bab ii gambaran umum kabupaten ponorogo dan sejarah ... · dibandingkan tahun 2000. sebagaimana...
TRANSCRIPT
19
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN
SEJARAH MUNCULNYA PETANI PESANGGEM DI HUTAN
KAYU PUTIH BKPH SUKUN
A. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo
1. Kondisi Geografis Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
terletak pada titik koordinat 111º17ˈ-111º52ˈ Bujur Timur (BT) dan 7º49ˈ-8º20ˈ
Lintang Selatan (LS) dengan Ibukota Ponorogo. Batas-batas wilayah daerah
Ponorogo sebagai berikut sebelah utara Kabupaten Madiun dan Kabupaten
Magetan. Timur berbatasan dengan Kab. Nganjuk dan Kab. Trenggalek, Selatan
dibatasi dengan Kab. Pacitan serta bagian barat berbatasan dengan Pacitan dan
Wonogiri ( Jawa Tengah)1.
Kabupaten ponorogo berjarak 200 km sebelah barat daya ibu kota
provinsi, dan sekitar 800 km sebelah timur ibu kota Negara Indonesia. Luas
wilayah Kabupaten Ponorogo mencapai 1.371.78 km² terbagi menjadi 21
Kecamatan yang terdiri dari 307 desa/kelurahan. Kondisi topografi Kabupaten
Ponorogo bervariasi mulai daratan rendah sampai pegunungan. Berdasarkan data
yang ada, sebagai besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu 79% terletak di
ketinggian kurang dari 500 m di atas permukaan laut dan sisanya 5,9% berada
pada ketinggian di atas 700 m. Secara topografis dan klimatologis, Kabupaten
Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis dengan suhu udara
1 Soemarto, Melihat Ponorogo Lebih Dekat, (Ponorogo: Apik Offset), hlm.
2.
19
20
berkisar anatara 18º-31º celcius. Bila dilihat menurut luas wilayahnya, kecamatan
yang memiliki wilayah terluas (di atas 100 km²) secara berturut-turut adalah
Kecamatan Ngrayun, Kecamatan Pulung, dan Kecamatan Sawoo.2
Kabupaten Ponorogo mempunyai 2 (dua) sub area, yaitu area dataran
tinggi yang meliputi Kecamatan Ngrayun, Sooko, Pulung, serta Kecamatan
Ngebel, sedangkan sisanya merupakan daerah dataran rendah. Pada dataran
rendah suhu berkisar antara 18º-26º C sedangkan dataran tinggi 27º-31º C.3
Sungai yang melewati ada 14 sungai dengan panjang antara 4 sampai ke 58 km
sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian dengan produksi padi maupun
holtikultura. Sebagian besar dari luas wilayah yang terdiri dari area kehutanan dan
tegal atau sawah sedang sisanya adalah untuk pekarangan, perkebunan dan lain-
lain.
Daerah Ponorogo beriklim tropis dan mempunyai dua musim, yaitu musim
kemarau dan musim penghujan. Luas wilayah Ponorogo sekitar 1.371,78 km
wilayah ini dikelilingi bukit-bukit yang saling menyambung dengan dataran
rendah yang luas di tengah-tengah. Tata letak Kota daerah Ponorogo seperti wajan
penggorengan. Ketiga batas wilayah adalah berupa pegunungan dari bagian
selatan membujur pegunungan mulai dari kabupaten Pacitan hingga kabupaten
Wonogiri yang sering disebut dengan “pager gunung”. Sebelah timur membujur
dari selatan ke utara, (kecamatan Slahung hingga Kabupaten Madiun) terbentang
juga pegunungan. Deretan pegunungan di timur ini terdapat sebuah gunung yang
2 BPS Ponorogo, Ponorogo Dalam Angka 2014, (Ponorogo: BPS, 2014),
hlm 3-4. 3 Badan Pusat Statistik, Kabupaten Ponorogo Dalam Angka, (Ponorogo:
Badan Pusat Statistik, 2002), hlm xxxvi
21
terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Madiun,
dan Kabupaten Kediri yaitu Gunung Wilis.4
Pada tahun 1932 daerah Ponorogo dibagi menjadi empat distrik yaitu
Ponorogo, Sumoroto dan Ardjowinangun dan Djebeng. Karakter masing-masing
distrik ini memiliki ciri khas yang berbeda berdasarkan pada sistem kepercayaan
masyarakat setempat. Distrik Ponorogo, Sumoroto dan Djebeng merupakan
daerah yang mayoritas penduduknya adalah abangan sedangkan distrik
Ardjowinangun cenderung penduduk santri.
Kelangkaan air menjadi kendala utama dalam usaha mengembangkan
pertanian sawah. Meskipun demikian, secara umum wilayah Ponorogo dapat
dikatakan bahwa wilayah Ponorogo jarang ditemukan sumber dan persawahan
yang bersifat tadah hujan. Sungai-sungai di Ponorogo sering dilanda kekeringan
sehingga tidak mampu mengairi sawah secara maksimal. Sawah dan tegalan
diwilayah ini hanya dapat menghasilkan panen setahun sekali. Pada saat musim
hujan sawah ditanami padi, sedang tegalan ditanami jagung atau ketela.
2. Pemerintahan
Secara administrasi wilayah Kabupaten Ponorogo terbagi menjadi 5 (lima)
pembantu Bupati (regent), 20 Kecamatan serta 26 kelurahan dan 227 desa dengan
2305 RW dan 6452 RT, untuk menjalankan roda pemerintahan Pemerintah
4 BPS Ponorogo, Monografi Kabupaten Ponorogo, (Ponorogo: BPS,
2006), hlm 5.
