bab i strategi elit lokal membangun wacana...

31
1 BAB I STRATEGI ELIT LOKAL MEMBANGUN WACANA PEMEKARAN (Studi Kasus Wacana Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya) A. Latar Belakang Desentralisasi, Otonomi dan Pemekaran Wilayah merupakan jalan yang telah ditempuh Indonesia untuk mewujudkan demokrasi pasca bangkrutnya kekuatan sentralistik Orde Baru. Proses semacam ini merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi warga daerah. Tentu kondisi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kondisi bangsa Indonesia baik secara sosial, ekonomi dan politik. Secara politik misalkan, keberadaan desentralisasi telah membawa warga daerah kepada proses demokrasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Saat ini lewat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) warga daerah bisa ikut berpartisipasi dan menentukan sendiri siapa saja yang layak memimpin daerahnya. Secara ekonomi, banyaknya Transfer dana pusat (APBN) dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ke daerah harusnya semakin meningkatkan ekonomi daerah. Tetapi sampai saat ini masih banyak Daerah Otonom Baru (DOB) yang belum bisa memaksimalkan dana transfer dari pusat ini untuk kesejahteraan daerahnya. Tujuan Pemekaran daerah secara normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah -yang diatur lebih lanjut lewat Peraturan pemerintah dengan PP Nomor 78 Tahun 2007- pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hasil evaluasi dan monitoring pada tahun 2012 Daerah Otonom Baru (DOB) yang dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri menunjukan ternyata, 65% daerah

Upload: phungnhi

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

STRATEGI ELIT LOKAL MEMBANGUN WACANA PEMEKARAN (Studi Kasus Wacana Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya)

A. Latar Belakang

Desentralisasi, Otonomi dan Pemekaran Wilayah merupakan jalan yang telah

ditempuh Indonesia untuk mewujudkan demokrasi pasca bangkrutnya kekuatan

sentralistik Orde Baru. Proses semacam ini merupakan kecenderungan yang tak

terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi

dan pemberian otonomi bagi warga daerah.

Tentu kondisi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kondisi bangsa

Indonesia baik secara sosial, ekonomi dan politik. Secara politik misalkan,

keberadaan desentralisasi telah membawa warga daerah kepada proses demokrasi

yang lebih baik jika dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Saat ini lewat

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) warga daerah bisa ikut berpartisipasi

dan menentukan sendiri siapa saja yang layak memimpin daerahnya. Secara

ekonomi, banyaknya Transfer dana pusat (APBN) dalam bentuk Dana Alokasi Umum

dan Dana Alokasi Khusus ke daerah harusnya semakin meningkatkan ekonomi

daerah. Tetapi sampai saat ini masih banyak Daerah Otonom Baru (DOB) yang belum

bisa memaksimalkan dana transfer dari pusat ini untuk kesejahteraan daerahnya.

Tujuan Pemekaran daerah secara normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah -yang diatur lebih lanjut lewat Peraturan

pemerintah dengan PP Nomor 78 Tahun 2007- pembentukan daerah pada dasarnya

bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat.

Hasil evaluasi dan monitoring pada tahun 2012 Daerah Otonom Baru (DOB) yang

dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri menunjukan ternyata, 65% daerah

2

tersebut gagal meningkatkan pelayanan pada masyarakat.1 Data ini menunjukan

secara empirik bahwa Pemekaran wilayah tidak secara otomatis memberikan

kesejahteraan bagi warga daerah seperti yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan dan Desentralisasi.

Hasil riset dari Demos2 memperlihatkan ada penyalahgunaan, yaitu desentralisasi

dan pemilihan umum telah memungkinkan sebagianelit Indonesia untuk melakukan

mobilisasi dukungan rakyat. Akantetapi tentu saja para elit seringkali memobilisasi

dukungan itu denganmemanfaatkan jaringan klientilistik mereka, menggunakan

kontrolmereka atas sumberdaya serta membangun aliansi dengan kelompok bisnis

dan pemimpin-pemimpin komunal. Kepentingan kelompok elit semacam itu dalam

pemilihan umum menjadi basis terpenting d dalam demokrasi yang berjalan saat ini

dan sekaligus menjadi kelemahannya.

Tanpa dukungan elit, demokrasi Indonesia tak akan dapat bertahan.Namun dengan

dukungan elit yang berkuasa, demokrasi Indonesia akan menjadi domain bagi para

politisi busuk yang memperkaya diri melalui korupsi.3 Memang tidak bisa dipungkiri

bahwa dalam proses pemekaran elitlah yang paling dominan karena elit memiliki

banyak sumber daya untuk meloloskan tujuan tersebut.

Cerita sukses pemekaran cenderung kurang bila dibandingkan dengan realita yang

terjadi saat ini. Beberapa contoh permasalahan tersebut, misalnya terjadi

peningkatan tindak kekerasan, menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara

1http://www.depdagri.go.id/news/2012/04/23/peluang-pemekaran-daerah-masih-terbuka diakses

tanggal 6 -10- 2012. 2Törnquist Olle.Demokrasi diatas pasir : Kemajuan dan Kemunduran Demokrasasi diIndonesia,

diterjemahkan oleh Debbie Prabawati DKK(Yogyakarta : PCD Prees dan Demos2009) ha.l 22. 3Ibid, hal 22

3

drastis, menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk, perebutan wilayah dan

masalah ibukota pemekaran dan perebutan aset.4

Fenomena Pemekaran telah menimbulkan sikap pro dan kontra diberbagai kalangan

politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan diantara para pakar. Mereka

memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah

yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung

sikap masing-masing pihak. Pemekaran telah membuka peluang terjadinya

bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh

keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah

sendiri.5

Lebih lanjut dikatakan bahwa, karena adanya tuntutan untuk menunjukkan

kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai

pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menyebabkan

terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula

tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit didaerah yang

sekedar menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai partai politik

yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan

aspirasinya mendorong terjadinya pemekaran.

Melihat kondisi Otonomi Daerah diIndonesia saat ini yang memiliki begitu banyak

kekurangan masih ada elit yang masih berupaya untuk memekarkan wilayahnya

dengan alasan normatif yaitu “Demi Kesejahteraan Rakyat”. Pada tahun 2012 saja

usulan pemekaran wilayah baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota berjumah 19

usulan. Walaupun sudah berjalan kurang lebih 13 tahun (sejak tahun 1999)

4 Tri Tarnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar 2009) hlm. 16 5Fitria Fitriani, Bert Hofman, Kai Kaiser “Unity in Diversity? The Creation of NoewLocal Governments

in A Decentralising Indonesia” dalam jurnal Bulletin of Indonesia Economic Studies Vol.41 No. 1, 2005, hlm.76

4

pemekaran wilayah masih menjadi perdebatan politik yang masih menghangat baik

ditingkat nasional terlebih ditingkat lokal.

Studi-studi sebelumnya mengungkapkan wacana pemekaran muncul kepermukaan

yang juga menjadi alasan utama mengapa sebuah daerah ingin untuk melakukan

pemekaran daerah, yaitu: 6

1. Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah

Menurut data IRDA (Indonesia Rapid Desentralization Appriasal), kebutuhan untuk

pemerataan ekonomi menjadi alasan paling poluler digunakan untuk memekarkan

suatu daerah. Misalnya kasus pemekaran Minahasa Utara diSulawesi Utara.

