bab ii rohmat -...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HAK MILIK
(AL-MILKIYAH)
A. Pengertian Hak Milik Dalam Hukum Islam
Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Karenanya Islam
telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang
berani melanggar hak milik pribadi itu. Misalnya, pencurian, perampokan,
penyerobotan, penggelapan dan sebagainya.1
Hukum Islam dalam mengatur pergaulan hidup manusia memberikan
ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban agar ketertiban hidup
masyarakat benar-benar dapat tercapai. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari
sesuatu hal. Misalnya, dalam perikatan jual beli, pihak pembeli berhak
menerima barang yang dibelinya, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga
menyerahkan uangnya.2
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hak adalah kepentingan yang ada pada
perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syarak.
Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk
menghormatinya. Hukum Islam mengenal berbagai macam hak yang pada
pokoknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu hak Allah, hak manusia dan
hak gabungan antara keduanya.3 Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy, hak
1Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, jilid 3 Muamalah, Jakarta: CV.Rajawali, 1988, hlm. 85-86. 2Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 19. 3Ibid, hlm. 19-20.
14
mempunyai dua makna yang asasi. Pertama, hak adalah sekumpulan kaidah
dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan
manusia sesama manusia, baik mengenai orang, maupun mengenai harta.
Kedua, hak adalah kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas
seseorang bagi selainnya.4 Sedangkan milik adalah penguasaan terhadap
sesuatu, yang penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan
terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya
apabila tidak ada halangan syarak.5
Milik (Arab, al-milk} secara bahasa berarti pemilikan atas sesuatu (al-
mal, atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya".6
Milik dalam buku; Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum
Kebendaan dalam Islam,7 didefinisikan sebagai kekhususan terdapat pemilik
suatu barang menurut syara untuk bertindak secara bebas bertujuan
mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar'i".
Dengan demikian milik merupakan penguasaan seseorang terhadap
suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta
tersebut.
Berdasarkan definisi milik tersebut, kiranya dapat dibedakan antara
hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang
pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah
4Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1977, hlm. 120. 5Ibid, hlm. 45. 6Musthafa Ahmad al-Zarqa', al-Madkhal al-Fiqh al-'Amm, Beirut: Dar-al Fikr, 1968,
Jlid I, hlm, 240. ' 7Abdul Madjid, Pokok-Pokok Fiqih Muamalah Dan Hukum Kebendaan Dalam Islam,
Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1986, hlm. 36.
15
ampuannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan
pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain
dapat dikatakan "tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak
semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki".
Hak yang dijelaskan di muka, adakalanya merupakan sulthah,
adakalanya merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sultbah 'ala al-nafsi dan sulthah 'ala syai'in
mu'ayanin.
- Sulthah 'ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak
hadlanah (pemeliharaan anak).
- Sulthah 'ala syai'in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memiliki
sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya
tanggungan pribadi ('ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh
menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta ('ahdah maliyah)
seperti membayar hutang.
Para fuqaha berpendapat bahwa hak adalah sebagai imbangan dari
benda (a'yan), sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak adalah bukan
harta (ina al-haqqa laisa bi al-mal).8
Dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
mal dan ghair mal. Hak mal ialah sesuatu yang berpautan dengan harta,
seperti pemilikan benda-benda atau hutang-hutang. Sedangkan Hak ghair mal
8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 34
16
terbagi kepada dua bagian, yaitu hak syakhshi, dan Hak aini. Hak syakhshi
ialah suatu tuntutan yang ditetapkan syara' dari seseorang terhadap orang lain.
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang
kedua. Hak ‘aini ada dua macam; ashli dan thab'i. Hak 'aini ashli ialah adanya
wujud benda tertentu dan adanya shahib al-haq seperti hak milkiyah dan hak
irtifaq. Hak 'aini thab'i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang
menghutangkan uangnya atas yang berhutang. Apabila yang berhutang tidak
sanggup membayar, maka pemegang barang jaminan berhak menahan barang
itu.
