bab ii landasan teori a. penelitian yang relevanrepository.ump.ac.id/1074/3/bab ii.pdf · merupakan...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai interferensi morfologik bahasa Jawa dalam bahasa
Indonesia pada rubrik “SMS 24 Jam” Radar Banyumas edisi Januari - Mei 2016.
Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian yang sudah ada
sebelumnya. Untuk membuktikannya, peneliti meninjau dua penelitian di Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Relevan mengenai interferensi morfologik bahasa Jawa
dalam bahasa Indonesia pada rubrik “SMS 24 Jam” Radar Banyumas edisi Januari -
Mei 2016. Penelitian tersebut dapat dilihat diantaranya sebagai berikut:
1. Penelitian dengan judul “Interferensi Bahasa Jawa Dialek Tegal dalam
Pemakaian Bahasa Indonesia di Kalangan para Guru Bahasa Indonesia di
MTs Asy-Syafi’iyah Karangasem Margasari Tegal”.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Umi Fuadah dari Universitas
Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Umi Fuadah meliputi interferensi fonologi dialek tegal, interferensi morfologi dialek
tegal, dan interferensi sintaksis dialek tegal di kalangan guru Bahasa Indonesia.
Kemudian, menganalisis interferensi partikel bahasa Jawa. Persamaan penelitian Umi
Fuadah dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah terletak pada teori yang
akan dibahas. Dalam penelitian relevan, dan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti menggunakan teori tentang interferensi. Penelitian relevan dan penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti, sama-sama menganalisis interferensi bahasa Jawa.
8
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
9
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
adalah pada teori. Teori yang digunakan oleh Umi Fuadah meliputi interferensi
fonologi, interferensi morfologik dan interferensi sintaksis. Pada penelitian yang
peneliti lakukan, teorinya dibatasi yaitu hanya menggunakan teori interferensi
morfologik saja. Pada penelitian terdahulu data interferensi yang menjadi bahan
penelitian berasal dari sebuah tuturan atau dialek tegal sedangkan sumber datanya
adalah tuturan seorang guru bahasa Indonesia di MTs. Sedangkan pada penelitian
yang peneliti lakukan data interferensinya berasal dari kata dan sumber datanya dari
wacana rubrik “SMS 24 Jam” di Radar Banyumas.
2. Penelitian dengan judul “Interferensi Bahasa Pertama terhadap Penggunaan
Bahasa Kedua Siswa Kelas V dan VI SD Negeri Tambaksari 03 Kedungreja
Cilacap.”
Penelitian tersebut dilakukan oleh Marfungah dari Universitas Muhammadiyah
Purwokerto pada tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marfungahadalah
tentang aspek fonologi yang mencakup penggantian fonem (adaptasi). Aspek
morfologi yang mencakup pengimbuhan di depan (ater-ater), konfiks atau simulfiks
bahasa Jawa, pengulangan bahasa Jawa. Aspek sintaksis yang mencakup pemakaian
bahasa Jawa, pemilihan kata yang tidak tepat dalam bahasa Indonesia, pemakaian
partikel bahasa Jawa, dan aspek semantik yang mencakup makna kata dan hiponimi.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan dan sama-
sama menganalisis interferensi bahasa Jawa. Dalam penelitian terdahulu dan
penelitian yang peneliti lakukan sama-sama menganalisis interferensi morfologik.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
10
Perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Marfungah mengkaji interferensi yang terjadi pada sebuah
tuturan atau percakapan pada siswa kelas V dan VI SD Negeri Tambaksari 03
Kedungreja Cilacap. Teori interferensi dalam penelitian Marfungah meliputi
interferensi fonologi, interferensi morfologik, interferensi sintaksis, interferensi
partikel dan interferensi unsuriah. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan hanya
membatasi pada teori interferensi morfologik yang digunakan sebagai acauan. Pada
penelitian terdahulu mengkaji interferensi morfologik bahasa Jawa yangdatanya
berasal dari tuturan atau dialek sedangkan peneliti datanya berpa kata yang
terinterferensi morfologik bahasa Jawa. Sumber datapenelitian terdahulu berupa
tuturan siswa sedangkan sumber data peneleiti berasal dari wacana rubrik “SMS 24
Jam” pada surat kabar Radar Banyumas. Berdasarkan kedua penelitian di atas
membuktikan bahwa penelitian yang peneliti lakukan benar-benar berbeda dengan
penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
B. Pengertian Bahasa
Menurut Chaer (2007: 30) bahasa adalah satu sistem, sama dengan sistem –
sistem lain, yang sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Ciri-ciri bahasa, antara lain
adalah bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Chaer,2004: 11). Bahasa sebagai suatu
sistem komunikasi merupakan suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan.
