bab ii
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Bulous Pemphigoid
II.1.1 Definisi
Pemfigoid bulosa (P.B) adalah penyakit autoimun kronik
yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang diatas kulit yang eritematosa, atau disebut juga
dengan penyakit berlepuh autoimun (Wiryadi, 2007; Daili dkk,
2005; Siregar, 1996).
II.1.2 Etiologi
Etiologinya ialah belum jelas, diduga autoimun. Produksi
autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum
diketahui (Wiryadi, 2007).
II.1.3 Patofisiologi
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa produksi
autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum
diketahui, namun pada pemeriksaan antibodi ditemukan deposit
autoantibodi IgG dan komplemen dengan pola linier pada
perbatasan dermis dan epidermis (Basal Membrane Zone). Deposit
antigen ini diperkirakan yang menyebabkan pelepasan berbagai
enzim proteolitik yang kemudian menyebabkan pembentukan bula
dan pemisahan epidermis-dermis (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001;
Kariosentono, 2000).
Antigen P.B merupakan protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan
bagian B.M.Z (Basal Membrane Zone) epitel gepeng berlapis.
Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom
(Wiryadi,2007).
2
Terdapat dua jenis antigen P.B berdasarkan ukuran berat
molekul yaitu PBAg1 atau PB230 (berat molekul 230 kD), dan
PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan daripada
PB180 (Wiryadi, 2007).
Autoantibodi pada P.B terutama IgG1 dan terkadang
disertai juga IgA. Isotipe IgG utama adalah IgG1 dan IgG4.
Autoantibodi yang melekat pada komplemen hanya IgG1 (Wiryadi,
2007, Goldstein, 2001).
II.1.4 Gambaran klinis
Keadaan umum pada P.B baik, perjalanan penyakit
biasanya ringan, sering disertai rasa gatal. Kelainan kulit terutama
berupa bula besar (numular-plakat) berdinding tegang berisi cairan
jernih, dapat bercampur dengan vesikel yang terkadang hemoragik,
daerah sekitar berwarna kemerahan atau eritem. Lesi awal dapat
berupa urtika (Daili dkk, 2005; Kariosentono, 2000).
Lesi paling sering ditemukan pada perut bagian bawah,
paha bagian medial atau anterior, dan fleksor lengan bawah.
Membran mukosa jarang terkena, mulut hanya ditemukan 20%
kasus saja. Tanda Nikolsly (Nicholsky sign) negatif karena tidak
ada proses akantolisis (Wiryadi, 2007; Daili dkk, 2005;
Kariosentono,2000)
Perjalanan penyakit akan menyembuh sendiri atau self
limited disease, namun beberapa tahun kemudian lesi biasanya
akan timbul kembali secara sporadis general atau regional. Bula
yang pecah menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak
teratur, namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus Vulgaris.
Erosi kemudian akan mengalami penyembuhan spontan sehingga
dapat dijadikan sebagai tanda penyembuhan. Lesi P.B yang
menyembuh tidak meninggalkan jaringan parut, tetapi dapat
menimbulkan hiperpigmentasi (Kariosentono, 2000; Siregar,
1996).
3
II.1.5 Diagnosis
Diagnosis P.B dapat dilakukan dengan pemeriksaan biopsi
kulit dengan pewarnaan rutin dan imunofluoresens. Hasil
pemeriksaan dapat membantu mengetahui gangguan yang
mendasari (Goldstein, 2001).
Pada pengambilan sample untuk pemeriksaan biopsi
dengan mikroskop cahaya harus dilakukan dengan cara biopsi
plong 4mm atau biopsi cukur dalam dari bula utuh. Tujuan cara ini
adalah untuk memastikan bula terletak subepidermal. Sel infiltrat
yang utama ditemukan adalah eosinofil (Stanley JR, 2008;
Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Siregar, 1996).
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan
imunofluoresens langsung terhadap sample biopsi yang diambil
dari kulit normal yang terletak beberapa milimeter dari daerah
yang terkena (Goldstein, 2001).
Pada pemeriksaan imunofluoresensi dapat ditemukan
endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita atau linier di B.M.Z
(Stanley JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Kariosentono,
2000).
Perbedaan autoantibodi antara P.B dan Pemfigus yaitu pada
penderita P.B hampir 70% memiliki autoantibodi terhadap B.M.Z
dalam serum dengan kadar titer yang tidak sesuai dengan keaktifan
penyakit (Stanley JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).
II.1.6 Tatalaksana
Pengobatan P.B adalah dengan kortikosteroid diberikan
sama seperti Pemfigus Vulgaris namun dengan dosis awal lebih
rendah. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 40-60mg/hari
4
kemudian pelan-pelan diturunkan (tappering off) sampai dosis
bertahan 10mg setiap hari (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).
Kombinasi kortikosteroid dengan imunosupresan atau
sitostatik dapat mengurangi dosis kortikosteroid. Cara dan
pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan Pemfigus
(Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).
Obat lain yang dapat digunakan adalah DDS atau
Klorokuin dengan dosis 200-300mg/hari memberikan respon yang
baik (Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).
P.B merupakan penyakit autoimun oleh karena itu
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan
mengalami efek samping kortikosteroid sistemik seperti
peningkatan sel infiltrat daripada neutrofil. Pencegahan efek
samping tersebut adalah dapat dengan diberikan kombinasi
Tetrasiklin/Eritromisin (3x500mg/hari) dan Niasinamid
(3x500mg/hari) setelah P.B membaik (Wiryadi, 2007).
II.2 Pemphigus
II.2.1 Definisi
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula
kronik, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara
histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses
akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap
komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik
terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
II.2.2 Etiologi
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum
penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat
(drug-inducad pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril.
Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus
foliaseus (termasuk pemfigus eritematous) atau pemfigus vulgaris.
Pemfigus foliaseus lebih sering timbu dibandingkan dengan
5
pemfigus vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan
histologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan
imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif,
sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung hanya
kira-kira 70% yang positif.
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang
jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus
paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama
dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematous
sisemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis, dan anemia
pernisiosa.
II.2.3 Klasifikasi
Penyakit penfigus terdiri dari 4 tipe yaitu:
1. Pemfigus Vulgaris
Pemphigus vulgaris ICD-10 Yang paling umum dari
gangguan adalah Pemphigus vulgaris (PV - ICD-10 L10.0). Hal
ini terjadi ketika antibodi menyerang Desmoglein 3. Luka
sering berasal dari mulut, membuat makan sulit dan tidak
nyaman. Meskipun Pemphigus vulgaris bisa terjadi pada umur
berapa saja, hal itu paling umum di antara orang-orang yang
berumur antara 40 dan 60.Hal ini lebih sering terjadi di
kalanganorang-orang Yahudi Ashkenazi. Myasthenia gravis
Nail dan diseasemyasthenia gravis Nail, penyakit mungkin
satu-satunya menemukan dan memiliki nilai prognostik dalam
manajemen.
2. Pemfigus Erytomatous
Varian pemfigus foliaceus yang secara histologi identik,
ditandai secara klinis dengan ruam yang menyerupai lupus
erythematosus pada hidung, pipi, dan telinga serta lesi mirip
seborrbea di tempat lain ditubuh,dan secara imunologis dengan
deposisi granular. Imunoglobin dan komplemen sepanjang
6
dermoepidermal junction. Penemuan ini menyarankan
koeksiensi lupus erytematosis dan pemfigus pada individu yang
sama disebut juga senear-usher syndrome.
3. Pemfigus Foliacus
Adalah yang paling parah dari tiga varietas. Desmoglein
1,protein yang dihancurkan oleh autoantibody, hanya
ditemukan di atas lapisan kering kulit. PF dicirikan oleh luka
berkerak yang sering dimulai pada kulit kepala, dan mungkin
pindah ke dada, punggung, dan wajah. Mouth sores do not
occur. Luka mulut tidak terjadi. Itu tidak menyakitkan seperti
Pemphigus vulgaris, dan sering salah didiagnosis
sebagai dermatitis ataueksim.
