bab ii kajian pustaka ii.1 paradigma...

31
BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitian Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55). Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu (epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi). Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia, sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55). Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme. Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian. Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi Universitas Sumatera Utara

Upload: donga

Post on 24-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma Penelitian

Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian

keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan

dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan

dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia”

sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut

beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln

menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme,

konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu

pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel

membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan

Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti

mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55).

Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan

tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu

(epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana

kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi).

Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia,

sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek

tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55).

Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan

oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau

strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi

desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian

kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme.

Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi

pelaksanaan penelitian.

Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan

bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

di dalamnya. Paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi,

yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun

dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang

menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi

peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna di baliknya. Dalam proses

penafsiran teks, pengalaman, latarbelakang hingga perasaan peneliti dapat

mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis

(Ardianto dan Q-Anees, 2007:155) adalah:

1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu

merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang

perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur

konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan

dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis

tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks

sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigma ini, penelitian akan

membahas bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen

Ilmu Komunikasi FISIP USU.

II.2 Uraian Teoritis

II.2.1 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)

(Rakhmat, 1949: 57)

Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan

makna bagi lingkungan mereka (Rivai & Mulyadi, 2012: 236).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap

orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat

penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk

memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu

merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu

pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Seperti yang

dikatakan oleh David Krech

“The cognitive map of the individual is not, then, a photographic

representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal

construction in which certain objects, selected out by the individual for a

major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it

were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the

world that expresses his individual view of reality.”

Secara ringkas pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi

adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik

tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.

Ada beberapa subproses dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan

sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.

Subproses yang pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang

hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu

situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa

stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan

sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi,

interpretasi dan umpan balik (feedback).

Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :

1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan

dari luar, intensitasdan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga

mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut,

motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung

pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang

kompleks menjadi sederhana.

3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk

tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, dalam Alex Sobur, 2003).

Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan

terhadap informasi yang sampai.

Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi

seseorang antara lain :

1. Psikologi

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat

dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya

matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai

bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.

2. Famili

Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya.

Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di

dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap

dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.

3. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah

satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara

seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

Sementara itu, menurut DeVito (dalam Sobur, 2003) menyebutkan enam

proses yang mempengaruhi persepsi, yakni:

1. Teori kepribadian implisit

Teori pribadi implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang

diyakini seseorang dan mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada

orang lain (DeVito, dalam Sobur, 2003: 455).

Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang suatu sifat berkaitan

dengan sifat lainnya. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang

ketika membentuk kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

Karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personaliy theory

(Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455).

2. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy)

Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila Anda membuat ramalan atau

merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena Anda membuat

ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (DeVito, 1997:

89).

Jadi, ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan

atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya

dan bertindak seakan-akan itu benar, seperti disinggung di muka. Ada empat

langkah dasar dalam proses ini (DeVito, dalam Sobur, 2003: 457):

1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang

atau situasi. Misalnya kita meramalkan bahwa Pat adalah orang yang

canggung dalam komunikasi antarpribadi.

2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan

atau keyakinan kita benar. Misalnya di depan Pat kita bersikap seakan-

akan Pat memang orang yang canggung.

3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar),

keyakinan kita itu menjadi kenyataan. Misalnya, karena cara kita

bersikap di depan Pat, Pat menjadi tegang dan “salah-tingkah” serta

menunjukkan kecanggungan.

4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap

situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita.

Misalnya, kita menyaksikan kecanggungan Pat, dan ini memperkuat

keyakinan kita bahwa Pat memang orang yang canggung.

3. Aksentuasi perseptual

Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan

apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai itu lebih

tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra

argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang

yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini,

bukan karena orang yang kita sukai itu kelihatannya tampan dan pandai.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

4. Primasi resensi

Primasi resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat

urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar

pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian

mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi.

5. Konsistensi

Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang

memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis

di antara berbagai sikap dan hubungan antara mereka.

6. Stereotype

Stereotip mengacu kepada kecenderungan untuk mengembangkan dan

mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai

sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi

anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual

yang unik.

II.2.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi

dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi

nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna

jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:

110).

Komunikasi nonverbal pastilah merupakan kata yang sedang populer saat

ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh

gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak

(ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar

bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku,” begitu kata sebuah buku

yang populer (Nierenberg & Calero, 1971). Kita ingin bisa melihat apa yang ada

di balik pesan-pesan verbal yang “jelas” (DeVito, 2011: 193).

Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset

nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam

DeVito, 2011), yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk

menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.

Misalnya saja, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau

ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tanganAnda ke meja

untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan

komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum

yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin

tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan

kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang.

3. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau

mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan nonverbal.

Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat

gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan

sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda juga

mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) Anda

(misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan

bahwa Anda belum selesai berbicara.

4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja

mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.

Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau

mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan

adalah tidak benar.

5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi dan merumuskan

ulang makna dari pesan verbal, misalnya Anda dapat menyertai

pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda,

atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi

pesan verbal “Ayo kita pergi.”

6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat

menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misalnya, mengatakan “Oke”

dengan tangan Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

menganggukkan kepala untuk mengatakan “Ya” atau menggelengkan

kepala untuk mengatak “Tidak.”

Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal

dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006: 101-

110):

a. Kinesics

Ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.

Menurut Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (dalam DeVito, 2011) kedua periset

ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal, di antaranya:

1. Emblim

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung

menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, isyarat untuk

“Oke,” “Jangan ribut,” “kemarilah,” dan “Saya ingin menumpang.”

Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan

tertentu. Walaupun emblim bersifat alamiah dan bermakna, mereka

mempunyai kebebasan makna seperti sembarang kata apapun dalam

sembarang bahasa. Oleh karenanya, emblim dalam kultur kita

sekarang belum tentu sama dengan emblim dalam kultur kita 300

tahun yang lalu atau dengan emblim dalam kultur lain.

2. Ilustrator

Ilustratoradalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah

“mengilustrasikan” pesan verbal. dalam mengatakan “Ayo, bangun,”

misalnya, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan anda ke

arah menaik. Dalam menggambarkan lingkaran atau bujur sangkar

Anda mungkin sekali membuat gerakan berputar atau kotak dengan

tangan Anda. Begitu biasanya kita melakukan gerakan demikian

sehingga sukar bagi kita untuk menukar-nukarnya atau menggunakan

gerakan yang tidak tepat.

Kita hanya menyadari sebagian ilustrator yang kita gunakan. Kadang-

kadang ilustrator ini perlu kita perhatikan. Ilustrator bersifat lebih

alamiah, kurang bebas dan lebih universal daripada emblim. Mungkin

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

sesekali ilustrator ini mengandung komponen-komponen yang sudah

dibawa sejak lahir selain juga yang dipelajari.

3. Affect Display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung

makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa

takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Ekspresi

wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha

menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata,

“Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?” tetapi, kita dapat secara

sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memerankan

peran tertentu. Affect display kurang bergantung pada pesan verbal

daripada ilustrator. Selanjutnya, kita tidak secara sadar mengendalikan

affect display seperti yang kita lakukan pada emblim atau ilustrator.

Affect display dapat tidak disengaja—seperti ketika gerakan-gerakan

ini membuka rahasia kita—tetapi mungkin juga disengaja. Kita

mungkin ingin memperlihatkan rasa marah, cinta, benci, atau terkejut

dan biasanya kita mampu melakukannya dengan baik.

4. Regulator

Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur,” memantau,

memelihara atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda

mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif. Anda menganggukkan

kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata dan membuat

berbagai suara paralinguistik seperti “mm-mm” atau “tsk.” Regulator

jelas terikat pada kultur dan tidak universal. Regulator mengisyaratkan

kepada pembicara apa yang kita harapkan mereka lakukan–misalnya,

“Teruskanlah,” “Lalu apalagi?,” atau “Tolong agak lambat sedikit.”

Bergantung pada kepekaan mereka, mereka mengubah perilaku sesuai

dengan pengarahan dari regulator.

5. Adaptor

Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara

pribadi—atau di muka umum tetapi tidak terlihat—berfungsi

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai. Misalnya,

bila Anda sedang sendiri mungkin Anda akan menggaruk-garuk

kepala sampai rasa gatal hilang. Di muka umum bila orang-orang

melihat Anda melakukan perilaku adaptor ini hanya sebagian. Anda

mungkin misalnya, hanya menaruh jari Anda di kepala dan

menggerakkannya sedikit, tetapi barangkali tidak akan menggaruk

cukup keras untuk menghilangkam gatal.

