bab ii 3198111 -...
TRANSCRIPT
-
18
BAB II
FIQIH SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Fiqih
1. Pengertian Fiqih dan Ruang Lingkupnya
Berbicara masalah fiqih tidak bisa lepas dari Hukum Islam, karena
jika dirunut secara konseptual fiqih yang dipahami oleh sebagian umat
Islam sebagai hukum Islam itu sendiri sebenarnya hanya sebagian dari
struktur dari konsep hukum Islam.
Jika dikembalikan secara struktural apa yang dinamakan sebagai
hukum Islam menurut terminologi, sebenarnya merupakan gabungan dari
syari’at dan fiqih. Hukum Islam secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia (mukallaf) yang diakui berlaku dan
mengikat untuk semua orang yang beragama Islam”.1
Sedangkan fiqih (al-fiqh) secara bahasa berarti pemahaman,
pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu).2 Dalam Al Qur’an kata
fiqih juga digunakan dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman,
pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Taubah ayat 122.
������������ ������� �������� ����� ���� ������� ������� �������� ��������!�"� �������#$���" � ������ �����
��������%&�!� �����'�"� ��!�"�(� ��'�)��� �%�(� �������� ����%���!�"��� ��!*+" � , ��� ���-���.�!�"
/�0�." 1���2
Tidak sepatutnya orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan Perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
1 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer
di Indonesia, (Ciputat Press Jakarta, Jakarta, 2002), hlm 4. 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus al Muanawir, Yogyakarta, hlm 1147
-
19
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu menjaga dirinya.3
Lafadz “liyatafaqqahu fi al-din” (untuk memahami masalah
agama) yang digunakan Al qur’an dan juga sabda Nabi; “Allahumma
faqqihu fi al-din “ (ya Allah berilah dia pemahaman yang mendalam)
menunjukkan pengertian fiqih secara umum yaitu pemahaman tentang
agama Islam. Dari ungkapan yang digunakan Nabi itu menunjukkan
bahwasanya pada masa hidup Nabi istilah fiqih belum digunakan dalam
pengertian hukum secara khusus, melainkan hanya pengertian luas
mencakup semua dimensi agama seperti teologi, politik ekonomi,
asketisme, hukum dan lain-lain. Jadi, fiqih dipahami sebagai “ilmu agama”
yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.4
Hal senada juga dinyatakan oleh Murtadha Muthahari dalam
bukunya Pengantar Ushul Fiqh bahwasanya dalam terminologi Al qur’an
dan Sunnah yang dinamakan fiqih adalah pengetahuan yang luas dan
mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak
memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu.5
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada abad ke-2 H. fiqih
mengalami penyempitan makna (nerrow of term),6 berubah menjadi
jurisprudensi Hukum Islam yang berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu.
Fiqih yang pada abad ke-2 H telah berdiri sebagai disiplin ilmu itu,
oleh Ibnu Khaldun dikategorikan sebagai min al-ulum al-haditsati fi al-
millah (kategori ilmu modern dan agama).7 Berdasarkan kesepakatan
3 Muhammmad Amin mengatakan, dalam al-Quran, penggunaan kata fiqih sebagai
pemahaman , pengertian dan pengetahuan (tentang sesuatu)disebut 20 kali (yang kesemuanya dalam bentuk fi’il/kata kerja) yang tersebar dalam 15 surat dan 20 ayat. Lihat Muhammad amin, Ijtihad Ibnu Taymiyah dalam bidang Fqih Isam, (Jakarta; INIS, 1991), hlm93
4 Sumanto Al Qurtubi, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, (yogayakarta, Cermin, 1999), hlm36
5 Murtadho Mutahari, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, (Jakarta, Pustaka Hidayat,1993), hlm 176
6 Sumanto Al Qurtubi, op.Cit. hlm36 7 Ali yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (bandung, Mizan, 1995), hlm.108
-
20
orang-orang muslim sekitar abad pertengahan struktur hukum Islam
dibangun atas empat dasar yang disebut dengan sumber-sumber hukum.8
Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al qur’an, Sunnah Nabi, ijma’,
(konsensus), Qiyas (penalaran analogis). Dengan kata lain yang dimaksud
fiqih sekarang adalah hasil dari ijtihad seorang mujtahid yang terbangun
atas empat sumber pilar tersebut.
Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa yang dinamakan hukum
Islam (al-hukm al-islam) sebenarnya secara konseptual merupakan sebutan
umum yang merujuk pada fiqih dan syari’ah. Karena itu sangat penting
untuk memisahkan kedua secara terminologi agar tidak terjadi kesalahan
pemahaman.
Telah diketahui bahwa fiqih sebenarnya upaya manusiawi, yang
melibatkan proses penalaran (reasoning), baik pada tataran teoritis
maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasikan
hukum-hukum agama. Dengan menyebut manusiawi, dimaksudkan untuk
membedakan dengan syari’at yang secara longgar dipakai untuk menyebut
agama Islam dan merujuk pada hukum Tuhan sebagaimana terkandung
dalam teks-teks wahyu, tanpa melibatkan unsur-unsur manusia. Dalam
artian yang dimaksud fiqih adalah refleksi dari syari’at.9
Sedangkan menurut Amir Syarifuddin yang dimaksud syara’
secara sederhana dapat diartikan dengan; “Seperangkat aturan dasar
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan
dinyatakan secara langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya”. Dan fiqih
secara sederhana diartikan sebagai hasil penalaran pakar hukum (mujtahid)
atas hukum syara’ yang dirumuskan, dalam bentuk aturan terperinci.10
Secara etimologi, syari’at berarti jalan menuju sumber air (the road
to the watering place) atau jalan tenang yang diikuti (the clear path to the
8 Sumanto Al Qurtubi, Op.Cit, hlm. 38 9 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LkiS, 1994). hlm. 18 10 H Amir Syarifuddin, Op., Cit. hlm. 4.
