bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketuban Pecah Dini ( KPD)
2.1.1 Definisi
Ketuban Pecah KPD didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan. KPD pertama adalah KPD sebelum waktunya melahirkan.KPD
yang terjadi dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Rukiyah, 2010:230) ketuban
pecah sebelumnya waktunya (KPSW) atau ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban
pecah prematur (KPP) Adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vaginanya sebelumnya
proses persalinan (Fadlun, 2011: 113) ketuban pecah dini merupakan sumber
persalinan prematuritas, infeksi dalam rahim ibu maupun janin yang cukup besar dan
potensial.oleh karena itu tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang
rinci sehingga dapat menurutkan kejadian persalinan prematuris dan infeksi dalam
rahim ( manuaba,2010: 284).
2.1.2 Penyebab
Penyebab pasti dari KPD ini seblum jelas. Akan tetapi, ada beberapa kadaan
yang berhubungan dengan terjadi KPD ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Trauma: amnionsintesis, pemerikas serviks, dan berhubungan sekasual.
b. Peningkatan tekanan interaterus, kehamilan kembar, atau plidro.
9
c. Hominion.
d. Infeksi vagina, serviks atau korioamnionitas stertptokokus, seperti bakteri
vagina.
e. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah/ selaput terlalu tipis.
f. Keadaan abnormal dari fetus seperti malprsentasi.
g. Kelainan pada serviks, atau alat genetalia seperti ukuran serviks yang pendek
(< 25 cm).
h. Defisiensi nutrisi ( Mitayani, 2011: 74)..
i. Kelainan letak janin dalam rahim: letak sungsang, letak lintang.
j. Kemungkinan kesempitan panggul: perut gentung, vagina rendah belum
termasuk PAP , disproposi sefalopekvik.
k. Kelainan bawan dari selaput ketuban (Manuaba: 2010:283).
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya ketuban pacahan dini yaitu
jika adanya kehamilan multiple, riwayat kehamilan preterem sebelumnya, senggaman
tidak berpengaruh pada resiko, kecuali jika higiene buruk, predispose terhadap
infeks,pendarahan pervaginan, bakteri dengan PH vagina diatas 4,5 servik tipis, flora
abnormal, kadar CRH (cortikotropin realeasing harmone) maternal tinggi misalnya
pada stterss psikologis, dsb dapat terjadi stimilasi persalianan preterem (Rukiyah,
2010: 230).
2.1.3 Manifestasi Klinis
10
a. Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan
sedikit atau sekaligus banyak.
b. Dapat disertai demam bila sudah adalah infeksi.
c. Janin mudah diraba.
d. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering.
e. Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan
air ketuban sudah kering (Mansjoer, 2008: 310).
2.1.4 Diagnosis
a. Diagnosis ketuban pecah dini tidak sulit untuk dibuat anamnesia. Pada klien
dengan keluarnya air seperti urine dengan tanda-tanda yang khas sudah
dapat menilai bahwa hal tersebut menilai bahwa hal tersebut mengarah ke
ketuban pecah dini. Untuk menentukan butu tidaknya ketuban pecah dini
bisa dilakukan dengan cara sebagi beikut:
1. Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa
(lemak putih), rambut lanugo (bulu-bulu halus) dimana bila telah
terinfeksi akan tercium bau.
2. Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan pakah air memang air
ketuban keluar dari kenalis servikalis pada bagian yang sudahh pecah
atau terdapat cairan ketuban pada forniks osterior.
3. USG: volume cairan amnion berkurang/oligohidramnion.
4. Terdapat infeksi genital (sistemik).
5. Gejala choriomnionitis (Fadlun, 2011:114).
11
b. Meternal
Demam (dan takikardia), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan
bau, leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, lekukosit esterse
(LEA) meningkat, kultur darah/urine.
c. Fetal
Takikarida, kardiotokografi, volume cairan keruban berkurang.
d. Cairan amnion
Tes cairan amnion, diantara dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin,
glukosa, laukosit esterase (LEA), dan sitokin, jika terjadi chorioamnionitis,
maka angka mortalitas neonatal 4x lebih besar, angka distress pernafasan,
sepsis neonatal, dan perdarahan intraventrikular 3x lebih besar.