4. Pemfigus Vegetans
Varian pemfigus vulgaris yang ditandai dengan
perkembangan granulasi verukosa yang berproliferasi
terkadang dengan pustule pada perifernya, yang tampaknya
muncul dari bula yang terkelupas, dan mempunyai
kecenderungan bersatu membentuk patch. Menurut beberapa
ahli terdapat dua tipe, yaitu Tipe Hallopeau, yang mempunyai
perjalanan dan prognosis lebih jinak dan Tipe Neumann, yang
amat menyerupai pemfigus vulgaris disemua aspek.
II.2.4 Patofisiologi
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat yang khas, yakni,
Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis), adanya antibodi
IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Lepuh pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap
antigen P.V antigen ini merupakan transmembran glikoprotein
dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus foliaeus dan berat
7
molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada
permukaan sel keratinosit.
Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah
desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah
desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus target
antigennya ialah desmoglein 1.
Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom.
Komponen yang lain, misalnya desmoplakin, plakoglobin, dan
desmokolin. Fungsi desmosom ialah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan
mukosa.
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai
antibodi subklas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenik ialah IgG4.
Pada pemfigus juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan
HLA-DR4.
II.2.5 Gambaran klinis
Sebagian besar pasien pada mulanya ditemukan dengan lesi
oral yang tampak sebagai erosi yang bentuknya ireguler yang
terasa nyeri. Mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bula pada
kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah- daerah
erosi yang lebar serta nyeri cairan. Bau yang menusuk dan khas
akan memancar bula dan serum yang merembes keluar. Kalau
dilakukan penekanan yang minimal akan terjadi pembentukan
lepuh atau prngelupasan kulit yang normal (tanda nikolsky). Kulit
yang erosi sembuh dengan lambat sehingga akhirnya daerah tubuh
yang terkena luas. Superinfeksi bakteri sering terjadi.
8
II.2.6 Diagnosis
a. Dalam menegakkan diagnosis dilakukan : Histopatologi, direct
Imunofluorescence (DIF) dan indirect Imunofluorescence
(IDIF).
b. Biopsy lesi, dengan cara memecahkan bulla dan membuat
apusan yang akan diperiksa dibawah mikroskop atau
pemeriksaan immunofluoresent.
c. Tzank test, apusan dari bulla menunjukkan akantolisis.
d. Nikolsky’s sign, positif apabila dilakukan penekanan minimal
akan terjadipembentukan lepuh dan pengelupasan kulit.
II.2.7 Tatalaksana
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat
imunosupresif. Yang sering kami gunakan ialah prednison dan
deksametason. Dosis prednison bervariasi tergantung pada berat
ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang
menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagibpemfigus yang berat. Pada
dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m. atau i.v.
sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan
cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan. Karena digunakan
kortikosteroid dosis tinggi, maka untuk mencegah efek sampingnya
obat tersebut penatalaksanaanya seperti tercantum pada “
pengobatan sindrom Stevens-Johnson” dan pada bab “pengobatan
dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang dermato-
venereologi”.
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi
baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan
50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap.
Biasanya setiap 5-7 hari kami turunkan 10-20 m ekuivalen
prednison tergantung pada respons masing-masing, jadi bersifat
individual. Cara yang terbaik ialah memantau titer antibodi karena
antibodi tersebut tersebut menunjukan keaktivan penyakit, tetapi
9
sayang di bagian kami belum dapat dikerjakan. Jika titernya stabil,
penurunan dosis lambat: bila titernya menurun, penurunan dosis
lebih cepat.
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi
denyut. Caranya bermacam-macam yang lazim digunakan ialah
dengan methyl prenidosolon sodium succinate (solumedrol), i.v.
selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari
250-1000 mg (10-20 mg per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan
kortikosteroid per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek
samping yang berat pada terapi denyut tersebut diantaranya ialah,
hipertensi, elektrolit sangat terganngu, infark miokard, aritmia
jantung sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak, dan
pankreatitis.
Jika pemberian prednison meleihi 40 mg sehari harus
disertai antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Bila telah
tercapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari
jam 8. Alasannya pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah
paling tinggi. Sebaiknya obat diberikan selang sehari, diharapkan
pada waktu bebas obat tidak terjadi penekanan terhadap kelenjar
adenal bagian korteks. Keburukannya pada hari bebas obat timbul
lesi baru. Cara penanggulangannya lihat bab “pengobatan dengan
mortikosteroid sistemik dalam bidan dermato venereologi”.
Sebagian kecil penderita pemfigus dapat bebas obat, tetapi
sebagian besar haru diberikan dosis pemeliharaan terus menerus.
Psricha mengobati pemfigus dengan cara kombinasi
deksametason dan siklofosfamid dosis tinggi secara intermitten
dengan hasil baik. Dosis deksametson 100 mg dilarutkan dalam 5%
glukosa diberikan selama 1 jam i.v., 3 hari berturut-turut.
Siklofosfamid diberikan i.v., 500 mg hanya pada hari 1, dilanjutkan
per os 50 mg sehari. Pemberian deksametason dengan cara tersebut
diulangi setiap 2-4 minggu. Setelah beberapa bulan penyakit tidak
10
relaps lagi., pemberian deksametason dijarangkan menjadi setiap
bulan untuk 6-9 bulan. Kemudian dihentikan dan pemberian
siklofosfamid 50 mg/hari diteruskan. Setelah kira-kira setahun
pengobatan dihentikan dan penderita diamati terjadinya relaps.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat
dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek
samping kortikosteroid yng berat atrofi kelenjar adrenal bagian
korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat
menyebabkan fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis.
Tentang penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada
pengobatan pemfigus terdapat dua pendapat:
Sejak muda diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid
sistemik. Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau
tinggi sehingga efek sampingnya lebih sedikit.
Sitostatik diberikan, bila :
Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi
respons. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum,
diabetes melitus, katarak dan osteoporosis. Penurunan dosis pada
saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin,
siklofosfamid, metrotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat yang
lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan
tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg
sehari atau 1-3 mg per kgBB. Obat-obat sitostatik sebaiknya
diberikan, jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk
mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Hendaknya diingat bahwa
efek teraupetik azatioprin baru terjadi setelah 2-4 minggu. Jika
telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dulu,
kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap. Efek
sampingnya diantaranya menekan sistem hematopoletik dan
bersifat hepatotoksik.
11
Siklofosfamid sebenarnya merupakan obat yang paling
poten, tetapi karena efek sampingnya berat kurang dianjurkan.
Dosisnya 50-100 mg sehari. Efek teraupetik siklofosfamid masih
sedikit setelah pembeian beberapa jam, efek maksimum baru
terjadi setelah 6 minggu. Efek samping yang utama ialah toksisitas
saluran kemih berupa sistitis hemoragik, dapat pula menyebabkan
sterilitas.
Produk metabolisme siklofosfamid yang bersifat sitotoksik
diekskresi melalui urin, oleh karena itu penderita dianjurkan agar
banyak minum. Gejala toksik dini pada vesika urinaria ialah diuria,
didapati pada 20% penderita yang mendapat obat tersebut dalam
jangka waktu lama.
Jika mikroskopik terdapat hematuria hendaknya obat
dihentikan sementara atau diganti dengan obat sitotoksik yang lain.
Obat yang dapat mencegah terjadinya sistitis hemoragik ialah
mesna, biasanya dosisnya 20 % dosis siklofosfamid sehari, i.v.,
diberikan tiga kali sehari selang 4 jam, dosis 1 diberiksn bersama-
sama dengan siklofosfamid.
Metotreksat jarang digunakan karena kurang bermanfaat.
Dosisnya 25 mg per minggu i.m. atau per os. Cara pengobatan
sama seperti pengobatan untuk psoriasis. Mikrofenolat mofetil
dikatakan lebih efektif daripada azatioprin, sedangan efek
toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2 x 1 g sehari.