Bahasa sebagai salah satu kegiatan sosial merupakan bagian dari kebudayaan (Aslinda
danLeni Syafyahya 2010: 96). Kridalaksana (2008: 24) menyebutkan bahwa bahasa
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
11
merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem
lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi sebagai kegiatan sosial bagiandari
kebudayaan. Bahasa digunakan oleh para anggota kelompok suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Secara tradisional bahasa
adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan. Jadi, fungsi bahasa yang
paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan
antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran.
C. Kedwibahasaan (Bilingualisme)
Chaer dan Leonie Agustina (2004: 85) menjelaskan bahwa kedwibahasaan
(bilingualisme) adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian dan menimbulkan sejumlah
masalah. Menurut (Suwandi, 2008: 1) kedwibahasaan (bilingualisme) merupakan cara
hidup alamiah ratusan juta manusia di bumi ini. Bilingualisme diartikan kebiasaan
memakai dua bahasa dalam pergaulan hidup. Menurut Depdiknas, (2008: 349)
kedwibahasaan adalah perihal memakai dua bahasa, seperti bahasa daerah di samping
bahasa nasional. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 8) menjelaskan kedwibahasaan
sebagai kemampuan atau kebiasaan yang telah dimiliki oleh penutur dalam
menggunakan bahasa.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
12
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan
merupakan pemakaian dua buah bahasa oleh penutur secara bergantian sehingga akan
menimbulkan masalah. Kedwibahasaan juga disebut dengan bilingualisme yaitu
kebiasaan memakai dua bahasa dalam pergaulan hidup misalnya, menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa daerah di samping bahasa nasional. Kedwibahasaan dapat
mengandung arti yaitu kemampuan menggunakan dua bahasa (bilingualitas) dan
kebiasaan memakai dua bahasa (bilingualism). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan,
seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah
apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan
pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa
diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.
D. Interferensi
1. Pengertian Interferensi
Menurut Weinreich (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120),
interferensi yaitu adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Interferensi timbul karena adanya kontak bahasa, sehingga
terjadi tutup menutup bagian-bagian bahasa karena seorang dwibahasawan
menerapkan dua buah sistem secara serempak pada suatu unsur bahasa. Suwito (dalam
Aslinda dan Leni Syafyahya 2010: 67) menyebutkan bahwa interferensi dapat terjadi
dalam semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata,
dan tata makna.Alwasilah (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2010: 66) mengatakan
interferensi berarti adanya saling pengaruh antarbahasa. Pengaruh itu dalam bentuk
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
13
yang paling sederhana berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan
dalam hubungannya dengan bahasa lain.
Hartman dan Stork (dalam Chaer dan Leonie Agustina 2010: 121) mengatakan
bahwa interferensi tidak disebut dengan “pengacauan” atau “kekacauan”, melainkan
“kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran
bahasa ibu atau dialek kedalam bahasa atau dialek bahasa.Interferensi menimbulkan
kontak bahasa yang terjadi pada diri dwibahasawan yang menimbulkan saling
pengaruh antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Saling pengaruh atau pengaruh
timbal balik tersebut akan menjadi semakin intensif apabila jumlah dwibahasawan
yang menggunakan kedua bahasa tersebut semakin besar. Artinya, intensitas saling
pengaruh antara bahasa pertama dan bahasa kedua berbanding lurus dengan jumlah
dwibahasawan yang menggunakan kedua bahasa itu. Sepanjang sistem bahasa yang
digunakan itu mempunyai kesamaaan dalam kedua bahasa tersebut maka belum
terjadi kekacauan. Akan tetapi, apabila sistem bahasa yang digunakan berbeda pada
kedua bahasa itu maka mulailah timbul kekacauan.Kridalaksana (2008: 95)
mengartikan:
(1) interferensi merupakan penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan
yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa, ciri-ciri bahasa lain itu
masih kentara (berlainan dari integrasi). Interferensi berbeda-beda sesuai
dengan medium, gaya, ragam, dan konteks yang dipergunakan oleh orang yang
bilingual itu. (2) interferensi merupakan kesalahan bahasa berupa unsur bahasa
sendiri yang dibawa ke dalam bahasa atau dialek lain yang dipelajari.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa interferensi yaitu adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa
tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual.
