bab ii landasan teori a. terhadap pendidikan inklusi...

21
13 BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi 1. Definisi persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu (Robbins 2003). Gibson (1998) dan Sarwono (2000) menambahkan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu. Definisi yang sama juga diungkapkan Solso, dkk (2008) bahwa persepsi melibatkan kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi. Kejadian- kejadian atau informasi tersebut diproses sesuai pengetahuan yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek persepsi yang di interpretasikannya. Menurut McDowwell & Newel (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu yaitu perasaan sehingga mampu mempengaruhi persepsi individu tersebut. Rahmat (2005) menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk yaitu positif dan negatif, apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan maka persepsinya negatif Universitas Sumatera Utara

Upload: dinhnhi

Post on 09-Jun-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi

1. Definisi persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola

dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna

kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga

akan mempengaruhi perilaku individu (Robbins 2003). Gibson (1998) dan

Sarwono (2000) menambahkan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses

kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan

stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.

Definisi yang sama juga diungkapkan Solso, dkk (2008) bahwa persepsi

melibatkan kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi. Kejadian-

kejadian atau informasi tersebut diproses sesuai pengetahuan yang dimiliki

individu sebelumnya mengenai objek persepsi yang di interpretasikannya.

Menurut McDowwell & Newel (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor dari

dalam diri individu yaitu perasaan sehingga mampu mempengaruhi persepsi

individu tersebut.

Rahmat (2005) menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk yaitu

positif dan negatif, apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan

dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan

positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang

dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan maka persepsinya negatif

Universitas Sumatera Utara

14

atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapinya secara berlawanan

terhadap objek persepsi tersebut.

Robbins (2002) menambahkan bahwa persepsi positif merupakan penilaian

individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan yang positif atau

sesuai dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan

yang ada. Sedangkan, persepsi negatif merupakan persepsi individu terhadap

objek atau informasi tertentu dengan pandangan yang negatif, berlawanan dengan

yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada.

Penyebab munculnya persepsi negatif seseorang dapat muncul karena adanya

ketidakpuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya

ketidaktahuan individu serta tidak adanya pengalaman inidvidu terhadap objek

yang dipersepsikan dan sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif

seseorang karena adanya kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber

persepsinya, adanya pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu

terhadap objek yang dipersepsikan.

Menurut Leavitt (1997) individu cenderung melihat kepada hal-hal yang

mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mengabaikan

hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu. Menurut Robbins (2002) keadaan

psikologis menjadi sangat berperan dalam proses intepretasi atau penafsiran

terhadap stimulus, sehingga sangat mungkin persepsi seorang individu akan

berbeda dengan individu lain, meskipun objek/stimulusnya sama. Davidoff

(1988) menambahkan bahwa penafsiran sangat dipengaruhi oleh karakteristik-

karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan,

Universitas Sumatera Utara

15

kepentingan/minat, pengalaman masa lalu dan harapan. Proses persepsi

melibatkan intepretasi mengakibatkan hasil persepsi antara satu orang dengan

orang lain sifatnya berbeda (individualistik).

Berdasarkan defenisi yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa

persepsi merupakan cara pandang individu terhadap stimulus yang ada di

lingkungan melalui proses kognisi dan proses afeksi yang dipengaruhi oleh

berbagai hal seperti pengetahuan sebelumnya, kebutuhan, suasana hati,

pendidikan dan faktor lainnya sehingga memberikan makna yang berbeda dan

akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.

2. Aspek persepsi

Aspek persepsi menurut McDowwell & Newel (1996) , yaitu:

a. Kognisi

Aspek kognisi merupakan aspek yang melibatkan cara berpikir, mengenali,

memaknai suatu stimulus yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau

yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hurlock (1999)

menambahkan bahwa aspek kognitif didasarkan atas konsep suatu informasi,

aspek kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang

dipelajari.

b. Afeksi

Aspek afeksi merupakan aspek yang membangun aspek kognitif. Aspek afektif

ini mencakup cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi

terhadap stimulus berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian

mempengaruhi persepsinya.

Universitas Sumatera Utara

16

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi.

Robbin (2003) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pembentukan persepsi. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi

Merupakan faktor yang terdapat dalam individu yang mempersepsikan.

Misalnya kebutuhan, suasana hati, pendidikan, pengalaman masa lalu, sosial

ekonomi dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu.

b. Karakteristik target yang dipersepsi

Target tidak dilihat sebagai suatu yang terpisah, maka hubungan antar target

dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat

mempengaruhi persepsi seseorang.

c. Konteks situasi terjadinya persepsi

Waktu dipersepsinya suatu kejadian dapat mempengaruhi persepsi, demikian

pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.

