bab ii landasan teori a. tinjauan pustaka 1. definisi ... · yang termuat didalamnya yaitu...
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum berasal dari bahasa Latin. Kata “visum” atau
“visa” dalam bentuk tunggalnya berarti tanda melihat atau melihat,
sedangkan “Repertum” berarti melapor. Visum et Repertum secara
etimologi adalah apa yang dilihat dan diketemukan. Visum et Repertum
diartikan sebagai laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima
jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta
yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia
yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-
baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut (Amir, 2005).
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter
atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis
terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari
badan manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah
dan untuk kepentingan peradilan (Budiyanto et al., 1997). Visum et
6
Repertum merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak
penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada badan
manusia. Visum et Repertum merupakan alat bukti dalam proses
peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis,
tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem
peradilan (Herkutanto, 2005).
Visum et Repertum merupakan bentuk keterlibatan dokter dalam
penegakan hukum yang dalam tugas profesinya dijalankan sebagaimana
sesuai dengan Lafal Sumpah Kedokteran Indonesia yang telah di
sempurnakan dalam Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2
di Jakarta, Desember 1981 pada poin 4 dan 6. Poin 4 berbunyi “Saya
akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat”. Poin 6 berbunyi “Saya akan tidak mempergunakan
pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan
perikemanusiaan, sekalipun diancam” (Soeparto et al., 2011). Konsil
Kedokteran Indonesia mengubah poin lafal sumpah kedokteran
tersebut, sehingga tertuang pada poin 1 dan 5 pada tahun 2012 (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2012). Upaya prosedur pembuatan Visum et
Repertum yang memenuhi standar sangat diharapkan karena memiliki
dampak yuridis yang luas dan dapat menentukan nasib seseorang
(Afandi, 2010).
7
2. Prosedur Permintaan Visum et Repertum
Permintaan Visum et Repertum guna membuat terang suatu perkara
pidana hanya dapat dilakukan oleh penyidik (KUHAP Pasal 133).
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang (KUHAP Pasal 6).
Kebutuhan akan Visum et Repertum terdapat pada perkara pidana
yang berhubungan dengan badan manusia, tergolong kasus pidana
umum, sehingga penyidiknya adalah polisi. Penyidik polisi ditentukan
dengan sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.
Penyidik dibantu oleh seorang penyidik pembantu. Penyidik pembantu
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-
kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia
yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a)
atau yang disamakan dengan itu (Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1983). Penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pembantu pegawai
negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum. Tidak
dibenarkan pula Visum et Repertum diminta tanggal yang lalu (Idries,
1997).
8
3. Bentuk dan Isi Visum et Repertum
Bentuk dan isi Visum et Repertum adalah sebagai berikut (Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Indonesia, 2005):
a. Pro Justitia
Kata “Pro Justitia” merupakan pernyataan yang
menunjukkan semata-mata demi keadilan, guna kepentingan
peradilan. Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas sebagai
pemenuhan syarat yuridis, pengganti materai, sehingga Visum et
Repertum tidak perlu bermaterai.
b. Visum et Repertum
Kata “ Visum et Repertum” menyatakan jenis dari barang
bukti atau pengganti barang bukti.
c. Pendahuluan
Kata “Pendahuluan” tidak dituliskan dalam Visum et
Repertum. Bagian ini menerangkan identitas dokter pemeriksa
yang membuat Visum et Repertum, identitas pemohon Visum et
Repertum, tanggal diterimanya permohonan Visum et Repertum,
waktu dan tanggal dilakukan pemeriksaan, tempat pemeriksaan,
dan identitas subjek yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, pekerjaan, alamat.
9
d. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Menerangkan hasil pemeriksaan yang objektif, sesuai
dengan apa yang diamati, dilihat dan ditemukan pada subjek yang
diperiksa. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke
bawah untuk menghindari ketertinggalan bagian yang diamati.