-
21
followed). “Jalan menuju yang baik” yaitu nilai-nilai agama yang
diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kongkrit.11
Al qur’an menggunakan kata syir’ah dan syari’ah dalam pengertian
ad-din (agama) baik suatu jalan lurus (thariq mustaqimah) yang
ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus
dilaksanakan.12 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 18
�0�.�������34�" ���������'!���5�6���7��8 ������'�)�9��:��������'�!�����!�%�" ��; ���0�.�.�������'
/�!? :�)" 1��2
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. (Q.S. 45: 18).13
Sebagaimana pengertian di atas, hakekat fiqih adalah sebagai
upaya ijtihad manusia, sementara disisi lain manusia tidak bisa lepas dari
tabiat dirinya (yang nisbi dan subyektif) atas teks-teks keagamaan (Al
qur’an dan sunnah yang bersifat ambigu). Dan Pada dasarnya sasaran dari
ilmu fiqih ini adalah af’alul mukallafin. Manusia serta dinamika dan
perkembangan masyarakat yang semuanya itu gambaran nyata dari af’alul
mukallafin, yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya
suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang shaleh (berkualitas
baik).14 Atau bahwa Al qur’an dan sunnah Nabi adalah prinsip-prinsip
materiil, kegiatan analogis (qiyas), adalah prinsip yang dihasilkan prinsip
pertama (efficient course), dan Ijma’ adalah prinsip formalnya (atau
kekuatan fungsional).15
11 H.A.R. Gibb and J.H Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (london; Luzzac & C.O,
1961) hlm 524 12 Sumanto Al Qurtuby, Op.Cit. hlm 49 13 Departemen Agama, Alqur’an Dan Terjemahnya, (CV. Toha Putra, Jakarta, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, 1989,. hal 14 Ali Yafie, Op.Cit., hlm 108 15 Fazlurrahman, Islam, Terjemahan, Ahsin Muhammad, (Bandung; Pustaka, 1984), hlm.
90
-
22
Dengan kata lain bahwa fiqih adalah disiplin ilmu yang berkaitan
dengan perilaku keislaman pada dataran operasional.16 Dengan demikian
Sudah semestinya jika fiqih berdimensi sosial dan akan selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat sepanjang zaman.
Karena fiqih bukanlah “ilmu teoritis” (ulum nadzariah) sebagaimana
filsafat, melainkan “ilmu amaliyah” (ketentuan-ketentuan yang berlaku
positif). Sebagaimana definisinya yang baku oleh Ibnu Al-Subki Yaitu; al-
Ilm bi al-Ahkam al-Syar’iyah al-Muktasab min ‘Adillatiha al-Tafshiliyah,
(ilmu tentang hukum-hukum syariat amaliyah yang digali dari dalil-dalil
yang terperinci).17
Dalam upaya pemahaman teks yang tetap (eternal), dan
mendiskusikan dengan lingkungan sekitar. Adalah Sebagai proses
menjembatani antara idealitas teks yang sifatnya kaku (rigid), dengan
realitas empiris. Yang selalu berubah dan dinamis. Sehingga diperlukan
kerangka teoritik yang oleh ahli ushul disebut ijtihad. Ijtihad adalah
menggerakkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. 18
Dari pengertian fiqih dan syari’at, fiqih dapat diperinci ke dalam :
a. Fiqih itu adalah ilmu garapan manusia (‘ilmu al-muktasab) berbeda
dengan ilmu malaikat Jibril yang tidak muktasab. Begitu pula ilmu
Rasul yang berkaitan dengan wahyu, karena itu tidak muktasab.
Karena fiqih merupakan ilmu muktasab maka peran ra’yi (nalar)
mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu.
b. Fiqih itu obyek garapannya adalah al-ahkam al-‘amaliyah. Dengan
kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan atau
kegiatan manusia yang bersifat positif dan riil dan tidak bersifat
16 Jurnal justisia, Fiqih Progresif; Membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, (Edisi 24
Tahun XI 2003), hlm.4 17 Mun’im A. sirry, Sejarah fiqih Islam; sebuah Pengantar, (Surabaya, Risalah Gusti, 1995),
hlm1-9 18 Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar; dalam budi Munawar
(ed), kontektualisasi doktrin Islam ddalam sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), hlm. 319
-
23
nazhariyah (teoritis)seperti halnya dengan garapan ilmu kalam
(‘aqaid).
c. Sumber pokok fiqih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya yang
rinci (adillah tafshiliyyah), baik dalam al-Kitab maupun dalam al-
Sunnah.19
Keterkaitan fiqih dengan konteks kehidupan yang nyata dan
dinamis lebih dapat dibaca bilamana kita menelusuri cara-cara interpretasi
yang menghubungkan suatu hukum dengan latar belakang kontekstual
lingkungannya, sebagaimana para fuqaha pendahulu kita dalam
memecahkan masalah dengan mempertimbangkan berbagai tingkatan
pemecahan: li al-dharurah, dan li al-hajah. Begitu juga dengan adanya
tingkat-tingkat maslahah dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah atau
kamaliyah. Semuanya kondisi harus dipertimbangkan dengan susunan
berdasarkan dari yang terburuk sampai yang terbaik dalam penerapan
suatu ketentuan hukum syar’i.
Sementara fiqih secara umum atau saat sekarang, sebagaimana
diajarkan (dalam contoh kecilnya; pendidikan agama Islam) secara
khususnya. Masih dipertanyakan kontekstualitasnya sejalan dengan
perkembangan zaman saat sekarang. Sehingga perlu pencapaian kembali
makna fiqih. Sebagaimana tujuan awal, yang kontekstual (fiqih sosial).
Sebagai upaya menghadapi problem-problem sosial yang kian
berkembang dan marak.
2. Perkembangan Fiqih
Fiqih sebagai upaya ijtihad manusia. Pada titik awalnya adalah
sebagai upaya menjawab fenomena-fenomena yang berkembang di
kalangan masyarakat pada saat itu. Perkembangan ini dimulai dari setelah
nabi wafat. Dimana pertanyaan akan dikembalikan semua pada sumber
pokok ajaran Islam yaitu Alquran dan Sunnah Rosul (yang masih global)
dengan nilai transendensi yang tinggi. Segala persoalan menjadi beku
19 Sumanto Al Qurtuby, Op.Cit. hlm.39
-
24
dengan hanya di adukan dengan teks-teks wahyu. Upaya pengembalian
fiqih dari nilai yang transenden menjadi areal yang antropologis dan
sosiologis, dimulai dengan munculnya ijtihad pertama kali oleh sahabat
Umar bin Khattab (abad II H). Dengan menangguhkan hukuman potong
tangan pada pencuri, karena melihat latar belakang dan sosio kultural saat
itu. Upaya kebebasan berfiqih ini pun terus berkembang sampai periode
Abbasiyah. Dimana saat itu merupakan masa emas kejayaan umat Islam.
sampai akhirnya datang gerakan pengembalian fiqih pada sumber
pokoknya yaitu Al quran dan Hadits. Karena dianggap kebebasan berfiqih
itu, sebagai bahaya bagi kelangsungan agama Islam.
