bab i-v forensik tanda hipotermia
DESCRIPTION
forensik dan kematian akibat hipotermiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keadaan dingin yang umum namun dipandang sebelah mata oleh manusia,
yaitu keadaan hipotermia. Hipotermia dapat terjadi tidak hanya pada suhu sekitar 0oC
atau di bawahnya tetapi juga dapat terjadi pada suhu di atas 10oC. Hipotermia
didefinisikan sebagai temperatur tubuh di bawah 35oC. Pada organisme
homeothermic, suhu tubuh normal dipertahankan pada kisaran yang jauh lebih besar
daripada suhu lingkungan, yang mengawali terjadinya tingkat metabolisme dasar
untuk mempertahankan suhu tubuh normal. Ketika suhu tubuh menurun, perpindahan
panas akan diturunkan dengan vasokonstriksi dan piloereksi sebagai mekanisme
kontra-regulasi pertama. Secara bersamaan, produksi panas meningkat dengan
menggigil dan terjadi termogenesis kimiawi (Madea B, Tsokos M and Preub J, 2000).
Faktor risiko yang paling penting dan temuan postmortem karena hipotermia
sering dikaji dalam ilmu forensik. Baik faktor risiko eksternal dan internal biasanya
terjadi ketika paparan terhadap dingin yang dapat menyebabkan kematian. Faktor
eksternal antara lain alkohol dan obat-obatan psikis, juga rmenggunakan pakaian
yang ringan dan tipis dalam kondisi tubuh yang basah. Faktor internal yang penting
adalah kerampingan tubuh, kelelahan fisik dan trauma pada orang muda juga
1
penyakit degenerasi pada usia tua. Gejala yang disebabkan oleh dingin pada tubuh
adalah bervariasi (Hirvonen J,2000).
Diagnosis patologis karena hipotermia mungkin sulit dilakukan, karena suhu
tubuh pada saat kematian biasanya tidak ditemukan saat autopsi. Selain itu, ciri-ciri
morfologi belum dipahami dengan baik. Temuan makro dan mikromorfologi dalam
kasus-kasus kematian akibat hipotermia adalah tanda-tanda diagnostik yang masih
dipertanyakan. Pada tahun 1895 seorang petugas medis berasal dari Rusia, SM
Wischnewski, melaporkan beberapa lesi hemoragik yang dangkal dari mukosa
lambung dalam 91% dari kasus kematian akibat hipotermia. Sehingga penemuan
tersebut yang dikenal sebagai “Wischnewsky spot” dalam mukosa lambung telah
menjadi tanda kematian akibat hipotermia selama bertahun-tahun (Bright F, Winskog
C, and Byard RW 2013).
Al-Quran menegaskan bahwa ‘manusia adalah mahluk yang mulia’. Dengan
kemudian tersebut manusia harus diperlakukan secara terhormat dan adil, baik saat
hidup maupun mati, seperti ditegaskan dalam ayat :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S An-Nisa (4): 58)”.
2
Untuk menyikap dan mengungkapkan kebenaran suatu obyek tertentu,
manusia memerlukan ilmu khusus yang terkait dengan obyek tertentu seperti halnya
pada skripsi ini mengenai penemuan Wischnewski Spot sebagai tanda kematian
karena hipotermia.
1.2 Permasalahan
1. Bagaimanakah terjadinya hipotermia?
2. Bagaimanakah terbentuknya Wischnewski spot?
3. Bagaimanakah peran Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat
dari hipotermia?
4. Bagaimanakah pandangan Islam mengenai Wischnewski spot sebagai
tanda kematian akibat dari hipotermia?
5. Bagaimanakah hukum pengawetan jenazah menggunakan es menurut
ajaran Islam?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat dari
hipotermia ditinjau dari Ilmu Kedokteran dan Islam
1.3.2 Tujuan Khusus
3
1. Mengetahui terjadinya hipotermia.
2. Mengetahui terjadinya Wischnewski spot pada postmortem.
3. Mengetahui peran Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat
dari hipotermia ditinjau dari ilmu kedokteran khususnya forensik.
4. Mengetahui Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat dari
hipotermia menurut pandangan Islam.
5. Mengetahui hukum pengawetan jenazah menggunakan es menurut
ajaran Islam.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai
Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat dari hipotermia ditinjau dari ilmu
Kedokteran dan Islam, juga sebagai pengalaman dalam meningkatkan ketrampilan
dalam menulis, berfikir logis dan aplikatif dalam memecahkan problem ilmiah dan
keIslaman.
1.4.2 Bagi Civitas Akademika Universitas YARSI
Diharapkan skripsi ini dapat menjadi salah satu bahan yang bermanfaat bagi
civitas akademik Universitas YARSI, sehingga pengetahuan mengenai Wischnewski
4
spot sebagai tanda kematian akibat dari hipotermia ditinjau dari ilmu Kedokteran dan
Islam dapat digali secara mendalam.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang
Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat dari hipotermia ditinjau dari sudut
Kedokteran dan Islam sehingga dapat menjadi titik acuan minat masyarakat untuk
melakukan penelitian lebih mendalam dari bidang ilmu forensik.