2. Kondisi geografis yang terlalu luas.

Banyak kasus diIndonesia, proses Delivery pelayanan publik tidak pernah terlaksana

dengan optimal karena infrastruktur yang tidak memadai. Akibatnya luas wilayah

yang sangat luas membuat pengelolaan pemerintahan dan pelayanan publik tidak

efektif seperti kasus pemekaran kabupaten Bone Bolango diProvinsi Gorontalo.

3. Perbedaan basis identitas

Alasan perbedaan identitas (etnis, asal muasal keturunan) juga muncul menjadi

salah satu alasan pemekaran. Tuntutan pemekaran muncul karena biasanya

masyarakat yang berdomisili didaerah pemekaran merasa sebagai komunitas

budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas induk. Ini terlihat dalam kasus

pembentukan Kabupaten Solok Selatan diSumatera Barat, Kabupaten Wakatobi

diSulawesi Tenggara dan Pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat diSumatera Utara.

6 Pratikno dan Hasrul Hanif, “Kerangka Pikir Kebeijakan Pemekaran”, dalam Perjuangan Menuju

Puncak: Kajian Akademik Rancana pembentukan Kabupaten Puncak Pemekaran Kabupaten Puncak Jaya Provinsi Papua (Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada)hlm. 4-5

5

4. Kegagalan Pengelolaan Konflik Komunal.

Kekacauan politik yang tidak bisa diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan

adanya pemisahan daerah seperti pada kasus usulan pembentukan Sumbawa Barat

diNusa Tenggara Barat dan Wacana pembentukan Provinsi Sulawesi Timur dan

sebagainya.

Beberapa referensi juga menunjukan bahwa pemekaran sering juga berhubungan

dengan kepentingan elit. Beberapa penyebab dari kuatnya hasrat elit dan warga

daerah untuk memekaran wilayahnya, Fitria Fitriani, Bert Hofman dan Kai Kaiser

menyimpulkan ada empat faktor utama pendorong dari pemekaran, yaitu:7

1. Motif untuk efektifitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah

daerahyang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan

pembangunan;

2. Kecenderungan homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat

pendapatan dan lain-lain);

3. Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang-undang (disediakanya DAU,

DAK, bagi hasil sumber daya alam serta sumber-sumber pendapatan asli daerah-

PAD); dan

4. Motif Pemburu Rente (buereaucratic and political rent-seeking).

Dampak negatif dari jalan desentralisasi diantaranya adalah terbukanya konflik (baik

Horisontal dan Vertikal) antara elit yang berkepentingan dengan pemekaran

tersebut serta terciptanya ruang kekuasaan baru didaerah yang disalahgunakan oleh

para elit lokal. Sudah banyak contoh bagaimana Kepala Daerah menjadi ‘Raja’

didaerah. Mereka menciptakan program-program baik secara langsung dan tidak

langsung menguntungkan elit lokal itu sendiri ataupun kelompoknya.

7Fitria Fitriani, Bert Hofman, Kai Kaiser “Unity in Diversity? The Creation of NoewLocal Governments

in A Decentralising Indonesia” dalam jurnal Bulletin of Indonesia Economic Studies Vol.41 No. 1, 2005, hlm.57.59

6

Pemetaan makna Politik pemekaran Daerah diIndonesia pasca orde baru yang

dilakukan oleh Syafarudin tahun 2009 menyebutkan, Pemekaran daerah dapat

dikategorikan dalam empat kuadran besar, yaitu:8Pertama, Pemekaran daerah

bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan pusat. Misalkan,

pemekaran daerah dipandang sebagai politik integritas, politik nasionalime dll.

Kedua, pemekaran daerah bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan

daerah. Misalkan pemekaran daerah dipandang sebagai politik percepatan

pembangunan, mengatasi rentang kendali, mensejahterakan masyarakat dll.

Ketiga, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau

keinginan daerah, semisal pemekaran daerah dipandang sebagai arena kontestasi

elit lokal, politik indentitas lokal, politik etnis, politik uang dll.

Kempat, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau

keinginan pusat. Misalkan pemekaran daerah dipandang sebagai politik parpol pusat

untuk memenangkan pemilu, politik uang dan lain sebagainya. Kemudian dalam

hasil riset ini makna pemekaran daerah secara garis besar adalah (a) politik

percepatan pembangunan; (b) politik identitas etnis/agama; dan (c) politik

kontestasi elite lokal. Sedangkan makna politik yang minor mengenai pemekaran

adalah (a) politik integrasi; (b) politik uang; dan (c) politik partai memenangkan

pemilu.

Politik percepatan pembangunan erat kaitanya dengan upaya pemerintah Pusat dan

Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat pemekaran. Dengan

dimekarkan suatu wilayah diharapkan bisa membuka peluang masyarakat untuk

meningkatkan taraf hidupnya. Politik model ini mengacu pada Peraturan Pemerintah

Nomor 129 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2007. Upaya

8 Syafarudin, “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset

disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009)

7

pemekaran daerah yang bersifat normatif ini terjadi dibeberapa daerah seperti

kasus-kasus pemekaran diProvinsi Kalimantan Barat.9

Politik indentitas etnis dan agama juga menjadikan pemekaran marak terjadi di

Indonesia seperti kasus pemekaran Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat yang merasa

identitas meraka berbeda (to sallang, orang Islam dan to sarani orang kristen)

sehingga hasrat untuk berpisah dengan kabupaten induk semakin kuat. Begitu juga

dengan perbedaan basis identitas etnis seringkali menjadialasan untuk memekarkan

diri, seperti kasus pemekaran Kabupaten Wakatobi, Buton Utara, Buton, Manggarai

Barat dan lain-lain.

Elit yang menjadi motor penggerak utama pemekaran seringkali juga menjadikan

pemekaran sebagai arena kontestasi dan perebutan kekuasaan. Dengan adanya

pemekaran, ruang kekuasaan baru akan terbuka. Semisal, jika ada wilayah mereka

dimekaran secara otomatis akan ada posisi-posisi Politik dan Birokrasi strategis

(Kepala Daerah Baru, Anggota DPRD yang baru sampai dengan Kepala Dinas yang

baru). Untuk contoh kasus seperti ini terjadi secara umum diIndonesia secara.10 Hal

ini mengindikasikan bahwa elitlah yang paling mungkin dan paling berkentingan

dalam Pemekaran daerah.

