bab ii

60
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Bulous Pemphigoid II.1.1 Definisi Pemfigoid bulosa (P.B) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang diatas kulit yang eritematosa, atau disebut juga dengan penyakit berlepuh autoimun (Wiryadi, 2007; Daili dkk, 2005; Siregar, 1996). II.1.2 Etiologi Etiologinya ialah belum jelas, diduga autoimun. Produksi autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum diketahui (Wiryadi, 2007). II.1.3 Patofisiologi Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa produksi autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum diketahui, namun pada pemeriksaan antibodi ditemukan deposit autoantibodi IgG dan komplemen dengan pola linier pada perbatasan dermis dan epidermis (Basal Membrane Zone). Deposit antigen ini diperkirakan yang menyebabkan pelepasan

Upload: sherly-rorong

Post on 03-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Bulous Pemphigoid

II.1.1 Definisi

Pemfigoid bulosa (P.B) adalah penyakit autoimun kronik

yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan

berdinding tegang diatas kulit yang eritematosa, atau disebut juga

dengan penyakit berlepuh autoimun (Wiryadi, 2007; Daili dkk,

2005; Siregar, 1996).

II.1.2 Etiologi

Etiologinya ialah belum jelas, diduga autoimun. Produksi

autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum

diketahui (Wiryadi, 2007).

II.1.3 Patofisiologi

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa produksi

autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum

diketahui, namun pada pemeriksaan antibodi ditemukan deposit

autoantibodi IgG dan komplemen dengan pola linier pada

perbatasan dermis dan epidermis (Basal Membrane Zone). Deposit

antigen ini diperkirakan yang menyebabkan pelepasan berbagai

enzim proteolitik yang kemudian menyebabkan pembentukan bula

dan pemisahan epidermis-dermis (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001;

Kariosentono, 2000).

Antigen P.B merupakan protein yang terdapat pada

hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan

bagian B.M.Z (Basal Membrane Zone) epitel gepeng berlapis.

Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan

membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom

(Wiryadi,2007).

2

Terdapat dua jenis antigen P.B berdasarkan ukuran berat

molekul yaitu PBAg1 atau PB230 (berat molekul 230 kD), dan

PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan daripada

PB180 (Wiryadi, 2007).

Autoantibodi pada P.B terutama IgG1 dan terkadang

disertai juga IgA. Isotipe IgG utama adalah IgG1 dan IgG4.

Autoantibodi yang melekat pada komplemen hanya IgG1 (Wiryadi,

2007, Goldstein, 2001).

II.1.4 Gambaran klinis

Keadaan umum pada P.B baik, perjalanan penyakit

biasanya ringan, sering disertai rasa gatal. Kelainan kulit terutama

berupa bula besar (numular-plakat) berdinding tegang berisi cairan

jernih, dapat bercampur dengan vesikel yang terkadang hemoragik,

daerah sekitar berwarna kemerahan atau eritem. Lesi awal dapat

berupa urtika (Daili dkk, 2005; Kariosentono, 2000).

Lesi paling sering ditemukan pada perut bagian bawah,

paha bagian medial atau anterior, dan fleksor lengan bawah.

Membran mukosa jarang terkena, mulut hanya ditemukan 20%

kasus saja. Tanda Nikolsly (Nicholsky sign) negatif karena tidak

ada proses akantolisis (Wiryadi, 2007; Daili dkk, 2005;

Kariosentono,2000)

Perjalanan penyakit akan menyembuh sendiri atau self

limited disease, namun beberapa tahun kemudian lesi biasanya

akan timbul kembali secara sporadis general atau regional. Bula

yang pecah menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak

teratur, namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus Vulgaris.

Erosi kemudian akan mengalami penyembuhan spontan sehingga

dapat dijadikan sebagai tanda penyembuhan. Lesi P.B yang

menyembuh tidak meninggalkan jaringan parut, tetapi dapat

menimbulkan hiperpigmentasi (Kariosentono, 2000; Siregar,

1996).

3

II.1.5 Diagnosis

Diagnosis P.B dapat dilakukan dengan pemeriksaan biopsi

kulit dengan pewarnaan rutin dan imunofluoresens. Hasil

pemeriksaan dapat membantu mengetahui gangguan yang

mendasari (Goldstein, 2001).

Pada pengambilan sample untuk pemeriksaan biopsi

dengan mikroskop cahaya harus dilakukan dengan cara biopsi

plong 4mm atau biopsi cukur dalam dari bula utuh. Tujuan cara ini

adalah untuk memastikan bula terletak subepidermal. Sel infiltrat

yang utama ditemukan adalah eosinofil (Stanley JR, 2008;

Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Siregar, 1996).

Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan

imunofluoresens langsung terhadap sample biopsi yang diambil

dari kulit normal yang terletak beberapa milimeter dari daerah

yang terkena (Goldstein, 2001).

Pada pemeriksaan imunofluoresensi dapat ditemukan

endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita atau linier di B.M.Z

(Stanley JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Kariosentono,

2000).

Perbedaan autoantibodi antara P.B dan Pemfigus yaitu pada

penderita P.B hampir 70% memiliki autoantibodi terhadap B.M.Z

dalam serum dengan kadar titer yang tidak sesuai dengan keaktifan

penyakit (Stanley JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).

II.1.6 Tatalaksana

Pengobatan P.B adalah dengan kortikosteroid diberikan

sama seperti Pemfigus Vulgaris namun dengan dosis awal lebih

rendah. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 40-60mg/hari

4

kemudian pelan-pelan diturunkan (tappering off) sampai dosis

bertahan 10mg setiap hari (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).

Kombinasi kortikosteroid dengan imunosupresan atau

sitostatik dapat mengurangi dosis kortikosteroid. Cara dan

pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan Pemfigus

(Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).

Obat lain yang dapat digunakan adalah DDS atau

Klorokuin dengan dosis 200-300mg/hari memberikan respon yang

baik (Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).

P.B merupakan penyakit autoimun oleh karena itu

memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan

mengalami efek samping kortikosteroid sistemik seperti

peningkatan sel infiltrat daripada neutrofil. Pencegahan efek

samping tersebut adalah dapat dengan diberikan kombinasi

Tetrasiklin/Eritromisin (3x500mg/hari) dan Niasinamid 

(3x500mg/hari) setelah P.B membaik (Wiryadi, 2007).

II.2 Pemphigus

II.2.1 Definisi

Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula

kronik, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara

histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses

akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap

komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik

terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.

II.2.2 Etiologi

Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum

penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat

(drug-inducad pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril.

Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus

foliaseus (termasuk pemfigus eritematous) atau pemfigus vulgaris.

Pemfigus foliaseus lebih sering timbu dibandingkan dengan

5

pemfigus vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan

histologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan

imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif,

sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung hanya

kira-kira 70% yang positif.

Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang

jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus

paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama

dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematous

sisemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis, dan anemia

pernisiosa.

II.2.3 Klasifikasi

Penyakit penfigus terdiri dari 4 tipe yaitu:

1. Pemfigus Vulgaris

Pemphigus vulgaris ICD-10 Yang paling umum dari

gangguan adalah Pemphigus vulgaris (PV - ICD-10 L10.0). Hal

ini terjadi ketika antibodi menyerang Desmoglein 3. Luka

sering berasal dari mulut, membuat makan sulit dan tidak

nyaman. Meskipun Pemphigus vulgaris bisa terjadi pada umur

berapa saja, hal itu paling umum di antara orang-orang yang

berumur antara 40 dan 60.Hal ini lebih sering terjadi di

kalanganorang-orang Yahudi Ashkenazi. Myasthenia gravis

Nail dan diseasemyasthenia gravis Nail, penyakit mungkin

satu-satunya menemukan dan memiliki nilai prognostik dalam

manajemen.

2. Pemfigus Erytomatous

Varian pemfigus foliaceus yang secara histologi identik,

ditandai secara klinis dengan ruam yang menyerupai lupus

erythematosus pada hidung, pipi, dan telinga serta lesi mirip

seborrbea di tempat lain ditubuh,dan secara imunologis dengan

deposisi granular. Imunoglobin dan komplemen sepanjang

6

dermoepidermal junction. Penemuan ini menyarankan

koeksiensi lupus erytematosis dan pemfigus pada individu yang

sama disebut juga senear-usher syndrome.

