bab ii bosh

23
II-1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Evaporasi dan Evaporator Evaporasi adalah proses untuk memekatkan suatu larutan dengan menguapkan zat pelarutnya. Sedangkan Evaporator adalah alat untuk menguapkan zat pelarut pada suatu larutan (Geankoplis, 1997). II.2 Sifat yang Mempengaruhi Proses Penguapan Sifat kimia dan fisika larutan yang akan dipekatkan mempunyai pengaruh besar pada jenis evaporator yang digunakan, (Geankoplis,1997). Berikut adalah sifat- sifat penting dari zat cair yang dievaporasikan yang mempengaruhi proses evaporasi : Konsentrasi larutan Biasanya umpan cair yang akan dipekatkan pada evaporator konsentrasinya encer, memiiki viskositas rendah, hampir sama dengan air dan koefisien perpindahan panas relatif tinggi. Selama proses penguapan, konsentrasi larutan dapat menjadi lebih pekat sehingga dapat menyebabkan koefisien perpindahan panas menurun. Agar koefisien perpindahan panas tidak menurun maka harus menaikkan sirkulasi produk dan memperbesar turbulensi aliran udara. Kelarutan

Upload: dicky-mahardhika

Post on 02-Jan-2016

80 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II bosh

II-1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Evaporasi dan Evaporator

Evaporasi adalah proses untuk memekatkan suatu larutan dengan

menguapkan zat pelarutnya. Sedangkan Evaporator adalah alat untuk

menguapkan zat pelarut pada suatu larutan (Geankoplis, 1997).

II.2 Sifat yang Mempengaruhi Proses Penguapan

Sifat kimia dan fisika larutan yang akan dipekatkan mempunyai pengaruh

besar pada jenis evaporator yang digunakan, (Geankoplis,1997).

Berikut adalah sifat- sifat penting dari zat cair yang dievaporasikan yang

mempengaruhi proses evaporasi :

Konsentrasi larutan

Biasanya umpan cair yang akan dipekatkan pada evaporator

konsentrasinya encer, memiiki viskositas rendah, hampir sama dengan air

dan koefisien perpindahan panas relatif tinggi. Selama proses penguapan,

konsentrasi larutan dapat menjadi lebih pekat sehingga dapat

menyebabkan koefisien perpindahan panas menurun. Agar koefisien

perpindahan panas tidak menurun maka harus menaikkan sirkulasi produk

dan memperbesar turbulensi aliran udara.

Kelarutan

Saat larutan dipanaskan maka konsentrasi zat terlarut atau garam

meningkat, dan kristal akan terbentuk. Kelarutan membatasi konsentrasi

maksimum larutan yang dipekatkan.

Kesensitifan bahan terhadap suhu

Banyak produk, khususnya minuman dan bahan biologi lainnya, yang

mana sensitif terhadap suhu, akan rusak ketika dipanaskan pada suhu

tinggi.

Page 2: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Busa

Pada beberapa bahan yang kental seperti susu skim, selama proses

penguapan akan menimbulkan busa, yang akan menyebabkan sebagian

cairan terbawa dalam aliran uap.

Tekanan dan suhu

Titik didih larutan berhubungan dengan tekanan pada sistem. Semakin

besar tekanan operasi pada evaporator menyebabkan titik didih larutan

semakin tinggi.

Pembentukan endapan dan bahan konstruksi

Beberapa larutan membentuk endapan yang disebabkan karena

dekomposisi produk atau kelarutannya menurun, sehingga menyebabkan

penurunan koefisien perpindahan panas. Bahan konstruksi untuk

evaporator perlu diperhatikan unutuk meminimalkan korosi. Maka dari itu

harus sering dibersihkan.