Interferensi timbul karena adanya kontak bahasa yang terjadi pada semua komponen
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
14
bahasa yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Interferensi
menyebabkan saling pengaruh, dan menyebabkan kekeliruan. Interferensi
menimbulkan kontak bahasa pada dwibahasawan. Interferensi digunakan oleh orang
yang bilingual sesuai dengan gaya, ragam dan konteksnya, sehingga dianggap sebagai
suatu kesalahan bahasa.
E. Interferensi Morfologik
1. Pengertian Interferensi Morfologik
Menurut Ramlan (2012:21) morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang
membicarakan atau mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-
perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Pembentukan morfem dengan
afiks harus disesuaikan dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia. Ramlan
(2001:63) menyatakan bahwa afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata
dalam bahasa lain. Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan,
akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Afiks bisa memempati posisi depan, belakang,
tengah bahkan di antara morfem dasar.
Pembentukan kata bahasa kedua tidak selamanya sesuai dengan kaidah
pembentukannya, terkadang pembentukannya terinterferensi afiks bahasa Ibu. Jadi,
interferensi morfologik merupakan kekeliruan yang dianggap sebagai suatu kesalahan
bahasa pada unsur pembentukan kata. Interferensi morfologik dapat terjadi apabila
dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu
bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Sedangkan afiks adalah
morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
15
Bentukan kata interferensi morfologik berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia +
afiks bahasa daerah.
Ada beberapa jenis interferensi. Chaer (2003: 121) membagi interferensi
menjadi tiga bagian, yaitu (1) interferensi fonologi, (2) interferensi morfologik, dan
(3) interferensi sintaksis. Dari ketiga jenis interferensi tersebut peneliti hanya
menggunakan teori interferensi morfologik yang dikhususkan sebagai acuan sesuai
dengan data sebagai fenomena yang ditemukan sebelum penelitian. Menurut Chaer
dan Leonie Agustina (2004: 123) interferensi dalam bidang morfologik antara lain
terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan
untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Dalam bahasa Belanda dan Inggris ada
sufiks –isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia menggunakannya dalam
pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi, aktualisasi, dan globalisasi.
Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi,
dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi, bentuk tersebut seharusnya adalah
peneonan, pengaktualan, dan pengglobalan. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti
ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga
termasuk interferensi, sebab imbuhan yang digunakan disitu berasal dari bahasa Jawa
dan dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil, dan
terlalu mahal. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 75) membagi bentuk interferensi
morfologik menjadi tiga: (a) afiksasi, (b) pengulangan, dan (c) pemajemukan.
2. Bentuk Interferensi Morfologik
Interferensi morfologik terjadi penyerapan unusur bahasa Jawa ke dalam
pembentukan kata bahasa Indonesia. Misalnya kata yang berafiks bahasa daerah dan
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
16
bentuk dasar bahasa indonesia atau sebaliknya. Bentuk- bentuk Interferensi
morfologik meliputi afiksasi, pengulangan dan pemajemukan. Afiksasi dalam bahasa
jawa disebut afiksasi. Pengulangan dalam bahasa Jawa disebut tembung rangkep.
Pemajemukan dalam bahasa Jawa disebut tembung camboran.
a. Afiksasi
1) Pengertian Afiksasi
Kridalaksana (2007: 28) menjelaskan afiksasi adalah proses yang mengubah
leksem menjadi kata yang kompleks. Dalam hal ini bahwa afiks-afiks itu membentuk
satu sistem sehingga kata dalam bahasa Indonesia menjadi rangkaian proses yang
berkaitan. Afiksasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan
membubuhkan afiks pada bentuk dasar (Muslich, 2009: 38). Menurut Ramlan (2012:
56) afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada sesuatu satuan yang berupa
bentuk tunggal maupun bentuk kompleks untuk membentuk kata. Kata yang dibentuk
dengan membubuhkan afiks dalam bahasa Jawa disebut tembung andhahan. Tembung
andhahan yaitu tembung sing wus owah saka linggane amarga kawuwuhi imbuhan
(kata jadian yaitu kata yang sudah berubah dari bentuk dasarnya karena mendapat
imbuhan).