5
BAB II
WISCHNEWSKI’S SPOT SEBAGAI TANDA KEMATIAN AKIBAT
HIPOTERMIA DITINJAU DARI ILMU KEDOKTERAN
2.1 Hipotermia
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas
untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas karena
pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti kondisi fisik
(Alty J and Ford H, 2007).
2.1.1 Klasifikasi Hipotermia
Berdasarkan derajat suhunya hipotermia dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Hipotermia ringan, suhu < 36,5oC
2) Hipotermia sedang, suhu antara 32-36oC
3) Hipotermia berat, suhu kurang dari 32oC
Beberapa jenis hipotermia, yaitu
a) Accidental hypothermia terjadi ketika suhu tubuh inti menurun hingga <35°C.
b) Primary accidental hypothermia merupakan hasil dari paparan langsung
terhadap udara dingin pada orang yang sebelumnya sehat.
6
c) Secondary accidental hypothermia merupakan komplikasi gangguan sistemik
(seluruh tubuh) yan serius. Kebanyakan terjadinya di musim dingin (salju)
dan iklim dingin.
Hipotermia sering terjadi pada bayi baru lahir. Klasifikasi Hipotermia pada
bayi antara lain :
1 Hipotermi spintas.
Yaitu penurunan suhu tubuh 1-2oC sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi
normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya.
Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama,
ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir
terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).
2. Hipotermi akut.
Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat
pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, inkubator yang cukup
panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang
suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di
awasi secara teliti. Gejala bayi lemah, gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat
serta kedua kaki dingin.
3. Hipotermi sekunder
7
Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang
dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, sindrom gangguan nafas, penyakit
jantung bawaan yang berat, hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan
mengobati penyebab Misalnya: pemberian antibiotika, larutan glukosa, oksigen dan
sebagainya.
4. Cold injury
Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dingin (lebih
dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria, suhu berkisar
sekitar 29,5oC-35oC, tidak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan,
kaki dan muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
2.1.2 Patofisiologi Hipotermia
Suhu tubuh merupakan besaran yang menyatakan ukuran derajat panas atau
dingin suatu benda. Untuk menentukan suhu tidak dapat menggunakan panca indera
(perabaan tangan), maka diperlukan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengukur
suhu yaitu termometer. Termometer dibuat berdasarkan prinsip perubahan volume.
Termometer yang berisi air raksa disebut termometer raksa, dan termometer yang
berisi alkohol disebut termometer alkohol (Alty J and Ford H, 2007).
Suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus. Hipotalmus berusaha agar suhu
tetap hangat (36,5-37,5oC) meskipun lingkungan luar tubuh berubah-ubah.
Hipotalamus mengatur suhu dengan menyeimbangkan produksi panas pada otot dan
8
hati, kemudian menyalurkan panas pada kulit dan paru-paru. Sistem kekebalan tubuh
akan merespon apabila terjadi infeksi dengan melepaskan zat kimia dalam aliran
darah, dan merangsang hipotalamus untuk menaikan suhu tubuh dan menambah
jumlah sel darah putih yang berguna dalam melawan kuman (Alty J and Ford H,
2007).
Pengaturan temperatur/regulasi adalah suatu pengukuran secara komplek dari
suatu proses dari kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan secara
konstan. Manusia secara fisiologis digolongkan dalam makhluk berdarah
panas/homotermal dengan suhu lingkungan yang berubah. Hal ini karena ada
interaksi secara berantai yang aktivitasnya diatur oleh susunan saraf pusat yaitu
hipotalamus (Alty J and Ford H, 2007).
Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI, 1992 :
1) Faktor lingkungan.
2) Syok.
3) Infeksi.
4) Gangguan endokrin metabolik.
5) Kurang gizi
6) Obat-obatan.
7) Aneka cuaca
9
2.2 Wischnewski’s Spot Sebagai Tanda Kematian Akibat Hipotermia
Kematian karena hipotermia didiagnosis pada dasar lesi morfologi yang tidak
spesifik. Telah ditemukan lesi berbentuk bintik-bintik yang disebut dengan
Wischewski’s spot, namun lesi tersebut tidak ditemukan secara berkala dan teratur
(Hotmar P, 2005).
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh di bawah normal. Hipotermia
mengacu pada hilangnya suhu inti dari paparan. Pada kematian akibat hipotermia
sering ditemukan erosi mukosa lambung yang dikenal sebagai "Wischnewski’s spot".
