bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak abad pra sejarah hingga masa kontemporer, sejarah manusia
dipenuhi dengan berbagai macam dinamika yang terus berkembang. Manusia
sebagai subjek sejarah, mengalami perubahan di setiap dimensi. Manusia dengan
segala kelengkapan perangkat epistemologisnya terus-menerus berdialektika
dengan alam semesta di setiap zaman. Maka dari itu muncul yang disebut sebagai
kebudayaan. Menurut Magnis Suseno (dalam Budiman, 2002: 100), kebudayaan
adalah segala hamparan alam semesta yang telah ditanda oleh eksistensi manusia.
Kebudayaan manusia masa lampau tentu berbeda dengan masa sekarang.
Tingkat kompleksitas kebudayaan saat ini jauh lebih besar dibanding dengan
budaya-budaya terdahulu. Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang serta
permasalahan manusia yang semakin rumit menjadi salah satu faktor penyebab
hal tersebut. Segala macam ide, aktivitas serta produk perkembangan manusia saat
ini dapat disaksikan pada kebudayaan kontemporer.
Kebudayaan kontemporer telah terbukti memberikan banyak dampak
positif terhadap umat manusia. Berbagai macam penemuan ilmiah di bidang
teknologi, komunikasi, hingga medis menjadikan hidup manusia beberapa taraf
lebih tinggi. Teknologi smartphone yang membuat orang dengan mudah
berkomunikasi tanpa sekat geografis, transportasi yang memungkinkan orang
menghemat waktu untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain, internet yang
2
mampu membawa manusia mengakses segala informasi merupakan contoh kecil
dari deretan prestasi kebudayaan kontemporer. Belum lagi teknologi pertanian,
industri mesin, industri obat-obatan serta teknik kedokteran membuat manusia
semakin termudahkan dalam menjalani kehidupannya.
Corak baru yang terlihat lebih maju, tidak lantas membuat kebudayaan
kontemporer sempurna dan tanpa masalah. Berbagai paradoks pun terjadi dalam
kebudayaan ini. Melimpahnya informasi, di samping mempermudah orang
mengakses banyak hal lewat media massa, terkadang melupakan filter yang
harusnya dipakai. Apapun dapat dibaca dan dilihat, baik yang berimplikasi positif
maupun negatif bagi psikologi manusia. Kelimpahan informasi ini disebut Yasraf
Amir Piliang (2010: 132) sebagai hutan rimba citraan yang bersifat transparan
yang justru tidak meningkatkan kualitas kemanusiaan. Hal tersebut menurut Idy
Subandi Ibrahim membuat manusia semakin mementingkan citra yang
dimanifestasikan dalam penampilan dan gaya hidup. Manusia dengan mudah
menjungkirbalikkan makna serta mengabaikan moralitas (1997: xvi).
Paradoks dan anomali ini akan sering dijumpai dalam budaya populer atau
budaya massa yang tidak lepas dari kebudayaan kontemporer. Budaya massa atau
budaya populer menjadi bahan bakar perkembangan manusia untuk menikmati
hasil-hasil karya produksi budaya. Budaya populer atau budaya massa oleh
banyak kritikus, budayawan maupun sosiolog menjadi objek perdebatan yang
cukup panas. Mulai dari penyebutan istilah yang lebih tepat antara budaya massa
atau budaya populer sampai pada reaksi penerimaan konsep tersebut.
3
Reaksi penerimaan konsep budaya massa dan implikasinya bagi kalangan
intelektual memiliki keragaman pandangan. Ada yang sangat kritis terhadapnya,
namun juga ada yang seolah mengakomodasi hadirnya budaya massa. Dominic
Strinati (2016: xxxi) mencatat beberapa pandangan para intelektual kontemporer.
Bagi mazhab Frankrut yang fokus dengan neo-marxiannya menganggap budaya
ini sebagai hal yang dihasilkan oleh industri budaya yang berfungsi untuk
mengamankan stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Kaum feminis
dengan semangat perjuangan wanita-nya juga mencurigai bahwa budaya massa
merupakan bentuk ideologi patriarkal yang bekerja demi kepentingan kaum laki-
laki serta menentang kepentingan kaum perempuan.