2) Jenis Afiks
Jenis afiks atau imbuhan bahasa Jawa wujudnya ada empat. Afiks bahasa Jawa
meliputi ater-ater. Dalam bahasa Jawa ater-ater disebut dengan awalan atau prefiks.
Dalam bahasa Indonesia seselan disebut dengan sisipan atau infiks. Dalam bahasa
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
17
Indonesia panambang disebut dengan akhiran atau sufiks. imbuhan bebarengan atau
konfiks.
a) Ater-Ater (Awalan/ Prefiks)
Menurut Ramlan (2012: 60)afiks-afiks yang terletak di lajur paling depan
disebut prefiks, karena selalu melekat di depan bentuk dasar. Prefiks dalam bahasa
Jawa disebut ater-ateryaitu sistem pengimbuhan afiks atau imbuhan yang diletakkan
di awal morfem. Menurut Sasangka (2008: 41) ater-ateriku imbuhan kang dununge
ing kiwaning tembung utawa ing ngarep tembung (awalan yaitu yang terletak di
sebelah kiri kata atau di depan kata). Ater-ater dapat ditulis dengan tanda {A-} yang
meliputi ater-ater hanuswara {m-, n-, ng-, ny-}. Setiyanto (2007: 54) menjelaskan
selain ater-ater hanuswara terdapat juga ater-ater swara irung (suara sengau) yang
meliputidak-, ko-, di-, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kapi-, a-, ma, pan-,
pam-, pang-, dan sebagainya.
Contoh ater-ater hanuswara: m- + waca → maca „membaca‟ n- + jaluk → njaluk „meminta‟ ng- + ombe → ngombe „meminum‟ ny- + cekel → nyekel „memegang‟ Contoh ater-ater swara irung: dak- + pangan → dakpangan „saya makan‟ ko- + jupuk → kojupuk „kamu ambil di- + balang → dibalang „mereka lempar‟ ka- + utus → kautus „diutus‟ ke- + siram → kesiram „tidak sengaja menyiram‟ sa- + iji → saiji „satu‟ pa- + warta → pawarta „berita‟ pi- + wulang → piwusang „yang diajarkan‟ pra- + lambang → pralambang „merupakan‟ tar- + tamtu → tartamtu „tetentu‟ kuma- + ayu → kumayu „genit‟ kapi- + lare → kapilare „bocah banget‟ a- + wujud → awujud „punya wujud
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
18
ma- + wetan → mangetan „pergi menyembah‟ pam- + priksa → pamriksa „pemeriksa‟ pang- + ayom → pangayom „pelindung‟
b) Seselan (Sisipan/Infiks)
Menurut Ramlan (2012: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur tengah disebut
infiks. Infiks selalu melekat di tengah bentuk dasar atau afiks yang dibubuhkan di
dalam bentuk dasar. Infiks dalam bahasa Jawa disebut seselan. Seselan yaitu sistem
pengimbuhan afiks atau imbuhan yang disisipkan di tengah morfem. Infiks disebut
juga sisipan. Menurut Sasangka (2008: 58) seselan atau sisipan (infiks) yaitu imbuhan
kang kadunungake ing tengah tembung (imbuhan yang terletak di tengah kata),
macam-macam seselan bahasa Jawa terdiri dari -um-, -in-, -er-,dan -el-.
