bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
PRAGMATIK DALAM PENGAJARAN BAHASA ARAB: SURVEI
TERHADAP PROSES BELAJAR MENGAJAR BAHASA ARAB DI UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pengajaran bahasa Arab (PBA), kurikulum termasuk satu dari
beberapa instrumen penting yang menentukan sukses tidaknya PBA. Sedang
dalam dunia pendidikan, pengertian kurikulum pada mulanya hanyalah sejumlah
mata pelajaran tertentu yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau
ijazah. Makin lama pengertian itu makin meluas menjadi sekumpulan
pengalaman, sistem nilai, pengetahuan, keterampilan, dan pola sikap yang ingin
diantarkan kepada siswa dengan harapan dan keyakinan bahwa keseluruhan yang
diantarkannya itu merupakan bekal di kemudian hari.
Kompleksitas kurikulum itu, barangkali juga timbul karena didasarkan
atas asas-asas tertentu; filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis (S.
Nasution, 1994: 11). Semua asas ini cukup kompleks dan mempunyai bobot
penekanan yang berbeda, sehingga perlu diadakan pemilihan. Pemilihan inilah
yang kemudian akan menghasilkan sebuah kurikulum dengan kemasan dan
karakteristik tersendiri.
Dalam menelaah kurikulum bahasa, apalagi bahasa asing semisal bahasa
Arab, harus ditempatkan dalam kerangka dan konteks bahasa itu sendiri secara
proporsional. Walaupun secara umum kurikulum bahasa itu jauh berbeda dengan
kurikulum bidang yang lain, namun kekhususan dan bobot penekanan terhadap
bahasa itu akan mempengaruhi pada sejauh mana pengajaran bahasa itu akan
dikembangkan.
Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam menelaah
kurikulum bahasa antara lain: informasi mengenai bahasa yang akan dipelajari,
mengenai si pembelajar, mengenai cara atau sistem penyampaian bahasa,
mengenai teori mengajar bahasa, dan mengenai prosedur serta cara-cara
mengevaluasi hasil belajar bahasa (Bistok A. Siahaan, 1987:5). Dalam
menganalisa kurikulum pengajaran bahasa, keenam hal tersebut harus mampu
disahuti secara optimal.
Selain kurikulum, pelaksanaan pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa
asing di Indonesia, juga terkait dengan problem transfer kebahasaan yang
dianggap sebagai gangguan (interference) yang bisa mengenai seluruh aspek
kebahasaan. Aspek-aspek ini meliputi ucapan, vokabulari, pembentukan morfo-
sintaksis, dan semantik. Ini bisa kita perhatikan mulai dari perbedaan ucap-tulis
dalam huruf alphabet dan hijaiyah, sampai pada persoalan pembentukan kalimat
dalam suatu wacana/ karangan.
Sisi lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan PBA sebagai
bahasa asing adalah faktor sosio-kultural. Hal ini terkait erat dengan bahasa
sebagai sistem simbol dan budaya serta identitas suatu bangsa. Dalam konteks
nasional, bahasa asing menempati tingkat ketiga setelah bahasa nasional dan
daerah. Namun ketika ditempatkan dalam konteks internasional, keberadaan
bahasa asing menjadi sangat penting dan memiliki perang sangat strategis, terlebih
karena dipakai sebagai bahasa komunikasi untuk berbagai kepentingan antar
bangsa. Tarik menarik antara dua posisi dan fungsi bahasa inilah yang kemudian
menjadi problematika tersendiri bagi pengembangan kurikulum bahasa Arab
sebagai bahasa asing.
Di Indonesia, kebijakan politik bahasa nasional dapat diartikan sebagai
suatu kewajiban bangsa Indonesia dalam mengembangkan bahasa Indonesia dan
sastranya dengan jalan melaksanakan penelitian, inventarisasi, penulisan tata
bahasa dan kamus, serta pengajarannya karena merupakan bahasa negara dan
nasional. Terhadap bahasa daerah yang dipelihara oleh pemakainya, juga
dipelihara oleh pemerintah. Akan tetapi, terhadap bahasa asing bangsa Indonesia
tidak berkewajiban membina dan mengembangkannya kecuali dari segi
pengajarannya. Yang berkewajiban membina dan mengembangkan bahasa asing
adalah negara dan masyarakat pemilik bahasa asing tersebut. Pengajaran bahasa
asing di Indonesia bertujuan mempermudah orang menggali ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terekam dalam bahasa asing dan juga untuk komunikasi
internasional (Sjahruddin Kaseng, 1989:48).
Dengan memperhatikan beberapa paparan di atas, maka dalam
pelaksanaan PBA sebagai bahasa asing di Indonesia, diperlukan adanya
rasionalisasi program pengajaran. Artinya, seberapa jauh bahasa Arab akan
difungsikan dan diposisikan sebagai bahasa asing di Indonesia? Apakah sebatas
sebagai bahasa agama? Atau juga bahasa komunikasi atau bahasa keilmuan?
Pertanyaan ini paling tidak harus menjadi pertimbangan mendasar dan acuan
utama bagi pengembangan pembelajaran bahasa Arab berdasarkan pragmatik.
Hal di atas menunjukkan bahwa pengajaran bahasa sangat terkait dengan
fungsi bahasa, dan sejalan dengan itu para pakar pengajaran bahasa kini lebih
cenderung pada Pengajaran Bahasa dengan Pendekatan Komunikatif (PBPK), hal
ini karena: 1) PBPK mampu mengubah citra Pengajaran Bahasa (PB) yang selalu
berorientasi pada kaidah ketatabahasaan yang dikembangkan kaum struktural
yang dianggap telah gagal mengajarkan bahasa sesuai dengan fungsinya; 2) PBPK
mampu memberikan paradigmashito yang sangat mendasar serta secara radikal
memberikan warna baru terhadap proses belajar-mengajar bahasa; dan 3) PBPK
mampu menjawab dua pertanyaan pokok dalam pengajaran bahasa yaitu apakah
yang dipelajari, dan bagaimana bahasa harus dipelajari (Pranowo, 1996:60).
Paling tidak ada dua variabel penting yang perlu kita telaah dalam
kaitannya dengan analisa kebutuhan bahasa, yakni variabel bahasa dan variabel
budaya (A. Chaedar Al-Wasilah, 1991:146). Variabel pertama terkait dengan
struktur bahasa asing (dalam hal ini bahasa Arab) yang berbeda dengan bahasa
pembelajar (dalam hal ini bahasa Indonesia). Variabel kedua terkait dengan logat
(lahjah), penghayatan dan kepentingan antara negara asal dan penerima.
Oleh karena itu, sangat penting diadakan analisa terhadap kebutuhan
bahasa Arab, karena terkait langsung dengan keberadaan bahasa Arab dalam
proses belajar mengajar dan frekuensi peranan dan fungsi bahasa Arab di dalam
masyarakat Indonesia. Apalagi mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam di
mana pada banyak ritual-keagamaan memakai bahasa Arab.
Adapun langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan dalam
menganalisa kebutuhan bahasa Arab adalah dengan cara mengadakan wawancara,
penyebaran angket/kuesener, analisa terhadap muatan lokal serta terhadap hirarki
tujuan pengajaran bahasa. Dalam hal ini seorang dosen dapat menanyakan kepada
mahasiswa tentang apa tujuan mereka belajar bahasa Arab, apakah mereka lebih
mengutamakan kemampuan produktif (berbicara dan menulis) atau lebih
mementingkan keterampilan reseptif (membaca dan mendengarkan), atau
keduanya.
Selanjutnya kita dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1)
memperhatikan dan meneliti keperluan-keperluan pelajar terhadap bahasa yang
dipelajari; 2) mengelompokkan keperluan-keperluan itu ke dalam skala prioritas;
3) lalu berdasarkan hal tersebut dicoba untuk merumuskan tujuan yang hendak
dicapai dalam pengajaran bahasa tersebut, dan 4) menentukan fasilitas-fasilitas
apa yang diperlukan dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Arab. Dengan
demikian, secara sederhana kita telah mengadakan analisa terhadap kebutuhan
bahasa pelajar.
Langkah ini akan terkait langsung dengan perumusan tujuan pendidikan
yang ada dalam suatu negara. Secara hirarkis, perumusan tersebut adalah: tujuan
pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan
instruksional.
Sedangkan tujuan PBA secara umum adalah agar para pelajar atau
mahasiswa mampu menguasai bahasa Arab secara lisan dan tulisan, memiliki
kemampuan ekspresif/produktif (berbicara dan menulis), kemampuan reseptif
(mendengar dan membaca), dan mengkomunikasikannya (Mahmud Yunus,
1983:21/ DEPAG, 1976: 89). Namun, kedua kemampuan tersebut tidak selalu
dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Diantara penyebabnya adalah
karena tidak berfungsinya bahasa asing (dalam hal ini bahasa Arab) tersebur
secara efektif-efisien, serta tidak adanya proporsi yang seimbang dan jelas
terhadap kebutuhan bahasa masyarakat setempat.
Dengan demikian, analisa terhadap tujuan PBA ini harus didasarkan pada
prinsip rasionalisasi dan fungsionalisasi program. Prinsip rasionalisasi yang
dimaksud adalah memperjelas suatu kurikulum bahasa dari segi pengajarannya
dengan jalan memperhatikan muatan-muatan lokal dan bahan/materi yang akan
diajarkan. Prinsip ini juga berusaha menganalisa keterbacaan dan keterpahaman
materi bagi para pelajar/mahasiswa. Sedangkan prinsip fungsionalisasi program
adalah mengacu pada hakekat dan fungsi suatu bahasa. Dalam hal ini, harus ada
penyeimbang antara bahasa sebagai fungsi komunikatif, dengan fungsi keilmuan.
Pemilihan bahan/materi pengajaran bahasa Arab merupakan langkah yang
cukup penting. Dari sinilah kemudian dapat dilihat bagaimana proses belajar
mengajar dapat mewarnai pengembangan keilmuan dan peningkatan keterampilan
pelajar. Materi-materi yang lebih menekankan pada keterampilan komunikatif
aktif, tentu akan menghasilkan kemampuan aktif pula. Demikian pula apabila
materi-materi itu lebih mengutamakan pada penguasaan teoritis atau pasif, akan
lebih memungkinkan untuk menghasilkan kemampuan pasif pula.
Pemilihan bahan pengajaran bahasa Arab juga harus memperhatikan
tingkat perkembangan kognitif para pelajar. Bahan-bahan pengajaran yang akan
diberikan juga harus sesuai dengan kemampuan dan kematangan konseptual para
pelajar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengorganisir serta
menyeleksi bahan-bahan pengajaran yang ada. Dimulai dari penyusunan bahan
pelajaran dengan kategori sukar-mudah pada masing-masing kata dan kalimat,
sampai pada penyusunan suatu kalimat dalam karangan.