3. Pemfigus Foliacus

Adalah yang paling parah dari tiga varietas. Desmoglein

1,protein yang dihancurkan oleh autoantibody, hanya

ditemukan di atas lapisan kering kulit. PF dicirikan oleh luka

berkerak yang sering dimulai pada kulit kepala, dan mungkin

pindah ke dada, punggung, dan wajah. Mouth sores do not

occur. Luka mulut tidak terjadi. Itu tidak menyakitkan seperti

Pemphigus vulgaris, dan sering salah didiagnosis

sebagai dermatitis ataueksim.

4. Pemfigus Vegetans

Varian pemfigus vulgaris yang ditandai dengan

perkembangan granulasi verukosa yang berproliferasi

terkadang dengan pustule pada perifernya, yang tampaknya

muncul dari bula yang terkelupas, dan mempunyai

kecenderungan bersatu membentuk patch. Menurut beberapa

ahli terdapat dua tipe, yaitu Tipe Hallopeau, yang mempunyai

perjalanan dan prognosis lebih jinak dan Tipe Neumann, yang

amat menyerupai pemfigus vulgaris disemua aspek.

II.2.4 Patofisiologi

Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat yang khas, yakni,

Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis), adanya antibodi

IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan

keratinosit yang sedang berdiferensiasi.

Lepuh pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap

antigen P.V antigen ini merupakan transmembran glikoprotein

dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus foliaeus dan berat

7

molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada

permukaan sel keratinosit.

Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah

desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah

desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus target

antigennya ialah desmoglein 1.

Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom.

Komponen yang lain, misalnya desmoplakin, plakoglobin, dan

desmokolin. Fungsi desmosom ialah meningkatkan kekuatan

mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan

mukosa.

Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai

antibodi subklas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenik ialah IgG4.

Pada pemfigus juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan

HLA-DR4.

II.2.5 Gambaran klinis

Sebagian besar pasien pada mulanya ditemukan dengan lesi

oral yang tampak sebagai erosi yang bentuknya ireguler yang

terasa nyeri. Mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bula pada

kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah- daerah

erosi yang lebar serta nyeri cairan. Bau yang menusuk dan khas

akan memancar bula dan serum yang merembes keluar. Kalau

dilakukan penekanan yang minimal akan terjadi pembentukan

lepuh atau prngelupasan kulit yang normal (tanda nikolsky). Kulit

yang erosi sembuh dengan lambat sehingga akhirnya daerah tubuh

yang terkena luas. Superinfeksi bakteri sering terjadi.

8

II.2.6 Diagnosis

a. Dalam menegakkan diagnosis dilakukan : Histopatologi, direct

Imunofluorescence (DIF) dan indirect Imunofluorescence

(IDIF).

b. Biopsy lesi, dengan cara memecahkan bulla dan membuat

apusan yang akan diperiksa dibawah mikroskop atau

pemeriksaan immunofluoresent.

c. Tzank test, apusan dari bulla menunjukkan akantolisis.

d. Nikolsky’s sign, positif apabila dilakukan penekanan minimal

akan terjadipembentukan lepuh dan pengelupasan kulit.

II.2.7 Tatalaksana

Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat

imunosupresif. Yang sering kami gunakan ialah prednison dan

deksametason. Dosis prednison bervariasi tergantung pada berat

ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang

menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagibpemfigus yang berat. Pada

dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m. atau i.v.

sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan

cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan. Karena digunakan

kortikosteroid dosis tinggi, maka untuk mencegah efek sampingnya

obat tersebut penatalaksanaanya seperti tercantum pada “

pengobatan sindrom Stevens-Johnson” dan pada bab “pengobatan

dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang dermato-

venereologi”.

Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi

baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan

50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap.

Biasanya setiap 5-7 hari kami turunkan 10-20 m ekuivalen

prednison tergantung pada respons masing-masing, jadi bersifat

individual. Cara yang terbaik ialah memantau titer antibodi karena

antibodi tersebut tersebut menunjukan keaktivan penyakit, tetapi

9

sayang di bagian kami belum dapat dikerjakan. Jika titernya stabil,

penurunan dosis lambat: bila titernya menurun, penurunan dosis

lebih cepat.

Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi

denyut. Caranya bermacam-macam yang lazim digunakan ialah

dengan methyl prenidosolon sodium succinate (solumedrol), i.v.

selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari

250-1000 mg (10-20 mg per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan

kortikosteroid per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek

samping yang berat pada terapi denyut tersebut diantaranya ialah,

hipertensi, elektrolit sangat terganngu, infark miokard, aritmia

jantung sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak, dan

pankreatitis.

Jika pemberian prednison meleihi 40 mg sehari harus

disertai antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Bila telah

tercapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi efek samping

kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari

jam 8. Alasannya pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah

paling tinggi. Sebaiknya obat diberikan selang sehari, diharapkan

pada waktu bebas obat tidak terjadi penekanan terhadap kelenjar

adenal bagian korteks. Keburukannya pada hari bebas obat timbul

lesi baru. Cara penanggulangannya lihat bab “pengobatan dengan

mortikosteroid sistemik dalam bidan dermato venereologi”.

Sebagian kecil penderita pemfigus dapat bebas obat, tetapi

sebagian besar haru diberikan dosis pemeliharaan terus menerus.

Psricha mengobati pemfigus dengan cara kombinasi

deksametason dan siklofosfamid dosis tinggi secara intermitten

dengan hasil baik. Dosis deksametson 100 mg dilarutkan dalam 5%

glukosa diberikan selama 1 jam i.v., 3 hari berturut-turut.

Siklofosfamid diberikan i.v., 500 mg hanya pada hari 1, dilanjutkan

per os 50 mg sehari. Pemberian deksametason dengan cara tersebut

diulangi setiap 2-4 minggu. Setelah beberapa bulan penyakit tidak

10

relaps lagi., pemberian deksametason dijarangkan menjadi setiap

bulan untuk 6-9 bulan. Kemudian dihentikan dan pemberian

siklofosfamid 50 mg/hari diteruskan. Setelah kira-kira setahun

pengobatan dihentikan dan penderita diamati terjadinya relaps.

Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat

dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek

samping kortikosteroid yng berat atrofi kelenjar adrenal bagian

korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat

menyebabkan fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis.

Tentang penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada

pengobatan pemfigus terdapat dua pendapat:

Sejak muda diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid

sistemik. Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau

tinggi sehingga efek sampingnya lebih sedikit.

Sitostatik diberikan, bila :

Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi

respons. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum,

diabetes melitus, katarak dan osteoporosis. Penurunan dosis pada

saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.

Obat sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin,

siklofosfamid, metrotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat yang

lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan

tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg

sehari atau 1-3 mg per kgBB. Obat-obat sitostatik sebaiknya

diberikan, jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk

mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Hendaknya diingat bahwa

efek teraupetik azatioprin baru terjadi setelah 2-4 minggu. Jika

telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dulu,

kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap. Efek

sampingnya diantaranya menekan sistem hematopoletik dan

bersifat hepatotoksik.

11

Siklofosfamid sebenarnya merupakan obat yang paling

poten, tetapi karena efek sampingnya berat kurang dianjurkan.

Dosisnya 50-100 mg sehari. Efek teraupetik siklofosfamid masih

sedikit setelah pembeian beberapa jam, efek maksimum baru

terjadi setelah 6 minggu. Efek samping yang utama ialah toksisitas

saluran kemih berupa sistitis hemoragik, dapat pula menyebabkan

sterilitas.

Produk metabolisme siklofosfamid yang bersifat sitotoksik

diekskresi melalui urin, oleh karena itu penderita dianjurkan agar

banyak minum. Gejala toksik dini pada vesika urinaria ialah diuria,

didapati pada 20% penderita yang mendapat obat tersebut dalam

jangka waktu lama.

Jika mikroskopik terdapat hematuria hendaknya obat

dihentikan sementara atau diganti dengan obat sitotoksik yang lain.