Deskripsinya tertentu, mulai dari letak anatomisnya,
koordinatnya, jenis luka atau cedera, karakteristik serta
ukurannya. Rincian tersebut sangat dibutuhkan terutama pada
pemeriksaan subjek mati yang pada tidak dapat dihadirkan
kembali pada persidangan.
Pemberitaan pada pemeriksaan korban hidup terdiri dari:
1) Anamnesis mengenai apa yang menjadi keluhan,
apa yang diriwayatkan terkait penyakit yang
diderita subjek sebagai dugaan hasil tindak pidana
yang berhubungan dengan badan manusia.
2) Hasil pemeriksaan yang mencakup keseluruhan
pemeriksaan, meliputi pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan
penunjang lainnya.
3) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau
keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya
suatu tindakan yang seharusnya dilakukan.
10
Deskripsi meliputi semua temuan pada saat itu.
Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tepat atau tidaknya penanganan
dokter dan tepat atau tidaknya kesimpulan yang
diambil.
4) Keadaan akhir korban. Deskripsi lengkap
mengenai segala sisa dan cacat badan. 6 unsur
yang termuat didalamnya yaitu anamnesis, tanda
vital, lokasi luka pada badan, karakteristik luka,
ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau
perawatan yang diberikan.
e. Kesimpulan
Memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil
pemeriksaan, berupa opini pribadi dokter pemeriksa, bersifat
subjektif, tidak terikat oleh pengaruh pihak tertentu, namun dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan
oleh dokter pemeriksa dan pembuat Visum et Repertum,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et
Repertum tersebut. Hal pokok yang wajib tercantum pula adalah
jenis luka, jenis kekerasan dan kualifikasi luka. Kesimpulan
menjadi jembatan temuan ilmiah dengan manfaatnya sebagai
pendukung penegakan hukum.
11
f. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter
tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika
menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau
janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta
dibubuhi tanda tangan dokter pembuat Visum et Repertum.
4. Jenis Luka
Dua golongan luka menurut jenisnya, yakni (Idries, 2013):
a. Luka badan jasmani
1) Luka iris, sayat
2) Luka tusuk
3) Luka bacok
4) Luka lecet
5) Luka memar
6) Luka robek
7) Luka bakar
8) Luka tembak
9) Luka bakar
12
10) Luka listrik
11) Patah tulang
Istilah luka tangkis sering didapati pada kasus
pembunuhan atau penganiayaan. Luka tangkis tersebut
dapat terjadi ketika korban mempertahankan diri. Luka
iris, sayat, tusuk, bacok, robek, dan luka tembak
digolongkan menjadi luka terbuka.
b. Luka jiwa / rohani
Keterkaitan luka jiwa / rohani dalam suatu
tindak pidana diatur pada pasal 351 ayat 4 dan 90
KUHP. Pasal 351 ayat 4 menyebutkan bahwa
penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan
dengan sengaja. Pasal 90 KUHP menyebutkan bahwa
salah satu luka berat adalah terganggunya daya pikiran
selama empat minggu lebih. Pemeriksaan keadaan
kejiwaan mutlak dibutuhkan mengingat implikasi dari
sebuah tindak pidana.
5. Kualifikasi Luka
Kualifikasi luka yang tercantum dalam bagian kesimpulan Visum et
Repertum dikatakan baik apabila substansinya dapat memenuhi
kualifikasi luka sesuai delik rumusan dalam KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana). Rumusan kualifikasi luka sesuai kebutuhan
13
hukum tercantum pada Pasal 351, 352, dan 90 KUHP (Herkutanto,
2005). Kualifikasi luka terbagi menjadi tiga, yakni (Idries, 2013):
a. Luka yang tidak mengakibatkan penyakit atau
halangan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan
b. Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan
dalam melakukan pekerjaan atau jabatan untuk
sementara waktu (hari / minggu / bulan)
c. Luka berat yang tercantum pada pasal 90 KUHP,
berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut
2) Tidak mampu terus-menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
3) Kehilangan salah satu panca indera
4) Mendapat cacat berat
5) Menderita sakit lumpuh
6) Terganggunya daya pikir selama empat
minggu lebih
7) Gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan
14
6. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti Medik
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah (KUHAP
Pasal 184). Kata “bukti” merujuk pada suatu hal atau peristiwa dan
sebagainya yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau
peristiwa tersebut (Mulyadi, 2008). Bukti secara terminologi hukum
pidana adalah hal yang meunjukkan kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan (Hamzah, 2008). Alat bukti adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan suatu perbuatan, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna meyakinkan hakim atas adanya suatu tindak
pidana yang dilakukan terdakwa (Sasangka dan Rosita, 2003). Alat
bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Budiarto dan
Saleh,1981).
Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari seorang
ahli (dokter), termasuk alat bukti surat (Idries, 2009). Bagian
pemberitaan Visum et Repertum dianggap sebagai pengganti alat bukti.
Bagian kesimpulan Visum et Repertum menjembatani kebenaran dari
kebisuan badan manusia dengan hukum, sehingga para praktisi hukum
dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut badan manusia (Afandi, 2009).
Perjumpaan medis merupakan momen dimana badan
menampakkan suatu tanda bahaya atau tidak. Dalam praktik kedokteran
15
perjumpaan terhadap badan ini dilakukan melalui pengecekan fisik,
post-mortem, disiplin anatomi, psikiatri, radiologi, institusionalisasi
rumah sakit dan dokter dalam praktik yang lazim. Perjumpaan klinis
mengungkapkan berbagai rahasia saat dokter memeriksa dan meraba
badan pasien. Perjumpaan medis dan perjumpaan klinis ini didapatkan
dari badan yang cedera akibat suatu tindak pidana. Seonggok badan
manusia mampu mengungkapkan banyak hal dalam berbagai dimensi
kehidupannya (Jena, 2014).
Ahli dalam konteks pembuktian adalah seseorang yang memiliki
keahlian khusus mengenai suatu hal yang sedang diperkarakan guna
membuat terang suatu peristiwa hukum. Seorang saksi ahli yang
menyampaikan keterangan ahli berkedudukan sebagai saksi yang
berkualifikasi untuk menjadi ahli dalam bidangnya seperti ilmuan,
teknisi, ahli medis, dan ahli khusus lainnya (Gerstenfeld,2008). Dokter
sebagai ahli di bidang medis berperan penting sebagai pakar di bidang
medis untuk membuat terang perkara yang menyangkut badan manusia.
Standar Prosedur Operasional di suatu rumah sakit tentang tatalaksana
pengadaan Visum et Repertum mutlak diperlukan (Siswadja, 2004).
Kebutuhan akan keberadaan Visum et Repertum yang
mengungkapkan keparahan luka atau berat ringannya suatu luka sangat
krusial dan signifikan. Kesalahan dalam pembuatan Visum et Repertum
sebagai alat bukti sama halnya dengan mempertaruhkan hak asasi
manusia (Sutarno, 2014). Hal ini dikarenakan pembuktian tentang benar
16
tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan
bagian yang terpenting dalam acara pidana. Kesalahan pembuktian
sama halnya dengan mempertaruhkan nilai manusiawi badan manusia.
Kebenaran semu terlahir akibat kepalsuan Visum et Repertum (Sofyan,
2012).
7. Pemidanaan
Pemidanaan merupakan hasil putusan hakim yang berupa hukuman
yang harus dijalankan oleh pelaku tindak pidana sebagai wujud
pertanggungjawab pidana terhadap negara dan masyarakat. Hukuman
ini didapatkan melalui putusan hakim (Mertokusumo, 2007).
Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim yang dinyatakan di
dalam sebuah persidangan dengan tujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara antara para pihak (Nasir, 2003).
Pernyataan hakim tersebut diucapkan pada sidang pengadilan terbuka
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum (Budiato dan Saleh, 1981). Pernyataan putusan yang
diucapkan oleh hakim terkadang berbeda dengan apa yang tertulis.
