bab ii landasan teori a. tinjauan pustaka 1. bola...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Bola Tangan
A. Pengertian Bola Tangan
Bola tangan adalah olahraga permainan beregu yang menggunakan bola sebagai
alat, yang dimainkan dengan menggunakan satu atau kedua tangan. (Agus Mahendra,
2000:6)Bola tangan (handball) adalah olahraga beregu di mana dua regu dengan
masing-masing 7 pemain (6 pemain dan 1 penjaga gawang) berusaha memasukkan
sebuah bola ke gawang lawan. Permainan ini mirip dengan bola tangan, tapi cara
memindahkan bola adalah dengan tangan pemain, bukan kaki. Bola tersebut boleh
dilemparkan, atau ditembakkan, permainan ini adalah memasukan bola sebanyak-
banyaknya kedalam gawang lawan, dan mencegah agar tim lawan tidak dapat
memasukkan bola kegawang sendiri. Dalam permainan ini lebih tepat disebut sebagai
permainan kombinasi antara permainan basket dan permainan bola tangan, karena
keterampilan teknik dasar ketika memainkan bola dengan tangan lebih menyerupai
teknik dasar basket yang terdiri dari passing, dribling, shooting.
Sedangkan lapangan permainan serta bentuk-bentuknya lebih mirip lapangan
bola tangan, terdiri dari gawang berjaring, serta daerah-daerah yang dibatasi oleh
peraturan yang membatasi peluang gerak pemain, termasuk mekanisme
permainannya.(agus mahendra,2000:6)
Waktu permainan untuk semua team dengan pemain umur 16 atau lebih adalah 2
babak masing-masing selama 30 menit dengan istirahat 10 menit danmemliki lapangan
berukuran 40 m x 20 m dengan garis pemisah di tengah dan gawang di tengah kedua
sisi pendek dan penalti dilakukan dari jarak 7 meter, bola yang digunakan lebih kecil
dari bola sepak yaitu size 3,2 dan 1 sedangkan waktu permainan untuk team remaja (12-
16 Tahun) adalah 2 x 25 menit, dan 2 x 20 menit untuk umur 8-12 tahun untuk pemain
diatas 16 tahun dan remaja waktu istirahat antara babak adalah 10 menit.
10
Gambar 1: Lapangan Bola Tangan
Sumber :http://antonborneojach.wordpress.com/2010/10/18/lapangan-dan-fasilitas-
bola-tangan.
Bola tangan menjadi terkenal di seluruh negara dikarenakan dibentuknya
Pelopor Federasi Bola tangan Internasional atau Internastional Handball Federation
(IHF) pada tahun 1946 yang dideklarasikan oleh delapan negara: Denmark, Finlandia,
Perancis, Belanda, Norwegia, Polandia, Swiss, dan Swedia. Sampai tahun 2003 IHF
memiliki jumlah peserta sebanyak 150 peserta negara dengan 80.000 klub dan 19 juta
atlet putra maupun putri.
Handball pantai (Beach Handball) adalah cabang dari olahraga handball yang
relatif baru sebagai olahraga permainan dan juga sudah memiliki aturan resmi pertama
yang secara resmi diakui oleh Handball Federation (IHF) pada tahun 1994. Olahraga
yang akan ditampilkan di 2013 World Games sedang dipertimbangkan untuk debut
sebagai acara terpisah dengan handball ruangan pada tahun 2020 atau 2024 di Olympic
Games. IHF dan federasi benua lainnya secara aktif mempromosikan handball pantai
melalui pembinaan prestasi dan kompetisi internasional.Asosiasi Bola Tangan Indonesia
(ABTI) adalah induk organisasi bola tangan di indonesia yang menjadi anggota dari
International Handball Federation (IHF) sejak tahun 2007. Menurut Akta Notaris
tentang Pendirian Asosiasi Bola Tangan Indonesia di depanNotaris Lilik Kristiwati,
S.H., Asosiasi Bola Tangan Indonesia resmi berdiri tanggal 16 Agustus 2007. Pada
11
tanggal 5 Juni 2009, ABTI resmi sebagai Full Member International Handball
Federation (IHF) yang diketuai oleh Arie P. Ariotedjo.
2. Pelatnas (Pemusatan Latihan Nasional) TIMNAS
Terbentuknya pemusatan latihan nasional atau yang sering disebut TIMNAS
adalah salah satu bentuk apresiasi yang diberikan oleh pemerintah dan pengurus besar
untuk memberikan wadah atau ajang TIMNAS memperkenalkan diri diajang-ajang
yang di selenggarakan oleh negara-negara atau federasi bola tangan internasional yang
sudah jauh maju berkembang dari indonesia, karena bisa disebut bahwa olahraga bola
tangan adalah salah satu olahraga yang baru di indonesia sedangkan negara-negara
lainnya bola tangan sudah menjadi olahraga yang populer. Pada tahun 2008 Indonesia
mulai mengembangkan cabang bola tangan. Indonesia yang terpilih menjadi tuan rumah
Kejuaraan Olahraga Pantai se-Asia (ABG- Asian Beach Games), karena yang
dipertandingkan semua olahraga pantai maka saat itu Indonesia memiliki pemain
berawal dari bola tangan pantai. Sejak saat itu cabang bola tangan memiliki pengurus
dengan nama ABTI (Asosiasi Bola Tangan Indonesia). Bolatangan memulai latihan
pertama kali di FIK-UNJ (Fakultas Ilmu Keolahragaan-Universitas Negeri Jakarta)
dengan materi pemain masih dalam wilayah Jakarta. Seiring waktu, untuk menangani
timnas bola tangan Indonesia diadakan seleksi pemain ke daerah seluruh Indonesia
untuk menjadi bagian tim Indonesia dalam rangka kagiatan kejuaraan pantai se-Asia itu.
Berakhirnya Asian Beach Games 2008, pada tahun 2010 Indonesia kembali
mengirim tim bola tangan keajang kejuaraan pantai se-Asia yaitu 2nd Asian Beach
Games di Muscat Oman.berakhirnya 2nd Asian Beach Games atlet yang mengikuti 2nd
Asian Beach Games mulai mengembangkan bola tangan, baik yang pantai maupun yang
indoor. Dengan mengadakan perkenalan ke sekolah-sekolah karena bolatangan ada
dalam kurikulum pendidikan. Selain itu juga bola tangan mulai dipertandingkan antar
sekolah dan universitas, tetapi dengan peserta yang belum banyak, masih dalam
kawasan pulau jawa. Dengan gagasan ini diharapkan mampu menyaingi cabang
olahraga yang populer lainnya dan kedepannya tim bolatangan Indonesia bisa bersaing
dengan negara-negara lainnya, tidak hanya di Asean tapi juga belahan dunia lainnya.
12
3. Kelompok Umur
Kemampuan anak-anak tentu saja berbeda dengan orang dewasa, anak-anak
tentu masih mengalami perkembangan rohani dan perkembangan jasmani, maka dari itu
perlu adanya pengelompokan menurut tingkatan umur.
Dalam prinsip LTAD (Long Term Athlete Development) atau yang sering
dikenal dengan Pembinaan Atlet Jangka Panjang. Terdapat tujuh tahapan dalam
pembinaan program latihan atlet, dimulai sejak individu itu lahir. Adapun rincian
ketujuh program pembinaan ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 2. Urutan Tahap Pembinaan Atlet Jangka Panjang
Sumber : Long Term Athlete Development (LTAD) BrianMac Sports Coach
Menurut tahapan keenam yaitu untuk laki-laki dan perempuan kelompok umur
18 dan 17 tahun keatas sudah mempunyai tujuan latihan untuk menang. Dalam tahap ini
dituntut untuk memaksimalkan kebugaran, persiapan dan posisi individu serta
keterampilan yang bersifat spesifik untuk meraih prestasi. Seperti keterampilan fisik,
teknik, strategi, dan mental terus menerus diperbaiki untuk menghasilkan prestasi
maksimum. Pemain dilatih agar dapat mencapai kondisi puncak untuk menghadapi
sebuah kompetisi. Dalam tahap ini penambahan jenis-jenis gerakan akan lebih sukar
demikian pula dengan upaya pemeliharaannya.
Seiring berjalannya waktu jumlah pertandingan yang diikuti pada tahap ini juga
semakin bertambah. Keterampilan mekanis dan ketrampilan olahraga harus benar-benar
sudah siap, sehingga memungkinkan seorang atlet untuk fokus pada penampilan serta
hasil.
13
4. Pelatih Dan Atlet
Melatih pada hakikatnya suatu proses kegiatan untuk membantu orang lain
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam usahanya mencapain tujuan tertentu
atau target tertentu. Dengan kata lain bahwa intervensilatihan memacu atlet
memperbaiki sistem organisme tubuhnya, perbaikan fungsinya secara optimal dalam
rangka mencapai performa yang baik serta keunggulan dalam cabang olahraganya.
Menjadi pelatih adalah pekerjaan yang unik, karena didalam terbentang luas
aspek garapan yang sarat dengan tantangan persaingan, aspek peningkatan diri,
peningkatan kemampuan, menjaga dan memelihara kewibawaan, terampil
berkomunikasi, cermat mengambil keputusan, dan masih banyak lagi aspek-aspek
pendukung yang kesemuanya bermuara pada upaya untuk sukses dalam bertugas
sebagai pelatih. Dalam tujuan melatih atlet tentunya semua pelatih mengharapkan
prestasi yang setinggi-tingginya yang dapat diraih atletnya, namun tidak boleh
dilupakan pula ungkapan falsafah penting dalam melatih yaitu UTAMAKAN ATLET,
KEMENANGAN MENJADI FAKTOR KEDUA.Menanggapi falsafah tersebut Harsuki
(2003:357) berpendapat falsafah tersebut bermakna bahwa “tergambar adanya rasa
penghargaan, rasa hormat atas kerja keras pelatih dan atlet dalam usaha mencapai
prestasi”.
Atlet yang mencapai peaknya ialah atlet yang menghasilkan prestasi yang
paling tinggi dalam tahun itu, karena dia mampu memaksimalkan efisiensi fisik dan
mentalnya serta kemampuan teknik dan taktiknya.Selama masa peaking yang bisa
beberapa hari itu, kemampuan adaptasi fisiologis dan anatomis atlet adalah optimal, dan
koordinasi neuromoscularnya sempurna.menurut Harsuki (2003:307)peaking adalah
keadaan biologis dan fitness atlet adalah sempurna. Jadi dalam tubuh atlet ada sinergi
dari berbagai organ dan sistem biokemikal yang disalurkan ke arah pencapaian efisiensi
yang optimal untuk mencapai prestasi yang paling tinggi.
5. Olahraga Prestasi
Menurut Komite Olahraga Nasional Indonesia Pusat (2004) bahwa pola
pembinaan dan pengembanganolahraga di Indonesia menggunakan pola piramida
terbalik yaitudimulai dari pemassalan melalui sekolah - sekolahdan masyarakat,
kemudian talent scouting (pemandu bakat) pembinaan spesialisasi cabang olahraga di
14
klub – klub, tahap pemantapan prestasi dan terakhir penghalusan prestasi(berprestasi
Nasional dan Internasional) Propenas (2000) menjelaskan pentingnya keserasian
kebijakan pengembangan olahraga antarapemerintah pusat dan daerah, demikian juga
dengan pemasyarakatan olahraga pendidikan jasmani" perlunyadilakukan pemanduan
bakat dan pembibitan usia dini serta peningkatan prestasi olahraga dalam
pengembanganolahraga prestasi, di TIMNAS handball indonesia ada beberapa faktor
yang saling mempengaruhi yaitu sumberdaya manusia(atlet, pelatih dan pengurus
cabang olahraga), sarana prasarana, dan kebijakan pemerintah daerah dan dana.
