bab ii kajian pustaka a. kajian teori 1. pembelajaran ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/552/2/bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika
a. Belajar
Menurut Winkel (1987: 36) mendefinisikan belajar sebagai
suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
individu dengan sumber belajarnya, yang menghasilkan sejumlah
perubahan. Perubahan-perubahan itu bersifat tetap yang meliputi
perubahan pengetahuan atau pemahaman, keterampilan dan nilai
sikap. Menurut Hudojo (2005: 83), belajar merupakan proses dalam
memperoleh pengetahuan baru sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku dalam proses belajar
terjadi karena interaksi dengan lingkungan (Hamalik, 2008: 28).
Sudjana (1987: 17) juga menyatakan bahwa belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang
yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan
pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan,
kecakapan, kemampuan dan aspek lain yang ada pada diri individu.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian belajar di atas, dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan peroses dalam memperoleh
pengetahuan baru sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan pada
dirinya yang ditunjukan dalam beberapa bentuk perubahan dalam
10
dirinya dan perubahan dalam dirinya akibat interaksi dengan
lingkungan yang menghasilkan sebuah perubahan.
b. Pembelajaran
Menurut Suherman (2001: 9) pembelajaran adalah proses
pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga arti proses
pembelajaran adalah proses sosialisasi individu siswa dengan
lingkungan sekolah, seperti guru dan teman sesama siswa. Menurut
Usman, (2002: 4) pembelajaran merupakan proses yang mengandung
serangkaian tindakan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan
tertentu. Mulyasa (2007: 14) juga berpendapat bahwa pembelajaran
merupakan proses yang sengaja direncanakan dan dirancang
sedemikian rupa dalam rangka memberikan bantuan bagi terjadinya
proses belajar. Guru berperan sebagai perencana, pelaksana, dan
penilai (evaluasi) pembelajaran.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan pembelajaran
merupakan proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan
sekolah, seperti guru, teman sesama siswa, dan sumber belajar dalam
situasi edukatif sehingga menghasilkan perubahan yang relatif tetap
pada pengetahuan dan tingkah laku untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dimana guru berperan sebagai perencana, pelaksana,
dan penilai (evaluasi) pembelajaran.
11
c. Matematika
Menurut James yang dikutip oleh Suherman, dkk. (2003: 19),
mengatakan matematika adalah ilmu logika mengenai bentuk,
susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan
yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga
bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri. Hudojo (2005: 36)
mengartikan matematika sebagai ilmu yang berkenaan dengan ide-ide
atau gagasan-gagasan, struktur-struktur dan hubungannya yang diatur
secara logis, bersifat abstrak, penalarannya deduktif dan dapat
memasuki wilayah cabang ilmu lainnya. Menurut Johnson dan Rising
(Suherman, dkk., 2001: 19) matematika adalah pola berfikir, pola
mengorganisasikan, pembuktian yang logis.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah suatu ilmu terstruktur yang berkenaan dengan pola
berfikir, struktur-struktur, dan hubungan-hubungan yang berkaitan
dengan konsep-konsep abstrak terstruktur dan terorganisir secara
sistematis dalam rangkaian urutan yang logis. Matematika terbagi ke
dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri.
d. Pembelajaran Matematika
Hudojo (2005: 135) menyatakan bahwa pembelajaran
matematika berarti pembelajaran tentang konsep-konsep atau struktur-
struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta mencari
hubungan-hubungan antara konsep-konsep atau struktur-struktur
12
tersebut. Menurut Harta (2006: 4) pembelajaran matematika ditujukan
untuk membina kemampuan siswa diantaranya dalam memahami
konsep matematika, menggunakan penalaran, menyelesaikan masalah,
mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai
terhadap matematika. Sedangkan menurut Sumarmo (2004: 5)
pembelajaran matematika diarahkan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir matematis, yang meliputi pemahaman,
pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koreksi matematis,
kritis serta sikap yang terbuka dan objektif.
Dalam pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk
memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang
dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi).
Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh diharapkan siswa
mampu menangkap pengertian suatu konsep (Suherman, dkk, 2001:
55).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika adalah mengembangkan kemampuan berpikir matematis,
yang meliputi pemahaman, pemecahan masalah, penalaran,
komunikasi, dan koreksi matematis, kritis serta sikap yang terbuka
dan objektif. Sehingga dalam pembelajaran matematika, siswa
dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui sebuah
pengalaman berupa konsep-konsep atau struktur-struktur yang
terdapat dalam bahasan yang dipelajari.