Obat yang dapat mencegah terjadinya sistitis hemoragik ialah

mesna, biasanya dosisnya 20 % dosis siklofosfamid sehari, i.v.,

diberikan tiga kali sehari selang 4 jam, dosis 1 diberiksn bersama-

sama dengan siklofosfamid.

Metotreksat jarang digunakan karena kurang bermanfaat.

Dosisnya 25 mg per minggu i.m. atau per os. Cara pengobatan

sama seperti pengobatan untuk psoriasis. Mikrofenolat mofetil

dikatakan lebih efektif daripada azatioprin, sedangan efek

toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2 x 1 g sehari.

Ajuvan lain yang tidak begitu poten ialah yang bersifat anti-

infamasi yakni emas, diaminodifenilsulfon (D.D.S.), antimalaria,

dan miosiklin. Tentang emas tidak akan diuraikan karena

preparatnya tidak ada di indonesia. Dosis D.D.S. 100-300 mg

sehari, dicoba dahulu dengan dosis rendah. Tentang efek

sampingnya lihat “pengobatan dermatitis herpetiformis”.

Antimalaria yang sering digunakan ialah klorokuin dengan dosis 2

x 200 mg sehari. Efek sampingnya yang berat ialah retinopati yang

dapat terjadi setelah dosis kumulatif 100 g. Tentang pengobatan

12

kombinasi nikotinamid dan tetrasiklin lihat pengobatan pemfigoid

bulosa. Minosiklin digunakan dengan dosis 2x50 mg sehari.

Akhir-akhir ini berdasarkan pertimbangan risk and benefit

kami lebih sering menggunakan D.D.S. sebagai ajuvan. Meskipun

khasiatnya tidak sekuat sitostatik, namun efek sampingnya jauh

lebih sedikit dan hasilnya cukup baik. Dosisnya 100 mg atau 200

mg. Bila digunakan 100 mg tidak perlu diperiksa G6PD

sebelumnya, karena dosis itu dipakai sebagai pengobatan lepra,

umumnya tanpa efek samping. Tetapi, bila dengan dosis 200 mg

harus diperiksa G6PD sebelumnya.

Pengobatan topikal sebenarnya tidak sepenting pengobatan

sistemik. Pada daerah yang erosif dapat diberikan silver

sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada

lesi pemfigus yang sedikit dapat diobati dengan kortikosteroid

secara intalesi (intradermal) dengan triamsinolon asetonid.

II.3 Erythema Multiform

II.3.1 Definisi

Eritema multiforme (EM) merupakan penyakit kulit akut

dan dapat sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul

merah simetris yang timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi

lesi target yang tipikal kadang-kadang atipikal. EM merupakan

erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada

selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan

gambaran khas berbentuk iris (target lesion). Eritema

menunjukkan perubahan warna kulit yang disebabkan karena

dilatasi pembuluh darah, khususnya pada dermis pars retikularis

dan pars papillaris. Pada kasus yang berat disertai gejala konstitusi

dan lesi viseral (French, 2008).

II.3.2 Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui. Faktor-faktor

penyebabnya selain alergi terhadap obat sistemik, ialah peradangan

13

oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar

matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau

haid, dan penyakit keganasan. Pada anak-anak dan dewasa muda,

erupsi biasanya disertai dengan infeksi, sedangkan pada orang

dewasa disebabkan oleh obat-obat dan keganasan (Djuanda, 2007).

II.3.3 Patofisiologi

Pemahaman terbaru mengusulkan bahwa kebanyakan EM,

pada kebanyakan pasien, timbul sebagai manifestasi mukokutaneus

dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit yang terjadi

akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor

presipitasi. Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kompleks

imun dan deposisinya pada mikrovaskulatur kutaneus memiliki

peran dalam patogenesis EM. Kompleks imun yang bersirkulasi

dan deposisi dari C3, IgM, dan fibrin di sekitar bagian atas

pembuluh darah dermal telah ditemukan pada kebanyakan pasien

EM (Habif, 2004).

Secara histologis, infiltrat sel mononuklear ditemukan di

sekitar bagian atas pembuluh darah dermal; dimana halnya pada

vaskulitis kutaneus yang dimediasi oleh kompleks imun juga

ditemukan leukosit polimorfonuklear. EM menunjukkan infiltrat

inflamasi yang lichenoid dan nekrosis epidermal yang kebanyakan

mempengaruhi lapisan basalis. Keratinosit yang mengalami

nekrosis bervariasi mulai dari individu sel sampai nekrosis

epidermal yang konfluen. Epidermo-dermal junction menunjukkan

perubahan struktur bervariasi mulai dari perubahan vaskuler

sampai subepidermal yang melepuh. Infiltrat di dermal kebanyakan

berada perivaskuler (Habif, 2004).

Bila dibandingkan dengan SSJ, SSJ menunjukkan lebih

banyak jaringan yang nekrotik dan infiltrat inflamasi yang

minimal. Konsentrasi acrosyringeal pada keratinosit yang

mengalami inflamasi pada EM terjadi pada kasus-kasus yang

behubungan dengan obat-obatan dan kebanyakan dihubungkan

14

dengan infiltrat inflamasi pada dermis yang mengandung eosinofil.

EM memiliki infiltrat dengan densitas yang kaya akan limfosit T.

Sebaliknya, nekrosis epidermal toksik dicirikan dengan infiltrat

yang miskin sel dan mengandung kebanyakan makrofag dan

dendrosit. Perbedaan ini menunjukkan patogenesis yang jelas

untuk penyakit-penyakit tersebut (Habif, 2004).

II.3.4 Gambaran klinis

Eritema multiforme, yang awalnya ditemukan oleh Hebra,

merupakan penyakit yang dengan penyebab yang tidak diketahui

yang dicirikan dengan bentuk iris merah atau makula bull's eye-

like, papul, atau bulla yang terutama terbatas pada ekstremitas,

wajah, dan bibir. Penyakit ini biasanya ditemani oleh adanya

demam ringan, malaise, dan artralgia. Biasanya terjadi pada anak-

anak dan dewasa muda pada musim semi, dengan durasi sekitar 2-

4 minggu, dan sering terjadi rekurensi dalam beberapa tahun.

Disebabkan karena kesamaannya secara klinis, EM minor,

EM major, SSJ dan NET diputuskan sebagai bagian dari satu

spektrum penyakit tunggal. Akan tetapi, seperti yang telah

dibicarakan sebelumnya, saat ini sudah ditemukan bukti kuat yang

mendukung bahwa EM adalah penyakit yang berbeda dari SSJ dan

NET dalam banyak tingkatan gejala klinis, prognosis, dan etiologi.

Kriteria klinis memungkinkan untuk membedakan kedua bentuk

EM dari SSJ dan NET pada pasien dengan jumlah yang besar.

Kriteria klinis ini mencakup tipe lesi dasar kulit, distribusi lesi,

ada/tidaknya keterlibatan lesi pada mukosa yang jelas, dan

ada/tidaknya gejala-gejala sistemik.

1. tipe lesi dasar kulit

Tipe lesi kulit yang khas pada EM berupa lesi target tipikal.

Lesi berdiameter <3cm, bentuk bulat dengan batas tegas, dan

terdiri dari tiga zona, dimana dua cincin konsentris dengan

perubahan warna di sekitar zona pusat lesi merupakan bukti

kerusakan epidermis dalam pembentukan bulla atau krusta.

15

Lesi target tipikal ini kadang-kadang ditemukan sebagai lesi

iris dikarenakan tampakannya yang seperti pelangi (rainbow-

like appearance).

Lesi target yang muncul dini seringnya memiliki zona yang

gelap di tengah dan zona merah di bagian luarnya, tetapi dapat

berubah menjadi tiga zona dengan perubahan warna. Setiap

cincin konsentris pada lesi target kebanyakan menunjukkan

urutan kejadian dari proses patologis serupa yang sedang

terjadi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hanya pada

beberapa pasien yang memiliki jumlah lesi yang berkembang

penuh, dimana lesi target tipikal belum tampak atau terbentuk

sepenuhnya, sementara pada pasien lain semua lesi memiliki

perkembangan yang sama, sehingga menunjukkan tampakan

klinis yang monomorfik. Tidak menutup kemungkinan bahwa

hanya beberapa lesi target yang ditemukan, sehingga

pemeriksaan kulit lengkap sangatlah penting.