Berbeda dengan Robbins, menurut Thoha (2007) persepsi dipengaruhi oleh,

yaitu:

a. Psikologis

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat

dipengaruhi oleh keadaan psikologis.

b. Keluarga

Pengaruh yang paling besar terhadap anak adalah keluarga. Orang tua yang

telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat

Universitas Sumatera Utara

17

kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang

diturunkan pada anak mereka.

c. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu

faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang

memandang dan memahami keadaan dunia ini.

David Krech dan Ricard Crutcfield (dalam Rahmat, 2005) menambahkan

faktor-faktor yang menentukan persepsi menjadi dua yaitu : faktor fungsional dan

faktor struktural

a. Faktor Fungsional

Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa

lalu, jenis kelamin dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal.

Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang

memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.

b. Faktor Struktural

Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat

stimulus fisik terhadap efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf

individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori

Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti

faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan

keseluruhan.

Rahmat (2005) menambahkan tiga faktor personal yang mempengaruhi

persepsi adalah:

Universitas Sumatera Utara

18

a. Pengalaman, seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak

tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki

persepsi. Semakin seseorang berpengalaman dalam suatu hal semakin baik

persepsinya.

b. Motivasi, motivasi individu terhadap suatu informasi akan mempengeruhi

persepsinya. Seseorang yang memiliki motivasi dan harapan yang tinggi

terhadap sesuatu, cenderung akan memiliki persepsi yang positif terhadap

objek tersebut.

c. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk

mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar.kepribadian

seseorang yang extrovert dan berhati halus cenderung akan memiliki persepsi

yang lebih baik terhadap sesuatu.

4. Proses terbentuknya persepsi

Proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari pengalaman

penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Robbins (2003)

bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pemikiran, pemahaman,

pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya

(Robbins, 2003). Myers (1992) mengemukakan bahwa persepsi terjadi dalam tiga

tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan lainnya, yaitu :

a. Pemilihan

Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan yang

lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari enam prinsip :

Universitas Sumatera Utara

19

1) Intensitas, intensitas atau kuatnya suatu stimulus, suara keras di dalam

ruangan yang sepi atau cahaya yang sangat tajam biasanya mengarahkan

perhatian.

2) Ukuran, sesuatu yang besar akan lebih menarik perhatian.

3) Kontras, sesuatu yang berlatar belakang kontras biasanya sangat

menonjol.

4) Pengulangan, stimulus yang diulang lebih menarik perhatian daripada

yang sesekali saja.

5) Gerakan. Perhatian individu akan lebih tertarik kepadda objek yang

bergerak untuk dilihat daripada objek yang sama tapi diam.

6) Dikenal dan sesuatu yang baru. Objek baru yang berada di lingkungan

yang lebih dikenal akan lebih menarik perhatian.

Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi :

1) Faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di luar

dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung,

tetapi tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama,

maka tidak setiap individu mampu mempersepsikan dengan baik.

2) Faktor psikologis, meliputi motivasi dan pengalaman belajar masa lalu.

Motivasi dan pengalaman belajar masa lalu setiap individu berbeda.

Sehingga individu cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan

kebutuhan, motivasi dan minatnya.

Universitas Sumatera Utara

20

b. Pengorganisasian

Pengelolaan stimulus atau informasi melibatkan proses kognisi, dimana

individu memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu yang memiliki

tingkat kognisi yang baik cenderung akan memiliki persepsi yang baik

terhadap objek yang dipersepsikan.

c. Interpretasi

Dalam interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek atau stimulus.

Selain itu, interpretasi juga terjadi apa yang disebut dengan proses mengalami

lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat sama

seperti yang dilihat individu melalui konsensus validitas dan perbandingan.

B. Pendidikan Inklusi

1. Definisi pendidikan inklusi

Istilah terbaru dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-

anak berkelainan ke dalam program-program sekolah adalah inklusi, bagi

sebagian pendidik hal ini dilihat sebagai deskripsi yang positif dalam usaha-usaha

menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realitas

dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh (Smith, 2006).

Ainscow & Booth (2002) menambahkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai

anak berkebutuhan sebaiknya ditempatkan di sekolah umum yang sama dengan

anak normal umumnya yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial

bagi anak berkebutuhan khusus maupun anak normal.