Menurut litbang KONI Pusat (2004) bahwa ada beberapa komponen yang
menentukan tercapainya prestasitinggi dalam olahraga prestasi yaitu : keadaan teknik
peralatan, sarana&prasarana olahraga, keadaan pertandingan, keadaan psikologi atlet,
keadaan kemampuan keterampilan atlet, keadaan kemampuan fisik atlet, keadaan
konstitusi, tubuh dan keadaan kemampuan taktik atau strategi, jika disimak
pendapat tersebut, maka dapat dijelaskan bahwakomponen teknis
peralatansarana&prasarana olahraga yang dimaksudkan adalah suatu peralatan,
sarana&prasaranaolahraga yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam latihan dan
pertandingan hal ini dimaksudkan bahwa jikaseorang atlet yang tidak menggunakan
peralatan/sarana - prasarana olahraga yang representatif atau up to date
(sesuai perkembangan IPTEK olahraga yang mutakhir)maka sulit seorang atlet
dapatberkompetisi dengan atlet lainnyayang telah lama menggunakan
peralatan/sarana&prasarana olahraga yang up to date.
Kemudian yang dimaksudkan dengan keadaan pertandingan adalah
suatu kondisi dimana seorang atletdapat melakukan adaptasi terhadap
tempat, situasi, periodisasi, jumlah pertandingan, pelatih yang menangani
jumlah penonton, sponsorship dan tingkat persaingan antar atlet.Keadaan psikologi
adalah suatu tingkatan percaya diri, motifasi rasa cemas dan rasa aman terhadap
masa depan yang dimiliki atlet untuk dapat berprestasi tinggi .
Keadaan kemampuan fisik, keterampilan, komposisi tubuh dan kemampuan
taktik/strategi adalah suatu keadaan tingkat sumber daya manusia yang dimilki
atlet.Kemampuan keterampilan adalah suatu tingkatan keterampilan yang dimilki atlet
sesuai cabang olahraganya, keadaan kondisi fisik adalah suatu tingkatan kondisi fisik
yang dimilki atletuntuk dapat berprestasi atau mengikuti pertandingan tingkat daerah,
15
nasional dan internasional.Komposisi tubuhadalah suatu kondisi antrophometrik tubuh
dan bakat yang dimilki atlet untuk dapat berprestasi tinggi pada cabangolahraganya
dan keadaan taktik/strategi adalah suatu kondisi tingkatan pengetahuan
taktik/strategi yang dapatditerapkan atlet dalam suatu pertandingan untuk dapat
meraih prestasi tinggi.
6. Program Latihan
a. Pengertian Program Latihan
Secara umum program latihan dapat diartikan sebagai konsep yang
terencana secara menyeluruh untuk mengubah kinerja yang tadinya jelek menjadi
baik, maka dengan adanya kinerja yang baik diharapkan mampu menghadapi
tuntutan-tuntutan situasi kerja yang selalu berubah. Dengan kata lain dalam olahraga
bola tangan, program latihan difungsikan sebagai suatu konsep perbaikan terhadap
kemampuan pemain secara menyeluruh dari sebelum-sebelumnya sehingga dapat
meningkat menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Gambar 3 : Rencana tahunan – Periodesasi latihan jangka panjang
Sumber : Theory and Methodology of training. (third edition).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Program Latihan
Berikut beberapa faktor yang menunjang kearah keberhasilan latihan yaitu
antara lain :
1) Materi yang Dibutuhkan
Materi disusun dari estimasi kebutuhan tujuan latihan, kebutuhan dalam bentuk
pengajaran keahlian khusus, menyajikan pengetahuan yang diperlukan.
2) Metode yang Digunakan
16
Metode yang dipilih hendak disesuaikan dengan jenis pelatihan yang akan
dilaksanakan.
3) Kemampuan Instruktur Latihan
Mencari sumber-sumber informasi yang lain yang mungkin berguna dalam
mengidentifikasi kebutuhan pelatihan.
4) Sarana atau Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Pedoman dimana proses belajar akan berjalan lebih efektif.
5) Peserta Latihan
Sangat penting untuk memperhitungkan tipe pekerja dan jenis pekerja yang akan
dilatih.
6) Evaluasi Latihan
Setelah mengadakan pelatihan hendaknya di evaluasi hasil yang di dapat dalam
pelatihan, dengan memperhitungkan tingkat reaksi, tingkat belajar, tingkat tingkah
laku kerja, tingkat organisasi, dan nilai akhir.
c. Tujuan Program Latihan
Tujuan utama pemain berlatih adalah untuk mencapai prestasi puncak (peak
perfomance) pada pertandingan utama di tahun tersebut.Untuk itu, pembinaan atlet
harus direncanakan dengan baik dan benar dan didasarkan pada konsep periodisasi
dan prinsip-prinsip latihan serta metodologi penerapannya di lapangan.
Periodisasi adalah proses pembagian rencana tahunan kedalam fase latihan
yang lebih kecil, yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam menyusun
bagian-bagian yang lebih dapat diatur serta untuk menjamin pemuncakan (peaking)
yang tepat dalam pertandingan penting di tahun tersebut. Pembagian
dapatmeningkatkan pengorganisasian latihan yang tepat dan memberikan
kesempatan kepada pelatih untuk mengarahkan programnya secara sistematis.
Dalam program latihan komponen yang dikembangkan meliputi komponen
fisik, teknik, taktik, dan mental.
a. Komponen Fisik
Kondisi fisik pemain memegang peranan penting dalam suatu program
latihan. Program latihan fisik haruslah direncanakan secara baik dan sitematis,
17
ditujukan untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional dari
sistem tubuh sehingga memungkinkan pemain untuk mencapai prestasi yang lebih
baik. Jika kondisi fisik baik maka:
1) Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung
2) Akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan dan
komponen kondisi fisik lainnya.
3) Akan ada ekonomi gerak yang lebih baik pada waktu latihan
4) Akan ada pemulihan yang lebih cepat dalam organ-organ tubuh setelah latihan
5) Akan ada respons yang cepat dari organisme tubuh kita apabila sewaktu-waktu
respon demikian diperlukan.
b. Komponen Teknik
Untuk bermain bola tangan dengan baik pemain dibekali dengan teknik
dasar yang baik.Pemain yang memiliki teknik dasar yang baik pemain tersebut
cenderung dapat bermain bola tangan dengan baik pula.Beberapa teknik dasar yang
perlu dimiliki pemain bola tangan adalah Passing, Menggiring (dribbling),
Menembak (Shooting), dan Menjaga Gawang (Goal Keeping).
c. Komponen Taktik/ Strategi
Keputusan dan tindakan pemain dalam sebuah pertandingan untuk
mendapatkan keuntungan dari permainan lawan. Seperti pengetahuan sang pemain,
membaca situasi pertandingan dan pengambilan keputusan apa yang harus diperbuat
dalam pertandingan tersebut.
Dalam bola tangan hal ini sangat berkaitan dengan situasi dalam berjalannya
sebuah pertandingan, karena dalam sekian waktu berjalannya pertandingan
terdapatbanyak situasi yang berbeda.Maka harus di butuhkan kemampuan tersendiri
untuk berkreasi dalam membaca situasi permainan.
Permainan bola tangan adalah sebuah permainan yang mengandalkan kerja
sama tim untuk meraih kemenangan. Selain kemampuan individu, kerjasama dan
strategi yang diterapkan dalam permainan bola tangan memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap hasil pertandingan. Setiap tim memiliki strategi masing-masing
untuk memenangkan pertandingan bola tangan.
Strategi permainan biasanya ditentukan oleh pelatih masing-masing tim
sebelum permainan dimulai. Pelatih akan menentukan strategi apa yang sesuai untuk
18
dimainkan menghadapi calon lawannya, dengan menganalisa kelebihan dan
kelemahan tim lawan. Strategi tersebut diantaranya adalah formasi tim, pemain yang
diturunkan dalam pertandingan, taktik yang akan dipakai dalam permainan, serta
siapa saja pemain yang akan bertindak sebagai kapten tim
d. Komponen Mental
Mental skill pada intinya yaitu kesiapan pikiran seseorang untuk memenuhi
tuntutan psikologis dalam suatu olahraga.Pada umumnya berdasarkan dari motivasi,
konsentrasi, percaya diri dan pengendalian emosional.
Meningkatnya stres dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi
secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya
menurun.Mereka dapat menjadi tegang.denyut nadi meningkat, berkeringat dingin,
cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan
ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan
terbaiknya.Para pelatih pun menaruh minat terhadap bidang psikologi olahraga,
khususnya dalam pengendalian stres.
Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui
latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental
atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual,
yang satu berbeda dengan yang lainnya.Profil psikologis atlet biasanya berupa
gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual.dan fungsi daya pikimya yang
dihubungkan dengan olahraga.
Setiap pemain memerlukanSetiap pemain memerlukan fisik untuk menunjang
kemampuan tubuh dalam menyelesaikan keseluruhan program yang
dijalankan.Komponen fisik merupakan yang utama dibandingkan dengan komponen
lainnya. Sebagai dasar penunjang kemampuan seorang pemain menguasai komponen-
komponen yang lain. Suatu misal, kemampuan teknik seorang pemain dalam sebuah
pertandingan tidak akan maksimal tanpa ditunjang dengan kondisi fisik prima. Begitu
juga dengan kemampuan taktik dan mental. Dengan kata lain latihan fisik harus
diutamakan terlebih dahulu sebelum beralih kekomponen-komponen yang lain.
Siklus latihan tahunan pada cabang olahraga pada umumnya, secara
konvensional dibagi ke dalam 3 fase latihan yaitu tahap persiapan, tahap
pertandingan/kompetisi, dan tahap transisi (Bompa, 1990:55).Tahap persiapan dibagi
19
menjadi 2 tahap, karena tugasnya masing-masing agak berbeda.Tahap persiapan pada
dasarnya memiliki perbedaan mengenai sifat latihan, yang keduanya memiliki sub fase
umum dan khusus. Sedangkan fase pertandingan umumnya memiliki sub fase sebelum
pertandingan yang singkat menjelang sub fase pertandingan yang utama.
a. Tahap Persiapan
1) Tahap Persiapan Umum (TPU)
Tahap persiapan umum memerlukan waktu yang relatif lama dibandingkan
dengan tahap persiapan khusus. Perbandingannya kira-kira 3 : 1 atau 2 : 1
berfihak pada bagian masa persiapan umum (Nossek, 1982:142). Kegiatannya
adalah mengembangkan kondisi fisik dasar dan kemungkinan-kemungkinan
organisme fungsional. Masalah utama dari periode persiapan umum adalah
periode persiapan keseluruhan yang merupakan transfer dari pengkondisian
umum ke tipe yang berkaitan dengan cabang olahraga yang sesuai.