Adapun macam-macam hak 'aini ialah:
a. Haq al-Milkiyah ialah hak yang memberikan kepada pemiliknya, hak
wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat,
menghabiskannya, merusakkannya dan membinasakannya, dengan syarat
tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
b. Haq al-Intifa' ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan
hasilnya. Haq al-lsti'mal (menggunakan) terpisah dari haq al-lstighal
(mencari hasil), seperti rumah yang diwakafkan untuk didiami, maka si
mauquf 'alaih hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari keuntungan
dari rumah itu.
c. Haq al-lrtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu
kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun
pertama. Seperti saudara Ibrahim memiliki sawah, air dari solokan
dialirkan ke sawahnya, sawah Tuan Ahmad berada di sebelah sawah
17
saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad membutuhkan air, maka air dari
sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah Tuan Ahmad, air tersebut
bukan milik saudara Ibrahim.9
d. Haq al-lstihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn
menimbulkan hak 'aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga
barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn
hanyalah jaminan belaka.
e. Haq al-lhtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang
(benda) seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda
luqathah.
f. Haq Qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetap atas
tanah wakaf ialah:
- Haq al-Hakr iaiah hak menetap di atas tanah wakaf yang disewa,
untuk yang lama dengan seizin hakim.
- Haq al-Ijaratain ialah hak yang diperoleh karena ada akad Ijarah
dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atas tanah wakaf yang
tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula, misalnya
karena kebakaran, dengan harga yang menyamai harga tanah,
sedangkan sewanya dibayar setiap tahun.
- Haq al-Qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan
olehpenyewa.
9 Ibid, hlm. 35.
18
- Haq al-Marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol.10
g. Haq al-Murur ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas
bangunan orang lain.
h. Haq Ta’ali ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas
bangunan oranglain.
i. Haq al-Jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya
batas-batas tempat tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqar
dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
j. Haq Syafah atau haq syurb ialah: "Kebutuhan manusia terhadap air untuk
diminum sendiri dan untuk diminum binatangnya serta untuk kebutuhan
rumah tangganya".
Ditinjau dari hak syirb, maka air dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Air umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, seperti air sungai, rawa-
rawa, telaga dan yang lainnya. Air milik bersama (umum) boleh
digunakan oleh siapa saja, dengan syarat tidak memadharatkan orang lain.
2. Air di tempat-tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh
seseorang untuk mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah
tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang dibuat oleh
pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut atas
seizin pemilik kebun.
3. Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara
dan disimpan di suatu tempat yang telah disediakan, seperti air di kolam,
10 Ibid, hlm. 36.
19
kendi dan bejana-bejana tertentu.11
Sebagaimana telah diutarakan di atas, hak dibedakan menjadi dua,
yakni hak syahsiy dan hak 'ainiy. Kaitan dengan pembedaan hak tersebut,
maka milkiyah merupakan bagian terpenting dari hak 'ainiy. Terdapat
beberapa definisi tentang hak milik atau milkiyah yang disampaikan oleh para
fuqaha', antara lain:
Pertama, definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa al-
Syalabi,12 hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya ber-
tasharruf secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara'".
Kedua, ta'rif yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa'13 milik
adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat menghalangi (orang lain) yang
syara' memberikan kewenangan kepada pemiliknya ber-tasharruf kecuali
terdapat halangan.
Ketiga, ta'rif yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily14 milik adalah
keistimewaan (istishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain
darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali
ada halangan syar'iy",
Seluruh definisi yang disampaikan di muka menggunakan term
ihtishash sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah ihtishash
(keistimewaan). Dalam definisi tersebut terdapat dua ihtishash atau
11 Ibid, hlm. 37 12Musthata Ahmad al-Syalabi, al-Madkhal fi Ta'rif bil-fiqh Islami Waqawa'idud al-
Milkiyah wal-'Uqud fihi, Mesir: Dar al-Ta'rif, 1960, Jilid II, hlm. 16. 13 Musthafa Ahmad al-Zarqa', op.cit., hlm. 241. 14 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-lslamy wa Adillatuh, juz. 4, hlm. 57.
