bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1...

29
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Belajar Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa “belajar” merupaka n kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, siang hari, sore hari, atau pagi hari. Namun, dari semua itu tidak semua orang mengetahui apa itu belajar. Seandainya dipertanyakan apa yang sedang dilakukan? Tentu saja jawabnya adalah “belajar”. Itu saja titik. Sebenarnya dari kata “belajar”itulah yang perlu diketahui dan dihayati, sehingga tidak melahirkan pemahaman yang keliru mengenai masalah belajar. Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (dalam Djamarah, 2011: 12) Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi belajar. Menurut Ma’mur (2010: 63) mengatakan belajar adalah proses membangun makna atau pemahaman oleh pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan pandangan, pikiran pengetahuan yang dimiliki dan perasaan. Selaras dengan pendapat diatas, Bahri dan Aswan (2010: 10) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. James O. Whittaker (dalam Djamarah, 2011: 12) misalnya merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah malalui latihan atau pengalaman. Cronbach (dalam Djamarah, 2011: 12) berpendapat bahwa lerning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Howard L. 9

Upload: duongkhue

Post on 14-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Belajar

Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan

masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa “belajar” merupakan kata yang

tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua

kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan

belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari,

siang hari, sore hari, atau pagi hari.

Namun, dari semua itu tidak semua orang mengetahui apa itu belajar.

Seandainya dipertanyakan apa yang sedang dilakukan? Tentu saja jawabnya

adalah “belajar”. Itu saja titik. Sebenarnya dari kata “belajar”itulah yang perlu

diketahui dan dihayati, sehingga tidak melahirkan pemahaman yang keliru

mengenai masalah belajar.

Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan

mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka

masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (dalam Djamarah, 2011: 12)

Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi belajar. Menurut Ma’mur

(2010: 63) mengatakan belajar adalah proses membangun makna atau pemahaman

oleh pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan

pandangan, pikiran pengetahuan yang dimiliki dan perasaan. Selaras dengan

pendapat diatas, Bahri dan Aswan (2010: 10) menyatakan bahwa belajar adalah

proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. James O. Whittaker

(dalam Djamarah, 2011: 12) misalnya merumuskan belajar sebagai proses di

mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah malalui latihan atau pengalaman.

Cronbach (dalam Djamarah, 2011: 12) berpendapat bahwa lerning is shown by

change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktifitas yang

ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Howard L.

9

10

Kingskey (dalam Djamarah, 2011: 13) mengatakan bahwa learning is the process

by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through

practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas)

ditimbulkan atau diubah melaui praktek atau latihan.

Pengetian belajar yang selanjutnya menurut Slameto (2003: 2). Belajar

adalah suatu proses usaha yang dikalukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Travers (dalam Suprijono, 2011: 2). Belajar adalah proses menghasilkan

penyesuaian tingkah laku. Geoch (dalam Suprijono, 2011: 2). Learning is a

change in performance as a resultof practice. Belajar adalah perubahan

performance sebagai hasil latihan. Morgan (dalam Suprijono, 2011: 3). Learning

is any relatively permanent change in behavior that is a result of past experience.

Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat pemanen sebagai hasil dari

pengalaman. Menurut Mahmud (2010: 61) proses munculnya atau berubahnya

suatu perilaku karena adanya respons terhadap suatu situasi. Menurut Skinner

yang (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009: 9) bahwa belajar merupakan hubungan

antara stimulus dan respons yang tercipta melalui proses tingkah laku.

Berdasarkan uraian beberapa pengertian belajar dari para ahli, maka

peneliti menyimpulkan pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan

oleh siswa dan merupakan proses mendapatkan pengetahuan dan perubahan

dalam diri seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari

pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.

Setelah mengupas mengenai pengertian belajar dari para ahli dapat

diperoleh kesimpulan bahwa belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang

melakukan perbuatan belajar itu. Perubahan itu dapat dinyatakan sebagai suatu

kecakapan, suatu kebiasaan, suatu sikap, suatu pengertian sebagai pengetahuan

atau apresiasi (penerimaan atau penghargaan) dan lain-lain. Tujuan dari belajar

adalah untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka setelah mengupas

mengenai belajar akan dilanjutkan pada pembahasan hasil belajar

11

2.1.2 Keaktifan

Sebelum peneliti meninjau lebih jauh tentang keaktufan belajar, terlebih

dahulu kita harus mengetahui tentang aktifitas belajar.

Belajar menurut Hamalik (2001: 28), belajar adalah “Suatu proses

perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Aspek

tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan,

apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.

Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang

dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan

belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa,

sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terciptalah situasi

belajar aktif, belajar aktif adalah “Suatu sistem belajar mengajar yang

menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna

memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek koqnitif, afektif dan

psikomotor”.

Menurut Usman (2002: 26) cara yang dapat dilakukan guru untuk

memperbaiki keterlibatan siswa antara lain sebagai berikut:

a. Tingkat prestasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang

membuat responyang aktif dari siswa.

b. Masa transisi antara kegiatan dalam mengajar hendakanya dilakukan secara

cepat dan luwes.

c. berikan pengajaran dengan jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar

yang akan dicapai.

d. Usahakan agar pengajaran dapat lebih memacu minat siswa.

Menurut Lidgren (dalam Usman, 2002: 24) terdapat empat jenis interaksi

dalam kegiatan belajar mengajar diantaranya sebagai berikut:

12

Komunikasi satu arah (gambar 1.a) merupakan komunikasi yang hanya

dilakukan oleh guru terhadap siswa, sementara siswa hanya pasif sebatas

mendengarkan komunikasi dari guru. Komunikasi dari guru sudah dapat

merespon balik dari siswa, tetapi tidak ada komunikasi antar siswa. Interaksi yang

terjadi hanya antar guru dan siswa selama pembelajaran (gambar 1.b).