22
Daerah Tingkat II Ponorogo didukung oleh 10.915 Pegawai Negeri Sipil (PNS)
baik pusat maupun daerah serta 3787 aparat Pamong Desa.5
Tabel 1. Pembagian Daerah/Wilayah Administrasi Kabupaten Ponorogo
Pembantu Bupati
(Sub Regent)
Meliputi Kecamatan
1. Ponorogo 1. Ponorogo
2. Babadan
3. Jenagan
4. Siman
2. Somoroto 1. Kauman
2. Sukorejo
3. Jambon
4. Badegan
5. Sampung
3. Jebeng 1. Balong
2. Bungkul
3. Slahung
4. Ngrayun
4. Arjowinagun 1. Sambit
2. Sawoo
3. Mlarak
4. Jetis
5. Pulung 1. Pulung
2. Sooko
3. Ngebel
Sumber Data : Bagian Tata Pemerintahan Pemda Tingkat II Ponorogo
3. Mata Pencaharian Penduduk
Aktifitas ekonomi penduduk Kabupaten Ponorogo sebagian besar
bermatapencaharian dengan cara bercocok tanam sebagai petani. Penduduk
Ponorogo sangat mengandalkan hasil pertanian mereka, namun tidak semua
penduduk memiliki sawah sebagai tempat bercocok tanam. Keadaan sulit tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung, telah melahirkan sistem gotong
royong didalamnya. Menurut Y. Boelaars dalam sistem ekonomi yang
5 Badan Pusat Statistik. Op.Cit., hlm. xxxvii
23
berdasarkan petani ladang (maupun persawahan) digambarkan suatu kerjasama
semua yang hadir6 dengan demikian segala sesuatu kepentingan umum merupakan
tanggung jawab setiap anggota masyarakat, sebaliknya bila seseorang masyarakat
itu memiliki suatu keperluan (duwe gawe) maka anggota masyarakat yang lain
ikut membantu.
Di pedesaan Jawa umumnya, mata pencaharian dan kepemilikan tanah
sangat berpengaruh dalam menentukan stratifikasi sosial berdasarkan pemilik
rumah pekarangan yaitu : Pertama , wong bakul, kuli kenceng, wong ajek atau
sikep yaitu golongan yang mengaku bahwa dari merupakan keturunan cikal
bakalketurunan daerah Ponorogo. Kedudukan Wong bakul di peroleh secara turun
temurun. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar dimasyarakat.
Golongan ini dalam masyarakat digolongkan sebagai kelompok atas.7 Golongan
kedua adalah golongan Wong Ngindung, lindung atau kuli kendho, yaitu golongan
warga yang hanya mempunyai tanah pekarangan dan rumah yang didirikan di
pekarangan orang lain. Golongan Ketiga adalah rakyat dunung susup dan
Mondhok glongsor yang merupakan golongan terbawah yang tidak mempunyai
tanah atau pekarangan.
Clifford Gerrtz lebih jauh lebih jauh lagi mencoba menganalisa dan
membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa
yang horizontal dan vertical. Pembagian tersebut menjelaskan bahwa orang Jawa
dibedakan oleh startifikasi sosial, yaitu nandra (bangsawan), priyayi (birokrat),
6 Y. Boelaars, 1944. Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian
Antrologi Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 43. 7 Gatut Murniatmo dan H J Wibowo, 1981. Beberapa Peninggalan
Budaya di Daerah Ponorogo, Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya
Yogyakarta, hlm.12.
24
Wong dagang atau saudagar (pedagang) dan Wong cilik (orang kecil, rakyat
kecil).8 Di Ponorogo golongan bangsawan selalu disamakan dengan kaum priyayi
yaitu sebagai pemegang kekuasaan baik di tingkat kota maupun desa (kepala
desa), sementara di Kabupaten Ponorogo mayoritas penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani, buruh atau petani penggarap lahan hutan yang
sering dikenal dengan Petani Pesanggem yang masuk dalam golongan Wong cilik.
Penghasilan utama penduduk masih bergantung pada tanah pertanian
dengan sistem penanaman yang berganti-ganti antara padi dan palawija.
Sempitnya kepemilikan lahan oleh penduduk desa tidak dapat diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga penduduk. Satu-satunya kawasan yang dapat
diandalkan untuk menambah pendapatan penduduk adalah kawasan hutan Negara,
hal tersebut menyebabkan tingkat interaksi masyarakat dengan hutan sangat
tinggi. Kondisi ini juga terjadi pada penduduk yang tinggal di wilayah kawasan
Hutan Kayu Putih Ponorogo dimana mereka mengandalkan hidupnya dengan
bekerja sebagai petani penggarap lahan hutan (pesanggem).
B. Kondisi Hutan di Jawa Timur
Menurut fungsinya, hutan dibagi menjadi hutan produksi, hutan lindung,
hutan tebang pilih (TBP), dan suaka alam/hutan wisata/taman nasional. Data
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur memperlihatkan bahwa hutan di Jawa Timur
luasnya mencapai 1.361.448 ha, yang terdiri dari hutan produksi seluas
812.889.50 ha (57,78 persen), hutan lindung seluas 315.505.30 ha (23,24 persen),
dan suaka alam/hutan wisata/taman nasional seluas 233.053,20 ha (16,97 persen).
8 Clifford Geertz, 1989. Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
(terjemahan Aswab Mahasin), Jakarta: Pustaka Jaya, hlm.7-8
25
Luas tebangan hutan pada tahun 2001 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2000. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya luas tebangan
didominasi oleh kayu jati, sebesar 75,69 % terhadap total luas tebangan di Jawa
Timur. Untuk produksi kayu, terdapat penurunan, kecuali kayu bakar jati yang
mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 7,8 %. Produksi
kayu jati terbesar se-Jawa Timur berasal dari daerah Bojonegoro, sedangkan untuk
produksi kayu rimba terbesar berasal dari daerah Kediri, Banyuwangi dan Jember.
Selain kayu ada juga produksi hasil hutan yang berupa non kayu, seperti
getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan
lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah produksi lak butiran dan
minyak kayu putih, sedangkan produksi lainnya nilainya kecil.9
C. Kondisi Geografis KPH Madiun
Perum Perhutani adalah salah satu perusahaan dibawah kendali dari
Kementerian BUMN yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan hutan di
Pulau Jawa dan Madura serta diperkuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2010. Salah satu unit kerja Perum Perhutani di Jawa Timur
adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun. KPH Madiun mengelola
kawasan hutan seluas 31.219,70 Ha yang terdiri dari 2 kelas perusahaan yaitu
kelas perusahaan jati seluas 27.483,60 Ha dan kelas perusahaan kayu putih
3.736,1 Ha.