Reaksi agak sedikit berbeda dihembuskan oleh sebagian kaum strukturalis
yang memandang budaya ini sebagai ekspresi struktur sosial dan mental universal
manusia. Senada dengan tanggapan tersebut, kaum populis kultural menyebutnya
sebagai salah satu subversi dari konsumen. Para konsumen ingin mengevaluasi
dan menerangkan sebagai ekspresi suara masyarakat yang tulus. Demikian juga
postmodern yang menjadi rekan simbiosis mutualisme budaya massa,
menjadikannya pembungkus atas berbagai perubahan radikal dalam peranan
media massa untuk menghapus citra dan realitas (Srinati, 2016: 315).
Berbagai macam pandangan atas konsep budaya massa memiliki pengaruh
besar terhadap sosialitas. Diperlukan suatu kerangka kritis dan fundamental untuk
melihat konsep ini dalam ranah hubungan antara manusia. Berdasarkan gagasan
tersebut maka filsafat sosial sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan
konseptual tersebut.
4
Seorang intelektual asal Universitas Gadjah Mada yaitu Prof.
Kuntowijoyo pernah memberikan komentar dan pemikiran kritisnya tentang
budaya massa. Baginya budaya massa merupakan hal yang masih bisa ditinjau
dan diuraikan kembali dengan perspektif sosial, budaya dan sejarah ke-Indonesia-
an. Pemikiran Kuntowijoyo menarik dikaji karena latar belakangnya adalah
ilmuwan sosial dan sejarah Indonesia yang faham akan akar kebudayaan
Indonesia. Kuntowijoyo memberikan jalan tengah terhadap budaya massa dengan
pendekatan pemikiran yang disebut sebagai pemikiran profetik. Pemikiran ini
mengedepankan aspek humanisasi (pemanusiaan), liberasi (pembebasan), dan
transendensi (Ketuhanan).
Kuntowijoyo memang bukanlah seorang yang diakui sebagai filsuf sosial.
Kuntowijoyo lebih dikenal sebagai seorang kolumnis, budayawan, sejarawan dan
ilmuwan sosial. Tetapi di balik pandangan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial
terkandung asumsi tentang hakikat realitas sosial yang dapat disistematisasi
menjadi pemikiran fundamental terkait sosialitas. Oleh karena itu dalam penulisan
karya ini, peneliti mencoba mengkonstriksikan filsafat sosial profetik
Kuntowijoyo sebagai alat bantu untuk menganalisis problematika sosial budaya
massa yang sedang berkembang, melalui konsep-konsep yang ada.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang akan
dirumuskan sebagai berikut :
5
a. Bagaimana konsep budaya massa?
b. Bagaimana perspektif filsafat sosial profetik menurut Kuntowijoyo?
c. Apa kritik dan tawaran filsafat sosial profetik Kuntowijoyo terhadap budaya
massa?
d. Bagaimana tinjauan kritis atas pemikiran filsafat sosial profetik Kuntowijoyo
terhadap budaya massa?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai tema-tema tentang pemikiran Kuntowijoyo maupun
pembahasan mengenai budaya massa sudah banyak dilakukan. Tetapi sejauh
pembacaan penulis, tema yang membahas mengenai konsep budaya massa dalam
perspektif filsafat sosial profetik Kuntowijoyo belum ada. Tema tentang
Kuntowijoyo biasanya membahas mengenai sastra, pemikiran profetik serta
metodologi sejarah. Tema-tema budaya massa berkisar tentang gejala budaya
yang ditimbulkan dari peradaban kontemporer.