1. Dilakukan tes valsava, tes nitrasin, dan tes fern.
Nilai normal pH cairan vagina adalah 4,5-5,5 dan normal pH cairan
amnion 7,0-7,5.
2. Dilakukan uji kertas lakmus/tes nitrazine.
a) Jadi biru (basa): air ketuban.
b) Jadi merah (asam): urine (Fadlun, 2011:114).
2.1.5 Komplikasi
12
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini (KPD) bergantung kepada
usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi meternal ataupun neonatal, persalinan
premature, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin meningkatnya
insiden section caesaria, atau gagalnya persalinan normal (Prawirohardjo, 2010: 678).
a. Prognosis Ibu
1. Infeksi intrapartum/dalam persalinan. Jika terjadi infeksi dalam
kontraksi saat ketuban pecah, dapat menyebabkan sepsis yang
selanjutnya dapat mengakibatkan meningkatnya angka mobiditas dan
mortalitas.
2. Infeksi puerperalis/masa nifas.
3. Partus lama/dry labour.
4. Perdarahan postpartum.
5. Meningkatkan tindakan opraif obstetric (Khususnya SC).
6. Morbiditas dan mortalitas meternal (Fadlun, 2011:115).
b. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya bisa segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam
24 jam setelah ketuban pecah. Pada kemhamilan antara 28-34 minggu 50%
persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan
terjadi dalam 1 minggu (Prawirohardjo, 2010:678).
c. Infeksi
13
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septickemia, pneumonia
omfalitis. Umumnya terja,di karioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara
umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat
sebanding dengan lamanya periode laten (Prawirohardjo, 2010:679).
d. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi aligohidramnoin yang menekan tali pusat
hingga terjadi asfiksia atai hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin
semakin gawat (Prawirohardjo, 2010:679).
e. Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan
janin, serta hipoplasi kulmunar (Prawirohardjo, 2010:679).
f. Morbiditas dan Mortaklitas Perinatal (Fadlun, 2011:115).
2.1.6 Penatalaksana
KPD saat preterm (< 37 mg): Insidensi 2-4% dari kehamilan tunggal dan 7-10%
dari kehamilan kembar. KPD < 32 minggu tatalaksana mencakup: obat antibiotik
untuk kultur servikovaginal (+) pembatasan aktifitas, pemantauan infeksi,
pemerikasaan janin secara regular, pemeriksaan Ultrassonografi (USG) secara teratur
per 3-4 minggu, tes lakmus (tes nitrasin) lakmus merah berubah menjadi biru
14
menunjukkan adanya cairan ketuban (alkalis). KPD 32-34 minggu tatalaksana
observasi mencakup pemberian antibiotik untuk memperpanjang masa laten
pengobatan kortikosteriod antenatal. KPD > 34 minggu: penentuan pematangan paru-
paru janin.
KPD saat atrem (> 37 mg): Insidensi 8-10% dari kehamilan cukup bulan:
Tatalaksana KPD aterm: tidak ada kontrasindikasi terhadap tatalaksana observasi
seperti gawat janin perdarahan pervaginam tanpa diketahui penyebabnya, proses
melahirkan aktif, koriomnionitis. Segera indukasi dengan atau tanpa pematang
serviks (Rukiyah, 2010:232).
Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi dalam
rahim ibu maupun janin yang cukup besar dan potensial. Oleh karena itu, tatalaksana
ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang rinci sehingga dapat menurunkan
kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam rahim (Manuaba, 2010:284).
Memberikan profilaxis antibiotika dan membatasi pemeriksaan dalam
merupakan tindakan yang perlu diperhatikan. Di samping itu makin kecil usia
kehamilan, maka besar peluang terjadinya infeksi dalam rahim yang dapat memacu
terjadinya persalinan prematuritas bahkan berat janin kurang dari 1 kg (Manuaba,
2010:284).