2) Tahap Persiapan Khusus (TPK)
Berkaitan dengan beban kerja, perubahan nyata dapat diobservasi pada bagian
ini.Volume diturunkan sampai dengan 50% selama bagian khusus dari periode
persiapan, terutama karena meningkatnya intensitas (Nossek, 1982: 143).Juga
karena beban yang sangat tinggi pada bagian pertama, adaptasi mengikuti setelah
penundaan tertentu.Penurunan volume berlangsung secara bertahap dan terus
menerus selama kiramenerus selama kira-kira 2-4 minggu.Intensitas ditingkatkan
terutama dibagian persiapan khusus. Pengkondisian khusus berarti suatu
peningkatan gerak, bentuk latihan dan pengaruh kekuatan di antara berbagai
bagian. Siklus makro berlangsung 4–6 minggu pada tahap umum, diperpendek
menjadi 3–4 minggu. Struktur dan isi latihan juga berada dalam beberapa
perubahan.Latihan-latihan pengembangan umum dikurangi dan hanya
mengalihkan fungsi pemeliharaan kondisi umum atlet.Pentingnya latihan-latiham
khusus dan kompetisi ditekankan. Latihan khusus dialihkan ke kompetisi dengan
cara sebagai berikut :
a)Latihan tunggal (bagian-bagian) dikombinasikan ke dalam tindakan keseluruhan
(gerakan kompetitif).
b)Lama latihan diperpendek dan intensitasnya ditingkatkan.
20
Selanjutnya perlu mengembangkan daya tahan khusus dengan menggunakan
metode interval.Rekaveri interval diperpendek menjadi 45-90 detik. Sejumlah
kompetisi kontrol, latihan dan pertandingan persahabatan harus dipersiapkan
untuk atlet untuk berbagai kondisi kompetisi, seperti :
a) Tipe lawan yang berbeda-beda.
b) Cahaya, suhu atau keadaan iklim yang berbeda.
c) Mutu fasilitas kompetisi yang berbeda.
d) Penonton dan suasana lain yang berbeda.
Kompetisi kontrol ini selanjutnya meningkatkan komponen-komponen taktik dari
penampilan atlet dalam kondisi kompetisi yang sebenarnya.
b. Tahap Kompetisi
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mencapai prestasi puncak/peak
perfomance dan memelihara setiap penampilan top selama periode kompetisi. Hal itu
tentunya sangat sulit untuk menjaga penampilan puncak tetap kostan. Untuk
meningkatkan kekonstanan penampilan puncak, atlet membutuhkan interval rekaveri
pendek di antara kompetisi–kompetisi utama.Fakta ini benar terutama untuk cabang
olahraga perorangan atau individu.Selama musim kompetisi, harus ada suatu
peningkatanpenampilan yang permanen terhadap tugas-tugas olahraga yang sangat
penting.Kemampuan untuk mengontrol meningkatnya penampilan secara positif
menunjukkan kualitas pelatih yang proporsional. Pada umumnya seorang atlet dalam
cabang olahraga individu harus dapat mencapai penampilan puncak dalam interval
lebih kurang 3 minggu, bahkan dalam cabang olahraga daya tahan bahkan lebih
sering (Nossek, 1982:144).
c. Tahap Transisi
Ada kecenderungan untuk tidak melakukan tahap ini.Peniadaan periode
transisi ini ada, namun masih menjadi pertentangan.Para atlet perlu rekaveri bukan
hanya secara fisik, tetapi juga psikologis.Rekaveri/istirahatnya bersifat aktif. Atlet
harus melakukan berbagai aktivitas fisik yang lain yang tidak ada hubungannya
dengan cabang olahraganya.
21
7. Sarana dan Prasarana
Sarana prasarana olahraga adalah suatu bentuk permanen, baik itu ruangan di
luar maupun di dalam.Contoh : cymnasium, lapangan permainan, kolam renang, dsb.
(Wirjasanto 1984:154).Menurut UU RI No.3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional dalam pasal 1 ayat 20 dan 21 dijelaskan apa yang dimaksud dengan sarana dan
prasarana olahraga. Prasarana olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan
yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan olahraga.
Sedangkan sarana olahraga adalah peralatan atau perlengkapan yang digunakan untuk
kegiatan olahraga.
Pengertian sarana prasarana tidak seperti yang di atas, namun ada beberapa
pengertian lain menurut sumber yang berbeda pula. Sarana prasarana olahraga adalah
semua sarana prasarana olahraga yang meliputi semua lapangan dan bangunan olahraga
beserta perkengkapannya untuk melaksanakan program kegiatan olahraga (Seminar
Prasarana Olahraga Untuk Sekolah dan Hubungannya dengan Lingkungan
(1978).Sarana olahragaadalah sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk
dan jenis peralatan serta perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan olahraga.
Prasarana olahraga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari tempat olahraga
dalam bentuk bangunan di atasnya dan batas fisik yang statusnya jelas dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan untuk pelaksanaan program kegiatan olahraga. Dari
beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa sarana prasarana oloahraga adalah
sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk jenis bangunan atau tanpa
bangunan yang digunakan untuk perlengkapan olahraga. Sarana prasarana olahraga
yang baik dapat menunjang pertumbuhan masyarakat yang baik.
Adanya sarana dan prasarana serta fasilitas yang baik merupakan suatu hal yang
harus ada dalam pembinaan, agar atlet berprestasi maksimal. Adanya sarana dan
prasarana serta fasilitas yang memadai syarat merupakan penunjang yang mempunyai
peranan besar dalam pencapaian prestasi olahraga. Sarana dan prasarana yang baik akan
memberikan kemudahan bagi pelatih dalam melaksanakan program latihan. Begitu juga
bagi atlet akan lebih bergairah dan bersemangat dalam melakukan latihan. Sarana
olahraga adalah terjemahan dari “facilities”yaitu sesuatu yang dapat digunakan dan
dimanfaatkan dalam peleksanaan kegiatan olahraga atau pendidikan jasmani. Sarana
22
olahraga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu;peralatan (apparatus) dan
perlengkapan (device).
8. Pembinaan
a. Pengertian Pembinaan
Untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, maka usaha pembinaan harus
dilaksanakan dengan menyusun strategi dan perencanaan yang rasional sebagai usaha
untuk meningkatkan kualitas serta mempunyai program yang jelas. Hal ini penting agar
program pembinaan dapat mencapai sasaran yang tepat yaitu prestasi yang tinggi,
seperti apa yang diinginkan. Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepaskan
hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan
tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan
pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan
kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani
secara lebih efektif.
Fungsi organisasi dalam membina dan mengembangkan kegiatan olahraga
nasional mulai dari lingkup klub sebagai lapisan terbawah sampai ke tingkat Pengurus
Besar sebagai lapisan teratas merupakan suatu “Conditio sine qua none” atau suatu
keharusan yang mutlak keberadaannya. Lebih dari itu telah disadari semua pihak bahwa
organisasi itu sebagai struktur dan proses yang tidak mungkin lagi ditangani secara
amatiran, namun harus dikelola oleh orang-orang yang profesional.Keberhasilan suatu
organisasi olahraga prestasi selalu dikaitkan dengan seberapa jauh prestasi olahragawan
yang dihasilkan oleh organisasi tersebut. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa
organisasi olahraga prestasi yang dapat menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan
baik dapat diharapkan akan menghasilkan prestasi yang baik pula.
b. Pembinaan Prestasi Olahraga
Menurut UU Nomor 3 Tahun 2005 pembinaan olahraga prestasi diselenggarakan
oleh Pemerintah yang diwakili oleh Kemenpora dan dibantu pelaksanaannya oleh
KONI.Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan penyandang dana pembinaan
olahraga prestasi, sedangkan KONI sebagai pihak yang menjalankan pembinaan
olahraga tersebut. Hal ini tertuang dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2010 mengenai
23
Program Satlak Prima.Dalam strukturnya, Menpora merupakan Ketua Dewan Pembina,
sedangkan Ketua Umum KONI merupakan Ketua Dewan Pelaksana Satlak PRIMA
yang dibantu oleh sekretaris dari Kemenpora, dewan pakar, dan beberapa anggota dari
unsur KONI dan pemerintah.Ketua Satlak PRIMA, ketua tim seleksi dan beserta
jajarannya diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Dewan Pelaksana sesuai dengan
waktu dan rencanapenyelenggaraan multi event, seperti Sea Games, Asean Games, dan
Olimpiade.
Kedudukan Satlak PRIMA dan tim seleksi saling berdampingan dan sama
tinggiKesemuanya melaksanakan program dan bertanggung jawab kepada Ketua Dewan
Pelaksana. Mengenai penganggarannya ditetapkan besarannya sesuai dengan program,
urgensi, dan target sasaran yang akan dicapai, misalnya untuk kepentingan Sea Games,
Asean Games, maupun Olimpiade. Kualifikasi yang dipersyaratkan untuk atlet-atlet
binaan tidak cukup hanya berdasarkan portofolio hasil PON dan Kejurnas, melainkan
perlu dilengkapi dengan hasil tes laboratorium dan lapangan yang dilakukan pada awal
Pelatnas dan tes evaluasi 2 sampai 3 kali pada waktu telah selesai persiapan umum dan
khusus untuk mendukung program kepelatihan Satlak prima Olahraga prestasi adalah
olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana,
berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga (UU RI Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab I pasal 1).
Olahraga prestasi dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan potensi olahragawan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa yang
dilakukan setiap orang yang memiliki bakat, kemampuan, dan potensi untuk mencapai
prestasi (UU RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab VI
pasal 20).
Menurut Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
(Kemenegpora RI) (2006: 18):Prestasi bisa tercapai, apabila memenuhi beberapa
komponen seperti: atlet potensial, selanjutnya dibina dan diarahkan oleh sang pelatih.
Untuk memenuhi sarana dan prasarana latihan dan kebutuhan kesejahteraan pelatih dan
atlet perlu perhatian dari pembina/pengurus induk cabang olahraga. Untuk melihat dan
24
mengevaluasi hasil pembinaan, perlu memberikan uji coba dengan melakukan
kompetisi dan try out baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan tujuan
mengukur kemampuan bertanding/berlomba dan kematangan sebagai pembentukan
teknik, fisik, dan mental bertanding. Tetapi perlu diingat bahwa aktivitas komponen-
komponen di atas bisa berjalan apabila ditunjang oleh pendanaan yang profesional serta
penggunaannya harus dengan penuh tanggung jawab.
9. Standar Pembanding Pencapaian Prestasi Olahraga
Standar pembanding dalam pencapaian prestasi TIMNAS bola tangan
(handball) terdapat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 tahun 2010
tentang PRIMA (Program Indonesia Emas), ada beberapa pasal yang mempunyai
pembanding oleh TIMNAS bola tangan, yaitu: pasal 1 (ayat 3,4 dan 10), pasal 4 (ayat
2), pasal 5 dan pasal 8. Selain pada PP no 22 tahun 2010 terdapat juga pada Peraturan
Pemerintah No 16 Tahun 2007.
Isi peraturan presiden no 22 tahun 2010:
Pasal 1 ayat 3 “Olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan
secarateratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi”.
Ayat 4 “Kejuaraan tingkat internasional adalah kejuaraan antar atlet-atletnegara tingkat
ASEAN, Asia, Dunia untuk satu cabang olahragatertentu.
Ayat 10 “Induk Organisasi Cabang Olahraga adalah organisasi olahraga yangmembina,
mengembangkan, dan mengoordinasikan satu cabang/jenis olahraga atau gabungan
organisasi cabang olahraga dari satujenis olahraga yang merupakan anggota federasi
cabang olahraga internasional yang bersangkutan”.
Pasal 4 ayat 2 “Pengembangan bakat Calon Atlet Andalan Nasional ditujukan kepada
olahragawan potensial yang memiliki prospek mencapai prestasi puncak melalui
pembinaan berjenjang, yang didasarkanpada prinsip pembinaan olahragawan jangka
panjang”.