Salah satu daerah yang mewacanakan pemekaran wilayah dan ingin berpisah

dengan dari Provinsi induknya (Sulawesi Utara) adalah Kab. Bolaang Mongondow,

Kab. Bolaang Mongondow Utara, Kota Kotamobagu, Kab. Bolaang Mongondow

Selatan dan Kab. Bolaang Mongondow Timur. Ada berbagai hal yang mungkin bisa

menjadikan elit Mongondow semakin gencar dalam mewacanakan pemekaran

daerah, diantaranya adalah menguatnya isu Identitas dan Agama diSulawesi Utara

9 Syafarudin “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset

disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009) 10

Riwanto Tirto Sudarmo dalam Syafarudin “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009)

8

saat ini, dimana warga Boalaang Mongondow yang sebagian besar beragama Islam

menjadi kelas minoritas dalam peta kekuasaan Sulawesi Utara.11 Sebelumnya

Gorontalo yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan presentasi 90%,

menjadi penyeimbang bagi kekuatan kristen dibidang politik, birokrasi dan politik.

sehingga ketika Gorontalo talah menjadi Provinsi pada tahun 2002 otomatis Islam

menjadi kekuatan minor yang direpresentasikan oleh mayoritas penduduk Bolaang

Mongondow.12

Elit lokal bisa dikatakan sukses memekarkan Bolmong menjadi beberapa kabupaten

dan kota dalam waktu yang singkat. Pada tahun 2007 Elit menjadikan dua daerah

baru yaitu Kota Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Utara. Selanjutnya pada

tahun 2008 Elit Bolmong kembali ‘sukses’ dengan lahirnya dua otonom baru yaitu

Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).

Untuk kasus pemekaran Kabupaten dan kota ini, elit menggunakan wacana yang

berbeda dengan rencana pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya dimana

basis identitas yang homogen tidak menjadi wacana utama tetapi lebih kepada

wacana pelayan publik, mengejar DAU dan DAK, bisa menciptakan lapangan

pekerjaan formal dan wacana kesejahteraan.

Wacana pembentukan daerah otonom baru berupa Provinsi Bolaang Mongondow

Raya nampaknya mendapatkan dukungan yang cukup besar dari lapisan masyarakat

yang ada diBMR. Masyarakat sangat antusias dengan wacana pemekaran ini. Hal

tersebut dapat dilihat dari banyaknya warga BMR memperbincangakan serta

memperdebatkan pembentukan Provinsi BMR dibeberapa kesempatan seperti,

dialog terbuka sampai dengan diskusi nonformal dan dibeberapa media online

sampai dengan koran lokal. Isi dari dialog-dialog tersebut menyatakan dukungan

terhadap pembentukan Provinsi BMR.

11

Data pra-tesis Agustus-September 2013 12

Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal diIndonesia diMasa Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Hal 250.

9

Kebanyakan wacana yang beredar ditengah-tengah masyarakat BMR adalah wacana

yang menghadirkan sisi positif dari sebuah pemekaran, seperti dengan adanya

pemekaran maka akses pelayanan publik akan semakin baik dan wacana akan

bertambahnya dana dari pusat ketika Provinsi BMR terbentuk. Sementara itu sisi

negatif dari pemekaran kurang mendapatkan tempat dan ruang dalam perdebatan

warga BMR, seperti wacana ketika ada daerah baru maka akan terjadi

penyalahgunaan kekuasaan, konflik antar elit, korupsi dan lain sebagainya.

Selama ini penelitian tentang pemekaran daerah masih berputar pada motif

pemekaran, konflik dan kontestasi elit lokal, studi kelayakan pemekaran, evaluasi

pemekaran daerah, pro dan kontra pemekaran, politik identitas dan lain sebagainya.

Sementara untuk studi tentang bagimana wacana pemekaran bekerja masih relatif

kurang sehingga penting untuk penulis mengkaji dan mendalami wacana pemekaran

untuk menambah warna dan khasanah studi-studi tentang politik lokal diera

otonomi daerah saat ini. Untuk itu, Wacana Pemekaran Provinsi Bolaang

Mongondow bisa menjadi salah satu contoh kasus untuk membahas dan mendalami

bagaimana wacana pemekaran bekerja.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang diatas dapat ditegaskan bahwa rumusan masalah

kajian ini adalah:

“Bagaimana strategi (cara) elit di Bolaang Mongondow Raya dalam

mengkonsolidasikan wacana Pemekaran Provinsi BMR?”

Dari rumusan masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pertanyaan turunan

sebagai berikut:

1. Apa sesungguhnya wacana utama yang dibangun oleh elit dalam konteks

pemekaran di Bolaang Mongondow Raya?

2. Apa-apa saja strategi Elit dalam membangun wacana tersebut?

10

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melacak wacana dominan dari rencana pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow

Raya.

2. Untuk mengetahui cara elit memainkan wacana pemekaran.

3. Melihat cara elit membangun wacana dengan menggunakan modal yang ada pada

dirinya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum mempunyai manfaat untuk menjelaskan fenomena

maraknya pemekaran daerah serta lewat penelitian ini bisa diketahui bagaimana

cara kerja kuasa dalam membangun wacana pemekaran.

Walaupun Desentralisasi sudah berjalan lebih dari 12 tahun tetapi keinginan untuk

berpisah dari daerah induk masih sangat kuat sehingga perlu untuk mengungkap

makna wacana kesejahteraan bisa terwujud dengan cara pemekaran, sehingga

‘hasrat’ untuk memekarkan daerah agar sejahtera berkurang. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan sumbangan akademik bagi perkembangan studi ilmu

politik khusunya studi tentang elit yang sedang berkuasa dimasa desentralisasi dan

dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam melihat kondisi politik lokal

(mencakup didalamnya elit dan desentralisasi) diIndonesia.

E. Kerangka Teoritik

Sebelum membingkai dan mengkerangkai penelitian ini ada beberapa hal yang perlu

dipertegas dan diclearkan dalam kerangka teori ini. Pertama adalah wacana dalam

penelitian ini dilihat sebagai sesuatu yang berefek kuasa, tidak dilihat sebagai

serangkaian teks atau kata-kata semata. Artinya tulisan ini melihat wacana lebih

luas. Kedua, kuasa yang dimasksud dalam penelitian ini adalah kuasa yang bersifat

makro dan beroperasi pada level masayarakat bukan individu. Ketiga, cerita

pertarungan wacana (antara pro dan kontra pemekaran) akan sangat sedikit

ditampilkan karena saat ini telah ada wacana dominan yang muncul yaitu

11

mendukung pemekaran, sehingga yang akan dibicarakan dalam kerangka teori ini

adalah bagaimana cara elit bisa menguasai warga BMR dengan cara berwacana.

Untuk itu penulis akan menggunakan teori wacana Foucault, sedikit konsep

hegemoni Gramsci, modal sosial Bourdieu dan juga teori analisis wacana kritis

(Discourse Analysis) Van Dijk yang mengedepankan fungsi media yang begitu

strategis dalam membentuk dan membangun sebuah wacana.

Secara History, kajian wacana pada awalnya hanya berkutat diseputar Bahasa atau

teks. Wacana sering dilhat hanya sebagai rangkaian teks yang memiliki arti,

sedangkan konteks diabaikan pada waktu itu, sehingga kajian wacana menjadi

sangat ekslusif dan sulit berkembang. Baru pada tahun 1952, seorang linguis

kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan ketidakpuasanya terhadap ‘tata

bahasa kalimat’ tersebut. Menurutnya, masih banyak persoalan kebahasaan yang

tidak tersentuh oleh pisau bedah yang bernama’gramatika kalimat’ itu.13 Maka sejak

itu mulailah kajian wacana masuk keranah disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu politik

yang memfokuskan pada kuasa. Salah satu tokoh penting wacana dibidang politik

adalah Van Dijk (1952). Tujuan dari analisis wacana tidak lain adalah untuk

mengetahui wacana yang berkembang dimasyarakat, proses produksi dan

reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.