(Geankoplis, 1997)

II.2.1. Variabel yang Mempengaruhi Operasi Penguapan

a. Suhu umpan

Suhu umpan mempunyai pengaruh besar pada operasi evaporator. Apabila

umpan yang masuk dibawah suhu jenuhnya, maka diperlukan pemanasan

awal pada umpan sebelum terjadi penguapan sehingga diperlukan luas

perpindahan panas untuk pemanasan awal. Jika umpan yang masuk

suhunya diatas suhu jenuh, akan terjadi penguapan secara flash.

b. Tekanan operasi

Dalam beberapa hal diharapkan driving force perbedaan suhu yang besar,

karena semakin besar driving force perbedaan suhu, luas perpindahan

panas dan biaya penguapan semakin menurun. Biasanya digunakan unit

penghampaan untuk menurunkan tekanan operasi. Selain itu dapat juga

dengan penghembusan uap-gas untuk menurunkan tekanan parsial uap.

II-2

Page 3: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

c. Suhu media pemanas

Semakin besar suhu media pemanas yang digunakan semakin besar

perbedaan suhunya, yang akan menyebabkan semakin kecil luas

perpindahan panas. Sehingga ukuran dan biaya evaporator menjadi kecil.

d. Waktu tinggal

Semakin lama waktu tinggal menyebabkan semakin banyak terjadi

penguapan. Tetapi untuk bahan yang sensitif terhadap panas, waktu

tinggal yang terlalu lama harus dihindari karena akan merusak larutan

yang akan dipekatkan.

e. Turbulensi

Adanya turbulensi dapat menaikkan koefisien perpindahan panas karena

adanya konveksi.

f. Kerak

Kerak dan bahan konstruksi; beberapa bahan dapat mudah membentuk

kerak pada permukaan pemanas akibat dekomposisi ataupun penururnan

kelarutan. Ini akan menyebabkan penurunan koefisien perpindahan panas.

Sedangkan bahan konstruksi evaporator hendaknya dipilih yang tidak

mudah terkorosi dan tahan secara mekanik maupun panas.

g. Foaming

Pembusaan (foaming); beberapa bahan yang mengandung soda, lerutan

susu dan asam lemak dapat membentuk busa selama pendidihan. Hal ini

akan menghambat pembentukan dan pengeluaran uap sehingga terjadi

tumpah (entrainment).

(Geankoplis, 1997)

II.3. Karakteristik Produk dan Alat

Karakteristik produk yang akan diuapkan dan material alat memiliki

peranan besar dalam penentuan tipe evaporator yang cocok untuk digunakan.

Berikut merupakan operasional dan karakteristik produk yang

mempengaruhi penentuan tipe evaporator, selain yang sudah disebutkan

sebelumnya pada bagian atas :

II-3

Page 4: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Viskositas

Dengan semakin tingginya konsentrasi larutan dapat pula menyebabkan

viskositas semakin tinggi sehingga koefisien perpindahan panas total

semakin rendah.

2. Medium Pemanas

Produk biasanya memiliki koefisien perpindahan panas yang rendah

sehingga dibutuhkan luas pemanasan yang lebih besar.

3. Konstruksi Material

Transfer panas pada permukaan material amatlah penting sehingga perlu

dipertimbangkan material apa yang akan dipakai. Jenis material tidak

hanya menentukan biaya total, konduktivitas panas juga akan

mempengaruhi koefisien perpindahan panas total dan luas permukaan

yang dibutuhkan.

II.4. Klasifikasi Evaporator

Evaporator dapat dibagi dalam empat kategori menurut prinsip

perpindahan panas yang diterapkan, yaitu sebagai berikut (Hewit, et.al.,1993) :

1. Evaporasi film cairan.

2. Evaporasi cairan dengan pembentukan nucleate boiling pada permukaan

yang panas.

3. Evaporasi cairan yang disebabkan karena pengurangan tekanan, yang lebih

dikenal dengan nama flashing.

4. Evaporasi cairan karena kontak langsung dengan fluida panas, baik itu gas

maupun cairan.

II.5. Tipe Evaporator

Beberapa tipe evaporator antara lain :

a. Batch Pan

Pada umumnya digunakan untuk evaporasi minyak bumi, tipe ini adalah

metode yang paling tua digunakan. Membutuhkan waktu evaporasi yang

cukup lama. Batch Pan bisa menggunakan model pemanas external shell

and tube heater. Luas perpindahan panas umumnya cukup sempit

II-4

Page 5: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

tergantung pada volume vessel dan koefisien perpindahan panas umumnya

rendah dibawah kondisi konveksi alamiah. Biasanya digunakan untuk

evaporasi kapasitas rendah.

b. Tubular Evaporator

Natural Circulation

Evaporasi dengan menggunakan natural circulation di tujukan untuk

penggunaan beberapa tube yang pendek pada bagian batch pan, atau

dengan menggunakan external shell and tube heater dibagian luar

dari vessel utama. Aplikasi yang paling umum pada tipe ini adalah

sebagai unit reboiler pada bagian bawah kolom distilasi.