Pada akhirnya pada abad IVH, sampailah fiqih yang kemudian
menjadi sebuah historisitas yang terbungkus dengan madzab-madzab.
Sampai sekian madzab, hampir 500 madzab.20 Akan tetapi yang menjadi
peradaban dunia, dan mendominasi adalah empat madzab besar. Khanafi,
khambali, Maliki, Syafi’i. Keempat madzab besar tersebut oleh sebagian
besar masyarakat dunia. Dianggap Sebagai otoritas mati dan kaku, yang
mau tidak mau harus dipegangi secara “penuh’.21 atau oleh arkoun diseut
sebagai Tagdis al-afkar al-diniyah (pensakralan atau pensucian buah
pikiran keagamaan).22 Pemahaman agama menjadi apa adanya (taken for
granted). Manusia tak punya hak atau bahkan tidak boleh menyentuhnya
sama sekali, meskipun terjadi paradoks antara “teks” dan “realitas empiris
“.23 Disisi lain ijtihad yang dinilai sebagi sumber inspirasi dinamisnya
perkembangan fiqih, dinyatakan telah tertutup.
20 Alie Yafie, Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,
(Yogyakarta, LKPSM, 1997), hlm 130 21 Ali Yafie, Op., Cit., hlm 132 22 Dikutip dari M. Amin Abdullah, arkaoun dan kritik nalar Islam, dalam johan Hendrik
Meuleman (ed), Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, (yogyakarta; LkiS, 1996), hlm 7
23 Sumanto Al qurtuby, Op.Cit. hlm.53
-
25
Akhirnya teks yang ada selalu dipaksa, dibenturkan dengan realitas
empiris. Dan hanya akan menghasilkan kemaslahatan fiqih yang semu dan
mandul.
Dari beberapa kasus diatas ternyata membawa implikasi yang
sangat kuat sekali terhadap pola kehidupan masyarakat di zaman sekarang
ini. Dengan ini penulis mencoba menggambarkannya dalam masyarakat
transisi dimana berhadap-hadapan antara masyarakat dengan budaya
“modern” yang berkembang sebagaimana berikut. Karenanya perlu proses
reinterpretasi fiqh, yang harus dapat menjadi penengah bagi semua kasus
yang berkembang.
3. Fiqih Sosial, Proses Dialektika Fiqh Dan Realitas Sosial
Masyarakat dunia saat sekarang ini telah menghadapi gilasan besar
dari gerakan the winner of new paradigm (capitalisme). Kemenangan
kapitalis atas sosialis dunia pasca perang dingin (1948). Oleh sebagian
besar masyarakat dunia, dinilai sebagai akhir sejarah pertarungan ideologi
dunia (the end of History). Dengan berprinsip yang berlaku saat sekarang,
idiologi manapun yang menang akan menjadi penguasa dan
menghegemoni atas yang lainnya. Karenanya kapitalisme menjadi raja
saat sekarang ini.
Berbagai prinsip liberalisme (kebebasan), demokrasi,
industrialization, modernisation, dan lain sebagainya menjadi roh utama
dari kapitalisme. Hal demikian tidak hanya menjadi wacana menarik bagi
perkembangan budaya dan kesejahteraan manusia, akan tetapi juga
membawa dampak negatif yang cukup besar bagi keselamatan manusia itu
sendiri.
Munculnya era industrialisasi dan modernisme memang tidak bia
lepas dari peran meningkatkan nilai guna materialisme dalam membantu
manusia dalam mengatasi berbagai halangan dan kekurangannya. Namun
disisi lain juga mendatangkan berbagai persoalan yang semakin hari kian
merajalela. Tidak hanya berkisar pada persoalan sosial, antar warga atau
-
26
masyarakat saja. Tapi telah melebar menjadi persoalan serius yang
mengganggu keseimbangan ekosistem tempat manusia hidup.
Oleh Fritjof Capra dinyatakan bahwa, Pengaruh pemikiran
fisikawan (ilmiah) abad ke sembilan belas, Descartes dan Newton telah
membawa persepsi manusia yang berbeda dari abad sebelumnya. Dimana
sekarang paradigma yang berlaku adalah paradigma inderawi. Ukuran
pokok tingkat kejayaan manusia dari pemikiran ini adalah materialisme
dan menafikan spiritualisme.24 Sehinga menempatkan manusia sebagai
“bagian lain” dari sirkulasi sebuah ekosistem ini. Dan menganggap
manusia dengan kriteria-kriteria ilmiahnya dianggap yang paling bisa
melakukan dan mengatur segalanya termasuk alam semesta. Kalkulasi
taktis dan teknis dan selalu berbicara untung dan rugi secara materiil
termanifestasi di setiap perilaku masyarakat. Baik di bidang ekonomi,
politik, sosial, budaya, maupun agama.
Demikian oleh Fritjof Capra disebut sebagai krisis ekologi,
persepsi yang salah atas lingkungan sekitarnya.25 Karena nilai-nilai, baik
agama maupun budaya telah tertundukkan oleh nilai-nilai taktis ekonomis
dan kepentingan sesaat. Gejala ini tidak hanya melanda pada negara-
negara maju, tapi juga di negara-negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia ini.
Dari itu maka muncul beberapa kelompok masyarakat.
