bab ii landasan teori 2.1. kajian teori -...
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kajian Teori
Dalam penelitian ini, teori yang akan dikaji adalah: (1) Pembelajaran IPA
(2) Hasil Belajar, (3) Model pembelajaran Numbered Headas Together, dan (4)
Media flip chart.
2.1.1. Pembelajaran IPA
2.1.1.1.Pengertian IPA
Menurut Trianto (2012:135) sejak zaman dahulu orang berusaha
memanfaatkan alam. Mereka mencari makanan dan minuman bergantung pada
alam. Melalui pengamatan manusia mempelajari alam. Mulai pengamatan dari
objek-objek di sekitar hingga objek yang jauh untuk diamati. Dorongan rasa ingin
tahu manusia mempercepat perkembangan sains. Manusia terus berkembang dan
beradaptasi dengan alam hingga saat ini. Hal ini berati bahwa sains timbul dan
berkembang dari rasa ingin tahu manusia.
Seorang ahli lain yaitu Fowler (Trianto, 2012:136) berpendapat bahwa IPA
adalah pengetahuan sistematis dan dirumuskan serta saling berhubungan dengan
gejala-gejala kebendaan yang didasarkan atau pengamatan dan deduksi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Wahyana (Trianto, 2012:136) menyatakan
bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis dan terbatas pada
gejala-gejala alam. Perkembangannya ditandai oleh adanya metode ilmiah dan
sikap ilmiah.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang IPA, dapat disimpulkan bahwa IPA
adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan
dengan menggunakan prosedur yang dijelaskan dengan penalaran sehingga
mendapat suatu kesimpulan.
6
2.1.1.2.Hakikat IPA
Menurut Trianto (2012:137) pada hakikatnya IPA terdiri atas dasar produk
ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Pertama, IPA sebagai produk yaitu
kumpulan hasil penelitian yang sudah membentuk konsep yang telah dikaji
sebagai kegiatan empiris dan kegiatan analitis. Kedua, IPA sebagai proses yaitu
untuk menggali dan memahami pengetahuan tentang alam. Ketiga,IPA sebagai
sikap adalah sikap ilmiah harus dikembangkan dalam proses pembelajaran.
Donosepoetro (Trianto, 2012:137) menambahkan bahwa pada hakikat
IPAjuga didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang alam, dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu: IPA sebagai produk, proses dan
prosedur. IPA sebagai produk, diartikan sebagai suatu hasil dari proses yang
berupa pengetahuan yang diajarkan disekolah maupun diluar sekolah. IPA sebagai
proses, diartikan sebagai segala sesuatu atau semua kegiatan ilmiah untuk
menyempurnakan pengetahuan tentang alam ataupun menemukan pengetahuan
baru tentang gejala alam. IPA sebagai prosedur, diartikan sebagai metode atau
cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu atau sering disebut metode ilmiah.
Seorang ahli lain yaitu Sulistyorini (Susanto, 2013: 169) menjelaskan
bahwa ada sembilan aspek yang dikembangkan dari sikap ilmiah, yaitu: sikap
ingin tahu, ingin mendapat sesuatu yang baru, sikap kerja sama, tidak putus asa,
tidak berprasangka, mawas diri, bertanggung jawab, berpikir bebas, dan
kedisiplinan diri.
Pendapat lain menurut Marjono ( Susanto, 2013: 167) yang menyatakan
bahwa hal yang harus diutamakan dalam IPA adalah bagaimana mengembangkan
rasa ingin tahu dan daya berpikir kritis mereka terhadap suatu masalah.
IPA memiliki karakteristik sebagai dasar untuk memahaminya. Menurut
Jacobson dan Bergman (Susanto, 2013:170), meliputi:
1. IPA merupakan kumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori.
2. Proses ilmiah dapat berupa fisik dan mental, serta mencermati fenomena
alam, termasuk juga penerapannya.
3. Sikap keteguhan hati, keingintahuan, dan ketekunan dalam menyikap rahasia
alam.