Berikut beberapa penelitian mengenai budaya massa maupun pemikiran
Kuntowijoyo :
a. Skripsi dengan judul Nuansa Profetik Dialektis dalam Karya Prosa
Kuntowijoyo, oleh Norhamsyah, 1994, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada. Skripsi ini membahas tentang cerpen-cerpen Kuntowijoyo
dan mencoba menganalisis nilai profetik.
b. Skripsi dengan judul Hamparan Budaya Massa dalam Hampiran Analisis
Semiologi Roland Barthes yang disusun oleh Riky Ferdianto, 2005, Fakultas
6
Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas tentang pandangan
Barthes tentang Budaya Massa dengan analisis semiologinya. Dalam skripsi
ini budaya massa dengan kacamata Barthesian merupakan budaya yang
diproduksi secara massal yang ditandai dengan praktek komersialisasi
dengan segala manipulasi namun dikuasai oleh beberapa kelompok elite
pemegang modal.
c. Skripsi dengan judul Kajian Budaya Pikir Atas Pandangan Kuntowijoyo
Tentang Islam dan Ilmu yang disusun oleh Arif Zulkifli, 2006, Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas tentang paradigma
zaman menurut Kuntowijoyo dalam melihat relasi perkembangan Islam dan
Indonesia yang konklusinya adalah ilmu alternatif yakni Ilmu Sosial Profetik
(ISP).
d. Skripsi dengan judul Kuntowijoyo dan Pemikirannya tentang Islam Profetik
karya Alif Barokah, Fakultas Adab, 2007, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijogo. Skripsi ini membahas tentang perkembangan pemikiran
Kuntowijoyo dalam membentuk paradigma Islam Profetik.
e. Skripsi dengan judul Etika Profetik dalam Novel Khotbah Di Atas Bukit :
Analisis Strukturalisme Genetik, yang disusun oleh Galih Apsari, 2008,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas
tentang novel Kuntowijoyo yang berjudul Khotbah di atas Bukit dengan
tinjauan Strukturalisme Genetik sehingga memperoleh nilai etika profetik
yang menjadi inti pesan karya Kuntowijoyo.
7
f. Skripsi dengan judul Demistifikasi Politik di Indonesia (Studi atas
Pemikiran Kuntowijoyo) karya Purwanto, Fakultas Syariah, 2008,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo. Di dalam skripsi tersebut
dijelaskan perkembangan politik di Indonesia dari yang bersifat mistik
hingga dengan rasional. Untuk melewati tahap tersebut memerlukan upaya
demistifikasi yakni upaya meninggalkan serta pembebasan dari hal-hal yang
tidak masuk akal.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dituliskan di atas, belum ada
penelitian yang mengkonstruksikan filsafat sosial profetik Kuntowijoyo yang
dijadikan sebagai perspektif untuk menganalisis konsep budaya massa.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat
a. Bagi peneliti
Penelitian ini bermanfaat sebagai upaya membuka wawasan penelitian
terhadap masalah yang marak terjadi. Pembahasan mengenai budaya massa
dan Kuntowijoyo harapannya dapat memberikan rangsangan terhadap
kajian kontemporer bagi peneliti.
b. Bagi perkembangan ilmu filsafat
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya penggalian filsafat nusantara yang
sedang digencarkan oleh Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Harapannya dengan dilakukan penelitian mengenai pemikir-pemikir
8
Indonesia dapat menambah khasanah keilmuan filsafat nusantara di ranah
akademik.
c. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan menambah perspektif baru dalam landasan
keilmuan khususnya dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial humaniora,
seperti sosiologi, antropologi, politik maupun psikologi.
d. Bagi masyarakat
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya menjawab permasalahan
kemanusiaan yang sedang marak terjadi saat ini. Budaya massa merupakan
suatu entitas yang di satu sisi menjadi penyebab kerusakan moral bangsa di
berbagai macam belahan dunia.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjawab persoalan yang mengemuka pada
rumusan masalah, yaitu :
a. Menjelaskan konsep budaya massa
b. Menemukan serta menguraikan perspektif filsafat sosial profetik
Kuntowijoyo
c. Merekonstruksi kritik dan tawaran konseptual pemikiran
Kuntowijoyo tentang budaya massa menggunakan kerangka filsafat
sosial profetik
d. Menjelaskan tinjauan kritis terhadap pemikiran filsafat sosial
profetik Kuntowijoyo
9
C. Tinjauan Pustaka
Budaya Massa menurut Sudjoko (dalam Prisma no 6 Juni 1977: 4) adalah
budaya yang sengaja diproduksi secara massal yang ditujukan kepada khalayak
luas dan bertujuan untuk meraih keuntungan (komersil, pengaruh kekuasaan atau
gabungan dari kedua-duanya). Produk budaya massa amat sangat beragam, mulai
dari alat-alat yang sehari-hari digunakan (seperti sabun, pasta gigi dan sampo),
hiburan-hiburan populer (novel, musik, televisi), bahkan di masa ini yakni
teknologi informasi (facebook, whatsapp, twitter).