Suatu wacana tidak lahir dengan begitu saja tanpa ada latar belakang dan sebab

yang jelas. Kasus wacana pemekaran dan pembentukan daerah otonomi baru, bisa

saja lahir dari perdebatan panjang yang melibatkan pengetahuan dan pengalaman.

Pengetahuan dan pengalaman kegagalan orde baru dalam mengelola negara telah

membawa wacana dan praktek membagi kekuasaan sampai kepada tingkatan

terkecil dalam struktur kekuasaan negara.14 Dari mana kita bisa memastikan ketika

13

Mulyana, Kajian wacana: Teori, Prakte dan aplikasi prinsip-prinsip Analisis WAcana (Yogyakarta, Tiara wacana, 2005). Hal. 67 14

Kita bisa melihat dimana Desa saat ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan fungsinya. Berbeda ketika masa orde baru.

12

kekuasaan dibagi maka negara akan sejahtera, damai, aman dan sentosa? Tentu dari

pengalaman dan pengetahuan yang terbangun selama ini bukan.

1. Wacana, Elit dan Kekuasaan

Sebelum memahami strategi elit perlu dijelaskan sedikit tentang konsep elit. Elit

adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiki kelebihan dalam berbagai

aspek kehidupan yang berada ditengah masyarakat. Elit bisa begitu berkuasa karena

memiliki sumberdaya berupa kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain.

Menurut Suzanne Keller elit berasal dari kata “eligere” yang berarti memilih. Dalam

pemakaian biasa kata tersebut bermakna “bagian yang menjadi pilihan” atau

“bunga” suatu bangsa, budaya, kelompok usia dan juga orang-orang yang

menduduki posisi sosial yang lebih tinggi.15 Mereka yang memiliki pertimbangan,

keputusan-keputusan, dan tindakan-tindakanya mempunyai akibat-akibat penting

dan menguntungkan kebanyakan anggota-anggota masyarakat. Kita sebut kelompok

ini sebagai kelompok elit penentu.16

Jika dilihat dari proses lahirnya elit, terdapat dua persepektif. Pertama adalah

perspektif pertama melihat elit lahir karena proses yang alami dan kedua adalah

kelompok elit yang lahir dari kompleksitas organisasi sosial, atau elit yang

mendapatkan ‘gelar’ elit dari konsensus seperti pemilu.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa elit adalah sekelompok kecil

masyarakat yang memiliki kemampuan, kelebihan dan sumberdaya dalam segela

aspek kehidupan masyarakat.

Dalam konteks kajian tesis ini, penulis menempatkan wacana (discourse) sebagai

praktik, dan perjuangan kewacanaan (discursive struggle). Wacana tidak dipahami

15

Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan elit penentu dalam masyarakat modern (Jakarta, Rajawali Perss, 1984). Hal. 4 16

Ibid, hal 8.

13

sebagai serangkian kata atau preposisi teks, tetapi adalah sesuatu yang

memproduksi yang lain (gagasan, konsep atau praktik). Oleh karena itu wacana

adalah siapa yang memproduksi wacana dan apa efek yang muncul dari produksi

wacana tersebut. Dengan kata lain setiap produksi wacana selalu ada efek yang

terpinggirkan. Sehingga wacana berkaitan dengan “kuasa” (power).

Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasi lewat pengetahuan dan pengetahuan

selalu memiliki efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault selalu

memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaanya. Lebih lanjut, hubungan kita

dengan realitas diatur melalui berbagai wacana yang menentukan bagaimana

seharusnya dan sebaiknya kita bertindak, membentuk kepercayaan-kepercayaan,

konsep dan ide-ide yang kita anut. Melalui wacana, individu bukan hanya

didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol dan didisiplinkan.17

Foucault juga menyatakan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan,

hegemoni, dominasi budaya dan pengetahuan.Kekuasaan dalam masyarakat

modern, tidak berkerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang

memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan

seseorang. Kekuasaan justru bekerja dengan sangat smooth, tanpa terlihat, tanpa

disadari dengan praktek pendisiplinan tubuh.18

Lebih lanjut Foucault menyebutkan ciri utama dari wacana ialah kemampuanya

untuk menjadikan suatu himpunan wacana yang berfungsi untuk membentuk dan

melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam

banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukan

bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit dan salah bukanlah konsep yang

abstrak yang datang begitu saja dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh

17

Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS 2001) hlm. 72 18

Ibid. hlm. 70

14

wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu

kedokteran serta ilmu pengetahuan pada umumnya.19

Menurut Foucault pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas

yang telah ditentukan oleh struktur diskursif.20Praktik diskursif tersebut berlangsung

melalui proses normalisasi, yakni melalui teknik pendisiplinan dan surveillances.

Melalui normalisasi inilah kekuasaan bekerja, yang artinya pendisiplinan merupakan

bentuk baru kekuasaan. Tujuannya, ingin membentuk docile body (tubuh yang

patuh).21

Seperti wacana pemekaran untuk kesejahteraan merupakan wacana yang dibentuk

dan dilestarikan untuk suatu kepentingan yaitu kuasa. Ini artinya masyarakat tidak

lagi dikontrol atau dikuasai oleh penguasa dengan cara kekerasan dan pemaksaan,

tetapi dengan cara mewacanakan suatu ide, mekanisme, aturan dan lain sebagainya.

Kontrol seperti yang telah dijelaskan oleh Foucault tidak lagi bersifat fisik, tetapi

bersifat lebih halus lewat proses yang disebut dengan pendisplinan diri untuk

membentuk tubuh yang patuh.22 Bentuk konkritnya adalah elit yang menguasai

berbagai sumberdaya (semisal sumberdaya ekonomi dan pengetahuan) sengaja

membentuk wacana pemekaran lewat media.

Selain konsep wacana, penelitian ini juga akan meminjam konsep Hegemoni Antonio

Gramsci. Dimana hegemoni menurut Gramsci bukanlah hubungan dominasi dengan

menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan

kepemimpinan politik dan Ideologi. Konsep hegemoni dalam penelitian ini untuk

melihat bagaimana elit bisa begitu berkuasa dalam wacana-wacana yang

diproduksinya dan memaksa publik secara halus.

19

Ibid. hlm. 76 20

Ibid. Hal 76 21

Longgina N. Bayo, Kuasa Adat Atas Gereja dan Negara diAdonara, Tesis. 2010. Hal. 13 22

Michael Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern, Penyadur Petrus Sanu Hardinyanta (Yogyakarta: LKiS 1997)

15

Kuasa disini tidak bekerja melalui penindasan dan represif, tetapi terutama melalui

normalisasi dan regulasi.23 Artinya jika ingin berkuasa, wacana bisa digunakan oleh

pemangku kepentingan dengan tidak harus menggunakan sumber kekerasan dan

lain sebagainya untuk memuluskan ataupun mewujudkan keinginanya.

2. Strategi Elit melalui Konstruksi Wacana

Untuk dapat berkuasa lewat wacana dibutuhkan upaya untuk membangun dan

melestarikan suatu wacana agar menjadi wacana dominan. Dalam membangun

wacana pemekaran, elit menggunakan sumberdaya atau kapital. Gagasan sentral

modal sosial adalah bahwa jaringan sosial merupakan aset yang sangat bernilai.

Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja satu

sama lain.24 Bourdieu menyatakan ada empat modal yang bisa menjadikan

seseorang atau sekelompok orang bisa berkuasa.25Pertama, modal ekonomi

(economic capital), yakni berupa harta kekayaan seperti properti, uang dan

sejenisnya. Kedua, modal sosial (social capital), yakni berupa sumber-sumber sosial

seperti jaringan dan hubungan timbal balik yang menguntungkan. Ketiga, modal

kultural, yakni berupa aset-aset informasi seperti pengetahuan dan keterampilan

(skills) yang dapat dimiliki melalui proses sosialisasi dan edukasi. Keempat, modal

simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa legitimasi otoritas berupa

prestise, gelar kehormatan, maupun reputasi. Modal-modal inilah yang digunakan

seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa.

Kempat modal tersebut kemudian dapat dikonversi atau diakumulasi menjadi

sesuatu yang menguntungkan bagi pemiliknya, semisal menggunakanya untuk

kepentingan politik. Caranya modal ekonomi digunakan untuk membeli barang-

barang yang bisa mendukung tujuan politiknya atau dengan modal ekonomi

23

Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS 2001). Hal. 67. 24

John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 18 25

Pierre Bourdieu ,“Social Space and Symbolic Power”,Sociological Theory, Vol. 7, No. 1: 14 – 25. 1989. Hal 17.

16

sesorang mendapatkan modal kultural seperti pendidikan yang tinggi. Menurut

penulis Keempat modal sosial tersebut diatas memiliki fungsi yang signifikan dalam

melestarikan suatu wacana agar tetap menjadi wacana dominan. Dalam masyarakat

kapitalis, modal ekonomi sangat menentukan dalam aktifitas politik, misalnya dalam

untuk bisa beriklan menggunakan media dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

Jaringan elit juga memiliki peran signifikan dalam membangun wacana seperti

hubungan yang saling menguntungkan antara elit dan media, hubungan-hubungan

tersebut bisa berupa hubungan ekonomi, politik dan sosial. Pengetahuan yang

menjadi “roh” untuk membangun wacana sangat diperlukan. Bisa dibayangkan

ketika pengetahuan elit tidak cukup untuk membangun suatu wacana, maka

dipastikan elit akan kalah dalam pertarungan kewacanaan. karena wacana-wacana

yang kontra dengan wacana yang dibungun elit, lebih berisi dan bermutu karena

memiliki cukup pengetahuan.

Yang terakhir adalah modal simbolik yang sangat efektif bekerja dalam tatanan

sosial yang menjunjung tinggi adat istiadat serta budaya. Untuk wilayah BMR adat

dan istiadat masih memiliki posisi dan tempat dalam tubuh sosial warganya, dimana

masih terdapat gelar-gelar kehormatan yang tersemat kepada beberapa warganya.

Kempat modal tersebut digunakan dan beroperasi secara bergantian ataupun

bersamaan dalam suatu arena atau field. Bourdieu melihat lingkungan (field) sebagai

arena pertarungan.26Field diandaikan sebagai arena permainan kartu, dimana

modal-modal tersebut dipertaruhkan, dipertahankan bahkan ditukar.27Bourdieu

melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan,

arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu,

antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh

26

George Ritzerdan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern(Jakarta: Prenada Media,2010) Hal.

525 27

John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 67

17

banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis

modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena

tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya,

dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas, terjadi sebuah kompetisi antar

individu, yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang murid yang memiliki

pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah

kelas tersebut, misalnya dapat mengerjakan ujian dengan lancar, dapat menjawab

semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding

dengan murid lain yang kurang pengetahuannya.

Tentu dalam suatu permainan agen atau aktor membutuhkan strategi untuk

menang dan bisa mencapai tujuan atau bisa mendominasi. Bourdieu menyebutkan

ada tiga jenis strategi yang biasa dipakai agen dalam perjuangan kekuasaan.28

Pertama, conservation (Pelestarian), yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang

posisi dominan dan senior dalam sebuah ranah. Kedua, succession (Penggantian),

yaitu strategi yang bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap posisi-posisi

dominan didalam ranah. Posisi dominan tersebut biasanya dikejar oleh para agen

pendatang baru. Ketiga, subversion (Subversi), yaitu strategi yang dipakai oleh

mereka yang mengharapkan mendapat bagian kecil saja dari kelompok-kelompok

dominan. Masing-masing agen menggunakan strategi yang berbeda sesuai dengan

kepentingan kelas mereka.

Strategi pelestarian sering digunakan oleh kelas atas, penguasa, atau kelompok

dominan. Strategi penggantian biasanya dipilih oleh kelompok pendatang

baru. Sedangkan strategi subversi bisanya disukai oleh mereka yang terdominasi,

kaum marjinal, yang jumlah modalnya sedikit.

28

Longgina N. Bayo, Kuasa Adat Atas Gereja dan Negara diAdonara, Tesis: UGM. 2010. Hal. 25.

18

Terus bagaimana modal-modal yang ada pada elit digunakan dalam rangka

membangun wacana pemekaran?

Seperti telah disinggung diatas, elit adalah mereka yang memiliki kelebihan

dibandingkan dengan kelas lainya dalam tubuh sosial. Dalam strategi menuju

dominasi disebutkan bahwa strategi conservation sering digunakan kelompok yang

berkuasa untuk tetap memenangkan dan menggolkan tujuanya. Jika menggunakan

logika strategi conservation, dominanya wacana pemekaran diBMR bisa dilihat dari

bagaiamana elit menggunakan sumberdaya yang ada pada dirinya untuk tetap

melestariakan wacana tersebut dan membuat wacana pemekaran tetap menjadi

wacana dominan. Contohnya, menggunakan media sebagai alat kampanye

pemekaran, dimana dalam upaya mengiklankan wacana tersebut membutuhkan

dana. Contoh lainya elit bisa menggunakan hubungan kekerabatan yang ada dengan

para wartawan untuk bisa memasukan iklan pemekaran tersebut kedalam media.

Selanjutnya himpunan wacana ini secara sosial didistribusikan ke tengah masyarakat

dan wacana-wacana tersebut membawa beragam ideologi, pada akhirnya bertujuan

untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran

wacana itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan dari

produk pemutih kulit membawa ideologi rasisme, yaitu putih itu cantik, baik, sehat,

dan bagus, sedangkan kulit tidak putih (coklat, sawo matang, hitam) itu jelek, buruk

dan tidak sepantasnya ada seorang wanita berkulit hitam.29

Untuk tahap awal penelitian ini, penulis melihat media sebagai sarana, saluran atau

medium wacana tanpa mengesampingkan bahwa media juga mempunyai ideologi

tersendiri dalam melihat suatu realitas. Media massa juga diyakini bukan sekedar

medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat,

29

Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS, 2001) Hal. 67

19

melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh

sekelompok yang secara ekonomi dan politik dominan.30

Salah satu medium efektif dalam rangka memuluskan proyek pemekaran dan

mendapatkan dukungan dari masyarakat adalah dengan menggunakan media.