20
keistimewaan yang diberikan oleh syara' kepada pemilik harta: Pertama,
keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa
kehendak atau tanpa izin pemiliknya. Kedua, keistimewaan dalam bertasarruf.
Tasarruf adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah
(kehendak)-Nya dan syara' menetapkan atasnya beberapa konsekuensi yang
berkaitan dengan hak.15
Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (pemilikan) seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharruf (berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui
oleh syara. Halangan syara' (al-mani') yang membatasi kebebasan pemilik
dalam bertasharruf ada dua macam:16 Pertama, halangan yang disebabkan
karena pemilik dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak kecil, atau
karena safih (cacat mental), atau karena alasan taflis (pailit).
Kedua, halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain,
seperti yang berlaku pada harta bersama, dan halangan yang dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat umum,
sebagaimana yang telah disampaikan pada ta'assuf fi isti'malil al-haq pada bab
terdahulu.
Dari ta'rif dan uraian yang telah disampaikan di muka dapatlah digaris
bawahi bahwa al-milk (hak milik) adalah konsep hubungan manusia terhadap
harta ('alaqatul insan bil-mal) beserta hukum, manfaat dan akibat yang terkait
15 Musthafa al-Zarqa', op. cit, hlm. 288. 16 Ibid
21
dengannya. Dengan demikian milkiyah (pemilikan) tidak hanya terbatas pada
sesuatu yang bersifat kebendaan (materi) saja.17
B. Sebab-sebab Kepemilikan (Al-Milkiyah)
Menurut Ahmad Azhar Basyir, cara yang sah memperoleh milik
sempurna ada empat macam, yaitu (1) menguasai benda mubah; (2)
menghidupkan tanah mati; (3) berburu; (4) akad (perikatan) pemindahan
milik.18
Dalam perspektif yang lain, milkiyah (hak milik) dapat diperoleh
melalui satu di.antara beberapa sebab berikut ini:
Pertama: Ihraz al-mubahat ("penguasaan harta bebas"):
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum
dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-mubahat (harta bebas, atau harta tak
bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi
(dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’ al-syar'iy)
untuk memilikinya.19
Misalnya, ikan di laut, rumput di jalan, hewan dan pohon kayu di
hutan, dan lain-lain. Pada prinsipnya harta benda sejenis ini termasuk al-
mubahat. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk tujuan dimiliki
17 Baik fuqaha Hanafiyah maupun fuqaha' Jumhur sependapat terhadap prinsip ini, yakni
bahwasanya milkiyah tidak terbatas pada materi saja. Hanya saja menurut fuqaha Hanafiyah, manfaat (tidak bersifat materi) tidak merupakan komponen harta, melainkan sebagai milkiyah. Sedang menurut fuqaha' jumhur manfaat merupakan bagian dari al-mal. Sekalipun secara konseptual al-mal dan milkiyah merupakan dua hal yang berbeda, namun pada kenyataannya keduanya tidak dapat dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang.
18 Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 58-62. 19 Muthafa al-Zarqa'. op.cit., hlm. 244
22
sebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini
untuk tujuan pemilikan, inilah yang dinamakan al-ihraz.
Dengan demikian upaya pemilikan suatu harta melalui ihraz al-
mubahat harus memenuhi dua syarat:20
(1). Tidak ada pihak lain yang mendahului melakukan ihraz al-
mubahat. Dalam hal ini berlakukah kaidah barangsiapa lebih dahulu
menguasai 'harta bebas' maka sungguh ia telah memilikinya".21 Jika seseorang
mengambil ikan dari laut "dan mengumpulkannya di tempat penyimpanan,
misalnya di atas perahu, lalu ia meninggalkannya maka ikan tersebut tidak lagi
dalam status al-mubahat dan orang lain terhalang untuk memilikinya melalui
cara yang sama.