Pada EM, lesi target atipikal juga dapat menemani lesi

target tipikal atau sebagai lesi kutanues primer. Kebanyakan

lesi ini ditemukan sebagai bentuk yang bulat, edema, palpable,

serupa dengan EM, tetapi hanya memiliki dua zona

dengan/tanpa tepi yang jelas. Lesi ini harus dapat dibedakan

dengan lesi target yang rata (makula) atipikal yang ditemukan

pada SSJ atau NET, dan kelainan lain selain EM. Diagnosis

lain tersebut ditemukan sebagai lesi bulat yang juga serupa

dengan EM, tetapi hanya memiliki dua zona dengan/tanpa tepi

yang jelas, tetapi non-palpable (dengan pengecualian inti

bentuk vesikel/bulla).

2. distribusi lesi

Meskipun ada variasi dari tiap individu, lesi-lesi yang

banyak biasanya sering ditemukan. Pada umumnya, lesi pada

EM timbul lebih sering pada ekstremitas dan wajah; lesi target

kebanyakan pada ekstremitas superior, sama halnya dengan

16

erupsi lainnya secara keseluruhan pada EM. Dorsum manus

dan region antebrachium adalah lokasi lesi yang paling banyak

ditemukan, tetapi volar manus, leher, wajah, dan badan juga

lokasi umum dari lesi. Keterlibatan lesi pada kaki jarang

ditemukan. Lesi EM juga dapat muncul pada arena yang

terpapar sinar matahari. Sebagai tambahan, lesi cenderung

membentuk kelompok, terutama pada siku dan lutut.

Fenomena Koebner dapat ditemukan, dengan lesi target

yang muncul di sekitar area yang mengalami trauma kutis

seperti goresan (perhatikan gambar 1F), atau sebagai eritema

dan pembengkakan dari lipatan proksimal kuku pada lokasi

yang sering mengalami trauma. Trauma harus mendahului

onset erupsi EM karena fenomena Koebner tidak akan muncul

ketika lesi EM sudah ada.

3. lesi pada mukosa

Keterlibatan mukosa yang berat adalah ciri dari EM mayor.

Keterlibatan mukosa biasanya tidak ada pada EM minor, dan

jika ditemukan biasanya lesi hanya beberapa dan sedikit

bergejala. Lesi mukosa primer EM berbentuk vesikobullosa

dan sangat cepat berkembang menjadi erosi yang sangat sakit

yang melibatkan mukosa buccal dan bibir, seperti halnya

mukosa pada mata dan genitalia. Pada bibir, erosi sangat cepat

berkembang menjadi krusta yang perih. Erosi pada mukosa

anogenitalia seringnya lebih besar dan polisiklik dengan

permukaan yang basah.

4. gejala-gejala sistemik

Gejala-gejala sistemik hampir selalu muncul pada EM

mayor dan tidak ada atau terbatas pada EM minor. Pada EM

mayor, gejala sistemik biasanya mendahului dan menemani lesi

kulit berupa demam dan asthenia dengan derajat yang

bervariasi. Artralgia dengan pembengkakan sendi kadang-

kadang ditemukan, sama halnya keterlibatan pneumonia

17

atipikal, dimana manifestasi pulmonal dari EM dengan

penyakit lain terkait infeksi seperti M. pneumoniae tidaklah

jelas. Ginjal, hepar, dan kelainan hematologi pada EM mayor

jarang ditemukan.

II.3.5 Diagnosis

Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan.

Pada kasus berat dapat terjadi anemia dan proteinuri ringan

(Djuanda, 2011).

II.3.6 Tatalaksana

Untuk semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang

paling penting adalah penanganan simtomatik, yaitu antihistamin

oral, analgesik, perawatan kulit, dan soothing mouthwashes (yaitu

dengan membilas mulut dengan warm saline water atau dicampur

dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).

Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun

sedapat-dapatnya perlu dicari penyebabnya. Pada penyakit ini

biasanya dapat diberikan pengobatan kortikosteroid per oral,

misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.

Manajemen eritema multiforme melibatkan penentuan

etiologi bila mungkin. Langkah pertama adalah untuk mengobati

kecurigaan penyakit menular atau untuk menghentikan obat kausal.

Penanganan terhadap infeksi seharusnya setelah kultur

dan/atau pemeriksaan serologis dilakukan. Pengobatan topikal

berupa antiseptik topikal untuk lesi kulit yang telah erosi dan

bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik lokal untuk lesi

mukosa. Penggunaan cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05%

saat mandi dapat mencegah superinfeksi. Pengobatan topikal,

termasuk yang melibatkan organ genitalia, harus dilakukan dengan

gauze dressing atau hidrokoloid. Pemberian preparat topikal mata

harus diberikan oleh ahli oftalmologi, seperti lubrikan untuk mata

18

kering, usapan pada forniks konjungtiva, dan pembersihan

perlengkatan yang masih baru.

Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan

untuk gejala relief. Antihistamin oral selama 3-4 hari dapat

mengurangi rasa perih dan terbakar pada kulit. Pada kasus-kasus

yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal dengan

kortikosteroid sistemik (prednison [0.5–1 mg/kg/hr]) atau

metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah

dipertimbangkan. Prednison dapat digunakan pada pasien dengan

lesi banyak dengan dosis 40 sampai 80 mg per hari selama satu

sampai dua minggu kemudian dosis diturunkan. Namun,

penggunaannya masih kontroversial. Belum ada studi terkontrol

dari efektivitas prednison, dan penggunaannya pada pasien dengan

herpes terkait eritema multiforme dapat menurunkan resistensi

pasien untuk HSV dan mempromosikan infeksi HSV berulang

diikuti oleh eritema multiforme berulang.

Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla

dan papul yang terlokalisir. Terapi antivirus dengan asiklovir pada

EM yang timbul akibat infeksi HSV cenderung mengecewakan

ketika erupsi telah muncul, sehingga terapi ini bermanfaat untuk

profilaksis. Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi

HSV, pengobatan dini dengan asiklovir oral (Zovirax®) dapat

mengurangi jumlah dan durasi lesi kulit. Pada individu dengan EM

terkait-HSV dengan tingkat rekurensi yang tinggi, profilaksis

minimal 6 bulan dengan asiklovir oral (10 mg/kg/hr dalam dosis

terbagi, biasanya 200mg dalam 5 kali sehari selama 5 hari),

valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung frekuensi

rekurensi), atau famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah

dipikirkan. Hasil penelitian double-blind, placebo-controlled pada

dewasa muda menunjukkan efektivitas asiklovir sebagai

profilaksis. Tentu saja, EM yang dipresipitasi selain oleh infeksi

HSV tidak memberi respon terhadap pemberian antivirus.

19

Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah

berlanjut dari asiklovir oral. Asiklovir oral telah ditunjukkan

efektif dalam mencegah EM terkait-HSV yang rekuren dan

protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari selama 26

minggu. Jika asiklovir gagal, valasiklovir dapat digunakan (500

mg, dua kali sehari). Penggunaan yang terakhir ini memiliki

bioavaliabilitas oral yang lebih besar dan lebih efektif dalam

menekan EM terkait HSV yang rekuren.

II.4 Dermatitis Herpetiformis

II.4.1 Definisi

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah gangguan autoimun

terik dikaitkan dengan enteropati gluten sensitif (GSE). Penyakit

ini dijelaskan dan diberi nama pada 1884 oleh Louis Duhring Dr di

University of Pennsylvania.  Herpetiformis Dermatitis ditandai

dengan excoriations dikelompokkan; eritematosa, urtikaria plak,

dan papula dengan vesikel. Lokasi klasik untuk lesi dermatitis

herpetiformis adalah pada permukaan ekstensor siku, lutut,

bokong, dan punggung. (Jami, 2013).

