Dalam penelitian Jeong dan Lee
(2010) ini, pengukuran kualitas layanan terdiri atas lima dimensi, yaitu (1)
product diversity, (2) tangibles, (3) responsiveness, (4) interaction, dan
(5) stability. Kelima dimensi kualitas layanan ini ditemukan dapat
62
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan dan loyalitas
pelanggan yang melakukan pembelian furniture secara online.
13. Penelitian Jani dan Han (2011) yang berjudul “Investigating the Key
Factors Affecting Behavioral Intentions. Evidence from A Full-Service
Restaurant Setting”, menunjukkan bahwa kinerja pertemuan kualitas
layanan (service encounter performance) sebagai variabel penentu
kepuasan pelanggan melalui harga (perceived price) dan emosi (affect),
serta bertujuan akhir untuk mencapai niat perilaku pelanggan melalui
kualitas relasional. Penelitian ini dilakukan pada full-service restaurant di
Amerika Serikat, dan pengukuran kinerja pertemuan kualitas layanan
terdiri atas indikator: (1) interaksi karyawan dengan pelanggan, (2)
perhatian khusus karyawan pada permintaan pelanggan, (3) layanan
karyawan yang orisinil, (4) layanan karyawan yang efesien dan cakap, dan
(5) layanan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dalam
penelitian ini, Jani dan Han (2011) mengkonfirmasi kelima indikator
sebagai variabel pembentuk kinerja pertemuan kualitas layanan yang
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan
melalui emosi (affect), namun tidak terbukti berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan melalui harga (perceived price).
Pada uraian di atas terlihat bahwa konsep servqual yang terdiri atas lima
dimensi kualitas layanan telah dipergunakan pada berbagai studi tentang kualitas
layanan, namun tidak semua studi menggunakankan konsep servqual secara total.
Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian-penelitian yang menyangkut
kualitas layanan dalam bisnis hotel, sebagai berikut:
63
1. Penelitian Juwaheer (2004) yang berjudul “Exploring International
Tourist’s Perception of Hotel Operations by Using A Modified
SERVQUAL Approach – A Case Study of Mauritius” menunjukkan
kualitas layanan sebagai penentu kepuasan tamu hotel di Mauritius.
Kualitas layanan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan servqual
yang telah dimodifikasi, terdiri atas: (1) reliability, (2) assurance, (3) extra
room benefits sought, (4) staff communication and additional amenities
sought, (5) room attractiveness and de´ cor, (6) empathy, (7) staff outlook
and accuracy, (8) food and service related, dan (9) hotel surroundings and
environmental. Dari kesembilan faktor tersebut, hanya empat faktor yang
dapat membentuk kualitas layanan hotel, yaitu (1) reliability, (2) staff
outlook and accuracy, (3) room attractiveness and de´ cor, dan (4) hotel
surroundings and environmental. Selain itu, Juwaheer (2004)
menunjukkan bahwa kualitas layanan dapat mempengaruhi kepuasan tamu
hotel dengan lima dimensi kualitas layanan, terdiri atas: (1) reliability, (2)
staff outlook and accuracy, (3) room attractiveness and de´ cor, (4) hotel
surroundings and environmental, dan (5) food and service related.
Juwaheer (2004) juga menunjukkan kualitas layanan dapat mempengaruhi
keputusan tamu untuk merekomendasikan hotel kepada pihak lain, dengan
dimensi kualitas layanan yang terdiri atas (1) room attractiveness and de´
cor, (2) reliability, (3) hotel surroundings and environmental, dan (4) food
and service related.