(2) Penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki.
Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidak
adanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian status ikan tersebut tetap
sebagai al-mubahat.
Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah "penguasaan atas al-
mubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Penguasaan tersebut dapat
dilakukan melalui cara-cara yang lazim, misalnya dehgan menempatkannya
pada tempat yang dikuasainya atau dengan memberi batas, atau dengan
memberi tanda pemilikan. Seekor burung yang bersarang di atas pohon tetap
sebagai harta al-mubahat, sampai seseorang dapat menguasainya dengan
20 Wahbah al-Zuhaily, juz. 4, hlm. 70; Musthafa al-Zarqa', juz.l, hlm. 244. . 21Wahbah al-Zuhaily menyebut al-mubahat dengan al-istila 'alal mubah dengan
pengertian "harta yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada halangan syara' untuk memilikinya. Wahbah al-Zuhaily, juz, 4. hlm. 69-70.
23
menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah sangkar. Demikian juga
segerombol walet yang bersarang pada sebuah gedung. Pemilik pohon dan
pemilik gedung tidak dapat mengklaim burung tersebut sebagai miliknya.
Ketika burung tersebut terbang ia benar-benar tidak menguasainya. Berbeda
dengan getah walet yang menempel di rumah atau disebuah gedung yang
sengaja dibuat untuk keperluan ini.
Wahbah al-Zuhaily mencatat empat cara penguasaan harta bebas: (1)
ihya' al-mawat atau membuka ladang (kebun) baru, (2) berburu hewan, (3)
dengan mengumpulkan kayu dan rerumputan di rimba belukar, dan (4) melalui
penggalian tambang yang tersimpan diperut bumi.22
Dalam masyarakat bernegara, konsep ihraz al-mubahat menjadi
terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan
peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas. Demi
melindungi kepentingan publik (al-maslahah al-'ammah} negara atau
penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu
sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang,
pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam dan lain
sebagainya.
Dengan demikian seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di
hutan; seseorang tidak boleh menguasai atau memiliki tanah atau kebun milik
22 Wahbah al-Zuhaily, al-FIqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989, juz. 1,
hlm. 69-72.
24
negara kecuali dengan izin, seseorang tidak boleh berburu satwa langka dan
lain sebagainya.23
Term mani' al-syar'iy (larangan hukum) dalam definisi al-mubahat
yang telah disampaikan di muka mencakup juga kebijak- an yang diterbitkan
negara yang mengatur perihal pemilikan harta kekayaan. Dengan demikian
konsep al-mubahat menjadi terbatas. Harta-benda atau sumber-sumber
kekayaan alam yang ditetapkan sebagai milik negara atau harta benda yang
ditegaskan tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh perorangan tidak termasuk
al-mubahat. Penguasan seseorang untuk memiliki harta-benda atau sumber-
sumber kekayaan alam tersebut tergolong penjarahan hak dan kepentingan
masyarakat umum. Sekiranya sumber kekayaan alam yang menyangkut hajat
hidup masyarakat banyak bebas dimiliki secara perorangan dan tidak dikuasai
oleh negara niscaya akan terjadi kesewenangan dalam penguasaan dan
pemilikan sehingga akan menimbulkan kerusakan alam dan malapetaka di
muka bumi ini.
Termasuk pemilikan melalui ihraz al-mubahat adalah penguasaan
terhadap harta ghanimah24 (rampasan perang). Karena dalam pandangan Islam
harta pihak musuh luar termasuk harta al-mubahat.