7
4. IPA tidak dapat membuktikan semua, namunsebagian atau beberapa saja.
5. Kebenaran IPA bersifat subjektif dan bukan kebenaran yang objektif.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang IPA, dapat dipahami bahwa IPA
merupakan pembelajaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip, proses yang
dapat menumbuhkan sikap ilmiah terhadap konsep IPA. Oleh karena itu, proses
belajar mengajar IPA di SD diharapkan dapat dilakukan dengan penyelidikan,
pengamatan, diskusi dan bukan hanya sekedar hafalan konsep-konsep IPA.
Pembelajaran diarahkan agar siswa dapat melakukan pengalaman langsung
melalui diskusi/kerjasama dengan teman dalam kelompok.
2.1.1.3.Hakikat Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA dapat diartikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan
guru untuk memotivasi siswa mau melakukan proses belajar tentang prinsip-
prinsip dan proses yang dapat menumbuhkan sikap ilmiah.
Prihantro Laksmi (Trianto, 2012: 142) menyebutkan ada beberapa nilai-nilai
yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA adalah sebagai berikut:
1. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-
langkah metode ilmiah.
2. Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan
alat-alat eksperimen dalam memecahkan masalah.
3. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam pemecahan masalah.
Pembelajaran IPA di SD memuat konsep-konsep yang masih terpadu,
karena belum dipisahkan secara sendiri-sendiri, seperti misalnya kimia, biologi
dan fisika.
Tujuan pembelajaran di SD menurut BNSP (Susanto, 2013:171),
dimaksudkan untuk:
1. Memperoleh keyakinan tehadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keteraturan alam.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman IPA untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
8
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang hubungan
yang saling mempengaruhi IPA.
4. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat kesimpulan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam menjaga lingkungan
alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan ketrampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan ke jenjang SMP.
Dalam penelitian ini, penulis memilih standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran IPA di kelas IV pada semester II yaitu:
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Bumi dan Alam Semesta
10. Memahami perubahan
lingkungan fisik dan
pengaruhnya terhadap
daratan
10.1 Mendeskripsikan berbagai penyebab
perubahan lingkungan fisik (angin, hujan,
cahaya matahari, dan gelombang air laut)
10.2 Menjelaskan pengaruh perubahan
lingkungan fisik terhadap daratan (erosi,
abrasi, banjir, dan longsor)
10.3 Mendeskripsikan cara pencegahan
kerusakan lingkungan (erosi, abrasi, banjir,
dan longsor)
2.1.2. Hasil Belajar
2.1.1.1.Hakikat Belajar
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2012:21) belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus adalah suatu rangsangan dalam kegiatan
belajar yang dapat ditangkap oleh alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi yang
9
muncul akibat adanya rangsangan tersebut, dapat berupa pikiran, perasaan
ataupun tindakan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gagne (Susanto, 2013:1) yang menyatakan
bahwa belajar adalah suatu proses dimana suatu individu berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Bagi Gagne, belajar diartikan sebagai proses untuk
memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah
laku.
Sependapat dengan Gagne, Winkel (Susanto, 2013:4) mengemukakah
bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi
aktif antara seseorang dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif konstan.
Adapun menurut Klein (Suprihatiningrum, 2013:14) belajar adalah hasil
eksperimental dalam tingkah laku yang relatif permanen dan tidak dapat
diucapkan dengan pernyataan sesaat.
Seorang ahli lain yaitu Gestalt (Susanto, 2014: 12) menjelaskan bahwa
belajar merupakan suatu proses perkembangan. Hal itu berarti bahwa jiwa dan
raga anak secara kodrati mengalami perkembangan. Hasil dari belajar dipengaruhi
oleh siswa sendiri dan lingkungan.
Menurut Bell-Gredler (Winataputra, 2008:5) belajar adalah proses yang
dilakukan manusia untuk mendapatkan ketrampilan, kemampuan dan sikap.
Ketrampi lan, kemampuan dan sikap tersebut diperoleh secara bertahap dan
berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses
belajar sepanjang hayat. Kemampuan belajar inilah yang membedakan manusia
dengan mahluk lainnya.