Ajuvan lain yang tidak begitu poten ialah yang bersifat anti-
infamasi yakni emas, diaminodifenilsulfon (D.D.S.), antimalaria,
dan miosiklin. Tentang emas tidak akan diuraikan karena
preparatnya tidak ada di indonesia. Dosis D.D.S. 100-300 mg
sehari, dicoba dahulu dengan dosis rendah. Tentang efek
sampingnya lihat “pengobatan dermatitis herpetiformis”.
Antimalaria yang sering digunakan ialah klorokuin dengan dosis 2
x 200 mg sehari. Efek sampingnya yang berat ialah retinopati yang
dapat terjadi setelah dosis kumulatif 100 g. Tentang pengobatan
12
kombinasi nikotinamid dan tetrasiklin lihat pengobatan pemfigoid
bulosa. Minosiklin digunakan dengan dosis 2x50 mg sehari.
Akhir-akhir ini berdasarkan pertimbangan risk and benefit
kami lebih sering menggunakan D.D.S. sebagai ajuvan. Meskipun
khasiatnya tidak sekuat sitostatik, namun efek sampingnya jauh
lebih sedikit dan hasilnya cukup baik. Dosisnya 100 mg atau 200
mg. Bila digunakan 100 mg tidak perlu diperiksa G6PD
sebelumnya, karena dosis itu dipakai sebagai pengobatan lepra,
umumnya tanpa efek samping. Tetapi, bila dengan dosis 200 mg
harus diperiksa G6PD sebelumnya.
Pengobatan topikal sebenarnya tidak sepenting pengobatan
sistemik. Pada daerah yang erosif dapat diberikan silver
sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada
lesi pemfigus yang sedikit dapat diobati dengan kortikosteroid
secara intalesi (intradermal) dengan triamsinolon asetonid.
II.3 Erythema Multiform
II.3.1 Definisi
Eritema multiforme (EM) merupakan penyakit kulit akut
dan dapat sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul
merah simetris yang timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi
lesi target yang tipikal kadang-kadang atipikal. EM merupakan
erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada
selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan
gambaran khas berbentuk iris (target lesion). Eritema
menunjukkan perubahan warna kulit yang disebabkan karena
dilatasi pembuluh darah, khususnya pada dermis pars retikularis
dan pars papillaris. Pada kasus yang berat disertai gejala konstitusi
dan lesi viseral (French, 2008).
II.3.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Faktor-faktor
penyebabnya selain alergi terhadap obat sistemik, ialah peradangan
13
oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar
matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau
haid, dan penyakit keganasan. Pada anak-anak dan dewasa muda,
erupsi biasanya disertai dengan infeksi, sedangkan pada orang
dewasa disebabkan oleh obat-obat dan keganasan (Djuanda, 2007).
II.3.3 Patofisiologi
Pemahaman terbaru mengusulkan bahwa kebanyakan EM,
pada kebanyakan pasien, timbul sebagai manifestasi mukokutaneus
dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit yang terjadi
akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor
presipitasi. Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kompleks
imun dan deposisinya pada mikrovaskulatur kutaneus memiliki
peran dalam patogenesis EM. Kompleks imun yang bersirkulasi
dan deposisi dari C3, IgM, dan fibrin di sekitar bagian atas
pembuluh darah dermal telah ditemukan pada kebanyakan pasien
EM (Habif, 2004).
Secara histologis, infiltrat sel mononuklear ditemukan di
sekitar bagian atas pembuluh darah dermal; dimana halnya pada
vaskulitis kutaneus yang dimediasi oleh kompleks imun juga
ditemukan leukosit polimorfonuklear. EM menunjukkan infiltrat
inflamasi yang lichenoid dan nekrosis epidermal yang kebanyakan
mempengaruhi lapisan basalis. Keratinosit yang mengalami
nekrosis bervariasi mulai dari individu sel sampai nekrosis
epidermal yang konfluen. Epidermo-dermal junction menunjukkan
perubahan struktur bervariasi mulai dari perubahan vaskuler
sampai subepidermal yang melepuh. Infiltrat di dermal kebanyakan
berada perivaskuler (Habif, 2004).
Bila dibandingkan dengan SSJ, SSJ menunjukkan lebih
banyak jaringan yang nekrotik dan infiltrat inflamasi yang
minimal. Konsentrasi acrosyringeal pada keratinosit yang
mengalami inflamasi pada EM terjadi pada kasus-kasus yang
behubungan dengan obat-obatan dan kebanyakan dihubungkan
14
dengan infiltrat inflamasi pada dermis yang mengandung eosinofil.
EM memiliki infiltrat dengan densitas yang kaya akan limfosit T.
Sebaliknya, nekrosis epidermal toksik dicirikan dengan infiltrat
yang miskin sel dan mengandung kebanyakan makrofag dan
dendrosit. Perbedaan ini menunjukkan patogenesis yang jelas
untuk penyakit-penyakit tersebut (Habif, 2004).
II.3.4 Gambaran klinis
Eritema multiforme, yang awalnya ditemukan oleh Hebra,
merupakan penyakit yang dengan penyebab yang tidak diketahui
yang dicirikan dengan bentuk iris merah atau makula bull's eye-
like, papul, atau bulla yang terutama terbatas pada ekstremitas,
wajah, dan bibir. Penyakit ini biasanya ditemani oleh adanya
demam ringan, malaise, dan artralgia. Biasanya terjadi pada anak-
anak dan dewasa muda pada musim semi, dengan durasi sekitar 2-
4 minggu, dan sering terjadi rekurensi dalam beberapa tahun.
Disebabkan karena kesamaannya secara klinis, EM minor,
EM major, SSJ dan NET diputuskan sebagai bagian dari satu
spektrum penyakit tunggal. Akan tetapi, seperti yang telah
dibicarakan sebelumnya, saat ini sudah ditemukan bukti kuat yang
mendukung bahwa EM adalah penyakit yang berbeda dari SSJ dan
NET dalam banyak tingkatan gejala klinis, prognosis, dan etiologi.
Kriteria klinis memungkinkan untuk membedakan kedua bentuk
EM dari SSJ dan NET pada pasien dengan jumlah yang besar.
Kriteria klinis ini mencakup tipe lesi dasar kulit, distribusi lesi,
ada/tidaknya keterlibatan lesi pada mukosa yang jelas, dan
ada/tidaknya gejala-gejala sistemik.
1. tipe lesi dasar kulit
Tipe lesi kulit yang khas pada EM berupa lesi target tipikal.
Lesi berdiameter <3cm, bentuk bulat dengan batas tegas, dan
terdiri dari tiga zona, dimana dua cincin konsentris dengan
perubahan warna di sekitar zona pusat lesi merupakan bukti
kerusakan epidermis dalam pembentukan bulla atau krusta.
15
Lesi target tipikal ini kadang-kadang ditemukan sebagai lesi
iris dikarenakan tampakannya yang seperti pelangi (rainbow-
like appearance).
Lesi target yang muncul dini seringnya memiliki zona yang
gelap di tengah dan zona merah di bagian luarnya, tetapi dapat
berubah menjadi tiga zona dengan perubahan warna. Setiap
cincin konsentris pada lesi target kebanyakan menunjukkan
urutan kejadian dari proses patologis serupa yang sedang
terjadi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hanya pada
beberapa pasien yang memiliki jumlah lesi yang berkembang
penuh, dimana lesi target tipikal belum tampak atau terbentuk
sepenuhnya, sementara pada pasien lain semua lesi memiliki
perkembangan yang sama, sehingga menunjukkan tampakan
klinis yang monomorfik. Tidak menutup kemungkinan bahwa
hanya beberapa lesi target yang ditemukan, sehingga
pemeriksaan kulit lengkap sangatlah penting.