Di samping itu, bahan pengajaran harus bersifat membimbing dan
memberi pengalaman serta menemukan sendiri hal-hal seperti yang diajarkan.
Dari latihan-latihan yang dilaksanakan, diharapkan dapat memicu para pelajar
secara kreatif memproduksi bahasa yang diajarkan secara lisan ataupun tulisan
dalam komunikasi aktual, di samping mampu memahami persoalan-persoalan
yang ada dalam bidang keilmuan yang lain. Dari sinilah kemudian dapat dianalisa
tentang topik apa saja yang yang perlu diberikan kepada mereka.
Ketika pengajaran bahasa Arab lebih diarahkan kepada suatu konteks
tertentu maka yang demikian itu merujuk pada suatu bidang kajian yang bisa
dibilang baru, yaitu kajian pragmatik.
B. Perumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
berikut :
1. Sudah sesuaikah tujuan pengajaran bahasa Arab yang diselenggarakan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta?
2. Apakah kurikulum bahasa Arab sudah dikembangkan sesuai dengan konsep
pragmatik?
3. Apakah silabus mata kuliah bahasa Arab sudah dikembangkan dengan konsep
pragmatik secara proporsional?
4. Apakah para dosen bahasa Arab sudah memiliki kesiapan untuk
mengembangkan konsep pragmatik dalam bahan-bahan perkuliahan mereka?
5. Instrumen pendukung apa saja yang harus dipersiapkan untuk
mengembangkan konsep pragmatik?
C. Hipotesa, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian
1. Hipotesa
Di Indonesia, pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing, memiliki
beberapa keistimewaan dibandingkan dengan bahasa asing lainnya. Keistimewaan
itu setidaknya bisa dilihat dari keberadaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur`an
dan Islam di mana bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk muslim. Bahkan,
bahasa Arab digunakan sebagai bahasa “slogan” dan “pergaulan” antara sesama
muslim, seperti kata-kata “Assalamua’alaikum”, “Allahu Akbar”, “Ahlan
Wasahlan”, dan sebagainya. Tentu saja hal ini menjadi satu faktor pendukung bagi
percepatan sosialisasi keilmuan di kalngan umat Islam.
Namun, pengajaran bahasa Arab yang diselenggarakan kebanyakan
lembaga pendidikan di Indonesia (khususnya UIN, IAIN, dan STAIN) kurang
memperhatikan peran dan fungsi bahasa Arab dalam hubungannya dengan
kebutuhan masyarakat. Pengajaran bahasa Arab justru lebih banyak
memprioritaskan sisi ilmiah semata, tanpa banyak menyauti hubungan sinergis
antara peran ilmiah dan kebutuhan pasar di lapangan (dikenal dengan istilah link
and match).
Oleh karena itu, jawaban tentatif atas permasalahan di atas adalah perlunya
suatu konsep atau pendekatan pembelajaran bahasa yang mampu mengaitkan
materi bahasa dengan kemampuan komunikasi, korelasi bahasa dengan
kompetensi ilmiah dan kebutuhan pasar, dan fungsi bahasa dengan kebutuhan riil
masyarakat. Konsep atau pendekatan pragmaatik adalah yang paling tepat dalam
hal ini.
2. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui model
pengajaran bahasa Arab di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) menciptakan
model pengajaran bahasa Arab alternatif yang sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa; dan 3) menghasilkan model pengajaran yang memperhatikan sisi
keseimbangan antara tanggung jawab intelektual (intellectual responsibility) dan
kebutuhan pasar (market demand).
3. Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1) diperoleh gambaran riil
kebutuhan mahasiswa yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Arab; 2)
tercapainya alternatif kurikulum pengajaran bahasa Arab di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; dan 3) sebagai acuan dasar bagi kemungkian
dikembangkannya pola pengajaran bahasa Arab dengan pendekatan pragmatik.
D. Kerangka Teoritis
Dalam suatu program yang menyeluruh mengenai studi bahasa sebagai
sistem komunikasi, pragmatik bisa dipandang bersifat komplementer. Dan ini
berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian
terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya.
Paradigma pragmatik sangat dipengaruhi oleh Austin dan Serle yang
meman-dang makna dari segi daya ilokusi dan Grice yang memandang makna
dari segi implikatur percakapan. Dari kedua pandangan tersebut dapat ditarik
suatu tesis bahwa komunikasi adalah pemecahan masalah. Si penutur harus
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemakaian bahasa sesuai dengan
yang diinginkan oleh si petutur. Di lain pihak si petutur juga harus memecahkan
masalah yang berkaitan dengan maksud tuturan yang diinginkan oleh si penutur.
Dengan konsepsi komunikasi seperti itu, pragmatik didekati dengan suatu
ancangan retorik; penutur dianggap berusaha mencapai tujuannya dalam batas
kendala-kendala yang dikenakan padanya oleh prinsip-prinsip dan maksim-
maksim ‘perilaku komunikatif yang baik’. Dengan demikian, selain prinsip di
atas, prinsip sopan santun dan ironi juga harus diperhatikan. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa pragmatik bersifat evaluatif dan berorientasikan tujuan.
Perkembanagan belajar bahasa tidak dapat begitu saja diatur atas tahapan
dari tingkat “dasar” ke “madya”, lalu ke tingkat “lanjut”. Perkembangan proses
belajar bahasa (asing) bukanlah proses perkembangan yang lurus dan yang
seragam (bagi setiap siwa) dari “pemula” sampai ke tingkat “menyerupai penutur
asli”. Tahap perkembangan individu dapat ditempuh melalui banyak cara, dan
oleh karena itu perlu pemahaman terhadap individu siswa; misalnya pemahaman
terhadap kebutuhan siswa, pemahaman terhadap daya serap siswa di dalam proses
belajar.
Di dalam pengajaran dengan pendekatan komunikatif bahasa diajarkan
sebagaimana digunakan di dalam komunikasi. Maka yang dituju bukanlah
pencapaian pengetahuan mengenai tata bahasa atau penguasaan terhadap sekian
ribu kosa kata. Kemampuan komunikatif yang hendak dituju itu perlu diperikan
terlebih dahulu, dalam kaitannya dengan siswa yang akan dibantu menuju ke arah
itu. Baru setelah itu semua jelas, dapat kita tentukan perangkat tata bahasa apa,
kosa kata apa, dan sebagainya yang paling sesuai untuk mencapai kemampuan
komunikatif itu.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Sebagai penelitian survei, tentu metode yang digunakan bertujuan
melakukan eksplorasi dan deskripsi. Eksplorasi karena penelitian ini masih
terbuka dan berusaha menjajaki perkembangan yang berlangsung. Sedang
deeskripsi karena penelitian ini berusaha menggambarkan fenomena yang
berkembang. Kedua metode ini ditujukan pada konsep atau pendekatan pragmatik
dalam proses belajar mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber dan Pengumpulan Data
Terdapat dua sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini: primer
dan sekunder. Data primer didapat dari angket, wawancara, dan observasi. Sedang
data sekunder didapat dari penelusuran terhadap data-data yang ada di lapangan,
termasuk beberapa pemikiran atau tulisan dan catatan yang memiliki relevansi dan
mendukung terhadap penelitian yang diangkat.
Sedangkan pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
i. Kuesioner atau angket sebagai instrumen utama. Tujuannya adalah
menggali data seputar tujuan PBA, kurikulum, materi, para dosen dan
sarana penunjang.
ii. Wawancara mendalam (depth interview) dengan beberapa dosen seputaar
kesiapan mereka merealisasikan pragmatik dalam PBA.
iii. Observasi, difokuskan pada situasi dan kondisi PBA di fakultas-fakultas
yang berhubungan dengan mahasiswa, dosen dan sarana dan prasarana.
iv. Studi Dokumentasi, berupa penelusuran dan penelaahan atas beberapa
arsip atau catatan berupa: dokumentasi resmi, catatan kasus (case records),
notulen rapat, hasil penelitian lain, buku harian, dan lainnya yang dianggap
relevan.
3. Teknik dan Analisa Data
Terhadap data-data yang terkumpul, peneliti melakukan proses dan analisa
data. Pada tahap proses pengumpulan data, dilakukan dengan cara: mengorganisir,
menyusun kategori dan tipologi, dan mengedit data-data yang terkumpul.
Sedangkan analisa data menggunakan analisa “deskriptif kualitatif” terhadap data-
data yang telah terkumpul, berupa: tabel frekwensi, dokumentasi, hasil
wawancara, catatan lapangan, dan lainnya.
F. Sistematika Pembahasan
Pada bab I (Pendahuluan), berisi tentang latar belakang diangkatnya tema
penelitian beserta perangkat metodologis. Bab ini diharapkan memberi gambaran
penelitian secara terarah, sistematis, dan komprehensif.
Pada bab II (Gambaran Umum Konsep Pragmatik) akan membahasa
pengertian dan hakikat pragmatik, sumber kajiannya, pragmatik dan kurikulum,
model pembelajaran pragmatik, dan penerapan konsep pragmatik dalam
pengajaran bahasa.
Pada bab III (Kondisi Riil PBA di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) akan
menelusuri latar belakang mahasiswa, tujuan PBA di beberapa jurusan Bahasa
Arab, kurikulum dan silabus bahasa Arab, dan keberadaan staf pengajar/dosen.
Pada bab IV (Analisa Terhadap Pengembangan Konsep Pragmatik dalam
PBA) meliputi beberapa analisa: tujuan, kurikulum, silabus, bahan pengajaran,
kesiapan dosen, bahan pengajaran, dan analisa sarana penunjang.
Sedangkan pada bab V (Penutup) berisikan kesimpulan dan rekomendasi.
Pada kesimpulan akan dibahas pokok-pokok pikiran antara satu tema dengan tema
lain sehingga di dalam penelitian ini akan ditemukan satu kesatuan pemikiran
yang utuh. Sedangkan pada rekomendasi dikemukakan saran, kritik, dan refleksi
ke depan seputar penelitian yang diangkat, sehingga pihak-pihak yang terkait
(seperti para pimpinan fakultas, jurusan, dan dosen) akan menemukan arahan
yang lebih produktif dan strategis bagi pengembangan ke depan.
BAB II
GAMBARAN UMUM KONSEP PRAGMATIK
A. Pengertian, Hakikat, dan Sumber Kajian Pragmatik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat kata-kata pragmatik,
pragmatika, pragmatis, dan pragmatisme1. Kata pragmatik dimaknai (i)
berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya
pemakaian bahasa dalam komunikasi, (ii) berkenaan dengan negara,
pemerintahan. Tampaknya makna pertamalah yang lebih cocok berkaitan
dengan pembahasan pada bab ini. Sedangkan kata pragmatika bermakna (i)
cabang semiotika tentang asal-usul, pemakaian, dan akibat lambang dan tanda
(ii) ilmu tentang pertuturan, konteksnya, dan maknanya.