Budaya massa sering disamakan dengan budaya populer. Sosiolog
Lowenthal, Bennet dan Gans berargumen bahwa budaya massa sama dengan
budaya populer serta tidak terlalu membedakan kedua hal tersebut. Berbeda
dengan Dwigh MacDonald yang membedakan konsep budaya massa dan budaya
populer (Budiman, 2002: 102). Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan
pendapat yang pertama yang tidak terlalu mempermasalahkan pembedaan antara
budaya populer dan budaya massa.
Budaya massa dan budaya populer menjadi perbincangan yang cukup
serius di antara para kritikus budaya. Dominic Strinati dalam bukunya Popular
Culture mencoba memberikan banyak perspektif untuk mengkaji budaya ini.
Melalui analisis-analisis kritis Strinati menggambarkan bagaimana para teoritikus
budaya massa, mazhab Frankrut, semiolog dan strukturalis, marxian, feminis dan
postmodernis dalam memandang budaya massa ini. Selain mendeskripsikan
gagasan-gagasan dari banyak pandangan, Strinati juga mengkritisi banyak
gagasan tersebut.
10
Pembahasan teoritis dan konseptual mengenai budaya massa di Indonesia
diawali pada tahun 1977. Prisma no 6 edisi Juni 1977 tahun VI secara khusus
memuat tulisan para intelektual serta pengamat tentang gejala budaya massa yang
menyebar dalam masyarakat Indonesia khususnya yang berada di kota-kota.
Sudjoko mengawali tulisannya dengan menyebut budaya massa sebagai budaya
yang sengaja diciptakan agar bisa segera diterima massa luas demi kepentingan
sang pembuat (1977: 4). Sudjoko mengamati kebiasaan masyarakat Indonesia
yang mulai menganggap segala hal yang berbau luar negeri menjadi naik nilainya.
Telaah mengenai budaya massa secara sistematis dan luas dituangkan oleh
Hikmat Budiman dengan bukunya yang berjudul Lubang Hitam Kebudayaan
(2002). Buku tersebut menjelaskan posisi Hikmat Budiman sebagai peneliti yang
mencoba objektif dan tidak menghakimi keberadaan budaya massa. Hikmat
Budiman menjelaskan banyak tokoh yang kritis terhadap budaya massa seperti
Adorno, Daniel Bell, Leo Lowenthal, sampai Marcuse. Hikmat Budiman juga
menjelaskan tokoh-tokoh yang membela budaya massa seperti Herbert J Gans dan
Andrew Ross.
Kajian kepustakaan Indonesia cukup banyak menghadirkan tokoh yang
menaruh perhatian lebih terhadap kajian budaya massa. Idy Subandi Ibrahim
menjadi orang yang produktif menulis dan mengumpulkan tulisan mengenai
budaya massa sebagai salah satu ancaman nyata untuk moralitas bangsa
Indonesia. Esai-esai tokoh-tokoh budaya kontemporer seperti Sapardi Djoko
Damono, Ashadi Siregar, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Marwah Daud, Jalaludin
Rahmat, Yasraf Amir dan lain sebagainya dikumpulkan serta disistematisasi
11
dalam sebuah buku berjudul Lifestyle Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia (1997).
Bersama kawannya Dedi Djamaluddin Malik, Idy kembali menyusun
bunga rampai mengenai budaya massa yang berjudul Hegemoni Budaya (1997).
Buku ini memuat pemikiran empat kontributor tulisan tentang budaya massa
yakni Jalaludin Rakhmat, Dedy Djamaludin Malik, Yudi Latif dan Idy Subandi
Ibrahim. Buku tersebut menyoroti permasalahan budaya massa dengan kacamata
wacana teologis, yakni agama Islam.