13
2. Pembelajaran Project Based Learning
Menurut Thomas dikutip oleh Wena (2009: 144) “pembelajaran
Project-based learning (PJBL) merupakan model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di
kelas dengan melibatkan kerja proyek”. Kerja proyek memuat tugas-tugas
yang kompleks menuntut siswa untuk merancang, memecahkan masalah,
membuat keputusan, melakukan investigasi serta memberi kesempatan
kepada siswa untuk bekerja secara mandiri. Menurut Trianto (2007: 51)
model pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar
untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat
bagi siswa.
Dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik terdorong lebih
aktif dalam belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, mengevaluasi produk
hasil kerja peserta didik yang ditampikan dalam hasil proyek yang
dikerjakan, sehingga menghasilkan produk nyata yang dapat mendorong
kreativitas siswa agar mampu berpikir kritis dalam menganalisa faktor
dalam konsep masalah ekonomi. Menurut Wena (2009: 152) model
pembelajaran Project Based Learning adalah pendekatan pembelajaran
yang memperkenankan peserta didik untuk bekerja mandiri dalam
mengkonstruksi pembelajarannya dan menerapkannya dalam produk
nyata. Sedangkan menurut Trianto (2007: 42) Project Based Learning
adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang
14
menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang
kompleks.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran Project Based Learning merupakan model pembelajaran
yang memberi kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di
kelas dengan melibatkan kerja proyek dimana peserta didik bekerja secara
mandiri dalam mengkonstruksi pembelajarannya dan menerapkannya
dalam produk nyata, sehingga siswa lebih tertarik dan bermanfaat.
Menurut Rais (2010: 8-9) langkah-langkah model pembelajaran
Project Based Learning adalah sebagai berikut:
a) Membuka pelajaran dengan suatu pertanyaan menantang (start with
the big question)
Pembelajaran dimulai dengan sebuah pertanyaan driving
question yang dapat memberi penugasan pada peserta didik untuk
melakukan suatu aktivitas. Topik yang diambil hendaknya sesuai
dengan realita dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi
mendalam.
b) Merencanakan proyek (design a plan for the project)
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dengan
peserta didik. Dengan demikian peserta didik diharapakan akan merasa
memiliki atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main,
pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab
pertanyaan esensial dengan mengintegrasikan berbagai subjek yang
15
mendukung, 16 serta menginformasikan alat dan bahan yang dapat
dimanfaatkan untuk menyelesaikan proyek.
c) Menyusun jadwal aktivitas (create a schedule)
Guru dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal
aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Waktu penyelesaian proyek
harus jelas, dan peserta didik diberi arahan untuk mengelola waktu
yang ada. Biarkan peserta didik mencoba menggali sesuatu yang baru,
akan tetapi guru juga harus tetap mengingatkan apabila aktivitas
peserta didik melenceng dari tujuan proyek. Proyek yang dilakukan
oleh peserta didik adalah proyek yang membutuhkan waktu yang lama
dalam pengerjaannya, sehingga guru meminta peserta didik untuk
menyelesaikan proyeknya secara berkelompok di luar jam sekolah.
Ketika pembelajaran dilakukan saat jam sekolah, peserta didik tinggal
mempresentasikan hasil proyeknya di kelas.
d) Mengawasi jalannya proyek (monitor the students and the progress of
the project)
Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap
aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring
dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik pada setiap proses.
Dengan kata lain, guru berperan sebagai mentor bagi aktivitas peserta
didik. Guru mengajarkan kepada peserta didik bagaimana bekerja
dalam sebuah kelompok. Setiap peserta didik dapat memilih perannya
masingmasing dengan tidak mengesampingkan kepentingan kelompok.
16
e) Penilaian terhadap produk yang dihasilkan (assess the outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur
ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan
masingmasing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat
pemahaman yang sudah dicapai oleh peserta didik, serta membantu
guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya. Penilaian
produk dilakukan saat masing-masing kelompok mempresentasikan
produknya di depan kelompok lain secara bergantian.
f) Evaluasi (evaluate the experience)
Pada akhir proses pembelajaran, guru dan peserta didik
melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah
dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun
kelompok. Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk mengungkapkan
perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek.