Putusan yang sah apabila terjadi perbedaan adalah apa yang diucapkan
oleh hakim (Mertokusumo, 2007).
Hakim sebagai pejabat peradilan negara diberi kewenangan untuk
mengadili. Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
17
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan menurut cara yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. Proses peradilan yang berbuah putusan bertujuan
untuk menegakkan hukum, untuk mencari dan menemukan rasa
keadilan. Penegakan hukum, bukan penegakan undang-undang (Taufiq,
2012).
Hukum yang ditegakkan merupakan keseluruhan ide dan nilai yang
betujuan untuk menemukan dan memanfaatkan keseimbangan untuk
mencapai kebahagiaan bersama (Hartono, 2012). Pihak yang berperkara
berharap putusan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan dalam perkara yang mereka hadapi (Makarao, 2004). Putusan
yang memberikan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan ini
dapat tercapai ketika hakim benar-benar memahami secara penuh
perihal perkara, hukum yang mengaturnya baik peraturan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis seperti hukum kebiasaan (Syahrani, 1998).
Isi hukum harus benar, tepat dan adil (Manullang, 2007).
Putusan dilakukan oleh hakim ketika hakim memeriksa dan
membuktikan bahwa memang benar terjadi tindak pidana. Proses
pembuktian didasarkan pada ajaran atau teori sehingga pembuktian itu
dapat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pembuktian.
Beberapa macam teori pembuktian (Hiariej, 2012):
18
a. Conviction intime
Sistem pembuktian conviction intime diartikan
sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
semata. Tidak ada alat bukti yang dianggap kecuali
keyakinan hakim itu sendiri. Pertimbangan putusan
muncul dari hati nurani hakim.
Konsekuensi dari sistem pembuktian ini adalah
tidak membuka kesempatan atau setidaknya
menyulitkan terdakwa untuk mengajukan pembelaan
sekalipun menyodorkan bukti-bukti sebagai
pendukung pembelaannya itu. Sistem ini
memungkinkan hakim menjadikan apapun dasar
keyakinannya, misalnya keterangan dukun
(Prodjodikoro, 1985).
Salah satu negara yang menggunakan sistem ini
dalam persidangan perkara pidana adalah Amerika.
Hakim merupakan hakim tunggal (unus judex) yang
tidak menentukan benar salah seorang terdakwa. Juri
yang menentukan.
b. Conviction rasionee
Sistem pembuktian conviction rasionee diartikan
sebagai pembuktian yang menggunakan keyakinan
hakim, namun dengan alasan-alasan yang rasional.
19
Hakim tidak lagi memiliki kebebasan dalam
menentukan keyakinannya seperti sistem pembuktian
conviction intime.
Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan
keyakinannya (vrijebewijstheorie).
c. Positief wettelijk bewijstheorie
Sistem pembuktian positief wettelijk bewijstheorie
diartikan sebagai teori pembuktian berdasarkan alat
bukti menurut undang-undang secara negatif.
Terpenuhinya alat bukti sesuai dengan undang-undang
menjadikan hakim cukup alasan untuk menjatuhkan
putusan, tanpa perlu timbul keyakinan atas kebenaran
alat bukti yang ada.
Teori ini berkebalikan dengan conviction intime.
Keyakinan hakim tidak mendapatkan kesempatan
dalam menentukan putusan.
d. Negatief wettelijk bewijstheorie
Sistem pembuktian negatief wttelijk bewijstheorie
diartikan sebagai teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif. Pembuktian yang
menggunakan keyakinan hakim dan alat bukti yang
tertuang dalam undang-undang. Sistem ini merupakan
20
gabungan antar sistem pembuktian undang-undang
secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) dan
menurut keyakinan (conviction intime). KUHAP
menganut sistem ini.
Tertuang pada Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Terlihat di dalam
penjelasan undang-undang telah menentukan pilihan
bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam
kehidupan penegakan hukum di Indoneisa adalah
sistem pembuktian undang-undang secara negatif,
demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian
hukum (Muhammad, 2011).