23 Misalnya mengenai kekayaan tambang, fuqaha Malikiyah berpendapat seluruh jenis
kekayaan tambang tidak dapat dimiliki berdasarkan ihraz al- mubahat, sebagaimana pendapat mereka mengenai tanah yang sepenuhnya dikuasai oleh negara untuk ditasharrufkan untuk al-maslahah al-ammah. Sedang menurut jumhur fuqaha Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah, pemilikan tambang mengikuti pemilikan tanahnya. Lihat Wahbah al-Zuhaily, juz 4, hlm 73
24 Ghanimah, jamaknya ghana'im, adalah harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui
pertempuran dan peperangan. Sedang harta yang ditinggalkan musuh tidak karena peperangan atau pertempuran dinamakan harta fai'.
25
Luqathah pada prinsipnya tidak termasuk harta mubahat. Luqathah (lit,
sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan) atau suatu harta yang ditemukan di
jalan yang mengandung indikasi bahwa harta tersebut sebelumnya telah
dikuasai dan dimiliki orang lain. Jadi pada prinsipnya luqathah tidak termasuk
harta mubahat, kecuali jika harta tersebut belum pernah dikuasai atau dimiliki
oleh pihak lain, seperti menemukan seekor binatang liar di jalan. Jika
diketahui pemiliknya, harta benda tersebut harus segera diserahkan kepada
pemiliknya, karena barang temuan tersebut bersifat amanat.
Jika tidak diketahui pemiliknya, maka laqith (orang yang
menemukan), berdasarkan hadis Nabi, wajib mengumumkan di tempat-tempat
orang banyak berkumpul, kurang lebih selama satu tahun. Mengenai hal ini
Nabi Muhammad bersabda: "Tidak halal memakan barang temuan. Barang
siapa yang menemukan barang di Jalan, hendaklah mengumumkannya satu
tahun (HR. Daru Quthni).25
Dalam Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwasanya
seseorang pernah bertanya kepada Nabi tentang barang temuan, Rasulullah
SAW. menjawab: "Umumkan selama satu tahun".26
Dalam zaman sekarang ini, seruan Nabi tersebut dapat dilakukan
melalui media cetak atau elektronik dalam batas waktu secukupnya. Jika
masih belum diketahui pemiliknya, maka orang yang menemukan tersebut
25 Muhammad ibn Isma'il al-Shan'ani, Subulus Salam, juz.3, Maktabah al-Dahlan, tt,
hlm. 93.
26 Ibid.
26
diperbolehkan mengambil manfaat sebagai imbalan atas perawatan harta
benda tersebut.
Kedua: al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak) Lengkapnya
adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang
lainnya dinamakan tawallud. Dalam hal ini berlaku kaidah "setiap peranakan
atau segala suatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik
pemiliknya".27
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat
produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru) seperti binatang
yang dapat bertelur, beranak, menghasilkan air susu, dan kebun yang
menghasilkan buah dan bunga-bunga. Benda mati yang tidak bersifat
produktif, seperti rumah, perabotan rumah dan uang, tidak berlaku prinsip
tawallud. Keuntungan (laba, sewa, bunga) yang dipungut dari benda-benda
mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud,, karena betapapun
rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi
beranak. Keuntungan tersebut haruslah dipahami sebagai hasil dari usaha-
kerja (tijarah).
Dalam hal ini tijarah seharusnya tidak dipahami dalam pengertian
sempit, terbatas pada usaha kerja yang dilakukan dengan mengerahkan SDM,
baik melalui kerja otot maupun kerja pikir. Tijarah sesungguhnya juga
mencakup usaha-kerja memanfaatkan asset barang (modal) untuk memberikan
pelayanan kepada pihak lain. Tijarah seperti ini lazimnya dinamakan usaha-
27 Musthafa al-Zarqa', op. cit, 252. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya menuliskan sebuah kaidah mengenai hal ini, yaitu, inna malikal asli huwa malikul fara , artinya sesungguhnya pemilik pokok (induk) adalah pemilik cabangnya, Wahbah al-Zuhaily, op. cit, juz. 4, hlm. 77. . : .