Tanda tersebut merupakan suatu indikasi akibat dari stres fisiologis berat dan/atau
hipotermia. Meskipun bukan merupakan tanda patognomonik pada hipotermia, tanda
tersebut telah dikaitkan erat dengan kematian di mana hipotermia memainkan peran
penting (Hotmar P, 2005).
2.2.1 Wischnewski’ Spot
Diagnosis patologis karena hipotermia mungkin sulit dilakukan, karena suhu
tubuh pada saat kematian biasanya tidak ditemukan saat autopsi. Selain itu, ciri-ciri
morfologi belum dipahami dengan baik. Temuan makro dan mikromorfologi dalam
kasus-kasus kematian akibat hipotermia adalah tanda-tanda diagnostik yang masih
dipertanyakan (Kupkova B, 2007).
10
Gambar 2.1. Wischnewski’s Spot dari mukosa lambung yang terlihat pada kematian akibat hipotermia
(Kupkova B, et al.2007)
Pada tahun 1895 seorang petugas medis yang berasal dari Rusia, SM
Wischnewski, melaporkan beberapa lesi hemoragik yang dangkal dari mukosa
lambung dalam 91% dari kasus kematian akibat hipotermia. Sehingga penemuan
tersebut yang dikenal sebagai “Wischnewsky spot”. Selama bertahun-tahun
Wischnewski spot dalam mukosa lambung telah menjadi tanda kematian akibat
hipotermia (Bright F, Winskog C, and Byard RW 2013).
Gambaran Wischnewski’s spot digambarkan pada membran mukosa perut
pada manusia yang telah meninggal akibat hipotermia, 5-100 perdarahan dapat
muncul. Ukurannya berkisar 0,5-1,0 cm, dengan bentuk bulat hingga oval. Kadang-
kadang berbentuk punctiform yang muncul 1-2 inci secara terpisah. Perdarahan ini
muncul sedikit di atas permukaan mukosa, bisa sangat mudah dihapus dan tidak
meninggalkan bentuk yang mencolok pada mukosa lambung (Bright F, Winskog C,
and Byard RW 2013).
11
Pada hipotermia, erosi yang terjadi biasanya dangkal dan sekitar 0,1-0,5 cm,
dalam baris dengan jarak yang sama, sehingga membentuk pola persegi panjang
dengan sudut ditandai dengan ulserasi (Birchmayer, 2000).
2.2.2 Patofisiologi Wischnewsky’s Spot
Faktor risiko yang paling penting dari temuan postmortem karena hipotermia
sering dikaji dalam ilmu forensik. Baik faktor risiko eksternal dan internal biasanya
terjadi ketika paparan terhadap dingin yang dapat menyebabkan kematian. Faktor
eksternal antara lain alkohol dan obat-obatan psikis, juga rmenggunakan pakaian
yang ringan dan tipis dalam kondisi tubuh yang basah. Faktor internal yang penting
adalah kerampingan tubuh, kelelahan fisik dan trauma pada orang muda juga
penyakit degenerasi pada usia tua. Gejala yang disebabkan oleh suhu yang dingin
pada tubuh cukup bervariasi (Hirvonen J,2000).
Patogenesis terjadinya Wischnewski spot sudah diteliti sejak lama. Telah
terbukti bahwa perdarahan di mukosa lambung yang disebabkan oleh
pembengkakan/edema dari bagian perut dengan rongga berbentuk baji yang diisi
dengan darah dari kapiler yang erosif sehingga membentuk Wischnewsky’s spot.
Selain itu dalam kasus hipotermia dipengaruhi oleh peran asidosis intraseluler dan
disintegrasi plasmolemma sel parietal dari lambung (Takada M, et al. 1991).
Terdapat penelitian lain tentang patogenesis terjadinya lesi Wischnewsky’
spot. Lesi ini ditemukan pada lambung 15 dari 17 kematian akibat hipotermia.
12
Kematian terjadi pada berbagai suhu minimum (-2,4-20,4oC); lesi lambung tidak
selalu mencerminkan suhu yang tereksposur. Namun, semua korban yang terpapar
suhu lebih dari 10oC memiliki lesi yang parah. Pada suhu kurang dari 5oC, lesi
lambung yang parah terlihat pada korban yang lebih muda (berusia 43,2 tahun)
dibandingkan dengan lesi ringan (berusia 61,0 tahun). Temuan ini menunjukkan
bahwa lesi lambung dapat disebabkan oleh paparan suhu tersebut, di mana respon
tubuh terhadap stres dingin yang terus-menerus, atau sebagai akibat dari respon yang
kuat terhadap stres jangka pendek. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan temuan
karakteristik yaitu dilatasi kistik kapiler, karena reperfusi besar setelah hilangnya
fungsional mikrosirkulasi pada mukosa lambung (Takada M, et al. 1991).