Sehingga gambaran umum tatalaksana ketuban pecah dini dapat dijabarkan
sebagai berikut:
15
a. Memperhatikan kehamilan sampai cukup matur khusunya kematangan paru
sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
b. Terjadinya infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemacu
sepsis, meningitis janin dan persalinan prematuritas. Dengan perkiraan janin
sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu 72
jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat
terjamin.
c. Pada kehamilan 24 sampai 32 minggu saat berat janin cukup, perlu
dipertimbangkan untuk melakukan indukasi persalinan, dengan
kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.
d. Menghadapi ketuban pecah dini, diperlukan KIM terhadap ibu dan keluarga
sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan
dengan pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus
mengorbankan janinnya.
e. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengatur distensia
bipariental dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan
pemeriksaan kematangan paru melalui perbandingan L/S.
f. Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan pada selang waktu 6
jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi His spontan (Manuaba, 2010:284).
Bidan sebagai tenaga medis terlatih yang ditempatkan di tengah masyarakat
seyogyanya bertindak konservatif artinya tidak perlu banyak melakukan intervensi.
Dengan akibat tingginya angka kesakitan dan kematian ibu atau bayi-janin sikap yang
16
paling penting adalah melakukan rujukan, sehingga penanganan ketuban pecah dini
mendapat tindakan yang tepat. Setelah mendapatkan penanganan sebagaimana
mestinya, bidan dapat melakukan pengawasan setelah tindakan dan disertai beberapa
petunjuk khusus (Manuaba, 2010:284).
2.1.7 Manajemen Terapeutik
Manajemen terapeutik KPD tergantung pada usia kehamilan serta apakah ada
tanda infeksi atau tidak. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan
apakah selaput amnion benar-benar rupture. Inkontinensia urin dan peningkatan
pengeluaran vagina merupakan tanda-tanda untuk mencurigai terjadinya
rupture/pecahnya selaput amnion (Mitayani, 2011:75).
Untuk membuktikanya dengan cara menggunakan speculum steril guna melihat
kumpulan carian amnion di sekitar serviks, atau juga dapat melihat langsung carian
amnion yang keluar melalui vagina (Mitayani, 2011:75).
Analisis dengan kerta nitiozene akan menadakan keadaan alkali dari cairan
amnion. Skresi vagina pada wanita hamil memiliki pH antara 7,0-7,2 jika kertas tidak
perubahan warna, berarti hasil tes negatif yang mengindikasikan bahwa selaput
membran tidak rupture. Jika hasil tes positif maka terjadi perubahan kertas. Hal ini
mungkin saja menandakan terjadinya keracunan karena urine, darah, dan pemberian
antiseptik yan g menyebabkan sekresi serviks menjali alkali, sehingga mempunyai pH
yang hamper sama dengan pH cairan amnion (Mitayani, 2011:75).
17
Juga dapat menggunakan tes fering. Tes fering digunakan dengan meletakkan
sedikit cairan amnion di atas gelas kaca, hasilnya akan membentukseperti tanaman
pakis di dalamnya terdapat sodium klorida dan protein. Hasil tes menjadi negative
pada kebocoran yang telah terjadi beberapa hari.
Bisa juga digunakan tes kombinansi yang pemeriksaan speculum tes dengan
kerta nitrazin, atau tes fering, sehingga diagnosis menjadi lebih akurat. Pada
kehamilan preterm serviks biasanya tidak baik untuk indukasi. Faktor seperti usia
kehamilan, jumlah cairan amnion yang tersisa, kamatangan paru-paru janin harus
menjadi bahan pertimbangan. Selain itu juga perlu diperhatikan adanya infeksi pada
ibu dan janin (Mitayani, 2011:75).