9 BPS Jawa Timur, Jawa Timur Dalam Angka 2001, (Surabaya: BPS,
2001) hlm. 163
26
1. Letak dan Batas
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun terletak di 3 wilayah
pemerintahan administratif yaitu Kabupaten Madiun, kabupaten Ponorogo, dan
Kabupaten Magetan. KPH Madiun mempunyai kondisi lapangan yang relative
bervariasi mulai dari kondisi lapangan datar sampai dengan bergunung-gunung.
Kondisi lapangan wilayah KPH Madiun yang termasuk DAS Bengawan Solo
yang bervariasi tersebut juga menjadikan wilayah KPH Madiun dilewati oleh
banyak aliran sungai mulai sungai kecil sampai sampai dengan besar. Berdasarkan
klasifikasi iklim menurut Schmit & Ferguson, wilayah KPH Madiun mempunyai
tipe iklim C dengan nilai Q antar 33,3 samapai dengan 60º dengan tingkat curah
hujan antara 563-3.303 mm/th dan rata-rata curah hujan 1.681 mm/th. Suhu udara
di KPH Madiun berkisar antara 21,75ºC-31,68ºC dengan kelembaban udara antara
64%-92%. Wilayah kerja KPH Madiun yang berada di 3 wilayah administrasi
pemerintahan menjadikan posisinya sebagai jalur utama transportasi antar
wilayah, sehingga terjadi permukiman dengan pola tertentu. Permukiman yang
berada di wilayah KPH Madiun berupa desa dengan jumlah total 87 desa yang
tersebar di 3 wilayah administrasi tersebut. Dari 87 desa yang berada di wilayah
KPH Madiun 38 desa berada di Kabuoaten Madiun, 7 desa di Kabupaten
Magetan, dan 42 desa berada di Kabupaten Ponorogo.
Secara geografis kawasan hutan KPH Madiun terletak diantara garis lintang
7º30ˈ LS sampai 7º50ˈ LS dan diantara garis bujur 4º30ˈ BT sampai 4º50ˈ BT.
Secara wilayah KPH Madiun berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara : KPH Saradan
b. Sebelah Timur : KPH Saradan dan Lawu Ds
27
c. Sebelah Selatan : KPH Lawu Ds
d. Sebelah Barat : KPH Lawu Ds dan KPH Ngawi
2. Luas dan Wilayah
Luas kawasan hutan KPH Madiun adalah 31.264,3 hektar. Secara
administratif, KPH Madiun berada dalam wilayah 3 kabupaten dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan KPH Madiun terhadap Luas Wilayah Administratif
Kabupaten Luas (Ha)
Persentase Kabupaten Hutan
1 2 3 4
Madiun 104.465,8 16.024,4 15,3
Ponorogo 129.913,0 13.974,4 10,8
Magetan 57.413,9 1.265,5 2,2
Jumlah 291.792,7 31.264,3 10,7
Sumber: RKPH (Sejarah Umum) KPH Madiun
a. Pembagian Wilayah
Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun dibagi menjadi 2 (dua) Sub
Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH), yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH
Madiun Selatan. Luas keseluruhan KPH Madiun adalah 31.264,3 Ha. Menurut
administrasi perusahaan KPH Madiun terbagi menjadi 4 (empat) bagian hutan
termasuk di dalam 12 BKPH dari 43 RPH. Bagian Hutan tersebut adalah:
1) Bagian Hutan Caruban
Bagian Hutan Caruban secara umum mempunyai kondisi topografi datar
sampai agak curam dan ada sebagian kecil kawasan dengan kondisi topografi
sangat curam pada sebelah Tenggara, secara keseluruhan kemiringan mengarah ke
Barat Laut. Bagian Hutan Caruban terbagi menjadi 5 BKPH yaitu Kring,
28
Mojorayung, Ngadirejo, Caruban, Dungus, terdiri dari 18 RPH. Total luas bagian
hutan Caruban adalah 11.665,4 Ha.
2) Bagian Hutan Pagotan
Bagian Hutan Pagotan secara umum mempunyai kondisi topografi landau
sampai dengan agak curam. Sebagian lokasi ada yang bertopografi datar pada
RPH Mruwak dan Kemantren. Pada umumnya kemiringan mengarah ke Barat.
Bagian Hutan Pagotan terbagi menjadi 2 BKPH yaitu Brumbun dan Dagangan,
terdiri dari 6 RPH. Total luas bagian hutan 4.005,6 Ha.
3) Bagian Hutan Ponorogo Barat
Bagian Hutan Ponorogo Barat secara umum mempunyai kondisi topografi
bergelombang dengan kemiringan ke arah Tenggara pada sebelah Utara Kali
Glagah menuju ke Kali Madiun, sedangkan sebelah Selatan Kali Glagah
bertopografi bergunung sampai dengan curam dengan aliran sungai kea rah Timur
(hulu Kali Madiun). Bagian Hutan Ponorogo Barat terbagi menjadi 2 BKPH yaitu
Sampung dan Somoroto dan terdiri dari 8 RPH. Total luas hutan adalah 6.125,1
Ha.