Contoh: ili + (-um-) → umili → mili „mengalir‟ utus + (-in-) → ingutus → „diutus‟ gandhul + (-er-) → gerandhul →„grandhul‟ titi + (-el-) → teliti →„teliti‟
c) Panambang (Akhiran/Sufiks)
Menurut Ramlan (2012: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur paling belakang
disebut sufiks, karena selalu melekat di belakang bentuk dasar. Sufiks dalam bahaa
Jawa disebut panambang. Panambang yaitu sistem pengimbuhan afiks atau imbuhan
yang ditambahkan di akhir morfem. Sufiks disebut juga dengan akhiran. Beberapa
macam panambang dalam bahasa Jawa -i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane, -ake, -ne, -
ku, dan –mu (Setiyanto 2007: 54). Menurut Sasangka (2008: 64) panambang atau
akhiran (sufiks) yaitu imbuhan sing dumunung ing buri tembung (imbuhan yang
terletak di belakang kata), macam-macam panambang bahasa Jawa meliputi: -i, -a, -e,
-en, -an, -na, -ana, -ane,dan -ake.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
19
Contoh: antem + (-i) → antemi „pukuli‟
tukua + (-a) → tukua „supaya beli‟
kembang + (-e) → kembange „bunganya‟
sapu + (-en) → sapunen „supaya menyapu‟
tandur + (-an) → tanduran „tanaman‟
jupuk + (-na) → jupukna „ambilkan‟
gebug + (-ana) → gebugana „supaya memukul‟
silih + (-ake) → silihake „dipinjamkan‟
lirik + (-ne) → lirikane „lirikannya‟
umah + (-ku) → umahku „rumah saya‟
klambi + (-mu) → klambimu „baju kamu‟
d) Imbuhan Bebarengan/Konfiks
Sasangka (2008: 86) menyebutkan bahwa imbuhan bebarengan yaitu imbuhan
yang berwujud ater-ater (prefiks) dan panambang (sufiks). Imbuhan bebarengan bisa
disebut juga dengan konfiks. Imbuhan bebarengan meliputi {ka-/-an}, {ke-/-en},{pa-
/-an}, {paA-/-an}, dan {pra-/-an} , kemudian {A-/-i}, {A- -a}, {A-/-ake}, {A-/ -ana},
{di-/-i}, {di-/-a}, {di-/-ana}, {di-/-ake}, {-in-/-ana}, dan {sa/ -e}. Dalam bahasa
Indonesia konfiks disebut dengan imbuhan bebarengan yaitu afiks yang terdiri dari
prefiks dan sufiks yang ditempatkan di antara kata dasar. Konfiks merupakan imbuhan
tunggal yang terjadi dari perpaduan awalan dan akhiran yang membentuk satu
kesatuan.
Contoh:
ka- + pinter + (-an) →kapinteran „kecerdikan‟ ke- + cilik + (-en) → keciliken „terlalu kecil‟
pa- + pring + (-an) →papringan „tempat yang ada bambu‟
paA- + giling + (-an) →panggilingan „tempat untuk menggiling‟
pra- + tapa + (-an) →pratapaan „tempat untuk tapa‟
m- + lumpat + (-i) → mlumpati „melompati‟
ng- + lamar + (-a) →nglamara „memerintah supaya melamar‟
ny- + silih + (-ake) →nyilihake „meminjamkan‟
m- + laku + (-e) →mlakune „jalannya‟
di- + lungguh + (-i) →dilungguhi „diduduki‟
di- + campur + (-a) →dicampura„ meskipun dicampur‟
di- + salin + (-ana) →disalinana„ meskipun digantikan‟
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
20
di- + wales + (-ake) →diwalesake „dibalaskan‟
tulis + (-in-) – ana →tinulisana „meskipun ditulisi‟
sa- + cilik + (-e) →sacilike „sampai kecil‟
b. Tembung Rangkep (Pengulangan)
1) Pengertian Tembung Rangkep (pengulangan)
Setiyanto (2007: 81) menjelaskan kata ulang dalam bahasa Jawa disebut juga
dengan tembung rangkep. Tembung rangkep ialah kata yang diucapkan dua kali
sebagian atau seluruhnya, misalnya: putra-putra, udan-udan. Muslich (2009: 48)
menjelaskan proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan
mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem
maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Menurut Ramlan (2012:
65) proses pengulangan ialah pengulangan suatu gramatik, baik seluruhnya maupun
sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Sasangka (2010 :103)
membagi dalam tiga bentuk pengulangan: (1) dwilingga (pengulangan seluruhnya),
(2) dwipurwa (pengulangan dengan mendapat suku kata awal), dan (3) dwiwasana
(pengulangan dengan mendapat suku kata akhiran).