Selanjutnya kata pragmatis diberi makna (i) bersifat praktis dan
berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan
(kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis, (ii)
mengenai atau bersangkutan dengan pragmatisme. Sedangkan kata
pragmatisme diberi makna (i) kepercayaaan bahwa kebenaran atau nilai-nilai
ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan dan sebagainya)
bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia, (ii) paham yang
menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkaan tumbuh dan berubah
terus, (iii) pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu
1 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka , 1999), cet. Ke-10, h. 784
permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan
praktis.
Istilah pragmatik yang digunakan dalam kaitannya dengan pengajaran
bahasa sebenarnya berasal dari Charles Morris (1946) yang membagi pengkajian
bahasa menjadi tiga, yaitu:
a. Sintaksis, yaitu kajian tentang hubungan antara unsur-unsur bahasa.
b. Semantik, yaitu kajian tentang hubungan unsur-unsur bahasa dengan
maknanya.
c. Pragmatik, yaitu kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan pemakai
bahasa.2
Untuk lebih mendekatkan pada pemahaman, di sini, dikemukakan lima
definisi pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1983).3
Definisi pertama berbunyi:
“Pragmatics is the study of those relations between language and context that are
grammaticalized or encoded in the structure of a language.” (Pragmatik adalah
studi tentang hubungan-hubungan antar bahasa dengan konteks yang
ditatabahasakan, atau dituangkan dalam struktur bahasa).
Definisi ini membatasi bidang pragmatik pada pengkajian aspek-aspek
struktur dan bentuk bahasa yang dapat dikaitkan dengan konteks penggunaan
bahasa. Definisi ini membuat pragmatik lebih relevan pada pengajaran bahasa
yang bertujuan membuat pelajar mampu mengerti dan menghasilkan bentuk
bahasa yang sesuai dengan konteks penggunaannya. Dengan perkataan lain,
2 PWJ Nababan, Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya (untuk selanjutnya disebut Ilmu
Pragmatik), (Jakarta: Dep. P dan K, 1987), h. 1 3 Mansoer Pateda, Linguistik Terapan, (Flores: Nusa Indah, 1991), h. 177-180
pengetahuan tentang pragmatik ini akan membuat pelajar mampu menyelaraskan
bentuk bahasa, baik produktif (dalam hal ini berbicara dan menulis) maupun
reseptif (yakni menyimak dan membaca) dengan faktor-faktor yang terdapat
dalam penggunaan bahasa.4
Definisi kedua berbunyi sebagai berikut:
“pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the
context in wich they would be appropriate.” (pragmatik adalah studi tentang
kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang
digunakan dengan konteksnya).
Definisi ini menunjukkan bahwa untuk memahami makna yang
dimaksudkan oleh pembicara atau penulis, tidak cukup hanya memahami makna
literal kata atau kalimat yang digunakan, tetapi kita dituntut untuk mengambil
kesimpulan tentang apa yang dikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian,
konteks yang ada, dan pengetahuan kita tentang apa yang dikatakan dan ditulis.
Lebih lanjut, definisi ini menggambarkan bahwa pragmatik mengkaji suatu
keterampilan pemakai bahasa; yaitu keterampilan menghubungkan suatu bentuk
bahasa (kalimat) dengan konteks penggunaannya.
Definisi ketiga berbunyi:
Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic
theory. (Pragmatik adalah studi tentang semua aspek makna yang tidak
dimasukkan dalam semantik).
4 PWJ Nababan, Pengajaran Bahasa dan Pendekatan Pragmatik (untuk selanjutnya disebut
Pengajaran Bahasa), dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed), Bulir-bulir Sastra dan Bahasa:
Pembaharuan Pengajaran, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 76
Kalau semantik dianggap bidang yang khususnya menyelidiki kebenaran
logis (true value), maka pragmatik menyelidiki semantik dikurangi nilai
kebenaran. Misalnya di dalam kalimat, “paman seorang laki-laki”, kita dapat
menentukan nilai kebenaran kalimat ini kalau kita tahu bahwa makna kata paman
termasuk makna laki-laki. Tapi kalau kita berkata “paman kaya”, nilai kebenaran
kalimat ini hanya dapat ditentukan kalau kita mengetahui dengan sesungguhnya
bahwa paman memang benar-benar kaya. Kalau kenyataannya cocok, maka
kalimat itu benar. Ini hanya dapat ditentukan kalau kita menggunakan pragmatik
konteks.
Definisi keempat berbunyi:
“Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition,
speech acts, and aspects of discourse structure.” (Pragmatik adalah studi tentang
deiksis, implikatur, praanggapan, ujaran, dan aspek-aspek struktur wacana).
Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-
pindah atau berganti-ganti tergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan
tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Misalnya dalam
pemakaian yang metaforis, kata anjing berpindah referennya kalau kita berkata
sambil marah. Kalimat “kau anjing” memperlihatkan bahwa “kau” bukanlah
anjing, tetapi referen anjing kita pindahkan pada leksem “kau” karena kita sedang
marah.
Implikatur adalah ungkapan yang tidak diungkapkan sebagai mana
mestinya. Hal itu karena pendengar sudah dianggap mengerti dan juga karena
antara pembicara dan pendengar biasa terjadi kerja sama.
Praanggapan (presupposition) adalah syarat yang diperlukan bagi benar-
tidaknya suatu kalimat; misalnya kalimat “ia berdagang” adalah praanggapan bagi
kebenaran kalimat “barang dagangannya sangat laku.5
Menurut teori pertuturan (speech acts) suatu ucapan hanya mempunyai
makna kalau kita dapat menentukan nilai kebenarannya, bahwa makna suatu
ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.
Konsep terakhir pada definisi pragmatik keempat ini adalah struktur
wacana yang mencakup soal pergantian pembicara, penggunaan kalimat yang
tidak lengkap, dan kata penyela.
Definisi kelima berbunyi:
“Pragmatics is the study of the relations between language and context that are
basic to an account of language understanding.” (Pragmatik adalah studi tentang
kaitan antara bahasa dengan konteksnya yang merupakan dasar penentuan
pemahaman).
Dalam definisi ini tersirat bahwa untuk memahami makna yang dimaksud
oleh pembicara atau penulis, kita harus menarik kesimpulan berdasarkan
pemakaian, konteks yang ada, dan pengetahuan kita tentang apa yang dibicarakan
oleh pembicara atau penulis.
Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa telaah pragmatik akan memperhatikan faktor-faktor yang mewadahi
pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan ini berarti
pemakai bahasa tidak hanya dituntut menguasai kaidah-kaidah gramatikal tetapi
5 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT Gramedi Pustaka Utama, 1993), h. 176
juga harus menguasai kaidah-kaidah sosio-kultural dan konteks pemakaian
bahasa.
Dalam kaitan itu, pragmatik memanfaatkan jasa disiplin ilmu lain yang ada
kaitannya dengan faktor yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut
Nababan disiplin ilmu lain yang menjadi sumber kajian pragmatik adalah:6
a. Filsafat kebahasaan (linguistic philosophy), terutama yang berhubungan
dengan teori tindak bahasa (speech act theory), dan implikatur percakapan
(conversational implicatures). Tindak bahasa yang berhubungan dengan
loksi, ilokusi, dan perlokusitelah dijelaskan didepan, demikian pula
implikatur percakapan, misalnya yang menyangkut prinsip kerja sama
(cooperative principle) dan 4 perangkap aturan maxim.
b. Sosioliguistik yang jika dikaitkan dengan pragmatik, maka
pembahasannya berhubungan dengan beragam bahasa, kemampuan
komunikatif, dan fungsi bahasa.
c. Antropologi, misalnya pragmatik membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan basa-basi bahasa (linguistic etiquette), konteks situasi
sebagai faktor penentu bagi makna sesuatu ungkapan, dan faktor
nonverbal dalam pemakaian bahasa.
d. Etnografi berbahasa (ethnography of communicaton/speaking), misalnya
yang berhubungan dengan pemeran serta, di mana, kapan, topik yang
dibicarakan.
6 PWJ Nababan, Ilmu Pragmatik, h. 3
e. Linguistik, terutama yang berkaitan dengan analisis wancana dan teori
deiksis.
B. Ruang Lingkup Kajian Pragmatik
Secara umum pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa tulis dan
lisan dalam situasi yang sebenarnya. Dengan ini berarti pemakaian bahasa itu
memperhatikan konteks yang seutuh-utuhnya atau selengkap-lengkapnya. Terkait
dengan pemakaian bahasa dalam konteks seutuh-utuhnya ini, dapatlah ditelusuri
ruang lingkup kajian pragmatik baik sebagai ilmu maupun sebagai ‘label’
keterampilan berbahasa ‘plus’. Adapun ruang lingkup kajian pragmatik meliputi:7
1. Variasi bahasa
Dalam kenyataannya, bahasa yang dipakai dalam kehidupan berbahasa
sehari-hari adalah variasi bahasa dari bahasa yang ada di satu wilayah. Setiap
bahasa mempunyai variasi. Variasi-variasi bahasa itu adanya dapat dikenali antara
lain dari ciri-cirinya yang ada pada pilihan kata, struktur, dan intonasi.
Selanjutnya, adanya variasi bahasa itu didukung oleh beberapa faktor, yaitu: (i)
faktor geografis, (ii) faktor kemasyarakatan, (iii)faktor situasi berbahasa, dan (iv)
faktor waktu (temporal).
Faktor geografis menimbulkan variasi bahasa yang disebut dialek (lahjah).
Faktor sosial kemasyarakatan menimbulkan variasi bahasa yang disebut ragam
sosiolek. Termasuk dalam faktor sosial kemasyarakatan ini antara lain: (i) status
7 Suyono, Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya, (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Malang,
1990), h. 11
sosial ekonomi, (ii) tingkat pendidikan, (iii) usia, dan (iv) jenis kelamin. Faktor
situasi berbahasa akan menghasilkan variasi berbahasa yang disebut ragam
fungsiolek, yang mencakup (i) partisipan/pihak yang terlibat dalam peristiwa
berbahasa, (ii) topik yang dibicarakan, (iii) jalur yang digunakan, (iv) tingkat
keresmian berbahasa, (v) hubungan antarperan, dan (vi) anggapan antarperan.
Terakhir, faktor waktu (temporal) akan menghasilkan variasi bahasa yang disebut
ragam kronolek. Variasi bahasa karena faktor waktu ini dapat dilihat dari wujud
bahasa yang digunakan dalam kegiatan berbahasa dari waktu ke waktu.