Rising Film Tubular

Sistemnya menggunakan tube yang vertikal dengan steam yang di

kondensasi pada bagian luar permukaan. Larutan pada bagian tube di

didihkan, dengan uap yang di generasikan pada bagian dalam tube.

Pada perkembangannya tipe ini dijadikan sebagai perubahan besar-

besaran pada evaporator terutama pada kualitas produk. Pada laju

alir yang lebih tinggi menghasilkan film larutan yang tipis dan

bergerak lebih cepat pada bagian tube. Ini menghasilkan koefisien

perpindahan panas yang lebih tinggi dan waktu tinggal produk lebih

cepat.

Falling film Evaporator

Pada umumnya tidak terlalu memiliki perbedaan suhu yang terlalu

besar, biasanya digunakan untuk pemisahan komponen yang sensitif

terhadap panas, membutuhkan pressure drop yang rendah diperlukan

perbedaan suhu sebagai driving force yang rendah juga. Dimana

sistemnya cairan masuk pada bagian atas tube dan mengalir ke

bawah pada dindingnya sebagai film yang tipis. Pemisahan larutan

dan uap umumnya terjadi di bagian bawah, sehingga ini adalah

alasan falling film evaporator ini digunakan secara luas untuk

mengentalkan material yang sensitif.

II-5

Page 6: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Forced Circulation Evaporator

Dikembangkan untuk memproses cairan dimana cairan tersebut

mudah terjadi kerak atau mengkristal. Cairan disirkulasi dengan laju

yang cepat pada heat.

c. Plate Type Evaporator

Plate Evaporator dikembangkan sebagai alternatif dari sistem turbular.

Pada plate evaporator diperoleh permukaan perpindahan panas yang lebar

sehingga bisa di peroleh kapasitas yang tinggi, serta diperoleh waktu

tinggal yang rendah.

II.6 Metode Operasi Evaporator

Untuk mencapai tingkat efisiensi dan steam yang tinggi, maka dalam

penggunaannya evaporator dioperasikan dalam berbagai metoda operasi sbb:

a. Single-effect evaporator.

b. Forward-feed multiple effect evaporator.

c. Backward-feed multiple efect evaporator.

d. Parallel feed multiple effect evaporator.

Sedangkan untuk membantu pencapaian efisiensi dan steam ekonomi

yang tinggi seperti diatas, biasanya dibantu dengan penambahan vakum pada

bagian keluaran destilat atau produk uap terakhir (Geankoplis, 1997).

II.7. Falling Film Evaporator

Pada falling film evaporator, umpan mengalir ke bawah sebagai lapisan

film pada bagian tube yang dipanasi dengan media pemanas (steam). Pemisahan

uap dan cairan biasanya pada bagian bawah. Film cairan yang terbentuk

tergantung pada gaya gravitasi, viskositas cairan serta kecepatan alir cairan. Film

evaporator dirancang untuk menguapkan suatu cairan yang mengalir membentuk

suatu film tipis di atas permukaan yang dipanasi. Panas dipindahkan secara

konduksi dan konveksi. Falling film evaporator menghasilkan film yang tipis dan

mengalir cepat, sehingga koefisien perpindahan panasnya lebih tinggi.

Dalam perpindahan panas falling film evaporator, salah satu hal utama

yang berperan penting adalah laju penguapan film. Metode-metode yang dapat

II-6

Page 7: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

digunakan untuk meningkatkan laju penguapan film tipis adalah : (Hewitt, dkk,

1994)

1. Menaikkan suhu permukaan yang dipanasi, Tw

2. Menurunkan tahanan panas film, misal dengan menaikkan

koefisien perpindahan panas, h

3. Menurunkan suhu permukaan cairan, Ts

a. Dalam keadaan uap murni yaitu dengan

menurunkan tekanan total

b. Dalam keadaan campuran uap-gas yaitu dengan

menurunkan tekanan parsial uap

Metode 1 terbatas karena sering terjadi nucleate boiling yang sulit dihindari.