2) Jenis Tembung Rangkep (Pengulangan)
a) Dwilingga (Pengulangan Seluruhnya)
Dalam bahasa Jawa pengulangan seluruhnya disebut dengan dwilingga.
Tembung dwilingga menurut Setiyanto (2007: 81) ialah kata yang diucapkan dua kali.
Bentuknya yaitu lingga+lingga (bentuk dasar + bentuk dasar). Sasangka (2008: 106)
menjelaskan dwilingga yaitu tembung lingga kang dirangkep (kata dasar yang
diulang). Dwilingga terbagi menjadi dwilingga wutuh dan dwilingga salin swara.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
21
Dwilingga wutuh yaitu tembung lingga kang karangkep wutuh tanpa ana owah-
owahan apa-apa (dwilingga utuh yaitu bentukdasar yang diulang secara utuh tanpa
ada perubahan apa-apa). Dwilingga salin swara yaitu tembung lingga kang karangkep
mawa owah-owahan swara ( bentuk kata ulang yang diulang dengan perubahan
bunyi).
Contoh dwilingga wutuh (pengulangan utuh):
udan-udan „hujan-hujan‟
takon-takon „bertanya- tanya‟
celuk-celuk „memanggil-manggil
Contoh dwilingga salinswara (pengulangan dengan berubah bunyi):
tokan-takon „ bertanya-tanya‟
celak-celuk „ memanggil-manggil‟
wolak-walik „ bolak- balik
Menurut Sasangka (2008: 108) selain bentuk dwilingga wutuh dan dwilingga
salin swara bentuk dwilingga bisa juga dibubuhi imbuhan. Dwilingga yang berwujud
ater-ater/prefiks (awalan), seselan/infiks (sisipan), atau panambang (akhiran). Kata
ulang berimbuhan yaitu kata ulang dengan mendapat imbuhan, baik pada lingga
pertama maupun pada lingga kedua. Kata ulang berimbuhan adalah mengulang kata
dasar sekaligus dengan imbuhannya (afiksasi). Jenis kata ulang ini adalah kata-kata
yang mengalami reduplikasi dengan mendapat imbuhan pada kata pertama maupun
kata kedua.
Contoh: dialon-alonake „dipelan-pelankan‟
dilemes-lemesake „dilemas-lemaskan‟
b) Dwipurwa (Pengulangan dengan Mendapat Suku Kata Awal)
Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata awaldisebut
dengan dwipurwa. Sasangka (2008: 104) menjelaskan dwipurwa yaitu tembung kang
dumadi saka pangrangkepe purwane tembung lingga utawa pangrangkepe wanda
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
22
kawitaning tembung (pengulangan dua suku kata atau lebih yang berada di depan).
Menurut Setiyanto (2007: 86) menjelaskan bahwa tembung dwipurwa adalah tembung
yang diulang purwaning linggane (kata yang diulang berdasarkan suku kata depan
bentuk dasarnya). Dwipurwa merupakan proses pengulangan sebagian atau seluruh
suku kata awal sebuah kata. Dwipurwa dapat disebut juga dengan pengulangan bagian
belakang leksem.
Contoh: bungah→ bubungah→ bebungah „senang‟.
gaman → gagaman →gegaman „senjata‟
lara →lalara →lelara „sakit‟
c) Dwiwasana (Pengulangan dengan Mendapat Suku Kata Akhir)
Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata di akhir disebut
dwiwasana. Sasangka (2008: 104) dwiwasana yaitu tembung kang ngrangkep wanda
wekasan utawa ngrangkep wasanane tembung (kata yang diulangdi akhir atau
pengulangan akhir kata). Menurut Setiyanto (2007: 88) dwiwasana merupakan kata
yang direkati suku kata yang belakang. Dwiwasana adalah salah satu bentuk tembung
rangkep (kata ulang) dalam bahasa Jawa. Disebut tembung dwiwasana karena proses
pembentukannya dengan jalan mengulang bagian akhir dari suku kata bentuk
dasarnya.
Contoh: cekik + kik menjadi cekikik „tertawa terbahak-bahak‟
cenges→ cengesnges→ cengenges „tertawa- tawa‟
c. Tembung Camboran (Pemajemukan)
1) Pengertian Tembung Camboran (Pemajemukan)
Dalam bahasa Jawa pemajemukan disebut dengan tembung camboran.