Pasal 5 “Pengembangan bakat Calon Atlet Andalan Nasional dilakukan pada pusat
Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP), Pusat Pembinaan danLatihan Mahasiswa
25
(PPLM), Sekolah Khusus Olahragawan, Klub-KlubOlahraga Sekolah/Remaja atau atlet
usia dini yang telah dibina olehInduk Organisasi Cabang Olahraga yang telah tergabung
di indukorganisasi olahraga, klub-klub olahraga, dan melalui kompetisi olahragatingkat
pemula atau yunior di dalam dan luar negeri”.
Pasal 8 “Seleksi calon atlet dilaksanakan secara terbuka, objektif, jujur, adil, dan
bersifat tidak diskriminatif”.
Sejalan dengan tujuan nasional, maka pelaksanaan otonomi daerah bertujuan
untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat yang layak, dan bermartabat, berkeadilan dengan
memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang,
kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Oleh karenanya UU No. 5 tahun 1999,
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengembangkan dan menggali sumber
daya daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22
tahun 1999 jo Undang-undang 32 tahun 2004, daerah kabupaten dan kota memiliki
keleluasaan untuk mengembangkan potensinya tidak terkecuali dalam menggali dan
mengembangkan potensi keolahragaan. Pemerintah daerah dituntut untuk mandiri dan
lebih kreatif dalam melaksanakan pembinaan di bidang keolahragaan, akan tetapi
pemerintah pusat wajib melaksanakan kewenangannya sebagaimana telah diatur dalam
peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000 tentang kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom yaitu:(1) Pemberian dukungan untuk pembangunan sarana dan prasarana
olahraga. (2) Penetapan pedoman pemberdayaan olahraga. (3) Penetapan kebijaksana-an
dalam penentuan kegiatan-kegiatan olahraganasional/ internasional.
Kebijaksanaan dalam pembinaan dan pengembangan olahraga adalah
merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia yang ditujukan
kepada peningkatan kesehatan jasmani dan rohani seluruh masyarakat, memupuk watak,
disiplin sportivitas serta pengembangan prestasi olahraga yang dapat membangkitkan
rasa kebanggaan nasional, mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata
dunia.
26
Pengembangan pembinaan keolahragaan sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-undang No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional,
dikembangkan dengan azas desentralisasi yang menjadi ciri pola pembangunan saat ini,
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota diberi kewenangan mengatur pelaksanaan
kebijakan pemerintah pusat sesuai dengan kepentingan masyarakat dan sesuai prakarsa
sendiri berdasarkan apresiasi masyarakat. Lebih tegasnya dalam pasal 17 menjelaskan
Ruang Lingkup Olahraga Nasional terdiri dari 3 (tiga), yaitu:Olahraga
Pendidikan;Olahraga Rekreasi; dan Olahraga Prestasi.
Dengan demikian cukup jelas, bahwa tugas dan tanggung jawab Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota bekerjasama selalu melibatkan KONI Provinsi, KONI
Kabupaten/Kota dalam bidang olahraga prestasi, dan pembinaan olahraga pendidikan
menjadikan kewenangan Dinas Pendidikan dan atau Dinas Pemuda dan Olahraga,
sedangkan FORMI Provinsi, FORMI Kabupaten/Kota dalam bidang olahraga rekreasi,
akan terkait dengan hal-hal sebagai berikut: (1) Melaksanakan, mengimplementasikan
kebijakan dan program olahraga prestasi, olahraga pendidikan, dan olahraga rekreasi di
daerah. (2) Melakukan upaya pemberdayaan dan kerelawanan masyarakat serta
pemberdayaan partisipasi dunia usaha di bidang olahraga olahraga prestasi, olahraga
pendidikan, dan olahraga rekreasi. (3) Melatih dan menatar langsung sumber daya
manusia daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) untuk mendorong peningkatan kualitas
keolahragaan secara keseluruhan. (4) Memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya
dan potensi daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), termasuk kekayaan alam dan budaya
asli daerah. (5) Mendorong dan meningkatkan upaya penerapan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknoligi di daerah. (6) Menyelenggarakan even daerah dan nasional,
serta regional dan internasional bila memungkinkan. (7) Meningkatkan kualitas
manajemen dan organisasi olahraga (pendidikan, rekreasi, prestasi) daerah. (8)
Memfasilitasi penyediaan dan perlindungan fasilitas olahraga, baik milik pemerintah
maupun masyarakat dan dunia usaha.
Dalam penjelasan Undang-undang No. 3 tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan, bahwa kegiatan olahraga merupakan kebutuhan primer untuk
mempertahankan eksistensi individu sebagai sebuah sistem. Sesuai dengan hak asasi
manusia, setiap individu memiliki hak kebebasan untuk berolahraga.Atas dasar itu,
setiap individu memiliki hak untuk akses terhadap olahraga, pengembangan pribadi
27
seutuhnya.Olahraga merupakan kebutuhan hidup karena olahraga dapat
mengembangkan dan memelihara kemampuan menyeluruh bagi setiap individu untuk
menjaga eksistensi kehidupannya.Disamping itu, olahraga merupakan sekolah
kehidupan karena olahraga mengajarkan nilai-nilai berupa ketrampilan hidup yang
sensual untuk kehidupan manusia.Sebagai contoh, olahraga mengajarkan nilai-nilai
begaimana mengakui kegagalan dan menghargai kemenangan.Olahraga mengajarkan
kebiasaan hidup secara teratur, disiplin, jujur, penuh tantangan, pantang menyerah, dan
berani mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.Oleh karena itu, pembinaan dan
pengembangan keolahragaan harus diatur suatu pranata aturan selaras dengan kodrat
manusia.
Undang Undang nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
tersebut terselip dua makna pembinaan olahraga, yaitu membudayakan olahraga dan
mengembangkan olahraga prestasi. Kandungan kedua makna tersebut dituangkan dalam
tiga koridor ruang lingkup pembinaan melalui olahraga pendidikan, olahraga rekreasi,
dan olahraga prestasi.
Orang tidak bisa berpikir bahwa prestasi tidak semata-mata dihasilkan dalam sebuah
proses pembinaan olahraga prestasi itu sendiri, tetapi juga diakibatkan adanya
peningkatan yang signifikan terhadap seberapa besar prosentase partisipasi masyarakat
terhadap kegiatan olahraga, keberadaan sumber daya manusia, ruang terbuka, dan
tingkat kebugaran masyarakat itu sendiri. Dengan munculnya kesadaran akan manfaat
dan pentingnya berolahraga pada masyarakat, akan berdampak positif munculnya bibit
atlet potensial. Keberhasilan dalam capaian prestasi tidak diperoleh secara tiba-tiba atau
dengan cara instan, tetapi melalui sebuah proses panjang, dari prestasi yang dicapai ke
jenjang prestasi yang lebih tinggi yang kesemuanya itu membutuhkan keterlibatan
pelaku olahraga lainnya sebagai penguat. Oleh karenanya, berbicara pembinaan atlet
harus didukung dengan kesungguhan dan keseriusan serta keterlibatan pelaku olahraga
lainnya dalam penanganannya.Kesuguhan dalam pengelolaan keolahragaan merupakan
keharusan yang dilakukan dalam sebuah pembinaan, bila diabaikan maka dapat
dipastikan adalah terjadinya kegagalan.
Sebagai harapan puncak dalam mengembangkan olahraga prestasi adalah juara
dalam kejuaraan tingkat internasional. Pada tahap seperti ini maka atlet yang
ditampilkan adalah menyandang status sebagai atlet nasional. Kalau dikatakan bahwa
28
pembinaan olahraga prestasi sebagai sebuah proses maka proses tersebut berjalan dari
bawah. Pengertian dari bawah dapat dilihat dalam konteks wilayah, dan juga dapat
dilihat dalam konteks usia. Perjalanan prestasi akan bergerak naik dari tingkat demi
tingkat. Oleh karenanya, berbicara pengembangan prestasi olahraga di tingkat Provinsi
dan di tingkat Kabupaten/Kota adalah merupakan bagian dari pembangunan olahraga
nasional.
Gambar 4 : Piramida Pembinaan
Sumber : http://orrekreasijatim.blogspot.co.id/2012/10/pembudayaan-olahraga-melalui-
lembaga.html
Gambaran sebuah bangunan kalau diurut dari bawah ke atas maka akan dimulai
dari pondasi sampai atap. Pondasi disini dapat digambarkan sebagai bentuk olahraga
yang berkembang di masyarakat. Oleh karenanya, sebuah bangunan akan berdiri dengan
kokoh manakala pondasinya kuat. Kuatnya pondasi ditandai dengan berkembangnya
olahraga di lingkungan masyarakat. Dalam konteks seperti inilah maka perlu dilakukan
gerakan berolahraga melalui pembentukan klub-klub olahraga di semua lingkungan,
apakah lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, lingkungan sekolah, lingkungan
perguruan tinggi, lingkungan pondok pesantren, dan masih banyak lingkungan yang
lain. Terbentuknya klub-klub olahraga semacam ini tidak lain adalah sebagai upaya
menggerakkan atau memasalkan olahraga di masyarakat sehingga olahraga menjadi
sebuah budaya.
29
10. Evaluasi
a. Pengertian Evaluasi
Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengoreksi, dan
memberikan penilaian terhadap suatu kegiatan yang dilakukan. Mulyono B. (2000:2)
mengemukakan bahwa, evaluasi adalah proses penentuan nilai atau harga dari data yang
terkumpul. Ralph Tyler yang dikutip Farida T.Y (1989:2) mengemukakan bahwa,
evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat
dicapai. Dapat disimpulkan bahwa, evaluasi adalah suatu tindakan atau proses
penentuan nilai atau harga dari datayang terkumpul dengan tujuan untuk menentukan
sampai sejauh manatujuan kegiatan yang dilakukan dapat tercapai.
Konsep tentang evaluasi cukup luas, karena di dalamnya tercakup masalah tes
dan pengukuran.Tes merupakan instrumen yang digunakan untuk memperoleh
informasi yang diperlukan dalam evaluasi. Adapun pengukuran merupakan proses
pengumpulan informasi yang diperlukan dalam evaluasi.
Evaluasi memegang peranan penting dalam mendorong kemajuan di segala
bidang.Evaluasi sangat penting untuk kemajuan dunia kependidikan maupun
kepelatihan olahraga. Evaluasi dapat digunakan sebagai dasar untuk penilaian, sehingga
dapat ditentukan kelemahan dan keberhasilan yang dicapai dengan tepat.
Melalui evaluasi dapat dapat diketahui sejauh mana keberhasilan kegiatan yang
dilakukan.Dengan evaluasi juga dapat ditentukan dan diteliti mengenai unsur-unsur
yang mengandung kelemahan dengan tepat. Dari hasil evaluasi tersebut makaakan dapat
ditempuh langkah-langkah perbaikan dengan tepat, sehingga selanjutnya akan dapat
dicapai hasil yang lebih baik. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi
formatif, evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedng
berjalan (program, orang, produk dan sebagainya).Fungsi sumatif, evaluasi dipakai
untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan (Farida Y.T., 1989:3).
Tingkat kemajuan, perkembangan dan kemampuan atlet dapat diketahui melalui
evaluasi yang dilakukan. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai feed back bagi pelatih
dan pengurus untuk memperbaiki proses pelatihan yang dilakukan, sehingga hasilnya
lebih baik.
