bab ii dbd
DESCRIPTION
bab2dbdTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Penyakit virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
tipe I,II III dan IV golongan arthropod borne virus group B (arbovirus) yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968
penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi
kejadian luar biasa dan meluas ke seantero wilayah Republik Indonesia. Oleh
karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang awalnya
banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran
menyerang dewasa.
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat
memburuk dan tidak tertolong (Dengue Shock Syndrome / DSS). Sampai saat ini
masih sering dijumpai penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang semula
tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok sampai
meninggal dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD yang klinis maupun
laboratoris nampak berat namun ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di
dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap, walaupun sampai
saat ini tidak sedikit peneliti yang mendalami bidang tersebut, namun hasil yang
memuaskan belum terlihat secara jelas di dalam mengungkapkan berbagai faktor
yang dapat menyebabkan hal tersebut di atas.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi
35,19 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di
banyak negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan
anak di rumah sakit. Program pencegahan DBD yang tepat guna harus
dilaksanakan secara integral mencakup surveilans laboratory based, penyuluhan
5
dan pendidikan pengelolaan penderita bagi dokter dan paramedis, dan
pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut
endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis
atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini
sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat
memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.
2.2. Demam Berdarah Dengue
Penyakit demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus. Dikenal bermacam-macam jenis virus penyebab penyakit demam berdarah,
tetapi di Indonesia hanya terdapat 2 jenis virus penyebab demam berdarah yaitu
virus dengue dan virus chikungunya. Diantara kedua jenis virus yang terdapat di
negeri kita, virus dengue merupakan penyebab terpenting dari demam berdarah.
Oleh karena itu, penyakit demam berdarah yang kita kenal tepatnya bernama
demam berdarah dengue, sesuai dengan nama virus penyebab.
Virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue,
merupakan mikroorganisme yang sangat kecil hanya dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Virus hanya dapat hidup di dalam sel hidup, maka demi
kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia yang ditempati
terutama untuk kebutuhan protein. Apabila daya tahan tubuh seseorang yang
terkena infeksi virus tersebut rendah, sebagai akibatnya sel jaringan akan semakin
rusak bila virus tersebut berkembang banyak maka fungsi organ tubuh tersebut
baik, maka akan sembuh dan timbul kekebalan terhadap virus dengue yang pernah
masuk ke dalam tubuhnya.
Penyakit demam berdarah dengue mengenai seseorang melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang menularkan penyakit adalah nyamuk betina
dewasa. Nyamuk betina memerlukan darah manusia atau binatang untuk hidup
dan berkembang biak. Apabila di sekitar tempat bersarang nyamuk tersebut
dijumpai seseorang yang sedang sakit demam berdarah penyakit demam berdarah
6
dengue ringan atau berat. Bila daya tahan tubuh baik dan virus tidak ganas, maka
derajat penyakit tidak berat. Sebaliknya apabila daya tahan tubuh rendah seperti
pada anak-anak, penyakit infeksi dengue ini dapat menjadi berat bahkan dapat
mematikan.
Seperti halnya virus yang lain (misalnya influenza, campak) sebagian besar
penderita anak sembuh dengan sendirinya, baik diobati maupun tidak diobati oleh
karena penyakit virus bersifat self limiting disease. Jadi, penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus mempunyai keunikan yaitu datang mendadak, penyakit
akan berjalan terus walaupun diobati, dan akhirnya akan sembuh dengan
sendirinya tergantung dari ketahanan tubuh orang yang terkena. Jadi, apa gunanya
diobati? Sebenarnya yang diobati adalah gejala yang timbul sebagai ‘akibat ulah’
virus yang berakhir timbul gejala demam, syok, maupun perdarahan, oleh karena
sampai sekarang belum ada obat yang dapat membunuh virus dengue, maka
harapan lainnya adalah dibuatnya vaksin dengue, yang sampai saat ini masih
dalam taraf penelitian dan belum beredar.
2.2.1.Definisi dan Batasan
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. 1
Penyakit infeksi disebabkan oleh virus dengue ditandai dengan demam
tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan
renjatan dan kematian.
2.2.2.Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
7
1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak
dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi
kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di
Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%
pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun
1991.2
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,
dimana suhu panas dan praktek penyimpanan air di rumah menyebabkan populasi
aedes aegypti besar dan pemanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue
dari semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering terjadi.
Sesudah umur 1 tahun, hampir semua penderita dengan sindrom syok dengue
mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukan
infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat. Wabah tahun 1981 di Kuba,
dimana anak dan dewasa terpajan sama, telah menunjukan bahwa sindrom
permeabilitas vaskuler akut, terjadi hampir selalu pada anak usia 14 tahun dan
yang lebih muda. Pada orang dewasa penyakit berat lebih sering disertai dengan
fenomena perdarahan. Demam berdarah dengue dapat terjadi selama infeksi
dengue primer, paling sering pada bayi yang ibunya imun terhadap dengue. 3
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada
anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia
dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.2
8
2.2.3. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. 1
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. 1,2
Vektor
Virus Dengue dapat ditularkan oleh:
1. Nyamuk Aedes aegypti
2. Nyamuk Aedes albopictus
Morfologi dan Daur Hidup Nyamuk Vektor DBD
1. Nyamuk dewasa: ukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih
pada bagian badan, kaki dan sayap
2. Telur: berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti
gambaran kain kassa
3. Jentik: ukuran 0,5-1 cm, dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya
berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu
istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.