II.4.2 Etiologi

Virus herpes tidak menyebabkan DH, walaupun pada nama

penyakit menunjukan demikian. Penyebab dari DH adalah alegi

dan gluten, suatu protein yang ditemukan pada gandum dan

beberapa tanaman biji-bijian (Habif,2004).

Limfoma pda usus halus dan limfoma nonintestinal juga

dilaporkan menderita dermatitis herpetiformis dan penyakit celiac.

Pasien limfoma yang menderita DH telah dikontrol dengan diet

bebaas gluten (GFD) atau telah dirawat dengan GFD selama lebih

dari 5 tahun. Oleh karena itu, pasien telah disarankan untuk

melakukan GFD secara ketat. Sebuah studi menunjukan bahwa

insidens dari limfoma non-Hodkin’s meningkat pada pasie dengan

DH. Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa pasien DH yang dirawat

20

dengan GFD tidak mengalami peningkatan mortalitas

(Habif,2004).

II.4.3 Patofisiologi

Pathogenesis DH berhubungan dengan Gluten Sensitive

Enteropathy(GSE). GSE adalah kelainan gastrointestinal yang

disebabkan oleh gluten. Gluten adalah suatu protein yang terdapat

pada gandum. Pada lebih dari 90% kasus DH didapati enteropati

sensitive terhadap gluten pada jejenum dan ileum. Kelainan yang

terjadi bervariasi dari atopi vili yang minimal hingga sel-sel epitel

mukosa usus halus yang mendatar. Sejumlah 1/3 kasus disertai

steatorea (wiryadi, 2011).

GSE kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA pada

kulit penderita DH, meskipun mekanismanya belum diketahui

secara pasti apakah IgA terikat pada antigen yang ditemukan pada

gastrointestinal kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau

apakah IgA yang tebentuk khas untuk antigen kulit yang belum

diketahui (wiryadi, 2011).

Ditemukannya IgA dan komplemen diseluruh kulit

menimbulkan perkiraan bahwa diperlukan factor tambahan untuk

menerangkan permulaan lesi. Dengan factor tambahan ini, IgA

mengakifkan komplemen (mungkin melalui jalur alternative)

sehingga terjadi kemotaksis neutrophil yang melepaskan enzimnya

dan mengakibatkan lesi yang disebut dengan DH (wiryadi, 2011).

Selain gluten, yodium juga disebutkan dapat mempengaruhi

timbulnya remisi dan eksaserbasi penyakit (wiryadi, 2011).

II.4.4 Gambaran klinis

Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang eksplosif dalam beberapa

jam atau hari. Faktor pencetusnya yaitu penyakit virus, ingesti

gluten atau yodium dalam jumlah besar, dan disfungsi tiroid

(Wiryadi,2011).

21

Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul

dengan cepat dapat menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm.

Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila tidak

pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan

simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin

hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada

tempat predileksi (Wiryadi,2011).

Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong,

bahu, dan area sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal

posterior. Daerah lain yang sering terkena adalah wajah dan batas

rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga

dengan telapak tangan dan kaki (Wiryadi,2011).

Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien

mengeluhkan gatal yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH

dipikirkan jika adanya keluhan dengan rasa terbakar. Semakin

berat pruritus, maka biasanya timbul ekskoriasi. Erupsi biasanya

terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa papula,

papulovesikuler, vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Lesi peteki

linear dapat timbul pada permukaan volar, jari, dan telapak tangan.

Adanya bintik pigmentasi pada region lumbosacral dapat dicurigai

sebagai DH (Wiryadi,2011).

Gatal dan rasa terbakar biasanya berat, dan kualitas

paroksismalnya diprovokasi oleh garukan pada lokasi yang

berdarah, dan pada saat yang sama oleh ketakutan. Remisi spontan

berlangsung selama seminggu dan meninggalkan luka baru yang

kasar yang merupakan karakteristik penyakit tersebut. Dapat

bertambah parah pada masa perimenstrual (Wiryadi,2011).

DH pada anak-anak mirip seperti pada orang dewasa,

memiliki gambaran histologi yang identik dan temuan

immunofloresen, dan memiliki insidensi tinggi pada HLA B8 dan

DR3 dan biopsy jejunum abnormal. Telapak tangan melepuh dan

22

berwarna kecoklatan, hemoragik, makula purpura didapatkan lebih

sering dibanding orang dewasa (Wiryadi,2011).

II.4.5 Diagnosis

Histopatologi

Gambaran histopatologi DH yang khas paling terlihat pada

daerah eritem disekitar vesikel yang baru muncul. Pada daerah ini

terdapat akumulasi netrofil dan beberapa eosinophil pada ujung

papilla dermis yang semakin lama semakin bertambah besar

membentuk mikorabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan

pemisah antara ujung papilla dermis dan epidermis sehingga

terbentuk vesikel (Miller,2013).

Pada awalnya interpapilary ridges epidermis tetap melekat

pada dermis sehingga vesikel yang terbentuk adalah multiokular

dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara klinis. Dalam 1-2 hari

rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel

unilokuler yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin

masih terlihat mikroabses pada tepi vesikel. Karena itu biopsy pada

tepi vesikel sangat berguna (Miller,2013).

Pada pemeriksaan dengan mikroskopik electron terlihat

bula subepidermal di bawah lamina basalis. Pada daerah lesi,

lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit di dekat lesi, lamina

basalis menjadi tipis (Miller,2013).

Immunoflouresensi

Pada pemeriksaan immunoflouresensi direk

memperlihatkan timbunan IgA dalam bentuk granular pada ujung

papilla dermis di kulit sekitar lesi dan kulit normal dengan jarak

tidak lebih dari 3mm dari lesi. Ini merupakan kriteria standard

untuk diagnosis (Miller,2013).

23

Pada pemeriksaan immunoflurosensi indirek, tidak

ditemukan antibody terhadap basement membrane zone (BMZ)

(Miller,2013).

II.4.6 Tatalaksana

Medikamentosa

a. Dapson

Dapson dan sulfapiridin merupakan obat yang efektif

untuk menghilangkan gejala dan menekan pembentukkan ruam

pada DH pada anak dan dewasa. Obat ini menyebabkan respon

yang dramatis dalam waktu 24 hingga 48 jam, sehingga

membantu dalam mendiagnosis DH

Dapson untuk anak-anak dapat diberikan mulai dengan

dosis 2mg/kgbb/hari, dosis dapat ditingkatkan tergantung

respons klinis dan efek samping dari terapi yang mungkin

timbul. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat ditingkatkan

hingga mencapai maksimal 400mg/hr, namun dosis yang

dibutuhkan berkisar 50mg tiga kali sehari. Jika sudah ada

perbaikan dosis dapat diturunkan perlahan-lahan 25 sampai

50mg/hr sampai mencapai level minimum.

Efek samping Dapson adalah agranulositosis, anemia

hemolitik, methemoglobinemia, neuritis perifer dan bersifat

hepatotoksik. Harus dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah

lekosit dan hitung jenis sebelum pengobatan dan 2 minggu

sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau

sianosis segera dilakukan pemeriksaan lbaratorium. Jika

terdapat defisiensi G6PD maka merupakan kontra-indikasi

karena dapat menyebabkan anemia hemolitik.

b. Sulfapiridin

Dosis awal sulfapiridin untuk anak biasanya 100 sampai

200mg/kgbb/hari, dibagi menjadi 4 dosis, dengan dosis

24

maksimal 2 sampai 4 gram perhari. Jika sudah ada perbaikan

dosis dapat diturunkan setiap minggu hingga dosis

pemeliharaan 500mg/hari atau kurang.

Efek samping sulfapiridin adalah anorexia, sakit kepala,

demam, leukopenia, agranulositosis, anemia hemolitik. Harus

dilakukan pemeriksaan G6PD sebelum dilakukan terapi dan

pemeriksaan darah tepi setiap bulan. Obat ini kemungkinan

akan menyebabkan terjadinya nephrolithiasis karena sukar larut

dalam air sehingga pasien dianjurkan minum banyak.