Metode 2 digunakan pada film tipis. Metode 3.a. mempunyai pemasalahan

kebocoran dalam sistem vakum. Metode 3.b. secara luas digunakan untuk

mengatasi masalah pada metode 3.a. salah satunya dengan hembusan udara.

Falling film evaporator memiliki kelebihan dan kelemahan : (Hewitt, dkk,

1994; Salvagnini M.W dan Maria E.S.T, 2004)

Aplikasi waktu tinggalnya singkat dan digunakan untuk fluida sensitif

terhadap panas

Hanya dibutuhkan ruang yang kecil untuk penempatannya

Digunakan untuk cairan dengan kandungan padatan rendah

Koefisien perpindahan panas tinggi

Prinsip penting yang harus diperhatikan dalam desain falling film evaporator

adalah:

1. Cairan superheat harus cukup rendah untuk

membatasi terbentuknya nucleate boiling, yang akan menyebabkan deteriorasi

dan fouling.

2. Dibutuhkan perbedaan yang cukup antara suhu

permukaan yang dipanasi dengan suhu jenuh sesuai dengan tekanan uap

parsialnya.

3. Film cairan tipis dengan koefisien perpindahan

panas yang memadai.

II-7

Page 8: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. Laju alir umpan harus cukup besar untuk

mencegah agar film larutan menjadi tidak merata.

5. Pada sistem aliran counter-current, laju alir gas

keluar harus lebih kecil daripada batas flooding.

6. Sistem distribusi larutan pada bagian permukaan

larutan memungkinkan untuk menghasilkan ketebalan film yang seragam.

Gambar II.1 falling film evaporator berlawanan arah

Gambar II.2 falling film evaporator searah

Jenis distributor yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Overflow Weir Distributor

Pada distributor ini umpan masuk pada bagian (a) dan mengalir secara

overflow ke bagian (b) dan kemudian overflow dari bagian ini akan

membasahi dinding tube dengan membentuk film (Gambar. II.3)

II-8

umpan

Weir

(a)

42 mm

30 mm

(b)

Cairan masuk Gas masuk

Gas keluar Cairan masuk

Page 9: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar II.3 overflow distributor

2. Plugflow Distributor

Pada distributor jenis plugflow, aliran mengalir melalui lubang-lubang

kecil dan membentuk film di sepanjang tube.(Gambar. II.4)

Gambar II.4 Plugflow Distributor

II.8. Macam-macam fluida

Fluida Newtonian

Fluida yang mengikuti hukum Newton untuk viskositas, yaitu pada aliran

fluida dalam pipa adalah, dimana viskositas fluida adalah

konstan dan grafik hubungan antara shear stress dan shear rate linier.

Fluida non-Newtonian

Yaitu fluida yang sifat alirannya tidak dapat dideskripsikan dengan satu

nilai viskositas yang konstan. Pada grafik hubungan antara shear stress

dan shear rate tidak linier. Ada beberapa model untuk fluida non-

Newtonian, antara lain model power law yang dinyatakan dengan

. dimana n dan m adalah parameter viskositas pada

model power law. Bila n>1 maka fluida disebut dilatant dalam hal ini

II-9

15,87 mm

15,87 mm

plugflow distributor

2 baris9 lubang

40o

3,17 mm

1 mm

Page 10: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

viskositas fluida naik dengan kenaikan stress. Sedangkan n<1, fluida

disebut pseudoplastik, dalam hal ini viskositas turun dengan kenaikan

stress.