Penulis lain yang produktif mengkritik budaya massa adalah Yasraf Amir
Piliang. Dengan bahasa yang merangsang imajinasi serta menembus sekat-sekat
disiplin keilmuan, Yasraf memberikan gambaran mengenai budaya massa dan
efek-efeknya. Tulisan-tulisan Yasraf mengkritik perkembangan kebudayaan yang
merupakan hasil dari postmodernisme.
Dunia konsumerisme dan gaya hidup virtual telah memerangkap
masyarakat kontemporer untuk menjadikan prestise, citra, perbedaan,
penampakan, sebagai suatu kebutuhan. Sedangkan kepalsuan, kesemuan
dan artifisialitas yang ada di baliknya dianggap sebagai kebenaran.
Seolah-oleh masyarakat tersebut tidak hidup tanpa semuanya itu. Seolah-
oleh batas antara kesemuan dan kebenaran sudah tidak diperlukan lagi.
Hasrat akan citraan dan perbedaan telah menggiring masyarakat
kontemporer untuk berpacu dalam pencariannya, seperti halnya
perpacuan di sebuah sirkuit balap (Piliang, 2010: 42).
Kuntowijoyo membahas perihal mengenai budaya massa dalam beberapa
tulisannya. Kumpulan tulisan Kuntowijoyo berjudul Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas (2002) membahas tentang problema budaya massa dan
permasalahan kontemporer saat itu. Kuntowijoyo membandingkan dua ciri
kebudayaan yang saling berlainan, yakni budaya massa dan budaya elite. Budaya
12
massa menurut Kuntowijoyo (2002: 24) menjadikan manusia ter-aleniasi,
terobjektivasi dan terbodohkan. Lawannya adalah budaya elite. Budaya elite
menjadikan manusia semakin dekat dengan realitas, menjadi subjek yang
merdeka, dan makin kritis.
Tulisan terakhir Kuntowijoyo sebelum meninggal yang berjudul Maklumat
Sastra Profetik (2013) menjelaskan tentang permasalahan yang krusial di era ini
adalah terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa serta budaya
massa. Hal ini berpengaruh pada corak ekonomi yang kapitalistis, politik yang
otoretarian, agama yang kering, serta peradaban yang semakin mendekati
kehancuran. Kuntowijoyo gambarkan nuansa seperti itu dalam novel yang
berjudul Mantra Penjinak Ular (2013), Waspirin dan Satinah (2013) dan Khotbah
di Atas Bukit (2007).
D. Landasan Teori
Filsafat sosial adalah salah satu cabang filsafat yang membicarakan
tentang hakikat kehidupan manusia bersama dengan manusia yang lain.
(Mulyono, 1983: 10). Filsafat sosial sangat berkaitan erat dengan filsafat manusia
serta etik umum sebagai norma-norma kesusilaan dalam kehidupan individu
bersama masyarakat. Tetapi filsafat sosial berbeda dengan sosiologi maupun ilmu
sosial yang lain.
Menurut Van Passen (dalam Mulyono, 1983: 22) perbedaan antara filsafat
sosial dan sosiologi terletak pada metodenya. Keduanya bermaksud membahas
data hidup bersama manusia yang nampak dalam berbagai kondisi. Sosiologi
memakai metode observasi dan menerangkan penyebab suatu gejala sosial yang
13
konkret dari keadaan yang luas. Sementara filsafat sosial sebagai refleksi hidup
yang menerangkan adanya entitas sosial dan manusia yang merupakan bagian dari
antropologi metafisik.
Filsafat sosial adalah usaha filosof untuk memberi bimbingan dan jawaban
dalam mengatasi problematika sosial. Bentuknya adalah kritik terhadap proses
sosial dengan menunjuk prinsip-prinsip yang mendasari struktur dan fungsi sosial
(Sunoto, 1989: 1). Oleh karena itu filsafat sosial menjadikan hal yang krusial
sebelum beranjak menuju ke teori sosial.