Dalam perspektif pragmatik, yang terkait dengan variasi bahasa,
bagaimana variasi-variasi bahasa itu dipakai dan ditafsirkan dalam kegiatan
berbahasa yang sesungguhnya. Karena itu, berkaitan dengan variasi bahasa, yang
perlu diajarkan melalui pendekatan pragmatik adalah: (i) kapan dan bagaimana
menggunakan berbagai variasi bahasa secara tepat, dan (ii) bagaimana
menyelaraskan bentuk-bentuk (variasi bahasa) dengan faktor sosial
kemasyarakatan dan situasi berbahasa dalam kegiatan berbahasa yang senyatanya
secara tepat.
2. Deiksis
Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila acuan/rujukan/referennya
berpindah-pindah atau berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi si
pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
Dalam kajian pragmatik dikenal ada lima macam deiksis, yaitu: (i) deiksis
persona, (ii) deiksis tempat, (iii) deiksis waktu, (iv) deiksis wacana, dan (v)
deiksis sosial.
Deiksis persona berkaitan dengan peran atau peserta yang terlibat dalam
peristiwa berbahasa, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (i) kategori
orang pertama, (ii) kategori orang kedua, dan (iii) kategori orang ketiga. Deiksis
persona biasanya berupa kata ganti orang (saya, kamu, mereka, dan sebagainya;
dalam Bahasa Arab أنت , هو ,أنا , dan sebagainya). Di samping itu, digunakan pula
bentuk sapaan (saudara, bapak, ibu, dan sebagainya; dalam Bahasa Arab شيخ ,
,dan sebagainya). Dalam kaitannya dengan pengajaran pragmatik , فضيلة , سعادة
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan deiksis persona tersebut
dengan tepat. Dengan perkataan lain, dalam suatu peristiwa berbahasa, pemakai
bahasa dituntut untuk dapat menggunakan deiksis persona sesuai dengan kaidah
sosial (sosio-kultural) dan santun berbahasa dengan tepat.
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang (tempat)
dipandang dari lokasi pemeran dalam suatu peristiwa berbahasa. Deiksis tempat
berkaitan dengan yang dekat dengan pembicara (di sini, هنا ), dan tidak dekat
dengan pembicara (di sana هناك ), dan lain sebagainya. Dalam kaitannya dengan
pengajaran pragmatik, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan
dan menafsirkan wujud-wujud deiksis tempat dalam berbahasa secara tepat, sesuai
dengan konteksnya.
Deiksis waktu menunjuk kepada pengungkapan jarak waktu dipandang
dari waktu sesuatu ungkapan dibuat oleh pembicara. Leksem waktu yang
berdeiktis misalnya sekarang (اآلن), kemarin (أمس), besok (غدا), dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan pengajaran pragmatik, yang penting adalah melatih
siswa menggunakan dan menafsirkan leksem waktu yang berdeiksis dalam
kegiatan berbahasa.
Deiksis wacana berkaitan dengan bagian-bagian tertentu dalam wacana
yang telah diberikan dan atau yang sedang dikembangkan. Deiksis wacana berupa
anafora (merujuk kepada yang akan disebut). Adapun bentuk-bentuk yang biasa
digunakan untuk menyatakan deiksis wacana biasanya berupa kata atau frase,
seperti: yang terdahulu, yang pertama, sebagai brikut, كما يلي , كما ذكرنا , dan
sebagainya. Deiksis wacana bermanfaat untuk menghasilkan dan
menafsirkan/memahami wacana (tulis dan lisan) secara utuh.
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang
terdapat antara para partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, terutama
yang berhubungan dengan aspek sosial budayanya. Adanya deiksis ini
memunculkan adanya “kesopanan/etiket berbahasa”. Dengan deiksis ini pula
bentuk/ragam bahasa yang dipilih akan diselaraskan dengan aspek-aspek sosial
budaya yang dimiliki oleh partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.
3. Implikatur percakapan
Implikatur percakapan merupakan salah satu aspek kajian pragmatik yang
perhatian utamanya mempelajari maksud suatu ucapan sesuai dengan konteksnya.
Dengan perkataan lain, implikatur percakapan dipakai untuk menerangkan makna
implisit dibalik “apa yang diucapkan/ditulis” sebagai “sesuatu yang
diimplikasikan”. Menurut Grice (1967) ada seperangkat asumsi yang melingkupi
dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindakan berbahasa. Seperangkat
asumsi itu akan memadu tindakan orang dalam percakapan untuk mencapai hasil
yang baik. Seperangkat asumsi itu disebut aturan percakapan (maxims of
conversation) yang merupakan prinsip kerjasama (PK) (cooperative principle)
yang terdiri dari:8
a. Maksim kuantitas yang berkaitan dengan jumlah informasi yang diberikan,
karena itu “buat sumbangan/keterangan anda seinformatif yang
diperlukan” dan “jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari
yang diperlukan”.
b. Maksim kualitas, berkaitan dengan mutu informasi yang disampaikan,
karena itu “jangan katakan apa yang anda anggap salah” dan jangan
katakan sesuatu yang anda tidak dapat mendukung dengan bukti yang
cukup.
c. Maksim hubungan atau keinformatifan khusus mengatakan “usahakan agar
informasi yang diberikan ada relevansinya”
d. Maksim cara mengatakan “usahakan agar apa yang disampaikan mudah
dimengerti”. Grice menganggap maksim ini tidak sepenting maksim-
maksim lainnya, ia juga berpendapat bahwa maksim ini berbeda dengan
maksim-maksim yang lain karena maksim ini bukan mengatur “apa” yang
dikatakan tetapi “bagaimana” yang dikatakan itu seharusnya dikatakan.
Di samping keempat prinsip tersebut ada prinsip lain yang harus
diperhatikan dalam komunikasi yaitu prinsip sopan santun (PS) (politeness
principle) yang terdiri dari:9
8 Ibid, h.14-15. Lihat pula Geofrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik, Diterjemahkan oleh M.D.D.
Oka dari The Principles of Pragmatics, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 128 9 Ibid, h. 206
a. Maksim kearifan (tact maxim), berkaitan dengan keuntungan dan kerugian
dalam berbahasa, karena itu “perkecil kerugian pada orang lain sekecil
mungkin” dan “buatlah keuntungan untuk orang lain sebesar mungkin”.
b. Maksim kedermawanan (generosity maxim), merupakan pasangan dari
maksim keaarifan yang juga berkaitan dengan keuntungan dan kerugian
dalam berbahasa, menyarankan “buatlah keuntungan untuk diri sendiri
sekecil mungkin” dan “buatlah kerugian pada diri sendiri sebesar
mungkin”.
c. Maksim pujian (approbation maxim), berkaitan dengan skala pujian dan
kecaman dalam berbahasa, menyarankan “ kurangi cacian pada orang lain
sesedikit mungkin” dan “pujilah orang lain sebanyak mungkin”.
d. Maksim kerendahan hati (modesty maxim), merupakan pasangan dari
maksim pujian yang juga berkaitan dengan skala pujian dan kecaman
dalam berbahasa, menyarankan “pujilah diri sendiri sesedikit mungkin”
dan “kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin”.
e. Maksim kesepakatan (agreement maxim) menyarankan “usahakan agar
ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit
mungkin” dan “usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang
lain terjadi sebanyak mungkin”.
f. Maksim kesimpatisan (sympathy maxim) menyarankan “kurangi rasa
antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil mungkin” dan
“tingkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain sebesar-
besarnya”.
4. Praanggapan
Praanggapan adalah pengetahuan latar belakang atau pengetahuan
prasyarat yang dapat membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai
makna atau masuk akal/dapat diterima oleh partisipan yang terlibat dalam
peristiwa berbahasa. Praanggapan sebagai penyimpulan dasar mengenai konteks
berbahasa akan membuat bentuk bahasa mempunyai makna bagi pendengar dan
sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat
mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Dengan kata lain, jika suatu
kalimat yang diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan
kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna yang tidak dinyatakan, tetapi
tersiratkan dari pengucapan kalimat itu.10 Misalnya percakapan si A melalui
telepon: “Kalau barang saya itu sudah laku, uangnya jangan dikirimkan ke alamat
rumah, tetapi ke alamat kantor saja”. Yang dinyatakan (asserted) pada kalimat itu
adalah pemberitahuan mengenai cara pengiriman uang, tetapi yang
dipraanggapkan (presupposed) adalah bahwa orang yang ditelpon itu masih
memiliki tanggungan yang harus dibereskan pada suatu waktu.
5. Tindak ujaran atau tindak tutur (speech act)
Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata
mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan
kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Perkataan seorang ibu rumah pondokan
putri “sudah jam sembilan”, tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada
10 Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984,
(Yogyakaarta: Penerbit Kanisius, 1990), h. 18
saat itu; akan tetapi ia juga menindakkan sesuatu, yakni memerintahkan si lawan
bicara penghuni pondokan supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Ada beberapa hal yang dapat ditindakkan di dalam berbicara, seperti
permintaan (requests), pemberian izin (permissions), tawaran (offers), penerimaan
akan tawaran (acceptation of offerrs).11
Tindak ujaran ada yang berupa langsung dan ada yang tidak langsung.
Seperti contoh berikut:
1. Tindak ujaran langsung
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini
2. Tindak ujaran tidak langsung
A: Gulanya habis, nyak.
B: Ini uangnya. Beli sana!
6. Struktur (situasi) percakapan
Percakapan hakikatnya adalah peristiwa berbahasa lisan antara dua orang
partisipan atau lebih yang pada umumnya terjadi dalam suasana santai.
Percakapan merupakan wadah yang memungkinkanterwujudnya prinsip-prinsip
kerja sama dan sopan santun yang muncul dalamperistiwa berbahasa secara
fungsional. Dalam percakapan, sebagai peristiwa berbahasa, ada beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan, diantaranya: (i) bagaimana cara menarik
11 Ibid, h. 19
perhatian seseorang, (ii) bagaimana cara memulai pembicaraan (iii) bagaimana
cara mengakhiri pembicaraan, (iv) bagaimana cara menginterupsi atau memotong
pembicaraan, dan (v) bagaimana memperbaiki kesalahan.12
C. Proses Belajar Mengajar Pragmatik
Studi tentang Proses Belajar Mengajar (PBM) sangat penting bahkan
merupakan suatu keharusan bagi setiap tenaga pengajar baik di tingkat dasar,
menengah pertama, menengah atas, maupun di perguruan tinggi. Hal ini karena
hampir semua aktivitas para pengajar tercakup dalam PBM. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa PBM menyangkut tiga permasalahan, yakni:
1. perilaku, persyaratan, kualifikasi, fungsi, dan tugas yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan oleh pengajar,
2. minat, bakat, karakter serta masalah-masalah yang dihadapi siswa yang
wajib diperhatikan oleh guru,
3. tujuan pengajaraan, bahan, metode, media, dan evaluasi, baik evaluasi siswa
dan program pengajaran yang harus dirumuskan, maupun yang disusun dan
dilaksanakan oleh setiap guru.13
PBM bisa didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan dalam rangka
perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program pengajaran. Di dalam
PBM terlibat guru, siswa, dan komponen lainnya. PBM merupakan urat nadi
pendidikan. Bila PBM dilaksanakan dengan sempurna akan tercapai tujuan
instruksional.