Pemajemukan adalah proses pembentukan kata melalui penggabungan morfem dasar
yang hasil keseluruhannya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis,
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
23
gramatikal, dan semamntik. Menurut Sasangka (2008: 112) tembung camboran atau
kata majemuk (kompositum) yaitu tembung loro utawa luwih sing digandheng dadi
siji lan tembung mau dadi tembung anyar kang tegese uga melu anyar (dua kata atau
lebih yang disambung menjadi satu dan kata tersebut menjadi kata baru yang
mempunyai makna baru). Pemajemukan juga dapat diartikan sebagai dua kata atau
lebih yang menjadi satu dengan erat sekali dan menunjuk atau menimbulkan
penggantian baru. Setiyanto (2007: 91) berpendapat bahwa tembung camboran (kata
majemuk) ialah dua kata atau lebih disambung menjadi satu. Tembung camboran
terdiri dari tembung camboran wutuh dan tembung camboran tugel. Tembung
camboran wutuh yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang masih
utuh. Tembung camboran tugel yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar
yang disingkat. Adapun kata-katanya ada yang utuh dan ada juga yang sudah
disingkat.
2) Jenis Tembung Camboran (Pemajemukan)
Pada paragraf di bawah ini dijelaskan jenis-jenis tembung camboran. Jenis –
jenis tembung camboran meliputi. Pertama (a) tembung Camboran Wutuh, yaitu kata
majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang masih utuh dan runtut. Contoh dari
tembung camboran wutuh, yaitu buku gambar, kacamata, mahasiswa. Kedua (b)
tembung camboran tugel, yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang
disingkat. Contoh dari tembung camboran tugel, yaitu lareangon yang artinya araning
ula‟ dhegus berasal dari gedhe dan bagus. Jadi dalam bahasa Jawa jenis – jenis
tembung camboran (pemajemukan) meliputi tembung camboran wutuh yang berarti
kata majemuk utuh dan tembung camboran tugel berarti kata majemuk yang disingkat.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
24
F. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang digunakan dan
tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten,
Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di antaranya
sebagai Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri,
yaitu Suriname, Belanda New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya
sekarang 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa. Bahasa Jawa urutan ke-11 dalam
hal jumlah penutur terbanyak. Bahasa Jawa disebut juga bahasa Jawa Baru/Modern
dipakai oleh masyarakat Jawa sejak sekitar abad 16 sampai sekarang (Wedhawati
2006:1). Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara
khusus di lingkungan etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan, yang
digunakan untuk berinteraksi antarindividu dan memungkinkan terjadinya komunikasi
dan perpindahan informasi sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman.
Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dan dijaga karena
jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari pulau Jawa.
G. Koran
1. Pengertian Koran
Menurut Depdiknas, (2011: 266) menjelaskan koran adalah lembaran –
lembaran kertas bertuliskan kabar berita dan sebagainya, terbagi dalam kolom-kolom
yang terdiri dari 8-9 kolom, terbit setiap hari atau secara periodik atau bisa disebut
dengan surat kabar harian. Koran sejenis media massa yang memberitakan kejadian-
kejadian sehari-hari dalam kehidupan manusia. Koran biasanya ditujukan sebagai
kegiatan komersil dari penerbit koran yang bersangkutan. Tulisan-tulisan yang
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
25
terdapat dalam sebuah koran dihasilkan oleh para penulis berita yang disebut sebagai
wartawan. Wartawan tersebut bertugas untuk menulis kejadian-kejadian menarik yang
terjadi di tengah masyarakat. Di dalam sebuah koran, biasanya terdapat banyak
wartawan yang disebarkan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan dan menulis
berita yang menarik yang nantinya akan menjadi isi dari koran tersebut. Wartawan
tersebut bertugas secara resmi atas nama koran yang bersangkutan dan mendapatkan
bayaran atau gaji dari koran tempat dia mempublikasikan berita atau tulisannya.