Untuk pasien yang tidak dapat diberikan sulfapiridin atau

dapson dapat diberikan kortikosteroid sistemik walaupun tidak

efektif. Pernah dilaporkan keberhasilan pengobatan dengan

tetrasiklin atau minosiklin dan nikotinamid. Penhentian

nikotainamid atau minosiklin menyebabkan ruam DH timbul

kembali.

c. Pengobatan Topikal

Dapat diberikan krim kortikosteroid atau bedak kocok

seperti calamine dengan menthol untuk mengurangi rasa gatal.

Non Medikamentosa

a. Diet Bebas Gluten

Diet ini harus dilakukan secara ketat, perbaikan pada kulit

tampak setelah beberapa minggu. Dengan diet bebas gluten

dapat mengontrol lesi kulit pada 80% penderita. Kelainan

intestinal juga mengalami perbaikan, sedang dengan obat-oba

kelainan ini tidak akan mengalami perbaikan. Dengan diet ini

penggunaan obat dapat ditidakan atau dosisnya dapat dikurangi

II.5 Epidermolysis Bullosa

II.5.1 Definisi

Epidermolisis bulosa (EB) merupakan kelainan genetik

berupa gangguan/ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat

25

pada jaringan konektif di bawahnya dengan manifestasi tendensi

terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau

gesekan ringan (Djuanda, 2011).

II.5.2 Klasifikasi

Mula-mula klasifikasi dibuat berdasarkan jaringan parut

yang terbentuk kemudian, E.B. nondistrofik (bula terletak diatas

stratum basal) dan ditofilik (bula terletak dibawah stratum basal).

Dengan perkembangan imunologi dan pemeriksaan

imunohistokimia, klasifikasi lebih rinci disesuaikan dengan letak

bula terhadap taut dermo-epidermal, yaitu epidermolisis bulosa

simpleks (E.B.S.), E.B. distrofilik, dan E.B. juntional, massing-

masing memiliki bentuk variasi (subtipe) (Djuanda, 2011).

1. Epidermolisis bulosa tipe Junctional

EB tipe junctional adalah tipe E.B. yang

pembentukan bula terjadi di lamina lusida di taut

dermoepidermal, merupakan tipe E.B. yang paling berat serta

mengancam kehidupan. Semua tipe di turunkan secara

resesif autosom. Imunoperoksidase memperlihatkan bula

terdapat di atas kologen tipe IV.

Pemeriksaan dengan antibodi monoklonal lainya

ditujukan terhadap laminin-5 (rantai α3α3α2), intigrin 4,

BPAG-2, dapat dilakukan sesuai kebutuhan (Djuanda, 2011).

Herlitz adalah bentuk yang paling berat diantara tipe

junctionali ditandai bula besar-besar terutama di bokong

badan dan kepala, tanpa meninggalkan sikatriks dan milia

kecuali bila diikuti infeksi sekunder.Meskipun hampir 50%

pasien meninggal sebelum usia 2 tahun, namun sebagian

dapat hidup sampai dewasa. Oleh karena itu pendapat bahwa

merupakan E.B. tipe letalis tidak lagi dipertahankan. Pada

bentu Herlitz biasanya tangan dan kaki tdak tidak terkena,

mukosa dapat terkena dan dapat terjadi afesia pilorik. Di

perioral dapat terbentuk bula, sedangkan bibir tidak terkena.

26

Pada perkebanganya pita suara serta laring dapat terkena

kemudian. Demikian pula kuku dapat terkena serta terlepas

dan disertai paronikia. Tanda khas lainnya adalatr displasia

gigi serta permukaannya berbenjol-benjol (coblestone

appearance). Pada bentuk Herlitz terjadi detardasi mental

dan anami rekalsitan. Penyebab kematian tidak di

ketahui. Dengan pemeriksaan mikroskop biasa tampak

celah di atas membran basal, dengan mikroskop elektron

terlihat bula terbentuk di lamina lusida disertai berkurangnya

jumlah dan berubahnya struktur hemidosmosom. Namun

sampai sekarang patogenesis belum semuanya diketahui.

2 . E.B. nonletal (mitis, non-Herlitz)

bentuk ini dimulai pembentukan bula serosa atau

hemoragik saat lahir dan meninggalkan kulit yang rapuh,

tanpa pembentukan sikatriks dan milia. Umumnya dapat

terjadi alopesia, distrofik kuku atau kuku tidak tumbuh

kembali, hiperkeratosis palmoplantar, skalp atrofi. Mukosa

mulut esofagus, laring dan takea serta mata, dapat terkena

ringan sampai berat tetapi tidak terjadi struktur esofagus.

Berbeda dengan tipe junctional pada tipe non-Herliz tidak

terjadi retardasi mental dan anemia. Gambaran patologi

anotomik mirip dengan tipe Herlith. Pada kasus E.B.

nonletal dapat sembuh dengan bertanbahnya umur (Djuanda,

2011).

3. E.B. juntionaltipe inversa

tejadi pada saat lahir atau pada masa neonatal, klinis

mirip pioderma generalisata, kemudian pembentukan bula

lebih banyak di aksila, leher, inguinal, dan perianal

(inversa), kuku mengalami distrofik, gigi, displasia, laring

dapat terkena demikian juga pita suara (suara menjadi kasar).

4 . E.B. distrofik dominan

secara klinis terlihat bula terutama di bagian dorsal

27

ekstremitas dan meninggalkan bekas sikatrik, disertai

pembentukan milia. Bentuk ini lebih berat dibandingkan

E.B.S. tetapi lebih ringan daripada bentuk E.B.distropik

resesif. Terjadi pada saat lahir atau segera setelah lahir, pada

20 % kasus mukosa terkena, kongyungtiva dan kornea dapat

juga terkena. Kuku terkena pada 80% kasus, terjadi distrofik

atau hancur. Gigi dan rambut tidak terkena. Albupapuloid

adalah bentuk varian yang dapat terjadi baik pada E.B.

distrofik dominan maupun resesif, Varian ini dapat terjadi

pada bayi, tetapi lebih sering pada masa anak, remaja, atau

dewasa. Bentuk karakteristik adalah papul perifokular agak

lunak, berwarna keputih-putihan (ivori-white), lokasinya di

tengkuk dan punggung, serta terjadinya tidak berhubungan

dengan pembentukan bula (Djuanda, 2011).

5. E.B distrofik resesif

terbagi atas bentuk ringan lokalisata (mitis), berat

(gravis, Hallopea Siemens), atau bentuk varian inversa. Pada

umumnya bentuk E.B. distrofik resesif berat terjadi

pembentukan bula diikuti pembentukan sikatrik, mukosa

mengalami gangguan yang berat. Erosi segera tampak pada

saat lahir, bula spontan terjadi terutama ditempat yang

mengalami trauma, misalnya di tangan, kaki, bokong,

skapula, muka, oksiput, siku dan lutut. Bula steril besar-

besear serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri, mirip

pada bentuk E.B. etal. Tanda Nikolski positif. Bayi mudah

mengalami infeksi sekunder dan sepsis. Penyembuhan bula

disertai sikatriks, hipopigmentasi dan atau hiperpigmentasi,

disertai milia. Sikatriks yang atrofi mirip kertas sigaret. Pada

bula berulang, lama kelamaan kulit menjadi sikatriks hiprsofi.

Bila jari-jari tangan yang luka jarang digerakan untuk waktu

yang lama, dapat terjadi perlekatan satu dengan yang lain

sehingga pada penyembuhan dapat mengalami fusi mirip

28

pseudosindaktili, atau mirip sarung tinju tangan. Posisi tangan

dan pergelangan berubah menjadi fleksi dan kontraktur. Kuku

mengalami kerusakan parah degenerasi atau hilang sama

sekali. Mata terkena berupa bleparitis, simbleparon,

konyingtivitis, vesikal dan menjadi opak dan atau keratitis.

Suara kasar sampai tidak terdengar, sulit menelan sehingga

kekurangan nutrisi dan dapat meninggal. Bila bayi bertahan

dan tumbuh, berat penyakit makin berkurang, selanjutnya

di anjurkan untuk menghindari makanan yang panas,

keras, ukuran besar, apapun yang memungkinkan

pembentukan bula di mulut, faring maupun osefagus.