12 Suyono, Op. cit., h. 17 13 Djago Tarigan, Proses Belajar Mengajar Pragmatik, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1990), Cet.
Ke-10, h. 37
PBM dalam arti perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program
pengajaran adalah tugas dan menjadi tanggung jawab setiap pengajar mulai dari
tingkat SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar masalah dunia pendidikan seperti masalah kuantitas, kualitas,
relevansi, efisiensi, dan efektivitas dibebankan ke pundak para pengajar. Karena
itu para guru harus mengerti, menghayati dan melaksanakan tuntutan dan tugas-
tugas yang tersirat dalam PBM.
Dikaitkan dengan pengajaran pragmatik, kegiatan PBM dapat diuraikan
dalam beberapa langkah, yaitu:14
(1) perencanaan pengajaran pragmatik
(2) pelaksanaan pengajaran pragmatik
(3) penilaian pengajaran pragmatik.
1. Perencanaan Pengajaran Pragmatik
Perencanaan ini dimulai dengan proses penyusunan program satuan
pengajaran pragmatik, guru mulai dari melihat tujuan kurikuler, tujuan
instruksional umum, dan menjabarkan tujuan instruksional khusus dari tujuan
instruksional umum. Setelah itu dikembangkan alat evaluasi untuk mengukur
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Menyusul kemudian penyusunan bahan
yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Langkah berikutnya memilih metode
penyampaian bahan dan media pengajaran yang dapat membantu pemahaman
14 Ibid, h. 43
siswa terhadap bahan yang disampaikan. Hasil penyusunan program pengajaran
ini dituangkan dalam satuan pelajaran.
Pedoman dalam menyusun program satuan pengajaran pragmatik adalah
Garis-garis Besar Penyusunan Program (GBPP). Dalam setiap GBPP sudah tertera
tujuan, bahan pengajaran, program, metode, sarana dan sumber, serta penilaian.
2. Pelaksanaan Pengajaran Pragmatik
Pelaksanaan program pengajaran pragmatik dalam kelas dilakukan setelah
perencanaannya selesai dikerjakan. Dalam melaksanakan program pengajaran
pragmatik guru hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
a. waktu yang tersedia
b. GBPP bidang studi bahasa yang dipelajari
c. Sifat pokok bahasan pragmatik sehingga dapat ditetapkan
pengorganisasian kelas, mengintegrasikan materi, metode, sarana
dan sumber sehingga tercermin dalam kegiatan belajar-mengajar
d. Berbagai sumber dan sarana yang terdapat di lingkungan sekolah
dan lingkungan sekitarnya.
Langkah atau kegiatan guru berkaitan dengan langkah atau kegiatan siswa.
Dengan perkataan lain kegiatan guru terintegrasi dengan kegiatan siswa. Kegiatan
siswa dapat berupa tugas tertentu yang harus dilakukan dalam menguasai tujuan
pengajaran. Kegiatan belajar siswa harus memenuhi kriteria:
a. terarah ke tujuan pengajaran
b. mengembangkan kretifitas siswa
c. dipahami siswa
d. membina kemampuan atau keterampilan proses
e. dapat dinilai
KBM pada tahap akhir harus menghasilkan sesuatu. Hasil kerja siswa ini
dapat berupa model, gambar, grafik, diagram, laporan hasil diskusi kelompok,
laporan tugas kelompok dan sebagainya.
Perlu ditambahkan bahwa dalam KBM perlu dicantumkan hal-hal berikut:
a. tugas individual atau tugas kelompok
b. hal yang harus dilaksanakan (individual atau kelompok)
c. rangkuman hasil yang diharapkan/diperkirakan
d. jangka waktu penyelesaian tugas
3. Penilaian Pengajaran Pragmatik
Bagian akhir dari proses belajar pragmatik adalah tahap penilaian. Penilaian
mungkin mencakup dua hal, yaitu:
a. penilaian terhadap proses belajar mengajar yang sedang
berlangsung
b. penilaian terhadap hasil belajar siswa.
Penilaian terhadap proses belajar-mengajar pragmatik berarti menilai segi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian. Dalam perencanaan pengajaran
pragmatik, penilaian diarahkan terutama kepada:
a. penyusunan tujuan instruksional khusus (TIK),
b. pengembangan bahan,
c. pemilihan metode,
d. pemilihan media, sumber dan sarana,
e. cara penilaian.
Penilaian terhadap kegiatan belajar-mengajar atau pelaksanaan pengajaran
pragmatik diarahkan kepada:
a. kesesuan kegiatan siswa dengan tujuan pengajaran,
b. proses kegiatan mengembangkan keterampilan proses,
pengembangan konsep, pengembangan sikap dan nilai, serta
pengembangan keterampilan.
Sedangkan penilaian terhadap prestasi belajar siswa diarahkan terutama
kepada:
a. penguasaan konsep,
b. penumbuhan sikap dan nilai, dan atau
c. penguasaan keterampilan.
Penilaian pengetahuan dan konsep pragmatik hendaknya dapat
mengungkapkan penalaran dan kreativitas siswa. Dianjurkan agar tes uraian
sering digunakan. Bila menilai keterampilan maka tes perbuatan sering digunakan.
BAB III
DESKRIPSI SETTING PENELITIAN
A. Sejarah Berdiri
Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan perwujudan dari gagasan dan
hasrat umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia untuk membangun sistem
pendidikan yang integralistik dan komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu
dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga
pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan intelektual yang profesional dan
bermoral.
Sejarah berdirinya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan kisah
perjuangan umat Islam Indonesia yang panjang dan melelahkan sejak zaman
perintisan (pada masa penjajahan Belanda) hingga menjadi UIN Syarif
Hidayatullah sekarang ini.
1. Periode Perintisan
Gagasan untuk mencetak kader pemimpin Islam melalui pendidikan tinggi sudah
muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika Dr. Satiman Wirjosandjojo
berusaha mendirikan Pesantren Luhur sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
Agama, usaha itu belum berhasil karena hambatan dari pihak penjajah. Pada tahun
1940 Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang mendirikan Sekolah Islam
Tinggi (SIT), tetapi hanya berjalan sampai tahun 1942 karena pendudukan Jepang
di Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang usaha mendirikan Perguruan Tinggi
Islam terus dilakukan, hingga akhirnya pemerintah Jepang menjanjikan kepada
umat Islam Indonesia untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Agama di
Jakarta. Kemudian beberapa tokoh Islam segera mendirikan sebuah yayasan yang
diketuai oleh Dr. Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir.15
Pada tanggal 8 Juli 1945 (27 Rajab 1364 H) yayasan tersebut mendirikan
Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di Jakarta, dipimpin oleh Abdul
Kahar Mudzakkir. Dan tokoh lainnya yang juga berjasa dalam usaha mulia ini
adalah KH Mas Mansur, KH Fathurrahman Kafrawi dan KH Farid Ma’ruf.
Akibat kepindahan pusat pemerintahan RI ke Yogyakarta (1946), STI pun
ikut pindah dan pada tanggal 22 Maret 1948 berganti nama menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII) dengan penambahan fakultas-fakultas baru, sehingga UII
mempunyai 4 fakultas, yaitu: Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas
Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.
2. Periode ADIA (1957-1960)
Fakultas Agama UII kemudian ditingkatkan dan dinegerikan menjadi
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) bekedudukan di Yogyakarta
berdasarkan peraturan pemerintah no. 34 tahun 1950 dengan tujuan memberikan
pengajaran tingkat tinggi (Islam) dan menjadi pusat pengembangan serta
pendalaman ilmu pengetahuan Agama Islam. PTAIN ini dipimpin oleh KH
Muhammad Adnan sebagai ketua fakultas, dan mempunya tiga jurusan,
yaitu:Tarbiyah, Qadla, dan Dakwah.
Setelah PTAIN di Yogyakarta, di Jakarta berdiri pula sebuah lembaga
tinggi Agama Islam yang diberi nama Akademi Dinas Ilmu Agama pada tanggal 1
Juni 1957 dengan tujuan mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri guna
15 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Tahun
2000/2001, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 1
mencapai ijazah pendidikan akademi dan semi akademi untuk menjadi ahli didik
agama pada sekolah menengah umum, sekolah kejuruan dan sekolah agama.
Lama belajar 5 tahun yang terdiri dari tingkat semi akademi 3 tahun dan tingkat
akademi 2 tahun. ADIA mempunyai tiga jurusan yaitu Jurusan Pendidikn Agama,
Jurusan Bahasa Arab, dan Jurusan Khusus untuk Imam Tentara.
Sesuai dengan fungsinya sebagai akademi dinas, maka mahasiswa yang
mengikuti kuliah pada akademi itu terbatas pada mahasiswa tugas belajar yang
terdiri dari para pegawai/guru agama di lingkungan Departemen Agama dari
berbagai daerah seluruh Indonesia yang masuk berdasarkan seleksi. ADIA ini
dipimpin oleh Prof. Dr. Mahmud Yunus sebagai Dekan dan Prof Bustami Abdul
Gani sebagai Wakil Dekan.16
3. Periode IAIN Al-Jami’ah yang Berpusat di Yogyakarta (1960-1963)
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam kerangka usaha dan
langkah peningkatan pendidikan tinggi Islam, timbullah ide untuk
menggabungkan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta dalam bentuk
universitas atau institut. Usaha tersebut akhirnya berhasil dengan diresmikannya
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah oleh
Menteri Agama dalam suatu upacara di gedung kepatihan Yogyakarta berdasarkan
Peraturan Presiden RI nomor 11 tahun 1960, tanggal 24 Agustus 1969 (2 Robi’ul
Awwal 1380 H). sedangkan kator pusat IAIN ini bertempat di Yogyakarta.
16 Ibid, h. 2-4
IAIN Cabang Jakart, sebagai ADIA, terdiri dari Fakultas Tarbiyah dan
Fakultas Adab. Sebagai dekan Fakultas Tarbiyah adalah Prof. Dr. Mahmud Yunus
dan dekan Fakultas Adab adalah Prof. Dr. Bustami Abdul Gani.
4. Periode IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1963-2002)
Mengingat perkembangannya yang pesat, IAIN yang berpusat di
Yogyakarta kemudian dibagi menjadi dua institut berdasarkan keputusan Menteri
Agama RI no 49 tahun 1963 tanggal 25 Pebruari 1963. IAIN yang berpusat di
Yogyakarta menjadi IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN yang berpusat di Jakarta
menjadi IAIN Syarif Hidayatullah.