Pada suatu penelitian lain, terdapat 14 laporan kasus kematian akibat
hipotermia dan mempelajari patogenesis terjadinya Wiscnewsky spot. Secara
makromorfologi, lesi pada Wischnewsky spot bervariasi dengan diameter 0,1-0,4 cm,
memiliki warna hitaman-kecoklatan dan muncul sebagian tinggi, terutama pada
puncak lipatan lambung. Secara histologi, tidak ada erosi pada mukosa lambung.
Dalam beberapa kasus, perdarahan dalam hubungannya dengan infark mukosa
diamati dalam kelenjar mukosa. Pemeriksaan imunohistokimia yang dilakukan
dengan menggunakan antibodi spesifik terhadap hemoglobin (Dako, Glostrup,
Denmark), hasilnya Wischnewsky spot immunopositif dengan antihemoglobin.
Mengenai patogenesis dan mekanisme patofisiologis yang mendasari
berkontribusi terhadap pengembangan Wischnewsky spot, terdapat hipotesis bahwa
13
terjadinya Wischnewsky’s spot yaitu pendinginan tubuh dalam pengaturan suhu yang
mengakibatkan perdarahan yang terbatas pada kelenjar lambung in vivo. Selanjutnya,
karena autolisis, eritrosit dihancurkan dan hemoglobin dilepaskan. Setelah paparan
dengan asam lambung, hemoglobin terhematinisasi, sehingga terlihat penampilan
kehitaman-coklat khas yang disebut dengan Wischnewsky’s spot tersebut (Tsokos M,
et al. 2006).
14
BAB III
PANDANGAN ISLAM TENTANG WISCHNEWSKI’S SPOT SEBAGAI
TANDA KEMATIAN AKIBAT HIPOTERMIA
3.1 Hukum Pemeriksaan setelah Kematian
Dalam suatu negara diperlukan tegaknya hukum yang seadil-adilnya untuk
digunakan sebagai pengatur umatnya. Dalam hal ini penegak hukum dengan disertai
kesadaran seluruh warga negara tersebut. Al-Quran menegaskan bahwa ‘manusia
adalah mahluk yang mulia’. Dengan kemudian tersebut manusia harus diperlakukan
secara terhormat dan adil, baik saat hidup maupun mati, seperti ditegaskan dalam
ayat:
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S An-Nisa (4): 58).”
Untuk menyikap dan mengungkapkan kebenaran suatu obyek tertentu,
manusia memerlukan ilmu khusus yang terkait dengan obyek tertentu. Mengingat
keterbatasan manusia untuk dapan menguasai semua cabang ilmu pengetahuan, maka
15
diperlukan orang yang ahli di bidang ilmu tertentu untuk dapat menjawab persoalan
yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan penegasan pada ayat Al-Quran :
Artinya : "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahu (Q.S. Al-Nahl (16): 43).”
Peralatan modern terkadang sulit untuk membuktikan sebab kematian dan
identitas seseorang dengan hanya penyelidikan dari bagian tubuh manusia. Kesulitan
tersebut menjadi alasan untuk memperbolehkan pembedahan mayat dengan
memeriksa rahang bawah sebagai obyek penyidikan, karena dianggap sangat
dihajatkan dalam menegakkan hukum dan Jika kepentingan tersebut berkaitan
dengan penegakkan hukum. Pada kaidah hukum Islam yang lain dinyatakan :
Artinya: “Tiada haram (bila) bersama darurat, dan tiada makruh (bila) bersama dengan hajat (Teori Qawa’id Al-fiqhiyah).”
Dan juga berpegang pada kaidah hukum Islam yang terdapat pada :
Artinya :
16
“Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat (yang bersifat) umum maupun hajat khusus (perorangan) (Teori Qawa’id Al-fiqhiyah).”
Untuk alasan mashlahah tersebut di atas maka seharusnya penegak hukum
berkerjasama dengan dokter ahli terkait (ahli forensik, ahli gigi forensik, patologi
forensik, dll) yang dapat dipercaya kejujurannya tersebut mendapatkan visum et
repertum, sehingga dari hasil penyelidikan itu dapat memberi keterangan kepada para
penegak hukum untuk mengetahui identitas seseorang, sekaligus pelaku tindak pidana
tersebut (Mahjudin, 2008 ; Assegaf, 2004).
Salah satu tujuan menjatuhkan sanksi hukum kepada terdakwa adalah dalam
rangka memberikan pelajaran kepada mereka dan menakut-nakuti orang lain yang
masih mempunyai niat seperti terdakwa. Karena itu menjatuhkan sanksi hukum, tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak manusiawi. Bahkan Allah di dalam Al-
Quran memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri,
karena Islam mengutamakan ketentraman orang banyak. Penegak hukum tidak mau
mengusut kejahatan karena yang dianiaya sudah mati lalu takut melakukan
pengusutan dengan melalui pembedahan mayat berarti penegak hukum tersebut telah
memberi jalan kepada penjahat agar tidak takut beraksi (Assegaf, 2004).