4) Bagian Hutan Ponorogo Timur
Bagian Hutan Ponorogo Timur mempunyai kondisi topografi bergunung
sampai dengan curam. Kondisi topografi tersebut disebabkan oleh adanya gunung
yang berada di wilayah tersebut yaitu Gunung Bayangkaki dan Gunung Tumpak
Pring. Pada lereng sebelah Utara dan Barat Laut kemiringan mengarah ke Barat
Laut sesuai dengan letak sungai yang melewati daerah tersebut. Sebagian kecil
sebelah Selatan dan Tenggara kemiringan kea rah Timur menuju sungai yang
bermuara di Samudra Hindia. Bagian Hutan Ponorogo Timur terbagi menjadi 3
29
BKPH yaitu Sukun, Pulung Bondrang dan terdiri dari 11 RPH. Total luas wilayah
hutan Ponorogo Timur adalah 8.834,0 Ha. Dengan rincian seperti tertulis dalam
tabel berikut ini :
Tabel 2. Daftar Pembagian Resort Hutan KPH Madiun
BAG. HUTAN BKPH/Kring
Kodya
RPH/Kring Luas Hutan
(Ha)
1 2 3 4
Caruban Kring Gorang Gareng
Kring Barat
Kring Timur
Kring Ponorogo
Mojorayung Tremulus
Bludru
Bribis
777,4
1.007,8
1.048,3
Luas Hutan BKHP Mojorayung 2.833,5
Ngadirejo Bulu
Ngadirejo
Dawuhan
758,9
725,1
754,2
Luas Hutan BKPH Ngadirojo 2.238,2
Caruban Kaliabu
Blabakan
Wates
Sampung
796,6
775,7
791,6
812,9
Luas Hutan BKPH Caruban 3.136,8
Dungus Dawung
Randualas
Wungu
Kuwiran
869,5
783,9
1.038,7
764,8
Luas Hutan BKPH Dungus 3.456,9
Total Luas Bagian Hutan Caruban 11.665,4
Pagotan Brumbun Kresek
Mruwak
Malang
497,6
700,4
558,2
Luas Hutan BKPH Brumbun 1.756,2
Dagangan Panggung
Sareng
Tambak Merang
673,6
832,3
770,5
Luas Hutan BKPH Dagangan 2.249,4
Total Luas Hutan Bagian Pagotan 4.005,6
Ponorogo Barat Sampung Sampung
Gangsiran
640,9
794,8
30
Lembeyan
Klaten
Pohijo
847,8
879,9
450,1
Luas Hutan BKPH Sampung 3.613,5
Somoroto Tulung
Pegerukir
Badegan
841,0
898,5
799,1
Luas Hutan BKPH Somoroto 2.538,6
Total Luas Hutan Bagian Ponorogo Barat 6.125,1
Ponorogo Timur Sukun Tambaksari
Sukun
Nglayang
Sidoharjo
Depok
663,2
762,9
865,4
651,9
766,7
Luas Hutan BKPH Sukun 3.701,1
Pulung Setonggo
Gn. Tukul
Centong
667,9
707,5
832,0
Luas Hutan BKPH Pulung 2.207,4
Bondrang Gunting
Bondrang
Sawo
682,5
800,6
1.442,4
Luas Hutan BKPH Bondrang 2.925,5
Luas Hutan Bagian Ponorogo Timur 8.834,0
KPH MADIUN 31.264,3
Sumber: Buku RPKH KPH Madiun
b. Tanah dan Iklim
Sebagian besar tanah pada kawasan hutan KPH Madiun termasuk jenis
Lateri. Ketinggian dari permukaan air laut berkisar antara 100-300 DPL. Menurut
pembagian iklim Scmitd and Ferguson, kawasan hutan KPH Madiun termasuk
dalam tipe iklim C. Curah hujan rata-rata per tahun 1863 mm. Suhu berkisar
antara 24ºC-32ºC.
c. Penataan Hutan
Penatagunaan lahan kawasan hutan KPH Madiun dibagi menjadi 4 (empat)
bagian hutan yaitu, Bagian Hutan Caruban, Pagotan, Ponorogo Barat, Ponorogo
Timur. Keempat bagian hutan tersebut dimasukkan ke dalam kelas Perusahaan
31
Jati kecuali BKPH Sukun yang merupakan Bagian Hutan Ponorogo Timur yang
masuk ke dalam Kelas Perusahaan Kayu Putih. Penatagunaan lahan kawasan
hutan KPH Madiun ke dalam Kelas Perusahaan berdasarkan bagian hutan secara
rinci dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Pembagian Kelas Perusahaan Hutan KPH Madiun
Kelas Hutan Kelas Perusahaan
Jati
Ha
Kayu Putih
Ha
Jumlah
Ha
1 2 3 4
a. Untuk Produksi
-Untuk Produksi Kayu Jati
1. Produktif
2. Tidak Produktif
3. TBPTH
-Bukan Produksi Kayu Jati
4. TBJ
5. TJKL
6. HPT
14.659,0
3.743,5
51,7
1.159,1
5.946,7
86,4
3.060,6
229,6
0,0
17.719,6
3.973,1
51,7
1.159,1
6.109,5
84,0
29.021,4
b. Bukan Untuk Produksi
7. TBP
8. LDTI
9. HL
10. SH/HW
423,0
519,4
941,4
51,0
53,4
178,7
474,0
572,8
1.120,5
2.167,3
Jumlah 27.528,2 3.736,1 31.264,3
Sumber: Buku RPKH KPH Madiun, 2000
d. Susunan Organisasi KPH Madiun
Uraian tugas dan susunan organisasi PT Perhutani KPH Madiun adalah
berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 0936/Kpts/Dir/1993
tanggal 10 September 1993. Kendati Perhutani saat ini telah berubah menjadi
Persero, namun keputusan ini masih tetap berlaku.
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun dipimpin oleh seorang
Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) atau lebih dikenal dengan sebutan
Administratur (Adm) yang bertanggungjawab menyelenggarakan ketatalaksanaan
32
perusahaan, pengamanan hutan dan hasil hutanserta melaksanakan koordinasi
dengan instansidan lembaga-lembaga terkait dalam wilayah kerjanya. Dalam
menjalankan tugasnya Administratur dibantu oleh dua orang Ajun Administratur
Perhutani (Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan/KSKPH), seorang Ajun
Kepala Teknik Kehutanan Umum/ Ajun KTKU, dan seorang Ajun Kepala Tata
Usaha/KTU.