Berdasarkan pendapar para ahli tentang belajar, dapat disimpulkan bahwa
belajar diartikan sebagai aktivitas yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk
memperoleh suatu pemahaman, atau suatu pengetahuan baru, sehinggga
memungkinkan adanya perubahan tingkah laku individu dalam berbagai aspek
kehidupan dan berkembang berdasarkan pengalaman atau latihan yang dialami.
10
2.1.1.2.Hasil Belajar IPA
Menurut Gagne dan Briggs (Suprihatiningrum, 2013: 17) hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat yang
diperoleh dari proses belajar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Reigeluth (Suprihatiningrum, 2013: 37)
yang menyatakan hasil belajar adalah pengaruh yang memberikan suatu ukuran
nilai dari metode alternatif dalam kondisi yang berbeda. Reigeluth juga
mengartikan bahwa hasil belajar adalah suatu kinerja yang diindikasikan sebagai
suatu kemampuan yang diperoleh.
Adapun menurut Nawawi (Susanto, 2013: 5) hasil belajar diartikan sebagai
keberhasilan siswa dalam memahami pembelajaran di sekolah yang ditunjukkan
dengan skor sesuai dengan hasil tes pada mata pelajaran tertentu.
Beberapa ahli lain yaitu Krathwohl, Bloom dan Masia (Suprihatiningrum,
2013: 38) membedakan hasil belajar menjadi tiga aspek, yaitu aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik. Pertama, aspek kogitif ini berhubungan dengan
kemampuan berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Kedua, aspek afektif
berkaitan dengan kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat dan
apresiasi. Ketiga, aspek psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan
ketrampilan yang bersifat manual dan motorik.
Sependapat dengan Krathwohl, Bloom dan Masia, Susanto (2013: 5)
menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan pada siswa dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotoriknya sebagai hasil dari proses belajar. Susanto
juga menjelaskan secara sederhana bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang
diperoleh anak setelah mengikuti kegiatan belajar.
Menurut Wasliman (Susanto, 2013: 12-13) hasil belajar merupakan hasil
interaksi antar berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri siswa yang mempengaruhi
proses belajarnya. Faktor internal tersebut antara lain: kecerdasan, minat dan
perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kondisi fisik dan kesehatan.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa.
Faktor eksternal tersebut antar lain: keluarga, sekolah dan masyarakat. Wasliman
11
menambahkan bahwa semakin tinggi kualitas belajar siswa, maka semakin tinggi
pula hasil belajarnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang hasil belajar, dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar siswa adalah pencapaian kompetensi dalam suatu mata
pelajaran dengan menggunakan kemampuan dan ketrampilan sesuai dengan
tingkat usahanya sebagai suatu hasil dari proses belajar untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan memenuhi unsur-unsur kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.1.3. Model Pembelajaran Numbered Heads Together
2.1.1.1.Pengertian Numbered Heads Together
Menurut Arends (2008: 16) Numbered Heads Together merupakan model
pembelajaran yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1998) untuk melibatkan
lebih banyak siswa dalam menelaah berbagai materi yang dibahas dalam sebuah
pelajaran dan untuk memeriksa pemahaman mereka tentang isi pelajaran tersebut.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Iif Khoiru Ahmadi, dkk (2011 :59)
Numbered Heads Together(NHT) adalah suatu model pembelajaran dimana
setiap siswa diberi nomor suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil
nomor dari siswa.
Sependapat dengan Iif Khoiru Ahmadi, dkk, Kokom Komalasari (2010:62)
menyatakan bahwa NHT merupakan suatu model pembelajaran di mana setiap
siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang model
pembelajaran Numbered Heads Together dapat disimpulkan bahwa Numbered
Heads Together adalah suatu strategi pembelajaran berkelompok dimana setiap
anggota kelompoknya bertanggung jawab terhadap tugas kelompoknya, sehingga
tidak ada pemisahan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain dalam satu
kelompok untuk saling memberi dan menerima antara satu dengan yang lainnya.