Saat usia kehamilan antara 32-35 minggu perlu dilakukan tes kematangan paru
janin dari cairan yang ada di vagina. Tes tersebut diantaranya adalah tes-tes yang
mengukur perbandingan surfaktan dengan albumin. Tes dengan menggunakan
phosphatidyl glycerol, atau tes yang menghitung perbandingan lesitin dengan
spigomielin. Amniosintesis dan kultur kuman sering dilakukan jika terdapat tanda
infeksi. Tes ini berguna untuk menghindari terjadinya Respiratory Distrres Syindrom
(RDS) pada bayi jika dilahirkan. Menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid
(betametason) akan mempercepat pematangan paru-paru fetus dan akan menurunkan
insiden terjadinya RDS. Namun terjadinya peningkatan insiden kelainan neorologis
dan potensi untuk peningkatkan insidensi infeksi pada bayi baru lahir yang diberi
kortikosteroid maka pemberian, kortikosteroid belum dapat disarankan (Mitayani,
2011:74).
18
Jika bayi belum viabel kurang dari 36 minggu dan ingin mempertahankan
kehamilanya, ibu diminta untuk istirahat di tempat tidur (debrest) berikan obat-obatan
seperti: antibiotik profilaksis yang dapat mencegah infeksi dan juga spasmolitik untuk
mengundurkan sampai anak viabel. Tes kematangan paru-paru janin perlu dilakukan
secara periodik, observasi adanya infeksi dan mulainya persalinan kemudian
persalinan dapat dilakukan setelah paru janin matang (Mitayani, 2011:75).
Bila janin telah viabel lebih dari 3 minggu dan serviks sudah matang, lakukan
indikasi persalinan dengan aksitosin 2-6 jam setelah periode laten dan diberikan
antibiotik profilaksis. Jika serviks belum matang matangkanlah serviks dengan
prostaglandin dan infuse oksitosin. Pada kasus-kasus tertentu bila indikasi partus
gagal, maka dilakukan tindakan operatif (Mitayani, 2011:76).
Risiko infeksi pada KPD tinggi sekali, ini biasanya disebabkan oleh organism
yang ada di vagina seperti E colli, Streptokokus fastafis, Streptokokus B. Hemolikus
Proteus, Klebsietta Pseudomonas, dan Stabilokokus. Namun, beruntunglah insiden
infeksi ini masih rendah. Hal ini karena walaupun resiko infeksi selama pemeriksaan
dan persalinan sangat tinggi, namun cairan amnion memiliki fungsi bakteriostatik
(Mitayani, 2011:76).
Jika terjadi korioamnionitis diberi antibiotic dan akan lebih baik jika diberikan
melalui intravena. Antibiotik yang paling efektif yaitu gentamicin, cepalosporine, dan
ampicilline (Mitayani, 2011:76).
19
2.2 Asfiksia
2.2.1 Definisi
Asfiksia neonatorium adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai
dengan keadaan hipoksia dan hipertarkpnem serta sering berakhir dengan asidosis
(Kristiyanasari, 2010:71).
Asfiksia neonatorium adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir (Rukiyah, 2010:249).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah akhir. Sering kali bayi sebelumnya mengalami gawat janin akan
mengalami asfiksia sudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan
ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (JNPK-KR,
2008:146).
2.2.2 Penyebab
Penyebab secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 dari ibu kejanin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera
setelah lahir. Penyebab gangguan pernafasan pada bayi:
1. Faktor Ibu
Hipoksia, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, Gravida
empat atau lebih, social ekonomi rendah, ketuban telah pecah kehamilan
20
lewat waktu, penyakit pembuluh darah ibu yang menggangu pertukaran gas
janin, misalnya hipertensi, hipotensi, gangguan kontraksi uterus dan lain-
lain (Kristiyanasari, 2010:72).
2. Faktor Plasenta
Plasenta previa dan solusio plasenta.
3. Faktor Janin
Premature, IUGR, Gemelli, Tali pusat menumbang, Kelainan kongential
(Kristiyanasari, 2010:72), Lilitan tali pusat (Proverawati, 2010:38),
Pengaruh obat, Karena narkoba saat persalinan (Rukiyah, 2010:250).
4. Faktor Persalinan
Partus lama, Partus tindakan (Kristiyanasari,2010:73).