Universitas Sumatera Utara

21

Menurut Banks (2010) penekanan pada pendidikan inklusi terketak pada

perubahan pendekatan belajar mengajar agar murid dengan perbedaan gender,

kultur, sosial, etnis dan bahasa bisa mendapatkan kesetaraan pendidikan dalam

institusi yang ada. Banks (2010) dan Bennett (2003) menambahkan bahwa

sekolah inklusi dirancang untuk menjadi sekolah yang heterogen, dan harapannya

bisa menjawab semua kebutuhan individu dalam hal pendidikan dalam konteks

sosial yang sama, tidak ada persyaratan khusus untuk bisa menjadi siswanya,

dimana sekolah inklusi memang ditujukan agar anak berkebutuhan khusus bisa

masuk sekolah biasa.

Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan

sekolah yang mendasarkan pada asas pendidikan multikultural. Definisi tersebut

dilengkapi oleh Choate (2000) bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang

mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di

kelas pendidikan umum. Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004)

menambahkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang

mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah

terdekat di kelas regular bersama-sama teman seusianya.

Sementara itu Staub dan Peck (dalam Direktori PLB, 2004) mengemukakan

bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan,

sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa

sekolah regular dapat menerima semua anak tanpa membedakan latar belakang

kondisi. Freiberg (Direktori PLB, 2004) menambahkan bahwa melalui pendidikan

inklusi, anak berkelainan atau yang disebut sebagai anak berkebutuhan khusus dan

Universitas Sumatera Utara

22

yang sering dikenal anak cacat dididik bersama-sama anak lainnya (non ABK)

untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Selain itu Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan mengenai tujuan dari

pendidikan inklusi adalah untuk mengajarkan pada siswa agar bisa

mengapresiasikan dan menghargai orang lain, bisa menyadari bahwa mereka

merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang,

dan bisa menerima tugas perutusan dalam masyarakat dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa

pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang mengizinkan siswa berkebutuhan

khusus untuk dapat bersekolah di sekolah regular bersama dengan anak normal

lainnya agar siswa berkebutuhan mendapatkan pendidikan yang sama dengan

anak lainya.

2. Konsep dalam pendidikan inklusi

Stubbs (2000) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa konsep-konsep

utama yang terkait dengan pendidikan inklusi, yaitu:

a. Konsep-konsep tentang anak

Semua anak berhak memperoleh pendidikan di dalam komunitasnya sendiri,

dapat belajar, dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh

karena itu semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar dan pengajaran

yang berfokus pada anak bermanfaat bagi semua anak.

b. Konsep-konsep tentang pendidikan dan sekolah

Konsep pendidikan lebih luas dari pada sekolah formal dengan memiliki sistem

pendidikan yang fleksibel dan responsif. Inklusi menjamin lingkungan yang

Universitas Sumatera Utara

23

ramah, melibatkan partisipasi masyarakat dan berkolaborasi untuk

meningkatkan mutu sekolah dengan menggunakan pendekatan yang

menyeluruh.

c. Konsep-konsep tentang keberagaman dan diskriminasi

Pendidikan inklusi memandang keberagaman sebagai sumber kekuatan dengan

cara berusaha memberantas diskrimiansi. Pendidikan inklusi juga

mempersiapkan siswa untuk menghargai dan menghormati perbedaan.

d. Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi

Untuk mengembangkan pendidikan inklusi, sekolah harus mampu

mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi serta meningkatkan

partisipasi bagi semua orang dan menjalin kolaborasi serta kemitraan.

e. Penelitian kolaboratif

Inklusi dapat berjalan optimal dengan cara melibatkan sumber daya yang ada

di lingkungan yaitu anak, orangtua, guru, kelompok termarjinalisasi untuk

berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan inklusi.

3. Lima elemen pendidikan inklusi

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu

komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual

siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Direktorat PLB, 2007) mengemukakan

lima elemen yang wajib ada di sekolah inklusi, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

24

a. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima

keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Sekolah mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang

menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan

perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan,

kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi

berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.

b. Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif.

Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari pendekatan pembelajaran

kompetitif yang kaku dan mengacu materi tertentu, ke pendekatan

pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa dan materi

belajar yang bersifat tematik.

c. Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif.

Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode

pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian

berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser

dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar,

secara aktif saling berpartisipasi serta bertanggungjawab terhadap

pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di

satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar mengajar

dengan yang lain.

Universitas Sumatera Utara

25

d. Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan

hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengajaran dengan tim,

kolaborasi dan konsultasi. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam

suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina bicara,

petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu,

untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan

dan dorongan secara terus-menerus.

e. Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan dan

pembelajaran.

Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari

orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam

penyusunan program pengajaran individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di

rumah.

4. Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Inklusi

Stubbs (2002) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi yang sukses

ditentukan oleh 3 faktor penentu utama, yaitu:

a. Adanya kerangka yang kuat

Pengembangan kerangka yang kuat merupakan komponen utama pendidikan

inklusi, yang akan berfungsi sebagai program. Kerangka ini harus terdiri dari:

1) Nilai-nilai dan keyakinan yang kuat

Universitas Sumatera Utara

26

Nilai-nilai dan keyakinan orang sangatlah mendalam dan tidak mudah

untuk diubah. Salah satu hambatan utama implementasi inklusi sering kali

adalah sikap negatif.

2) Prinsip-prinsip dasar

Pendidikan inklusi memiliki prinsip-prinsip yang berakar pada nilai dan

keyakinan dan semuanya memunculkan tindakan yang harus dilakukan agar

inklusi terlaksana. Berikut ini adalah beberapa contoh topik diskusi, tetapi

dalam konteksnya masing-masing, topik diskusi tersebut perlu

dikembangkan secara kolaboratif.

a) Semua anak berhak untuk bersekolah di lingkungan masyarakatnya

tanpa tergantung pada karakteristik anak ataupun kesukaan guru.

b) Mengubah sistem agar sesuai dengan anak, bukan sebaliknya.

c) Dukungan yang tepat harus diberikan agar anak mendapat akses

untuk belajar (misalnya Braile, rekaman audio, bahasa isyarat).

d) Lingkungan pendidikan harus fleksibel dan ramah kepada kelompok

yang berbeda-beda.

e) Mengganggu, menghina dan mendiskriminasi anak penyandang

cacat tidak akan ditoleransi, artinya anak penyandang cacat tidak

seharusnya disalahkan bila tidak dapat menyesuaikan diri.

f) Sekolah menggunakan seluruh aspek pendekatan pendidikan untuk

menangani semua hambatan inklusi.

Universitas Sumatera Utara

27

g) Pemecahan masalah harus dilihat sebagai tanggung jawab bersama

antara sekolah, keluarga, anak dan masyarakat, dan harus

mencerminkan suatu model sosial.

3) Indikator keberhasilan

Indikator atau ukuran keberhasilan perlu dikembangkan secara partisipatif

di dalam budaya dan konteks lokal. Pendekatan untuk mengembangkan

indikator tersebut adalah:

a) Membentuk tim koordinasi partisipatori.

b) Menyiapkan materi untuk menstimulasi diskusi yang didasarkan

pada pernyataan-pernyataan tentang inklusi dari berbagai dokumen

internasional, studi kasus, dan definisi pendidikan inklusi.

c) Menggunakan pendekatan partisipatori untuk membuat daftar nilai-

nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip inti yang berkaitan dengan

pendidikan inklusi.

d) Mendapatkan opini dari kelompok-kelompok yang tersisihkan,

seperti perempuan, anak-anak, penyandang cacat, orang lanjut usia.

e) Menggunakan penerapan isu kebijakan, kurikulum, pelatihan,

bangunan sekolah dengan menyesuaikan pada kondisi dan situasi

yang ada.

f) Mendeskripsikan perilaku, keterampilan, pengetahuan dan

perubahan konkret yang akan menunjukkan bahwa nilai-nilai,

keyakinan atau prinsip-prinsip itu benar-benar dipraktikkan.

Universitas Sumatera Utara

28

b. Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal.

Masalah yang muncul dalam pendidikan inklusi dapat diatasi dengan cara

menyesuaikan permasalahan yang muncul dalam budaya/konteks tertentu.

Sehingga, solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks tidak dapat

mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda.

Maka, pendidikan inklusi mempertimbangkan hal-hal berikut:

1) Situasi praktis, jelaslah isu-isu setiap budaya akan berbeda menurut

tiap budaya dan konteks.

Pendidikan inklusi akan berjalan optimal jika disesuaikan dengan

budaya dan konteks lokal yang ada.

2) Sumber-sumber daya yang tersedia (orang, keuangan, materi).

Banyak orang beragumen bahwa mereka tidak dapat melaksanakan

pendidikan inklusi karena kita tidak memiliki sumber daya yang

cukup. Padahal, pendidikan inklusi dapat berkembang optimal

dengan memaksimalkan sumber daya yang ada.

3) Faktor-faktor budaya.

Sangatlah penting untuk secara sadar mempertimbangkan faktor-

faktor budaya dalam merencanakan pendidikan inklusi. Dimana,

budaya yang berbeda memiliki kebutuhan, pengetahuan, kondisi dan

masalah yang berbeda. Setiap budaya juga memiliki faktor-faktor

utama yang terkait dengan budaya lokal, baik faktor pendukung

maupun faktor penghambat. Pendidikan inklusi dapat berjalan

optimal jika mampu memahami dan mengidentifikasi hal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

29

c. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis

Pendidikan inklusi tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang

mati. Pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis dan agar pendidikan

inklusi terus hidup, diperlukan adanya monitoring yang melibatkan semua

stakeholder. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusi adalah harus tanggap

terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak

dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusi harus tetap hidup dan mengalir.

Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut membentuk

organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya

dan konteks lokal.

C. Masyarakat Kota Medan

1. Definisi masyarakat

Menurut Koentjaraningrat (1990) istilah masyarakat berasal dari bahasa

Arab yaitu syaraka yag berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Sedangkan dalam

bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang

berarti “kawan”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau

dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Pola tersebut harus bersifat menetap dan

kontinyu, dengan kata lain pola tersebut harus sudah menjadi adat istiadat yang

khas. Menurut Soekanto (2006) masyarakat merupakan kumpulan individu yang

memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi semua perbedaan yang ada menyatu

dan menciptakan kebersamaan yang berjalan harmonis dan membuat kebudayaan

tersendiri.

Universitas Sumatera Utara

30

Paul B. Horton & C. Hunt (dalam Soekanto, 2006) menambahkan bahwa

masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-

sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,

mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam

kelompok/kumpulan manusia tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah

kumpulan manusia yang saling berinteraksi, tinggal dalam suatu wilayah dalam

waktu yang lama serta melakukan kegiatan secara bersama.

2. Masyarakat kota Medan

Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan

kota terbesar ke tiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Di samping itu,

Kota Medan juga sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka. Kota

Medan memiliki posisi strategi sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan

perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri

(ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan telah mendorong perkembangan

kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat

Kota Medan (Wikipedia, 2010).

Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota yang memiliki beragam

budaya, etnis, agama yang berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan

munculnya Kota Medan sebagai kota metropolitan dan kota pluralistk yang

berjalan dengan damai (Pemko Medan, 2007).

Keanekaragaman suku bangsa di Kota Medan terlihat dari jumlah masjid,

gereja, kuil dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh daerah.

Universitas Sumatera Utara

31

Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu suku bangsa Jawa,

suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo), Melayu dan banyak pula

suku bangsa keturunan India dan Tionghoa (Cipta Karya 2007).

Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan

dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis

(Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007 periode 2007-2012.

Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 1:

Tabel 1

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000

Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun

2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03%

Batak 10,7% 14,11% --

Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%

Mandailing 6,43% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,12% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% --

Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Adapun jumlah penduduk Kota Medan menurut BPS tahun 2009 mencapai

2.121.05 jiwa, dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan, dapat

dilihat pada Tabel 2:

Universitas Sumatera Utara

32

Tabel 2. Jumlah penduduk dilihat dari Kecamatan

Sumber: BPS Medan, 2009

Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada

Tabel 3 :

Tabel 3.

Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009

No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase

1 Pegawai Negeri 18.670 4,88

2 Pegawai Swasta 14.570 3,81

3 TNI/ POLRI 3.562 0,93

4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38

5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63

6 Lain-lain 300.000 78,37

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Medan Tuntungan 34 153 35 919 70 073

2. Medan Johor 57 495 58 725 116 220

3. Medan Amplas 57 127 58 029 115 156

4. Medan Denai 69 746 70 194 139 939

5. Medan Area 53 866 55 386 109 253

6. Medan Kota 41 298 42 994 84 292

7. Medan Maimun 28 212 29 646 57 859

8. Medan Polonia 26 389 27 038 53 427

9. Medan Baru 20 822 23 394 44 216

10. Medan Selayang 42 434 43 244 85 678

11. Medan Sunggal 54 452 56 216 110 667

12. Medan Helvetia 71 713 73 662 145 376

13. Medan Petisah 32 795 35 325 68 120

14. Medan Barat 38 513 40 585 79 098

15. Medan Timur 56 201 57 673 113 874

16. Medan Perjuangan 51 752 53 950 105 702

17. Medan Tembung 70 628 71 158 141 786

18. Medan Deli 75 246 74 830 150 076

19. Medan Labuhan 53 522 53 399 106 922

20. Medan Marelan 64 183 62 436 126 619

21. Medan Belawan 48 908 47 791 96 700 Kota Medan 1 049 457 1 071 596 2 121 05

Universitas Sumatera Utara

33

Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat

SD,SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.

Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 SD 412.893 21,51

2 SLTP 626.617 32,65

3 SLTA 670.597 34,94

4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan

paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan

Tingkat Atas (SLTA) sebesar 670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang (32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah

412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT) 209.246 orang (10,90%).

Universitas Sumatera Utara