9
Gambar 2.2 Daur Hidup Nyamuk Vektor DBD
4. Metamorfosis sempurna
Sifat-Sifat Nyamuk Aedes aegypti
1. Antropofilik dan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa
orang secara bergantian dalam waktu singkat dan mempermudah pemindahan
virus
2. Aktivitas menggigit pagi sampai dengan petang dengan puncak aktivitas 09.00-
10.00 dan 16.00-17.00
3. Kemampuan terbang nyamuk betina 40-100 meter. Namun karena angin atau
terbawa kendaraan, nyamuk ini bisa berpindah lebih jauh
4. Kebiasaan istirahat serta menggigit dalam rumah (indoor). Tempat hinggap
dalam rumah adalah barang-barang bergantungan seperti baju, gorden, kabel,
peci dan lain-lain.
5. Nyamuk ini lebih senang warna gelap daripada terang.
2.3.4. Patofisiologi
10
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai
indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok.
Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan
dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok
terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang
interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung
dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya
edema. 2
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan
perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau
akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada
masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang
diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia. 2
Trombositopenia
11
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak
diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
perdarahan pada DBD. 2
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut
faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III.
Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II,
dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak
hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi
sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan
12
alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh penelitian
di atas menunjukan bahwa 2:
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga
DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol
dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC
sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi
sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat,
terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan
fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia,
gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC,
terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai
komplikasi asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat
penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi
komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil
penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik.
13
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan
trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek,
kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga
merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor
(TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1). 2
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD
ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2)
adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada
DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif
kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 2
Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke
enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan
demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran
antara limfosit B dan limfosit T. 2
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
14
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:
netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated
Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement.
2.2.5.Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu 4:
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi 2:
1. Nyeri kepala, nyeri retro-orbital
2. Mialgia
3. Ruam kulit
4. Leukopenia.
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi,
nyeri pada anggota badan dan ruam (rash).
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
15
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,
tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam
sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar
limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai
Castelani’s sign yang patognomonik. 2
Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut:
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi
trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin
meningkat.
Demam Berdarah Dengue
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD
terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat
pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila
sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi
jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi
dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi. 2
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4
cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan
dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan
perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada
sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak
jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan. 2
16
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia
sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama
yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. 2
Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah
dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab
dan pasien tampak gelisah.
Gambar 2.16 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD
Gambar 1. Endotracheal Tube
17
Sumber: Miller, Ronald D. (2005). Atlas of Regional Anesthesia Procedure. USA:
Churchill Livingstone.
Gambar 2. Endotracheal Tube dengan Bavel dan Murphy Eye
Sumber: Miller, Ronald D. (2005). Atlas of Regional Anesthesia Procedure. USA:
Churchill Livingstone.
2.2.6. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2009: 5
Kriteria Klinis
1. Panas mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam
bifasik (saddleback) yaitu:
a. Hari 1-2 : naik
b. Hari 3-4 : turun
c. Hari 5-6 : naik
18
Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau lebih kriteria klinis dan satu
kriteria laboratoris
Gambar 2.17 Demam Bifasik pada DBD
2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:
a. uji torniket (+)
b. petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi
d. hematemesis dan melena
3. Hepatomegali.
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan
lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak
terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill
time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah
mendapat terapi cairan).
19
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah :
Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah,
kulit lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diperiksa.
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya
terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin,
faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Pencitraan
20
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum,
penebalan dinding vesica felea.
Pemeriksaan Rumple eed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada
dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak
oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan
merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah
kecil pada permukaan kulit (petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan
atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan
diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan
tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti
jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit
lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran
berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika
terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.
Pemeriksaan Serologi
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
Uji hambatan hemaglutinasi
Uji Netralisasi
Uji fiksasi komplemen
Uji Hemadsorpsi Immunosorben
Uji Elisa Anti Dengue Ig M
Tes Dengue Blot.
2.2.8. Komplikasi
21
Ensefalopati Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti
dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl
(0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan
kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan
vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD
ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat
diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang
tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati.
Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan
tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan
untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
Edema paru
22
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema
paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto
roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
2.2.9. Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID).
Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan
Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Masa kritis ialah pada atau
setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung
trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya
kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah
urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan
pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume,
sehingga dapat mencegah syok.
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan
resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan,
gelatin dan hydroxy ethyl starch) sebanyak 10-30ml/kgBB/jam.setelah terjadi
perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid. Apabila setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan
23
kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan
kristaloid dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat
traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan
homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur
pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan
bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan
suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen
plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah
agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula
diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar
hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.
2.2.10. Kriteria Memulangkan Pasien
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau
asidosis).4
24
25