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah pada saat itu dijabat oleh Prof. Drs.
Soenardjo dn mempunyai empat fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah, Fakultas Adab,
Fakultas Ushuluddin di Jakarta, dan Fakultas Syari’ah di Serang. Di samping itu
juga mengkoordinasikan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh
dan Palembang. Dalam masa dua tahun sampai tahun 1965 dibuka pula fakultas-
fakultas baru, yaitu Fakultas Tarbiyah di Serang, Cirebon, Padang, dan Pekanbaru,
serta Fakultas Syari’ah di Jambi. Cabang-cabang IAIN Jakarta ini kemudian satu
per satu berdiri sendiri menjadi IAIN maupun STAIN. Sejak diterbitkannya
Keputusan Menteri Agama RI no 15 tahun 1988, IAIN Jakarta terdiri dari
Fakultas Tarbiyah, Fakultas Adb, Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syari’ah, dan
Fakultas Dakwh di Jakarta dan Fakultas Tarbiyah di Pontianak. Selanjutnya,
berdasarkan Keputusan Presiden RI no 11 tahun 1997 tentang perubahan status
fakultas daerah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka
Fakultas Tarbiyah Pontianak berdiri sendir sebagai STAIN Pontianak.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di
Indonesia menempati posisi unik dan strategis, tidak hanya sebagai ‘Jendela Islam
di Indonesia’, tetapi juga simbol bagi kemajuan pembangunan nasional,
khususnya di bidang pembangunan sosial-keagamaan.
Sebagai upaya untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama,
leambaga ini mulai mengembangkan diri dengan konsep IAIN dengan mandat
yang lebih luas (IAIN with wider mandate) menuju terbentuknya Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah konversi ini lebih
diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan
dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah,
serta Jurusn Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syari’ah pada tahun
akademik 1998/1999. pada tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis dan
Teknik Informatika bekerjasma dengan IPB dan BPPT, Manajemen, dan
Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan Fakultas Psikologi dan Fakultas Dirasat
Islamiyah bekerjasama dengan Al-Azhar Mesir. Selain itu dilakukan juga upaya
kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana
pembangunan kampus yang modern, McGill University (CIDA), Leiden
University (INIS), Univearsitas Al-Azhar (Kairo), King Saud University
(Riyadh),UI, IPB, UMJ, Ohio University, LIA, BPPT, Bank BNI, Bank
Mu’amalat Indonesia, dan lain-lain.
Langkah perubahan bentuk IAIN menjadiUIN mendapat rekomendasi
dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan
Nasional RI nomor 4/U/KB/2001 dan Menteri agama RI nomor 500/2001 tanggal
21 Nopember 2001, dan di samping itu 12 program studi ilmu sosial dan eksakta
(Teknik Informatika, Sitem Informasi, Akuntansi, Manajemen, Agribisnis,
Psikologi, Bahasa dn Sastera Inggris, Ilmu Perpustakaan, Matematika, Kimia,
Fisika, dan Biologi) mendapat izin operasional dari Dirjen Pendidikan Tinggi
Depdiknas RI dalam surat nomor 088796/MPN2001 tanggal 22 Nopember 2001.
Lebih lanjut, rancangan Keppres tentang perubahan bentuk IAIN menjadi
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta juga telah mendapat rekomendasi dan
pertimbangan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI dan Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan RI nomor 02/M-PAN/I/2002 tanggal 9 Januari 2002 dan
nomorS-490/MK-2/2002 tanggal 14 Pebruari 2002. rekomendasi ini merupakan
dasr bagi Keppres no 31 tanggal 20 Mei 2002 tentang perubahan IAIN Jakarta
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mulai 20 Mei 2002)
IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan terbitnya Keputusan Presiden RI nomor 31 tahun
2002 tanggal 20 Mei 2002. Peresmiannya dilakukan oleh wakil Presiden Hamzah
Haz tanggal 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45 dan
Lustrum ke-9 serta pemancangan tiang pertama pembangunan kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.17
Sebagai upaya awal untuk menghilangkan dikotomi ilmu, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta mulai tahun akademik 2002/2003 menetapkan nama-nama
fakultas sebagai berikut:
17 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Tahun
2002/2003, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), h. 1-7
a. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
b. Fakultas Adab dan Humaniora
c. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
d. Fakultas Syari’ah dan Hukum
e. Fakultas Dakwah dan Komunikasi
f. FakultasDirasat Islamiyah
g. Fakultas Psikologi
h. Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
i. Fakultas Sains dan Teknologi
j. Program Pascasarjana
B. Visi, Misi, dan Tujuan
1. Visi
Untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan
UIN Syarif Hidayatullah maka perlu dibuatkan gambaran masa depan
yang dirumuskan dalam sebuah visi. Dan visi yang dirumuskan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta adalah: “Menjadikan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam
mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan.”18
2. Misi
Untuk merealisasikan visi di atas maka dirumuskanlah misi sebagai berikut:19
a. Menghasilkan sarjana yang memiliki keunggulan kompetitif dalam
persaingan global.
18 Ibid, h.7 19 Ibid
b. Melakukan reintegrasi epistemologi keilmuan.
c. Memberikan landasan moral terhadap pengembangan iptek dan
melakukan pencerahan dalam pembinaan imtaq.
d. Mengembangkan keilmuan melalui kegiatan penelitian.
e. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
3. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi di atas maka dirumuskanlah tujuan sebagai berikut:20
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan agama
Islam.
b. Mengembangkan dan meanyebarluaskan ilmu pengetahuan agama
Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatan taraf
kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
C. Pengajaran Bahasa Arab di UIN
1. Jurusan-jurusan Bahasa Arab
Di sini hanya ditampilkan empat jurusan yang dipandang sebagai
jurusan-jurusan yang secara khusus mempelajari Bahasa Arab dan ilmu-
ilmu Bahasa Arab, yaitu Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab, Jurusan Tarjamah, Jurusan/Fakultas Dirasat
Islamiyah. Ini dijadikan tempat dan sumber penelitian karena efektifitas
20 Ibid
pembelajaran Bahasa Arab pada keempat jurusan ini, mata kuliah Bahasa
Arab bukan sekedar melengkapi kurikulum.
a. Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab bertujuan menyiapkan tenaga-
tenaga ahli yang dapat memahami ajaran Islam dari sumber aslinya ( Al-
Qur'an dan Hadits ) dan mengisi kekurangan tenaga-tenaga ahli yang
bertugas dalam Hubungan Internasional, lembaga-lembaga penelitian,
kegiatan nasional, internasional, dan sebagainya. Singkatnya, jurusan
Bahasa dan Sastra Arab bertujuan untuk mencetak sarjana yang menguasai
bidang bahasa dan sastra Arab.
b. Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Jurusan PBA ini bertujuan mencetak sarjana di bidang Bahasa
Arab. Jurusan ini menyiapkan sarjana bidang keguruan bahasa Arab yang
profesional untuk mengajar pada jenjang Madrasah aliyah dan sederajat
c. Jurusan Tarjamah
Jurusan Tarjamah ini bertujuan untuk mencetak sarjana yang ahli
di bidang penerjemahan baik dari bahasa Arab ke Indonesia atau dari
bahasa Indonesia ke Arab.
d. Fakultas/Jurusan Dirasat Islamiyah
Fakultas Dirasat Islamiyah bertujuan menyiapkan lulusan yang ahli
dan profesional dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dengan standar
mutu Universitas Al-Azhar Mesir
2. Tujuan
Secara umum pembelajaran Bahas Arab di UIN bertujuan agar:
a. Mahasiswa mampu membaca dan memahami teks-teks yang
berhubungan agama, sosial, dan pendidikan.
b. Mahasiswa memahami bentuk serta jabatan kata dalam kalimat.
c. Mahasiswa mempunyai sikap yang positif terhadap Bahasa Arab
sebagai alat untuk mengembangkan studi agama dan mendalami dan
mengamalkan ajaran Islam.
3. Kurikulum
Sebagai Mata Kuliah Umum (MKDU), Bahasa Arab diajarkan
di semua fakultas dan jurusan di UIN Syarif Hidayatullah21 sebanyak 4
sks.
Sebagai Mata Kuliah Keahlian (MKK) di jurusan-jurusan ini diajarkan
pula mata kuliah-mata kuliah ilmu-ilmu kebahasa-araban seperti: Ilmu
Nahwu, Ilmu Sharf, Ilmu Balagah, Ilmu Lugah ‘Am (Linguistik Umum),
Fiqh al-Lugah (Linguistik Khusus), dan lain-lain. Selain itu diajarkan pula
mata kuliah-mata kuliah yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa
seperti: Ta’bir Syafawi (Muhadatsah), Tarjamah, Muthala’ah, Insya, dan
lain-lain, bisa dilihat pada lampian.
21 Mata kuliah Bahasa Arab sebagai Mata Kuliah Dasar Umum diajarkan di semua jurusan kecuali
Fakultas/Jurusan Dirasat Islamiyah. Fakultas ini tidak mengajarkan Bahasa Arab sebagai satu mata
kuliah khusus, karena mahasiswa pada fakultas ini sudah dianggap mampu berbahasa Arab. Tapi
pada fakultas ini diajarkan ilmu-ilmu kebahasa-araban.
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DI LAPANGAN
A. Identitas Responden
Tabel 1
Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin N %
1 Laki-laki 29 58
2 Perempuan 21 42
Jumlah 50 100
Berdasarkan data responden, tampak 58% responden adalah laki-laki, dan
42% adalah perempuan. Tampaknya jumlah mahasiswa pada beberapa
jurusan/program studi, dalam hal ini jurusan-jurusan Bahasa Arab, lebih banyak
dari pada jumlah mahasiswi.
Tabel 2
Fakultas
No. Fakultas N %
1 Adab & Humaniora 30 60
2 Tarbiyah & Ilmu Keguruan 10 20
3 Dirasat Islamiyah 10 20
Jumlah 50 100
Responden kebanyakan berasal dari Fakultas Adab dan Humaniora yaitu
sebanyak 60%, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan sebanyak 20%, dan
Fakultas Dirasat Islamiyah sebanyak 20%.