30
b. Konsep Evaluasi
Evaluasi merupakanproses yang sistematis dan berkelanjutan untuk
mengumpulkan, mendeskripsikan mengintepretasikan dan menyajikan informasi untuk
dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun
menyusun program selanjutnya. Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh
informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat
berupa proses pelaksanaan program dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta
pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk
mengambil keputusan apakah dilanjutkan diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga
dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun penyusunan
kebijakan yang terkait dengan program.
Dalam mengadakan evaluasi terhadap program pelatihan secara sistematis pada
umumnya menempuh 4 langkah,yaitu:1). Penyusunan desain evaluasi, 2).
Pengembangan instrument pengumpulan data,3). Pengumpulan data (assessment),
menafsirkan dan membuat judgement,serta 4).menyusun laporan hasil evaluasi
(Purwanto dan Atwi Suparman, 1999:73).
1. Menyusunan Desain Evaluasi
Langkah pertama dalam evaluasi adalah menyusun rencana evaluasi
yang menghasilkan desain evaluasi. Pada langkah ini evaluator mempersiapkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi,mulai menentukan
tujuan evaluasi, model yang akan digunakan, informasi yang akan dicari serta
metode pengumpulan dan analaisis data. Apabila langkah pertama dapat
menghasilkan desain evaluasi yang cukup komprehensif dan rinci,maka sudah
dapat dijadikan sebagai acuan kegiatan evaluasi yang akan dilaksanakan.
Rancangan atau desain evaluasi biasanya disusun oleh evaluator setelah
melakukan diskusi dan ada kesepakatan dengan pihak yang akan membiayai
kegiatan evaluasi atau sponsor. Namun ada kalanya rancarangan disusun oleh
evaluator untuk dijadikan bahan mengadakan negoisasi dengan sponsor.
2. Mengembangkan Instrumen Pengumpulan Data
Setelah metode pengumpulan data ditentukan,langkah selanjutnya adalah
menentukan bentuk instrument yang akan digunakan serta kepada siapa
instrumen tersebut ditujukan (responden). Kemudian setelah itu perlu
31
dikembangkan butir – butir dalam instrumen. Berbagai pertimbangan mengenai
berapa banyak informasi yang akan dikumpulkan, instrumen dikembangkan
sendiri, mengadopsi ataupun menggunakan instrument baku dari instrument
yang sudah ada sebelumnya. Untuk memperoleh data yang valid maka
instrument yang digunakan harus memperhatikan masalah validitas dan
reliabilitas. Selain hal tersebut,masalah efisiensi dan efektivitas harus tetap
diperhatikan. Jenis-jenis instrument yang paling sering digunakan untuk
mengumpulkan data dalam evaluasi program pelatihan adalah dalam bentuk
tes,angket,ceklis,pengamatan,wawancara atau evaluator sendiri sebagai
instrument.
3. Mengumpulkan Data, Analisis dan Judgement
Langkah ketiga merupakan tahapan pelaksanaan dari apa yang telah dirancang
pada langkah pertama dan kedua. Pada langkah ketiga ini evaluator terjun ke
“lapangan”untuk mengimplementasikan desain yang telah dibuat,mulai dari
mengumpulkan dan menganalisis data, menginterpretasikan, dan menyajikan
dalam bentuk yang mudah untuk dipahami dan komunikatif. Pengumpulan data
dapat dari populasi maupun dengan menggunakan sampel. Apabila
menggunakan sampel maka harus representatif mewakili populasi,oleh karena
harus memperhatikan tekhnik sampling yang baik. Berdasarkan data yang
dikumpulkan kemudian dianalisis dan dibuat judgement berdasarkan criteria
maupun standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari hasil judgement
kemudian disusun rekomendasi kepada penyelenggara kegiatan pelatihan
maupun pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan kegiatan
pelatihan. Langkah ketiga ini merupakan proses esensial dari kegiatan evaluasi
program pelatihan dimana terjadi dialog antara evaluator dengan obyek
evaluasi. Hal yang harus diperhatikan oleh evaluator pada tahap ini adalah
masalah etika dan penguasaan„setting‟ atau latar di mana evaluasi dilaksanakan.
4. Menyusun Laporan Hasil Evaluasi
Menyusun laporan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi program
pelatihan. Laporan disusun sesuai dengan kesepakatan kontrak yang
ditandatangani. Misalnya dalam kontrak disepakati bahwa laporan dibuat dua
jenis laporan dengan sasaran atau penerima laporan yang berbeda,dapat
32
disepakati pula bahwa penyampaian laporan secara tertulis dan ada kesempatan
presentasi. Langkah terakhir ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya
evaluasi. Oleh karena itu gaya dan format penyampaian laporan harus
disesuaikan dengan penerima laporan.
c. Instrumen Evaluasi
Instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan evaluasi yaitu tes dan
pengukuran.Tes adalah suatu instrumen yang digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang individu atau obyek-obyek. Adapun pengukuran adalah suatu
proses pengumpulan informasi. Tujuan evaluasi dapatdicapai jika tes yang
digunakan, di dalamnya mengandung unsur-unsur yang dapat menggali informasi
yang diperlukan sesuai dengan tujuan evaluasi.
Instrument tes yang digunakan untuk mengambil data harus merupakan alat
tes yang baik.Alat tes yang baik yaitu alat tes yang memenuhi beberapa persyaratan.
Menurut Mulyono B. (2000:16),
Beberapa persyaratan yang sebaiknya dimiliki oleh suatu tes meliputi
unsur-unsur seperti berikut:
1) Validitas
2) Reabilitas
3) Obyektivitas
4) Diskriminitas
5) Praktikabilitas
1) Validitas
Syarat yang sangat penting, bahwa alat tes atau alat ukur yang digunakan harus
benar-benar valid (sahih). Validitas merupakan suatu tingkatan dimana tes benar-
benar mengukur apa yang telah direncanakan untuk diukur (Strand & Wilson,
1993:9). Suatu alat tes dikatakan sahih, apabila tes tersebut mengukur sesuai
dengan tujuannya.
Instrumen yang digunakan harus benar-benar mengandung unsur apa yang akan
diukur secara tepat. Untuk mengevaluasi tingkat bagaimana karakteristik para
atlet, pelatih, saran dan prasarana, program latihan, unsur penseleksian dan
prestasiTIMNAS U-19 Putri bola tangan, maka instrumen evaluasi yang
digunakan harus betul-betul memuat unsur yang ditujukan untuk mengukur dan
33
mengetahui komponen-komponen pembinaan yang menunjang perolehaan
prestasi TIMNAS bola tangan.
2) Reabilitas
Reabilitas adalah konsistesi dimana sebuah tes mengukur apa yang sudah
direncanakan untuk diukur (Strand & Wilson, 1993:10). Reabilitas inimenyangkut
masalah taraf keterhandalan dan konsistensi tes dan pengukuran yang
dilakukan.Keterhadalan atau reabilitas suatu alat ukur diartikan, sampai berapa
jauh alat ukur tersebut memperoleh hasil pengukuran secara ajeg atau konsisten
sewaktu pengukuran pertama dengan pengukuran kedua.
Suatu tes dapat dikatakan andal jika mempunyai hasil yang konsisten, dalam
artian memiliki hasil yang relatif sama meskipun dilakukan berulang-ulang pada
waktu yang berbeda. Reabilitas bisa ditentukan dengan beberapa cara yang
berbeda. Reabilitas dikelompokkan menjadi reabilitas test-retest, reabilitas bentuk
paralel, reabilitas belah dua ganjil-genap.
3) Obyektifitas
Obyektifitas merupakan salah satu syarat yang sangat penting.Obyektifitas
merupakan derajat kesamaan hasil dari dua atau lebih pengambil tes (tester).
Obyektifitas terjadi apabila 2 orang atau lebih melaksanakan tes yang sama
terhadap orang yang sama dan memperoleh hasil yang sama. Agar tujuan evaluasi
dapat tercapai, maka penilaian yang dilakukan harus bersifat obyektif. Penilaian
terhadap suatu obyek, tidak boleh dipengaruhi oleh unsur yang lain. Misalnya
penilaian terhadap, keluwesan gerak tidak boleh terpengaruh oleh kecantikan
pelaku. Menurut Strand & Wilson (1993:11) bahwa, obyektifitas tergantung pada
kejelasan dan kelengkapan instruksi tes yang diberikan dan prosedur tes yang
diikuti sepenuhnya.Untuk menghindari penilaian yang kurang obyektif perlu
adanya kejelasan prosedur, unsur-unsur yang dinilai dan kriteria
penilaiannya.Dengan kejelasan tersebut maka tiap tester dapat memiliki kesamaan
persepsi tentang evaluasi yang dilakukan sehingga unsur subyektifitas dapat
dihindari.
4) Diskriminitas
Diskriminasi pada test merupakan kemampuan suatu test untuk membedakan
tingkat kemampuan teste. Idealnya, skor harus berada pada rangkaian kesatuan
34
dari tinggi ke rendah sehingga pemisahan tingkat kemampuan teste menjadi lebih
jelas (Strand & Wilson, 1993:14). Dengan adanya diskriminitas ini akan dapat
dipilahkan tingkat kemampuan teste yang rendah, sedang maupun tinggi.
5) Praktikabilitas
Alat evaluasi yang dilakukan harus bersifat praktis, dalam arti mudah dilakukan.
Strand & Wilson (1993:17) mengemukakan bahwa, Untuk praktisnya, item test
sebaiknya murah, mudah dilaksanakan, mudah dipersiapkan dan memberikan
hasil terbaik untuk stasiun testing. Pertimbangan-pertimbangan praktibilitas
meliputi; waktu dan biaya, kemudahan pengadministrasian dan kemudahan
penginterpretasian perlu dipertimbangkan dalam dalam pelaksanaan evaluasi.
Tes yang digunakan, perlu dipertimbangkan apakah membutuhkan banyak waktu
untuk mempersiapkan dan peralatannya menjadi terlalu mahal.Tes yang baik
memberikan petunjuk tegas mengenai jenis dan jumlah peralatan dan memberikan
hal-hal yang dibutuhkan saat pelaksanaan tes, serta peralatannya mudah
didapatkan dan biayanta murah.
d. Kriteria evaluasi
Kriteria dalam evaluasi ini mengacu pada :
1. Pedoman – pedoman tentang program pendidikan jasmani yang berlaku.
2. Persepsi para pengembang program yang teruji secara teoritis.
3. Pertimbangan evaluator.
Sesuai dengan permasalahan terdahulu yaitu pada bagian pendahuluan pelaksana
program pendidikan jasmani.Oleh sebab itu program ini perlu di evaluasi. Dari evaluasi
tersebut pihak perencana, pengambil keputusan, dan pelaksana akan mendapatkan
masukan yang diperlukan guna penyempurnaan lebih lanjut.
Penelitian evaluasi tentang pelaksanaan program pendidikan jasmani dapat
dilakukan dengan membandingkan antara proses pelaksanaan program atau proses
pelaksanaan yang program yang terjadi dalam pembelajaran dengan proses
pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan atau yang sesuai kurikulum ideal, yaitu
termuat dalam buku GBPP kurikulum pendidikan jasmani.