Gambar II.1

Lima Gerakan Tubuh Sumber: (DeVito, 2011 : 206)

b. Gerakan Mata (Eye Gaze)

Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat

tanpa kata. Dari observasi puitis Ben Jonson’s “Drink to me only with thin eyes,

and I will pledge with mine” sampai ke observasi ilmiah para periset kontemporer

(Hess, Marshall, dalam DeVito, 2011), mata dipandang sebagai sistem pesan

nonverbal yang paling penting. Pesan-pesan yang dikomunikasikan oleh mata

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

bervariasi bergantung pada durasi, arah dan kualitas dari perilaku mata. Ada yang

menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan isi hati seseorang.

Mark Knapp dalam risetnya menemukan empat fungsi utama gerakan

mata, yakni:

1. Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya.

Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal

itu?.

2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya

waktu untuk bicara.

3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata

akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan.

Sebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghindari

terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau

berutang akan menghindari orang yang bisa menagihnya.

4. Sebagai pengganti jarak fisik. Bagi orang yang berkunjung ke suatu

pesta, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung,

maka melalui kontak mata mereka dapat mengatasi jarak pemisah yang

ada. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi

tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada

suatu obyek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada obyek itu

tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata

cenderung menjadi besar.

c. Sentuhan (Touching)

Sentuhan atau touch secara formal dikenal sebagai haptics, sentuhan ialah

menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Ini merupakan

bentuk pertama dari komunikasi nonverbal yang kita alami. Bagi seorang balita,

sentuhan merupakan alat utama untuk menerima pesan-pesan mengenai kasih

sayang dan kenyamanan. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental

komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri atau self-

presentation pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita dan bagian-

bagian tubuh lainnya untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul,

memegang, menggelitik dan memeluk. Melalui sentuhan, kita mengomunikasikan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

macam-macam emosi dan pesan. Dalam budaya Barat, orang berjabat tangan

untuk bergaul dan menunjukkan rasa hormat, menepuk seseorang di punggungnya

untuk memberi semangat, merangkul seseorang untuk menunjukkan kasih sayang,

bertepuk tangan sambil diangkat, menunjukkan solidaritas.

Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam (Cangara,

2006: 105) yakni :

1. Kinesthetic

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama

lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.

2. Sociofugal

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling

merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam

menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan

orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat

sentuhan pundak atau berpelukan.

3. Thermal

Ialah syarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu

emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya

menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.

Gambar II.2

Contoh sentuhan (touching) Sumber: www.google.com

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

Gambar II.3

Contoh sentuhan (touching) Sumber: (DeVito, 2011 : 222)

d. Paralanguage

Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga

penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya

“Datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar

basa-basi. Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung

dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa disalahartikan oleh

etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski menurut kata hatinya tidak

demikian, sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi etnik tersebut.

Ada pengendalian empat utama karakteristik vokal, yaitu (Budyatna,

2011):

1. Pola titinada

Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal.

Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal atau vocal pitch

dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan,

menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan.

2. Volume

Volume merupakan kerasnya atau lembutnya nada.

3. Kecepatan

Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang

berbicara.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

4. Kualitas

Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang.

e. Diam

Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode

nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak

semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan

sikap positif.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit untuk

diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap

diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain,

misalnya menyatakan “Tidak.” Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat

menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu diam tidak selamanya berarti

menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam

karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.

Untuk memahami sikap diam, kita perlu belajar terhadap budaya atau

kebiasaan-kebiasaan seseorang. Pada suku-suku tertentu ada kebiasaan tidak

senang menyatakan “Tidak” tetapi juga tidak berarti “Ya.” Diam adalah perilaku

komunikasi sekarang ini makin banyak dilakukan oleh orang-orang yang bersikap

netral dan mau aman.

f. Postur tubuh

Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel

(dalam Cangara, 2006: 106-107) dua orang ahli psikologi melalui studi yang

mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan

karakternya. Kedua ahli ini membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni

ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy

bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi dan atletis, dan

endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.

Pada tubuh yang bertipe ectomorphy dilambangkan sebagai orang yang

punya sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Bagi mereka yang tergolong

bertubuh mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat,

aktif dan kompetitif, sedangkan tubuh yang bertipe endomorphy digambarkan

sebagai pribadi yang humoris, santai dan cerdik.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

Gambar II.4

Tipe Postur Tubuh Sumber: (DeVito 2011 : 211)

g. Kedekatan dan Ruang (proximity and spatial)

Proximity adalah kode nonverbal yang menunjukkan kedekatan dari dua

obyek yang mengandung arti. Proximity dapat dibedakan atas territoryatau zone.

Edwart T. Hall (dalam Cangara, 2006: 107-108) membagi kedekatan menurut

territory atas empat macam, yaitu :

1. Wilayah intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18

inchi.

2. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak anatar 18 inchi hingga 4

kaki.

3. Wilayah sosial, ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki.

4. Wilayah umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai

12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.

Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari

sudut ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Sommer (dalam

Cangara, 2006: 108) dalam bukunya Leadership and Group Geography

menemukan, bahwa para pemimpin yang duduk di depan meja segi empat persegi

panjang, cenderung dipilih sebagai pimpinan kelompok, sedangkan Here dan

Bales (dalam Cangara, 2006: 108) menemukan bahwa orang yang banyak bicara

dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.

Hal yang mirip juga ditemukan oleh Flor (dalam Cangara, 2006: 109)

dalam risetnya, bahwa posisi meja para eksekutif pada suatu kantor senantiasa

cenderung pada posisi sudut ruang dibanding dengan karyawan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

Gambar II.5

Jarak Proksemik Sumber: (DeVito 2011 : 216)

h. Artifak dan Visualisasi

Hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para

antropolog dan arkeolog sudah lama memberi perhatian terhadap benda-benda

yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya, antara lain artifacts.

Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri

manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain

dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau

identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, pakaian dinas,

cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung

dan sebagainya.

i. Warna

Warna juga memberi arti terhadap suatu obyek. Di Indonesia, warna hijau

seringkali diidentikkan dengan warna Partai Persatuan Pembangunan, kuning

sebagai Golongan Karya dan merah sebagai warna partai Demokrasi Indonesia.

Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini

dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual

lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.

j. Waktu

Ungkapan “Time is Money” membuktikan bahwa waktu itu sangat penting

bagi orang yang ingin maju. Karena itu orang yang sering menepati waktu dinilai

sebagai orang yang berpikiran modern. Waktu mempunyai arti tersendiri dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan

seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi,

melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya.

Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan

pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita

berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi

orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau

masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir

mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang

lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang (Chen & Starosta, 1998

dalam Budyatna & Ganiem, 2011).

k. Bunyi

Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari

mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang

dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage.

Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur,

sirine dan sebagainya.

Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh

dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan

tentara, pandu dan sebagainya.

l. Bau

Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan

status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya

posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.

m. Gerakan wajah

Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga

kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman,

Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth (dalam DeVito, 2011) menyatakan

bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi”

berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan

kemuakan/penghinaan. Periset nonverbal Dele Leathers mengemukakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati

(DeVito, 2011: 208).

Gambar II.6

Contoh Ekspresi Wajah Sumber: www.google.com

Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi

nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang

berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance,

chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication

berkaitan dengan masalah penciuman (Verderber et al., dalam Budyatna dan

Ganiem, 2011).

• Budaya Maskulin dan Feminin

Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas,

berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang

baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya

“feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk

mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut.

Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat

mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya

maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk

segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan

masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan

antarpersonal. Anggota dari budaya feminin lebih suka untuk berkompromi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari

win-win solutions(Arrindell, Steptoe, & Wardle, dalam DeVito, 2009: 39).

• Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah

Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang

tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa

yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga,

ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang

ketidakpastian.

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi

ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak

pasti/diketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan

orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul (Hofstede; Lustig & Koester,

dalam DeVito, 2009: 39).

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan

toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari

ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak

mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian

sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. (Hofstede, dalam

DeVito, 2009: 39-40).

• Orientasi Kolektivis dan Individualis

Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan nilai-

nilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme,

dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan

penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya

bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat.

Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan

kelompok.

Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita

melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di

depan keramaian. Dalam budaya kolektifis, kesuksesan diukur dari kontribusi

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan

berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain.

(Han & Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41).

• Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah

Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim(dalam DeVito,

2009: 41) budaya konteks-tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya konteks-

rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang

kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan

eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis.

Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu

untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum

transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah

menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan

karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya konteks-

tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi

komunikasi. Menurut Basso (dalam DeVito, 2009: 41),diam, sebagai contoh

sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang

dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang

sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut

Gudykunst(dalam DeVito, 2009: 41) untuk anggota budaya konteks-tinggi,

ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi

personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis

sama.

II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT)

pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal

(NonverbalExpectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee

Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap

pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon

menghapus kata nonverbal karena sekarang teori ini juga mencakup isu-isu di luar

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di

akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam

mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku.

Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations Theory—EVT),

menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang

lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak

perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang

tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu.

Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian

khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan

jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti

dari teori ini (West dan Turner, 2009 : 154-155)

Hubungan Ruang

Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai

proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang

dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang.

Menurut Mark Knapp dan Judith Hall (dalam West dan Turner 2009) penggunaan

ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan.

Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon

memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi

dari pelanggaran ruang.

Burgoon (dalam West dan Turner, 2009) mulai dari sebuah premis bahwa

manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi.

Ruang personal (personal space), menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai

“sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi

seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang

terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya

bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain,

tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi

merupakan dilema yang realistis bagi kita. Sedikit orang dapat hidup dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan

privasi.

- Zona Proksemik

Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya

dari seorang antropolog Edward Hall (dalam West dan Turner, 2009). Setelah

mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara (di daerah Timur Laut), Hall

mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu:

1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0

sampai 18 inci (46 sentimeter). Hall (dalam West dan Turner, 2009)

mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku

yangbervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim)

hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya

digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat

menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal

yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada

dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama

pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha

untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim.

2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki,

digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall (dalam West dan

Turner 2009), perilaku dalam jarak personal (personal distance)

termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan

seseorang sejauh panjang lengan.

3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan

untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan

sekerja. Hall (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa jarak

sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang

kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit

jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masih dapat melihat tekstur

rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh

biasanya dikaitkan dengan orang yang harus berbicara lebih keras

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

dibandingkan dengan mereka yang ada di dalam fase dekat. Selain itu,

fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase

dekat. Fase jauh dari jarak sosial memungkinkan seseorang untuk

menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus.

4. Jarak publik, zona spasial yang berjarak 12 kaki atau lebih dan

digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang

dosen dan mahasiswa di dalam kelas.

- Kewilayahan

Kewilayahan (territoriality) adalah kepemilikan seseorang akan sebuah

area atau benda. Menurut Altman, Lyman & Scott (dalam West dan Turner, 2009:

157). Ada tiga jenis wilayah: primer, skunder dan publik. Wilayah primer

(primary territories) merupakan wilayah eksklusif seseorang. Contohnya, ruang

kerja seseorang atau komputer adalah wilayah primer. Wilayah sekunder

(secondary territories) menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah

area atau benda. Contohnya, banyak mahasiswa pascasarjana merasakan bahwa

perpustakaan kampus adalah wilayah sekunder mereka. Wilayah publik (public

territories) tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area-area yang

terbuka bagi semua orang—misalnya, pantai, taman, bioskop dan transportasi

umum.

Kewilayahan seringkali diikuti dengan pencegahan dan reaksi (Knapp &

Hall, dalam West dan Turner, 2009). Maksudnya, orang akan berusaha untuk

mencegah anda memasuki wilayah mereka atau akan memberikan respon begitu

wilayah mereka dilanggar. Beberapa geng menggunakan penanda wilayah untuk

mencegah geng lain melanggar wilayah kekuasaan mereka. Knapp & Hall melihat

bahwa jika suatu pencegahan tidak berfungsi dalam mempertahankan wilayah

seseorang, orang itu mungkin akan bereaksi dengan cara tertentu, termasuk

menjadi tertantang secara fisik maupun kognitif. Singkatnya, manusia biasanya

menandai wilayah mereka dengan empat cara: menandai (menandai wilayah kita),

melabeli (memberikan simbol untuk identifikasi), menggunakan tanda atau

gambar yang mengancam (menunjukkan penampilan dan perilaku yang agresif)

dan meduduki (mengambil tempat terlebih dahulu dan tinggal di sana untuk waktu

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

yang paling lama dari orang lain) (Knapp, dalam West dan Turner, 2009: 157-

158).

Gambar II.7

Contoh Kewilayahan Sumber: (DeVito 2011 : 220)

Asumsi Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan

ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam

sebuah percakapan. Selain itu, terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini (West

dan Turner, 2009 : 158):

• Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia

• Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari

• Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal

Asumsi pertama menyatakan bahwa orang memiliki harapan dalam

interaksinya dengan orang lain. Dengan kata lain, harapan mendorong terjadinya

interaksi. Harapan (expectancy) dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku

yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Judee

Burgoon dan Jerold Hale (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa ada

dua jenis harapan: prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional

(pre-interaksional-expectatio) mencakup jenis pengetahuan dan keahlian

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memulai sebuah

percakapan. Harapan interaksional (interaksional expectation) merujuk pada

kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang

mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah

percakapan.