27
kerja di sektor jasa. Seperti menyewakan rumah atau perabotan rumah tangga.
Meminjamkan atau mengutangkan uang (modal) seharusnya dihargai sebagai
tijarah (usaha kerja) sehingga pemilik modal berhak memungut keuntungan.
Ketiga: al-Khalafiyah (penggantian).
Al-Khalafiyah adalah "penggantian seseorang atau sesuatu yang baru
menempati posisi pemilikan yang lama".28 Dengan demikian khalifiyah
dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh
orang lain, misalnya pewarisan. Dalam pewarisan seorang ahli waris
menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang
ditinggalkannya (tirkah). Jika seseorang wafat sama sekali tidak mempunyai
harta, atau harta yang ditinggalkannya tidak cukup untuk melunasi hutangnya.
Dalam hal ini menurut Musthafa al-Zarqa', seorang fuqaha Hanafiyah, ahli
warisnya tidak dapat dituntut melunasi hutang tersebut dengan harta-kekayaan
sendiri.
Sebab al-irs (pewarisan) ditetapkan oleh syara' sebagai sebab
penggantian pemilikan, bukan sebagai sebab penggantian piutang.29 Kedua,
penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadhmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta-
benda orang lain, atau pada ta'widh (pengganti kerugian) ketika seseorang
mengenakan atau menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain, Melalui
28Musthafa al-Zarqa' juz l, op. cit, hlm. 249.Wahbah al-Zuhaily, op. cit, juz. 4, hlm. 76. 29 Musthafa al-Zarqa' juz. 1 hlm. 250
28
tadhmin dan ta'widh ini terjadilah penggantian atau peralihan milik dari
pemilik pertama kepada pemilik baru.30
Keempat: al-'Aqd Akad (al-'Aqd) adalah pertalian antara ijab dan qabul
sesuai dengan ketentuan syara' yang menimbulkan pengaruh terhadap obyek
akad. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan paling luas
berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta
kekayaan, dibandingkan dengan tiga pemilikan terdahulu. Dari segi sebab
pemilikan dibedakan antara uqud jabariyah dan tamlik jabariy31
Uqud jabariyah (akad secara paksa) yang dilaksanakan oleh otoritas
pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan
menjual harta untuk melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk memaksa
menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum.
Tamlik jabari (pemilikan secara paksa) dibedakan menjadi dua.
Pertama, adalah pemilikan secara paksa atas mal'uqar (harta tidak bergerak)
yang hendak dijual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fikih mu'amalah
dinamakan 'syufah. Hak ini dimiliki oleh sekutu dan tetangga. Kedua,
pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum. Ketika ada kebutuhan
memperluas bangunan masjid, misalnya, maka Syari'at Islam membolehkan
pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid,
sekalipun pemiliknya tidak berkenan menjualnya. Demikian juga ketika terjadi
30 Wahbah al-Zuhaily, juz. 4. hlm..76. Musthafa al-Zarqa' juz.l. hlm. 251 31 Musthafa al-Zarqa', juz. 1, op. cit, hlm. 246
29
kebutuhan peduasan jalan umum dan lain sebagainya. Tentunya pemilikan
tersebut dilakukan dengan harga yang sepadan, yang berlaku.32
Dari empat sebab yang telah diuraikan di muka seseorang menjadi
pemilik suatu harta. Pemilikan ini merupakan kekhususan atau keistimewaan
(al-ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil tindakan hukum
terhadap miliknya. Namun begaimanapun juga ihtishash tersebut tidak bersifat
mutlak. Terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan umum.
Dalam hal ini Syari'at Islam menghormati dan melindungi kebebasan
atas pemilikan harta. Seorang pemilik harta bebas memanfaatkan dan
mengembangkan hartanya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syari'at Islam, sebab dalam teologis Islam pemilik harta yang sejati
adalah Allah. Di tangan manusia harta merupakan amanat Allah, sehingga
dalam pemanfaatannya tidak boleh melanggar ketentuan syari'at Allah.
Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari
masyarakat. Oleh sebab itu dalam setiap harta yang dimiliki oleh setiap
individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, seperti zakat dan
shadaqah. Selain itu juga terdapat hak publik, sehingga kebebasan seseorang
dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar
hak publik yang berkaitan dengan kepentingan umum.
32 Mustafa al-Zarqa, juz I, op. cit, hlm. 247-248
30
C. Klasifikasi Kepemilikan (Al-Milkiyah)
Milik yang dibahas dalam fiqh Muamalah secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Milk Tam, yaitu suatu pemiiikan yang meliputi benda dan manfaatnya
sekaligus, aninya bentuk benda (zat benda) dan kegunaannya dapat
dikuasai, pemiiikan tarn bisa diperoleh dengan banyak cara, jual, beli
misalnya.
2. Milk Naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki
manfaat (kegunaan)nya saja tanpa memiliki zatnya.
Milik naqish yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda)
disebut milik raqabah, sedangkan milik.naqish yang berupa penguasaan
terhadap kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai, dengan
cara i'arah, wakaf dan washiyah.
Dilihat dari segi mahal (tempat), milik dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Milk al-'Ain atau disebut pula milk al-raqabab, yaitu memiliki semua
benda, baik benda tetap (ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat
dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil
dan motor, pemilikan terhadap benda-benda disebut milk al-‘ain.
2. Milk al-Manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja
dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf dan lainnya.33
33 Hendi Suhendi, op. cit, hlm. 40-41
31
3. Milk al-Dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, seperti sejumlah
uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang
dirusakkan, hutang adalah sesuatu yang wajib dibayar oleh orang
yangberhutang.
Dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki), milik
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Milk al-Mutamayyiz, yang dimaksud milk al-mutamayyiz adalah sesuatu
yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan- batasan, yang
dapat memisahkannya dari yang lain. Maka di sini dapat dimisalkan
memiliki sebuah mobil dan memiliki seekor kerbau sudah jelas batas-
batasnya.
2. Milk al-Syai' atau milk al-musya, yaitu milik yang berpautan dengan
sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, walaupun betapa besar atau
betapa kedlnya kumpulan itu. Memiliki sebagian rumah, seperti daging
domba dan harta-harta yang dikongsikan lainnya, seperti seekor sapi yang
dibeli oleh empat puluh orang, untuk disembelih dan dibagikan
dagingnya.34
D. Beberapa Prinsip Dalam Kepemilikan (Al-Milkiyah)
Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang telah
disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat khusus. Prinsip
tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian jenis
34 Ibid, hlm. 41
32
pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagaimana disampaikan di bawah ini.
Prinsip pertama, bahwa pada prinsipnya milk al-ain (pemilikan atas
benda) sqak awal disertai milk al-manfaat (pemilikan atas manfaat) dan bukan
sebaliknya. Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan
atas manfaat. Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-
tam (pemilikan sempurna). Sebaliknya, setiap pemi-likan atas manfaat tidak
mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya, sebagaimana yang terjadi pada
ijarah (persewaan) atau i'arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan
sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari
pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang. Tidak ada
artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai
manfaat. Inilab prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha' Hanafiyah keiika
menderiniskah al-mal (harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.
Menurut tuqaha' hana- fiyah manfaat merupakan unsur utama milkiyah
(pemilikan).
Prinsip Kedua, bahwa pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu
benda yang belum pernah dimiliki sebeluipnya senantiasa sebagai milk al-tam
(pemilikan sempurna). Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah
pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz al-mubahat dan dari prinsip
tawallud minal-mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlang-
sung sainpai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan
33
pemilikan atas benda dan sekaligus manfaatnya melalui. jual-beli, hibbah, dan
cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tam. kepada pihak lain;
mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain melalui cara-
cara yang dibenarkan syara'. Pemilikan oleh orang lain ini merupakan
pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemi- likan
sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (thraz al-mubahat dan
al-tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab
peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad.