35
Kunci pelaksanaan program apakah program telah sesuai dengan criteria
kurikulum ideal yaitu yang tercantum dalam Buku Kurikulum Pendidikan Jasmani
tahun 2004. Kriteria menurut Ebel (1972), yang digunakan untuk menentukan nilai
prestasi yang diklasifikasikan atas dasar tingkatan sebagai berikut :
A = 81-100% Sangat baik
B = 61-80% Baik
C = 41-60% Cukup
D = 21-40% Kurang
E = 0-20% Sangat kurang
Atau Klasifikasi :
A = 81-100% sangat memadai
B = 61-80% memadai
C = 41-60% cukup memadai
D = 21-40 %kurang memadai
E = 0-21% sangat kurang memadai.
11. Evaluasi Program
Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa pengertian tentang
program sendiri. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan
yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang
direncanakan (Suharsimi Arikunto, 1993: 297).
36
Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin
Abdul Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan
pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam
(1971) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 5),
evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada
pengambil keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program
merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan
alternatif kebijakan.
Dalam evaluasi program terdapat beberapafungsi pokok, dan fungsi evaluasi
merupakan salah satudi antaranya, selain perencanaan, pengorganisasian dan
pelaksanaan. Program pelatihan sebagai salah strategi pengembangan memerlukan
fungsi evaluasi untuk mengetahui efektivitas program yang bersangkutan. Pada
umumnya orang beranggapan bahwa evaluasi program pelatihan diadakan pada akhir
akhir pelaksanaan pelatihan. Anggapan yang demikian adalah kurang tepat,karena
evaluasi merupakan salah satu matarantai dalam system pelatihan yang jika dilihat dari
waktu pelaksanaannya kegiatan penilaian dapat berada diawal proses perencanaan, di
tengah proses pelaksanaan dan pada akhir penyelenggaraan pelatihan dan pasca
kegiatan pelatihan. Penilaian yang dilaksanakan pada proses perencanaan disebut
dengan analis kebutuhan (needassessment) yang berusaha untuk mengumpulkan
informasi tentang kemampuan,ketrampilan maupun keahlian yang akan dikembangkan
dalam pelatihan,karakteristik peserta pelatihan,kualitas materi pelatihan dilihat dari
relevansi dan kebaharuan, kompetensi pelatih/instruktur/pengajar, tempat pelatihan
beserta sarana dan prasarana yang dibutuhkan,akomodasi dan konsumsi serta jadwal
kegiatan pelatihan. Penilaian yang dilaksanakan pada saat proses pelatihan disebut
dengan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang sejauhmana
program yang telah disusun dapat diimplementasikan dengan baik. Dalam kegiatan
monitoring ini berusaha untuk menilai kualitas proses pelatihan,baik dari aspek kinerja
instruksi, iklim kelas, sikap dan motivasi belajar atau berlatih para peserta pelatih
sedangkan penilaian pasca pelatihan bertujuan untuk mengetahui perubahan kinerja
37
peserta setelah kembali ke tempat kerjanya masing – masing agar lebih bisa terstruktur
dan terencana dengan baik.
a. Tujuan Evaluasi Program
Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan
tujuan untuk :
1. Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil
evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
2. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program
perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif.Oleh karena
itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana
melaksanakan penelitian.
Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:7), terdapat
perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai
berikut:
1. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu
kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program
pelaksanan ingin menetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai
hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan
criteria atau standar tertentu.
2. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program
pelaksanan ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan apabila
tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksanan ingin mengetahui
letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan
penelitian evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui
38
akhir dari adanya kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan
yang lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
b. Manfaat Evaluasi Program
Dalam organisasi pendidikan, evaluasi program dapat disamaartikan dengan kegiatan
supervisi.Secara singkat, supervisi diartikan sebagai upaya mengadakan peninjauan
untuk memberikan pembinaan maka evaluasi program adalah langkah awal dalam
supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan
pemberian pembinaan yang tepat pula.
Jika supervisi di lembaga pendidikan dilakukan dengan objek buku-buku dan pekerjaan
clerical work maka evaluasi program dilakukan dengan objek lembaga pendidikan
secara keseluruhan. Kebijakan supervisi yang berlangsung saat ini dapat dikatakan sama
dengan evaluasi program, tetapi sasarannya ditekankan pada kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan pengertian tadi, supervisi sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program,
dapat disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program
merupakan langkah awal dari proses akreditasi dan validasi lembaga. Evaluasi program
pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan dalam pengertian khusus, tertuju pada
lembaga secara keseluruhan.
Kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan
dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil
keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah
dilaksanakan. Wujud dari basil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator
untuk pengambil keputusan (decision maker).Ada empat kemungkinan kebijakan yang
dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada
manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan
(terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).
39
3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala
sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang
bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau
mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil
dengan balk maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
12. Model – Model Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi di mana suatutujuan telah
dapat dicapai (M. Sukardi: 2008:1) Definisi tersebut menerangkan secara
langsunghubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat,
dimana suatu tjuan dapat dicapai.Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari
bahasa inggris“evaluation” yang berarti penilaian atau penaksiran.Sedangkan
menurutpengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untukmengikuti
keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrument danhasilnya
dibandingkan.dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan (Chabib
Toha:2003:1).Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktifitas secara spontan
daninsidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secaraterencana,
sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatanevaluasi memerlukan
penggunaan informasi yang diperoleh melaluipengukuran maupun dengan cara lain
untuk menentukan pendapat danmembuat keputusan pendidikan.
Evaluasi pendidikan mencakup dua sasaran pokok yaitu evaluasimakro
(program) dan evaluasi mikro (kelas). Secara umum, evaluasi terbagidalam tiga tahap
sesuai proses belajar mengajar yakni dimulai dari evaluasiinput, evaluasi prosess dan
evaluasi output (Suharsimi Arikunto; 1993; 4) Setiap jenis evaluasi memilikifungsi
yang berbeda satu dengan yang lain. Evaluasi input mencakup fungsikesiapan
penempatan dan seleksi. Evaluasi proses mencakup formatif,diagnostic dan monitoring,
sedangkan evaluasi output mencakup sumatif.Evaluasi program adalah proses untuk
mendeskripsikan dan menilaisuatu program dengan menggunakan kriteria tertentu
dengan tujuan untukmembantu merumuskan keputusan atau kebijakan yang lebih
baik.Pertimbangannya adalah untuk memudahkan evaluator dalammendeskripsikan dan
40
menilai komponen-komponen yang dinilai, apakahsesuai dengan ketentuan atau tidak.
Menurut S. Arikunto evaluasi programjuga berarti upaya untuk mengetahui tingkat
keterlaksanaan suatu kebijakansecara cermat dengan cara mengetahui efektifitas
masing-masingkomponennya. Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat
dilakukanberdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program, yaitu:
a. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut
tidakada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
b. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai
denganharapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).
c. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program sudah berjalan
sesuaidengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
d. Menyebarluaskan program, karena program berhasil dengan baik
makasangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain
(Suharsimi Arikunto dan Cepi Syafruddin Abdul Jabar; 2004:8)
Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar
evaluasi.Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang,
lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan
dapat mencapai hasil yang diharapkan. Terdapat beberapa model evaluasi yang umum
di masyarakat, antara lain:
1. Model Evaluasi UCLA
2. Model Evaluasi Brinkerhoff
3. Model Evaluasi Kirkpatrick
4. Model Evaluasi Stake atau model Countenance
5. Model Evaluasi Metfessel dan Michael
6. Model Evaluasi CIPP
Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model evaluasi yang akan
dibuat.Berikut uraian dari kelima model evaluasi di bawah ini:
41
a. Model Evaluasi UCLA
Menurut Alkin (1969) evaluasi adalah suatu proses meyakinkan keputusan,
memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisa informasi sehingga
dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih
beberapa alternatif. Ia mengemukakan lima macam evaluasi yakni :
a. Sistem assessment, yaitu memberikan informasi tentang keadaan atau posisi
sistem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan
berhasil memenuhi kebutuhan progam.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah rogram sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang direncanakan.
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana program
berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju
pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak
terduga.
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program.
b. Model Evaluasi Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain,
namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design. Dapatkah masalah evaluasi dan kriteria
akhirnya dipertemukan.Apabila demikian, apakah itu suatu keharusan? Belum lengkap
penjelasannya
b. Formative vs Summative Evaluation. Apakah evaluasi akan dipakai untuk perbaikan
atau untuk melaporkan kegunaan atau manfaat suatu program? Atau keduanya
c. Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive Inquiry.
Apakah evaluasi akan melibatkan intervensi ke dalam kegiatan program/mencoba
42
memanipulasi kondisi, orang diperlakukan, variabe1 dipengaruhi dan sebagainya, atau
hanya diamati, atau keduanya
c. Model Evaluasi Kirkpatrick
Menurut Kirkpatrick evaluasi terhadap efektivitas program training
mencakup empat level evaluasi,yaitu: level 1 –Reaction, level 2 –Learning, level 3–
Behavior, level 4– Result
a. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan
peserta (customersatisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses
training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka
tertarik termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan
termotivasi apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada
akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya
apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses training yang diikuti nyamakan
mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training lebih lanjut. Dengan demikian
dapat dimaknai bahwa keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari
minat,perhatian dan motivasi peserta training dalam mengikuti jalannya kegiatan
training.Orang akan belajar lebih baik manakala mereka member reaksi positif terhadap
lingkungan belajar.
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek,yaitu materi yang
diberikan,fasilitas yang tersedia,strategi penyampaian materi yang digunakan oleh
instruktur,media pembelajaran yang tersedia,jadwal kegiatan sampai menu dan
penyajian konsumsi yang disediakan.
b. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988:20) learning can bedefinedas the extendto which
participans change attitudes, improving know ledge,and/or increase skill as are sult of
attending the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program
training, yaitu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta training dikatakan
telah belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan
pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan. Oleh karena itu untuk mengukur
efektivitas program training maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur.Tanpa
43
adanya perubahan sikap,peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan
pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian evaluating
learningini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena
itudalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau
lebih hal berikut: a).Pengetahuan apa yang telah dipelajari?, b).Sikap apa yang telah
berubah ?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki?.
c. Evaluating Behavior
Evaluasi pada level ke 3(evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi
terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih
bersifat internal,sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan
tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang
telah terjadi setelah mengikuti training juga akan diimplementasikan setelah peserta
kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti program
training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apakah peserta merasa senang
setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?.Bagaimana peserta dapat
mentrasfer pengetahuan,sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training untuk
diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku
setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi
terhadap out comes dari kegiatan training.
d. Evaluating Result
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang
terjadi Karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil
akhir dari suatu program training diantaranya adalah kenaikan produksi,peningkatan
kualitas,penurunan biaya,penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja,penurunan
turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan
meningkatkan moral kerja maupun membangun team work yang lebih baik.Dengan
katalain adalah evaluasi terhadap impact program.
44
d. Model Evaluasi Stake atau Model Countenance
Menurut model „Countenance‟, penilaian harus mengandung langkah-langkah
berikut; menerangkan program; melaporkan keterangan tersebut kepada pihak yang
berkepentingan; mendapatkan dan menganalisis „judgment; melaporkan kembali hasil
analisis kepada pelanggan. Seterusnya, model responsif mencadangkan perhatian yang
terus menerus oleh penilai dan semua pihak yang terlibat dengan penilaian. Stake telah
menentukan 12 langkah interaksi antara penilai dan pelanggan dalam proses penilaian.