2.2.3 Tanda dan Gejala Asfiksida Neonatorum
a) Pernafasan cuping hidung.
b) Pernafasan cepat.
c) Nadi cepat.
d) Sianosis.
e) Nilai apgar kurang dari 6 (Kristiyanasari, 2010:73).
Untuk meningkatan tingkat asfiksida, apakah bayi mengalami asfiksida berat,
sedang atau ringan/normal dapat dipakai penilaian apgar. Di bawah ini tabel untuk
menentukan tingkat/derajat asfiksida dialami bayi (Kristiyanasari, 2010:73).
21
Tabel 2.1 Apgar Skor
Tanda 0 1 2
Frekuensi Jantung Tidak Ada Kurang dari 100/menit Lebih dari 100/menit
Usaha Nafas Tidak Ada Lambat tidak tertur Menangis kuat
Tonus Otot Lumpuh Ekstremitas fleksi Gerakan aktif
Reflek Tidak Ada Gerakan sedikit Gerakan kuat/melawan
Warna Biru/Pucat Tubuh kemerahan
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
kemerahan
Apabila Nilai Apgar:
7-10 : Bayi mengalami asfiksia ringan atau dikatakan bayi dalam keadaan normal
4-6 : Bayi mengalami asfiksida sedang
0-3 : Bayi mengalami asfiksida berat (Kristiyanasari, 2010:73).
Nilai Signuta:
Tabel 2.2 Sigtuna
Tanda 0 1 2
Frekuensi Jantung Tidak Ada Kurang dari 100/menit Lebih dari 100/menit
Usaha Nafas Tidak Ada Lambat tidak tertur Menangis kuat
Warna Biru/Pucat Tubuh kemerahan
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
kemerahan
22
2.2.4 Diagnosis
Asfiksida yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksida janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat janin dapat dibuat
dalam persalinan dangan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu:
1. Denyut jantung: frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan
semenit. Apabila frekuensi denyutan turun sampai dibawah 100 per menit di
luar dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2. Mekonium dalam air ketuban: adanya mekonium pada presentasi kepala
mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan gawat janin, karena terjadi
rangsangan nervus X, sehingga peristaltik usus meningkat dan sfingterani
terbuka. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan muda.
3. Pemeriksaan pH darah janin: adanya asidosis menyebabkan turunya pH.
Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda
bahaya (Rukiyah, 2010:250).
2.2.5 Tindakan Resusitasi Bayi Baru Lahir
Resusitasi BBL sesuai APN (2008).
23
Bila bayi tidak bernafas atau bernafas megap-megap sambil melakukan langkah
awal:
1. Beritahukan ibu dan keluarga, bayinya perlu pertolongan nafas.
2. Mintalah salah seorang keluarga mendampingi ibu untuk member dukungan
moral, menjaga ibu dan melaporkan bila ada perdarahan.
Tahap 1: Langkah Awal
Langkah awal perlu dilakukan dalam waktu 30 detik. Bagi kebanyakan
bayi baru lahir, 6 langkah awal di bawah ini cukup untuk merangsang bayi
bernafas spontan dan teratur. Langkah tersebut meliputi:
1. Jaga bayi tetap hangat
a. Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu.
b. Bungkus bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat.
c. Pindahkan bayi di atas kain di tempat resusitasi.
Bila belum terbiasa lakukan sebagai berikut:
a. Potong tali pusat di atas kain yang ada di bawah perineum ibu.
b. Letakkan bayi di atas kain 45 cm dari perineum ibu.
c. Bungkus bayi dengan kain tersebut.
d. Pindahkan bayi di tempat resusitasi.
2. Atur posisi bayi
a. Baringkan bayi terlentang dengan kepala didekat penolong.
24
b. Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi.
3. Isap lendir
Gunakan alat penghisap lendir De Lee dengan cara sebagai berikut:
a. Isap lendir dari mulai mulut dulu kemudian dari hidung.
b. Lakukan penghisapan saat alat penghisap ditarik keluar, tidak pada
waktu memasukkan.
c. Jangan melakukan penghisapan terlalu dalam (jangan lebih 5 cm
ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung) hal ini dapat
menyebabkan danyut jantung bayi menjadi lambat, atau tiba-tiba
berhenti bernafas.