Tabel 3
Jurusan
No. Jurusan N %
1 Bahasa & Sastra Arab 17 34
2 Terjemah 13 26
3 Pendidikan Bahasa Arab 10 20
4 Dirasat Islamiyah 10 20
Jumlah 50 100
Sedangkan berdasarkan jurusan, responden dari jurusan Bahasa dan Sastra
Arab sebanyak 34%, jurusan Tarjamah sebanyak 26%, jurusan Pendidikan Bahasa
Arab sebanyak 20%, dan jurusan Dirasat Islamiyah sebanyak 20%
Tabel 4
Asal Sekolah
No. Asal Sekolah N %
1 MA 37 74
2 SMU 6 12
3 Pesantren 7 14
Jumlah 50 100
Dilihat dari latar belakang pendidikan mahasiswa, sebagian besar
responden berasal dari sekolah agama yaitu dari Madrasah Aliyah Negeri dan
Swasta dan Pesantren. Sedangkan rinciannya adalah sebagai berikut: Madrasah
Aliyah mencapai 74%, Pesantren mencapai 14%, dan Sekolah Menengah Umum
mencapai 12%.
Tabel 5
Bahasa Ibu
No. Bahasa Ibu N %
1 Betawi 13 26
2 Sunda 12 24
3 Jawa 10 20
4 Minang 2 4
5 Sasak 2 4
6 Palembang 1 2
7 Indonesia 10 20
Jumlah 50 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa bahasa ibu responden yang paling
dominan adalah Bahasa Betawi sebanyak 26%, kemudian Bahasa Sunda sebanyak
24%, selanjutnya Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia memiliki jumlah responden
yang sama banyak yaitu masing-masing 20%. Sedangkan sisanya sebanyak 10%
dibagi-bagi kepada Bahasa Minang sebanyak 4%, Bahasa Sasak sebanyak 4%,
dan Bahasa Palembang sebanyak 2%.
Tabel 6
Bahasa Sehari-hari
No. Bahasa Sehari-hari N %
1 Betawi 8 16
2 Sunda 7 14
3 Jawa 1 2
4 Melayu 1 2
5 Minang 1 2
6 Indonesia 32 64
Jumlah 50 100
Walaupun pada tabel 15 Bahasa Betawi lebih dominan dari bahasa
lainnya, namun pada kehidupan sehari-harinya para mahasiswa lebih banyak
menggunakan Bahasa Indonesia yaitu 64% dari responden, kemudian disusul
Bahasa Betawi sebanyak 16%, Bahasa Sunda 14%, dan Bahasa Jawa, Bahasa
Melayu, Bahasa Minang masing-masing sebanyak 2%.
B. Tujuan
Tabel 7
Mengetahui Tujuan PBA di Jurusan
No. Jawaban N %
1 Ya 33 66
2 Tidak 17 34
Jumlah 50 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
mengetahui tujuan Pengajaran Bahasa Arab di jurusan masing-masing, yaitu
sebanyak 66%. Sedangkan yanng menyatakan tidak mengetahui sebanyak 34%.
Tabel 8
Dari mana Mengetahui Tujuan
No. Jawaban N %
1 Dosen 23 70
2 Kebijakan Jurusan 3 9
3 Teman 1 3
4 Dekan 1 3
5 Kesimpulan pribadi 3 9
6 Silabus 1 3
7 Perkuliahan 1 3
Jumlah 33 100
Adapun yang menjadi sumber bagi para mahasiswa, dari jumlah
mahasiswa yang mengetahui tujuan yaitu 33 orang, untuk mengetahui tujuan
pengajaran Bahasa Arab tersebut, mayoritas responden menyatakan dari dosen
yaitu sebanyak 70%, kemudian dari kebijakan jurusan sebanyak 9%, dari
kesimpulan sendiri sebanyak 9%, dari teman sebanyak 3%, dari dekan sebanyak
3%, dari silabus sebanyak 3%, dan dari perkuliahan sebanyak 3%.
Tabel 9
Tujuan PBA Sesuai dengan Kebutuhan
No. Jawaban N %
1 Ya 14 42
2 Tidak 18 55
3 Kadang-kadang 1 3
Jumlah 33 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa mayoritas mahasiswa merasa bahwa
tujuan Pengajaran Bahasa Arab di jurusan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan
mereka, mencapai 55%, sedangkan yang merasa sesuai sebanyak 48%, dan
lainnya sebanyak 2% menyebut kadang-kadang sesuai dan kadang-kadang tidak.
Tabel 10
Alasan Tidak Tahu Tujuan PBA
No. Jawaban N %
1 Dosen tidak menjelaskan tujuan
PBA
12 70
2 Jurusan belum membuat
kurikulum
2 12
3 Tidak jelas semuanya 2 12
4 Kurikulumnya tidak jelas 1 6
Jumlah 17 100
Sedangkan dari 17 mahasiswa yang tidak mengetahui tujuan Pengajaran
Bahasa Arab tersebut mereka memberi alasan beragam, yaitu sebanyak 70%
responden mengatakan bahwa dosen tidak menjelaskan tujuan, 12% responden
mengatakan bahwa jurusan belum membuat kurikulum, 12% responden lainnya
menyatakan tidak jelas semuanya, dan sebanyak 6% responden menyatakan
kurikulumnya yang tidak jelas.
Tabel 11
Dosen Menjelaskan Tujuan PBA di Awal Perkuliahan
No. Jawaban N %
1 Ya 15 30
2 Tidak 22 44
3 Tidak tahu 13 26
Jumlah 50 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan
bahwa dosen tidak memberi penjelasan mengenai tujuan Pengajaran Bahasa Arab
di jurusan mereka, yaitu sebanyak 44% responden, 30% responden menyatakan
bahwa dosen menjelaskan tujuan, dan 26% responden mengatakan tidak tahu.
C. Kurikulum
Tabel 12
Mengetahui Kurikulum Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Ya 21 42
2 Tidak 29 58
Jumlah 50 100
Tabel di atas menyatakan bahwa jumlah mahasiswa yang tidak mengetahui
kurikulum Bahasa Arab di jurusannya masing-masing lebih dominan dari pada
jumlah mahasiswa yang mengetahuinya. 58% responden menyatakan tidak tahu,
sedangkan sisanya, yaitu 42%, mengaku telah mengetahui kurikulum yang akan
dipelajari.
Tabel 13
Waktu yang Disediakan Cukup untuk Memenuhi Target Kurikulum
No. Jawaban N %
1 Sangat leluasa 2 4
2 Cukup 13 26
3 Tidak cukup 35 70
Jumlah 50 100
Tabel di atas menggambarkan waktu yang disediakan untuk memenuhi
target kurikulum, mayoritas responden menyatakan bahwa waktu yang disediakan
tidak cukup untuk memenuhi target, ini dapat dilihat dari prosentase yang
mencapai 70%, sedangkan yang menyatakan cukup mencapai 26%, dan yang
menyatakan sangat leluasa hanya mendapat 4%.
Tabel 14
Alasan Tidak Cukupnya waktu untuk Memenuhi Target Kurikulum
No. Jawaban N %
1 Jumlah sks yang terlalu sedikit - -
2 Banyak materi yang kurang sesuai 10 20
3 Kurangnya sarana dan prasarana
yang mendukung
31 62
4 Banyak materi yang kurang sesuai
dan kurangnya sarana dan
prasaran yang mendukung
3 6
5 Kualitas dosen yang kurang 1 2
6 Disiplin dosen yang kurang 2 4
7 Kualitas dan disiplin dosen yang
kurang
1 2
8 Banyak materi yang tumpang
tindih
2 4
Jumlah 50 100
Berkaitan dengan alasan tidak cukupnya waktu untuk memenuhi target
kurikulum mayoritas responden yaitu sebanyak 62% mempersoalkan minimnya
sarana dan prasarana pendukung, kemudian banyaknya materi yang kurang sesuai
juga menjadi alasan 20% responden. 6% responden justru mempersoalkan kedua-
duanya (banyaknya materi yang kurang sesuai dan minimya sarana dan prasarana
yang mendukun), Faktor kurangnya disiplin para dosen dan banyaknya materi
yang tumpang tindih dikemukakan oleh masing-masing 4% responden, kualitas
dosen yang kurang juga menjadi alasan bagi 2% responden, sedangkan 2%
lainnya menyebutkan kurangnya kualitas dan disiplin para dosen sebagai alasan.
Tabel 15
Faktor yang Mendukung dan Menghambat Suksesnya Pelaksanaan Kurikulum
No. Jawaban N %
1 Dosen 3 6
2 Buku-buku/Referensi 10 20
3 Sarana penunjang pembelajaran 26 52
4 Dosen dan Referensi 2 4
5 Referensi dan sarana penunjang 1 2
6 Penyusunan kurikulum 1 2
7 Lokal belajar 3 6
8 Sekjur kurang teliti 1 2
9 Sistem 1 2
10 Sarana penunjang dan
penyusunan kurikulum
1 2
11 Sistem dan sarana penunjang 1 2
Jumlah 50 100
Tabel di atas menggambarkan faktor-faktor yang dapat mendukung
sekaligus menghambat suksesnya pelaksanaan kurikulum yang ada. Sarana
penunjang pembelajaran menjadi faktor yang paling dominan yaitu mencapai 52%
responden, buku-buku/referensi sebanyak 20% responden, faktor dosen sebanyak
6% responden, masalah lokal belajar sebanyak 6% responden, dosen dan referensi
sebanyak 4% responden, referensi dan sarana penunjang sebanyak 2% responden,
penyusunan kurikulum sebanyak 2% responden, kekurang telitian sekretaris
jurusan sebanyak 2% responden, semerawutnya sistem sebanyak 2% responden,
sarana penunjang dan masalah penyusunan kurikulum sebanyak 2% responden,
dan masalah kesemerawutan sistem dan sarana penunjang sebanyak 2%
responden.
Tabel 16
Pandangan terhadap Keberadaan Kurikulum yang sedang Berjalan
No. Jawaban N %
1 Dirombak total 13 26
2 Dimodifikasi 11 22
3 Disesuaikan 25 50
4 Seperti adanya 1 2
Jumlah 50 100
Setelah melihat kekurangan-kekurangan kurikulum yang sedang berjalan,
para mahasiswa memberikan komentar berkaitan dengan keberadaan dan masa
depan kurikulum tersebut. Separuh mahasiswa atau 50% responden menyatakan
bahwa kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan. 26%
responden menginginkan kurikulum dirombak total, 22% responden mengusulkan
kurikulum lebih dimodifikasi lagi, dan 2% responden membiarkan kurikulum apa
adanya.
Tabel 17
Kurikulum Bahasa Arab di Jurusan sudah Sesuai dengan Tujuan PBA
No. Jawaban N %
1 Ya 15 30
2 Tidak 32 64
3 Tidak tahu 3 6
Jumlah 50 100
Tabel di atas menggambarkan pendapat para mahasiswa tentang
kesesuaian kurikulum Bahasa Arab di jurusan mereka dengan tujuan pengajaran
Bahasa Arab di sana. 64% responden menyatakan tidak adanya kesesuaian, 30%
menyatakan sudah sesuai, dan 6% mengaku tidak tahu.
D. Dosen
Tabel 18
Dosen sudah Mengajarkan Bahasa Arab dengan Baik
No. Jawaban N %
1 Ya 22 44
2 Tidak 28 56
Jumlah 50 100
Ketika diminta untuk menjawab pertanyaan berkaitan dengan kinerja
dosen dalam mengajar, 56% responden mengatakan tidak baik, sedangkan 44%
responden lainnya mengatakan sudah baik.
Tabel 19
Faktor yang Menyebabkan Dosen tidak Mengajar Bahasa Arab dengan Baik
No. Jawaban N %
1 Kurang menguasai materi 1 3,6
2 Metode tidak sesuai 11 39
3 Lemahnya analisa kebahasaan 14 50
4 Kurangnya pengalaman 1 3,6
5 Cara penyampaian dosen
menjemukan
1 3,6
Jumlah 28 99,8 (100)
Faktor paling menonjol yang dirasakan oleh para mahasiswa yang
menyebabkan dosen tampak tidak baik dalam mengajar Bahasa Arab adalah
lemahnya analisa kebahasaan sebagai faktor paling dominan yang dipilih oleh
50% responden, metode tidak sesuai dipilih oleh 39% responden, kurang
menguasai materi dipilih oleh 3,6% responden, kurang pengalaman dalam
mengajar dipilih oleh 3,6% responden, 3,6% responden menyatakan bahwa cara
penyampaiannya menjemukan.
Tabel 20
Dosen Menggunakan Sarana Penunjang dalam Mengajar Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Selalu - -
2 Sering 2 4
3 Jarang 30 60
4 Tidak sama sekali 18 36
Jumlah 50 100
Dalam melakukan proses belajar mengajar mata kuliah Bahasa Arab, agar
pelajaran lebih mudah dicerna, sebaiknya dosen dibantu dengan sarana penunjang
lainnya. Tabel di atas menggambarkan usaha dosen dalam menggunakan sarana
penunjang. 60% responden mengatakan bahwa dosen jarang menggunakan sarana
penunjang, 36% responden mengatakan tidak pernah menggunakan, dan hanya
4% responden yang mengatakan sering menggunakan.
Tabel 21
Dosen Mengajar Sesuai dengan Silabus yang Ditetapkan Jurusan
No. Jawaban N %
1 Ya 41 82
2 Tidak 8 16
3 Tidak tahu 1 2
Jumlah 50 100
Dalam menyusun program pengajaran Bahasa Arab, dosen semestinya
berpedoman pada silabus yang sudah ditetapkan jurusan. Begitu juga ketika dosen
melaksanakan proses belajar mengajar, semestinya dosen menyesuaikan dengan
silabus yang ada. Tabel di atas menunjukkan pandangan para mahasiswa atas hal
itu. 82% responden mengatakan sudah sesuai, 16% mengatakan tidak sesuai, 2%
mengatakan tidak tahu.
Tabel 22
Dosen Mendorong Mahasiswa untuk Dapat Menguasai Bahasa Arab Sesuai
dengan Tujuan
No. Jawaban N %
1 Selalu 19 38
2 Kadang-kadang 29 58
3 Tidak pernah 2 4
Jumlah 50 100
Untuk dapat menguasai Bahas Arab sesuai dengan tujuan, selain
melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, dosen juga dituntut untuk
selalu memberikan dorongan dan motivasi, dan itu biasanya jarang dilakukan oleh
para dosen. Itu setidaknya dapat dilihat dari tabel di atas. 58% responden
mengatakan hal itu kadang-kadang dilakukan, 38% responden mengatakan selalu
dilakukan, dan hanya 4% yang mengatakan tidak pernah.
E. Materi
Tabel 23
Materi Bahasa Arab yang Diberikan Dosen Mendukung Pencapaian Tujuan
No. Jawaban N %
1 Ya 25 50
2 Tidak 25 50
Jumlah 50 100
Dalam melihat materi Bahasa Arab yang disampaikan dosen, apakah hal itu
mendukung pencapaian tujuan, 50% reponden mengatakan “ya” dan sebanyak itu
pula yang mengatakan tidak.
Tabel 24
Keterampilan yang paling Ditekankan Dosen
No. Jawaban N %
1 Menyimak 11 22
2 Berbicara 11 22
3 Membaca 15 30
4 Menulis 4 8
5 Menyimak dan menulis 2 4
6 Semuanya 5 10
7 Tidak satu pun 2 4
Jumlah 50 100
Dalam belajar bahasa dikenal empat keterampilan yaitu: keterampilan
menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan
menulis. Dalam menyajikan materi dosen mana yang lebih ditekankannya. 30%
responden menyebut keterampilan membaca yang paling ditekankan, 22%
responden menyebut keterampilan menyimak, 22% respon menyebut
keterampilan berbicara, 10% responden menyebutkan semua keterampilan
berbahasa, 8% responden menyebut keterampilan menulis, 4% menyebut dua
keterampilan yaitu menyimak dan menulis, dan 4% lainnya mengatakan tidak satu
pun keterampilan bahasa yang ditekankan.
Tabel 25
Dosen sudah Komunikatif dalam Mengajar Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Ya 20 40
2 Tidak 27 54
3 Tidak tahu 3 6
Jumlah 50 100
Dalam rangka memberi rangsangan kepada para mahasiswa, semestinya
dosen bersikap komunikatif dalam proses belajar mengajar Bahasa Arab. Ditanya
tentang hal itu 54% responden mengatakan bahwa dosen tidak komunikatif, 40%
responden mengatakan komunikatif, dan 6% responden mengatakan tidak tahu.
Tabel 26
Kepuasan Mahasiswa terhadap Materi Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Sangat puas 3 6
2 Puas 13 26
3 Tidak puas 26 52
4 Sangat tidak puas 5 10
5 Tidak tahu 3 6
Jumlah 50 100
Tabel di atas menggambarkan kadar kepuasan para mahasiswa terhadap
pengajaran Bahasa Arab di jurusan mereka. Mahasiswa yang tidak puas mencapai
52% responden, yang puas sebanyak 26% responden, yang merasa sangat tidak
puas sebanyak10% responden, yang sangat puas sebanyak 6% responden, dan
yang tidak menyatakan sikap sebanyak 6% responden.
Tabel 27
PBA di Jurusan Membantu Memahami Teks-teks yang Berkaitan dengan
Konsentrasi Mahasiswa
No. Jawaban N %
1 Ya 20 40
2 Tidak 29 58
3 Kadang-kadang 1 2
Jumlah 50 100
Pengajaran Bahasa Arab di jurusan-jurusan semestinya dapat membantu para
mahasiswa untuk memahami teks-teks berbahasa Arab yang berkaitan dengan
konsentrasi mereka. Dari tabel di atas terlihat bahwa mahasiswa yang merasa
tidak terbantu lebih dominan yaitu mencapai 58% responden, sedangkan 40%
responden merasa terbantu, dan 2% responden lainnya merasa kadang-kadang
terbantu.
F. F. Sarana Penunjang
Tabel 28
Sarana Penunjang PBA yang Ada
No. Jawaban N %
1 Buku-buku 31 62
2 Audio visual 1 2
3 Laboratorium 3 6
4 Buku-buku dan audio visual 2 4
5 Buku-buku dan laboratorium 4 8
6 Buku-buku, audio visual, dan
laboratorium
2 4
7 Tidak ada 4 8
8 Papan tulis dan spidol 1 2
9 Praktikum percakapan 1 2
10 Micro teaching 1 2
Jumlah 50 100
Tabel di atas menggambarkan sarana penunjang pengajaran Bahasa Arab
yang ada di beberapa jurusan. 68% responden menyebutkan hanya buku-buku
(perpustakaan) yang menjadi sarana penunjang, 8% responden menyebutkan
buku-buku dan laboratorium, 6% responden menyebutkan laboratorium, 4%
responden menyebutkan buku-buku dan audio-visual sebagai sarana penunjang,
4% responden menyebutkan buku-buku, audio-visual dan laboratorium, 2%
responden hanya menyebutkan audio-visual, 2% responden menyebutkan papan
tulis dan spidol, 2% responden menyebutkan praktikum percakapan, 2%
responden menyebutkan micro teaching, dan 8% responden menyebut tidak ada.
Tabel 29
Sarana Penunjang Mendukung Peningkatan Kualitas Belajar Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Sangat mendukung 9 18
2 Sedikit mendukung 13 26
3 Kurang mendukung 21 42
4 Tidak mendukung 4 8
5 Tidak tahu 3 6
Jumlah 50 100
Ketika ditanya tentang kegunaan sarana-sarana penunjang tersebut
terhadap peningkatan kualitas belajar Bahasa Arab, 42% responden menyatakan
kurang mendukung, 26% responden menyatakan sedikit mendukung, 18%
responden menyatakan sangat mendukung, 8% responden menyatakan tidak
mendukung, dan 6% responden menyatakan tidak tahu.
Tabel 30
Kampus Mendukung Suksesnya Proses Belajar Mengajar Bahasa Arab
No. Jawaban N %
1 Sangat mendukung 7 14
2 Sedikit mendukung 7 14
3 Kurang mendukung 22 44
4 Tidak mendukung 12 24
5 Tidak tahu 2 4
Jumlah 50 100
Tabel terakhir ini menggambarkan andil lingkungan kampus dalam
mendukung suksesnya proses bealajar mengajar Bahasa Arab di jurusan-jurusan.
44% responden mengatakan bahwa lingkungan kampus kurang mendukung PBM
Bahasa Arab, 24% responden mengatakan tidak mendukung, 14% responden
mengatakan sedikit mendukung, 14% responden mengatakan sangat mendukung,
dan 4% responden mengatakan tidak tahu.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tujuan Pengajaran Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tampaknya belum sesuai dengan kebutuhan Mahasiswa,
baik dalam praktek komunikasi ataupun dalam mendukung peningkatan
pemahaman terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan program studi
yang mereka tekuni.
2. Kurikulum Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta belum secara utuh menampilakan konsep pragmatik hal ini bisa dilihat
dalam kurikulum dan silabus yang disajikan terlalu umum.
3. Dalam hal seperti itu, dosen yang semestinya mempunyai inisiatif dan
persiapan yang matang, sebagian mereka mengajar dengan tanpa konsep.
4. dalam hal seperti ini pula, dosen, ketika mengajar, semestinya menggunakan
sebanyak mungkin sarana penunjang, dan tidak hanya mengutamakan
keterampilan membaca tapi juga yang lainnya seperti keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, dan keterampilam menulis.
B. Saran-saran
1. Para dosen Bahasa Arab lebih memahami lagi konsep pragmatik, sehingga
hal itu bisa berdampak baik ketika memberi kuliah.
2. Pihak yang berwenang lebih memperhatikan lagi peningkatan kualitas dosen-
dosen Bahasa Arab melalui pelatihan dan workshop yang diikuti oleh seluruh
dosen mata kuliah ini.