Pertama, kelompok masyarakat yang Kecenderungan sikap
dihampir semua lini, selalu berpikiran bahwa segala sesuatunya siap
disajikan (mendapat dengan cepat), siap diambil keuntungan materielnya,
mencoba memerankan diri sebagi mahluk berkuasa sebagaimana Francis
Fukuyama dalam buku “Kapitalisme dan Demokrasi liberal”, bahwa
zaman kita itu adalah suatu proses globalisasi yang didorong oleh dua
faktor yang sesungguhnya bertentangan. Faktor pertama bersifat material
24 Fritjof Capra, Titik Balik Peradapan: Sain, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, dalam Editor : Ahmad Norma Permata, (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1998), hlm. 20
25 Fritjof Capra, Op., Cit., hlm.xx
-
27
dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya didorong oleh
ilmu pengetahuan alam, dan faktor kedua bersfifat spiritual yang dalam
falsafah Plato dinamikan “Thymos” yaitu keinginan untuk diakui,
dihargai, persamaan hak. Tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah
masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal.26
Dalam realitas kehidupan, paradigma ini akan menjadi dampak
yang sangat mengerikan bagi perkembangan moral bangsa. Karena Peran
ini akan selalu ditampakkan dengan pola hidup yang selalu mengikuti
trend (taqlid buta), dalam merespon budaya selalu dengan kalkulasi taktis.
Dan hilangnya fleksibelitas. Yaitu pada waktu struktur sosial dan pola
perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu
menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah.27.
Kedua, adalah kelompok masyarakat yang memandang Islam
dalam konteks yang lebih sakral (religius). Tetapi dari kelompok ini pun
bukannya tidak terdapat masalah. Sebagian besar diantaranya masih
mengasumsikan syariat Islam, bagian perbagian, sebagai nialai-nilai
teologia yang “ditetapkan langsung” oleh Tuhan, dogmatis dan oleh
karena itu tertutup kemungkinannya bagi perkembangan yang searah
kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Ajaran Islam, dalam asumsi
ini, adalah sebuah kesatuan utuh yang seluruhnya tidak dapat di ganggu
gugat.
kedua bentuk penyikapan itu melahirkan masalah serius. Meskipun
terdapat perbedaan sekala, tetapi terdapat persamaan bentuk dalam
mereaksikan perkembangan zaman yang dirasa disintegratif dengan nilai-
nilai Islam. Kelompok pertama yang memperlakuakan Islam sebagai
budaya cenderung memilih budaya baru sebagai penggganti budaya Islami
yang dinilai tidak lagi relevan. Kelompok ini terjebak sikap ambivalen
dalam menerima Islam, dan menerima sebagian ajaran Islam yang dinilai
26 Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan demokrasi Liberal, (Qalam
Yogayakarta, 1992), hlm.Xiii 27 Fritjof Capra, Op., Cit.,hlm 14
-
28
lebih menguntungkan. Dan secara inkonsisten menolak sebagian yang lain.
Sedangkan kelompok yang lain akan terpaksa berhadapan dengan
kenyataan bahwa Islam sebagaimana dipahaminya tidak akomodatif dan
cenderung membelenggu manusia dalam masa lalu. Kemungkinan
terburuknya adalah ditinggalkannya Islam secara keseluruhan. Kalaupun
ada individu yang bersikukuh dengan ke-Islamannya, dapat dipastikan
bahwa ia akan terdesak dalam pergulatan pemikiran yang
mempertanyakan sikapnya, sehubungan dengan klaim Islam sebagai
pembawa kesejahteraan dunia akhirat (sa’adah al-darain).28
Kesejahteraan manusia tidak akan tercapai tanpa terpenuhinya
berbagai kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud berkisar pada pemenuhan
materiil maupun srpiritual. Namun dalam kenyataan realitas sebagaimana
di atas, peran agama(fiqh) dianggap sebagai pembelenggu kemajuan
manusia dalam memenuhi kesejahteraannya. Karenanya manusia sering
bertindak diluar ketentuan agama. Atau meninggalkan agama sama sekali
untuk kepentingan pribadinya.
Dari berbagai kondisi yang ada memang perlu ada pengembalian
makna fiqh dimana maksud semula, yaitu sebagai pengantar manusia
untuk memperoleh ksejahteraannya.
Kondisi semacam ini kemudian direspon oleh beberapa pemikir
Islam yang konsen di bidang sosial. Seperti KH.MA Sahal Mahfudh, KH
Alie Yafie, Fazlur Rahman, dan lain sebagainya. Dari kesemua tokoh ini
tampaknya terdapat kesamaan dalam memandang tentang Islam. Dari
beberapa pokok bahasan yang mereka hasilkan. Bahwa Hukum Islam yang
terjabarkan dalam fiqh tidak hanya berdimensi ke-Illahiyahan saja, akan
tetapi juga besar dimensi sosialnya. Seperti KH.MA Sahal Mahfudh yang
menelurkan gagasan tentang Fiqh Sosial, lebih memandang fiqih sebagai
proses hermeunetika memahami hidup. semisal zakat ketika diterapkan
dengan apa adanya seperti ketentuan yang ada dalam al quran, dalam
28 Sahal Mahfudh, Prospek Dan Tantangan Umat Islam Tahun 2000, Makalah
Disampaikan Dalam Dialog remaja Masjid se- Kodya Semarang, 8 September 1996, hlm. 2
-
29
realitasnya akan terjadi rasa tidak ikhlas, atau tidak dilakukannya zakat
sama sekali. KH.MA Sahal Mahfudh dalam dalil hukumnya selalu menitik
beratkan pada kemaslahatan umat, karena fiqh bisa bermakna rekayasa
sosial. Sehingga kesejahteraan bisa diwujudkan melalui pemahaman fiqh
yang benar. Karena pemahaman agama (fiqh) bisa menjadi pandangan
hidup seseorang.
Bagi KH. Alie Yafie, pemahan fiqh tidak hanya berkisar pada
persoalan ibadah ritual semata. Akan tetapi punya intens yang sangat luas
yang mencakup dimensi-dimensi kehidupan, dimensi ruang dan waktu.29
Demikian juga Fazlur Rahman yang memandang, bahwa jika islam masih
menutup diri terhadap perkembangan zaman, sehingga hanya berkutat
pada persoalan rirualitas saja. Akan merugikan Islam sendiri. Karenanya
perlu meninjau kembali terhadap fakta-fakta sejarah, karena kebenaran
sejarah akan menguatkan Islam.30
Oleh beberapa tokoh ini terlihat bahwa dimensi kemasyarakatan
(sosial) dari agama Islam akan punya implikasi yang besar dalam
membantu manusia memecahkan problem sosial pula.