Pemikiran Profetik merupakan pemikiran yang digagas Kuntowijoyo
tahun 1990-an melalui bukunya yang berjudul Paradigma Islam : Interpretasi
untuk Aksi. Selanjutnya gagasan tersebut disistematisasi kembali dalam sebuah
buku terbitan 2006 berjudul Islam sebagai Ilmu. Pemikiran ini terinspirasi oleh
gagasan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy.
Inti dari pemikiran profetik adalah mencoba mempertemukan wahyu, nalar
serta pengalaman manusia. Hal ini merupakan sebagai kritik atas sekulerisme
yang semakin menjauhkan manusia dari kehidupan beragama. Kuntowijoyo
(2006: 55) memandang ilmu sekuler sedang mengalami krisis, mengalami
kemandekan dan penuh bias. Tetapi Kuntowijoyo berpendapat bahwa pemikiran
profetik bukan untuk menyingkirkan ilmu-ilmu sekuler yang sudah mapan dan
berkembang saat ini, melainkan menjadi kritik bahkan menjaga eksistensi subtansi
ilmu sekuler. Artinya bahwa pemikiran profetik berusaha memperbaiki ilmu-ilmu
sekuler yang sedang krisis ini dan menjadi pembanding dalam kancah ilmiah.
14
Kuntowijoyo berpendapat bahwa untuk mendapatkan ilmu sosial yang
tepat sasaran harus dimulai terlebih dahulu dari grand theory. Grand theory ini
bisa diambil dari inspirasi apapun, baik kitab suci maupun postulat kebudayaan.
Turunan dari grand theory adalah filsafat sosial yang menjadi landasan menuju
kemanusiaan. Selanjutnya dari filsafat sosial diturunkan menjadi teori sosial.
Barulah setelah itu dapat terjadi aksi sosial. Point akhir dari langkah-langkah
tersebut adalah perubahan sosial (Kuntowijoyo, 1997: 7)
Kuntowijoyo menggunakan kerangka tersebut, menempatkan agama
sebagai grand theory atau teori besar yang dijadikannya sebagai rujukan inspirasi
dalam membuat kerangka pemikiran profetik. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa
upaya ini merupakan sebuah langkah untuk menjadikan Islam sebagai ilmu atau
pengilmuan Islam. Langkahnya ini diawali dengan memandang bahwa dalam
periodisasi umat Islam di Indonesia, sekarang sudah memasuki era ilmu.
Kuntowijoyo membagi periodisasi umat Islam di Indonesia menjadi tiga tahap
yakni mitos, ideologi dan ilmu. Dalam periode ilmu, hal yang sifatnya abstrak
dikonkretkan agar tidak hanya menjadi nilai namun juga tindakan konkret
(Kuntowijoyo, 1997: 22).
Pada era ilmu ini Kuntowijoyo melakukan demistifikasi atau memahami
sesuatu tidak dengan bayang-bayang mitos. Bayang-bayang mitos menurut
Kuntowijoyo sering membuat orang tanpa sadar melepaskan agama dari
kenyataan. Teks telah kehilangan kontekstualitasnya. Maka dari itu pemikiran
profetik mengembalikan gagasan teks (agama) menuju konteksnya (Kuntowijoyo,
2006: 6).
15
Melalui pendekatan strukturalisme transendental, Kuntowijoyo
menjadikan Islam sebagai sebuah ajaran yang bukan hanya normatif namun juga
teoritis dan masih bisa digunakan walaupun memiliki rentang waktu dan geografis
yang berbeda dari masa awal Islam muncul. Strukturalisme transendental adalah
upaya mengangkat struktur-struktur ajaran sehingga menemukan ide murni
(Fahmi, 2005: 8).
Kuntowijoyo juga menekankan integralisasi dan objektivikasi untuk
menjadikan Islam sebagai suatu ilmu. Integralisasi adalah upaya untuk
menyatukan wahyu Tuhan dengan temuan pikir manusia. Objektivikasi adalah
menjadikan ajaran agama tidak hanya diterima oleh umat beragama tertentu
semata, namun ke semua kalangan, atau dengan kata lain menjadikan ajaran
agama sebagai gejala objektif (Kuntowijoyo, 2006: 49).