Menurut Thomas sebagaimana yang dikutip Wena (2009:145), PjBL
memiliki prinsip sebagai berikut.
a. Prinsip sentralistis (centrality) menegaskan bahwa kerja proyek
merupakan esensi dari kurikulum. Model ini merupakan pembelajaran
dimana siswa belajar konsep utama dari suatu pengetahuan melalui
kerja proyek. Oleh karena itu, kerja proyek bukan merupakan praktik
tambahan dan aplikasi praktis dari konsep yang sedang dipelajari,
melainkan menjadi sentral kegiatan pembelajaran di kelas.
17
b. Prinsip pertanyaan penuntun (driving question) berarti bahwa kerja
proyek berfokus pada pertanyaan atau permasalahan yang dapat
mendorong siswa untuk berjuang memperoleh konsep atau prinsip
utama.
c. Prinsip investigasi konstruktif (constructive investigation) merupakan
proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan, yang mengandung
kegiatan inkuiri, pembangunan konsep, dan resolusi. Penentuan jenis
proyek haruslah dapat mendorong siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan sendiri untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dalam hal ini guru harus mampu merancang suatu kerja proyek yang
mampu menumbuhkan rasa ingin meneliti, rasa untuk berusaha
memecahkan masalah, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
d. Prinsip otonomi (autonomy) dalam pembelajaran berbasis proyek
dapat diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan
proses pembelajaran, yaitu bebas menentukan pilihannya sendiri,
bekerja dengan minimal supervisi, dan bertanggung jawab. Oleh
karena itu, lembar kerja siswa, petunjuk kerja praktikum, dan yang
sejenisnya bukan merupakan aplikasi dari PjBL. Dalam hal ini guru
hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator untuk mendorong
tumbuhnya kemandirian siswa.
e. Prinsip realistis (realism) berarti bahwa proyek merupakan sesuatu
yang nyata. PjBL harus dapat memberikan perasaan realistis kepada
siswa dan mengandung tantangan nyata yang berfokus pada
18
permasalahan autentik, tidak dibuat-buat, dan solusinya dapat
diimplementasikan di lapangan.
Implementasi pembelajaran matematika menggunakan model
Project Based Learning pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan pendahuluan
1) Guru memeriksa kondisi kelas dan kehadiran peserta didik.
2) Guru memberitahukan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
3) Guru menjelaskan tentang model pembelajaran yang digunakan
yaitu model PjBL.
4) Guru memberikan motivasi.
5) Guru memberikan apersepsi untuk menggali pengetahuan
prasyarat.
b. Kegiatan Inti
1) Guru meminta peserta didik untuk duduk berkelompok sesuai
kelompok yang telah ditentukan.
2) Guru memberikan Lembar Kerja Kelompok untuk dikerjakan
berkelompok. Saat mengerjakan guru membebaskan siswa dalam
mengerjakan proyeknya.
3) Guru memantau jalannya proyek.
4) Guru meminta salah satu kelompok mempresentasikan hasil
proyeknya di depan, kelompok lain menanggapi dan menghargai
pendapat jawaban kelompok yang sedang menyampaikan di depan.
19
5) Membahas bersama-sama dengan siswa jawaban yang telah
dipresentasikan.
6) Apabila semua kelompok telah mendapat kesempatan untuk
mempresentasikan hasil proyeknya, kemudian peserta didik
diminta mengerjakan LKPD sebagai tindak lanjut dari proyek
tersebut.
c. Kegiatan penutup
1) Guru membimbing peserta didik untuk menarik kesimpulan.
2) Guru memberikan kuis untuk dikerjakan secara individu oleh
peserta didik.
3) Guru memberikan PR.
4) Guru melakukan refleksi.
3. Model Pembelajaran Konvensional
Menurut Djamarah dalam Iyas (2010: 1) model pembelajaran
konvensional adalah model pembelajaran tradisional atau disebut juga
dengan model ceramah, karena sejak dulu model ini telah dipergunakan
sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses
belajar dan pembelajaran. Sedangkan menurut Freire dalam Iyas (2010: 1-
2) istilah terhadap pengajaran konvensional sebagai suatu
penyelenggaraan pendidikan ber“gaya bank” penyelenggaraan pendidikan
hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus
“ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal. Menurut Irawadi
dalam Sari (2015: 107) model pembelajaran konvensional merupakan
20
model pembelajaran di mana dalam kegiatan belajar mengajar aktivitasnya
lebih banyak didominasi oleh guru dibandingkan aktivitas siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka model pembelajaran
konvensional merupakan model di mana dalam kegiatan belajar mengajar
aktivitasnya lebih banyak didominasi oleh guru, selain itu sebagai alat
komunikasi antara guru dengan siswa dalam pembelajaran dan siswa
hanya bisa mengingat dan menghafal.