Ajun Administratur (KSKPH) Madiun Utara membawahi tujuh Bagian
Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) sedangkan KSKPH Madiun Selatan
Membawahi lima BKPH. Masing-masing BKPH dipimpin oleh seorang Kepala
BKPH (KBKPH) atau asisten Perhutani (Asper) dan setiap BKPH membahwahi
RPH. Di Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Madiun Utara terdapat 24
RPH sedangkan di SKPH Madiun Selatan 19 RPH yang masing-masing dipimpin
oleh seorang Kepala RPH (KRPH).
Adapun Ajun KTKU di KPH Madiun membawahi Kaur Humas dan
Agraria, Kaur Perencanaan, Kaur Data, Kaur Tanam, dan Kaur Produksi. Ajun
KTU membawahi Kaur Umum, Kaur Hasil Hutan, Kaur Personalia, dan Kaur
Keuangan, selain jabatan yang diuraikan diatas di KPH Madiun juga ada jabatan
Suplap, Kepala Teknik Bangunan dan Instalasi (KTBI), Kepala Penguji, Kepala
Tempat Penimbunan, Kayu (Kepala TPK), dan Kepala PGM (sederajat Asper)
serta dua orang Komandan Regu Keamanan (setingkat KRPH). Dalam
menjalankan tugasnya KTBI dibantu oleh seorang pengamat yang sederajad
dengan KRPH sedangkan Kepala Penguji dibantu oleh empat orang Penguji Kayu.
Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun membawahi TPK Pagotan, Caruban
33
dan TPN Ponorogo. Kepala PGM (Penggergajian Madiun) membawahi seorang
Zaag Meester dan Saw Doctor (sederajad KRPH).10
D. Gambaran Umum Hutan Kayu Putih BKPH Sukun di Ponorogo
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi Subsp cajuputi) atau dalam
literatur lama sering juga disebut merupakan salah satu jenis pohon dari famili
Myrtaceae merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri
minyak atsiri. Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan
alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram,
Nusa Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan
Papua, sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo,
Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka)11
Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang penting di
Indonesia. Hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, Perum Perhutani
mengelola sekitar 24.000 ha areal produktif jenis ini dan memiliki 10 Pabrik
Pengolahan Minyak Kayu Putih (PMKP). Pada Tahun 2009 pengelolaannya
belum optimal karena sampai saat ini produksi daun kayu putih masih jauh dari
kapasitas terpasang pabrik, yaitu sebesar 53.760 ton daun kayu putih pertahun.
10
Lihat Lampiran, Susunan Organisasi KPH Madiun, hlm. 142. 11
Perum Perhutani, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas
Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun
Jangka Perusahaan 1 Januari 2006 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan
Hutan II Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2005), hlm. 4.
34
Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan
produksi minyak mencapai 300 ton/tahun12
.
Perum Perhutani pada Tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia
merupakan salah satu importir minyak kayu putih. Berdasarkan data statistik,
kebutuhan domestik minyak kayu putih sebesar 1.500 ton per tahun tetapi
kemampuan produksi minyak Indonesia hanya 500 ton per tahun. Padahal seperti
telah disebutkan di atas potensi hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar
yang sampai dengan saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daun kayu putih
sesuai dengan kapasitas terpasang pabrik. Dilihat dari segi kualitas tegakan dan
rendemen minyak juga masih rendah. Hal ini ditunjukan dengan besarnya derajat
kesempurnaan tegakan (Dkn) antara 0,21 sampai dengan 0,81. Sebagai gambaran,
hasil kajian Utomo (2001) hutan tanaman kayu putih di BKPH Sukun hanya
memiliki Dkn rata-rata 0,68 dengan produksi daun kayu putih 4.875 ton/tahun,
dengan rendemen minyak dari tegakan kurang dari 1,0%. Sedangkan pada periode
2006-2010 rata-rata produksi mencapai 6.318 ton daun kayu per/tahun dengan
rendemen minyak 0,813
, hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan
tanaman kayu putih di Jawa belum optimum.
12
Rimbawanto, A.,N K Kartikawati, L. Baskorowati, M Susanto,
Prastyono., Status Terkini Pemuliaan “Melaleuca cajuputi” Prosiding Hasil-hasil
Penelitian, (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Biotegnologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan, 2009), hlm 148-157. 13
Perum Perhutani Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas
Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun
Jangka Perusahaan 1 Januari 2011 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan
Hutan II Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2015), hlm. 37 .
35
1. Sejarah Hutan Kayu Putih BKPH Sukun
Pada awalnya BKPH Sukun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Jati, namun
banyak terjadi pencurian kayu yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Untuk
mengantisipasi bahaya banjir serta pencurian maka pada tahun 1924 diadakan
percobaan penanaman kayu putih untuk pemanfaatan pada lahan kritis sebagai
upaya merehabilitasi lahan. 14
Bibit berasal dari Pulau Buru, penanaman dilakukan
di daerah Sukun, Pulung, Bondrang pada areal yang luasnya masing-masing 0,25
ha. Karena percobaan tersebut memuaskan maka penanaman jenis kayu putih di
BKPH Sukun diperluas terus menerus dalam pelaksanaan reboisasi tanah kosong
dan ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Kayu Putih di KPH Madiun.15
Pada tahun 1925-1936 pengembangan kayu putih mulai dibudidayakan si
BKPH Sukun KPH Madiun kawasan Ponorogo timur seluas 60,8 ha. Pada tahun
1937 percobaan penyulingan daun kayu putih mulai dilakukan dengan instalasi
yang sangat sederhana sekali. Tahun 1939 didirikan sebuah instalasi yang masih
sederhana terdiri dari dua buah los untuk penyulingan dengan dilengkapi peralatan
berupa 4 buah ketel daun yang terbuat dari besi beserta dapur atau tungku dan
pendinginan dalam kolam dari batu kali yang disusun dengan tanah liat.16
Pada tahun 1947 dilakukan penyempurnaan dan penggantian alat-alat
penyulingan dengan menggunakan ketel uap lokomotof berkapasitas 0,5 ton, serta
tangki daun berkapasitas 1 ton untuk satu kali proses. Pada tahun 1957 didirikan
bangunan pabrik minyak kayu putih yang permanen terdiri dari 3 buah ketel uap
14
Wawancara dengan Sarmanto selaku Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih
Sukun, tanggal 2 Desember 2014. 15
Perum Perhutani KPH Madiun. Sekilas Profil Kelas Perusahaan Kayu
Putih BKPH Sukun. (Perum Perhutani: Madiun, 1998), hlm. 2. 16
Ibid.