Grafik fluida Newtonian dan non-Newtonian dapat dilihat pada

gambar II.5 dibawah ini :

Grafik II.5 Fluida Newtonnian dan non-Newtonnian

II.8 Metode Perhitungan Perpindahan Massa dan Panas Single Effect

Evaporator

Persamaan-persamaan ataupun rumus –rumus untuk perhitungan

kapasitas pada single effect evaporator diturunkan dai persamaan dan

rumus dasar perpindahan panas dan massa sebagai berikut :

............................... (1)

Dimana :

q : jumlah panas yang berpindah dalam evaporator (W atau btu/h)

U : koefisien perpindahan panas overall (W/m2 K atau btu/h.ft3.oF)

A : luas penampang perpindahan panas (m2 atau ft2)

II-10

Shear Rate, k

Newtonian Fluid

Pseudoplastic Fluid

Dilatant Fluid

Shear Stress, Bingham

Plastic

Page 11: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ΔT : beda suhu antara steam jenuh dan cairan yang mendidih dalam

evaporator (K atau oC atau oF)

Untuk menyelesaikan persamaan diatas, dibuat neraca massa dan

panas evaporator yang digambarkan seperti pada flow diagram berikut :

Gambar II.6 Single Efeect Evaporator

Dimana :

F : Feed (kg/h atau lbm/h)

Tf : Suhu masuk feed (K atau oC atau oF)

Xf : Fraksi massa zat terlarut dalam feed

hf : Entalpi dari feed (J/kg atau btu/lbm)

L : Produk (concentration liquid)(kg/h atau lbm/h)

T1 : Suhu liquid dalam evaporator = suhu produk = suhu uap hasil

evaporasi (K atau oC atau oF)

xL : Fraksi massa zat terlarut dalam produk

hL : Entalpi dari produk (J/kg atau btu/lbm)

V : Uap hasil evaporasi (kg/h atau lbm/h)

yV : Fraksi massa zat terlarut dalam uap hasil evaporasi (yV = 0)

HV : Entalpi uap hasil evaporasi (J/kg atau btu/lbm)

II-11

Page 12: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

S : Steam jenuh masuk = kondensat keluar (kg/h atau lbm/h)

TS : Suhu steam jenuhmasuk = suhu kondensat keluar (isoterm)

(K atau oC atau oF)

HS : Entalpi steam masuk (J/kg atau btu/lbm)

HS : Entalpi kondensat keluar (J/kg atau btu/lbm)

dari steam yang masuk dan kondensat yang keluar (isotermal), ini berarti

panas yang dipakai untuk penguapan hanya diambil dari panas laten(panas

pengembunan) dari steam tersebut yang berarti :

λ = Hs – hs ............................ (2)

disini suhu uap keluar dan suhu produk serta suhu liquid dalam evaporator

adalah sama, karean uap (V) dan liquid (L) berada dalam kesetimbangan.

Neraca massa untuk proses diatas (anggap steady state) dapat dituiskan :

Rate of mass in = rate of mass out ...............................(3)

Sehingga neraca massa totalnya:

F = L + V ...............................(4)

Dan neraca komponen (solute) nya :

F.xF = L xL ..............................(5)

(karena yV=0, maka V. yV=0)

Sedangkan neraca panasnya dapat ditulis :

Total panas masuk = total panas keluar ............................(6)

II-12

Page 13: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dengan menganggap tidak ada panas yang hilang karena radiasi dan

konveksi, maka persamaan (7) dapat ditulis :

F. hF + S.Hs = L.hL + V.HV + S.hs ..............................(7)

Substitus persamaan (2) ke persamaan (8) di dapat :

F.hF + S.λ = L.hL + V.Hv ............................(8)

Dan panas yang berpindah dalam evaporator adalah :

q = S (Hs-hs) = S.λ ............................(9)

pada persamaan-persamaan diatas, panas laten steam (λ) pada suhu

steam jenuh Ts mudah di dapat dari tabel. Tetapi entalpi dari feed dan

produk sulit dicari karena memang sering datanya tidak tersedia. Untuk itu

maka kadang-kadang perlu dilakukan aproksimasi untuk dapat

menyelesaikan perhitungan diatas.