Erupsi gigi biasanya terlambat dan tumbuh dengan bentuk

abnormal. Rambut tumbuh normal, alopesia terjadi akibat

sikatrik. Kematian dapat terjadi saat neonatus atau anak

akibat kurang nutrisi, kehilangan cairan, infeksi bakteri dan

sepsis, ataau pneumonia (Djuanda, 2011).

II.5.3 Patofisiologi

Sampai sekarang etiologi dan patogenesis EB belum

semuanya diketahui. Beberapa penulis mengemukakan berbagai

dugaan patogenesis.

1. E.B.S. diduga terjadi akibat :

a. Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein

abnormal yang sensitive terrhadap perubahan suhu. Diduga

defisiensi enzim galactosylhidroxylysy-glocosyltransfarase

dan gelatinase (enzim degradase kolagen) menyebabkan

EBS.

b. Selain diturunkan secara genetic autosom, diperkirakan

50% terjadi akibat mutasi pada gen pembentuk keratin,

terutama keratin 5 (K5) dan 14 (K14) yang terdapat di

lapisan epidermis.

29

c. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin

adalah protein yang terrdapat di membran basal pada

attachment plaque/hermidesmosom, yang berfungsi sebagai

penghubung filamen intermediet ke membrane plasma

(Djuanda, 2011).

2. E.B. Letalis Herlitz terjadi akibat :

a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment

plaque tidak berfungsi dengan baik.

b. PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membran

abnormal sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik

sehingga terbentuk celah dilamina lusida.

c. Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode laminin 5,

komponen anchoring filament, yaitu protein polipeptida.

d. Pada beberapa kasus mutasi, ditemukan integrin α6β4

abnormal atau tidak ada. Integrin tersebut terdapat di

hemidesmosom yang merupakan molekul adesi laminin.

e. Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa-2

(bollous pemphigoid antigen/BPA-2) dijumpai pada EB

junctional ringan yang disertai dengan atrofi (Djuanda,

2011).

3. Sindrom BART mungkin terjadi akibat perlekatan kulit petus

dengan amnion yang tersebut pita sinomart.

4. E.B. distrofilik diduga terjadi akibat :

a. Berkurangnya anchoring fibril

b. Bertambahnya akivitas kolagenase pada E.B. yang

diturunkan secara RA

c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL7A1), komponen

utama anchoring fibrils, sehingga fungsinya terganggu

(Djuanda, 2011).

30

II.5.4 Gambaran klinis

Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan

lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah

mengalami trauma, walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma

di jalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang

hemoragik, pada penyembuhan perlu di perhatikan, apakah

meninggal kan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa

ikut terkena, demikian pula kuku dapat distrofilik. Pada tipe

distrofilik resesif dapat disertai retardasi mental dan pertumbuhan,

kontraktur, dan perlekatan (fusi) jari-jari tangan (Djuanda, 2011).

II.5.5 Tatalaksana

1. Perawatan kulit

Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga, orang

tua pasien, atau perawat. Perawatan memerlukan kesabaran dan

ketelitian, sedapat-dapatnya menghindari trauma dan

mengurangi gesekan. Dalam memilih pakaian maupun mainan,

pilih yang ringan dan lembut. Hindari penggunaan plester,

untuk jari-jari dapat digunakan tubular bandage, sehingga

memecah terjadinya fusi jari-jari. Bula dirawat dengan cara

menusuknya dengan jarum steril dan membiarkan atap bula

sebagai pelindung.

Pada anak-anak sebaiknya dipilih jenis sepatu kulit yang

lunak, hindari sepatu yang sempit dan upayakan ruang sepatu

yang cukup untuk bergerak tanpa menimbulkan lecet. Kaos

kaki dari bahan katun yang menyerap keringat, pengunaan kaos

kaki membantu menghindari trauma akibat gesekan. Hindari

gosokan pada saat memandikan, untuk menghindari hal tersebut

dianjurkan mandi celup.

Suhu lingkungan diusahakan agar cukup dingin karena

bula mudah terrjadi pada suhu panas. Bila memungkinkan

tempat tidur yang lunak (matras air) dan seprei yang halus agar

terhindar dari gesekan. Bagian yang mengalami erosi diolesi

31

krim atau salep antibiotik, perawatan jari tangan harus

dilakukan secara hati-hati, upayakan mencegah terjadinya fusi

dan kontraktur dengan mengatur posisi jari dan sendi (Djuanda,

2011).

2. Makanan

Sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori tinggi

protein dalam bentuk yang lembut atau cair serta mudah

ditelan, terrutama bila terrdapat luka di mukosa mulut. Pada

bayi pengunaan dot (bottle fed) dapat menimbulkan gelembung

dan luka dimulut, untuk mencegah trauma disuapi dengan

memakai sendok. Pemberian makanan dapat sedikit demi

sedikit, frekuensi makanan dapat lebih dari 3 x pemberian,

mengingat gesekan waktu makan menyebabkan rassa nyeri

sehingga hanya sedikit yang tertelan. Pada bayi baru lahir

dengan EB berat atau letalis pemberian makanan nasogastric

feeding atau intravena bergantung pada kondisi. Perlu

dipertimbangkan setiap tindakan tersebut dpat merupakan

trauma (Djuanda, 2011).

3. Pengobatan medikamentosa

Pengobatan yang ideal dan memuaskan sampai saat ini

belum ada, umumnya terapi dilakukan secara paliatif. Beberapa

hal perlu dipertimbangkan mengingat penyakit ini berlangsung

kronik sampai dewasa. Seperti pada luka bakar, perawatan luka

yang luas sebaiknya dilakukan secara terbuka, apabila

diperlukan antibiotic sistemik dapat diberikan (antibiotiktidak

diberikan secra rutin). Sebagai pengobatan topical dapat

digunakan kortikosteroid potensi sedang dan antibiotic bila

terdapat infeksi sekunder.

Pemberian kortikosteroid sistemik bermanfaat pada

kasus yang berat dan fatal, antara lain untuk mencagah mutasi,

distrofilik, serta life saving. MOYNAHAN melaporkan

pemberian dosis awal yang tinggi (140-160 mg

32

prednisone/hari) untuk menyelamatkan kehidupan neonatus,

pengobatan dengan pengamatan yang ketat, dosis diturunkan

segera untuk mencegah terjadi sepsis.

Vitamin E dapat menghambat aktivitas kolagenase atau

merangsang produksi enzim lain yang dapat

merusakkolagenase. Dosis efektif 600-2000 i u/hari.

Pengobatan lain adalah difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kg

BB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari. Obat ini juga

menghambat aktivitas kolagenase.

Pengobatan untuk subssitusi enzim belum

dikembangkan, ada laporan yang menyatakan pemberrian

protease inhibitor topical dapat mengurangi terjadi nya bula.

Secara in vitro retinoid, tetrasiklin, minosiklin

memperlihatkan efek menghambat kolagenase, namun secara in

vitro masih dalam penelitian (Djuanda, 2011).

4. Konseling genetik

Konseling genetik dianjurkan bila telah jelas penurunan

genetiknya, sehingga dapat diberikan besarnya resiko penyakit

pada setiap kelahiran. Pemeriksaan untuk menentukan

diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan resiko penyakin

pada setiap kelahiran. Pemeriksaan untuk menentukan

diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan fetoskopi, namun hal

tersebut saat ini masih dalam penelitian para ahli (Djuanda,

2011).

II.6 Herpes Gestationes/Pemfigoid Gestationes

II.6.1 Definisi

Pemfigoid gestationis (herpes gestationis) adalah

dermatosis bulosa autoimun yang langka (1/60.000 kehamilan).

Penyakit ini awalnya bernama herpes gestationis berdasarkan

gambaran morfologi herpetiform dari lepuh, tetapi istilah ini adalah

33

sebuah ironi karena pemfigoid gestationis tidak berhubungan

dengan infeksi virus herpes (Anatoli, 2012).

II.6.2 Etiologi

Pemfigoid gestationis adalah penyakit autoimun terkait

kehamilan. Autoantibodi mengendap di kulit dan terdeteksi dalam

sirkulasi, dan terutama spesifik untuk protein BPAG2

hemidesmosomal (Anatoli, 2012).