Penelitian post mortem mungkin memerlukan tindakan pembedahan dan
pemotongan terhadap mayat, yang dikhawatirkan akan merusak kesucian dan
kehormatan mayat sebagai manusia. Dalam agama Islam, manusia adalah makhluk
yang dimuliakan, seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran (Zuhroni, 2011) :
17
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.s. Al-Isra’ (17:70)).
Ayat di atas menyebutkan bahwa dengan berbagai kesempurnaan yang telah
diberikan oleh Allah SWT, manusia adalah makhluk yang dimuliakan. Oleh karena
itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan kemuliaan tersebut manusia harus
diperlakukan secara terhormat dan adil, baik saat hidup maupun mati (Zuhroni,
2011).
Dengan kesempurnaan akal yang dimiliki manusia, untuk mengungkapkan
kebenaran dan ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia, diperlukan berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Karena adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki
oleh satu orang saja, diperlukan orang yang ahli dalam bidang tertentu untuk
menjawab persoalan yang muncul jika manusia tidak mengetahuinya sebagaimana
firman Allah SWT sebagai berikut (Zuhroni, 2011) :
18
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Nahl (16:43)
Seperti halnya ilmu pengetahuan apapun yang membutuhkan ahli, maka ilmu
kedokteran forensik juga memiliki ahli dalam bidang tersebut. Sebagai upaya
pencarian kebenaran atau ketidakbenaran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,
para ahli kedokteran forensik pun melakukan penelitian post mortem dengan
menggunakan mayat (Assegaf, 2004).
Acuan dalam Islam mengenai perintah untuk dilakukannya penelitian oleh
ahli kedokteran forensik menggunakan mayat antara lain adalahjanji Allah SWT yang
akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di angkasa (ufuk) dan yang ada di
dalam manusia itu sendiri sebagai berikut (Zuhroni, 2011):
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fussilat (41:43))
Pengertian ‘dalam diri manusia’ pada ayat di atas dan menurut para ulama di
dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti. Ayat
ini dapat dijadikan landasan untuk melakukan penelitian secara mendalam untuk
19
mempelajari lebih mendalam tentang struktur tubuh manusia, baik dari luar tubuh
maupun dalam (Zuhroni, 2011).
Ajaran normatif Islam menekankan perlunya mempelajari ilmu pengetahuan
termasuk ilmu kedokteran yang tujuannya untuk mencapai kemaslahatan hidup
manusia. Penelitian post mortem dengan menggunakan mayat akan memberikan
manfaat untuk masyarakat dalam hal mengenali penyakit, penyebab dan
penanganannya dengan meneliti penyakit yang ada pada mayat tersebut, yang sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut (Rispler-Chaim, 1993; Burton et al., 2012):
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Yunus (10:57)
Dalam dunia kedokteran forensik terutama dewasa ini, para dokter melakukan
penelitian post mortem untuk mengetahui suatu penyakit yang belum diketahui
dengan sempurna selama penderita sakit. Ketika penderita sakit tersebut meninggal,
untuk tujuan penelitian kedokteran dipandang perlu melakukan penyelidikan yang
intensif terhadap mayatnya guna memastikan jenis penyakit tersebut, penyebabnya
dan cara mengatasinya sehingga dapat membantu untuk pencegahan dan pengobatan
dalam masyarakat di kemudian hari (Zuhroni, 2011 ; Assegaf, 2004).
20
3.2 Hukum Pengawetan Jenazah Menggunakan Es
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami
perkembangannya di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang
kesehatan yaitu pengawetan mayat. Suatu tindakan medis pemberian bahan kimia
tertentu guna menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar mayat supaya
tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup dan sampai sekarang pengawetan mayat
masih sering dilakukan.
Dalam dunia kedokteran sangat penting adanya pengawetan mayat sebagai
penelitian untuk medalami ilmu anatomi (ilmu urai tubuh manusia) karena jaringan-
jaringan sel di dalam tubuh manusia berbeda dengan hewan oleh karena itu sangat
perlu melakukan penelitian terhadap manusia. Tentu penelitian tidak akan dilakukan
pada yang masih hidup melaikan manusia yang sudah mati (mayat), yang telah
diawetkan untuk memudahkan penelitian.
Karena manusia tidak mungkin mencapai kemajuan ilmu pengatahuan dan
teknologi yang mantap kecuali dengan penelitian, termasuk penelitian pengawetan
mayat.
Namun, agama Islam memerintah agar menghormati mayat, tazhiz dengan
penuh kasih sayang, dimandikan, dikafani, disembayangkan dan dikuburkan, serta
diharamkan penganiayaan terhadapnya.
Bagaimanapun juga pengawetan mayat untuk penelitian ilmiah adalah hal
yang belum jelas kedudukan hukumnya untuk dikembangkan kaum muslimin
21
mengigat perkembangan ilmu pengetahuan di abad yang serba canggih dan modern
sekarang ini.