12
2.1.1.2.Langkah-langkah Model Numbered Heads Together (NHT)
Arends (2008: 16) menjelaskan bahwa ada empat langkah-langkah
pembelajaran dalam Numbered Heads Together (NHT) yaitu;
1. Langkah 1: Numbering. Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok yang
terdiri atas 3-5 siswa dan setiap anggota kelompok mendapat nomor 1 sampai
5.
2. Langkah 2: Questioning. Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
Pertanyaan dapat bervariasi.
3. Langkah 3: Heads Together. Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban
pertanyaan dan memastikan setiap anggota kelompok tahu.
4. Langkah 4: Answering. Guru memanggil sebuah nomor dan siswa dari masing-
masing kelompok yang memiliki nomor tersebut mengangkat tangan dan
memberikan jawabannya ke hadapan seluruh siswa.
Sependapat dengan Arends, Iif Khoiru Ahmadi menyebutkan ada beberapa
langkah-langkah dalam model pembelajaran Numbered Heads Together
(NHT)yaitu:
1. Setiap siswa dibagi kelompok, setiap siswa dalam kelompok mendapatkan
nomor.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan tugas.
3. Setiap kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap
anggota kelompok dapat mengerjakan,
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil dan
melaporkan hasil kerjasama kelompok.
5. Tanggapan dari kelompok yang lain, kemudian guru menunjuk nomor lain.
6. Guru bersama siswa menyimpulkan tugas yang diberikan kepada peserta didik.
Adapun menurut Miftahul Huda (2011:130) menjelaskan ada beberapa
langkah dalam NHT yaitu:
1. Guru meminta siswa untuk duduk berkelompok,
2. Masing-masing anggota diberi nomor,
3. Guru memanggil salah satu nomor untuk mempresentasikan hasil diskusinya,
4. Memanggil secara acak hingga semua nomor terpanggil.
13
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang langkah-langkah model
pembelajaran NHT dapat disimpulkan bahwa secara umum ada empat langkah
dalam model pembelajaran yaitu numbering (penomoran), questioning (pemberian
tugas/pertanyaan), heads together (penyatuan pendapat) dan
answering(pemberian jawaban)sesuai yang dikemukakan oleh Arends.
2.1.1.3.Kelebihan dan Kekurangan Model Numbered Heads Together (NHT)
Menurut Iif Khoiru Ahmadi, dkk (2011: 59-60) dalam menggunakan
strategi pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) ada
beberapa kelebihan dan kelemahan.
Numbered Heads Together (NHT)memiliki beberapa kelebihan antara lain:
1. Setiap siswa menjadi siap semua.
2. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
3. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai/tutor sebaya.
4. Melatih siswa untuk dapat bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain.
5. Memupuk rasa kebersamaan.
6. Membuat siswa menjadi terbiasa dengan perbedaan.
Selain memiliki kelebihan tersebut, dalam menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) terdapat
beberapa kelemahan yang harus diperhatikan, hal ini dilakukan agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dalam pembelajaran, antara lain:
1. Siswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit kewalahan.
2. Kemungkinan nomor yang dipanggil akan dipanggil lagi.
3. Guru harus bisa memfasilitasi siswa.
4. Tidak semua mendapat giliran.
NHT memiliki beberapa kelemahan, namun pendekatan ini penting
diterapkan untuk mendorong siswa bekerja sama dan berkembang secara positif.
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan NHT dapat membuat siswa berkembang
aktif dalam kelompok yang memungkinkan untuk dapat meningkatkan hasil
belajar mereka.
14
2.1.4. Media Flip Chart
2.1.1.1.Media
Pirenomulyo dan Nyoto Harjono (2010: 117) menjelaskan bahwa media
merupakan bentuk jamak dari perantara (medium), merupakan sarana komunikasi.
Secara etimologi „media‟ berasal dari bahasa Latin medium (“antara”), istilah ini
merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sebuah sumber dan
sebuah penerima. Istilah media sangat populer dalam bidang komunikasi. Proses
pembelajaran pada dasarnya juga termasuk di dalamny karena dalam proses
tersebut ada komunikan, komunikator dan media komunikasi.