Media saat ini memiliki peranan penting dalam dunia politik dan media juga akan

sangat mempengaruhi pola pikir dan pemahaman masyarakat tantang suatu isu

(wacana).

BudiIrawanto dalam bukunya yang berjudul Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni

Militer dalam Sinema Indonesia, sedikit memberikan gambaran tentang begitu

kuatnya peran media dalam membentuk suatu wacana. Militer dengan

sumberdayanya memproduksi film- Enam Djam diJogja, Janur Kuning dan Serang

Fajar- heroik yang dikonsumsi luas oleh masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat

percaya bahwa hanya tentara yang bisa melakukan tindakan-tindakan heroik dalam

rangka membebaskan Bangsa Indonesia dari penjajah Belanda. Sementara elemen

lain yang terlibat dalam proses kemerdekaan pada waktu itu –seperti mahasiswa

yang melakukan mobilisasi masa- tidak mendapatkan “gelar” pahlawan31. Lewat

medium film militer bisa berkuasa (baca: Hegemoni) masyarakat.

Lebih lanjut dalam buku tersebut32 disebutkan bahwa Hegemoni merupakan

terminologi penting yang digunakan Gramsci (1971) dalam bukunya yang terkenal

Selection from the Prison Notebooks. Bagi Gramsci, hegemoni (dalam bahasa Italia

egemonia atau hadirnya kekuasaan) adalah cara yang kuat atau kehadiran dimana-

mana (omnipresence) sesuatu secara penuh.

30

Agus Sudibyo DKK, Ekonomi Politik Media Penyiaran(Yogyakarta: Lkis, 2004). Hal 1 31

BudiIrawanto, Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Yogyakarta: Media Presindo, 1999). Hal xii 32

Ibid, hlm 21

20

Hegemoni bukanlah supremasi kelompok atau kelas sosial melalui dominasi atau

koersi, namun lewat kepemimpinan moral atau intelektual. Dasar dari hegemoni

adalah kontrol sosial secara internal dengan membentuk keyakinan-keyakinan ke

norma yang berlaku. Karena hegemoni lebih sebagai kemenangan lewat konsensus,

ketimbang penindasan kelas sosial atas kelas lainya. Ini dicapai melalui berbagai

cara, misalnya melalui lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan secara

langsung struktur-struktur kognitif33.

Media sebagai intrumen hegemoni yang tidak disadari, memiliki pengaruh yang

kuat, karena dapat membentuk orang-orang dengan gagasan dengan dunianya

sendiri. Ringkasnya, lewat media elit bisa membentuk pandangan dunia dari orang-

orang atau ketika wacana pemekaran terus-menerus diberitakan dan diwartakan

secara intensif dan masif akan menjadikan masyarakat yang mengkonsumsi berita

tersebut ikut mendukung gagasan pemekaran dan memperjuangkanya.

Media tidak hanya bekerja dalam dunia bahasa semata, tetapi media massa juga

mengkonstruksi realitas sosial melalui konstruksi sosial. Menurut Berger dan

Luckman34 realitas sosial merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian dan

berkembang dimasyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik adalah

hasil dari konstruksi sosial. Lebih lanjut menurut Berger dan Luckman, konstruksi

yang dilakukan media massa tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat

dengan kepentingan-kepentingan.

Kontrol media dalamkehidupan sosial sangat mungkin dilakukan dengan cara

mengkonstruksi realitas. Braston dan Stafford secara sederhana mendefinisikan

konstruksi sebagai istilah yang digunakan untuk menjelaskan bahwa teks-teks dan

33

Ibid, hlm 21 34

Peter L. Berger, & Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi

Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.1990. Hal xx.

21

laporan berita yang dibuat tidak semata-mata diambil dari dunia nyata.35 Melalui

perangkat bahasa, ekspresi non verbal, ilustrasi, gambar gerak, foto, ikon, grafis,

audio tersebut media massa bekerja sebagai agen konstruksi realitas dalam

menghasilkan produk-produknya. Dalam hal ini prinsip proses konstruksi realitas

adalah setiap upaya menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, atau benda.

Van Dijk mengemukakan bahwa Praktik kekuasaan dalam analisis wacana dapat

terlihat dalam media massa. Lebih lanjut Van Dijk mengatakan bahwa media bersifat

membujuk dan mempengaruhi karena ia berpotensi mengontrol pikiran pembaca

atau penonton walaupun tidak secara langsung mengontrol tindakan mereka.

Namun apabila kita mampu memengaruhi pikiran seseorang, secara tidak langsung

kita juga mampu memengaruhi tindakan mereka. Dengan demikian dapat terlihat

ada praktik kuasa didalam media massa.36

Tentu tidak hanya lewat media, wacana pemekaran menjadi dominan, lewat

sosialisasi, seminar dan diskusi misalkan wacana pemekaran akan menjadi dominan

dan menguasai masyarakat. Ketika wacana-wacana menudukung tersebut semakin

kuat, maka masyarakat tersebut akan ikut mendukung dan memberikan

legitimasinya kepada elit untuk memperjuangkan pemekaran tersebut.

Analisis wacana model Van Dijk juga memberi perhatian besar pada power

(kekuasaan) dan akses.Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai

kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya) untuk mengontrol

kelompok lain. Kekuasaan ini biasanya sangat berhubungan dengan kepemilikan

modal atau sumberdaya yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan.

Selanjutnya akses diantara kelompok masyarakat berbeda-beda dimana, Elit

mempunyai akses lebih besar dibandingkan kelompok masyarakat yang tidak

35

Gilang Desti Prahita, (Konstruksi Pembaruan Etinis Cina-Yogya dalam Suplemen Komunitas Jogja Harian Umum Bernas, 2007). Yogyakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Skripsi. 36

Teun A. Van Dijk. News as Discourse. (p.2, 53-56). (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.,

Publishers, 1988). Hal 2.

22

berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan

lebih besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk

mempengaruhi kesadaran khalayak.37

Lebih lanjut Van Dijk menyebutkan “Critical discourse analysis (CDA) is a type of

discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse,

dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in

the social and political context”.38 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa analisis

wacana kritis fokus kepada penyelahgunaan kekuasan, dominasi, ketidaksetaraan

dan keberpihakan dalam suatu teks. Analisis wacana kritis juga tidak hanya

membahas unsur kebahasaan semata melainkan bagaimana suatu teks dibentuk,

dihasilkan, diproduksi dan dimaknai oleh masyarakat. Teks disini dapat berbentuk

lisan maupun tulisan.

Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa elit juga bisa

menggunakan berbagai media iklan seperti Baliho dan Stiker dalam mewacanakan

pemekaran. Pembuatan iklan seperti ini tentu memerlukan dana dan tenaga yang

tidak sedikit, keberadaan elit yang secara ekonomi kuat memungkinkan

terselenggaranya proses membangun wacana lewat media publik ini. Modal dan

akses yang dimiliki elit tentu lebih besar dibandingkan dengan warga biasa.

37

Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS, 2001) Hal. 38

Teun A. Van Dijk. Critical Disourse Analysis. In D. Tannen, D. Schiffrin, & H. Hamilton, Handbook of

Discourse Analysis. (p.352). (Oxford: Blackwell, 2011). Hal. 352.