Pemikiran profetik Kuntowijoyo menghasilkan tiga pijakan utama dalam
menghadapi realitas atau kenyataan. Kuntowijoyo menggunakan Al Quran surat
Al Imran 110 yang terjemahannya adalah “kamu umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, karena kamu menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah”. Dari ayat ini kemudian lahirlah gagasan
mengenai humanisasi (dari menyeru pada yang ma’ruf) yang berarti pemanusiaan
manusia. Liberasi (dari mencegah yang mungkar) yang berarti pembebasan dari
segala jeratan. Serta transendensi (dari beriman kepada Allah) yakni
pengembalian segala sesuatu pada Allah, Tuhan sekalian alam (Kuntowijoyo,
2006: 15).
16
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif di bidang filsafat. Objek
material yang dibahas adalah konsep budaya massa. Objek formal yang digunakan
adalah filsafat sosial profetik Kuntowijoyo. Model dari penelitian ini adalah
penelitian mengenai konsep (Bakker dan Zubair, 1990: 77). Budaya massa akan
dibahas secara konseptual, baik yang pro maupun kontra budaya massa. Konsep
ini kemudian akan disoroti menggunakan kacamata pemikiran filsafat sosial
profetik Kuntowijoyo.
1. Jenis dan Bahan Penelitian
Penelitian ini dikategorisasikan penelitian kepustakaan dengan menelaah
objek material serta objek formal dari berbagai sumber buku atau pustaka. Data
kepustakaan dibagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber-sumber
ini diurutkan berdasarkan abjad.
a. Sumber Primer
1) Budiman, Hikmat, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Kanisius :
Yogyakarta.
2) Heryanto, Ariel. 2015, Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya
Latar Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta.
3) Kuntowijoyo, 1994, Dinamika Sejarah Umat, Shalahuddin Press :
Yogyakarta.
4) ___________, 1995, Makrifat Daun Daun Makrifat,. Gema Insani
Press : Yogyakarta.
17
5) ___________, 1977, Khotbah Di Atas Bukit, Bentang Budaya :
Yogyakarta.
6) ___________, 2013, Mantra Pejinak Ular, Kompas : Jakarta.
7) ___________, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Mizan : Bandung.
8) ___________, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Mizan : Bandung.
9) ___________, 2002, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas,
Mizan : Bandung.
10) ___________, 2006, Islam sebagai Ilmu, Tiara Wacana : Yogyakarta.
11) ___________, 2008, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi,
Mizan : Bandung.
12) ___________, 2013, Maklumat Sastra Profetik, Multi Presindo :
Yogyakara.
13) Storey, John, 2003, Teori Budaya dan Budaya Pop, Penerbit Qalam :
Yogyakarta.
14) Strinati, Dominic, 2016, Popular Culture : Pengantar Menuju Teori
Budaya Populer, Penerbit Narasi : Yogyakarta.
15) Sudjoko, 1977, Kebudayaan Massa, dalam Jurnal Prisma no 6 Juni
1977 tahun VI, hal 1-7
b. Sumber Sekunder
1) Bakker, Anton, Zubair, Achmad Charris, 1990, Metodologi Penelitian
Filsafat, Kanisius : Yogyakarta.
2) Bakker, JWM, 1992, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar.
Kanisius : Yogyakarta.
18
3) Fahmi, Muttakhidul, 2005, Islam Transendtal : Menelusuri Jejak-Jejak
Pemikiran Islam Kuntowijoyo, Pilar Media : Yogyakarta.
4) Ibrahim, Idy Subandi (editor), 1997, Lifestyle Ecstasy, Jalasutra :
Yogyakarta.
5) _________________, Malik, Dedy Djamaluddin (editor), 1997,
Hegemoni Budaya, Bentang Budaya : Yogyakarta.
6) Mulyono, Suyadi, 1983, Filsafat Sosial, Proyek PPPT UGM :
Yogyakarta.
7) Piliang, Yasraf Amir, 2011, Dunia Yang Dilipat. Matahari : Bandung
8) Redana, Bre, 2002, Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan
Massa, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan : Jakarta
9) Wardhana, Veven Sp. 2013. Budaya Massa, Agama, Wanita.
Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini melalui beberapa langkah yaitu
a) Inventarisai Data
Pada tahap ini, data dikumpulkan sebanyak mungkin baik dari buku,
jurnal, artikel maupun sumber-sumer lisan.
b) Klasifikasi data
Data yang sudah diperoleh baik dari objek material maupun objek
formal, diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder
c) Pembahasan
19
Data kemudian diolah dengan disusun secara sistematis berdasarkan
kerangka pikir yang sudah dibentuk. Selanjutnya dilakukan analisis-
sintesis untuk mengeliminasi data yang tidak diperlukan dan
menggabungkan konsep-konsep yang diperlukan.
d) Evaluasi Kritis
Setelah data diolah kemudian dilakukan verifikasi data dan gagasan atas
penelitian ini. Hal ini dilakukan agar penelitian ini menghasilkan temuan
yang valid dan berimbang.
3. Unsur-unsur Metodis
a. Interpretasi
Melalui unsur metodis ini, peneliti mencoba untuk menyelami dan
menangkap arti serta nuansa konsep yang dimaksudkan (Bakker dan
Zubair, 1990: 79).
b. Koherensi Internal
Melalui unsur metodis ini data yang diperoleh mencoba dicari
hubungan internalnya yang koheren (Bakker dan Zubair, 1990: 79),
yaitu antara konsep budaya massa dengan pisau analisis filsafat sosial
profetik Kuntowijoyo.
c. Holistika
Melalui unsur metodis ini peneliti mencoba memahami cakrawala
konsep budaya massa dari pengertian, jenis-jenis, sifat, serta
perspektifnya (Bakker dan Zubair, 1990: 80). Peneliti juga mencoba
memahami Kuntowijoyo mengenai realitas Tuhan, alam dan manusia
20
sehingga diperoleh pemahaman yang lengkap atas pandangan hidup
Kuntowijoyo. Selanjutnya dapat ditemukan pemikiran Kuntowijoyo
tentang filsafat sosial dalam kerangka profetik.
d. Deskripsi
Filsafat tersembunyi serta konsepsi mengenai analisis filsafat sosial
profetik Kuntowijoyo tentang konsep budaya massa yang terkait
dengan disajikan dalam bentuk deskripsi. Hal ini agar upaya peneliti
tidak hanya sekedar merumuskan suatu konsepsi semata. Deskripsi
disajikan untuk memenuhi jawaban atas masalah konkret yang sedang
terjadi (Bakker dan Zubair, 1990: 81).
e. Refleksi
Rumusan yang diperoleh direfleksikan agar terlihat jarak realita yang
terjadi dan nilai yang seharusnya.
F. Hasil yang Dicapai
1. Memberikan paparan mengenai konsep budaya massa
2. Memperoleh pemahaman mengenai perspektif filsafat sosial profetik
Kuntowijoyo
3. Memberikan penjelasan mengenai konstruksi kritik dan tawaran konseptual
pemikiran Kuntowijoyo terhadap budaya massa menggunakan kerangka
filsafat sosial profetik
4. Melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran filsafat sosial profetik
21
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari enam bab, antara lain:
BAB I memaparkan pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan
penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan hasil yang
ingin dicapai dan sistematika penulisan.
BAB II berisi mengenai penjelasan pemikiran Kuntowijoyo. Hal tersebut
meliputi : biografi dan karya Kuntowijoyo, latar belakang pemikiran
Kuntowijoyo dan pokok-pokok pemikiran Kuntowijoyo.
BAB III berisi tentang ruang lingkup filsafat sosial, pengertian dan asal-usul
profetik Kuntowijoyo dan filsafat sosial profetik Kuntowijoyo.
BAB IV berisi tentang objek material yakni ruang lingkup konsep budaya
massa yang meliputi : pengertian budaya massa, sifat-sifat budaya massa,
jenis-jenis budaya massa dan perspektif dalam memandang budaya massa.
BAB V berisi tentang budaya massa menurut Kuntowijoyo, kritik dan tawaran
Kuntowijoyo terhadap budaya massa, serta analisis kritis atas pemikiran
filsafat sosial profetik Kuntowijoyo.
BAB VI berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.