Hal ini menuntun kita pada asumsi EVT yang kedua—bahwa orang

mempelajari harapannya melalui budaya secara luas dan juga individu-individu

dalam budaya tersebut. Misalnya, di Amerika hubungan antara profesor dengan

mahasiswa didasari rasa hormat profesional.

Individu-individu dalam sebuah budaya juga berpengaruh dalam

mengomunikasikan harapan. Burgoon dan Hale (dalam West dan Turner, 2009)

menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memperhatikan perbedaan-

perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah

hubungan kita dengan mereka dan observasi kita.

Asumsi yang ketiga terkait dengan prediksi yang dibuat oleh orang

mengenai komunikasi nonverbal. Pada titik ini, sangatlah penting untuk

menunjukkan sebuah pandangan yang terkandung dalam teori ini: orang membuat

prediksi mengenai perilaku nonverbal orang lain.

II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Pengurangan Ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan

Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam menyusun teori ini

adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi

ketidakpastian di antara orang asing yang tidak terlibat dalam pembicaraan satu

sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang

asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan

prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka.

Orang bertindak sebagai peneliti yang naif, dan Berges dan Calabrese berpikir

bahwa sebagai peneliti yang naif, kita termotivasi baik untuk memprediksi

maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan-perjumpaan awal.

Prediksi (prediction) dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk

memperkirakan pilihan-pilihan perilaku yang mungkin dipilih dari sejumlah

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

kemungkinan pilihan yang ada bagi diri sendiri atau bagi pasangan dalam suatu

hubungan. Penjelasan (explanation) merujuk kepada usaha untuk

menginterpretasikan makna dari tindakan yang dilakukan di masa lalu dari sebuah

hubungan. Dua konsep ini—prediksi dan penjelasan—menyusun dua subproses

utama dari pengurangan ketidakpastian.

Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian

berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan

pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal (seperti nada

suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan), pencarian

informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan

kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan

dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal.

Melalui aksioma dan teoromanya, URT (Uncertainty Reduction Theory)

mengemukakan sebuah pergerakan yang dinamis dari hubungan interpersonal

pada tahap-tahap awalnya. Teori ini telah digambarkan sebagai contoh berteori

secara orisinil dalam area komunikasi (Miller, 1981) karena teori ini

memperlihatkan konsep-konsep (seperti pencarian informasi, pembukaan diri)

yang secara khusus relevan terhadap mempelajari perilaku komunikasi (West dan

Turner, 2009: 173-176)

Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini

berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma

(axioms) atau kebenaran yang ditarik dari penelitian yang sebelumnya. URT

mengemukakan adanya tujuh aksioma dan dua aksioma tambahan. Sedangkan

dalam penelitian ini, aksioma yang berkaitan dengan topik penelitian adalah

aksioma yang kedua, yaitu “Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat

ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat

ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal.

Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.” (West dan Turner,

2009: 179)

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

II.2.5 Teori Kebohongan

David Buller dari AMC Cancer Research Center, Denver dan Judee

Burgoon dari University of Arizona, telah melakukan lebih dari selusin percobaan

dimana mereka meminta kepada partisipan untuk membohongi orang lain. Para

peneliti ini menerangkan bahwa orang sering kali menemukan diri mereka dalam

situasi dimana mereka membuat pernyataan yang kurang jujur guna menghindar

dari melukai perasaan atau menyerang orang lain, untuk menampilkan kualitas

terbaik mereka, untuk menghindar terlibat dalam suatu konflik, atau untuk

mempercepat atau memperlambat suatu hubungan (David Buller et al., dalam

Budyatna, 2011).

Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di bawah ini:

Anda telah berkencan dengan Pat selama hampir tiga tahun dan merasa

sangat dekat dalam hubungan Anda tersebut. Pat kuliah di kota yang

berbeda dan keduanya setuju untuk bisa berkencan dengan orang lain.

Namun demikian, Pat orangnya sangat besar cemburunya dan suka

menguasai. Selama kuliah Anda hanya mengunjungi Pat sekali-sekali

tetapi saling menelepon setiap hari Minggu dan berbicara di telepon

berjam-jam lamanya. Pada hari Jumat salah seorang teman Anda

mengundang Anda untuk pergi ke pesta malam minggu, tetapi pesta itu

mengisyaratkan harus dengan pasangan, makanya Anda perlu berkencan

dengan wanita lain untuk diajak ke pesta. Tidak mungkin Pat bisa datang

selama libur ke tempat Anda. Anda memutuskan untuk mengajak teman

sekelas yang Anda juga tertarik padanya sehingga Anda bisa pergi ke

pesta. Anda berdua pergi ke pesta dan sangat menikmati pesta itu. Pada

Minggu sore, ada yang mengetuk pintu kamar Anda dan ternyata Pat. Ia

masuk dan berkata “Saya memutuskan untuk datang dan mengejutkan

kamu. Saya telah menelepon kamu tadi malam, tetapi HP kamu tidak aktif.