2. Penelitian Olorunniwo et al. (2006) yang berjudul “Service Quality,
Customer Satisfaction, and Behavioral Intentions in the Service Factory”
64
menunjukkan kualitas layanan sebagai variabel penentu kepuasan dan niat
perilaku pelanggan dalam layanan hotel di Amerika Serikat. Dalam
penelitian ini menggunakan enam dimensi pengukuran kualitas layanan
dengan merujuk pada konsep servperf yang diperkenalkan oleh
Parasuraman et al (1988, 1993) dan Cronin dan Taylor (1992). Konsep
servperf tersebut terdiri atas: (1) tangibles, (2) responsiveness, (3)
knowledge, (4) reliability and trust, (5) accessibility and flexibility, dan (6)
recovery. Olorunniwo et al (2006) menyimpulkan bahwa kualitas layanan
hotel yang terdiri atas dimensi: (1) tangibles, (2) responsiveness, (3)
knowledge, dan (4) recovery terbukti secara positif dan signifikan sebagai
dimensi kualitas layanan yang berpengaruh terhadap kepuasan dan niat
perilaku pelanggan, sedangkan dimensi (1) reliability and trust dan (2)
accessibility and flexibility tidak terbukti sebagai dimensi kualitas layanan
pada layanan hotel.
3. Penelitian Ekinci et al.(2008) yang berjudul “An Extended Models of the
Antecedents and Consequences of Consumer Satisfaction for Hospitality
Services” menunjukkan bahwa kualitas layanan merupakan variabel
anteseden kepuasan pelanggan pada industri hospitaliti (hotel dan restoran) di
United Kingdom. Dalam penelitian ini, pengukuran kualitas layanan pada
hotel dan restoran terdiri atas dua dimensi, yaitu: (1) physical quality, dan (2)
staff behavior. Ekinci et al. (2008) menunjukkan bahwa kedua dimensi ini
merupakan pembentuk kualitas layanan, serta secara langsung mempengaruhi
kepuasan pelanggan dan secara tidak langsung mempengaruhi niat untuk
kembali kepada penyedia layanan hotel dan restoran.
65
4. Penelitian Dortyol et al (2014) yang berjudul “How Do International
Tourists Perceive Hotel Quality? An Exploratory Study of Service Quality
in Antalya Tourism Region” menggunakan sepuluh dimensi untuk
pengukuran kualitas layanan yang dipersepsikan oleh wisatawan
internasional pada hotel berbintang di Antalya, Turkey, yaitu: (1) friendly,
courteous and helpful employees, (2) room amenities, (3) food quality and
reliability, (4) interaction with Turkish culture, (5) entertainment
opportunities, (6) tangibles, (7) level of prices, (8) transportation, (9)
climate and hygiene, dan (10) security. Dari sepuluh dimensi kualitas
layanan tersebut, dimensi tangibles dan food quality and reliability
merupakan dimensi yang paling berpengaruh terhadap kepuasan
wisatawan sebagai tamu hotel. Dimensi hotel employees and problem
solving, transportation, food quality and reliability, climate and hygiene,
level of price, tangibles, interaction with Turkish culture, dan friendly,
courteous and helpful employees merupakan dimensi yang berpengaruh
secara signifikan terhadap niat tamu hotel untuk merekomendasikan hotel.
Dimensi tangibles, interaction with Turkish culture, dan level of price
merupakan dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap niat tamu hotel
untuk datang kembali ke hotel.
5. Penelitian Uddin (2015) yang berjudul “Assessing the Quality of
Hospitality Services: A Study on Hotels in Chittagong”, menunjukkan
bahwa kualitas layanan pada hotel berbintang di Bangladesh tidak dapat
diukur dengan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman
et al (1988) yang terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas
66
(reliability), (3) daya tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance),
dan (5) empati (empathy). Dari kelima dimensi dalam servqual tersebut,
tidak satupun merupakan harapan tamu yang menginap di hotel. Dengan
demikian, manajemen hotel disarankan untuk mencari dimensi-dimensi
lain dari kualitas layanan pada hotel berbintang.