Komunikasi dari guru sudah mendapat respon balik dari siswa dan ada interaksi

antar siswa, tetapi belum keseluruhan siswa yang melakukan interaksi baik

dengan guru maupun siswa lainnya (gambar 1.c). Komunikasi sudah berjalkan

baik antar guru dengan siswa maupun antar siswa dengan siswa yang lainnya.

Dalam hal ini interaksi sudah optimal selama proses pembelajaran (gambar 1.d).

Komunikasi Satu Arah

Gambar 1.a

S S S

G

Ada Balikan Dari Guru, Tidak

Ada Interaksi Diantara Siswa

Gambar 1.b

G

S S S

Ada Balikan Dari Guru, Ada

Interaksi Diantara Siswa

Gambar 1.c

G

S S S

Interaksi Optimal Antar Guru dengan Siswa, Siswa dengan

Siswa

Gambar 1.d

G

S S S

Gambar 2.1

Interaksi Kegiatan Belajar

13

Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu

indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan

memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti : sering bertanya

kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan guru, mampu

menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya.

Seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa ” hal yang paling mendasar yang

dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa

dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru

dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan

suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing - masing siswa dapat

melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari

siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang

akan mengarah pada peningkatan prestasi.

Menurut penulis aktif artinya giat bekerja dan berusaha. Keaktifan dapat

diartikan bahwa dalam pembelajaran siswa semangat mengikuti penjelasan guru,

antif bertanya, aktif menjawab, kerjasama antar siswa, aktif dalam melakukan

mermainan, aktif mengemukakan ide/pendapat, menyimpulkan hasil kegiatan.

Keaktifan siswa merupakan suatu keadaan dimana siswa berpartisipasi secara

aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini keaktifan dapat juga terlihat dari respon

pertanyaan atau perintah dari guru, mendengarkan dan memperhatikan penjelasan

guru, berani mengemukakan pendapat, dan aktif mengerjakan soal yang diberikan

guru.

Selanjutnya tingkat keaktifan belajar siswa dalam suatu proses

pembelajaran juga merupakan tolak ukur dari kualitas pembelajaran itu sendiri.

Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-

tidaknya sebagian besar (70%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik,

mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan

kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya

pada diri sendiri.

14

2.1.3 Hasil Belajar

Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai pengertian-pengertian,

sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne (dalam

Suprijono, 2011: 5) hasil belajar merupakan: 1) Informasi ferbal yaitu kapabilitas

mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertilis.

Kemampuan respon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan

tersebut tidak merupakan manipulasi simbol pemecahan masalah maupun

penerapan aturan; 2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan

mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari

kemampuan mengategorisasi, kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan

mengembangkan prinsipdan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan.

Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktifitas kongnitif

bersifat khas; 3) Strategi kongnitif yaitu kecakapan menyalurkan dan

mengarahkan aktivitas kongnitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan

konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah; 4) Keterampilan motorik yaitu

kemampuan malakukan serangkaian gerak jasmani dalam urysan dan koordinasi,

sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani; 5) Sikap adalah kemampuan

menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.

Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap

merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagaistandar perilaku.

Menurut Bloom (dalam Suprijono, 2011: 6), hasil belajar mencangkup

kemampuan kongnitif, akfektif, dan psikomotorik. Domain kongnitif adalah

knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,

meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan,

menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan,

membentuk bangunan baru), dan evaluarion (menilai). Domain afektif adalah

receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons) valuing (nilai),

organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor

meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencangkup

keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Menurut

Lindgren (dalam Suprijono, 2011: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan,

15

informasi, pengertian, dan sikap. Hasil belajar menurut Sudjana dan Ahmad

(1999:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalan

belajarnya.

Dari beberapa pengertian hasil belajar dari para ahli maka pemikiran

penulis tentang hasil belajar adalah hasil akhir dari dari seluruh kegiatan belajar

siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu palajaran untuk

mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan alat

penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai,

aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan

aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak

siswa dalam mengikuti pembelajaran. Belajar itu sebagai suatu proses perubahan

tingkah laku, atau memaknai seseatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kiat

bicara tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh

si pembelajar.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Hasil Belajar

Untuk mencapai hasil belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka

perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:

a. Faktor Internal

Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010: 19) Faktor-faktor internal

adalah factor-faktor yang berasal dari dalam individu dan dapat

mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor

fisiologis dan psikologis

Faktor Internal adalah faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa

yang ditimbulkan dari dalam diri individu itu sendiri, misalnya intelgenitas,

kesehatan siswa, dan mental. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor

intern yaitu kecerdasan/intelegensi, bakat, minat, dan motivasi.

Slameto (1995: 56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi

akan lebih berhasil dari pada yang mempunyai tingkat intelegensi yang

rendah.”

16

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan

mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang diperhatikan

terus-menerus yang disertai dengan rasa sayang. Menurut Winkel (1997: 24)

minat adalah “ kecenderungan yang menatap dalam subjek untuk merasa

tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam

bidang itu.”

b. Faktor Eksternal

Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endegen, faktor-faktor

eksternal juga dapat memprngaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini Syah

2003 (dalam Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010: 26) menjelaskan bahwa

faktor-faktor eksternal mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi 2

golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.

Faktor Eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu misalnya beberapa

pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya, pengaruh

teman, motivasi guru, lingkungan belajar, dan sebagainya. Pengaruh

lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan

kepada individu.