Fiqih Sosial
Sementara belum ada pengertian tentang fiqih sosial secara pasti.
Dalam kalangan NU sendiri (dimana KH. MA Sahal Mahfudh berdialog
dan berdiskusi bersama kiai-kiai lain membahas tentang fiqih) secara
etimologis, term fiqih sosial masih dalam taraf perdebatan.31 Pun juga KH
Ali Yafie tidak pernah memberikan definisi secara istilah, namun hanya
abstraksi-abstraksi tentang fiqih yang kontekstual. Sebagaimana uraian
bukunya yang berjudul “Menggagas Fiqih Sosial”. Tapi setidaknya penulis
akan mencoba menggambarkan dari fiqih sosial tersebut secara bagian
perbagian.
29 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung; Mizan, 1994), hlm 13. 30 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung; Pustaka, 1995), hlm.xi 31 Sumanto Al-Qurtuby, Op.Cit. hlm 135
-
30
Pengertian Fiqih sebagaimana telah diungkap diatas. Yaitu
pemahaman, pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu). Ataupun ilmu
yang berciri muktasabah secara sendirinya fiqih mengandung makna
kemasyarakatan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkap diatas, Fiqih itu
obyek garapanya adalah al-ahkam al-‘amaliyah. ia terkait dengan
pengaturan dan penataan perbuatan atau kegiatan manusia yang bersifat
positif dan riil dan tidak bersifat nazhariyah (teoritis)seperti halnya dengan
garapan ilmu kalam (‘aqaid). Demikian fiqih sudah bermakna sosial
dengan sendirinya.
4. Kerangka Dasar Fiqih Sosial
Karena fiqih merupakan areal operasional dari syari’at. Maka perlu
pemahaman teks secara detail tentang tujuan dari syari’at (maqosid al
syari’ah) yang tidak lain adalah kemaslahatan. Setidaknya ada beberapa
pola pikir dalam memahami maksud nash :
1. Pola Pikir Zhahiriyat
Kelahiran madzab dzahiriyyat ini dibidani oleh Dawud bin Ali
khalaf al-Asbahani al Zhahiri. Lahir di kuffah tahun 202 H dan wafat
di bagdad tahun 270H, dalam usia 68 tahun.32
Menurut kelompok ini, maksud syara’ hanya dapat diketahui
dari lafald atau teks sebagaimana apa adanya yang tersurat. Dengan
alasan bahwa
�������������������������������������������������� ��!���"���#���$�����%���&�'��()*���+,��-���.��/��0�
Sesungguhnya maksud syar,I (Tuhan) misterius bagi kami sebelum ia menjelaskannya sendiri. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali melalui firman yang jelas yang mengandung makna-makna yang lain.
Berhubung kaum zhahiriyyat hanya berpegang pada lahirnya
Nash, maka dalam menentukan hukum tidak perlu memerlukan
32 Tim Penulis IAIN Syarif Hidaytullah, Ensiklopedi Islam Indonesia , ( Jakarta, :
Jambatan, 1992), hlm 205-207
-
31
bantuan di luar nash. Sebagai konsekwensinya, mereka menolak
maslahah mursalah, Istihsan, maupun qiyas dalam menentukan hukum,
meski tokoh terseut telah berguru lama pada imam Syafi’I.33 Meskipun
begitu kaum zahiriyah menerima ta’wil sebagaimana ulama
mutakallimin (teolog) terutama aliran mu’tazilah.34 Hanya saja
penerapanya berbeda.
2. Pola Pikir Bathiniyyat Yaitu bentuk kegiatan berpikir dalam istimbat hukum dari nash
tidakberpegang pada lafald sebagaimana kaum zhahiriyyat, bukan pola
pemahaman makna yang terkandung dalam lafal (maknawi,
kontekstual). Jadi pola pikir ini amat liberal sifatnya dan tidak
menggunakan kaidah umum sebagaimana yang terdapat dalam kajian
ilmu ushul fiqh (Metodologi Fiqih).
Menurut al-syatibi pola pikir athiniyat didukung sekte syi’ah
Bathiniyat. Dan hanya mempercayai imamnya yang maksum (bebas
dari salah dan dosa). Apa yang menjadi kata imam itulah sabda. Yang
harus dipegangi kebenarannya. Jadi kaidah apapun yang disusun para
fuqaha yang terbingkai dalam ilmu ushul fiqh, qowaid al-fiqhiyyat,
dan sejenisnya sebagai atribut untuk istinbath hukum sama sekali tidak
dipertimbangkannya. Maslahah mursalah, istihsan, qiyas dan ijma’
sekalipun mereka tolak35
3. Pola Pikir Kontekstual Pengertian kontekstual dalam memahami maksud syara’
mempunyai kandungan yang amat luas. Mujtahid bisa melakukan
pendekatan apa saja asalkan masih dalam kerangka untuk
kemaslahatan umum. Bagaimana memahami teks dengan
mengaitkanya antara latar belakang kondisi siosial saat teks tersebut
turun dengan latar belakang, kondisi sosial, politik, adat istiadat
33 Tim Penulis, Loc. Cit. 34 Abdul Wahab Ibrahim, bin Sualiman, , al- Fikr Al-Ushul (Makkah: Dar al Syaruq,
1983), hlm 103 35 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago-London: University of Press, 1979), hlm. 170
-
32
dimana ia tinggal, mengaitkannya dengan masalah-masalah global dan
kontemporer, dan cakupan-cakupan lainnya adalah termasuk dalam
kerangka kontekstual.
Menurut al Syathibi kelompok ini adalah kaum Al-
Muta’ammiqin fi al Qiyas (kelompok yang amat gemar melakukan
qiyas atau analogi. Lebih memprioritaskan makna lafal daripada lafal
itu sendiri.