Pada EM, lesi target atipikal juga dapat menemani lesi
target tipikal atau sebagai lesi kutanues primer. Kebanyakan
lesi ini ditemukan sebagai bentuk yang bulat, edema, palpable,
serupa dengan EM, tetapi hanya memiliki dua zona
dengan/tanpa tepi yang jelas. Lesi ini harus dapat dibedakan
dengan lesi target yang rata (makula) atipikal yang ditemukan
pada SSJ atau NET, dan kelainan lain selain EM. Diagnosis
lain tersebut ditemukan sebagai lesi bulat yang juga serupa
dengan EM, tetapi hanya memiliki dua zona dengan/tanpa tepi
yang jelas, tetapi non-palpable (dengan pengecualian inti
bentuk vesikel/bulla).
2. distribusi lesi
Meskipun ada variasi dari tiap individu, lesi-lesi yang
banyak biasanya sering ditemukan. Pada umumnya, lesi pada
EM timbul lebih sering pada ekstremitas dan wajah; lesi target
kebanyakan pada ekstremitas superior, sama halnya dengan
16
erupsi lainnya secara keseluruhan pada EM. Dorsum manus
dan region antebrachium adalah lokasi lesi yang paling banyak
ditemukan, tetapi volar manus, leher, wajah, dan badan juga
lokasi umum dari lesi. Keterlibatan lesi pada kaki jarang
ditemukan. Lesi EM juga dapat muncul pada arena yang
terpapar sinar matahari. Sebagai tambahan, lesi cenderung
membentuk kelompok, terutama pada siku dan lutut.
Fenomena Koebner dapat ditemukan, dengan lesi target
yang muncul di sekitar area yang mengalami trauma kutis
seperti goresan (perhatikan gambar 1F), atau sebagai eritema
dan pembengkakan dari lipatan proksimal kuku pada lokasi
yang sering mengalami trauma. Trauma harus mendahului
onset erupsi EM karena fenomena Koebner tidak akan muncul
ketika lesi EM sudah ada.
3. lesi pada mukosa
Keterlibatan mukosa yang berat adalah ciri dari EM mayor.
Keterlibatan mukosa biasanya tidak ada pada EM minor, dan
jika ditemukan biasanya lesi hanya beberapa dan sedikit
bergejala. Lesi mukosa primer EM berbentuk vesikobullosa
dan sangat cepat berkembang menjadi erosi yang sangat sakit
yang melibatkan mukosa buccal dan bibir, seperti halnya
mukosa pada mata dan genitalia. Pada bibir, erosi sangat cepat
berkembang menjadi krusta yang perih. Erosi pada mukosa
anogenitalia seringnya lebih besar dan polisiklik dengan
permukaan yang basah.
4. gejala-gejala sistemik
Gejala-gejala sistemik hampir selalu muncul pada EM
mayor dan tidak ada atau terbatas pada EM minor. Pada EM
mayor, gejala sistemik biasanya mendahului dan menemani lesi
kulit berupa demam dan asthenia dengan derajat yang
bervariasi. Artralgia dengan pembengkakan sendi kadang-
kadang ditemukan, sama halnya keterlibatan pneumonia
17
atipikal, dimana manifestasi pulmonal dari EM dengan
penyakit lain terkait infeksi seperti M. pneumoniae tidaklah
jelas. Ginjal, hepar, dan kelainan hematologi pada EM mayor
jarang ditemukan.
II.3.5 Diagnosis
Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan.
Pada kasus berat dapat terjadi anemia dan proteinuri ringan
(Djuanda, 2011).
II.3.6 Tatalaksana
Untuk semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang
paling penting adalah penanganan simtomatik, yaitu antihistamin
oral, analgesik, perawatan kulit, dan soothing mouthwashes (yaitu
dengan membilas mulut dengan warm saline water atau dicampur
dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun
sedapat-dapatnya perlu dicari penyebabnya. Pada penyakit ini
biasanya dapat diberikan pengobatan kortikosteroid per oral,
misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.
Manajemen eritema multiforme melibatkan penentuan
etiologi bila mungkin. Langkah pertama adalah untuk mengobati
kecurigaan penyakit menular atau untuk menghentikan obat kausal.
Penanganan terhadap infeksi seharusnya setelah kultur
dan/atau pemeriksaan serologis dilakukan. Pengobatan topikal
berupa antiseptik topikal untuk lesi kulit yang telah erosi dan
bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik lokal untuk lesi
mukosa. Penggunaan cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05%
saat mandi dapat mencegah superinfeksi. Pengobatan topikal,
termasuk yang melibatkan organ genitalia, harus dilakukan dengan
gauze dressing atau hidrokoloid. Pemberian preparat topikal mata
harus diberikan oleh ahli oftalmologi, seperti lubrikan untuk mata
18
kering, usapan pada forniks konjungtiva, dan pembersihan
perlengkatan yang masih baru.
Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan
untuk gejala relief. Antihistamin oral selama 3-4 hari dapat
mengurangi rasa perih dan terbakar pada kulit. Pada kasus-kasus
yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal dengan
kortikosteroid sistemik (prednison [0.5–1 mg/kg/hr]) atau
metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah
dipertimbangkan. Prednison dapat digunakan pada pasien dengan
lesi banyak dengan dosis 40 sampai 80 mg per hari selama satu
sampai dua minggu kemudian dosis diturunkan. Namun,
penggunaannya masih kontroversial. Belum ada studi terkontrol
dari efektivitas prednison, dan penggunaannya pada pasien dengan
herpes terkait eritema multiforme dapat menurunkan resistensi
pasien untuk HSV dan mempromosikan infeksi HSV berulang
diikuti oleh eritema multiforme berulang.
Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla
dan papul yang terlokalisir. Terapi antivirus dengan asiklovir pada
EM yang timbul akibat infeksi HSV cenderung mengecewakan
ketika erupsi telah muncul, sehingga terapi ini bermanfaat untuk
profilaksis. Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi
HSV, pengobatan dini dengan asiklovir oral (Zovirax®) dapat
mengurangi jumlah dan durasi lesi kulit. Pada individu dengan EM
terkait-HSV dengan tingkat rekurensi yang tinggi, profilaksis
minimal 6 bulan dengan asiklovir oral (10 mg/kg/hr dalam dosis
terbagi, biasanya 200mg dalam 5 kali sehari selama 5 hari),
valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung frekuensi
rekurensi), atau famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah
dipikirkan. Hasil penelitian double-blind, placebo-controlled pada
dewasa muda menunjukkan efektivitas asiklovir sebagai
profilaksis. Tentu saja, EM yang dipresipitasi selain oleh infeksi
HSV tidak memberi respon terhadap pemberian antivirus.
19
Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah
berlanjut dari asiklovir oral. Asiklovir oral telah ditunjukkan
efektif dalam mencegah EM terkait-HSV yang rekuren dan
protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari selama 26
minggu. Jika asiklovir gagal, valasiklovir dapat digunakan (500
mg, dua kali sehari). Penggunaan yang terakhir ini memiliki
bioavaliabilitas oral yang lebih besar dan lebih efektif dalam
menekan EM terkait HSV yang rekuren.
II.4 Dermatitis Herpetiformis
II.4.1 Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah gangguan autoimun
terik dikaitkan dengan enteropati gluten sensitif (GSE). Penyakit
ini dijelaskan dan diberi nama pada 1884 oleh Louis Duhring Dr di
University of Pennsylvania. Herpetiformis Dermatitis ditandai
dengan excoriations dikelompokkan; eritematosa, urtikaria plak,
dan papula dengan vesikel. Lokasi klasik untuk lesi dermatitis
herpetiformis adalah pada permukaan ekstensor siku, lutut,
bokong, dan punggung. (Jami, 2013).
II.4.2 Etiologi
Virus herpes tidak menyebabkan DH, walaupun pada nama
penyakit menunjukan demikian. Penyebab dari DH adalah alegi
dan gluten, suatu protein yang ditemukan pada gandum dan
beberapa tanaman biji-bijian (Habif,2004).
Limfoma pda usus halus dan limfoma nonintestinal juga
dilaporkan menderita dermatitis herpetiformis dan penyakit celiac.