2.1.5 Matematika

Matematika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain

mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan bahwa

matematika itu berhubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak

yang penalarannya bersifat deduktif, namun orang-orang sering menyebut

matematika itu ilmu hitung. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau

mathema yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang dalam bahasa

Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan

penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik,

penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep

yang kuat. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang

bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika juga

17

bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan fakta dan gejala yang muncul

untuk sampai pada perkiraan tertentu. Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan

secara deduktif, dengan argumen yang konsisten menurut Arsyilia.

Dalam proses belajar Matematika menurut Brunner (dalam Muhsetyo,

dkk, 2007: 1.26) menyatakan pentingnya tekanan pada kemampuan peserta didik

dalam berfikir intuitifdan analitik akan mencerdaskan peserta didik membuat

prediksi dan terampil dalm menemukan pola (pattern) dan hubungan/keterkaitan

(relations). Pembaruan dalam proses belajar ini, dari proses drill & practiceke

proses bermakna, dan dilanjutkan proses berfikir intuitif dan analitik, merupakan

usaha yang luar biasa untuk selalu meningkatkan mutu pembelajaran matematika.

2.1.5.1 Tujuan dan Fungsi Pembelajara Matematika

Setiap yang dilakukan manusia pastilah memiliki tujuan, begitu pula

dengan pembelajaran matematika. Tujuan umum pendidikan matematika

ditekankan pada siswa untuk memiliki:

a. Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam

memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang

berkaitan dengan kehidupan nyata.

b. Kamampuan menggunakan matematika sebagai lat komunikasi.

c. Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat

dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis,

berpikir sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam

memandang dan menyelsaikan suatu masalah.

Selain tujuan umum pembelajaran matematika ada pula fungsi matematika

dalam pembelajaran, yaiyu sebagai berikut:

Matematika berfingsi mengembangakan kemampuan menghitung, mengukur,

menurunkan dan menggunakan rumus, matematika yang diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang, dan

statistik, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfingsi mengembangka

kemampuan mengomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat

berupa kalimat matematika dan persamaan matematika, diagram, grafik atau table.

18

2.1.5.2 Pembelajaran Matematika di SD

Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, sekarang ini makin banyak

digunakan dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang industri, asuransi,

ekonomi, pertanian, dan di banyak bidang sosial maupun teknik. Hal ini tentu saja

menjadi tantangan bagi para guru dalam mengajarkan matematika di kelas.

Kondisi yang demikian terjadi pada siswa SD Negeri 05 Mulyoharjo Kecamatan

Jepara Kabupaten Jepara, dalam pokok bahasan operasi hitung campuran banyak

siswa yang menjawab dari 10 soal yang disediakan, hanya mampu dijawab 3-5

soal yang benar. Hal tersebut dikarenakan siswa hanya mendengarkan dan

mencatat materi yang disampaikan oleh guru.

Depdiknas (2002: 16) menyatakan bahwa bangunan matematika disusun

dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur pangkal dan

relasi pangkal) dan kumpulan sifat pangkal (aksioma). Aksioma atau sifat pangkal

adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun sangat

menentukan, karena sifat pangkal inilah yang akan menjadi dasar untuk

membuktikan dalil atau teorema berikutnya matematika selanjutnya. Unsur utama

pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi,

yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari

kebenaran sebelumnya.

Depdiknas (2003: 4) menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran

matematika di sekolah adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik

kesimpulan. Hal ini ditegaskan lagi dalam salah satu kecakapan atau kemahiran

matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari

SD dan MI sampai SMA dan MA yaitu: menggunakan penalaran pada pola, sifat

atau melakukan manipulasi matematika.

Selama ini, matematika disekolah di Indonesia lebih diinspirasi oleh

pandangan absolut bahwa matematika dipandang sebagai kebenaran mutlak,

sebagai produk yang siap pakai. Siswa diperlakukan sebagai obyek belajar,

sehingga guru lebih banyak mencekoki siswa dengan konsep-konsep atau

prosedur-prosedur matematika. Selain itu, guru-guru juga tidak mengetahui bahwa

proses terpenting dalam bermatematika adalah nalar bukan kemampuan berhitung.

19

Matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran

dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Menurut Depdiknas

(2002: 14) penekanan berlebihan pada penghafalan semata, penekanan pada

kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses

belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu

menyebabkan terjadinya fobia matematika.

Selama ini proses pembelajaran matematika kebanyakan masih

mengunakan paradigma yang lama dimana guru memberikan pengetahuan kepada

siswa yang pasif. Guru mengajar dengan metode konvensional yaitu metode

ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat dan hafal (3DCH)

sehingga Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) menjadi monoton dan kurang

menarik perhatian siswa. Kondisi seperti itu tidak akan meningkatkan kemampuan

siswa dalam memahami mata pelajaran matematika. Akibatnya nilai akhir yang

dicapai siswa tidak seperti yang diharapkan. Siswa kelas V SD Negeri 02

Mulyoharjo dalam pembelajaran materi pokok operasi hitung bilangan pecahan

yang mendapatkan nilai 65 ke atas hanya 11 siswa atau 42,3% dari 26 orang

siswa.

Menurut Muhsetyo, dkk (2007: 1.26) Pembelajaran matematika adalah

proses poemberian pengalaman belajar peserta didik melalui serangkaian kegiatan

yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan

matamatika yang dipelajari.

Pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika

sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh

kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak serta

berpedoman kepada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini

menunjukkan bahwa matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki

matematika, yaitu: (1) memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir

deduktif konsisten. Suherman (2006: 55) menjelaskan bahwa matematika sebagai

studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat dipahami oleh

siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab orientasinya masih

20

terkait dengan benda-benda konkret. Ini tidak berarti bahwa matematika tidak

mungkin tidak diajarkan di jenjang pendidikan dasar, bahkan pada hakekatnya

matematika lebih baik diajarkan pada usia dini.

Sebelum tahun lima-puluhan, kurikulum matamatika sekolah dasar

dipengaruhi oleh Thorndike, ditandaiterutama dengan pengembangan

keterampilan komputasionalbilangan cacah, pecahan, dan decimal. Teori

Thorndike tersebut teori penerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik

sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuanyang sisp menerima

pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike 1924 (dalam Muhsetyo, dkk (2007:

1.8) belajar dikatakan sbagai berikut: learning in essentially the formation of

connections or bonds between situations and responses…and that habit rules in

the realm of thought as truly and as fully in the ream of action.

Penyelidikan matematis adalah penyelidikan tentang masalah yang dapat

dikembangkan menjadi model matematika pada tema tertentu berorientasi pada

kajian atau eksplorasi mendalam, dan bersifat open-ended. Kegiatan belajar yang

dilaksanakan dapat berupa cooperative learning menurut Muhsetyo, dkk (2007:

1.31). Anak unur 6-9 tahun sifat fisiknya samangat aktif sehingga mudah merasa

letih dan memerlukan istirahat. koordinasi otot-otot kecil masih belum sempurna,

karena itu masih belum ada bisa memegang pensil dengan baik. Untuk dapat

menyiptakan proses belajar matematika yang efektif dan hidup guru harus dapat

mebebtukan suasana yang tepat dengan kondisi anak. Hindari anak menulis atau

mengerjakan soal matematika yang berkepanjangan karena dapat menyebabkan

anak jemu, bosan, lelah dan keterampilan menilisnya semakin menurun.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat dikatakan bahwa

pemahaman guru tentang hakikat pembelajaran matematika di SD dapat

merancang pelaksanaan proses pembelajaran dengan baik yang sesuai dengan

perkembangan kongnitif siswa, pemggunaan media, metode dan pendekatan yang

sesuai pula. Sehingga guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang

kondusif serta terseranggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif. Selama ini

kegiatan pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara

masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah saja, sehingga guru

21

dominan dalam kegiatan belajar mengajar. Dampaknya siswa kurang aktif dalam

kegiatan belajar sehingga siswa sulit menerima materi. Belum lagi ditambah

asumsi siswa bahwa mata pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit,

sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar apalagi mendengarkan penjelasan

guru.

2.1.6 Pecahan Campuran

Konsep pecahan dan operasinya merupakan konsep yang sangat penting

untuk dikuasai, sebagai bekal untuk mempelajari bahan matematika berikutnya

dan bahan bukan matematika yang terkait. Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa banyak siswa Sekolah Dasar mengalami kesulitan memahami pecahan dan

operasinya, dan banyak guru Sekolah Dasar menyatakan mengalami kesulitan

untuk mengajarkan pecahan dan bilangan rasional. Para guru cenderung

menggunakan cara yang mekanistik, yaitu member aturan secara langsunguntuk

dihafal, diingat, dan diterapkan. Perubahan cara mengajar tidak banyak perubahan

dilakukan oleh para guru karena secara empirik mereka selalu menggunakan cara

yang sama dari waktu ke waktu hal tersebut menurut Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).

Siswa kurang tahu makna dari pecahan, . Pecahan pada

prinsipnya menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama tersebut

bersama-samamembentuk suatu unit. Dua macam keadaan yang perlu penekanan

adalah konsep keseluruhan dengan panjang, luas, volume, dan hitungan atau

cacah. Kaitan masing-masing dapat ditunjukkan dengan menggunakan benda-

benda manipulative, misalnya kertas, karton, kelereng, kerikil, manik-manik, mata

uang, kuku, pensil, atau butiran menurut Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).

Kesulitan yang dialami siswa kelas V SD Negeri 05 Mulyharjo Jepara

pada materi pecahan campuran adalah: Cara menyelesaikan soal pecahan

campuran karena pada dasarnya anak belum menguasai konsep pecahan. Pecahan

adalah konsep yang abstrak. Padahal anak kelas V SD berada pada tahap

perkembangan oprasional konkret. Dengan demikian, konsep tersebut tidak

22

sejalan dengan masa perkembangannya. Karena itulah anak sulit untuk

memahaminya. Kesulitan yang dihadapi siswa adalah :

a. Mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa.

b. Menyamakan penyebut.

c. Mengurangi pecahan campuran, jika pembilang yang dikurangi lebih kecil

dari pembilang pengurangnya.

Siswa kurang memahami perkalian bilangan asli dengan pecahan untuk

memperbaiki kelemahan siswa terhadap masalah ini, antara lain dapat dilakukan

dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut; ambil 10 potong katonberukuran (1 cm

x 10 cm) dengan warna-warna yang berbeda. Satu potong karton dengan warna

tertentu ditentukan sebagai satuan. Potongan karton yang lain dipotong mnenjadi

perduaan, pertigaan, perempatan, perlimaan, perenamaan, pertujuan,

perdelapanan, persembilanan, dan persepuluhan. Kemudian susunlah seperti

piramida Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).

2.1.7 Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang

berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif berasal dari kata

“kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan

saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau tim.