36
dan 6 buah ketel daun yang berkapasitas 1,6 ton DKP dimana semua pekerjaan
masih menggunakan tenaga buruh. Pada tahun 1986 dalam rangka meningkatkan
kualitas mutu MKP seluruh tangki dan instalasi perpipaan dibuat dari stenless stel.
Kapasitas produksi PMKP Sukun dengan hari kerja efektif 200 hari dalam satu
tahun dan tiap kali rata-rata 4 kali proses, sedangkan tiap kali proses dengan
tangki sebanyak 6 buah sekitar ± 10 ton DKP sehingga kapasitas PMKP kurang
lebih 8000 ton per tahun setara dengan 64.000 kg MKP.17
Gambar 1.
Pembangunan atap pabrik pada bulan juli tahun 1956
Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur
17
Ibid.
37
Gambar 2.
Proses pemasukan daun kayu putih ke dalam ketel penguapan tahun 1956
Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur
Gambar 3.
Proses pengangkatan daun kayu putih setelah dilakukan proses penguapan tahun
1956.
Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur
38
Gambar 4.
Proses penyulingan daun kayu putih dengan menggunakan alat-alat ketel uap pada
tahun 1957.
Sumber : Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur.
Gambar 5.
Pabrik Permanen Minyak Kayu Putih Sukun Pada Tahun 1957
Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur
2. Letak dan Batas-batas wilayah BKPH Sukun adalah :
BKPH Sukun KPH Madiun dengan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak
di sebelah Barat Daya Gunung Wilis masuk Das Bengawan Solo, Sub Das Kali
Madiun, secara administrative masuk Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur.
Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Batas sebelah barat yaitu Pal B 617 ke Utara sampai dengan Pal B 714
belok ke Timur sampai dengan Pal B B 732 ke utara sampai dengan Pal B
756/Bi
39
b. Batas sebelah utara yaitu Pal B 6 atau kali Miring Ke Timur sampai Kali
Taeng atau sampai dengan Pal B 53
c. Batas sebelah timur yaitu Pal B 6 ke selatan samapi Pal B 46 ke Timur
samapi dengan Pal B 58 belok ke selatan sampai Pal B 75
d. Batas sebelah selatan yaitu Alur B atau Pal B 56 Ke Barat sampai dengan
Pal B 12 dan belok ke Utara dengan Pal B 61718
Wilayah Hutan yang dikelola BKPH Sukun dibagi kedalam 5 Resort Polisi
Hutan (RPH) dan terdiri atas 55 petak, jumlah luas seluruh wilayah BKPH Sukun
adalah 3.701 ha dan ditinjau dari kelas hutannya dibagi dalam tiga kelompok
yaitu:
a. Hutan Produktif: 2892,2 ha (78,2 %)
b. Hutan Tak Produktif (LTJL, Tpr,Tkl,Tkpbk) : 573,8 ha(15,5 %)
c. Hutan Bukan untuk Produksi (Tbp, Ldti, SA/HW) 235,0 ha (6,3 %)
3. RPH yang termasuk wilayah BKPH Sukun adalah :
a. RPH Tambaksari seluas 663,2 ha, meliputi petak 1,2,4,42,43,44,45 dan
petak 46
b. RPH Sukun 762,9 ha, meliputi petak 3,5,15,16,32,,33,34,35,40A, dan
petak 41
c. RPH Nglayang seluas 856,4 ha meliputi petak 6 sampai dengan 14 dan 17
sampai dengan 20
18
Perum Perhutani., Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas
Perusahaan Kayu Putih KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun Jangka
Perusahaan 1 Januari 2006 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan Hutan II
Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2005), hlm. 3.
40
d. RPH Sidoarjo seluas 651,9 ha meliputi petak 21 sampai dengan 31 dan
petak 36 sampai dengan 38
e. RPH Depok seluas 766,7 ha meliputi petak 39, 40 B dan petak 47 sampai
dengan petak 55.19
4. Keadaan Tanah BKPH Sukun
Analisis tanah yang dilakukan oleh Sukirno pada tahun 1994 bahwa tanah
hutan BKPH Sukun termasuk tanah kurang subur. Adapun hasil analisis tersebut
berdasarkan pada kriteria Lembaga Penelitian Tanah Bogor bahwa pH di lokasi
penelitian, BKPH Sukun umumnya adalah agak masam sampai netral (6,10 -
6,80). Sedangkan unsur hara makro antara lain nitrogen, kalsium, pospor dan
bahan organik adalah sebagai berikut: C-tersedia sangat rendah sampai rendah
(0,67 % - 5,02 %), N-total sangat rendah sampai rendah (0,06 % - 0,10 %), P-
tersedia kurang (0,23 ppm-2,19 ppm), K-tersedia rendah sampai tinggi (0,18 -
0,62) sedangkan bahan organik sangat rendah sampai rendah (1,15 % - 5,47%).
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian kesuburan tanah perlu
dilakukan penambahan unsur hara ke dalam tanah yang berupa pupuk atau bahan
organik lainnya. Sedangkan untuk memulihkan daur hara yang terputus akibat
pengangkutan biomassa ke pabrik dan ke rumah penduduk dilakukan melalui
pengembalian sisa pabrik yang berupa afval daun kembali ke lahan hutan.20
Produktivitas tinggi apabila kerapatan tegakan juga tinggi. Kerapatan
tegakan mempunyai korelasi positif dengan produktivitas biomassa apabila
19
Ibid., hlm 15. 20
Sukirno, D.P., Kajian Penaksiran Biomas Tanaman Tanaman Melaleuca
leucadendron Linn Umur 6 Tahun di RPH Tambaksari, BKPH Sukun, KPH
Madiun. Thesis Progam PPS UGM Yogyakarta: Tidak Diterbitan, 1994, hlm 54.