Apa yang sedang kamu lakukan tadi malam?” (Steven McCornack, 1992).

Buller dan Burgoon membicarakan tiga tipe respon yang Anda akan

berikan jika Anda memutuskan untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya.

Pertama, Anda dapat berbohong: “Saya sedang di perpustakaan mempersiapkan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

ujian teori komunikasi.” Kedua, Anda dapat menceritakan hanya sebagian

kebenaran dengan membuang bagian-bagian yang penting: “Saya pergi ke pesta di

apartemen seorang teman.” Ketiga, Anda bisa dengan sengaja memberikan

jawaban yang samar-samar atau bersifat mengelak: “Saya lagi keluar sebentar.”

Menurut petunjuk pihak lain yang mempelajari kebohongan verbal, Buller

dan Burgoon menamakan tiga strategi dengan label falsifikasi, dan dalih atau

falsification, concealment and equivocation. Beda ketiganya ialah bahwa

falsifikasi menciptakan khayalan, menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih

mengelak atau menghindar dari masalah itu. Ketiganya itu berada dalam payung

mengenai konsep kebohongan atau concept of deception, dimana Buller dan

Burgoon mendefenisikan sebagai “sebuah pesan yang secara sadar disampaikan

oleh si pengirim untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu

pada diri penerima” (Buller and Burgoon, dalam Budyatna, 2011)

Granhag dan Stromwall (dalam Budyatna, 2011) membedakannya antara

falsifikasi, distorsi dan penyembunyian atau falsification, distortions and

concealments. Falsifikasi merupakan kebohongan total dimana segala sesuatu

yang diceritakan merupakan kebalikan daripada keadaan yang sebenarnya.

Distorsi berangkat dari kebenaran tetapi kurang lebih telah diubah agar sesuai

dengan tujuan orang yang berbohong dan dalam kategori ini sering mendapat hal-

hal yang berlebihan. Penyembunyian, dimana si pembohong mengatakan tidak

tahu walaupun ia tahu atau ia mengatakan tidak ingat walaupun ia ingat, yakni ia

dapat menyembunyikan kebenaran. Menurut kedua penulis ini apa yang

dikemukakan di atas merupakan kebohongan yang serius dan bukan merupakan

kebohongan sosial atau social lies atau dinamakan juga kebohongan yang putih

atau white lies yang kebanyakan orang mengatakannya dalam kehidupan sehari-

hari baik ditujukan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Misalnya, “Ah,

bagus amat gaya rambut Anda,” “Hari ini Anda kelihatan cantik,” dan yang

ditujukan kepada diri sendiri: “Saya tidak pernah berkhayal mengenai orang lain.”

Kembali kepada kasus Pat dengan kekasihnya. Apakah Pat dapat melihat

kebohongan itu?. Teori kebohongan antarpribadi mengatakan tidak. Walaupun

kebanyakan orang yakin mereka bisa melihat kebohongan itu, adalah sangat

diragukan bahwa mitra romantis yang pencemburu merupakan kekecualian

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

(Gerald Miller & James Stiff, dalam Budyatna, 2011). Berangkat dari asumsi yang

populer bahwa komunikasi nonverbal sulit untuk berpura-pura, Pat agaknya akan

mengamati ekspresi wajah Anda dan mendengarkan nada suara Anda untuk

memperkuat atau melemahkan jawaban Anda. Kebijakan umum memberikan

pembenaran untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal bagi isyarat kebohongan.

Apabila orang tidak mau menatap langsung ke mata Anda, kita berasumsi bahwa

orang itu telah menyembunyikan sesuatu. Kita juga cenderung percaya bahwa

tertawa dengan gugup dan berbicara tergesa-gesa mencerminkan rasa takut

ketahuan dalam berbohong.