Maksud yang ingin dicapai adalah mencari makna di seberang
teks selagi hasil yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks
tersebut, kecuali teks tersebut bersifat mutlak. Menunjukkan makna
kesatuan yang utuh. Contoh lafal mutlak yaitu orang mesir, rajulun,
dan thairun (seekor burung),
Jika ada pertentangan antara nash atau tekstual dan makna teks
atas dasar penalaran (nazhariyyat), kelompok kontekstualisme akan
mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya
kemaslahatan, atau mencari makna baru karena tak kwajiban bagi
mujtahid untuk ertahan pada pengambilan maksud nash secara
tekstual.36contohnya hasil pemikiran yang demikian adalah Q.S Al
Maidah ayat 38
�12��1#341�5�6�17��83�196:�1�3;1:5��5��
-
33
tangan bagi pencuri, melainkan bisa ditempuh dengan cara
memenjarakannya atau menciptakan kondisi sosial yang bisa
mencegah terjadinya kesenjangan, khususnya kesenjanagn ekonomi.
Demikian dipandang lebih menjunjung kemaslahatn dan nilai-nilai
kemanusiaan. Ada kemungkinan si pelaku akan mau sadar dan
memperbaiki jalan hidupnya dengan mencari nafkah dengan cara yang
baik pula.37
4. Pola Pikir Gabungan Antara Tekstualis Dan Kontekstualis Menurut al-syatibi golongan pola pikir ini adalah mereka
berpendirian menggabungkan antara yang tersurat dan yang tersirat
dari makna teks adalah tidak bertentangan.
Metode yang dikembangkan kelompok ini sama dengan
kelompok kontekstualis, yang salah satu wujud nyatanya adalah al-
Muta’ammiqin fi al Qiyas, plus yang lain, yaitu zhahiriyyat dengan
pendirian bahwa Syari’ (Tuhan dan Rasul) di dalam mensyariatkan
syaraknya, apakah itu berkenaan dengan ‘adiyat ataupun ‘ibadiyat,
yang masing-masingnya mempunyai maksud yang asli (ashliyat) dan
maksud yang mendampinginya (tabi’iyat). Sebagai prosedur
pemikirannya adalah sebagai berikut :
a. mempertimbangkan maksud dalam amar (kalimat perintah), dan
nahi (larangan). Terhadap bunyi nash Aqimis al sholah. Dipahami
bahwa mereka diperintah Tuhan untuk melaksanakan sholat tidak
boleh tidak, perintah itu harus dikerjakan.
b. Mencari Illat kalau mungkin ada baik dalam kalam amar maupun
nahi tersebut dengan mempertanyakan “mengapa”. Jika ternyata
Illat itu bisa ditemukan, maka mereka melakukan suatu perintah
atau tidak melakuakan suatu perbuatan karena ‘Illat tersebut.
Contohnya adalah ;
Wala taqrobu al Sholata wa antum sukara. Q.S Annisa’ 43
Adalah sebagai ‘Illatnya mabuk.
37. Danusiri, Op.Cit,. hlm 57
-
34
c. Mempertimbangkan makna ashliyat dan tabi’iyat (makna asal dan
makna yang mendampinginya). Makna ashliyat dimaksudkan
untuk memelihara druriyyat (kebutuhan primer), yakni
kemaslahatan umum yang tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Contoh nya adalah atas dasar pola pikir gabungan antara tekstualis
dengan kontekstual dengan adalah mengenai kasus nikah. Nikah
yang disyari’atkan adalah sebagaimana pola pikir zhahiriyyat.
Dalam memahami ayat tentang nikah.
���%�� F*����G�����8,*"����#��������89= ��.��F�H��!������������I���8��8�����.�!��F�H,"�������J?K����L��C�=���
��8��8���.���"&��/�&�F*"��#���M*?��
Berketetapan bahwa nikah itu wajib dan hanya seorang baik
pihak laki-laki maupun perempuan. Sementara kebanyakan ulama
berpendapat bahwa kawin itu boleh atau bebas dalam arti tidak
wajib. Maka ashliyyat dari pernikahan adalah untuk mendapatkan
keturunan, dan ini merupakan tujuan utama. Adapun makna yang
mengikutinya atau tabi’iyyat adalah anatara lain mencari
ketenangan hidup,mendapatkan pergaulan suami istri, tolong-
menolong dalam urusan dunia dan akherat. Keseluruhan nash dapat
diketahui melalui nash (teks), sebagian melalui siratan Nash,
sebagian melalui dalil-dalil lain seperti qiyas, pengalaman empirik,
dan penyimpulan secara induktif.
5. Urgensi Fiqh Sosial
Setidaknya ada beberapa alasan kenapa harus ada fiqih SosialN
pertama, sejauh mana kita di pesantren-pesantren ataupun sekolah formal,
telah memberikan pendidikan fiqih disamping pengajaran ilmu fiqih, yang
memungkinkan para santri untuk memperoleh pengetahuan standar yang
utuh tentang fiqih. Seperti halnya dalam sekolah-sekolah formal
(Pendidikan Agama Islam). secara teoritik, ataupun semua materi yang ada
diperkirakan hampir semua siswa akan bisa menguasai. Akan tetapi secara
-
35
praksis atau lebih jauhnya secara kontekstual fiqih, masih perlu kerangka
umum, kerangka dasar, dan sejarah ringkas dari terbentuknya fiqih.
Kedua, dalam pendidikan fiqih (PAI), ada pola tata nilai yang
sudah baku yaitu pola ibadat dan muamalat. Dan pola muamalat lebih
mendominasi, tiga perempat bagian dari ilmu fiqih, dan bagian inilah yang
sangat bersangkutan dengan kehidupan riil dan dinamika masyarakat.
Karena kurikulum pengajaran kita membalik alokasi kedua pola ini, maka
konteks fiqih dengan kehidupan riil kita kurang terasa, sehingga
menimbulkan kesan seakan-akan fiqih itu tidak menyambung dengan
realitas kehidupan.
Ketiga, kepustakaan kita sebagai syarat utama
pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan, masih sangat terbatas.
Keempat, kondisi umum dimana kita berada selama empat abad
terakhir. Kita pernah terbelenggu oleh kekuasaan penjajah yang anti Islam.