41
dikombinasikan dengan umur tanaman. Hal ini senada dengan hasil kajian
Budiadi (2005), bahwa umur tanaman lebih kuat korelasinya dengan produktivitas
baik dikombinasikan maupun tidak dikombinasikan dengan kerapatan tegakan.
Seperti telah disebutkan pada paragraf sebelumnya produktivitas turun
kemungkinan disebabkan oleh sering terjadinya kebakaran, kematian pohon,
penurunan kualitas tanah akibat pemanenan yang dilakukan terus menerus dan
terjadi kompetisi antara tanaman kayu putih dengan tanaman tumpangsari dan
gulma. Namun karena adanya tumpangsari juga bisa memberi efek positif ketika
petani melakukan pemupukan pada tanamannya.21
E. Munculnya Petani Pesanggem di Hutan Kayu Putih Sukun Ponorogo
Hutan Kayu Putih Sukun Ponorogo merupakan salah satu hutan produksi
dan termasuk dalam hutan negara. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Undang-undang RI No.41
Bab I pasal 1 tentang Kehutanan). Maksud dari hasil hutan dapat berupa kayu
maupun non kayu. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda
sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya. Mendasarkan pada karakteristik khusus pada hutan
tersebut manusia dapat memanfaatkan sumberdaya hutan yang terkandung di
dalamnya, terutama pada kawasan hutan produksi. Pemanfaatan hutan ini
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri yang disebutkan
dalam Pasal 15 PP No.34/2002.
21
Pudja Mardi Utomo, Endang Suhendang, Wasrin Syafii dan Bintang
C.H. Simanngusong., loc.cit.
42
Pada kenyataannya, pemanfaatan hutan produksi masih belum optimal.
Hasil hutan yang menjadi target, baru sampai pada bagaimana hutan tersebut
mampu memproduksi kayu yang berkualitas dengan volume yang cukup tinggi,
sehingga manfaat-manfaat lain secara ekologis serta jasa yang dapat diperoleh
dari hutan belum sepenuhnya digali. Banyaknya kasus seperti penyerobotan lahan
hutan, kebakaran hutan, illegal logging serta tindak perusakan hutan lainnya,
merupakan suatu indikasi bahwa sebetulnya banyak pihak yang ingin mengambil
manfaat dari keberadaan hutan tersebut. Salah satu yang perlu mendapat perhatian
adalah masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan yang selama ini justru
termarginalisasi.
Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi di daerah pedesaan
menyebabkan berbagai dampak negatif, antara lain lahan pertanian yang makin
menyempit akibat bagi waris maupun akibat alih fungsi lahan, tidak tersedianya
lapangan pekerjaan lain yang layak bagi angkatan kerja penduduk pedesaan, serta
makin sulitnya untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang,
pangan dan perumahan.22
Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat yang tinggal
disekitar kawasan hutan kayu putih Sukun Ponorogo, sebagian besar penduduk
yang tinggal dikawasan tersebut bekerja sebagai petani penggarap lahan hutan
(petani pesanggem), banyak faktor yang membuat mereka untuk memilih sebagai
petani pesanggem hal tersebut yang mengakibatkan banyak bermunculan petani
peanggem di hutan kayu putih Ponorogo. Masyarakat desa hutan atau petani
pesanggem sesungguhnya mempunyai pengalaman dan ketrampilan alami untuk
22
Siti Zulaifah., Pemanfaatan sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat
untuk Pengembangan Kawasan Hutan Regaloh di Kabupaten Pati Jawa Tengah,
Tesis Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota: Universitas Diponegoro, Tidak
diterbitkan, 2006, hlm. 13-15.
43
melestarikan hutan, sebagai contoh pada pengelolaan hutan rakyat yang dikelola
oleh masyarakat desa hutan dengan menggunakan local knowledge (kearifan
lokal) dan ditanami menggunakan local specific (sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat lokal).
Partisipasi petani pesanggem sangat diperlukan untuk pengamanan dan
penyelamatan hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan juga
berfungsi sebagai pendidikan dan penyadaran akan arti penting konservasi alam
sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk yang selama ini lemah
karena kurangnya akses terhadap sumberdaya. Salah satunya adalah kerjasama
antara Perhutani dengan kelompok masyarakat desa hutan (petani pesanggem).
Petani pesanggem dikenal masyarakat sebagai petani upahan atau bayaran
pada zaman pemerintahan kolonial. Setelah kemerdekaan dan fungsi hutan berada
pada pemerintahan Indonesia petani pesanggem tidak begitu terdengar lagi,
meskipun mereka tetap pada pekerjaan mereka sebagai petani hutan. Ketika rezim
Orde Baru diterapkan pada setiap pemangku hutan pada tahun 1966, pemerintah
pusat mereancangkan progam memperbaiki hutan setelah pengolahan hutan
berpindah tangan dari pemerintahan Jepang ke Belanda.
Progam masa Orde Baru bersifat sentralistrik yang menitikberatkan
perekonomian pada titik tertinggi, dalam kaitannya dengan progam kehutanan,
pemerintah mengadakan gerakan massal dengan mengikutsertakan masyarakat
untuk memperbaiki DAS pada setiap kawasan wilayah hutan guna menghindari
banjir. Pada kesempatan ini petani pesanggem tidak begitu terlibat, hanya warga
desa hutan saja yang dominan terlibat pada perbaikan DAS. Tahun 1967-1968
kehutanan mengadakan progam gerakan massal yang melibatkan masyarakat
44
untuk penghijauan. tahun 1969 muncul progam kerja yang melibatkan masyarakat
kembali untuk progam hidrologi agar produksi hutan maupun pertanian sekitar
hutan dapat optimal.