Menurut Johnson (dalam Isjoni, 2010: 15) pembelajaran kooperatif

mengandung pengertian bekerjasama demi mencapai tujuan bersama. Menurut

Slavin 1985, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pelajaran dimana siswa

belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang

anggotanya 4-6 orang dengan stuktur kelompok heterogen. Sedangkan Sunal dan

Hans 2000, mengemukakan pelajaran kooperatif merupakan suatu cara

pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk member

dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses pembelajaran.

Selanjutnya Stahl (dalam Isjoni, 2010: 12) menyatakan pembelajaran kooperatif

dapat meningkat belajar siswa lebih baik danmeningkatkan sikap tolong

menolong dalam perilaku sosial. Johnson & Johnson (dalam Isjoni, 2010: 17)

23

mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di

dalam kela ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja dengan

kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam

kelompok tersebut.

Menurut Suprijono (2011: 54) pembelajaran kooperatif adalah konsep

yang lebih meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang

lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran kooperatif

adalah strategi belajar dengan membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang

tingkat kemampuannya berbeda-beda dengan tujuan setiap siswa anggota

kelompok harus saling bekerjasama dan saling membantu untuk memahami

materi pembelajaran dan menyelesaikan tugas kelompoknya. Oleh sebab itu,

pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa bekerja

sama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapai.

Belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa

berani mengungkapakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling

memberikan pendapat (sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa

dihadapkan pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu,

pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat

bekerjasama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya.

Model pembelajaran kooperatif, tidak hanya unggul dalam membantu

siswa dalam memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk

menumbuhkan kemampuan berfikir kritis, bekerjasama, dan membentu teman.

Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran

sehingga memberikan dampak positif terhadap kwalitas interaksi dan komunikasi

yang berkwalitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi

belajarnya.

2.1.8 Permainan Make-A Match

Anita Lie (dalam Isjoni, 2010: 112) make a match taknik dimana siswa

mencari pasangan sendiri sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam

suasana yang menyenangkan. teknik ini bisa digunakan dalam semua mata

24

pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Menurut Suprijono (2011:

94) hal-hal yang perlu disiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a

match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu terdiri dari kartu berisi pertanyaan dan

kartu-kartu yang lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Metode pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) ini

dikembangkan oleh Lorna Curan 1994 (dalam Lie, 2002: 55) beliau mengatakan

salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar

mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. teknik ini

dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak

didik. Model yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran

adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan

menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan

siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan

kondusif, dimana masing - masing siswa dapat melibatkan kemampuannya

semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula

terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada

peningkatan prestasi.

Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan), merupakan

bentuk model pembelajaran dengan melalui permainan yang sesuai dengan tahap

permainan dengan formalisasi (formalization). Make-A Match Lorna Curran 1994

(dalam Lie, 2002: 58) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau

topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian

lainnya kartu jawaban

2. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu

3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang

dipengang

4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang

cocok dengan kartunya (soal jawaban)

5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas

waktu akan diberi point

6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat

kartu yang berbeda dari sebelumnya

7. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas

25

8. Kesimpulan/penutup

Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa

metode Make A Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab

pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses

pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias

mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat

siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Hal ini merupakan suatu ciri

dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukan oleh Lie (2002: 30) bahwa,

“Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong

royong dan kerja sama.”. adapun kelemahan dan keunggulan yang dikemukakan

adalah sebagai berikut:

Keunggulan model pembelajaran Make-A Match adalah:

Pembelajaran kooperatif metode Make A Match memberikan manfaat bagi

siswa, di antaranya sebagai berikut:

a. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan.

b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa

c. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar

secara klasikal 87,50%

d. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them

move)

e. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis

f. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa

Kelemahan model pembelajaran Make-A Match:

Jila kelas terlalu gemuk (di atas 30 siswa) akan muncul suasana seperti

pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Hal ini dapat diatasi dengan

menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa, sebelum dimulai

permainan.

Tak ada gading yang tak retak , begitu pula pada metode ini. Di samping

manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif metode Make A

Match berdasarkan temuan di lapangan mempunyai sedikit kelemahan yaitu:

a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan

26

b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak

bermain-main dalam proses pembelajaran.

c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.

d. Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang

muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.

Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri

kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa

diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa

sebelum ‘pertunjukan’ dimulai. Pada dasarnya menendalikan kelas itu

tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.

Berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan metode Make a

Match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal.

Dengan metode pencarian kartu pasangan ini siswa dapat mengidentifikasi

permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya dan

menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama.

Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa

metode Make a Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab

pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses

pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias

mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat

siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.

Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik

perhatian sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa

dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (1994: 116), “Motivasi

yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat

dilakukan dengan strategi pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat

ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki oleh

siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh kegiatan kreatif.” Selanjutnya,

penerapan metode Make A Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja

sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal

ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)

27

bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu:

berpusat pada siswa; mengembangkan keingintahunan dan imajinasi; memiliki

semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang

menyenangkan; mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar;

karakteristik mata pelajaran.

Menurut peneliti aktif artinya giat bekerja dan berusaha. Keaktifan dapat

diartikan bahwa dalam pembelajaran siswa memperhatikan penjelasan guru, siswa

mampu bekerjasama dalam kelas, aktif mengemukakan pendapat, memberikan

kesempatan kepada teman untuk berpendapat, mendengarkan dengan baik ketika

teman berpendapat, mampu bemberikan gagasan atau ide yang cemerlang,

memanfaatkan potensi yang ada dan saling membantu dalam menyelesaikan

maslah.