Onderwij politik dan ordenansi guru merupakan salah satu bukti
bagaimana kolonialisme itu mempersempit ruang partisipasi kaum muslim
dalam masyarakat. Baru setelah kemerdekaan agama Islam bisa
berkembang. Diantaranya bahwa sistem pendidikan nasional memberi
ruang gerak bagi pendidikan agama dalam wujud pembangunan nasional.
Lebih dari itu pendidikan pesantren diberikan hak hidup dalam pendidikan
nasional pula.
Kelima, tingkat kemajuan dunia pada abad ke-20, yang ditandai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama
dalam teknologi, mau tidak mau kita akan terlibat di dalamnya, nyatanya
kita sangat lamban dalam menanggapinya.38
Fiqih sosial adalah konsep pemikiran fiqih dengan menempatkan
problem kemanusiaan sebagai basis study dan tindakan. Yang ingin
mengembalikan semangat fiqih yang selama ini menjadi luntur. Akibat
terjadi disorientasi fiqih. Yang semula pada awal kelahiranya adalah
38 Ali Yafie, Op.Cit. hlm.109-110
-
36
sangat konsentrasi pada problem kemanusiaan , akan tetapi dalam
perjalanannya sampai sekarang fiqih menjadi kaku (rigid), lebih
berorientasi pada nilai Ke-Ilahian (teosentrisme) ketimbang nilai
kemanusiaan (antropocentrisme).
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan
Banyak sekali definisi pendidikan yang diperkenalkan kepada
publik. Sehingga terkadang pendidikan mengalami reduksi yang cukup
berarti akibat kurangnya pemahaman pendidikan secara universal.
Karenanya perlu memahami apa itu pendidikan (education).
Secara etimologi, pendidikan merupakan terjemahan dari kata
dalam bahasa Inggris education, E.L Thorndike dan Clarence L. Bernhart
dalam Advanceu Junior Dictionary mengartikan education menjadi tiga
bagian. Pertama, Development in knowledge, skill, ability or character by
teaching, training, study or experience. Kedua, knowledge, skill, ability, or
character develop by teaching, training, study or experience. Dan ketiga,
science and art that deals with the principles, problem etc of teaching and
learning.39
Menurut Hasan Langgulung dalam bukunya Asas-Asas
Pendidikan, istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education, yang
berasal dari bahasa latin educare berarti memasukkan sesuatu, barangkali
bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi di sini ada tiga hal
yang terlibat: ilmu, proses memasukkan dan kepala orang.40
Lebih jauh ia menjelaskan sebenarnya pendidikan dapat dilihat dari
dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari
pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti
pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar hidup
39 E.L Thorndike, Clerence L. Barnhart, Advanced Junior Dictionary, Doubleday and
company, Inc. new York, 1965, hlm. 257. 40 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (PT. Al Husna Zikra, Jakarta, 2000),
hlm 3
-
37
masyarakat tetap berkelanjutan. Atau masyarakat punya nilai-nilai budaya
yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat
tersebut tetap terpelihara.
Dalam pengertian tersebut kata yang merujuk pada “agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan”. Bisa mengandung makna (hifdzul nafs,
hifdzul al Din, hifdzul mal, hifdzul aql, hifdzul Nazl).
Bila dilihat dari kaca mata individu, pendidikan berarti
pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.
Sementara KH. MA Sahal Mahfudh memberikan definisi tentang
Pendidikan adalah Usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku
secara sistematis terencana dan terarah.41
Menurut Zakiah Daradjad pengertian seperti yang lazim dipahami
sekarang belum terdapat di zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang
dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan
berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih ketrampilan
berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan social yang
mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah
mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang.42
Dalam kaitan yang akan dibahas penulis adalah Pendidikan Agama
Islam. Kembali Zakiyah Daradjad memberikan definisi, Pendidikan Islam
adalah, membentuk kepribadian Muslim, membentuk sikap dan perilaku
sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.43
Secara tersirat KH. MA Sahal Mahfudh memberikan definisi
pendidikan agama Islam melalui pengertian pendidikan pesantren adalah,
“mendalami ilmu agama dan berakhlak yang mulia”. Definisi pendidikan
pesantren yang diungkap KH. MA Sahal Mahfudh di atas secara implisit,
beliau menyatakan bahwa pendidikan pesantren diharapkan mampu
mendidik santrinya sehingga paham dan mengetahui seluk beluk agama
41 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Op., Cit., .hlm 514 42 Zakiyah Daradjad, Ilmu Pendidikan Islam, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1996), hlm 28 43 Zakiyah Daradjad, Op., Cit., hlm 28
-
38
secara detail, kemudian menginterpretasikan pendidikan yang telah
diterimanya dari pesantren dalam tutur-sapa dan tingkah laku dengan
berakhlak mulia.44
Dengan demikian bahwasanya pendidikan mempunyai tanggung
jawab untuk membentuk, mengembangkan karakter dan jiwa-jiwa muslim,
Sesuai dengan ajaran Islam. Bahwa setiap warisan budaya Islam tidak
hanya berupa seperangkat aturan dan tata cara tehnis, akan tetapi juga
berupa nilai-nilai ajaran Islam.
Sesungguhnya nilai hidup seseorang sangat tergantung pada
keberhasilan atau kegagalan sistem pendidikan yang mengarahkannya.
Dengan memahami bahwa setiap orang adalah bagian masyarakat yang
sedikit banyak akan memberikan sumbangsih (negatif maupun positif)
bagi kehidupan bersama, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan
satu-satunya saarana penting dalam membentuk masyarakat yang ideal.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau
kegiatan selesai.45 Terkait dengan hal tersebut, Pada hakekatnya tujuan
akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia, (BAB I).
Sedang yang dimaksud tujuan disini adalah pendidikan Islam. Karena
pesantren merupakan basis dari keIslaman maka pendidikan pesantren pun
bisa dikata tidak luput dari Proyek pendidikan Islam tersebut.