Pengawetan adalah segala perlakuan yang dilakukan terhadap sesuatu agar
sesuatu itu menjadi tahan lama dan tidak mudah busuk atau rusak.
Islam menganjurkan umatnya untuk menghargai sesama manusia, karena
Allah sendiri telah memuliakannya, sebagai mana firman Nya yang ada dalam Al-
Quran yang berbunyi sebagai berikut. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam dan telah kami telah menempatkan mereka didarat dan dilaut dan kami berikan kepada mereka rizki yang baik-baik, kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk kelebihan yang sempurna”(Al-Isra {17}:70).
Dalam keadaan masih hidup Allah telah memuliakannya hingga setelah
meninggalpun harus dihormati dan dihargainya. Oleh karena itu merusak mayat sama
juga merusak manusia yang masih hidup. Hal itu dinyatakan oleh Rasulullah SAW,
melalui sebuah hadistnya dari Aisyah, beliau berkata sebagai berikut: “Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: memecahkan tulang (merusak) mayat itu dosanya sama
dengan merusakan (memecahkan)nya diwaktu hidup”. (H.R Muslim)
Kedua nash di atas menunjukkan bahwa bertapa Islam memuliakan manusia,
menghargai dan menghormatinya, walau saat sudah meninggal (jadi mayat) islam 22
tetap menghormatinya. Itulah kenap Islam memerintahkan umatnya untuk
menyelesaikan mayat secara ma’ruf dan tidak diabaikan, dan diharamkan merusak
atau menganiaya mayat karena sama halnya merusak atau menganiaya orang yang
masih hidup. Penganiayaan adalah hal yang sangat dibenci dalam islam, sehingga
nabi secara tegas melarangnya lewat sebuah hadist yang berbunyi “tidak boleh
menganiaya dan tidak boleh dianiaya” (H.R. Imam Malik).
Penganiayaan dalam Islam merupakan hal yang tidak boleh dilakukan dan
tidak boleh terjadi, baik terhadap orang yang masih hidup maupun sudah meninggal
(jadi mayat). Oleh karena itu menguburkan mayat wajib hukumnya oleh manusia
yang masih hidup dan orang yang disekitarnya. Apabila mayat itu tidak dikuburkan
maka haram hukumnya dan berdosa pada manusia yang masih hidup, kecuali ada
alasan tertentu yang membolehkan menurut kaedah-kaedah hukum Islam.
Pada dasarnya pengawetan mayat itu tidak dibolehkan karena bertentangan
dengan hukum Islam yang ada, baik dari Al quran maupun Hadist Nabi SAW, tapi
karena ada suatu kepentingan yang harus dilakukan dan bermanfaat bagi umat
manusia, atau mungkin karena darurat yang tidak boleh dilakukan maka hal itu
dibolehkan syara’. Sebab hukum Islam sangat luas dan memudahkan seperti dalam
firman Allah SWT :
Artinya :“..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”(Al-Baqarah{2}:185).
23
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa hukum Islam itu mudah dan luas,
islam tidak memerintahkan umatnya melakukan suatu kewajiban kecuali menurut
kemampuannya yang ada pada dirinya.
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Al-Baqarah{2}:173).
Ada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah tidak memberikan beban kecuali
menurut kemampuan yang ada pada diri kita sendiri, bahkan jika sudah darurat, yang
harampun boleh dilakukan dan hadist riwayat Imam Malik yang berbunyi sebagai
berikut “karena kemudharatan itu dapat membolehkan yang haram”.
Berarti dapat disimpulkan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau karena ada
suatu kepentingan yang tidak boleh tidak dilakukan terhadap mayat tersebut maka
pengawetan mayat seperti dengan menggunakan es itu dibolehkan, sebab tanpa
diawetkan mayat akan membusuk sehingga tidak bisa digunakan untuk penelitian.
Ilmu kesehatan sangat membutuhkan dan memerlukan untuk ilmu urai tubuh dan
24
praktek-praktek kesehatan lainnya yang tidak mungkin dilakukan pada manusia yang
masih hidup. Salah satu jalan yang mudah pada saat sekarang yang modern dan serba
canggih dan dianggap sangat mutakhir adalah melakukan pengawetan mayat terutama
dengan menggunakan es, lalu digunakan untuk keperluan yang dimaksud.
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“Memecahkan tulang (merusak) mayat itu dosanya itu sama dengan merusak (memecahkan)nya di waktu hidup”. (H.R. Muslim)
Sabda Rasulullah “ tidak boleh menganiaya dan tidak boleh juga di aniaya” (H.R. Imam Malik).