4. Keringkan dan rangsang bayi
a. Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainya
dengan sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat membantu bayi baru
lahir mulai bernafas atau tetap bernafas.
b. Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini:
1. Menepuk atau menyentil telapak kaki.
2. Menggosok punggung, perut, dada, atau tungkai bayi dengan
telapak tangan.
5. Atur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi
a. Ganti kain yang telah basah dengan kain di bawahnya.
b. Bungkus bayi dengan kain tersebut, jangan menutupi muka dan
dada agar bisa memantau pernafasan bayi.
c. Atur kembali posisi kepala bayi sehingga kepala sedikit esktensi
25
6. Lakukan penilaian bayi
Lakukan penilaian apakah bayi bernafas normal, tidak bernafas, atau
megap-megap.
a. Bila bayi bernafas normal, berikan bayi kepada ibunya:
1) Letakkan bayi di dada ibu dan selimuti keduanya untuk
penghangatan dengan cara kontak kulit bayi ke kulit ibu.
2) Anjurkan ibu untuk menyusui bayi sambil membelainya.
3) Bila bayi tidak bernafas atau megap-megap: mulai lakukan
ventilasi bayi.
Tahap II: Ventilasi
Ventilisasi adalah tahapan resusitasi untuk memasukkan sejumlah volume
udara ke dalam paru dengan tekanan positif untuk membuka alveoli paru agar
bisa bernafas spontan dan teratur.
Langkah-langkah:
1. Pasang Sungkup
Pasang dan pegang sungkup agar mmenutupi mulut dan hidung bayi.
2. Ventilasi 2 kali
Lakukan tiupan dengan tekanan 30 cm air.
26
Tiupan awal ini sangat penting untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa
mulai bernafas dan menguji apakah jalan nafas bayi terbuka.
a. Lihat apakah dada bayi mengembang
1) Bila tidak mengembang
2) Periksa posis kepala, pastikan posisi sudah ekstensi
3) Periksa posisi sunggup dan pastikan tidak ada udara yang bocor
4) Periksa cairan atau lender di mulut. Bila ada lendir atau cairan
lakukan penghisapan
5) Bila dada mengembang, lakukan tahap berikut.
3. Ventilasi 20 kali 30 detik
a. Lakukan tiupan 20 kali dalam 30 detik dengan tekanan 20 cm air
b. Pastikan dada mengembang, setelah 30 detik lakukan penilaian
1) Bila bayi sudah bernafas normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi
dengan seksama. Bayi diberikan asuhan pasca resusitasi
2) Bila bayi belum bernafas atau megap-megap, lanjutkan ventilasi.
4. Ventilasi, setiap 30 detik hentikan dan lakukan penelitian
a. Lanjutkan ventilasi 20 kali dalam 30 detik (dengan tekanan 20 cm air)
b. Hentikan ventilasi setiap 30 detik
c. Lakukan penilaian bayi apakah bernafas, tidak bernafas atau megap-
megap.
1) Bila bayi sudah mulai bernafas normal, hentikan ventilasi dan pantau
bayi seksama. Bayi diberikan asuhan pasca resusitasi.
27
2) Bila bayi tidak bernafas atau megap-megap, teruskan ventilasi 20
kali dalam 30 detik kemudian lakukan penilaian setiap 30 detik.
5. Siapkan rujukan bila bayi belum bernafas normal sesudah 2 menit ventilasi
a. Mintalah keluarga untuk mempersiapkan rujukan
b. Teruskan resusitasi sambil menyiapkan untuk rujukan
6. Lanjutkan ventilasi, setelah 20 menit, hentikan (kalau bisa dirujuk)
a. Lanjutkan ventilasi sampai 20 menit
b. Hentikan ventilasi sesudah 20 menit tidak berhasil
Tahap III: Asuhan Pasca Resusitasi
Setelah tindakan resusitasi, diperlukan asuhan pasca resusitasi yang
merupakan perawatan intensip 2 jam pertama. Penting sekali pada tahap ini
dilakukan konseling, asuhan bayi baru lahir (neonatal) dan pemantauan secara
intensip serta pencatatan. Asuhan pasca resusitasi dilakukan pada keadaan:
1. Resusitasi berhasil: bayi menanggis dan bernafas normal sesudah
langkah awal atau sesudah ventilasi. Perlu pemantauan dan dukungan.