23

Secara singkat, berikut alur fikir dari penelitian ini:

Skema/Alur Fikir

Dari gambar diatas dapat dijelaskan dengan singkat bahwa, elit memiliki keinginan

untuk memekarkan wilayahnya yang kemudian berusaha mendapatkan dukungan

atau legitimasi dari warga dengan cara membangun wacana pro pemekaran. Pesan-

pesan tentang kebaikan dan alasan pemekaran wilayah dibangun dengan

menggunakan modal-modal yang telah dimiliki oleh elit tersebut. Saluran

penyampaian wacana tersebut menggunakan media, baliho, poster dan lain

sebagainya. selanjutnya strategi untuk memperkokoh wacana pro pemekaran, elit

menyampaikan isu ini secara terus-menerus dan masif kepada warga, serta

melestarikanya.

F. Definisi Konseptual

Untuk mempermudah penelitian maka peneliti akan mempergunakan beberapa

istilah khusus untuk menggambarkan fenomena yang hendak diteliti. Gambaran

fenomoena yang hendak diteliti itu adalah konsep. Dalam penelitian ini konsep

diartikan sebagai istilah dan definisi yang mengabstraksikan suatu fenomena yang

dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, kelompok

atau individu-individu tertentu. Dengan demikian konsep berperan sebagai katalis

Isu Pemekaran Strategi Elit Wacana

Modal

Media

24

yang menghubungkan dunia teoritis dengan dunia observasi, antara dunia abstraksi

dan realitas sebenarnya. Untuk mencegah terjadinya distorsi dan bias, maka perlu

untuk membuatkan definisi yang tepat sebagaimana berikut:

1. Elit adalah mereka (baik kelompok maupun individu) yang berhasil menempati

posisi tertinggi dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Elit memiliki berbagai

kelebihan.

2. Wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, domonasi

budaya dan pengetahuan. Lewat wacana sekelompok orang atau seseorang bisa

terus berkuasa.

3. Strategiadalah upaya atau teknik seseorang atau kelompok dalam memenangkan

pertarungan politik demi kekuasaan.

4. Mediaadalah sarana, alat atau medium pewacanaan yang sering digunakan elit

politik dalam rangka menghegemoni masyarakat.

G. Definisi Operasional

1. Elit. Sekelompok orang yang memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan-

keputusan strategis yang berhubungan dengan masyarakat. Termasuk keputusan

untuk melakukan pemekaran disuatu wilayah. Elit yang akan dijadikan sumber data

primer adalah elit yang sedang memerintah, kalangan pers dan elit kultural.

2. Wacana.Wacana adalah alat kuasa yang digunakan elit untuk berkuasa terhadap

sekelompok masyarakat atau individu. Kehadiran wacana dalam suatu masyarakat

tidak terlepas dari peran elit dan media. Wacana pemekaran Provinsi BMR

menjadi dominan karena masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya

pemekaran akan tercipta “kesejahteraan”. Sementara itu wacana tandingan tentang

25

“banyaknya daerah pemekaran baru yang gagal mensejahterakan masyarakat” tidak

muncul kepermukaan dan menjadi bahan perbincangan.

3. Strategi. Elit menjalankan peranya yang strategis untuk memperkuat wacana

pemekaran agar mendapat dukungan dari masyarakat BMR. misalnya dengan

menggandeng atau menggunakan media sebagai saluran, sarana dan alat untuk

menyampaikan pesan-pesan “baik” tentang pemekaran.

4. Media mempunyai peran strategis dalam membangun wacana, karena media

adalah medium efektif dalam membangun sebuah opini publik. Walaupun media

sering digunakan oleh elit untuk kepentingan ekonomi dan politiknya tetapi media

sendiri mempunyai ideologi dan tujuan tertuntu. Media-media (koran lokal) tersebut

adalah media yang memiliki jumlah pembaca relatif lebih banyak dari pada

beberapa media lainya, yaitu Radar Bolmong, Manado Post, Tribun Manado dam

totaobuan.co (media lokal online).

H. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi didaerah Bolaang Mongondow Bersatu, dimana wacana ini

tumbuh dan berkembang. Daerah-daerah tersebut terdiri dari Kabupaten Bolaang

Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kota Kotamobagu, Kabupaten

Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dimulai pada Bulan Oktober sampai dengan bulan

November 2013.

3. Jenis Penelitian

Mengingat tujuan Penelitian ini bertujuan mendekripsikan suatu fenomena

pemekaran, maka jenis penelitian yang akan digunakan adalah metode pendekatan

26

deskriptif-kualitatif dengan maksud untuk memperoleh penjelasan yang mendalam

tentang wacana pemekaran diwilayah Bolaang Mongondow.

Penelitian kualitatif ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami subjek penelitian seperti sikap, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah.39

Adapun secara khsusus, penelitian yang akan digunakan dalam tesis ini adalah

peneltian studi kasus yaitu, suatu penelitian yang dilakukan secara intensif,

terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu

(wacana pemekaran Provinsi BMR).40 Studi kasus atau penelitian kasus adalah

penelitian tentang status subjek peneudilitian yang berkenaan dengan suatu fase

spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian bisa perupa

Individu, kelompok, lembaga ataupun masyarakat.

Sehingga itu Penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus

bermakna sebagai penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan

mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari

wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sempit.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Teknik pengumpulan data adalah metode atau cara memperoleh jawaban dan data

dalam proses penelitian. Sumber Data untuk tulisan ini terdiri dari:

a. Data Utama, Diperoleh dari para elit lokal yang sedang mewacanakan

pemekaran. Baik elit formal maupun elit non-formal. Teknik yang dapat

digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain dengan

39

Moelong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosydakarya). Hal. 6 40

Suharmi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek: Edisi Revisi V (Jakarta Bineka Cipta, 2002). Hal 120

27

cara wawancara dan observasi. Informan yang akan diwawancarai adalah elit

lokal terdiri dari Panitia Pemekaran, Bupati, Walikota, Ketua DRPD yang

berada diwilayah Bolaang Mongodow Raya dan sejumlah elit yang relevan

dengan penelitian ini. Untuk keperluan itu akan disusun “interview guide”

dan hasil setiap interview tersebut akan direkam dengan baik guna

mempertanggungjawabkanya.

Wawancara Mendalam (in depth interviews)

Wawancara dilakukan secara langsung untuk mendapatkan informasi yang

mendalam dari informan menyangkut masalah penelitian. Dalam proses wawancara

akan dipandu dengan daftar pertanyaan atau interview guide demi fokusnya

pertanyaan tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara dengan informan akan

dibuat se-mengalir mungkin dan keluar dari daftar pertanyaan yang telah disiapkan

guna menggali informasi yang sebenar-benarnya dari para informan.

Proses interview tentu membutuhkan teknik khusus agar bisa menggali data yang

sebenarnya tentang latar belakang atau motif dari elit mendorong pemekaran

Provinsi Bolaang Mongondow. menurut Koentjoroningrat, metode wawacara

mencakup cara yang digunakan kalau seseorang untuk tujuan sesuatu dan tugas

tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau dapat secara lisan dari seorang

responden, dengan bercakap-cakap berhadapan dengan orang tersebut.41

Untuk kegiatan tersebut diatas, penulis akan berusaha mencari informasi langsung

dari pemangku kepentingan berkaitan dengan pemekaran wilayah. Dalam bayangan

penulis, panitia pemekaran akan menjadi sumber utama wawancara ini, karena

hampir semua proses pemekaran diketahui oleh panitia pemekaran.