Pendapat Ulama Tentang Pengawetan Jenazah
Dr Muslim Ibrahim, MA Berpendapat: “ Sebenarnya pengawetan
mayat itu tidak dibenarkan oleh syariat Islam karena bertentangan
dengan zhahir nash dan bertentangan pula dengan ketentuan-
ketentuan syariat, yaitu di jadikan untuk di selesikannya dengan cara
yang patut. Tetapi tujuan pengawetan mayat untuk penelitian ilmiyah
maka syara’membolehkannya, ini dipandang dari segi masalah
mursalah, serta mengingat pentingnya ilmu pengetahuan bagi
manusia.
Dr Al Yassa’ abu bakar, MA Mengatakan bahwa pengawetan mayat
yang tujuannya untuk penelitian ilmiyah, Islam membolehkannya
25
karena keperluan ilmu dan kemajuan manusia lebih utama dari pada
mayat itu dikuburkan.
Drs. Muhammad Ali Muhammad, berkata “pengawetan mayat yang
tujuannya untuk penelitian ilmiyah ialah dibolehkan oleh syariat
Islam karena demi kepentingan umum, kemaslahatan masyarakat,
yang sangat membutuhkan kemajuan bagi manusia itu sendiri sebagai
khalifah dimuka bumi.
Kebolehan dalam pengawetan mayat terutama menggunakan es dapat dilihat
melalui ta’lil (‘illat) dari nash-nash yang ada hubungannya dengan masalah ini baik
Al-Quran maupun hadist-hadist Nabi SAW. Tidak ada satupun nash yang
menyebutkan secara jelas untuk membolehkan, begitu pula melarangnya. Namun
dalam pendapat para ulama tegas memperbolehkan dengan alasan tertentu akan tetapi
tetap berlandaskan Al-Quran dan Hadist. Karena hukum Islam disusun dan dibentuk
atas dasar kebijaksanaan dan kepentingan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Namun kalau dibandingkan antara kemaslahatan dengan kemafsadatan
(kerugian) khususnya mengenai masalah pengawetan mayat ini, maka kemaslahatan
lebih besar, karena faedah manfaatnya lebih banyak, sekiranya ada suatu mayat yang
diawetkan dan tidak dikebumikan, kerugiannya hanya tidak menyampaikan
kebaikannya, tetapi manfaatnya memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia
26
sehingga mereka menjadi pandai. Dan bisa membantu manusia lainnya saat mereka
membutuhkan bantuan.
Hukum Islam tentang pengawetan mayat terutama menggunakan es guna
penelitian ilmiah diperbolehkan karena menimbang dari segi kemaslahatan
masyarakat, yang sangat membutuhkan kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
pengawetan mayat guna penelitian ilmiah sangat di butuhkan. Jadi Islam
membolehkan jika itu berguna bagi masyarakat banyak.
27
BAB IV
KAITAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN DAN ISLAM TENTANG
WISCHNEWSKI’S SPOT SEBAGAI TANDA KEMATIAN AKIBAT
HIPOTERMIA
Menurut pandangan kedokteran pemeriksaan pada mayat atau disebut
pemeriksaan post mortem adalah salah satu upaya untuk menentukan penyebab
kematian dari seseorang tersebut. Pemeriksaan tersebut juga dilakukan atas perintah
penyidik ataupun karena permintaan keluarga korban yang ingin mengetahui sebab
kematian pasien. Pemeriksaan post mortem bukanlah suatu keharusan, namun lebih
mengutamakan sifat kepentingan dalam suatu perkara atau kasus. Dalam hal ini
adalah pemeriksaan postmortem pada kasus hipotermia dengan ditemukannya
Wishnewski’s spot.
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh di bawah normal. Hipotermia
mengacu pada hilangnya suhu inti dari paparan. Pada kematian akibat hipotermia
sering ditemukan erosi mukosa lambung yang dikenal sebagai "Wischnewski’s spot".
Tanda tersebut merupakan suatu indikasi akibat dari stres fisiologis berat dan/atau
hipotermia. Meskipun bukan merupakan tanda patognomonik pada hipotermia, tanda
tersebut telah dikaitkan erat dengan kematian di mana hipotermia memainkan peran
penting.
28
Menurut pandangan Islam, ajaran normatif Islam menekankan perlunya
mempelajari ilmu pengetahuan termasuk ilmu kedokteran yang tujuannya untuk
mencapai kemaslahatan hidup manusia. Penelitian post mortem dengan menggunakan
mayat akan memberikan manfaat untuk masyarakat dalam hal mengenali penyakit,
penyebab dan penanganannya dengan meneliti penyakit yang ada pada mayat tersebut
khususnya dalam hal ini adalah kasus hipotermia.
Kedokteran dan Islam sejalan bahwa dengan ditemukannya penelitian
Wischnewski’s spot sebagai tanda kematian akibat hipotermia merupakan suatu
pemeriksaan yang bermanfaat untuk dapat menentukan penyebab kematian
seseorang.