Pasien limfoma yang menderita DH telah dikontrol dengan diet
bebaas gluten (GFD) atau telah dirawat dengan GFD selama lebih
dari 5 tahun. Oleh karena itu, pasien telah disarankan untuk
melakukan GFD secara ketat. Sebuah studi menunjukan bahwa
insidens dari limfoma non-Hodkin’s meningkat pada pasie dengan
DH. Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa pasien DH yang dirawat
20
dengan GFD tidak mengalami peningkatan mortalitas
(Habif,2004).
II.4.3 Patofisiologi
Pathogenesis DH berhubungan dengan Gluten Sensitive
Enteropathy(GSE). GSE adalah kelainan gastrointestinal yang
disebabkan oleh gluten. Gluten adalah suatu protein yang terdapat
pada gandum. Pada lebih dari 90% kasus DH didapati enteropati
sensitive terhadap gluten pada jejenum dan ileum. Kelainan yang
terjadi bervariasi dari atopi vili yang minimal hingga sel-sel epitel
mukosa usus halus yang mendatar. Sejumlah 1/3 kasus disertai
steatorea (wiryadi, 2011).
GSE kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA pada
kulit penderita DH, meskipun mekanismanya belum diketahui
secara pasti apakah IgA terikat pada antigen yang ditemukan pada
gastrointestinal kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau
apakah IgA yang tebentuk khas untuk antigen kulit yang belum
diketahui (wiryadi, 2011).
Ditemukannya IgA dan komplemen diseluruh kulit
menimbulkan perkiraan bahwa diperlukan factor tambahan untuk
menerangkan permulaan lesi. Dengan factor tambahan ini, IgA
mengakifkan komplemen (mungkin melalui jalur alternative)
sehingga terjadi kemotaksis neutrophil yang melepaskan enzimnya
dan mengakibatkan lesi yang disebut dengan DH (wiryadi, 2011).
Selain gluten, yodium juga disebutkan dapat mempengaruhi
timbulnya remisi dan eksaserbasi penyakit (wiryadi, 2011).
II.4.4 Gambaran klinis
Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang eksplosif dalam beberapa
jam atau hari. Faktor pencetusnya yaitu penyakit virus, ingesti
gluten atau yodium dalam jumlah besar, dan disfungsi tiroid
(Wiryadi,2011).
21
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul
dengan cepat dapat menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm.
Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila tidak
pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan
simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin
hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada
tempat predileksi (Wiryadi,2011).
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong,
bahu, dan area sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal
posterior. Daerah lain yang sering terkena adalah wajah dan batas
rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga
dengan telapak tangan dan kaki (Wiryadi,2011).
Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien
mengeluhkan gatal yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH
dipikirkan jika adanya keluhan dengan rasa terbakar. Semakin
berat pruritus, maka biasanya timbul ekskoriasi. Erupsi biasanya
terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa papula,
papulovesikuler, vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Lesi peteki
linear dapat timbul pada permukaan volar, jari, dan telapak tangan.
Adanya bintik pigmentasi pada region lumbosacral dapat dicurigai
sebagai DH (Wiryadi,2011).
Gatal dan rasa terbakar biasanya berat, dan kualitas
paroksismalnya diprovokasi oleh garukan pada lokasi yang
berdarah, dan pada saat yang sama oleh ketakutan. Remisi spontan
berlangsung selama seminggu dan meninggalkan luka baru yang
kasar yang merupakan karakteristik penyakit tersebut. Dapat
bertambah parah pada masa perimenstrual (Wiryadi,2011).
DH pada anak-anak mirip seperti pada orang dewasa,
memiliki gambaran histologi yang identik dan temuan
immunofloresen, dan memiliki insidensi tinggi pada HLA B8 dan
DR3 dan biopsy jejunum abnormal. Telapak tangan melepuh dan
22
berwarna kecoklatan, hemoragik, makula purpura didapatkan lebih
sering dibanding orang dewasa (Wiryadi,2011).
II.4.5 Diagnosis
Histopatologi
Gambaran histopatologi DH yang khas paling terlihat pada
daerah eritem disekitar vesikel yang baru muncul. Pada daerah ini
terdapat akumulasi netrofil dan beberapa eosinophil pada ujung
papilla dermis yang semakin lama semakin bertambah besar
membentuk mikorabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan
pemisah antara ujung papilla dermis dan epidermis sehingga
terbentuk vesikel (Miller,2013).
Pada awalnya interpapilary ridges epidermis tetap melekat
pada dermis sehingga vesikel yang terbentuk adalah multiokular
dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara klinis. Dalam 1-2 hari
rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel
unilokuler yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin
masih terlihat mikroabses pada tepi vesikel. Karena itu biopsy pada
tepi vesikel sangat berguna (Miller,2013).
Pada pemeriksaan dengan mikroskopik electron terlihat
bula subepidermal di bawah lamina basalis. Pada daerah lesi,
lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit di dekat lesi, lamina
basalis menjadi tipis (Miller,2013).
Immunoflouresensi
Pada pemeriksaan immunoflouresensi direk
memperlihatkan timbunan IgA dalam bentuk granular pada ujung
papilla dermis di kulit sekitar lesi dan kulit normal dengan jarak
tidak lebih dari 3mm dari lesi. Ini merupakan kriteria standard
untuk diagnosis (Miller,2013).
23
Pada pemeriksaan immunoflurosensi indirek, tidak
ditemukan antibody terhadap basement membrane zone (BMZ)
(Miller,2013).
II.4.6 Tatalaksana
Medikamentosa
a. Dapson
Dapson dan sulfapiridin merupakan obat yang efektif
untuk menghilangkan gejala dan menekan pembentukkan ruam
pada DH pada anak dan dewasa. Obat ini menyebabkan respon
yang dramatis dalam waktu 24 hingga 48 jam, sehingga
membantu dalam mendiagnosis DH
Dapson untuk anak-anak dapat diberikan mulai dengan
dosis 2mg/kgbb/hari, dosis dapat ditingkatkan tergantung
respons klinis dan efek samping dari terapi yang mungkin
timbul. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat ditingkatkan
hingga mencapai maksimal 400mg/hr, namun dosis yang
dibutuhkan berkisar 50mg tiga kali sehari. Jika sudah ada
perbaikan dosis dapat diturunkan perlahan-lahan 25 sampai
50mg/hr sampai mencapai level minimum.
Efek samping Dapson adalah agranulositosis, anemia
hemolitik, methemoglobinemia, neuritis perifer dan bersifat
hepatotoksik. Harus dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah
lekosit dan hitung jenis sebelum pengobatan dan 2 minggu
sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau
sianosis segera dilakukan pemeriksaan lbaratorium. Jika
terdapat defisiensi G6PD maka merupakan kontra-indikasi
karena dapat menyebabkan anemia hemolitik.
b. Sulfapiridin
Dosis awal sulfapiridin untuk anak biasanya 100 sampai
200mg/kgbb/hari, dibagi menjadi 4 dosis, dengan dosis
24
maksimal 2 sampai 4 gram perhari. Jika sudah ada perbaikan
dosis dapat diturunkan setiap minggu hingga dosis
pemeliharaan 500mg/hari atau kurang.
Efek samping sulfapiridin adalah anorexia, sakit kepala,
demam, leukopenia, agranulositosis, anemia hemolitik. Harus
dilakukan pemeriksaan G6PD sebelum dilakukan terapi dan
pemeriksaan darah tepi setiap bulan. Obat ini kemungkinan
akan menyebabkan terjadinya nephrolithiasis karena sukar larut
dalam air sehingga pasien dianjurkan minum banyak.
Untuk pasien yang tidak dapat diberikan sulfapiridin atau
dapson dapat diberikan kortikosteroid sistemik walaupun tidak
efektif. Pernah dilaporkan keberhasilan pengobatan dengan
tetrasiklin atau minosiklin dan nikotinamid. Penhentian
nikotainamid atau minosiklin menyebabkan ruam DH timbul
kembali.
c. Pengobatan Topikal
Dapat diberikan krim kortikosteroid atau bedak kocok
seperti calamine dengan menthol untuk mengurangi rasa gatal.