Secara ringkas, semua penelitian mengenai kualitas layanan yang
diaplikasikan dalam bisnis hotel dapat dirangkum dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Tentang Kualitas Layanan dalam Bisnis Perhotelan
No Peneliti
Obyek dan
Tempat
Penelitian
Variabel Pengukuran
Kualitas Layanan
Metode
Analisi Hasil
1 Juwaheer,
2004
Hotel di
Mauritius
1. Reliability
2. Assurance
3. Extra room
amenities
4. Staff
communication
and additional
amenities sought
5. Room
attractiveness
and décor
6. Empathy
7. Staff outlook and
accuracy
8. Food and service
related
9. Hotel
surroundings
and
environmental
Analisis
faktor
Dimensi kualitas
layanan hotel yang
berpengaruh terhadap
kepuasan dan loyalitas
tamu hotel terdiri atas:
1. Reliability
2. Room attractiveness
and décor
3. Hotel surroundings
and environmental
4. Food and service
related
2 Olorunni
wo et al.,
2006
Hotel di
Amerika
Serikat
1. Tangibles
2. Responsiveness
3. Knowledge
4. Reliability and
trust
5. Accessibility and
flexibility
6. Recovery
Structura
l equation
modeling
Dimensi kualitas
layanan hotel yang
berpengaruh terhadap
kepuasan dan niat
perilaku pelanggan
terdiri atas:
1. Tangibles
2. Responsiveness
3. Knowledge
4. Recovery
67
3 Ekinci et
al., 2008
Hospitality
industry
(hotel dan
restoran) di
United
Kingdom
1. Physical quality
2. Staff behavior
Partial
least
square
Dimensi kualitas
layanan hotel terdiri
atas:
1. Physical quality
2. Staff behavior
4 Dortyol et
al., 2014
Hotel di
Antalya,
Turkey
1. Friendly,
courteous and
helpful
employees
2. Room amenities
3. Food quality and
reliability
4. Interaction with
Turkish culture
5. Entertainment
opportunities
6. Tangibles
7. Level of prices
8. Transportation
9. Climate and
hygiene
10. Security
Analisis
faktor
dan
analisis
regresi
Dimensi nomor (3) dan
(6) adalah dimensi yang
paling berpengaruh
terhadap kepuasan tamu
hotel. Dimensi nomor
(1), (3), (4), (6), (8), (7),
dan (9) merupakan
dimensi yang
berpengaruh signifikan
terhadap niat tamu hotel
untuk
merekomendasikan
hotel. Dimensi nomor
(4), (6), dan (7)
merupakan dimensi yang
berpengaruh signifikan
terhadap niat tamu hotel
untuk datang kembali ke
hotel
5 Uddin,
2015
Hotel di
Bangladesh
1. Tangibles
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Empathy
Perceptio
n and
expectati
on
analysis
Tidak satupun dimensi
dalam servqual
merupakan ekspektasi
tamu hotel, sehingga
manajemen hotel
disarankan untuk
mencari dimensi yang
lain selain servqual
Penelitian tentang kualitas layanan, kepuasan, dan niat perilaku loyal pada
bidang perhotelan telah dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai negara. Pada
penelitian yang telah dilakukan, para peneliti menggunakan kualitas layanan hotel
yang didasarkan pada pendekatan servqual dengan dimensi yang terdiri atas
tangibles, empathy, reliability, responsiveness, dan assurance. Di antara
penelitian yang telah dilakukan terdapat pula dimensi kualitas layanan berbasis
servqual yang dimodifikasi. Pada penelitian yang akan dilakukan memiliki
perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu kualitas layanan hotel
68
tidak menggunakan pendekatan servqual, namun kualitas layanan hotel
didasarkan pada pendekatan kearifan lokal yang ada di Bali.
Pada Tabel 2.2 dirangkum kedudukan penelitian yang akan dilakukan
dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Perbedaan dan
persamaan variabel dalam penelitian dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2.2
Kedudukan Penelitian (Astina, 2017) dengan Penelitian Terdahulu
pada Bidang Perhotelan
No Peneliti Tahun dan
Tempat
Variabel
Kualitas Layanan
Kepuasan
Niat
Perilaku
Loyal Kearifan
lokal Servqual
1 Juwaheer 2004
di Mauritius
√ √ √
2 Olorunniwo et al 2006
di USA
√ √ √
3 Ekinci
2008
di United
Kingdom
√ √ √
4 Uddin 2015
di Bangladesh
√ √
5 Astina
2017 di Bali √ √ √