Model evaluasi Stake, merupakan analisis proses evaluasi yang membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini, meletakkan dasar yang sederhana namun
merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang
evaluasi. Stake menekankan pada dua jenis operasi yaitu deskripsi (descriptions) dan
pertimbangan (judgments) serta membedakan tiga fase dalam evaluasi program yaitu :
Persiapan atau pendahuluan (antecedents)
Proses/transaksi (transaction-processes)
Keluaran atau hasil (outcomes, output)
Descriptions matrix menunjukkan Intents (goal=tujuan) dan observations
(effect=akibat) atau yang sebenarnya terjadi. Judgment berhubungan dengan standar
(tolak ukur = kriteria)/dan judgment (pertimbangan). Stake menegaskan bahwa ketika
kita menimbang-nimbang di dalam menilai suatu program pendidikan, kita tentu
melakukan pembandingan relatif (antara satu program dengan standard).
Model ini menekankan kepada evaluator agar membuat keputusan/penilaian
tentang program yang sedang dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap.Stake
menunjukkan bahwa description disatu pihak berbeda dengan pertimbangan (judgment)
atau menilai.Di dalam model ini data tentang Antecendent (input), Transaction (process)
dan Outcomes (Product) data tidak hanya dibandingkan untuk menentukan kesenjangan
antara yang diperoleh dengan yang diharapkan, tetapi juga dibandingkan dengan standar
yang mutlak agar diketahui dengan jelas kemanfaatan kegiatan di dalam suatu program.
45
e. Model Evaluasi Metfessel dan Michael
Metfessel dan Michael (1967), dapat digunakan oleh guru dan evaluator
program. Dalam strategi model Metfessel dan Michael terdapat delapan langkah yaitu:
a. Keterlibatan masyarakat (envalvement of the community) yakni : orangtua,
ahli-ahli pendidikan dan peserta didik
b. Pengembangan tujuan dan memilih tujuan menurut skala prioritas.
c. Menterjemahkan tujuan menjadi bentuk tingkah laku dan mengembangkan
pengajaran.
d. Mengembangkan metode untuk mengukur dan mengevaluasi pencapaian
tujuan.
e. Menyusun dan mengadministrasi ukuran untuk mengevaluasi pencapaian tujuan
f. Menganalisis hasil pengukuran
g. Menginterpretasi dan mengevaluasi data
h. Menyusun rekomendasi untuk mengembangkan pengajaran
f. Model Evaluasi CIPP
Evaluasi, dari awal kemunculannya sampai dengan saat ini terus mengalami
perkembangan.Evaluasi merupakan istilah baru dalam kajian keilmuan yang telah
berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Walaupun demikian, bidang kajian evaluasi
ternyata telah banyak memberikan manfaat dan kontribusinya didalam memberikan
informasi maupun data, khususnya mengenai pelaksanan suatu program tertentu yang
pada gilirannya akan menghasilkan rekomendasi dan digunakan oleh pelaksana program
tersebut untuk menentukan keputusan, apakah program tersebut dihentikan, dilanjutkan,
atau ditingkatkan lebih baik lagi. Dan saat ini, evaluasi telah berkembang menjadi tren
baru sebagai disiplin ilmu baru dan sering digunakan oleh hampir semua bidang dalam
suatu program tertentu seperti,evaluasi program training pada sebuah perusahaan,
evaluasi program pembelajaran dalam pendidikan, maupun evalausi kinerja para
pegawai negeri sipil pada sebuah instansi tertentu.
Dalam implementasinya ternyata evaluasi dapat berbeda satu sama lain, hal ini
tergantung dari maksud dan tujuan dari evaluasi tersebut dilaksanakan. Seperti evaluasi
46
program pembelajaran tidak akan sama dengan evaluasi kinerja pegawai. Evaluasi
program pembelajaran dilakukan dengan dituan untuk melihat sejauh mana hasil belajar
telah tercapai dengan optimal sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran itu sediri.
Sedangkan evaluasi kinerja pegawai dilakukan dengan tujuan untuk melihat kualitas,
loyalitas, atau motivasi kerja pegawai, sehingga akan menentukan hasil produksi.
Dengan adanya perbedaan tersebut lahirlah beberapa model evaluasi yang dapat
menjadi pertimbangan evaluator dalam melakukan evaluasi. Dari beberapa model
evaluasi yang ada, penulis hanya akan membahas model evaluasi CIPP (Context, Input,
Process, Product) yang dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam.
Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para
evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan
dengan model evaluasi lainnya.Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel
Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University.Model evaluasi ini pada awalnya
digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act).
CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input
evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses,
dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut
itulah yang menjadi komponen evaluasi.
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan.Tujuannya adalah untuk
membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan.
Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko Putro Widoyoko mengungkapkan
bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of
evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam
dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi
untuk memperbaiki.Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang
meliputi, context, input, process, product.
a. Context Evaluation (Evaluasi Konteks)
Stufflebeam (1983 : 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi
konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimilki
evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat
47
memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin
menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci
lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan
tujuan proyek.
b. Input Evaluation (Evaluasi Masukan)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.
Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan
peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang
diperlukan.
Menurut Stufflebeam sebagaimana yang dikutip Suharsimi Arikunto,
mengungkapkan bahwa pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada
pemecahan masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.
c. Process Evaluation (Evaluasi Proses)
Worthen & Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan
bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : “ 1) do detect or predict in
procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to provide
information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the procedure as
it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan
prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan
informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah
terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan
diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk
mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu
diperbaiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP
menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who)
orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan
48
selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.
d. Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)
Sax (1980 : 598) dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi
produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision of
program “. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau
guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun
modifikasi program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (2000 : 14) dalam
Eko Putro Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat
keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang
dilakukan setelah program itu berjalan.
Dari teori tersebut dalam penelitian ini model evaluasi yang paling cocok
digunakan ialah model evaluasi CIPP.
13. Evaluasi CIPP
Model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) merupkan hasil kerja
keras Phi Delta Kappa National Study Commite selama empat tahun, yangdiketahui
oleh L. Stufflebeam dan dibantu oleh 6 teman sejawatnya, yaitu: WalterJ.Poley, william
J.Gephart,Egon G.Guba, Robert L. Hammond, Howard A.Merriman, dan Malcom M.
Provus. Model ini konsisten dengan definisi evaluasi program pendidikan yang
dikeluarkan oleh komite tersebut, yaitu : evaluasi adalah proses menggambarkan,
memperoleh, dan menyediakan informasi yang bermanfaat dalam menilai alternatif-
alternatif keputusan.Berkaitan dengan definisi di atas, Stufflebeam (Worthen dan
Sanders, 1981:129)
menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek kunci yang perlu dipahami, yaitu.
1. Evaluation is performed in the service of decision-making, hence, it shouldprovide
information which is useful to decision maker
2. Evaluation is a cyclic, continuing process and, therefore, must beimplemented
through a systematic program
49
3. The evaluation process includes the three main steps of delineating,obtaining and
providing. These steps provide the basis for methodology ofevaluation
4. The delineating and providing steps in the evaluation process are interfaceactivies
requiring collaboration between evaluator and decision maker,while the obtaining step
is largely a tecnical activity which is executedmainly by the evaluator.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa : (1) evaluasi dilaksanakan untuk melayani
pengambilan keputusan, jadi evaluasi hendaknya menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi pengambil keputusan, (2) evaluasi merupakan proses yangbersifat
siklis dan berkesinambungan, sehingga harus dilaksanakan melalui sebuah program
yang sistematis, (3) proses evaluasi terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu:Penggambaran,
pemerolehan, dan menyediakan informasi. Tahapan-tahapan inimerupakan dasar bagi
metodologi evaluasi, (4) tahapan penggambaran danpenyediaan informasi dalam proses
evaluasi adalah aktivitas yang sering berhubungan yang membutuhkan kerja sama
antara evaluator dan pengambilan keputusan, sementara tahapan pemerolehan informasi
merupakan aktivitas yangbersifat teknis yang sebagian besar dilakukan oleh evaluator.
Stufflebeam (1985 : 116) menerjemahkan masing-masing dimensi tersebut
denganmakna :
1. Context, situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuandan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan, situasi ini
merupakan faktor eksternal, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan,
keadaan ekonomi negara, danpandangan hidup masyarakat.
2. Input, membantu mengatur keputusan, menentukan sumber yang ada,alternative apa
yang akan diambil, apa rencana, strategi untuk mencapai tujuan dan bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya. yang berkaitan dengan evaluasi input meliputi
sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung, dana atau anggaran dan
berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
3. Process, yang berkaitan dengan kegiatan program, berupa perencanaan
program,pelaksanaan program, dan evaluasi program untuk mengetahui sejauh mana
rencana telah diterapkan.
4. Product, yang berkaitan dengan hasil program PKH dalam mencapai tujuanyang
telah ditentukan sebelumnya.Lebih lanjut Stufflebeam (Ibrahim & Ali, 2007 : 116)
menyebutkan bahwadefinisi tersebut menggabungkan tiga aspek dasar. Pertama,
50
evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkesinambungan. Kedua, proses ini
terdiri dari tigalangkah yang sangat penting, yaitu : (1) menyusun pertanyaan yang
membutuhkan pertanyaan dan menentukan informasi yang akan dikumpulkan,
(2)mengumpulkan data yang relevan, (3) menyediakan informasi yang diperoleh bagi
pengambil keputusan yang dapat memikirkan dan menginterprestasi informasi tersebut
terkait dengan dampaknya terhadap alternatif-alternatif keputusan yang dapat
memperbaiki atau meningkatkan program pendidikan yang sedang berjalan.Ketiga,
evaluasi mendukung proses pengambilan keputusan dengan memungkinkan pemilihan
sebuah alternatif dan menindaklanjuti sebagai konsekuensi dari sebuah
keputusan.Stufflebeam & Shrinkfield (1985:491) menyatakan bahwa model evaluasi
CIPP menyediakan empat tipe keputusan, yaitu 1).Planning decision, yang
mempengaruhi pemilihan tujuan secara umum maupun secara khusus. 2)Structuring
dicision, yang menentukan strategi dari desain prosedural yang optimal dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh keputusan perencanaan. 3)
Implementing decision, yang memberikan jalan ataucara dalam menjalankan dan
meningkatkan pelaksanaan desain, metode atau staretgi yang telah dipilih dan 4)
Recycling decision, yang menentukan apakah sebuah kegiatan atau bahkan sebuah
program dilanjutkan, diperbaiki dan dihentikan.Aspek yang dievaluasi dan prosedur
pelaksanaan evaluasi model CIPP menurut Stufflebeam & Shrinkfield (1985:491)
seperti pada tabel 1.2 berikut.Stufflebeam dalam naskah yang dipresentasikan pada
annual conference of the
oregon program evaluation network (OPEN) Portland tahun 2003 memperluas makna
evaluasi product menjadi impact evaluation (evaluasi pengaruh),effectiveness
evaluation (evaluasi efektivitas), sustainability evaluation (evaluasi keberlanjutan), dan
transportability evaluation (evaluasi transformasi)(Stufflebeam, 1985:59-62).
Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, untuk mewujudkan keempattipe
keputusan ini, maka terdapat empat jenis evaluais yang masing-masing diperuntukan
bagi setiap keputusan.Context evaluation, menghasilkan informasi yang berkaitan
dengan kebutuhan (yaitu sejauh mana perbedaan yang timbul antara kenyataan yang
terjadi dan harapan yang diinginkan, dikaitkan dengan harapan terhdap nilai-nilai
tertentu, lingkup perhatian, hambatan dan peluang)dalam rangka merumuskan tujuan
umum dan tujuan khusus sebuah program.Input evaluation, menyediakan informais
51
tentang kekuatan dan kelemahan dari desain dan strategi alternatif dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Process evaluation, menyediakan informasi
untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan prosedur dan strategi yang telah
dipilih, sehingga factor-faktor yang menjadi kekuatan dapat dipertahankan dan faktor-
faktor yang menjadi kelemahan dapat dihilangkan.Product evaluation, meyediakan
informasi sejauhmana tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai
dan untuk menentukan apakah strategi, prosedur, atau metode yang telah
diimplementasikan
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut harus dihentikan, diperbaiki,atau
dilanjutkan dalam bentuknya yang sekarang. Pada dasarnya yang paling utama dari
sebuah evaluasi adalah adanya saling keterkaitan yang bersifat simultan dari sebuah
produk dan evaluasi proses, dimana umpan balik yang diperoleh dari kualitas produk
yang dihasilkan, dapat digunakan dalam evaluasi proses untuk meningkatkan kualitas
produk dimana yang akan datang dengan mengatasi berbagai kekurangan dan
mengadakan perbaikan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung berdasarkan
keputusan implementasi. Lebih lanjut umpan balik juga dapat digunakan didalam
evaluasi input untuk mendesain kembali strategi-strategi yang digunakan, sehingga
dapat menghasilkan produk yang lebih sesuai.Keunggulan model CIPP merupakan
sistem kerja yang dinamis, bentuk pendekatan dalam melakukan evaluasi yang sering
digunakan yaitu pendekatan eksperimental, pendekatan yang berorientasi pada tujuan,
yang berfokus pada keputusan, berorientasi pada pemakai dan pendekatan yang
responsif dan berorientasi terhadap target keberhasilan dalam evaluasi. Dengan
demikian, modelevaluasi CIPP memungkinkan untuk menjawab empat pertayaan yaitu :
(1) tujuan manakah yang akan dicapai; (2) strategi atau prosedur manakah yang harus
dijalankan; (3) seberapa baik strategi atau prosedur ini bekerja; dan (4) seberapa
efektif pencapaian tujuan umum dan tujuan-tujuan khusus.Alasan memilih model CIPP
dalam penelitian ini dapat terlihat jelas dari model evaluasi CIPP yang telah diuraikan di
atas. Kerena model CIPP Evaluation iniprinsipnya mendukung proses pengambilan
keputusan dengan mengajukan pemilihan alternatif dan penindak lanjutan konsekuensi
dari suatu keputusan.
(Sukardi, 2008:25).
52
Evaluasi model CIPP adalah model evaluasi yang bertujuan untuk
meningkatkan evaluasi suatu program informasi yang diperoleh dari empat
komponen.Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stufflebeam. Model CIPP merupakan
singkatan dari Context (Konteks), Input (masukan), Process (Proses), dan Product
(Hasil).
Dalam kegiatan evaluasi dengan menggunakan model CIPP, terlibat tiga
langkah utama yaitu :
a. Penggambaran/penguraian (delineating), yang merujuk pada pemfokusan
persyaratan-persyaratan informasi yang dibutuhkan oleh pengambil keputusan
melalui tindakan-tindakan seperti penspesifikasian, pendefinisian, dan penjelasan.
b. Perolehan (obstaining) yang merujuk pada pengumpulan, pengorganisasian, dan
penganalisisan informasi dengan menggunakan prosedur teknis seperti pengukuran
dan statistik.
Penyediaaan (providing), yang merujuk pada pemaduan informasi sehingga
dapat secara optimal digunakan untuk tujuan evaluasi.Evaluasi model CIPP ini memiliki
dua orientasi kegunaan, yaitu untuk kepentingan (1) pengambilan keputusan, atau
orintasi formasi; dan (2) akuntabilitas, atau beorientasi sumatif. Keempat komponen
evaluasi yang terdapat dalam model CIPP, masing-masing memiliki karakteristik
kegunaannyaberdasarkan dua jenis orientasi yang ada. Orientasi formatif pada kempat
komponen evaluasi, masing-masing memiliki kegunaannya sendiri-sendiri, yaitu :
a. Evaluasi “konteks” adalah membimbing kearah pemeliharaan tujuan penetapan
prioritas.
b. Evaluasi “masukan” adalah membimbing pemilihan strategi program atau sebagai
masukan dalam menspesifikasikan rancangan prosedural.
c. Evaluasi “proses” adalah membimbing dalam implementasi kegiatan, dan
d. Evaluasi “hasil” adalah membimbing dalam memutuskan apakah kegiatan perlu
diakhiri, dilanjutkan, dimodifikasi atau ditetapkan.
Kegiatan dalam orintasi sumatif mempunyaikegunaan dari setiap masing-
masing komponen yaitu:
a. Evaluasi “konteks” adalah sebagai catatan tentang tujuan dan dasar pemilihannya.
b. Evaluasi “masukan” adalah catatan tentang pemilihan strategi dan rancangan serta
alasan pemilihan tersebut.
53
c. Evaluasi “proses” adalah catatan tentang proses pelaksanaan atau aktualisasi
pelaksanaan dilapangan.
d. Evaluasi “hasil” adalah catatan tentang pencapaian hasil yang diperoleh dari
aktualisasi serta pencapaian keputusan-keputusan untuk perbaikannya.
Hasil evaluasi „konteks‟ idealnya dapat mengarahkan pada keputusan perlu
tidaknya diperkenalkan suatu jenis perubahan dalam sistem.Bila ternyata dibutuhkan
perubahan dalam sistem, maka masalah yang ingin dipecahkan dan diperjelas adalah
dapat menuntun pada perumusan dan penetapan tujuan.
Hasil evaluasi “masukan” dapat dimanfaatkan untuk memutuskan sejauh mana
strategi pemecahan yang ditemukan, cukup meyakinkan untuk digunakan dalam
pengembangan lebih lanjut.
Implementasi dari strategi pemecahan nampak dalam evaluasi “proses” dan
“hasil” sehingga hasil kedua jenis evaluasi yang terakhir ini dapat dimanfaatkan untuk
melihat sejauh mana penerapan strategi pemecahan dan efektifitasnya dalam
pemecahan masalah yang dihadapi.
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan dari rumusan masalah sebagaimana yang sudah diuraikan
sebelumnya, maka terdapat dua komponen evaluasi yang diangkat dalam penelitian ini,
yaitu komponen “masukan” yang dikaitkan dengan rancangan atau struktural pemilihan
pelatih dan atlet serta perencanaan program latihan yang disusun oleh pelatih,
komponen “proses” yaitu menyangkut proses pelatihan yang dilakukan oleh pelatih
selama program latihan tersebut dilaksanakan.
Atas dasar permasalahan penelitian serta dukungan teoritis, maka diperoleh
kerangka acuan yang melibatkan disemua komponen evaluasi yang digunakan. Semua
komponen evaluasi tersebut masing-masing memuat gagasan-gagasan konseptual yang
merupakan sumber rujukan pengembangan indikator dan sekaligus berfungsi sebagai
acuan evaluasi.
Model CIPP, sesuai dengan namanya terdiri dari empat jenis kegiatan
evaluasiyaitu :
54
a)Evaluasi konteks (context), menilai kebutuhan, masalah, asset dan peluang
gunamembantu pembuat kebijakan menentapkan tujuan dan prioritas serta membantu
pengguna lain dalam mengetahui tujuan, peluang dan hasilnya;
b)Evaluasi masukan (input), dilaksanakan untuk menilai alternatif pendekatan, rencana
tindakan, rencana staf dan pembiayaan bagi kelangsungan program dalam memenuhi
kebutuhan kelompok sasaran serta mencapai tujuan yang ditetapkan. Evaluasi ini
berguna bagi pembuat kebijakan untuk memilih rancangan, bentuk pembiayaan, alokasi
sumberdaya, pelaksanaan dan jadwal kegiatan yang paling sesuai bagi kelangsungan
program;
c)Evaluasi proses (process), digunakan untuk menilai implementasi dari rencana yang
telah ditetapkan guna membantu para pelaksana dalam menjalankan kegiatan dan
kemudian akan dapat membantu kelompok pengguna lainnya untuk mengetahui kinerja
program dan memperkirakan hasilnya
d)Evaluasi hasil (product), dilakukan dengan tujuan mengindentifikasi dan menilai hasil
yang dicapai, diharapkan, dan tidak diharapkan dalam waktu jangka pendek dan jangka
panjang, baik bagi pelaksana kegiatan agar dapat memfokuskan diri dalam mencapai
sasaran program meupun bagi pengguna lain dalam menghimpun upaya untuk
memenuhi kebutuha kelompok sasaran (Sufflebeam, 2003). Sehingga dari keempat
evaluasi model CIPP dapat digambarkan dengan diagram berikut :
55
Gambar 5 : komponen evaluasi model CIPP
Sumber : Sufflebeam (2003)
Dengan penjelasan tentang komponen evaluasi CIPP, maka pada penelitian ini
peneliti mengambil 2 komponen pada evaluasi CIPP, yaitu: komponen masukan “input”
dan komponen proses “ Process”.
A. Komponen “masukan” (Karakteristik, Tahap Penseleksian, Motivasi, sarana
prasarana dan Program Latihan Atlet serta Pelatih)
Karakteristik atlet dan pelatih dalam komponen ini sangat perlu dicermati
sebagaimana halnya program latihan atlet dan pelatih juga punya peranan yang
penting dalam pembentukan dan peraihan prestasi yang diukur, bagaiamana cara
penseleksian untuk bisa masuk menjadi TIMNAS serta gambaran program latihan
yang seperti apa yang akan diberikan ketika sudah tahap seleksi sudah mendapatkan
hasil dan terbentuk sebuah TIM NASIONAL, apakah di tahap masukan ini atlet dan
pelatih ada tes tertentu atau hanya melihat dari kemampuan dan pemahaman mereka
terhadap olahraga bola tangan. Karena ketika sebuah seleksi dilakukan asal-asalan
atau tidak terkonsep dengan baik hasilnya pun akan tidak maksimal bahkan gagal.
56
B. Komponen “proses” (Tindakan pelatih dalam proses pelatihan yang
memungkinkan tercapainya peak performance dan pencapaian prestasi
tertinggi)
Proses pelatihan, pada dasarnya berkaitan dengan program latihan yang dapat
mencapai peak perfomance fisik pemain bola tangan melalui tahap-tahap periodisasi.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan bahwa untuk memungkinkan dapat
tercapainya peak performance yaitu, volume latihan, intensitas latihan, beban
overload, kondisi neuro muscular serta rekaveri, dan penyusunan program latihan
yang terstruktur serta berjalan atau tidaknya program-program yang telah disusun
oleh pelatih untuk mencapai prestasi yang diingin dicapai dengan maksimal.
57
SDM (Sumber Daya
Manusia)
KOMPONEN MASUKAN
BAGAN/KERANGKA KONSEP
Gambar 6 : Bagan Kerangka Konsep
KOMPONEN PROSES
ATLET PELATIH ORGANISASI
Sarana Dan
Prasarana
Motivasi
Tahap
Penseleksian
Karakteristik
Program
Latihan
Dana Dan
Dukungan Dari
Organisasi
Evaluasi
Program
Latihan
Sarana Dan
Prasarana
Penunjuang
Pelaksanaan
Jadwal &
Program
Latihan
Pengaplikasian
Yang Disusun
PRESTASI