41

Koentjoroningrat, Metode-metode penelitian masyarakat (Jakarta: Gramedia 1977). Hal 162.

28

Elit yang akan menjadi informan utama adalah Bupati Bolaang Mongondow Timur

yaitu, Sehan Landjar. Elit ini yang sangat menginginkan Bolaang Mongodow mekar

menjadi Provinsi. Hal ini bisa dilihat dari dukungan pembiayaan sebesar Rp.

200.000.000,- dari APBD Kab. Bolaang Mongondow Timur tahun 2011 untuk Panitia

Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow. Informasi yang bisa digali dari elit ini

adalah wacana yang ingin dibangun elit dalam rangka memekarkan BMR menjadi

Provinsi dan cara elit mengkonstruksi wacana pemekaran.

Penulis sadar bahwa terdapat keterbatasan dalam mengumpulkan data-data

penelitian, baik keterbatasan akses, waktu serta biaya dalam mengumpulkan data,

sehingga penulis hanya akan mengambil data dari beberapa tokoh/elit kunci.

Observasi

Observasi dibutuhkan untuk memperkaya data interview yang masih dirasa kurang.

Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek penelitian,

seperti melihat aktifitas sehari-hari para elit mulai dari gaya hidup sampai dengan

kehidupan pribadi dari subjek penelitian, kondisi kesejahteraan masyarakat

sebelum/sesudah pemekaran dan lain sebagainya. Selain untuk memperkaya data

observasi juga diperlukan untuk mengecek dan membandingkan kembali

keabsahan data wawancara. Data observasi bisa juga menjadi data utama dalam

riset ini. Terkadang data wawancara tidak begitu memuaskan karena elit yang

diwawancarai tidak begitu terbuka dan terkadang menutupi kondisi yang

sebenarnya ataupun jawaban-jawaban yang diberikan oleh elit bersifat normatif.

Disini penulis akan mencoba masuk ke dalam rapat-rapat panitia pemekaran,

seminar tentang pemekaran, dan lain sebagainya untuk melihat dan mencari tahu isi

pembahasan dari rapat-rapat tersebut.

29

b.Data Sekunder (Dokumentasi)

Cara ini dilakukan dengan cara pengkajian atas bahan-bahan objek penelitian

dengan cara mengkaji bahan-bahan tertulis berupa referensi buku ilmiah, dokumen-

dokumen, arsip dan laporan-laporan termasuk laporan atau informasi yang termuat

dalam media cetak lokal maupun nasional yang berhubungan wacana pemekaran

ini. Adapun dokumen-dokumen tersebut terdiri dari:

Berita-berita yang berkaitan dengan pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow

baik media cetak maupun media online. Dengan Berita koran lokal, penulis akan

mencoba memilah berita-berita tentang pemekaran. Ini penting dilakukan

untuk bagaimana cara media dan elit menyampaikan wacana pemekaran. Yang

akan menjadi sumber berita tersebut adalah media lokal yang memiliki banyak

pembaca serta media-media yang sering memuat berita terkait pemekaran

Provinsi Bolaang Mongondow Raya. Beberapa media lokal tersebut adalah

Tribun Sulut, Radar Totabuan, Manado Post, Media Sulut, Kontra Online dan

Totabuan.co.

Data-data Statistik seperti pertumbuhan ekonomi untuk melihat serta

membandingkan pertumbuhan ekonomi Bolaang Mongondow sebelum dan

sesudah pemekaran. Data demografi juga sangat dibutuhkan khususnya data

yang berdasarkan agama, suku dan etnis Sulawesi utara serta Bolaang

Mongondow.

Struktur APBD Sulut mencakup PAD dan DAU+DAK, untuk melihat distribusi dan

pembagian APBD Provinsi Sulut ke beberapa daerah Kabupaten dan Kota.

Data Pemekaran atau sejarah pemekaran Bolaang Mongondow. Cerita

pemekaran dibutuhkan untuk melacak kembali sejarah pemekaran.

Data komposisi pembagian kekuasaan elit birokrasi diProvinsi Sulawesi Utara

dari latar belakang etnisitas (Minahasa dan Mongondow). Kecemburuan

distribusi kekuasaan yang timpang menjadi salah satu wacana yang dilontarkan

oleh elit. Untuk itu data komposisi pembagian kekuasaan dalam birokrasi akan

30

sangat membantu memperjelas dan membuktikan benar atau tidaknya klaim

tersebut.

I. Teknik Analisis Data

Dalam analisis data, digunakan langkah-langkah penelitian kualitatif yang menurut

Lexi Moleong terdiri dari Pengumpulan Data, Penilaian Data, Penafsiran Data dan

Penyimpulan Data.42 Pada tahapan ini data yang terkumpul akan disusun, dipilah

atau dikategorisasikan sebelum diolah.

Setelah mengumpulkan data, langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian

keabsahan data dengan teknik “triangulasi”, yaitu membandingkan dengan data

yang diperoleh dari satu sumber dengan sumber yang lain sehingga keabsahan data

dan dapat dipertanggungjawabkan.

Setelah langkah penilaian selesai, selanjutnya adalah melakukan penafsiran data.

Pada tahap ini data diberi makna, menjelaskan pola dan mencari hubungan antara

berbagai konsep. Dan langkah yang terakhir adalah membuat suatu kesimpulan dan

argumen terhadap interpretasi tersebut.

J. Sistematika Penulisan

Demi mempermudah pembaca dalam memahami isi tulisan, penulis merencanakan

akan mengurai tesis ini kedalam 5 Bab. Setiap bab akan memberikan kontribusi

dalam menjelaskan dan menjawab pertanyaan Apa sesungguhnya wacana utama

yang dibangun oleh elit dalam konteks pemekaran diBolaang Mongondow Raya?

Dan Bagaimana strategi (cara) elit diBolaang Mongondow Raya dalam

mengkonsolidasikan wacana tersebut?

Bab pertama berisi tentang latar belakang kenapa penelitian ini dilakukan serta

meneguhkan kerangka pikir untuk menuntun penulis sampai kepada jawaban yang

hendak dicari dari penelitian ini.

42

Moelong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosydakarya). Hal 178.

31

Bab ke dua akan memberikan informasi tentang latar belakang wilayah/lokasi

penelitian, semisal data luas wilayah, kondisi Bolaang Mongondow dalam struktur

sosial, politik dan ekonomi di Sulawesi Utara serta data-data yang sekiranya bisa

memberikan kontribusi dalam membangun bab-bab selanjutnya.

Bab ke tiga akan membicarakan dan membahas wacana yang diperdebatkan secara

terbuka.Melihat strategi elit membangun wacana tersebut beserta modalitas yang

mengiringinya

Bab ke empat menampilkan wacana tertutup yang sangat sensitive.

Kesimpulan, tidank lanjut dan saran akan ditulis dalam Bab terakhir.