29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1) Hipotermia terjadi akibat penurunan suhu karena tubuh tidak mampu
memproduksi panas untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan
cepat. Kehilangan panas karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan
pengaruh dari dalam seperti kondisi fisik.
2) Terjadinya Wischnewsky’s spot yaitu pendinginan tubuh dalam pengaturan
suhu mengakibatkan perdarahan yang terbatas pada kelenjar lambung in vivo
Selanjutnya, karena autolisis, eritrosit dihancurkan dan hemoglobin
dilepaskan. Setelah paparan dengan asam lambung, hemoglobin
terhematinisasi, sehingga terlihat penampilan kehitaman-coklat khas yang
disebut dengan Wischnewsky’s spot tersebut.
3) Peran Wiscnewski spot sebagai tanda kematian akibat dari hipotermia yaitu
meskipun bukan merupakan tanda patognomonik pada hipotermia, tanda
tersebut telah dikaitkan erat sejak lama dengan kematian di mana hipotermia
memainkan peran penting.
4) Pandangan Islam mengenai Wischnewski spot sebagai tanda kematian akibat
dari hipotermia bahwa penelitian Wischnewski’s spot sebagai tanda kematian
30
akibat hipotermia merupakan suatu pemeriksaan yang bermanfaat untuk dapat
menentukan penyebab kematian seseorang.
5) Hukum Islam tentang pengawetan mayat terutama menggunakan es guna
penelitian ilmiah diperbolehkan karena menimbang dari segi kemaslahatan
masyarakat, yang sangat membutuhkan kemajuan ilmu pengetahuan.
5.2 Saran
1) Peneliti agar dapat melakukan penelitian lain tentang postmortem terutama
pakibat hipotermia.
2) Sebaiknya pemerintah melakukan pengawetan mayat terutama menggunakan
es guna penelitian ilmiah tetap dilakukan demi kemajuan ilmu pengetahuan
ilmu urai tubuh (anatomi) karena Islam juga menganjurkan umatnya untuk
menuntut ilmu, akan tetapi menimbang dalam Islam mengharuskan kita
menghormati mayat dan tidak menganiayanya maka pengawetan mayat guna
penelitian Ilmah harus dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai hukum
Islam atau syariat Islam yang ada.
31
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur´an Terjemahnya (2004). Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta.
Assegaf, Toha. Ketika Nabi Sakit. 2004. Jakarta : Sabilli Publishing
Birchmeyer MS, Mitchell EK (2000). Wischnewski revisited The diagnostic value of gastric mucosal ulcers in hypothermic deaths.
Bright F, Winskog C, and Byard RW (2013). Wischnewski spots and hypothermia: sensitive, specific, or serendipitous? Forensic Sci Med Pathol. p.9:88–90.
Hirvonen J (2000). Some Aspects on Death In The Cold And The Concomitant Frostbites. Int J Circumpolar Health . p.59(2):131-6.
Hottmar P, Hejna P (2005). Death due to fatal hypothermia in victims dissected in Department of Forensic Medicine in Hradec Králové between 1992-2003. Soud Lek . ;50(3):38-41.
Idries AM, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta, 2011.
Jackson, Andrew R.W. et al. 2008. Forensic Science Second Edition. England: Pearson Education.
Kupkova, B, et al (2007). Involvement due to severe stomach hypothermia in avalanche victims. Folia Gastroenterol Hepatol. P. 5; 2 .
Madea B, Tsokos M and Preub J (2000). Death due to Hypothermia. Institute of Forensic Medicine.
Preuss J, Thierauf A, Dettmeyer R, Madea B (2007). Wischnewski’s Spot In An Ectopic Stomach. Forensic Sci Int. p 169(2-3):220-2.
Sampurna, Budi. 2003. Kedokteran Forensik, Ilmu dan Profesi. Di: http://staff.ui.ac.id/internal/130810266/material/INTRODUKSIKEDOKTERANFORENSIK.pdf
Takada M, Kusano I, Yamamoto H, Shiraishi T, Yatani R, Haba K (1991). Wischnevsky's gastric lesions in accidental hypothermia. Am J Forensic Med Pathol. 12(4):300-5.
32
Tsokos M, Rothschild MA, Sperhake JP (2006). Histological and immunohistochemical study of Wischnewsky spots in fatal hypothermia. Am J Forensic Med Pathol 2006; 27(1):70-4.
Tumanov ÉV, Romanovich KN, Kolkutin VV (2012). About some features of formation of "spots of Vishnevsky" in general hypothermia. Voenno-medit ͡ sinskiĭ zhurnal 333:5 pg 19-23
Uddin J (2002) Islam Untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Departemen Agama RI. Jakarta.
Zuhroni (2010). Pandangan Islam Terhadap Kedokteran dan Kesehatan.Depatemen Agama. Jakarta.
33