Menurut KH. MA Sahal Mahfudh Tujuan pendidikan Islam
sebagaimana yang terangkum dalam (pendidikan pesantren), ialah
membentuk manusia yang akrom (Lebih bertaqwa kepada Allah SWT.)
dan Shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola,
memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan
akhirnya mencapai Sa’adatu al-dzarain.46
44 Sitii Nur asyiyah, Pemikiran dan Kiprah KH. Sahal Mahfudh dalam Pendidikan
Pesantren, (Skripsi, Fakutas Tarbiyah IAIN Walisongo, semarang, 2000), hlm. 40 45 Zakiyah Darodjad, Op., Cit. hlm 29 46 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Op. Cit. hlm. 378
-
39
KH. Sahal menegaskan bahwa “akrom” merupakan mencapai
kelebihan dalam kaitan manusia sebagi mahluk terhadap kholik-nya, untuk
mencapai kebahagiaan di akherat,47 seperti firman Allah dalam QS. Al-
Hujurat ayat 13:
��@�!�0�A�@�!���7��B��" �9��(������-�.3=��B��" ��+���7����������3=�9��(/C �)&" 1�O�2
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.48
Dalam hal ini, pesantren secara institusional telah menekankan
pendalaman terhadap ilmu pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).
Sedangkan shaleh berarti manusia yang secara potensial mampu berperan
aktif, berguna dan terampil dalam kaitnnya dengan kehidupan sesama
makhluk. 49
Filosofis sholeh diambil dari surat 6 Al-anbiya’ ayat 105;
������&�"�9D " ��E �+��0�7����:���!��F �G �9�3=/;�!0�� 1�PQ2
“Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang sholeh”.
Sehingga untuk melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan
kehidupannya, Pendidikan Islam (pesantren) mencoba memberikan bekal
ilmu pengetahuan, yang punya implikasi sosial menyeluruh dan mendasar.
Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik teknologi, perindustrian, ilmu
kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren, pengkajian
ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu kifayah).
Baik lembaga pesantren maupun pendidikan yang dikelola
pemerintah (madrasah), merupakan proyek besar dari tujuan pendidikan
nasional. Sebagaimana tercantum dalam BAB II pasal 3 UUSPN
disebutkan bahwa; pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa pada
47 Ibid., hlm 345 48 Departemen Agama RI., Op.,Cit., hlm 847 49 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih sosial, Op., Cit.,hlm. 344
-
40
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.50
Bahwa pendidikan harus mampu membentuk sepuluh tujuan yang
menjadi cita-cita yang dicapai, yaitu:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa
b. Mengembangkan manusia indonesia seutuhnya
c. Manusia yang beriman
d. Manusia yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa
e. Berbudi pekerti luhur
f. Memiliki pengetahuan
g. Memiliki ketrampilan
h. Kesehatan jasmani dan rohani
i. Kepribadian yang mantap dan mandiri
j. Rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
Pada permulaan keinginan dalam tujuan pendidikan nasioanal
dimana disebutkan bahwa tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,
kaitanya dengan arus reformasi yang sedang santer-santernya dewasa ini
akan menjadi gerakan orde baru bab kedua, bab ketiga, jika tidak
diantisipasi untuk mengarahkan proses pendidikan sebagai proses
pembudayaan serta pelaku kebudayaan yang produktif, oleh karena itu
sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan pada
pengembangan pribadi peserta didik untuk mengembangkan
intelegensinya di dalam spectrum yang lebih luas. Dengan demikian
proses pendidikan nasional akan menghasilkan sel renewal reformation51
karena berpangkal pada manusia yang berbudaya.
Sitem pendidikan nasional bukan hanya menghasilkan manusia-
manusia yang cerdas (cerdas secara akademis) tetapi juga yang bermoral
50 Undang-Undang no. 20 th 2003; Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta, Media
wacana, 2003), hlm.12 51 H.A.R Tilaar, Pradigma Bru Pendidikan Nasional, (Rieneka Cipta, 2000), hlm 57
-
41
tinggi dan produktif menghadapi tantangan kehidupan yang penuh
persaingan dalam milenium ke tiga.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Made Pudarta, indikator-indikator
tujuan pendidikan diatas dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. Hubungan dengan Tuhan, ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
b. Pembentukan pribadi, mencakup berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, dan kreatif
c. Bidang usaha mencakup trampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, produktif
d. Kesehatan, yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.52
Keempat kelompok ini sudah mencakup keseluruhan
perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilakukan oleh setiap
manusia. Setiap orang normal membutuhkan pembentukan diri, baik dari
segi kepribadian, kesehatan, maupun kemampuan mempertahankan hidup
dan tanggung jawabnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi bangsa indonesia yang merupakan mayoritas beragama
Islam, sebagian besar tanggung jawab menurut asumsi di atas, terletak
dipundak lembaga pendidikan Islam yang sekaligus sebagai agen dari
sistem pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan Islam berusaha
mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara
menyeluruh. Oleh karenanya, pendidikan Islam berupaya mengembangkan
semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual,
imajinasi, keilmiahan dll, baik secara individu maupun berkelompok serta
senantiasa memberikan dorongan bagi kedinamisan aspek-aspek di atas
menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam
hubugannya dengan al Khaliq, dengan sesama manusia dan dengan
alam.53
52 Made Pudarta, Landasan kependidikan; Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia,(Rieneka Cipta, tk, tt,) hlm. 11
53 M Arifin, Determinisme Historis,(1987) hlm 129
-
42
Dengan format seperti ini, maka penddikan Islam telah merangkul
semua prinsip tujuan pendidikan. Rumusan ini merupakan acuan umum
bagi pendidikan Islam, karena akhir tujuan adalah pencapaian kebahagiaan
dunia akherat. Hal ini akan berarti pula bahwa pendidikan Islam
mengandung konsep Agama (din), Konsep manusia (insan), konsep ilmu
(ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan (a’dl),
konsep amal (amal sebagai adab), dan konsep perguruan tinggi (kuliyatul
jami’ah). Dengan perpaduan konsep-konsep inilah manusia mampu
meraih kebahagiaan di dunia dan akherat.54
Dengan bekal itulah diharapkan manusia mampu mencapai
kebahagiaanya. Baik di dunia maupun akherat. Bukan semata pencapaian
materialisme (sebagaimana kaum materialistik), ataupun hanya mengejar
urusan akherat semata (surga Neraka) sebagaimana kaum tradisional-
konservative.
54 Naquib al attas, sebagaimana di kutip dalam; Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita
dan Fakta(1980) hlm 9