Non Medikamentosa
a. Diet Bebas Gluten
Diet ini harus dilakukan secara ketat, perbaikan pada kulit
tampak setelah beberapa minggu. Dengan diet bebas gluten
dapat mengontrol lesi kulit pada 80% penderita. Kelainan
intestinal juga mengalami perbaikan, sedang dengan obat-oba
kelainan ini tidak akan mengalami perbaikan. Dengan diet ini
penggunaan obat dapat ditidakan atau dosisnya dapat dikurangi
II.5 Epidermolysis Bullosa
II.5.1 Definisi
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan kelainan genetik
berupa gangguan/ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat
25
pada jaringan konektif di bawahnya dengan manifestasi tendensi
terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau
gesekan ringan (Djuanda, 2011).
II.5.2 Klasifikasi
Mula-mula klasifikasi dibuat berdasarkan jaringan parut
yang terbentuk kemudian, E.B. nondistrofik (bula terletak diatas
stratum basal) dan ditofilik (bula terletak dibawah stratum basal).
Dengan perkembangan imunologi dan pemeriksaan
imunohistokimia, klasifikasi lebih rinci disesuaikan dengan letak
bula terhadap taut dermo-epidermal, yaitu epidermolisis bulosa
simpleks (E.B.S.), E.B. distrofilik, dan E.B. juntional, massing-
masing memiliki bentuk variasi (subtipe) (Djuanda, 2011).
1. Epidermolisis bulosa tipe Junctional
EB tipe junctional adalah tipe E.B. yang
pembentukan bula terjadi di lamina lusida di taut
dermoepidermal, merupakan tipe E.B. yang paling berat serta
mengancam kehidupan. Semua tipe di turunkan secara
resesif autosom. Imunoperoksidase memperlihatkan bula
terdapat di atas kologen tipe IV.
Pemeriksaan dengan antibodi monoklonal lainya
ditujukan terhadap laminin-5 (rantai α3α3α2), intigrin 4,
BPAG-2, dapat dilakukan sesuai kebutuhan (Djuanda, 2011).
Herlitz adalah bentuk yang paling berat diantara tipe
junctionali ditandai bula besar-besar terutama di bokong
badan dan kepala, tanpa meninggalkan sikatriks dan milia
kecuali bila diikuti infeksi sekunder.Meskipun hampir 50%
pasien meninggal sebelum usia 2 tahun, namun sebagian
dapat hidup sampai dewasa. Oleh karena itu pendapat bahwa
merupakan E.B. tipe letalis tidak lagi dipertahankan. Pada
bentu Herlitz biasanya tangan dan kaki tdak tidak terkena,
mukosa dapat terkena dan dapat terjadi afesia pilorik. Di
perioral dapat terbentuk bula, sedangkan bibir tidak terkena.
26
Pada perkebanganya pita suara serta laring dapat terkena
kemudian. Demikian pula kuku dapat terkena serta terlepas
dan disertai paronikia. Tanda khas lainnya adalatr displasia
gigi serta permukaannya berbenjol-benjol (coblestone
appearance). Pada bentuk Herlitz terjadi detardasi mental
dan anami rekalsitan. Penyebab kematian tidak di
ketahui. Dengan pemeriksaan mikroskop biasa tampak
celah di atas membran basal, dengan mikroskop elektron
terlihat bula terbentuk di lamina lusida disertai berkurangnya
jumlah dan berubahnya struktur hemidosmosom. Namun
sampai sekarang patogenesis belum semuanya diketahui.
2 . E.B. nonletal (mitis, non-Herlitz)
bentuk ini dimulai pembentukan bula serosa atau
hemoragik saat lahir dan meninggalkan kulit yang rapuh,
tanpa pembentukan sikatriks dan milia. Umumnya dapat
terjadi alopesia, distrofik kuku atau kuku tidak tumbuh
kembali, hiperkeratosis palmoplantar, skalp atrofi. Mukosa
mulut esofagus, laring dan takea serta mata, dapat terkena
ringan sampai berat tetapi tidak terjadi struktur esofagus.
Berbeda dengan tipe junctional pada tipe non-Herliz tidak
terjadi retardasi mental dan anemia. Gambaran patologi
anotomik mirip dengan tipe Herlith. Pada kasus E.B.
nonletal dapat sembuh dengan bertanbahnya umur (Djuanda,
2011).
3. E.B. juntionaltipe inversa
tejadi pada saat lahir atau pada masa neonatal, klinis
mirip pioderma generalisata, kemudian pembentukan bula
lebih banyak di aksila, leher, inguinal, dan perianal
(inversa), kuku mengalami distrofik, gigi, displasia, laring
dapat terkena demikian juga pita suara (suara menjadi kasar).
4 . E.B. distrofik dominan
secara klinis terlihat bula terutama di bagian dorsal
27
ekstremitas dan meninggalkan bekas sikatrik, disertai
pembentukan milia. Bentuk ini lebih berat dibandingkan
E.B.S. tetapi lebih ringan daripada bentuk E.B.distropik
resesif. Terjadi pada saat lahir atau segera setelah lahir, pada
20 % kasus mukosa terkena, kongyungtiva dan kornea dapat
juga terkena. Kuku terkena pada 80% kasus, terjadi distrofik
atau hancur. Gigi dan rambut tidak terkena. Albupapuloid
adalah bentuk varian yang dapat terjadi baik pada E.B.
distrofik dominan maupun resesif, Varian ini dapat terjadi
pada bayi, tetapi lebih sering pada masa anak, remaja, atau
dewasa. Bentuk karakteristik adalah papul perifokular agak
lunak, berwarna keputih-putihan (ivori-white), lokasinya di
tengkuk dan punggung, serta terjadinya tidak berhubungan
dengan pembentukan bula (Djuanda, 2011).
5. E.B distrofik resesif
terbagi atas bentuk ringan lokalisata (mitis), berat
(gravis, Hallopea Siemens), atau bentuk varian inversa. Pada
umumnya bentuk E.B. distrofik resesif berat terjadi
pembentukan bula diikuti pembentukan sikatrik, mukosa
mengalami gangguan yang berat. Erosi segera tampak pada
saat lahir, bula spontan terjadi terutama ditempat yang
mengalami trauma, misalnya di tangan, kaki, bokong,
skapula, muka, oksiput, siku dan lutut. Bula steril besar-
besear serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri, mirip
pada bentuk E.B. etal. Tanda Nikolski positif. Bayi mudah
mengalami infeksi sekunder dan sepsis. Penyembuhan bula
disertai sikatriks, hipopigmentasi dan atau hiperpigmentasi,
disertai milia. Sikatriks yang atrofi mirip kertas sigaret. Pada
bula berulang, lama kelamaan kulit menjadi sikatriks hiprsofi.
Bila jari-jari tangan yang luka jarang digerakan untuk waktu
yang lama, dapat terjadi perlekatan satu dengan yang lain
sehingga pada penyembuhan dapat mengalami fusi mirip
28
pseudosindaktili, atau mirip sarung tinju tangan. Posisi tangan
dan pergelangan berubah menjadi fleksi dan kontraktur. Kuku
mengalami kerusakan parah degenerasi atau hilang sama
sekali. Mata terkena berupa bleparitis, simbleparon,
konyingtivitis, vesikal dan menjadi opak dan atau keratitis.
Suara kasar sampai tidak terdengar, sulit menelan sehingga
kekurangan nutrisi dan dapat meninggal. Bila bayi bertahan
dan tumbuh, berat penyakit makin berkurang, selanjutnya
di anjurkan untuk menghindari makanan yang panas,
keras, ukuran besar, apapun yang memungkinkan
pembentukan bula di mulut, faring maupun osefagus.
Erupsi gigi biasanya terlambat dan tumbuh dengan bentuk
abnormal. Rambut tumbuh normal, alopesia terjadi akibat
sikatrik. Kematian dapat terjadi saat neonatus atau anak
akibat kurang nutrisi, kehilangan cairan, infeksi bakteri dan
sepsis, ataau pneumonia (Djuanda, 2011).