Keberadaan petani pesanggem sudah muncul sejak lama di Hutan Kayu
Putih BKPH Sukun sebelum tahun 1970, namun keberadaan mereka tidak terlalu
diperhatikan seperti saat ini. Tidak banyak lahan yang digunakan sebagai lahan
tumpangsari dan mereka selalu berpindah-pindah biasanya hanya dibuka atau
diolah selama 3 tahun, kemudian mereka membuka lahan baru kembali. Pada
Tahun 1990-an banyak lahan yang mulai dibuka kecuali lahan hutan lindung dan
Kawasan Perlindungan Setempat. Pada awalnya petani yang menggarap lahan
hutan hanya penduduk yang tinggal dilingkungan hutan yaitu penduduk dari
Sukun, namun karena penduduk sekitar tidak sanggup menggarap semua lahan
hutan Pihak Perhutani mencari penduduk yang mau menggarap lahan hutan ke
desa-desa lain sehingga banyak dari penduduk desa lain yang mulai menggarap
lahan hutan BKPH Sukun seperti dari Sooko, Pudak, Singgahan, Bekiring,
Tumoncol, Sawoo dan berbagai desa di Ponorogo yang merupakan desa yang
terletak jauh dari kawasan hutan.
Pada awal tahun 1970 petani pesanggem ini merupakan petani yang
menggarap lahan hutan tanpa ijin dan sepengetahuan dari pihak Perhutani, namun
pada tahun 1990 petani-petani ini terdiri dari KTH (Kelompok Tani Hutan),
kemudian pada tahun 2004 dibentuk secara resmi Lembaga Masyarakat Pengelola
Sumber Daya Hutan (LMPSDH)23
23
Wawancara dengan Hariyono tanggal 14 Juli 2015
45
Kegiatan nasen atau mbaon24
sudah ada sejak tahun 1970an , kegiatan ini
sudah dilakukan secara turun-temurun. Pada tahun 1984 banyak petani yang sudah
membuka lahan hutan untuk sistem tumpangsari, namun masih berpindah-pindah
karena banyaknya gangguan dari hewan liar di hutan seperti kera, babi hutan dan
lain-lain yang merusak tanaman palawija, keadaan ini sangat merugikan petani
pesanggem sehingga mereka memutuskan untuk membuka lahan baru yang
dianggap aman dari gangguan hewan-hewan liar25
Tanaman tumpangsari merupakan usaha diversifikasi pertanian
(penganekaragaman produksi pertanian). Tumpangsari merupakan hasil
pengembangan dari sistem „Taungya‟ di Burma (Myanmar). Petani di Burma
biasa menanam padi gogo dicampur dengan tanaman pangan dan sayur- sayuran.
Di Indonesia, tumpangsari diperkenalkan oleh Buurman seorang ahli kehutanan
dari Hindia Belanda sekitar tahun 1856-an. Pada masa itu Buurman sebagai
Houtvester melihat kenyataan di lapangan bahwa di Houtvesterij (Bagian Hutan)
Batang–Pekalongan, petani menanam palawija di lahan hutan akibat kekurangan
lahan pertanian tanpa sepengetahuan pihak Belanda. Akhirnya disusun suatu
kebijakan bahwa petani sekitar hutan boleh menanam tanaman pangan di areal
bekas tebangan, tetapi diharuskan menanam bibit- bibit Jati di sela-sela tanaman
pangan.
Kerjasama antara petani dengan pihak Belanda tersebut diperkuat dengan
perjanjian kontrak, yang diketahui oleh pejabat desa. Petani menerima uang
kontrak yang nilainya sebenarnya kecil, tetapi fungsi hukumnya sangat kuat. Isi
24
Nasen atau mbaon merupakan istilah lain dari tumpangsari, pesanggem
menyebut tumpangsari adalah nasen atau mbaon. 25
Wawancara dengan Bapak Purnomo 2 Agustus 2015
46
dari perjanjian tersebut dilengkapi dengan hak dan kewajiban kedua pihak serta
sangsi bila masing-masing melanggar perjanjian tersebut. Awalnya, tanaman
pangan yang banyak ditanam petani di areal bekas tebangan berupa palawija, lalu
semakin berkembang ke tanaman padi jenis gogo serta singkong. Tumpangsari di
lahan hutan pada umumnya menghasilkan produksi padi cukup tinggi, karena
lahan subur dan gulma sedikit.26
Akhirnya tumpangsari semakin berkembang sampai sekarang dan tidak
hanya terbatas di kawasan hutan. Sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan
mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kelestarian dan produktifitas hutan,
karena pesanggem sebagai pelaku usaha tumpangsari selain merawat tanaman
tumpangsari, mereka juga sekaligus mengelola tanaman tegakan hutan yang
berpengaruh terhadap produktifitas hutan selama satu daur berikutnya.
Dari segi pembangunan ekonomi wilayah maupun nasional, pemberian
peluang kepada pesanggem dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu sarana
yang efektif untuk pemerataan dan tahapan untuk mengatasi kemiskinan di
lingkungan masyarakat desa hutan. Apabila dirancang dan dibimbing dengan baik,
sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk
meningkatkan produksi pangan nasional melalui penanaman komoditas tertentu
yang bernilai ekonomi tinggi seperti cabe, sayur-sayuran, padi gogo, kedelai,
ketela, jagung dan sebagainya. Jadi pemberdayaan pesanggem yang baik
26
Hasanu Simon., Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 11.
47
berpeluang besar untuk memberi sumbangan yang sangat berarti bagi
pembangunan desa, bahkan secara regional serta nasional.27
Tujuan dari tumpangsari sendiri adalah untuk meningkatkan ketahanan
pangan nasional, hal ini diharapkan mampu memperbaiki kehidupan sosial
ekonomi petani pesanggem yang tinggal disekitar hutan kayu putih Sukun
Ponorogo. 28
27
Hasanu Simon, dkk., Dinamika Kehidupan Petani Kecil Kasus
Pesanggem dan Lingkungannya, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 10. 28
Wawancara dengan Hariyono Pada Tanggal 2 Agustus 2015.