Antibodi yang bersirkulasi dan sel T diarahkan melawan

epitop imunodominan. Epitop ini, yang terletak pada BPAG2

ekstraselular dekat membran, disebut domain MCW-1. BPAG2

juga merupakan epitop imunodominan pada penyakit autoimun

pemfigoid bulosa (Anatoli, 2012).

Pemicu untuk produksi autoantibodi masih belum

dipahami. Autoantibodi untuk membran basement ketuban (major

histocompatibility class II antigens) mungkin bereaksi-silang

dengan antigen BPAG2 di kulit, yang menyebabkan respon imun.

Pemfigoid gestationis juga terjadi dalam hubungan dengan tumor

trofoblas, seperti mola hidatiform atau koriokarsinoma (Anatoli,

2012).

II.6.3 Patofisiologi

Pemfigoid gestasionis adalah proses autoimun, yang

melibatkan respon imun imunoglobulin G (IgG) subclass G1

(dikenal dengan herpes gestastionis factor) pada glikoprotein

transmembran hemidesmosom 2, BP180 (BPAG2, kolagen XVII)

dan yang kurang sering pada hemidesmosom BP230. Pengikatan

IgG k basement membran memicu respon imun yang menyebabkan

vesikel subepidermal dan lepuh (Anatoli, 2012).

Pemicu untuk pengembangan autoantibodi pada orang

dengan pemfigoid gestationis masih belum diketahui. Reaktivitas

silang antara jaringan plasenta dan kulit diduga memainkan peran.

34

Pemfigoid gestationis memiliki hubungan yang kuat dengan HLA

DR3-(61-80%) dan HLA-DR4 (52%), atau keduanya (43-50%),

dan hampir semua pasien dengan riwayat gestationis pemfigoid

telah dibuktikan memiliki antibodi anti-HLA (Anatoli, 2012).

II.6.4 Gambaran klinis

Sangat gatal, lesi urtika berkembang awalnya di wilayah

periumbilikal, kemudian dengan cepat berkembang menjadi lepuh

yang luas. Dapat melibatkan badan, punggung, pantat, lengan,

telapak tangan, dan telapak kaki. Biasanya tidak melibatkan wajah,

kulit kepala, dan di dalam mulut. Lepuh ini sembuh tanpa skar jika

mereka tidak terinfeksi. Kondisi ini biasanya terjadi pada trimester

kedua atau ketiga, atau segera setelah melahirkan (Heather, 2004).

Kondisi ini biasanya dimulai selama trimester kedua atau

ketiga, meskipun telah dilaporkan pada trimester pertama dan

waktu yang singkat setelah melahirkan. Penyembuhan spontan

ruam mungkin terjadi kemudian pada kehamilan, tetapi serangan

dapat terjadi kembali sebelum persalinan 75% sampai 80% wanita.

Ruam juga bisa kambuh saat mens kembali atau dengan

menggunakan kontrasepsi oral. Dengan kehamilan berikutnya,

pemfigoid gestationis biasanya berulang lebih awal dan mungkin

lebih parah. Hanya 8% dari wanita tidak berkembang gestationis

pemfigoid pada kehamilan berikutnya (Heather, 2004).

II.6.5 Diagnosis

Dari anamnesis didapatkan keluhan pada kulit berupa

erupsi yang sangat gatal, sering terjadi pada primigravida. Pada

pemeriksaan status dermatologikus, ditemukan erupsi

papulovesikular. Lesi bervariasi mulai dari eritema, papul sampai

plak urtika, bula, erosi, dan krusta. Distribusi lesi umumnya pada

abdomen, sisi lateral trunkus, namun dapat juga melibatkan area

lain seperti palmar, plantar, dada, punggung dan muka (Jeff,2008).

Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan vesikel sub

epidermal dengan infiltral perivaskular limfosit dan eosinofil.

35

Pemeriksaan imunopatologi menggunakan ELISA dapat

mengkonfirmasi adanya deposit autoantibodi IgG pada area

membran basalis. Terdapat deposit yang homogen berbentuk linier

C3 sepanjang membran basalis pada lesi urtika dan peribulosa serta

perilesi pada kulit yang terlihat normal. Deposit IgG pada 30%-

40% pasien merupakan deposit IgG, sedangkan IgA dan IgM

jarang ditemukan. Temuan imunofluoresensi tetap bertahan selama

beberapa bulan sampai setahun setelah lesi menghilang (Jeff,2008).

Penemuan terbaru menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas

tinggi uji BP180 ELISA dalam mendiagnosis herpes gestationis

(Marina, 2009).

II.6.6 Tatalaksana

Pada kasus ringan, pengobatan dengan steroid topikal yang

poten dapat berhasil, sekitar 20% pada studi retrospektif baru-baru

ini.2,3 Pengobatan topikal sering dikombinasikan dengan

antihistamin sistemik. Pada saat timbul lesi vesikobulosa,

diperlukan terapi dengan steroid sistemik. Penyakit derajat

moderate respon terhadap Prednison 20–30 mg/hari, sedangkan

penyakit yang lebih berat memerlukan dosis prednison 40–80

mg/hari. Prednison di-tappering off sampai dosis “maintenance”

terendah. Oleh karena sering terjadi eksaserbasi post partum,

dibenarkan untuk meningkatkan dosis kortikosteroid sementara.

Plasmapheresis dapat dipertimbangkan pada sebagian besar kasus

yang berat. Penggunaan dapson masih belum jelas disamping obat

ini dapat menyebabkan penyakit hemolisis pada neonatus.

Piridoksin dilaporkan efektif pada beberapa kasus (Jeff,2008).

Pengobatan post partum dapat bermasalah pada ibu

menyusui, sebab obat-obatan yang diminum oleh ibu dapat melalui

air susu ibu. Antihistamin dapat menyebabkan rasa kantuk pada

bayi, steroid dosis tinggi (Prednisolon lebih dari 40 mg/hari) dapat

menyebabkan supresi kelenjar adrenal, dan dapson dapat

menyebabkan hemolisis. Kondisi ini harus dikonsultasikan dengan

36

dokter anak. Pada wanita yang tidak menyusui, dilaporkan

keberhasilan penggunaan terapi tetrasiklin dan penggunaan terapi

nikotinamid. Pengobatan dengan imunosupresan dan

imunomodulator seperti immunoglobulin intravena juga dapat

digunakan. Beberapa kasus yang berat membutuhkan pengobatan

dengan siklofosfamid, dapson, metotreksat, IVIG atau

plasmaparesis. Neonatus dengan ibu yang menerima pengobatan

dosis tinggi prednison harus dilakukan pemeriksaan secara hati hati

oleh neonatologis terhadap terjadinya insufisiensi adrenal. Lesi

serupa pada kulit neonatus bersifat sementara dan tidak

memerlukan terapi (Jeff,2008).

37

DAFTAR PUSTAKA

Wiryadi B.E. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed.5.Jakarta.FKUI

French LE, Prins C. 2008. Dermatology. 2 ed. UK: Elsevier

Habif TP. 2004. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy.

4 ed. USA: Mosby

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Kligora CJ. 2006. Sauer's Manual of Skin Diseases. 9 ed. UK: Lippincott

Williams & Wilkins

Plaza, Jose A. 2013. Erythema Multiforme. (on-line). Medscape. Diakses 2 Juli

2013.

Miller, Jami L. 2013. Dermatitis Herpetiformis. (on-line). Mwdscape. Diakses 2

Juli 2013

Wiryadi B.E. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Jakarta.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hurwitz S. Chronic. 1993. Clinical Pediatric Dermatology. 2nd edition.

Philadelphia. WB Saunders Company.

Anatoli, Freiman. 2012. Phemphigoid Gestationis. (on-line). Medscape. Diakses 3

Juli 2013

Jeff K Shomick. 2008. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed.

United States of America: The McGraw-Hill Companies Inc

Heather Brannon. 2004. Pemphigoid Gestationis. (on-line). Dermatology. Diakses

2 Juli 2013

Marina Flangini Cobo. 2009. Pemphigoid Gestationis: Clinical and Laboratory

Evaluation. (on-line). Diakses 3 Juli 2013