II.5.3 Patofisiologi
Sampai sekarang etiologi dan patogenesis EB belum
semuanya diketahui. Beberapa penulis mengemukakan berbagai
dugaan patogenesis.
1. E.B.S. diduga terjadi akibat :
a. Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein
abnormal yang sensitive terrhadap perubahan suhu. Diduga
defisiensi enzim galactosylhidroxylysy-glocosyltransfarase
dan gelatinase (enzim degradase kolagen) menyebabkan
EBS.
b. Selain diturunkan secara genetic autosom, diperkirakan
50% terjadi akibat mutasi pada gen pembentuk keratin,
terutama keratin 5 (K5) dan 14 (K14) yang terdapat di
lapisan epidermis.
29
c. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin
adalah protein yang terrdapat di membran basal pada
attachment plaque/hermidesmosom, yang berfungsi sebagai
penghubung filamen intermediet ke membrane plasma
(Djuanda, 2011).
2. E.B. Letalis Herlitz terjadi akibat :
a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment
plaque tidak berfungsi dengan baik.
b. PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membran
abnormal sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik
sehingga terbentuk celah dilamina lusida.
c. Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode laminin 5,
komponen anchoring filament, yaitu protein polipeptida.
d. Pada beberapa kasus mutasi, ditemukan integrin α6β4
abnormal atau tidak ada. Integrin tersebut terdapat di
hemidesmosom yang merupakan molekul adesi laminin.
e. Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa-2
(bollous pemphigoid antigen/BPA-2) dijumpai pada EB
junctional ringan yang disertai dengan atrofi (Djuanda,
2011).
3. Sindrom BART mungkin terjadi akibat perlekatan kulit petus
dengan amnion yang tersebut pita sinomart.
4. E.B. distrofilik diduga terjadi akibat :
a. Berkurangnya anchoring fibril
b. Bertambahnya akivitas kolagenase pada E.B. yang
diturunkan secara RA
c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL7A1), komponen
utama anchoring fibrils, sehingga fungsinya terganggu
(Djuanda, 2011).
30
II.5.4 Gambaran klinis
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan
lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah
mengalami trauma, walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma
di jalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang
hemoragik, pada penyembuhan perlu di perhatikan, apakah
meninggal kan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa
ikut terkena, demikian pula kuku dapat distrofilik. Pada tipe
distrofilik resesif dapat disertai retardasi mental dan pertumbuhan,
kontraktur, dan perlekatan (fusi) jari-jari tangan (Djuanda, 2011).
II.5.5 Tatalaksana
1. Perawatan kulit
Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga, orang
tua pasien, atau perawat. Perawatan memerlukan kesabaran dan
ketelitian, sedapat-dapatnya menghindari trauma dan
mengurangi gesekan. Dalam memilih pakaian maupun mainan,
pilih yang ringan dan lembut. Hindari penggunaan plester,
untuk jari-jari dapat digunakan tubular bandage, sehingga
memecah terjadinya fusi jari-jari. Bula dirawat dengan cara
menusuknya dengan jarum steril dan membiarkan atap bula
sebagai pelindung.
Pada anak-anak sebaiknya dipilih jenis sepatu kulit yang
lunak, hindari sepatu yang sempit dan upayakan ruang sepatu
yang cukup untuk bergerak tanpa menimbulkan lecet. Kaos
kaki dari bahan katun yang menyerap keringat, pengunaan kaos
kaki membantu menghindari trauma akibat gesekan. Hindari
gosokan pada saat memandikan, untuk menghindari hal tersebut
dianjurkan mandi celup.
Suhu lingkungan diusahakan agar cukup dingin karena
bula mudah terrjadi pada suhu panas. Bila memungkinkan
tempat tidur yang lunak (matras air) dan seprei yang halus agar
terhindar dari gesekan. Bagian yang mengalami erosi diolesi
31
krim atau salep antibiotik, perawatan jari tangan harus
dilakukan secara hati-hati, upayakan mencegah terjadinya fusi
dan kontraktur dengan mengatur posisi jari dan sendi (Djuanda,
2011).
2. Makanan
Sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori tinggi
protein dalam bentuk yang lembut atau cair serta mudah
ditelan, terrutama bila terrdapat luka di mukosa mulut. Pada
bayi pengunaan dot (bottle fed) dapat menimbulkan gelembung
dan luka dimulut, untuk mencegah trauma disuapi dengan
memakai sendok. Pemberian makanan dapat sedikit demi
sedikit, frekuensi makanan dapat lebih dari 3 x pemberian,
mengingat gesekan waktu makan menyebabkan rassa nyeri
sehingga hanya sedikit yang tertelan. Pada bayi baru lahir
dengan EB berat atau letalis pemberian makanan nasogastric
feeding atau intravena bergantung pada kondisi. Perlu
dipertimbangkan setiap tindakan tersebut dpat merupakan
trauma (Djuanda, 2011).
3. Pengobatan medikamentosa
Pengobatan yang ideal dan memuaskan sampai saat ini
belum ada, umumnya terapi dilakukan secara paliatif. Beberapa
hal perlu dipertimbangkan mengingat penyakit ini berlangsung
kronik sampai dewasa. Seperti pada luka bakar, perawatan luka
yang luas sebaiknya dilakukan secara terbuka, apabila
diperlukan antibiotic sistemik dapat diberikan (antibiotiktidak
diberikan secra rutin). Sebagai pengobatan topical dapat
digunakan kortikosteroid potensi sedang dan antibiotic bila
terdapat infeksi sekunder.
Pemberian kortikosteroid sistemik bermanfaat pada
kasus yang berat dan fatal, antara lain untuk mencagah mutasi,
distrofilik, serta life saving. MOYNAHAN melaporkan
pemberian dosis awal yang tinggi (140-160 mg
32
prednisone/hari) untuk menyelamatkan kehidupan neonatus,
pengobatan dengan pengamatan yang ketat, dosis diturunkan
segera untuk mencegah terjadi sepsis.
Vitamin E dapat menghambat aktivitas kolagenase atau
merangsang produksi enzim lain yang dapat
merusakkolagenase. Dosis efektif 600-2000 i u/hari.
Pengobatan lain adalah difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kg
BB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari. Obat ini juga
menghambat aktivitas kolagenase.
Pengobatan untuk subssitusi enzim belum
dikembangkan, ada laporan yang menyatakan pemberrian
protease inhibitor topical dapat mengurangi terjadi nya bula.
Secara in vitro retinoid, tetrasiklin, minosiklin
memperlihatkan efek menghambat kolagenase, namun secara in
vitro masih dalam penelitian (Djuanda, 2011).
4. Konseling genetik
Konseling genetik dianjurkan bila telah jelas penurunan
genetiknya, sehingga dapat diberikan besarnya resiko penyakit
pada setiap kelahiran. Pemeriksaan untuk menentukan
diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan resiko penyakin
pada setiap kelahiran. Pemeriksaan untuk menentukan
diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan fetoskopi, namun hal
tersebut saat ini masih dalam penelitian para ahli (Djuanda,
2011).
II.6 Herpes Gestationes/Pemfigoid Gestationes
II.6.1 Definisi
Pemfigoid gestationis (herpes gestationis) adalah
dermatosis bulosa autoimun yang langka (1/60.000 kehamilan).
Penyakit ini awalnya bernama herpes gestationis berdasarkan
gambaran morfologi herpetiform dari lepuh, tetapi istilah ini adalah
33
sebuah ironi karena pemfigoid gestationis tidak berhubungan
dengan infeksi virus herpes (Anatoli, 2012).
II.6.2 Etiologi
Pemfigoid gestationis adalah penyakit autoimun terkait
kehamilan. Autoantibodi mengendap di kulit dan terdeteksi dalam
sirkulasi, dan terutama spesifik untuk protein BPAG2
hemidesmosomal (Anatoli, 2012).