4. Kemampuan Pemecahan Masalah
Masalah didefinisikan sebagai suatu situasi, saat seseorang diminta
menyelesaikan suatu persoalan yang belum pernah dikerjakannya dan cara
pemecahannya belum diketahuinya (Yaya, 2004: 3). Sukirman (2005: 4)
menyatakan bahwa masalah matematika dapat diklarifikasikan dalam dua
jenis, yaitu:
a. Masalah mencari (problem to find), yaitu mencari, menentukan, atau
mendapat nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan
memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal.
Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang
memenuhi soal, dan data atau informasi yang diberikan merupakan
bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus
dipahami serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.
b. Masalah membuktikan (problem to prove), yaitu untuk menentukan
apakah suatu pertanyaan benar atau tidak benar. Soal membuktikan
terdiri dari hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan
21
membuat atau memproses pernyataan yang logis dan hipotesis menuju
kesimpulan. Sedangkan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan
tidak benar, cukup diberikan contoh penyangkalannya sehingga
pernyataan tersebut menjadi tidak benar.
Pemecahan masalah dapat dipandang sebagai manipulasi informasi
secara sistematis, langkah demi langkah, dengan mengolah informasi yang
diperlukan melalui pengamatan untuk mencapai suatu hasil pemikiran
sebagai respon terhadap problem yang dihadapi (Nasution, 2006: 7). Polya
(Firdaus 2009: 15) mengartikan bahwa pemecahan masalah adalah
kemampuan menyelesaikan masalah dalam matematika dengan
menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan langkah-langkah yaitu:
memahami masalah, menyusun rencana, dan memeriksa kembali.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika
yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun
penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman
menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin (Suherman,
2001: 83). Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika yang
penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola,
penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain-lain dapat
dikembangkan secara lebih baik.
Pentingnya kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam
matematika ditegaskan juga oleh Branca (Firdaus 2009: 20), yaitu:
22
1) Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum
pengajaran matematika.
2) Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi
merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika.
3) Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar
matematika.
Berdasarkan pada dokumen Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas
Nomor 506/C/Kep/PP/2004 (2004: 583-584) dimuat beberapa indikator
kemampuan pemecahan masalah matematis yaitu:
a) Pemahaman masalah,
b) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan,
c) Menyajikan masalah secara tematik dalam segala bentuk,
d) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat,
e) Merencanakan strategi pemecahan masalah,
f) Membuat dan menafsirkan metode matematika dari suatu masalah, dan
g) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Indikator kemampuan pemecahan masalah juga diungkapkan oleh
BNSP (2006: 140) meliputi kemamapuan:
(1) Memahami masalah,
(2) Merancang model matematika,
(3) Menyelesaikan masalah,
(4) Menafsirkan solusinya.
23
Berdasarkan uraian di atas, kemampuan pemecahan masalah
matematis merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
matematika terkait dunia nyata melalui kegiatan memahami, menemukan
strategi, menerapkan strategi, dan mengevaluasi kembali strategi yang
ditemukan.
5. Hasil Belajar Matematika
Menurut Bloom dalam Suprijono (2013: 6), hasil belajar mencakup
kemampuan kongnitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar terdiri dari
informasi verbal, ketrampilan intelek, kerampilan motorik, sikap, dan
strategi kongnitif (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 14). Menurut Sudjana
dalam Sari (2015: 106) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar.
Pengertian matematika menurut Suherman dkk (2003: 21)
menyatakan bahwa matematika salah satu ilmu dasar yang terus
berkembang, baik materi maupun kegunaan. Matematika adalah ilmu
tentang bilangan, hubungan antar bilangan, dan prosedur operasional yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah mengenai bilangan dengan objek
abstrak yang diatur secara logis yang didapat dengan berpikir (Nawi,
2012: 84). Sedangkan menurut Herman dalam Maonde (2011: 22-23),
bahwa matematika seringkali dilukiskan sebagai suatu ilmu yang
bersistem deduktif, sistem deduktif yang dimulai dengan memilih
beberapa unsur-unsur primitif.