8. Bentuk-bentuk Putusan Hakim
Putusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:
a. Putusan pidana (sentencing)
Diri terdakwa dijatuhi hukum yang terbukti secara
sah dan meyakinkan, sesuai dengan perkara pidana
yang dilakukannya (Harahap, 2012). Sah dan
meyakinkan menurut hukum apa yang didakwakan
21
oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya itu
(Ishaq, 2014). Hakim bebas memilih salah satu atau
tiga macam tindakan terhadap terdakwa dibawah 16
tahun, yaitu menjatuhkan pidana, menyerahkan
terdakwa kepada orang tuanya / walinya, dan
menyerahkan kepada pemerintah agar terdakwa
dipelihara dalam tempat pendidikan sampai umur 18
tahun (KUHP Pasal 45). Pidananya berupa pidana
pokok dan pidana tambahan (KUHP Pasal 10), yakni
(Handayani, 2012):
1) Pidana pokok:
a) pidana mati;
b) pidana penjara;
c) kurungan;
d) denda.
2) Pidana tambahan
a) pencabutan hak-hak tertentu;
b) perampasan barang-barang tertentu;
c) pengumuman putusan hakim.
b. Putusan bebas (vryspraak)
Peristiwa pidana yang didakwakan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan sidang
22
pengadilan (Harahap, 2012). Terdakwa tidak dijatuhi
pidana.
Putusan bebas yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana:
1) Pasal 44: perbuatan tindak pidana yang
dilakukan terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan
2) Pasal 45: tindak pidana dilakukan oleh orang
yang belum cukup umur 16 tahun
3) Pasal 48: orang melakukan tindak pidana
karena pengaruh dayapaksa
4) Pasal 49: pembelaan diri
5) Pasal 50: untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslog van
rechts vervolging)
Perbuatan yang didakwakan terbukti dilakukan
terdakwa, namun perbuatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana (Ishaq, 2014).
9. Isi Putusan
Hal-hal yang harus dimuat dalam putusan adalah (Muhammad, 2011):
a. Berkepala: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
23
b. Identitas terdakwa
c. Dakwaan
d. Pertimbangan yang lengkap
e. Tuntutan pidana Penuntut Umum
f. Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah
h. Pernyataan kesalahan terdakwa
i. Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti
j. Penjelasan tentang surat palsu
k. Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, Hakim dan
panitera
10. Penganiayaan (mishandeling)
Penganiayaan adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada badan orang lain (Lamintang PAF dan
Lamintang T, 2012). Bentuk pokok tindak pidana penganiayaan diatur
dalam Bab ke-XX Buku ke-II KUHP Pasal 351 ayat (1) sampai dengan
ayat (5) yang dirumuskan dalam bahasa Belanda dan diartikan sebagai
berikut:
a. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya dua tahun dan delapan bulan atau dengan
pidana denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah
(sekarang: empat ribu lima ratus rupiah).
24
b. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat pada
tubuh, maka orang yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
c. Jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian, maka
orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya tujuh tahun
d. Disamakan dengan penganiayaan, yakni kesengajaan
merugikan kesehatan.
e. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat
dipidana.
Penganiayaan harus didasari opzet atau kesengajaan dari pribadi
untuk:
a. menimbulkan rasa sakit pada orang lain,
b. menimbulkan luka pada badan orang lain atau,
c. merugikan kesehatan orang lain.
Pribadi harus mempunyai opzet yang ditujukan pada perbuatan
untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan
luka pada badan orang lain ataupun untuk merugikan kesehatan orang
lain.
25
B. Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Keberadaan Visum et Repertum berhubungan positif dengan putusan
hakim pada tindak pidana penganiayaan.
Putusanhakim
PidanaPokok
PidanaPenjara
Bahanpertimbanganputusan
Kualifikasi Luka
Hakim
Minimal2alatbuktiyangsah
Menanganikasusdiluarkompetensi
Keteranganahli
VisumetRepertum
Sedang BeratRingan