Meskipun pemikiran seperti ini merupakan hal yang umum dan wajar,

sejumlah besar penelitian mengenai kebohongan menunjukkan bahwa isyarat

nonverbal khusus ini bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya mengenai

kebohongan (Miron Zuckerman & Robert Driver, dalam Budyatna, 2011). Orang

tertawanya tertekan atau tertawa kecil, orang yang bicaranya tergesa-gesa

berusaha menghindar dari kontak mata seperti halnya akan menceritakan

kebenaran seperti seseorang yang menampilkan isyarat-isyarat yang diterima

umum mengenai kesungguhan atau ketulusan hati. Ketika diadakan pengujian di

laboratorium jarang orang yang mencapai lebih dari 60% ketepatan dalam

kemampuannya menangkap kebohongan, sedangkan hanya secara kebetulan 50%

tingkat pendeteksian adalah umum. Jadi, agaknya bahwa Pat tidak akan pernah

tahu secara pasti apa yang Anda lakukan dan bagaimana perasaan Anda pada

malam minggu itu (E.M. Griffin, dalam Budyatna, 2011).

Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi

antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu

mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi

sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk

menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat

dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu

memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk

mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan,

motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan

faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai

hasilnya. Di dalamnya mereka melakukan pendekatan terhadap masalah secara

relasional, mempertimbangkan saling pertukaran mengenai kebohongan dari

perspektif diadik dan dialogik daripada perspektif monodik dan monologik.

Mereka mengakui sifat kerja sama mengenai episode kebohongan, seperti

tindakan-tindakan komunikasi dari mereka yang berinteraksi bukan hanya proses-

proses psikologi mereka, merupakan prasyarat bagi perilaku dan interpretasi.

Sebagai tambahan, persyaratan kognitif dan perilaku khusus yang menyertai

partisipasi aktif ikut diperhitungkan pula. Singkatnya, Buller dan Burgoon

menggabungkan prinsip-prinsip kebohongan dengan prinsip-prinsip komunikasi

antarpribadi.

Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan

antarpribadi atau interpersonal deception theory (IDT) masih dalam tahap-tahap

perkembangan (Buller & Burgoon, Burgoon, Burgoon & Buller, dalam Budyatna,

2011). Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi

antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan.

Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian

yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang

yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan,

kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan

diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan.

Kebohongan atau deception didefenisikan sebagai pesan yang secara sadar

disampaikan oleh pengirim atau sender untuk membantu mengembangkan

keyakinan atau kesimpulan yang salah oleh penerima (Ekman and Knapp &

Comadena, dalam Budyatna, 2011). Lebih spesifiknya kebohongan terjadi apabila

para komunikator mengendalikan informasi berisikan pesan-pesan mereka untuk

menyampaikan sebuah makna yang menyimpang dari kebenaran sebagaimana

mereka mengetahui atau menyadarinya. Ini berarti menyampingkan kesalahan

atau kebohongan yang tidak dimaksudkan. Mitra penerima mengenai kebohongan

yaitu pengirim dirasakan sebagai berbohong atau mencurigakan. Kecurigaan atau

suspicion mengacu kepada keyakinan yang dianut tanpa bukti yang cukup untuk

menjamin kepastian, bahwa ucapan atau tindakan seseorang dapat ditandai

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53994/4/Chapter II.pdf · II.1 Paradigma Penelitian . Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma

sebagai bermuka dua. Kecurigaan terletak di antara kebenaran dan kebohongan,

yakni penerima yang curiga tidak merasa pasti apakah pengirim pesan

menceritakan hal yang benar atau bohong. Sebagaimana pendekatan para

penerima apakah ekstrem mengenai kepastian, ketidakpastian memberi jalan bagi

kepastian yang baik dan kecurigaan menjadi berubah ke dalam keyakinan yang

mantap tentang kebenaran pengirim, yaitu, penerima “tahu” pengirim adalah jujur

atau bohong.

II.3 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka berpikir (framework of thinking) sama dengan

kerangka teoritis (theoritical framework). Menurut Uma Sekaran dalam bukunya

yang berjudul Research Methods for Business (2000) mengatakan bahwa,

kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana

teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali

(diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel

atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab

timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan.

Kerangka berpikir akan menjelaskan secara teoritis antar variabel yang

sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antar variabel bebas

(independent) dan variabel tak bebas (dependent) (Supranto, 2003 : 324).

Kerangka Pemikiran:

Teori Pelanggaran

Harapan

Teori Kebudayaan

Komunikasi Nonverbal Dosen

Teori Pengurangan

Ketidakpastian

Teori Kebohongan

persepsi mahasiswa tentang gambaran

komunikasi nonverbal dosen

bentuk-bentuk komunikasi nonverbal

dosen

Universitas Sumatera Utara