2.1.9 Penerapan Make A Match Dalam Proses Belajaran Mengajar

Penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa

metode Make A Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab

pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses

pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias

mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat

siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Kegiatan yang dilakukan guru

ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian sehingga pada akhirnya dapat

menciptakan keaktifan dan motivasi siswa dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan

pendapat Hamalik (1994: 116), “Motivasi yang kuat erat hubungannya dengan

peningkatan keaktifan siswa yang dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran

tertentu, dan motivasi belajar dapat ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif.

Apabila motivasi yang dimiliki oleh siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh

kegiatan kreatif.” Selanjutnya, penerapan metode Make A Match dapat

membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu

menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam

kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan proses

pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa;

28

mengembangkan keingintahunan dan imajinasi; memiliki semangat mandiri,

bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan;

mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik

mata pelajaran.

Sedangkan prosedur penerapan kooperatif teknik Make A Match dalam

proses belajar mengajar, peneliti tetap mengacu pada langkah-langkah

pembelajaran Make A Macth menurut Lorna Curran 1994 (dalam Lie, 2002: 55)

yaitu:

a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau

topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian

lainnya kartu jawaban

b. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu

c. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang

dipengang

d. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang

cocok dengan kartunya (soal jawaban)

e. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas

waktu akan diberi point

f. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat

kartu yang berbeda dari sebelumnya

g. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas.

h. Kesimpulan/penutup.

Akan tetapi ada sedikit penambahan/pengurangan oleh peneliti dengan

maksud menyesuaikan materi yang akan kepada siswa serta menyesuaikan

kondisi siswa. Adapun penerapan Make A Match yang akan digunakan

digunakan peneliti dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

a. Kegiatan Pendahuluan

Apersepsi

(1) Persiapan mengajar, memberi salam, melaksanakan presensi

(2) Mengecek persiapan siswa dan mengingatkan cara duduk yang

baik saat membaca dan menulis

(3) Memotivasi siswa dengan menyanyikan sebuah lagu

(4) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

29

2. Tahap Penyampaian dan Pelatihan

Pada tahap kegiatan pembelajaran inti menggunakan metode yang disesuaikan

karakteristik siswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi,

elaborasi, dan konfirmasi

Langkah-langkah pertama dalam kegiatan inti, guru:

1) Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran

2) Menyiapakan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang

cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan kartu jawaban

3) Setiap siswa mendapatkan kartu yang tertuliskan soal/jawaban

4) Menbunyikan peluit pertanda permainan make a match telah dimulai

5) Mengontrol kerja siswa dalam mencari pasangannya dan membantu siswa

jika terdapat hal-hal yang belum dipahami

b. Kegiatan Inti

Eksporasi

Dalam kegiatan Eksporasi:

(1) Menunjukkan kartu-kartu soal dan kartu-kartu jawaban

(2) Bertanya jawab seputar kartu-kartu soal dan kartu-kartu jawaban

(3) Melalui tanya jawab guru menjelaskan tentang materi

(4) Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran

Make A Match

Elaborasi :

Dalam kegiatan Elaborasi:

1. Menjelaskan tentang materi yang akan disampaikan

2. Dengan tanya jawab disertai contoh, guru menjelaskan materi yang

disampaikan

3. Menjelaskan cara permainan Make A Match (mencari pasangan)

4. Membagikan kartu soal dan kartu jawaban secara acak kepada

siswa, tiap peserata didik mendapatkan satu kartu

30

5. Siswa memikirkan jawaban dari kartu jawaban kemudian mencari

pasangan kartu yang telah mereka dapatkan

6. Memfasilitasi siwa dalam melakukan permainan Make A Match

7. Memberikan poin kepada siswa yang dapat mencocokkan kartu

sebelum batas waktu

8. Guru mengocok kartu-kartu yang berbeda untuk permainan Make

A Match untuk babak ke dua

9. Melalui tanya jawab guru bersama siswa mengoreksi jawaban dari

masing-masing kartu soal yang telah didapat oleh masing-masing

siswa

Konfirmasi

Dalam kegiatan Konfirmasi:

(1) Memberi kesempatan bertanya kepada siswa tentang materi yang

belum dipahami siswa

(2) Melalui tanya jawab guru bersama siswa menyimpulkan materi

yang telah dipelajari

(3) Guru memberikan siswa soal evaluasi

3. Tahap Penampilan Hasil, Kesimpulan, dan Refleksi

c. Kegiatan Penutup

(1) Melalui bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman,

memberikan penguatan dan mengulangi kesimpulan yang sudah

dibuat

(2) Memberikan PR kepada siswa

2.1.10 Make-A Match dan Keaktifan Belajar Matematika

Dalam pembelajaran matematika dengan menggunan model pembelajara

Make-A Match, keaktifan siswa akan meningkat. Hal ini akan terjadi, apabila

dalam pembelajaran itu melibatkan siswa secara aktif. Keaktifan siswa ini dapat

ditunjukkan melalui permainan. Permainan Make-A Match merangsang siswa

untuk berfikir secara aktif, dengan dibuktikan keaktifan siswa ketika mencari

pasangan jawaban atau soal masing-masing.

31

Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) mampu

memberikan rasa senang, bergairah, bersemangat dalam mengerjakan tugas,

sehingga dapat mengaktifkan siswa pada materi pengurangan pecahan pecahan

campuran di kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara. Keaktifan siswa dalam

pembelajaran ini akhirnya berdampak pada keberhasilan belajar siswa tentang

materi tersebut.

Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) perupakan model

pembelajaran dalam bentuk permaianan yang dapat menimbulkan rasa senang dan

kepuasan. Rasa senang itu didapat karena materi pelajaran dikemas dalam bentuk

permaianan. Siswa terlihat antusisas, semangat dan terlihat juga pada raut muka

yang memancarkan wajah keceriaan. Banyak siswa yang merasa takut jika

ditunjuk maju ke depan, tidak berani menatap guru ketika guru sedang

memberikan pembelajaran. Dengan melalui pembelajaran Make-A Match

diharapkan situasi pembelajaran menjadi tidak tegang, yang akhirnya anak merasa

senang, sehingga memungkinkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar

siswa.

2.1.11 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Model pembelajaran Make-A Match ternyata efektif digunakan untuk

kegiatan pembelajaran. Hal ini dibuktikan oleh beberapa orang dalam

penelitiannya dengan menggunakan model-model Make-A Match.

Penelitian oleh Ratna Satyawati dengan judul penelitian “Upaya

Meningkatkan Minat Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis

Bantul Dengan Model CooperatiLearning Tipe Make A Match” Dari hasil

penelitian dapat disimpulkan (1) Proses cooperative learning tipe make a match

yang dapat meningkatkan minat belajar siswa sebagai berikut: (a) Siswa

dikelompokkan secara heterogen, setiap kelompok terdiri dari empat orang dan

diberi LKS untuk didiskusikan, (b) Sebagai sesi review, setiap siswa memperoleh

dua buah kartu yang berisi kartu soal dan kartu jawab yang bukan pasangannya,

setiap siswa mencari kartu jawaban dari kartu soal yang dipegang yang berada

pada teman satu kelompok atau dua kelompok lain yang telah ditentukan

32

sebelumnya, jika seluruh anggota kelompok telah menemukan pasangan kartu

yang cocok, maka kelompok tersebut memberi tanda, jika ada siswa yang tidak

dapat mencocokkan kartunya, akan mendapat hukuman yang telah disepakati

bersama, siswa juga boleh bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang

memegang kartu yang cocok. (2) Dengan cooperative learning tipe make a

match, minat belajar matematika siswa mengalami peningkatan. Berdasarkan

hasil observasi, minat belajar matematika siswa setelah siklus I 63,3% dan setelah

siklus II naik menjadi 81,4%. Berdasarkan hasil angket, minat belajar siswa

sebelum tindakan, setelah siklus I dan setelah siklus II berturut-turut 59,3%,

61,5%, dan 67,8%. Meningkatnya minat belajar matematika siswa berdampak

pada hasil tes prestasi siswa, yang ditunjukan dengan meningkatnya rata-rata hasil

tes prestasi siswa dari 75,6 pada siklus I menjadi 78,2 pada siklus II.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni apada tahun 2010 pada siswa

Kelas V Semester 1dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan

Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui Model

Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01

Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial

melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a Match) bagi siswa kelas

V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten Karanganyar Tahun 2009/2010.

Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi

dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar

Tahun Pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang

diambil adalah 15 siswa, metode pengambilan sample adalah seluruh siswa

menjadi sample. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

observasi, tes, dokumentasi, angket dan catatat dalam Kegiatan Mengajar Belajar.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum penelitian (tes awal)

pemahaman siswa terhadap pelajaran IPS hanya 46,7% yaitu 7 anak yang tuntas

berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum tuntas, pada siklus I Pemahaman

Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas berarti meningkat sebesar 33,3%

dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi 100% atau naik sebesar 20%.

33

Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman konsep saja tetapi jga dari aspek

keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya

55,67% oada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II

menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi 8,49%. Faktor pendukung keberhasilan

penerapan model pembelajaran ini karena siswa sangat senang belajar sambil

bermain, disamping itu alat dan bahan yang digunakan mudah diperoleh dan

harganya relatif murah, proses pembuatannyapun sangat mudah. Faktor

penghambat penerapan model pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber

materi sehingga siswa hanya mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal

ini peneliti sudah memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku

elektronik. Hasil penelitian menyatakan bahwa model pembelajaran mencari

pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat

dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada

siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi

89,79% yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.

Penelitian yang dilakukan oleh Seri Ningsih (2010). Penelitian Pada siswa

SD Negari Kelas V Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak Tahun Ajaran

2009/2010. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make-A

Match ditinjau dari aktifitas Belajar Siswa. Penelitian ini merupakan

eksperimental semu dengan desain factorial 2x3. Populasi penelitian ini adalah

seluruh siswa kelas V semester ganjil SD Negeri Kecamatan Pontianak Kota di

Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat tahun pelajaran 2009/2010 yang

berjumlah 18 SD. Total sample penelitian ini adalah 180 siswa, terdiri dari 93

siswa pada kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif taknik

Make-A Match dan 87 siswa pada kelompok control dengan metode pembelajatan

direct inruction. Hasilnya menunjukkan prestasi belajar siswa dengan model

pembelajaran kooperatif teknik Make-A Match lebih dari pada menggunakan

model direct intruction.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Noviawati (2009). PTK kelas VIII

SMP Negeri 1 Gatak Sukoharjo Tahun Ajaran 2008/2009. Upanya peningkatan

keaktifan Belajar Matematika Melalui Pendekatan Make-A Match. Hasil

34

penelitian Dewi Noviawati menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa

pada pembelajaran Matematika meliputi:

1. Keberanian mengerjakan soal di depan kelas sebelum dilakukan tindakan

kelas 12,5% meningkat menjadi 72,5%.

2. Keaktifan siswa mengemukakan pendapat sebelum tindakan 5%

meningkat menjadi 60%.

3. Keberanian siswa menanggapi atau mengajukan pertanyaan sebelum

dilakukan tindakan 7,5% meningkat menjadi 65%.