Menurut AECT (Assosiation of Education and Communication) dalam
Pirenomulyo dan Nyoto Harjono(2010:118) media adalah segala bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi.
Pendapat lain menurut NEA (National Education Assosiation) dalam
Pirenomulyo dan Nyoto Harjono(2010:118) media adalah segala benda yang
dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibacakan beserta instrumen yang
digunakan untuk kegiatan tersebut.
Beberapa ahli yaitu Derald dan Ely (Budiyono, dkk. 2010: 137) menyatakan
bahwa media adalah alat-alat untuk menangkap atau memproses dan menyusun
kembali informasivisual ataupun verbal.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang media maka dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang
digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi untuk mendorong proses
pembelajaran.
2.1.1.2.Fungsi Media
Menurut Pirenomulyo dan Nyoto Harjono (2010: 119) secara umum fungsi
media adalah sebagai penyalur pesan. Dalam proses pembelajaran media
berfungsi sebagai alat interaksi antara guru dan siswa sehingga kegiatan
pembelajaran lebih efektif dan efisien sehingga hasilnya lebih baik.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Enoch (Pirenomulyo dan Nyoto
Harjono, 2010:119) menjelaskan bahwa media berfungsi untuk memebangkitkan
15
rasa ingin tahu dan minat, membangkitkan motivasi dan rangsangan dalam proses
pembelajaran siswa.
Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa fungsi media sangat penting
diterapkan dalam proses pembelajaran karena dapat menyalurkan pesan atau
informasi dari guru kepada siswa lebih efisien dan efektif serta akan berdampak
baik pada hasil belajar yang diperoleh.
2.1.1.3.Jenis Media Pembelajaran
Terdapat beberapa jenis media pembelajaran. Gerlach (Pirenomulyo dan
Nyoto Harjono, 2010:120) mengelompokkan ada media berdasarkan teknologi
yang digunakan, yaitu: media tradisional dan media dengan teknologi mutakhir.
Media tradisional meliputi:
1. Media visual diam yang diproyeksikan, contohnya: proyeki tak tembus
pandang, proyeki overhead, slides, dan film strip.
2. Media visual yang tak diproyeksikan, contohnya: gambar, poster, foto, charts,
grafik, diagram dan papan info.
3. Audio, contohnya: radio, piringan hitam, tape recorder.
4. Multimedia, contohnya: tape recorder dan multi image.
5. Visual yang diproyeksikan, contohnya: film, TV dan video.
6. Media cetak, contohnya: buku teks, modul, majalah dan hand out.
7. Permainan, contohnya: teka-teki dan simulasi.
8. Realita, contohnya: model, manipulatif seperti boneka dan peta.
Media teknologi mutakhir meliputi:
1. Media berbasis telekomunikasi, contohnya: teleconference dan kuliah jarak
jauh.
2. Media berbasis mikroprosesor, contohnya: computer-assisted instruction,
permainan, tutor intelejen, interactif dan hipermedia.
Adapun menurut Atmohoetomo (Pirenomulyo dan Nyoto Harjono,
2010:120) media pembelajaran terbagi atas tiga jenis, yaitu: media audio, visual
dan audio visual. Media audio, contohnya: radio, piringan hitam, dan tape
recorder. Media visual dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) media visual
16
yang diproyeksikan, contohnya: slide, film bisu, film strip, OHD, dan epidiascop.
(2) media visual yang tidak perlu diproyeksikan, contohnya: wall shets, model dan
objek. Sementara itu, media audio visual, contohnya: TV, video, film bicara, dan
sound slides.
2.1.1.4.Media Flip Chart
Media flip chart merupakan salah satujenis dari media visual yang tak
diproyeksikan yaitu mediachart. Menurut Nurseto (2011:25) Flipchart adalah
lembaran-lembaran kertas menyerupai kalender berukuran 50X75 cm, atau ukuran
yang lebih kecil 21X28 cm yang disusun dalam urutan yang diikat pada bagian
atasnya . Flipchart dapat digunakan sebagai media penyampai pesan
pembelajaran. Penyajian flip chart ini dapat menuntun pola pikir siswa agar
mudah mencerna materi pelajaran.