Koran dari bahasa Belanda: krant, dari bahasa Perancis courant atau surat
kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada
kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita-berita terkini
dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa event politik, kriminalitas, olahraga, tajuk
rencana, cuaca. Surat kabar juga biasa berisi karikatur yang biasanya dijadikan bahan
sindiran lewat gambar berkenaan dengan masalah-masalah tertentu, komik, TTS dan
hiburan lainnya. Ada juga surat kabar yang dikembangkan untuk bidang-bidang
tertentu, misalnya berita untuk politik, property, industri tertentu, penggemar olahraga
tertentu, penggemar seni atau partisipan kegiatan tertentu. Jenis surat kabar umum
biasanya diterbitkan setiap hari, kecuali pada hari-hari libur. Surat kabar sore juga
umum di beberapa negara. Selain itu, juga terdapat surat kabar mingguan yang
biasanya lebih kecil dan kurang prestisius dibandingkan dengan surat kabar harian dan
isinya biasanya lebih bersifat hiburan. Media cetak yang biasanya terbit harian,
didalamnya berisi berita-berita terkini dalam berbagai topik.
Sebagai sebuah institusi komersil, koran mendapatkan penghasilannya dari
iklan-iklan yang dipasang di koran tersebut. Iklan-iklan tersebut tersebar di berbagai
halaman, disisipkan diantara tulisan-tulisan, atau disediakan halaman-halaman
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
26
tersendiri yang khusus menampung iklan-iklan. Pemasang iklan membayar sejumlah
tarif tertentu kepada penerbit koran. Koran bermanfaat bagi masyarakat untuk
mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi di daerahnya atau daerah lain atau negara
lain. Tanpa koran, masyarakat tidak akan mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi
di luar jangkauan pergaulannya. Jadi, koran adalah sarana bagi masyarakat untuk
meluaskan pandangannya tanpa harus hadir secara langsung untuk menggali informasi
dari kejadian yang bersangkutan.
2. Radar Banyumas
Radar Banyumas adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Banyumas,
Jawa Tengah, Indonesia. Surat kabar ini termasuk dalam group Jawa Pos. Koran ini
pertama kali terbit pada tahun 1998. Radar Banyumas menyajikan berita-berita yang
sedang berkembang di daerah Banyumas. Surat kabar ini terbit setiap hari mulai Senin
sampai Minggu. Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam koran Radar Banyumas
terbagi menjadi beberapa Radar bagian daerah, yang meliputi Radar Purwokerto,
Radar Purbalinggaterdapat, dan Radar Cilacap.
3. Rubrik
a. Pengertian Rubrik
Menurut Depdiknas, (2011: 433) menjelaskan rubrik adalah kepala, ruangan
untuk karangan dalam surat kabar, majalah dan sebagainya. Rubrik bisa dikatakan
karangan yang bertopik. Rubrik berasal dari bahasa Belanda yaitu rubriek, yang
artinya ruangan pada halaman surat kabar, majalah atau media cetak lainnya mengenai
suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat. Isi rubrik ada yang secara
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017
27
jelas ditampilkan oleh penulis (tersurat) dan ada yang tidak secara jelas ditampilkan
oleh penulis (tersirat). Isi rubrik merupakan pokok masalah yang dibicarakan dalam
rubrik. Pada penelitian ini peneliti mengambil rubrik “SMS 24 Jam” pada surat kabar
Radar Banyumas.
b. Rubrik “SMS 24 Jam”
Rubrik dalam surat kabar misalnya tajuk rencana, surat pembaca, atau dongeng
anak. Jadi, di dalam Radar Banyumas pengertian rubrik “SMS 24 Jam” adalah ruangan
pada halaman surat kabar yang letaknya di pojok kiri bagian atas, ada pada halaman
pertama dalam Radar Banyumas. Radar Banyumas rubrik “SMS 24 Jam” meliputi
Radar Purwokerto yang terdiri dari “SMS 24 Jam”, Radar Purbalingga terdiri dari
“Purbalingga 24 Jam” dan Radar Cilacap terdiri dari “Cilacap 24 Jam”. Rubrik
memuat isi dan pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Sementara itu
pesan rubrik merupakan anjuran atau nasihat penulis yang terdapat pada rubrik yang
ditujukan pembaca. Pada masing – masing radar berisi pesan-pesan dari masyarakat
seputar karisidenan Banyumas, dan waktu untuk mengirimkan pesan dibuka selama
24 jam sehingga dinamakan “SMS 24 Jam”.
Interferensi Morfologik Bahasa..., Dewi Rinawati, FKIP, UMP, 2017