Antibodi yang bersirkulasi dan sel T diarahkan melawan
epitop imunodominan. Epitop ini, yang terletak pada BPAG2
ekstraselular dekat membran, disebut domain MCW-1. BPAG2
juga merupakan epitop imunodominan pada penyakit autoimun
pemfigoid bulosa (Anatoli, 2012).
Pemicu untuk produksi autoantibodi masih belum
dipahami. Autoantibodi untuk membran basement ketuban (major
histocompatibility class II antigens) mungkin bereaksi-silang
dengan antigen BPAG2 di kulit, yang menyebabkan respon imun.
Pemfigoid gestationis juga terjadi dalam hubungan dengan tumor
trofoblas, seperti mola hidatiform atau koriokarsinoma (Anatoli,
2012).
II.6.3 Patofisiologi
Pemfigoid gestasionis adalah proses autoimun, yang
melibatkan respon imun imunoglobulin G (IgG) subclass G1
(dikenal dengan herpes gestastionis factor) pada glikoprotein
transmembran hemidesmosom 2, BP180 (BPAG2, kolagen XVII)
dan yang kurang sering pada hemidesmosom BP230. Pengikatan
IgG k basement membran memicu respon imun yang menyebabkan
vesikel subepidermal dan lepuh (Anatoli, 2012).
Pemicu untuk pengembangan autoantibodi pada orang
dengan pemfigoid gestationis masih belum diketahui. Reaktivitas
silang antara jaringan plasenta dan kulit diduga memainkan peran.
34
Pemfigoid gestationis memiliki hubungan yang kuat dengan HLA
DR3-(61-80%) dan HLA-DR4 (52%), atau keduanya (43-50%),
dan hampir semua pasien dengan riwayat gestationis pemfigoid
telah dibuktikan memiliki antibodi anti-HLA (Anatoli, 2012).
II.6.4 Gambaran klinis
Sangat gatal, lesi urtika berkembang awalnya di wilayah
periumbilikal, kemudian dengan cepat berkembang menjadi lepuh
yang luas. Dapat melibatkan badan, punggung, pantat, lengan,
telapak tangan, dan telapak kaki. Biasanya tidak melibatkan wajah,
kulit kepala, dan di dalam mulut. Lepuh ini sembuh tanpa skar jika
mereka tidak terinfeksi. Kondisi ini biasanya terjadi pada trimester
kedua atau ketiga, atau segera setelah melahirkan (Heather, 2004).
Kondisi ini biasanya dimulai selama trimester kedua atau
ketiga, meskipun telah dilaporkan pada trimester pertama dan
waktu yang singkat setelah melahirkan. Penyembuhan spontan
ruam mungkin terjadi kemudian pada kehamilan, tetapi serangan
dapat terjadi kembali sebelum persalinan 75% sampai 80% wanita.
Ruam juga bisa kambuh saat mens kembali atau dengan
menggunakan kontrasepsi oral. Dengan kehamilan berikutnya,
pemfigoid gestationis biasanya berulang lebih awal dan mungkin
lebih parah. Hanya 8% dari wanita tidak berkembang gestationis
pemfigoid pada kehamilan berikutnya (Heather, 2004).
II.6.5 Diagnosis
Dari anamnesis didapatkan keluhan pada kulit berupa
erupsi yang sangat gatal, sering terjadi pada primigravida. Pada
pemeriksaan status dermatologikus, ditemukan erupsi
papulovesikular. Lesi bervariasi mulai dari eritema, papul sampai
plak urtika, bula, erosi, dan krusta. Distribusi lesi umumnya pada
abdomen, sisi lateral trunkus, namun dapat juga melibatkan area
lain seperti palmar, plantar, dada, punggung dan muka (Jeff,2008).
Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan vesikel sub
epidermal dengan infiltral perivaskular limfosit dan eosinofil.
35
Pemeriksaan imunopatologi menggunakan ELISA dapat
mengkonfirmasi adanya deposit autoantibodi IgG pada area
membran basalis. Terdapat deposit yang homogen berbentuk linier
C3 sepanjang membran basalis pada lesi urtika dan peribulosa serta
perilesi pada kulit yang terlihat normal. Deposit IgG pada 30%-
40% pasien merupakan deposit IgG, sedangkan IgA dan IgM
jarang ditemukan. Temuan imunofluoresensi tetap bertahan selama
beberapa bulan sampai setahun setelah lesi menghilang (Jeff,2008).
Penemuan terbaru menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas
tinggi uji BP180 ELISA dalam mendiagnosis herpes gestationis
(Marina, 2009).
II.6.6 Tatalaksana
Pada kasus ringan, pengobatan dengan steroid topikal yang
poten dapat berhasil, sekitar 20% pada studi retrospektif baru-baru
ini.2,3 Pengobatan topikal sering dikombinasikan dengan
antihistamin sistemik. Pada saat timbul lesi vesikobulosa,
diperlukan terapi dengan steroid sistemik. Penyakit derajat
moderate respon terhadap Prednison 20–30 mg/hari, sedangkan
penyakit yang lebih berat memerlukan dosis prednison 40–80
mg/hari. Prednison di-tappering off sampai dosis “maintenance”
terendah. Oleh karena sering terjadi eksaserbasi post partum,
dibenarkan untuk meningkatkan dosis kortikosteroid sementara.
Plasmapheresis dapat dipertimbangkan pada sebagian besar kasus
yang berat. Penggunaan dapson masih belum jelas disamping obat
ini dapat menyebabkan penyakit hemolisis pada neonatus.
Piridoksin dilaporkan efektif pada beberapa kasus (Jeff,2008).
Pengobatan post partum dapat bermasalah pada ibu
menyusui, sebab obat-obatan yang diminum oleh ibu dapat melalui
air susu ibu. Antihistamin dapat menyebabkan rasa kantuk pada
bayi, steroid dosis tinggi (Prednisolon lebih dari 40 mg/hari) dapat
menyebabkan supresi kelenjar adrenal, dan dapson dapat
menyebabkan hemolisis. Kondisi ini harus dikonsultasikan dengan
36
dokter anak. Pada wanita yang tidak menyusui, dilaporkan
keberhasilan penggunaan terapi tetrasiklin dan penggunaan terapi
nikotinamid. Pengobatan dengan imunosupresan dan
imunomodulator seperti immunoglobulin intravena juga dapat
digunakan. Beberapa kasus yang berat membutuhkan pengobatan
dengan siklofosfamid, dapson, metotreksat, IVIG atau
plasmaparesis. Neonatus dengan ibu yang menerima pengobatan
dosis tinggi prednison harus dilakukan pemeriksaan secara hati hati
oleh neonatologis terhadap terjadinya insufisiensi adrenal. Lesi
serupa pada kulit neonatus bersifat sementara dan tidak
memerlukan terapi (Jeff,2008).
37
DAFTAR PUSTAKA
Wiryadi B.E. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed.5.Jakarta.FKUI
French LE, Prins C. 2008. Dermatology. 2 ed. UK: Elsevier
Habif TP. 2004. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy.
4 ed. USA: Mosby
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Kligora CJ. 2006. Sauer's Manual of Skin Diseases. 9 ed. UK: Lippincott
Williams & Wilkins
Plaza, Jose A. 2013. Erythema Multiforme. (on-line). Medscape. Diakses 2 Juli
2013.
Miller, Jami L. 2013. Dermatitis Herpetiformis. (on-line). Mwdscape. Diakses 2
Juli 2013
Wiryadi B.E. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hurwitz S. Chronic. 1993. Clinical Pediatric Dermatology. 2nd edition.
Philadelphia. WB Saunders Company.
Anatoli, Freiman. 2012. Phemphigoid Gestationis. (on-line). Medscape. Diakses 3
Juli 2013
Jeff K Shomick. 2008. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies Inc
Heather Brannon. 2004. Pemphigoid Gestationis. (on-line). Dermatology. Diakses
2 Juli 2013
Marina Flangini Cobo. 2009. Pemphigoid Gestationis: Clinical and Laboratory
Evaluation. (on-line). Diakses 3 Juli 2013