Prinsip ketiga, bahwa pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak
dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu. Milk al-'ain berlaku
sepanjang saat (mu'abbadah) sampai terdapat akad yang mengalihkan
pemilikan kepada pihak lain. Jika tidak muncul suatu akad barn dan tidak
terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang
tidak disertai pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,
sebagaimana yang berlaku pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat
selama batas waktu tertentu. Ketika sampai batas waktu yang telah ditentukan
maka berakhirlah milk al-manfaat.
Batas waktu dalam milk al manfaat ini jika bersumber dari akad
mu'awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir batas
waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian, karena
sesungguhnya ijarah merupakan bai' al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam
batasan waktu tertentu. Apabila milk al-manfaat tersebut bersumber dari akad
34
tabarru seperti pada i'arah (peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu
yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki
pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta
pengembalian benda yang dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuqaha juga memperhatikan batas waktu
pengembalian ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.
Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok
tanam, berkebun atau untuk mendirikan bangunan. Kemudian pemilik
menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum pekerjaan tersebut
diselesaikan. Mengenai hal ini fuqaha menetapkan kebijakan dengan perincian
perkasus, sebagaimana berikut ini:"
(i) Dalam kasus pinjaman untuk pertanian, pemilik tanah tidak berhak
menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian
berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda dengan kasus persewaan
tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi batas waktu
sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos sewa. Dengan
cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak
dirugikan.
(ii) Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan
bangunan, pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia
suka. Ketika itu peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan
bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak
35
terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan
masa panen. Namun jika sejak semula pinjaman tersebut di batasi
dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha
yang dilakukan pihak peminjam selesai dilakukan, maka pemilik benar-
benar telah berbuat curang (gharar) yang sangat merugikan. Dalam
kasus seperti ini pihak peminjam berhak menuntut kerugian yang
terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir waktu, dengan
mempertimbangkan harga jual bangunan atau perkebunan.
Prinsip keempat, bahwa pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat
digugurkah, namun dapat dialihkan atau dipindah. Sekalipun seseorang
bermaksud menggugurkan hak miliknya atas suatu barang, tidak terjadi
pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya. Berdasarkan prinsip ini
Islam melarang saibah (melepaskan), yaitu perbuatan semata menggugurkan
atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara
umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan)
karuniaTuhan.
Prinsip kelima, bahwa pada-prinsipnya mal al-masya' (pemilikan
campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk
al-mufayyaz, kecuali ada halangan (al-mani'). Berdasarkan prinsip ini
dibolehkan menjual bagian dari milik campuran, mewakafkan atau berwasiat
atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan
bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf
dengan tiga jenis akad: rahn (jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan).
36
Halangan bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan rahn adalah sebagai
agunan pelunasan hutang, sehingga marhun (benda agunan) harus diserahkan
kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah
dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan
hibbah harus disertai penyerahan (al-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat
dilakukan pada milk al-mutayyaz. (harta dapat dipisahkan dan yang lainnya).
Adapun halangan tasharruf dengan ijarah, menurut pandangan fuqaha
Hanafiyah adalah jika akad ijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari
harta campuran. Namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu atas
keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
Prinsip keenam, bahwa pada prinsipnya milik campuran atas hutang
bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-
pisahkan. Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi (diserahkan)
maka telah berubah menjadi milk al-'ain bukan lagi sebagai milk al-dain.
Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya,
sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat
menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah orang
yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan
dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di
antara sekutunya. Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri
dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya
37
bahwa telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk
pertanggungan sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah
berubah menjadi piutang mumayyazah. Demikianlah maksud dari "piutang
bersama tidak dapat pisah-pisahkan".