II-13

Page 14: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.2 Aplikasi Industri

PEMETAAN KOROSI PADA STASIUN PENGUAPAN DI PABRIK GULA

WATOE TOELIS

Dian Virgianto (2707 100 050)

Dosen Pembimbing : Prof.Dr.Ir. Sulistijono, DEA

Budi Agung Kurniawan, ST, MSc)

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Pada industri pabrik gula, seperti pada proses industri lainnya tentu

mengalami permasalahan korosi pada setiap tahapan proses produksinya. Dengan

adanya bahan konstruksi yang terbuat dari logam, maka bahan konstruksi pada

Pabrik Gula tersebut rentan terhadap serangan korosi. Korosi itu sendiri

merupakan perusakan suatu material karena adanya reaksi dengan lingkungannya

atau dapat disebut sebagai gejala destruktif yang dapat mempengaruhi hampir

semua logam. Pada dasarnya, korosi ini memang tidak dapat dihindari, akan tetapi

dapat diperlambat laju. Korosinya Sehingga tanpa disadari, permasalahan korosi

ini dapat menimbulkan dampak-dampak yang merugikan baik dari segi biaya,

sumber daya alam dan juga sumber daya manusia.

Untuk mengetahui Uji polarisasi disini menggunakan material jenis

medium carbon steel dan stainless steel 304 dengan larutan elektrolit

menggunakan nira disesuaikan pada kondisi operasi. Pada uji komposisi sulfur ini

menggunakan fuchsin dan formaldehida, dimana pereaksi fuchsin merupakan

campuran dari 11 ml larutan H2SO4 pekat, 234 ml air dan larutan fuchsin 3%

II-14

Page 15: BAB II bosh

LABORATORIUM OPERASI TEKNIK KIMIA IIIPROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIAFTI-ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dalam ethanol (warna larutan coklat) kemudian ditambahkan 1 ml larutan

formaldehida 40%.

Pada pengujian ini digunakan tegangan sebesar -0,5 sampai 0,5. Setelah

ditarik 2 garis ektrapolasi pada kurva polarisasim tersebut, maka didapat nilai icorr

pada titik pertemuan antara kedua garis tersebut yang kemudian ditarik pada

sumbu ordinat pada setiap pengujian yang dilakukan. Setelah didapat nilai icorr,

maka didapat nilai icorr per satuan luas yang digunakan pada spesimen uji. Hasil icorr

per satuan luas tersebut dimasukkan kedalam rumus CR (Corrosion Rate)

sehingga didapat nilai laju korosi pada kalandria, pipa pemasukan-pengeluaran

dan badan sulfitasi. Dari hasil uji polarisasi, laju korosi terendah terjadi pada

material jenis Stainless Steel dengan pH 7,2 sebesar 0,02937 mm/year sedangkan

laju korosi tertinggi terjadi pada material jenis Medium Carbon Steel dengan pH

5,5 sebesar 6,0656 mm/year. Semakin asam larutan nira sertasemakin besar kadar

sulfur yang terkandung dalam nira akan semakin berpengaruh pada tingkat

korosifitas terhadap Stainless Steel 304 dan Medium Carbon Steel. Laju korosi

yang dihasilkan pada Stainless Steel 304 lebih rendah daripada Medium Carbon

Steel. Hal ini dikarenakan adanya kandungan Chroum (Cr) yang lebih besar dari

Stainless Steel sehingga material jenis ini lebih tahan korosi dibanding dengan

material jenis Medium Carbon Steel.

Proses korosi pada stasiun penguapan dipengaruhi oleh pH larutan nira

serta komposisi kimia yang terkandung didalam nira. Semakin kecil pH dan

semakin besar kandungan sulfur didalamnya, maka semakin besar pula laju korosi

yang dihasilkan. Dari hasil uji polarisasi, laju korosi terendah terjadi pada

material jenis Stainless Steel dengan pH 7,2 adalah 0,02937 mm/year sedangkan

laju korosi tertinggi terjadi pada material jenis Medium Carbon Steel dengan pH

5,5adalah 6,0656 mm/year. Sehingga laju korosi pada SS 304 dalam larutan nira

pH 7,2 dan 6,8 termasuk kategori low corrosion, sedangkan laju korosi pada

Medium Carbon Steel dengan larutan nira pH 6,8 termasuk kategori medium

corrosion serta laju korosi Medium Carbon Steel dalam larutan nira pH 5,5

termasuk dalam kategori high corrosion.

II-15