2. Resusitasi belum/kurang berhasil: bayi perlu rujukan yaitu sesudah
ventilasi 2 menit belum bernafas atau bayi sudah bernafas tetapi masih
megap-megap atau pada pemantauan didapatkan kondisinya
memburuk.
3. Resusitasi tidak berhasil: sesudah ventilasi 20 menit bayi tidak
bernafas. (APN, 2008: 112-119).
28
2.3 Hubungan Antara Lama Ketuban Pecah Dini Dengan Nilai Apgar
Ketuban pecah lama adalah jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya
bayi lebih dari 12 jam yang mempunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentitis dan amnionitis (Hassan dan Alatas, 2007). Ketuban pecah dini merupakan
salah satu faktor penyebab asfiksia neonatorum dan infeksi (Midwifery, 2004).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segara setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007). Dengan
pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat (Rahayu, 2009).
Semakin lama periode laten, semakin lama pula kala satu persalinan dan
semakin besar insidensi infeksi. Janin bisa terinfeksi sekalipun tidak terlihat tanda-
tanda sepsis pada ibu. Tempat paling sering mengalami infeksi adalah traktus
respiratorius. Kebanyakan pneumonia yang terjadi dalam 2 minggu pertama
kehidupan berasal dari dalam rahim (Oxorn, 2003). Setelah terjadi persalinan dan
ditemukan tanda infeksi biasanya bayi memiliki nilai Apgar dibawah 7 dan dapat
mengalami hipotermia. Disisi lain bayi dapat memiliki nilai Apgar yang tinggi lalu
29
turun pada 10-25 menit setelah lahir. Pengamatan terus secara hati-hati pada bayi
selama jam pertama setelah persalinan adalah penting (Rahayu, 2009).
2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori adalah hubungan antara konsep berdasarkan studi empiris.
Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Mitayani, 2011: 74), (Manuaba: 2010:283).
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstarksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus (Notoatmodjo, 2010:100).
Variabel Independent Variabel Dependent
Ketuban Pecah Dini (KPD) Asfiksia Neonatorum
Asfiksia Neonatorum
Penyebab KPD:
a. Traumab. Peningkatan tekanan interaterus,
kehamilan kembar, atau plidro.c. Hominion.d. Infeksi vaginae. Selaput amnion yang mempunyai
struktur yang lemah.f. Keadaan abnormal dari fetus. g. Kelainan pada serviks. h. Defisiensi nutrisi.i. Kelainan letak janin dalam rahim.j. Kemungkinan kesempitan panggul:
perut gentung, vagina rendah belum termasuk PAP , disproposi sefalopekvik.
k. Kelainan bawan dari selaput ketuban.
30
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
2.7 Hipotesa
Hipotesa adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya
hipotesa ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel, yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. Hipotesa berfungsi untuk menentukan kearah pembuktian,
artinya hipotesa ini merupakan pertanyaan yang harus dibuktikan. Rumusan hipotesa
sudah akan tercermin variabel-variabel yang akan diamati atau diukur, dan bentuk
hubungan antara variabel-variabel yang akan dihipotesiskan. (Notoatmodjo,
2010:84).
Ho =Ada hubungan antara ketuban pecah dini (KPD) dengan kejadian
Asfiksia Neonatorum di RSUD dr. Hi. Abdoel Moeloek Provinsi
Lampung Tahun 2011.
Ha =Tidak Ada hubungan antara ketuban pecah dini (KPD) dengan kejadian
Asfiksia Neonatorum di RSUD dr. Hi. Abdoel Moeloek Provinsi
Lampung Tahun 2011.