4. Mengerti dan dapat melakukan langkah pendekatan kerjasama dalam

kelompok sebelum dilakukan tindakan 70%.

5. Kerjasama dalam kelompok sebelum dilakukan tindakan 5% meningkat

menjadi 70%.

Adanya peningkatan prestasi belajar siswa yang dapat nilai di atas 60 sebelum

dilakukan tindakan 25% meningkat menjadi 65%. Hasil penelitian menyatakan

bahwa model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat

meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan

siswa yang tadinya hanya 12,5% menjadi 72%, keberanian mengerjakan soal

mula-mula hanya 5% menjadi 60%, keberanian mengajukan pertanyaan dan

menanggapi yaitu meningkat menjadi 65% dan meningkatnya kerjasama dalam

kelompok naik menjadi 70%.

Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya

yang berjudul “Penerapan Model Cooperatif Learning-Make A Match Untuk

Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan

Sosial (IPS) di SDN 010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten

Siak ” dengan tujuan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS

yang mana data sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran IPS kurang diminati

oleh siswa. Disebut kurang diminati karena pada proses pembelajaran secara

umum, siswa lebih banyak yang tidak memperhatikan, tidak merasa senang dalam

belajar, dan tidak ada keinginan untuk memperoleh pengetahuan lebih dari

pelajaran IPS ini, Oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan

diterapkanya model pembelajaran Make A Match pada pelajaran IPS, aktivitas

35

siswa meningkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai aktivitas siswa untuk

kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa yang

mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai

cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa

untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 8 siswa yang

mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai

cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa

untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 9 siswa

yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang

mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai

aktivitas siswa untuk kemampunan bertanyan (KB) pada pertemuan keempat

siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat

aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai

kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk aktivitas menulis (AM) pada pertemuan

keempat siklus II terdapat 7 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang

mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang

mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan pertama

terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat nilai baik, 4

siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang

baik. Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang

mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang

mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II pertemuan

keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4 item

(44,4%) pada posisi sempurna.Menurut peneliti bahwa pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran Make A Make (mencari pasangan) dapat

meningkatkan keaktifan dan hasil belajar.

Dari beberapa penelitian tentang Make A Match (mencari pasangan) yang

telah dilakukan oleh beberapa peneliti kebanyakan meningkat setelah dilakukan

pembelajaran dengan metode Make A Match (mencari pasangan). Dengan analisis

tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan model

36

pembelajaran Kooperatif teknik Make A Match (mencari pasangan) pada

pelajaran matematika untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa.

Maka penulis tertarik mengangkat judul penelitian "Penerapan Metode

Pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) Untuk Meningkatkan Keaktifan

Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara

Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara".

2.2 Kerangka Berpikir

Pada kondisi awal peneliti belum menggunakan metode pelajaran Make-A

Match (mencari pasangan) untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa

pada pelajaran matematika masih rendah. Metode pembelajaran Make-A Match

(mencari pasangan) dapat membuat siswa bergairah, bersemangat, karena metode

pembelajaran ini bersifat permainan. Setelah peneliti melakuakan tindakan dengan

menggunakan metode pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) ini

ternyata keaktifan dan hasil belajar siswa meningkat pada siklus II.

Berdasarkan uraikan yang telah dipaparkan oleh penulis pada kajian teori,

pada hakekatnya kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi antara

guru dan siswa. Agar tidak menimbulkan suasana yang monoton sehingga

membuat siswa jenuh guru harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan

dan komunikasi yang memberikan kemudahan bagi siswa agar mampu menerima

pengetahuan yang diberikan oleh guru. Pada kenyataannya komunikasi dalam

proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Guru

menggunakan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah. Hal tersebut

dapat membuat siswa hanya menerima informasi saja tanpa adanya kegiatan

praktek, sehingga membuat siswa menjadi cepat bosan dan mengantuk hal

tersebut membuat materi yang disampaikan oleh guru tidak dapat diterima dengan

sempurna.

Siswa tidak memiliki keaktifan dan tidak mempunyai kesempatan

berpartisipasi aktif dalam KBM sehingga prestasi belajar yang dihasilkan rendah.

Keadaan seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satu diantaranya yaitu

dengan menerapkan metodel pembelajaran yang lebih baik sehingga dapat

37

meningkatkan kualitas Kegiatan Belajar Mengajar. Mata pelajaran Matematika,

yang mempelajari tentang logika mengenai bentuk-bentuk, susunan, besaran, dan

konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang

banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, geometri, maka

perlu dicari metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam

pembelajaran Matematika.

Oleh karena itu diharapkan guru sebagai fasilitator dapat menerapkan

strategi serta menggunakan metode dan media yang variatif dalam proses

pembelajaran. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal tersebut,

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make-A Match (mencari pasangan)

diharapkan dapat memberikan manfaat dalam kegiatan pembelajaran. Diantaranya

yaitu siswa mampu berfikir kreatif dan imajinatif, siswa lebih aktif baik dalam

kegiatan belajar kelompok maupun belajar mandiri, memudahkan pemahaman

siswa sehingga kualitas pembelajaran meningkat serta hasil belajar akan tercapai

secara maksimal.

Berdasarkan beberapa masalah yang telah dipaparkan peneliti berusaha

mencari pemecahan masalahnya yaitu menerapkan metode pembelajaran

kooperatif teknik Make-A Match (mencari pasangan) untuk meningkatkan kualitas

dan hasil belajar Matematika serta menjelaskan langkah-langkahnya.

2.3 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka berpikir diduga dengan metode pembelajaran Make-

A Match (mencari pasangan) akan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar

Matematika siswa kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo jepara.