2.1.1.5.Cara Penggunaan Media Flip Chart
Nurseto (2011:26) menjelaskan cara menggunakan flip chart, yaitu:
1. Mempersiapkan diri: Guru perlu menguasai bahan pembelajaran dengan baik,
dan memiliki keterampilan untuk menggunakan media tersebut.
2. Penempatan yang tepat. Perhatikan posisi flipchart, sehingga dapat dilihat
dengan baik oleh semua siswa yang ada di ruangan kelas tersebut.
3. Pengaturan siswa. Misalnya siswa dibentuk menjadi setengah lingkaran, atau
leter U, pastikan semua siswa memperoleh pandangan yang baik.
4. Perkenalkan pokok materi. Materi yang disajikan terlebih dahulu
diperkenalkan kepada siswa pada saat awal membuka pelajaran.
5. Sajikan gambar. Setelah masuk pada materi, mulailah memperlihatkan
lembaran-lembaran gambar flipchart dan berikan keterangan yang cukup.
6. Beri kesempatan siswa untuk bertanya. Berikan stimulus agar siswa mau
bertanya, meminta klarifikasi apakah materi yang telah disampaikannya jelas
dipahami atau masih kurang jelas. Beri kesempatan siswa memberikan
komentar terhadap isi flipchart yang disajikan.
17
7. Menyimpulkan Materi. Dorong siswa berperan aktif menyimpulkan materi
yang diperkuat oleh guru. Jika dirasa perlu maka siswa atau guru kembali
membuka beberapa flipchart yang dianggap penting.
2.1.1.6.Kelebihan Menggunakan Media Flip Chart
Beberapa kelebihan dari flip chart menurut Nurtejo (2011:25), antara lain:
1. Mampu menyajikan pesan pembelajaran secara ringkas dan praktis.
2. Dapat digunakan di dalam ruangan atau luar ruangan.
3. Mampu menyajikan pesan pembelajaran secara ringkas dan praktis.
4. Dapat digunakan di dalam ruangan atau luar ruangan.
5. Bahan pembuatan relatif murah.
6. Mudah dibawa kemana-mana (moveable).
7. Meningkatkan aktivitas belajar siswa.
2.1.1.7.Kelemahan Menggunakan Flip Chart
1. Sukar dibaca karena keterbatasan tulisan.
2. Pengajar/pembicara cenderung memunggungi peserta saat menulis.
3. Biasanya kertas flip chart hanya dapat digunakan untuk satu kali saja.
(menggunakan bahan kertas).
Berdasarkan jenis media, dengan mempertimbangkan kondisi sekolah,
sarana dan prasarana sekolah, serta karakteristik siswa, penulis memilih media flip
chart sebagai alat yang digunakan untuk membantu proses pembelajran. Media
flip chart merupakan media yang sederhana namun efektif dan dapat menarik
perhatian siswa sehingga hasil belajarnya lebih baik.
Sintak model pembelajaran numbered heads together berbantuan media flip
chart pada pembelajaran IPA adalah sebagai berikut:
1. Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang beranggotakan 4 sampai
5 orang siswa. Setiap anggota kelompok mendapat nomor yang berbeda.
Nomor yang disediakan 1-5 untuk masing-masing kelompok.
2. Guru membagikan flipchartsebagai media belajar dan membimbing siswa
dalam kelompok.
3. Melakukan tanya jawab tentang materi yang terdapat pada flip chart.
18
4. Guru membagi lembar kerja kepada setiap kelompok.
5. Dalam kerja kelompok, setiap siswa berpikir bersama dalam kelompoknya.
Lembar kerja siswa dapat bervariasi tipe soal.
6. Guru memanggil nomor anggota dan menyebutkan satu nomor. Para siswa dari
tiap kelompok yang nomornya dipanggil menyiapkan jawaban untuk
dipresentasikan/dilaporkan.
7. Guru bersama siswa membuat kesimpulan dari semua pertanyaan yang
berhubungan tentang materi yang telah disampaikan.