24
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
matematika adalah hasil yang telah dicapai seseorang setelah mengikuti
proses pembelajaran matematika, serta mendapatkan suatu ilmu dasar
tentang bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang
bersistem deduktif untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konteks pembelajaran matematika, hasil belajar matematika
memiliki indikator pencapaian kompentensi yang dapat diukur dengan
cara-cara tertentu. Berikut ini adalah indikator dan cara mengungkapkan
hasil belajar meliputi:
a. Indikator Hasil Belajar
Indikator pencapaian kompetensi (Akbar, 2013: 10) adalah
penanda perubahan nilai, pengetahuan, sikap, ketrampilan, dan prilaku
yang dapat diukur. Indikator digunakan sebagai dasar untuk
mengembangkan tujuan pembelajaran, substansi materi, sumber dan
media, serta alat penilaian.
Dalam konteks pembelajaran matematika, hasil belajar memiliki
indikator yang juga dapat diukur melalui cara-cara tertentu. Beberapa
indikator dan kemungkinan cara memperoleh ukuran dan data hasil
belajar siswa di SMP Negeri 3 Sewon. Dapat dilihat pada Lampiran
1.1.
b. Batasan Minimal Hasil Belajar
Batasan minimal hasil belajar merupakan suatu kiat yang
diperlukan guru dalam menetapkan batasan minimal keberhasilan
25
belajar siswanya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam mempertimbangkan
batasan terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas
bukanlah perkara mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti
keberhasilan yang meliputi ranah kongnitif, afektif dan psikomotor
siswa.
Menetapkan batasan minimum keberhasilan belajar siswa sangat
berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa
alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah
mengikuti proses pembelajaran. Diantara norma-norma pengukuran
tersebut adalah (Syah, 2014: 150):
1) Norma skala angka dari 0 sampai 10;
2) Norma skala angka dari 10 sampai 100.
Berdasarkan penjelasan tentang batasan minemal hasil
pembelajaran matematika, peneliti menerapkan batas yang harus dicapai
oleh suatu kelompok eksperimen yaitu batas minimal hasil pembelajaran
sesuai dengan KKM di sekolh tersebut sebesar 75.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan uraian yang sistematis tentang hasil-
hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang terkait dengan
penelitian yang akan dilakukan.
1. Penelitian berjudul “Keefektifan Project Based Learning Pada Pencapaian
Kemampuan Pemecahan Masalah Peserta Didik Kelas X SMK Materi
Program Linear” (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Negeri 9 Semarang
26
Tahun Pelajaran 2012/2013) oleh Putriari (2013). Berdasarkan hasil
penelitian ini model Project Based Learning pada pencapaian kemampuan
pemecahan masalah, diperoleh simpulan sebagai berikut:
a. Kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang memperoleh
PjBL mampu mencapai ketuntasan klasikal.
b. Peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan model PjBL
memiliki kemampuan pemecahan masalah lebih baik dibandingkan
peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran ekspositori.
c. Ada pengaruh positif dalam aktivitas belajar peserta didik yang
mengikuti pembelajaran dengan model PjBL terhadap kemampuan
pemecahan masalah peserta didik pada materi program linear.
Aktivitas peserta didik mempengaruhi nilai hasil belajar aspek
kemampuan pemecahan masalah sebesar 32,26% oleh persamaan
regresi.
2. Penelitian berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning) dalam Materi Pola Bilangan Kelas VII” oleh
Widyantini (2014). Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
pembelajaran yang menggunakan model Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning) memberi pengaruh terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa, karena ada perbedaan yang
signifikan antara peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis
27
Proyek (Project Based Learning) dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional
3. Penelitian berjudul “Keefektifan Project Based Learning Dalam Proses
Pembelajaran Mengoperasikan Aplikasi Perangkat Lunak” oleh Astuti
(2013). Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pencapaian
keefektifan Project Based Learning dalam proses pembelajaran
mengoperasikan aplikasi perangkat lunak sebagai berikut:
a. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran mengoperasikan apikasi
perangkat lunak termasuk dalam kategori baik (75,53%).
b. Pengalaman belajar siswa dengan proses pembelajaran
mengoperasikan apikasi perangkat lunak tergolong dalam katagori
baik (46,81%).
c. Eksplorasi siswa dalam proses pembelajaran mengoperasikan aplikasi
perangkat lunak tergolong dalam kategori baik (77,70%).
C. Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan
dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Untuk menghasilkan peserta
didik yang memiliki kompetensi yang handal dalam pemecahan masalah
dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang tepat. Salah satu model
pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah adalah Project Based Learning (PjBL). Model PjBL dipilih karena
diharapkan pembelajaran proyek dapat menarik perhatian dan minat peserta
didik serta memberi kebebasan pada peserta didik untuk bereksplorasi
28
merencanakan aktivitas belajar, melaksanakan proyek secara kolaboratif, dan
pada akhirnya menghasilkan suatu hasil produk.
Secara lebih rinci, model PjBL mengikuti enam langkah utama yaitu:
(1) menetapkan tema proyek, (2) merencanakan proyek, (3) menyusun jadwal
aktivitas, (4) melaksanakan proyek, (5) penilaian terhadap hasil produk, dan
(6) evaluasi. Keenam langkah tersebut mengandung interpretasi bahwa dalam
pengerjaan proyek, peserta didik dapat berkolaborasi dan melakukan
investigasi dalam kelompok kolaboratif antara 4-6 orang. Keterampilan-
keterampilan yang dituangkan dalam aktivitas belajar selama melaksanakan
proyek membuat pembelajaran menjadi aktif karena setiap individu diberi
kesempatan untuk menunjukkan keterampilan yang mereka miliki dalam kerja
tim. Pembelajaran secara aktif dapat mendorong peningkatan aktivitas belajar
siswa. Pembelajaran dengan menggunakan model PjBL memberikan
kesempatan pada siswa untuk berdiskusi dalam kelompok, masing- masing
kelompok harus bisa menjamin bahwa setiap anggota kelompoknya
memahami materi yang dibelajarkan pada saat itu sehingga apabila semua
kelompok memahami materi maka siswa dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Selain itu dengan diterapkannya model PjBL akan meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa karena melalui proyek yang merupakan pusat dari
strategi pembelajaran, siwa dituntut untuk terlibat dalam tugas-tugas
pemecahan masalah serta pembelajaran khusus bagaimana menemukan dan
memecahkan masalah. Pembelajaran dengan model PjBL juga dapat menarik
minat siswa sehingga siswa akan termotivasi untuk terus bersemangat
29
menggali pengetahuannya, sedangkan pada pembelajaran konvensional guru
hanya sebatas memberikan contoh-contoh soal, kegiatan pembelajaran lebih
terpusat pada guru sehingga siswa lebih pasif dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu kemampuan pemecahan masalah siawa yang
mendapat pembelajaran dengan model PjBL akan lebih baik daripada dengan
model konvensional.
Diterapkannya model PjBL juga akan meningkatkan aktivitas belajar
siswa karena semua aktivitas berpusat pada siswa. Guru dalam hal ini hanya
bertugas sebagai fasilitator yang dituntut untuk memantau jalannya proyek.
Melalui proyek tersebut, diharapkan siswa akan menemukan esensi dari materi
yang sedang dipelajari.
Pembelajaran PjBL akan memberikan kesempatan pada siswa sebagai
pembelajar untuk menyelidiki topik permasalahan, membuat siswa menjadi
lebih otonomi sehingga mereka dapat membangun pengetahuan mereka
sendiri serta pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal tersebut sesuai
dengan teori konstruktivis yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky
bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuan
mereka sendiri.
Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki model PjBL, maka
model tersebut diduga efektif untuk diterapkan, sehingga hasil belajar siswa
aspek pemecahan masalah dapat mencapai ketuntasan klasikal, kemampuan
pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model PjBL
lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
30
konvensional, serta aktivitas siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
model PjBL berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan
masalahnya.
Gambar 1. Diagram Kerangka Berfikir
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan penelitian relevan seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Penerapan model pembelajaran Project Based Learning dalam kemampuan
pemecahan masalah matematis ada pengaruh ditinjau dari hasil belajar
matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sewon.
2. Penerapan model pembelajaran Project Based Learning dalam kemampuan
pemecahan masalah matematis lebih baik daripada model pembelajaran
konvensional ditinjau dari hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP
Negeri 3 Sewon.
PROJECT BASED
LEARNING DAN
KONVENSIONAL
INSTRUMEN
PENELITIAN
HIPOTESIS ( ADA
PERBEDAAN
HASIL)
KEMAMPUAN
PEMECAHAN
MASALAH
MATEMATIS
PROJECT BASED
LEARNING
KONVENSIONAL