Berdasarkan kajian teoritetang model pembelajaran NHT dan media flip
chart, meskipun ada beberapa kelemahan model pembelajaran NHT, namun
strategi ini sangat baik untuk diterapkan dalam proses pembelajaran IPA, karena
dapat mengembangkan kemampuan, sikap dan keterampilan siswa secara positif
melalui kerja kelompok. Berdasarkan karakteristik dan kondisi sekolah, penulis
berusaha memilih media yang sesuai. Media yang digunakan merupakan media
flip chart yang pada dasarnya merupakan media yang sederhana, namun media ini
cukup efektif untuk membuat pembelajaran lebih menarik. Penerapan model
pembelajarannumbered heads together berbantuan media flip chart ini
diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada di SDN Sidorejo 4 yaitu
tentang rendahnya hasil belajar siswa.
2.2. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan memuat tentang uraian sistematis hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan dihubungkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa acuan yang relevan.
Rini Hadiyanti dkk (2012) dalam jurnal yang berjudul “Keefektifan
Pembelajaran Kooperatif Numbered HeadsTogether terhadap Kemampuan
Pemahaman Konsep”, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan
keaktifan dan pemahaman siswa. Terbukti dari rata-rata keaktifan siswa kelas
eksperimen mencapai 74%, sedangkan kelas kontrol mencapai 73%. Dengan
demikian dapat disimpulkan model pembelajaran kelas kooperatif tipe Numbered
19
HeadsTogether lebih efektif dalam kemampuan pemahaman konsep siswa. Oleh
karena itu guru IPA hendaknya mengembangkan pembelajaran melalui
pembelajaran kooperatif, terutama model pembelajaran NHT untuk meningkatkan
keaktivan dan kemampuan pemahaman konsep siswa.
Fifi Fitriana Sari (2010) dalam jurnal yang berjudul „‟Implementasi Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)Dalam
Pemecahan Masalah Dimensi Tiga Siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang‟‟, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada kenaikan rata-rata aktivitas guru dan siswa
selama proses pembelajaran. Hal ini terbukti dari nilai rata-rata aktivitas guru
setelah empat kali pertemuan adalah 78,12 % . Karena procentation aktivitas guru
adalah antara selang 70 % sampai 84 % , sehingga aktivitas guru dalam proses
belajar termasuk kategori " baik ". Selain itu, aktivitas siswa dari pertemuan
pertama sampai pertemuan keempat selalu naik. Prosentase rata-rata aktivitas
siswa setelah kali keempat pertemuan adalah sebesar 85,10 % . Karena prosentase
aktivitas siswa adalah interval antara 85 % sampai 100 % , sehingga aktivitas
siswa dalam proses pembelajaran adalah termasuk " sangat baik " kategori . Tanda
rata-rata kemampuan siswa pada pemecahan masalah " Dimensi Tiga " dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif terutama jenis Numbered Heads Together
( NHT ) dilakukan empat kali pertemuan adalah jumlah 79,91 % . Karena
persentasi kemampuan siswa pada pemecahan masalah "Dimensi Tiga " adalah
pada interval antara 70 % hingga 84 % , sehingga aktivitas guru dalam proses
pembelajaran adalah " Baik " kategori. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pembejaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan keaktivan guru dan siswa
dalam melakukan pemecahan masalah.
Rudiansyah (2013) dalam jurnal yang berjudul „‟Penerapan Model
Cooperative Learning Tipe Number Heads Together (NHT)Dalam Pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial‟‟, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya
peningkatan kemampuan merancang dari guru dan peningkatan hasil belajar
siswa. Berdasarkan hasil penelitian terdapat peningkatan kemampuan guru dalam
merancang pembelajaran sebesar 0,66. Terdapat peningkatan kemampuan guru
dalam melaksanakan pembelajaran sebesar 0,93. Terdapat peningkatan hasil
20
belajar siswa sebesar 82,40 (tuntas). Terjadi peningkatan sebesar 28,80 poin. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat
meningkatkan kemampuan merancang guru dan hasil belajar siswa.
Arief Bachtiar Putra (2013) dalam jurnal yang berjudul „’Cooperative
Learning Tipe NHT Dengan Media Grafis Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan
Hasil‟‟, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis data
penggunaan model cooperative learning tipe numbered Heads together (NHT)
dengan media grafis pada pembelajaran PKn kelas V B SD Negeri 5 Metro Barat
dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari
persentase rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus I (35,71%), siklus II
(58,93%), dan siklus III (83,33%). Peningkatan dari siklus I ke siklus II (23,22%)
dan dari siklus II ke siklus III (24,4%). Sementara itu nilai rata-rata kinerja guru
pada siklus I (48,89), siklus II (61,48), dan siklus III (77,04). Sedangkan rata-rata
nilai hasil belajar siswa pada siklus I (57,86), siklus II (65), dan siklus III (90).
Peningkatan dari siklus I ke siklus II (7,14) dan dari siklus II ke siklus III (25).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian kajian yang relevan tipe NHT terbukti dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Jadi, tidak salah jika penulis
memilih strategi tersebut untuk diterapkan guna mengatasi permasalahan yang
terjadi di SD Negeri 4 Sidorejo yaitu tentang rendahnya hasil belajar siswa.
2.3. Kerangka Berfikir
Penelitan ini merupakan suatu penelitian tindakan kelas yang dilakukan
dalam suatu proses pembelajaran. Penulis melakukan penelitian berdasarkan atas
beberapa masalah – masalah yang terjadi di sekolah. Salah satunya yaitu di SD
Negeri 4 Sidorejo Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan yang mengalami
masalah dalam kegiatan pembelajaran, dimana kurang tepatnya guru dalam
menggunakan strategi yang baik dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kesalahan
penggunaan strategi mengakibatkan rendahnya kemampuan keaktifan siswa
dalam kegiatan belajar.
21
Penulis akan melakukan suatu tindakan dalam kelas pada proses
pembelajaran yaitu dengan menggunakan strategi cooperative learning tipe
Numbered Heads Together(NHT)berbantuan media flip chart. Dengan
mengoptimalkan strategi ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
keaktifan dan hasil belajar IPA.
Untuk mempermudah memahami kerangka pemikiran tersebut dapat
dituliskan pada bagan berikut :
22
Gambar 2.1.
Bagan sistematika kerangka berfikir
Rendahnya hasil belajar IPA
mencapai KKM ( ) dari siswa
keseluruhan (34, 62%)
Guru kurang optimal
dalam penggunaan
strategi Kondisi Awal
Peningkatan hasil belajar IPA siswa yang dilakukan dengan langkah-
langkah model pembelajaran Numbered Heads
Together(NHT)berbantuan media flip chart adalah sebagai berikut :
1. Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang
beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa. Setiap anggota kelompok
mendapat nomor yang berbeda. Nomor yang disediakan 1-5 untuk
masing-masing kelompok.
2. Guru membagikan flipchartsebagai media belajar dan
membimbing siswa dalam kelompok.
3. Melakukan tanya jawab tentang materi yang terdapat pada flip
chart.
4. Guru membagi lembar kerja kepada setiap kelompok.
5. Dalam kerja kelompok, setiap siswa berpikir bersama dalam
kelompoknya. Lembar kerja siswa dapat bervariasi tipe soal.
6. Guru memanggil nomor anggota dan menyebutkan satu nomor.
Para siswa dari tiap kelompok yang nomornya dipanggil
menyiapkan jawaban untuk dipresentasikan/dilaporkan.
7. Guru bersama siswa membuat simpulan dari semua pertanyaan
yang berhubungan tentang materi yang telah disampaikan.
Tindakan
Meningkatnya hasil belajar IPA mencapai KKM ( )
sebanyak ≥ 80% siswa secara keseluruhan.
Kondisi
Akhir
23
2.4. Perumusan Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir dapat diajukan hipotesis
tindakan adalah hasil belajar IPA dapat meningkat melalui model pembelajaran
Numbered Heads Together(NHT) berbantuan media Flip Chart siswa kelas IV
SD Negeri 4 Sidorejo Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan.