bab i pendahuluan a. latar belakang...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada saluran pernafasan, yang melibatkan sel-sel inflamasi. Pada individu yang rentan, peradangan ini menyebabkan episode yang berulang dari mengi, sesak nafas, rasa sesak di dada, dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Adanya peradangan ini juga dapat meningkatkan hiperresponsivitas bronkial terhadap berbagai rangsang, sehingga mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran udara di saluran pernafasan pada pasien yang menderita asma (Kiley et al., 2007). Asma adalah salah satu penyakit kronik yang umum, dengan perkiraan terdapat 300 juta penderita di seluruh dunia. Setiap tahunnya prevalensi penderita asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir ini, terutama pada anak-anak (FitzGerald et al., 2012 b ). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100- 150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan pada masa mendatang yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien (Kementerian Kesehatan, 2009). Menurut data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan di berbagai provinsi di Indonesia, asma termasuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis

Upload: buiduong

Post on 10-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),

asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada

saluran pernafasan, yang melibatkan sel-sel inflamasi. Pada individu yang rentan,

peradangan ini menyebabkan episode yang berulang dari mengi, sesak nafas, rasa

sesak di dada, dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Adanya peradangan

ini juga dapat meningkatkan hiperresponsivitas bronkial terhadap berbagai

rangsang, sehingga mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran udara di saluran

pernafasan pada pasien yang menderita asma (Kiley et al., 2007).

Asma adalah salah satu penyakit kronik yang umum, dengan perkiraan

terdapat 300 juta penderita di seluruh dunia. Setiap tahunnya prevalensi penderita

asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir ini, terutama pada anak-anak

(FitzGerald et al., 2012b). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-

150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan

terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Apabila tidak

dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan

pada masa mendatang yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak dan

kualitas hidup pasien (Kementerian Kesehatan, 2009).

Menurut data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan

di berbagai provinsi di Indonesia, asma termasuk dalam sepuluh besar penyebab

kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis

2

kronik dan emfisema, sebesar 5,6%, adalah penyebab kematian keempat di

Indonesia. Tahun 1995, prevalensi asma menjadi sebesar 13/1000 di seluruh

Indonesia (Ratnawati, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

dan SKRT tahun 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa selama 12 tahun (1995-

2007) kematian karena penyakit menular semakin meningkat, termasuk asma

(Kementerian Kesehatan, 2012a). Tingginya prevalensi asma dapat terjadi karena

tidak dapat tercapainya sasaran terapi sehingga penyakit menjadi kurang

terkontrol. Oleh karena itu diperlukan terapi yang tepat dan efektif dalam

pengobatan asma.

Prevalensi asma yang cukup besar ternyata juga terjadi pada masyarakat

dengan tingkat ekonomi rendah. Berbagai studi membuktikan bahwa faktor sosial-

ekonomi berkontribusi besar terhadap kejadian penyakit saluran pernafasan.

Berbagai hasil evaluasi memperlihatkan bahwa risiko cidera, asma, dan hipertensi

pada remaja meningkat akibat perilaku negatif anak-anak dari kalangan sosio-

ekonomi rendah. Risiko balita yang berasal dari keluarga berpendidikan rendah,

berpengetahuan rendah, dan mengalami pencemaran udara juga relatif tinggi

(Kodim, 2009). Dalam dimensi baru dikatakan bahwa peningkatan pendapatan

tidak menjamin secara otomatis penurunan kemiskinan kecuali jika diikuti oleh

peningkatan derajat kesehatan kelompok miskin. Dengan demikian diperlukan

peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan untuk dapat meningkatkan derajat

kesehatan yang akan meningkatkan produktivitas penduduk (Kodim, 2009).

Karena pentingnya kesehatan dan cukup tingginya prevalensi penyakit

asma, pemerintah berusaha untuk dapat memberikan pengobatan yang mencukupi

3

bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai cara pelayanan dilaksanakan agar

semua kalangan masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama. Salah satunya

adalah dengan program Jamkesmas atau Jaminan kesehatan masyarakat.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah jaminan perlindungan

untuk pelayanan kesehatan secara menyeluruh (komprehensif) mencakup

pelayanan promotif, preventif, serta kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan secara

berjenjang bagi masyarakat atau peserta yang iurannya dibayar oleh Pemerintah

(Anonim, 2012). Berdasarkan pada Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN), seluruh jaminan sosial di bidang

kesehatan, termasuk Jamkesmas, menjadi termasuk dalam Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN). Khusus untuk JKN diselenggarakan melalui suatu Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang implementasinya dimulai

pada 1 Januari 2014 (Kementerian Kesehatan, 2014).

Dari tahun 2010 hingga saat ini pemerintah sedang memantapkan

penjaminan kesehatan melalui Jamkesmas, yang sekarang termasuk dalam JKN,

sebagai awal dari pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk. Melalui

Jamkesmas ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kasus-kasus kesehatan

para pesertanya (Kementerian Kesehatan, 2010).

Pelaksanaan dari program Jamkesmas ini, sistem pembayaran dan

pertanggungjawaban dari fasilitas kesehatan menggunakan paket tarif INA-CBG’s

(Kementerian Kesehatan, 2011c). Paket tarif INA-CBG’s atau Indonesia Case

Based Group dilaksanakan berdasarkan diagnosis penyakit yang diderita pasien.

4

Namun di penerapannya, sering kali biaya riil yang diperlukan untuk pengobatan

pasien sangat bervariasi dan tidak sesuai dengan biaya paket tarif INA-CBG’s.

Biaya pengobatan asma yang meningkat dapat terjadi sebagai akibat dari

peningkatan jumlah peresepan obat (Kelly dan Sorkness, 2008). Smith et al.

mengungkapkan bahwa sebanyak 20% pasien asma disebut dengan “pasien

berbiaya tinggi”. Untuk itu, tingginya biaya pada penyakit saluran pernafasan,

termasuk asma, memberikan peluang untuk dilakukankannya evaluasi dan

intervensi farmakoekonomi (Gupchup et al., 2001).

RSU Bina Kasih, salah satu rumah sakit umum swasta di Kabupaten

Semarang. Rumah sakit ini telah melayani program Jamkesmas sejak program

tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2005 (program Askeskin). Sejak tahun

2005 hingga sekarang, RSU Bina Kasih telah menangani pasien Jamkesmas pada

instalasi rawat jalan sebesar 2.557 pasien dan pada instalasi rawat inap sebesar

1.764 pasien. Penyakit asma juga termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang

terjadi dan ditangani di rumah sakit ini (Mustaviah, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui gambaran pengobatan dan faktor yang dapat mempengaruhi biaya

pengobatan pada pasien asma yang menjalani rawat inap di RSU Bina Kasih

Ambarawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi RSU Bina

Kasih, pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan paket tarif

INA-CBG’s pada pelayanan kesehatan, yang mulai Januari 2014 diterapkan

melalui JKN, khususnya dalam melayani penyakit asma.

5

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap di RSU

Bina Kasih Ambarawa?

2. Faktor apakah yang mempengaruhi biaya pengobatan pasien asma rawat

inap di RSU Bina Kasih Ambarawa?

3. Berapakah besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan paket tarif INA-

CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih

Ambarawa?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui gambaran pengobatan asma dan kesesuaian biaya riil

dalam penerapan paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma peserta

Jamkesmas di instalasi rawat inap RSU Bina Kasih Ambarawa.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap

di RSU Bina Kasih Ambarawa.

b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi biaya pengobatan

pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa.

c. Untuk mengetahui besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan

paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta

Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa.

6

D. Manfaat Penelitian

1. Apoteker

Sebagai bahan dan pertimbangan bagi apoteker dalam pemilihan obat untuk

pasien asma peserta Jamkesmas dalam rangka meningkatkan peran farmasi

klinik dalam pharmaceutical care.

2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain

Sebagai informasi dan bahan evaluasi bagi rumah sakit dalam pertimbangan

pemilihan tindakan medis dan obat untuk penatalaksanaan terapi asma, serta

pelaksanaan program pelayanan Jamkesmas.

3. Badan Pemerintahan

Sebagai masukan dalam penyusunan dan penerapan kebijakan mengenai

tarif pengobatan dalam strategi penatalaksanaan terapi khususnya pada

penyakit asma.

4. Peneliti

Memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan, terutama

pada pasien asma peserta Jamkesmas, serta sebagai pembanding dan

pelengkap untuk penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Asma

a. Definisi

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang diterbitkan oleh

Departemen Kesehatan RI, asma didefinisikan sebagai suatu kelainan berupa

inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas

7

bronkus terhadap berbagai rangsangan. Hiperaktivitas bronkus ini ditandai dengan

gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada

terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat

reversibel, baik dengan atau tanpa pengobatan (Kementerian Kesehatan, 2009).

Menurut NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program),

asma merupakan gangguan saluran nafas kronik biasa yang kompleks yang

melibatkan berbagai sel inflamasi. Asma ditandai dengan adanya gejala yang

berulang, sumbatan aliran udara, inflamasi dan respon yang berlebihan dari

bronkial. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya luka dari sel

epitelial dan melibatkan berbagai mediator dan sel inflamasi seperti neutrofil,

eosinofil, limfosit dan sel mast (Kiley et al., 2007).

Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul yang artinya dapat tenang tanpa

gejala dan tidak mengganggu aktivitas. Tetapi asma dapat kambuh dengan gejala

mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, bahkan sampai dapat menimbulkan

kematian (Kementerian Kesehatan, 2009). Manifestasi klinik dari asma ini dapat

dikendalikan jika diberikan pengobatan yang tepat. Ketika penyakit asma dapat

terkontrol dengan baik, kejadian kambuhnya gejala dapat berkurang dan gejala

yang berat dapat dihindari (FitzGerald et al., 2012a).

b. Etiologi

Sejumlah faktor yang mempengaruhi risiko seseorang terhadap

perkembangan asma telah diidentifikasikan. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi

menjadi akibat dari faktor genetik dan dari faktor lingkungan (FitzGerald et al.,

2012a). Faktor genetik berhubungan dengan sejarah keluarga. Anak dari keluarga

8

asma lebih beresiko untuk menyandang asma dibandingkan dengan anak yang

tidak memiliki keluarga asma (Zulfikar dkk, 2011). Jika orang tua menderita

asma, maka kemungkinan besar ada anggota keluarga yang menderita asma juga.

Menurut GINA (Global Initative for Atshma) tahun 2008, laki-laki menjadi

salah satu faktor risiko asma pada anak-anak, terutama sampai usia 14 tahun,

prevalensi asma dapat terjadi dua kali lebih besar. Namun semakin beranjak

dewasa, pengaruh jenis kelamin semakin berkurang. Pada dewasa, kejadian asma

pada perempuan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dewasa

(FitzGerald et al, 2012a). Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia,

mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang

pada segala etnis (Ikawati, 2011).

Faktor lain yang berpengaruh diantaranya karena adanya paparan dari

alergen (seperti misalnya debu, bulu binatang, serangga, dan serbuk bunga), asap

rokok, infeksi saluran nafas akibat virus, olahraga, kondisi emosional yang

berlebihan, obat (seperti misalnya aspirin, dan beta blocker), dan karena zat-zat

kimia, serta akibat faktor pekerjaan (FitzGerald et al., 2012b).

c. Patofisiologi

Asma ditandai oleh adanya peradangan dengan obstruksi saluran nafas,

yang sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali

seperti semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al.,

2006). Pada penderita asma, otot-otot polos bronkial mengalami konstraksi

sebagai respon dari adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley

et al., 2007). Ketika saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran

9

udara menjadi terbatas dan menjadi terhambat. Hal itu diakibatkan karena adanya

bronkokonstriksi, sumbatan oleh mukus, dan inflamasi yang terjadi di saluran

nafas (FitzGerald et al., 2012b).

Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,

mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang

turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah

sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang

terlibat dalam asma adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil

(eosinofil chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5,

dan IL-13 (Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran

nafas, diantaranya :

1.) Sel mast

Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang

telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu

serangkaian peristiwa biokimiawi di dalam sel yang kemudian menyebabkan

terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang

menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Sel mast terdapat pada

lapisan epitelial maupun sub epitelial saluran nafas. (Ikawati, 2011).

2.) Sel limfosit

Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T

terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T

helper 2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang

berperan dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13.

10

Sitokin IL-4 dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi

IgE, yang kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu

terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi (Ikawati, 2011).

3.) Eosinofil dan neutrofil

Karakteristik kelainan fisiologi pada asma ditandai dengan inflamasi

eosinofil. Peningkatan eosinofil yang aktif dan mengalami degranulasi telah

ditunjukkan dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma

(Donohue et al., 2006). Meningkatnya jumlah eosinofil sering dihubungkan

dengan tingkat keparahan asma. Semakin besar peningkatan eosinofil maka

semakin besar pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah

neutrofil dalam saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit

asma sudah berada pada tingkat yang parah (FitzGerald et al., 2012a).

4.) Mediator inflamasi

Banyak sitokin dan kemokin yang terlibat dalam patofisiologi asma. Dalam

dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon

inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih

spesifik terhadap peradangan alergi. Sitokin T helper tipe 2 (Th-2) memegang

peran penting dalam penyakit alergi, termasuk asma (Barnes, 2001).

Imunoglobulin E (IgE) adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam

reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi dan

inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor

spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat

11

menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast, basofil,

sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al., 2007).

Reaksi inflamasi akut terdiri atas reaksi asma dini (early asthma

reaction/EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction/LAR). Setelah reaksi

asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi

inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan kronik terjadi inflamasi di bronkus

dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit

dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus (Kementerian Kesehatan,

2009).

Adanya keterbatasan dalam pernafasan dapat juga disebabkan karena terjadi

perubahan di saluran nafasnya. Edema di saluran nafas dapat terjadi jika penyakit

asma menjadi lebih persisten dan proses inflamasi menjadi lebih progresif (Kiley

et al., 2007). Jumlah sel polos yang terdapat di saluran nafas pada penderita asma

akan meningkat, sebagai akibat dari sel-sel yang mengalami hipertrofi, dan

hiperplasia. Hal ini yang mengakibatkan menebalnya dinding saluran nafas

(FitzGerald et al., 2012a). Perubahan yang permanen dari struktural saluran nafas

dapat memperparah sumbatan dari saluran nafas, meningkatkan respon yang

berlebihan dari saluran nafas, dan dapat mengurangi respon dari terapi obat yang

digunakan (Kiley et al., 2007).

Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu

respon fase cepat dan lambat. Respon asma dengan ciri penyempitan saluran

pernafasan akibat kontraksi otot polos bronkus dapat dilihat dari turunnya nilai

PEF. Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen

12

terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah

paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat (Rifa’i,

2011). Obstruksi bronkus dibagi menjadi 3 fase utama, yaitu (Meiyanti, 2000) :

1.) Fase cepat (spasmogenik)

Fase cepat identik dengan respon awal dengan adanya spasme otot polos

bronkus. Reaksi ini berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat hilang dengan

sendirinya dan diikuti fase lambat menetap.

2.) Fase lambat menetap (late, sustained)

Reaksi dapat hilang dengan sendirinya dan diikiti fase lambat menetap. Fase

lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan akumulasi sel mediator

inflamasi. Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih.

3.) Fase sub-akut atau kronis

Pada fase sub-akut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya, dan terdapat

infiltrasi eosinofil, dan sel mononuklear.

d. Diagnosis

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan

titik awal untuk menegakkan diagnosis (Kementerian Kesehatan, 2009). Asma

dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien,

diantaranya (FitzGerald et al., 2012b) :

1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat

menarik nafas,

13

2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin

parah pada malam hari,

3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman,

4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan

alergen, infeksi,perubahan suhu, atau perubahan emosional,

5.) Adanya sejarah dalam keluarga yang menderita asma.

Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamesis berhubungan dengan

apa dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan

dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Sedangkan pemeriksaan

penunjang, diantaranya uji reversibilitas dan foto toraks (Kementerian Kesehatan,

2009).

Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis

paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya

sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus

dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas. Sedangkan pemeriksaan

radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi

di saluran nafas (Meiyanti, 2000).

Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama

spirometer. Spirometer digunakan untuk mengukur keterbatasan dari aliran udara.

Dari pemeriksaan dengan spirometer dapat ditentukan nilai volume ekspiratori

paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga

peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012a). Jika nilai variasi PEF lebih

14

dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa

pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya

kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya

penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi

pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan,

seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009).

e. Klasifikasi

Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal

paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat

menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam

penatalaksanaannya (Kementerian Kesehatan, 2009).

Berdasarkan NAEPP 2007, keparahan gejala asma diklasifikasikan

berdasarkan jumlah hari munculnya gejala, jumlah malam terbangun karena

munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC, serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi

menjadi persisten (ringan, sedang, berat) dan intermitten (Kiley et al., 2007).

Tabel I. Klasifikasi asma menurut NAEPP 2007

Hari dengan gejala

Malam dengan

gejala FEV1/FVC

Variabilitas

PEF

TINGKAT 4 Terus menerus Sering ≤ 60% > 30 %

Persisten berat

TINGKAT 3 Setiap hari > 1x per minggu 60% - 80% < 30%

Persisten sedang

TINGKAT 2 > 2x per minggu

tetapi < 1x per hari > 2x per bulan ≥ 80% 20% - 30%

Persisten ringan

TINGKAT 1 ≤ 2x per minggu ≤ 2x per bulan ≥ 80% < 20%

Intermitten ringan

15

Berdasarkan pengelompokan Casemix Major Group, penyakit asma

termasuk dalam kategori cronic lower respiratory disease. Dalam International

Classification Diseases 10 (ICD 10), asma memiliki kode J-45. Pada sistem INA-

CBG’s, asma memiliki kode J-4-18 yang dibagi menjadi tiga tingkat keparahan,

yaitu J-4-18-I, J-4-18-II dan J-4-18-III, didasarkan pada ada atau tidak, serta jenis

dari diagnosis sekunder yang menyertai pasien (Kementerian Kesehatan, 2012b).

Contoh diagnosis sekunder pada tingkat keparahan I adalah hipertensi, diabetes

mellitus, dispepsia dan bronkitis. Pada tingkat keparahan II contohnya penyakit

Tuberkulosis, sedangkan diagnosis sekunder pada tingkat keparahan III contohnya

bronko pneumonia, infeksi saluran nafas bagian atas (ISPA), serta efusi pleural.

f. Tatalaksana Terapi

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien. Pasien dapat hidup

normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata

lain asmanya terkontrol. Tujuan dari terapi asma diantaranya :

1.) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,

2.) Mencegah eksaserbasi akut,

3.) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,

4.) Mengupayakan aktivitas normal pasien,

5.) Menghindari efek samping,

6.) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara,

7.) Mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya, dan

8.) Mencegah kematian (Kementerian Kesehatan, 2009).

16

The Expert Panel Reports merekomendasikan pelayanan asma berdasarkan

empat komponen. Komponen ini diyakini penting untuk mendapatkan manajemen

asma yang efektif. Empat komponen tersebut adalah :

1.) Penentuan dan pemantauan asma, yang didapatkan dari tes yang objektif,

pemeriksaan fisik, sejarah pasien dan laporan pasien. Ini digunakan untuk

melakukan diagnosis dan menetukan jenis serta keparahan dari asma. Dapat

digunakan juga untuk memantau apakah pengendalian terhadap asma dapat

tercapai dan terjaga,

2.) Edukasi untuk semua yang terlibat dalam upaya pelayanan penyakit asma,

3.) Pengendalian dari faktor lingkungan dan kondisi komorbiditas yang

mempengaruhi asma,

4.) Terapi farmakologis (Kiley et al., 2007).

Pada prinsipnya pelaksanaan asma diklasifikasikan menjadi saat serangan

atau penatalaksanaan asma akut, dan penatalaksanaan asma jangka panjang.

1.) Penatalaksanaan asma akut

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui.

Penanganan terhadap serangan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat

serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti

bronkodilator (β-2 agonis aksi cepat, dan ipratropium bromida), dan

kortikosteroid sistemik) (Kementerian Kesehatan, 2009).

2.) Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengkontrol asma dan

mencegah terjadinya serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan

17

dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang

meliputi edukasi, obat asma (pengontrol, dan pelega), dan menjaga kebugaran

(Kementerian Kesehatan, 2009).

Dalam melaksanakan manajemen asma dapat dilakukan dengan sebuah

pendekatan bertahap (a stepwise approach) dengan menggabungkan keempat

komponen tersebut. Terapi dimulai berdasarkan pada keparahan asma dan yang

kemudian dapat disesuaikan (step up atau step down) berdasarkan tingkat

pengendalian asma. Beberapa pertimbangan khusus dalam pemilihan terapi ini

mungkin perlu diperhatikan untuk keadaan seperti exercise-induced brocospasm

(EIB), pembedahan, dan kehamilan (Kiley et al., 2007).

g. Obat-Obat Asma

Dalam terapi farmakologis atau terapi menggunakan obat, obat asma

digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi

saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu

reliever dan controller (Meiyanti, 2000).

1.) Reliever

Pengobatan cepat (quick-relief medication) digunakan untuk mengatasi

serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah

bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan

kortikosteriod oral atau sistemik (Ikawati, 2011).

2.) Controller

Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan

obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti

18

kortikosteriod, natrium kromoglikolat, natrium nedokromil, dan antihistamin

aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat

digunakan dalam pengobatan pemeliharaan ini (Meiyanti, 2000).

Berikut adalah obat-obat asma yang biasa digunakan, diantaranya yaitu :

1.) β2 agonis adrenergik

β2 agonis adalah bronkodilator paling kuat pada pengobatan asma. β2

agonis mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler,

dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2

agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat ini

tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsivitas

bronkus (Meiyanti, 2000).

Prinsip kerja dari β2 agonis adalah dengan mengaktivasi adenilat

siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan

merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat golongan

β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan aksi panjang

(long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat, namun aksinya

tidak bertahan lama. Umumnya digunakan untuk pengobatan segera pada

serangan akut. Sedangkan obat-obat aksi panjang, umumnya aksinya bisa

bertahan hingga 12 jam, tetapi onsetnya lambat, sehingga tidak tepat untuk

pengobatan serangan akut tetapi digunakan untuk mengendalikan asma.

Contoh obat β2 agonis aksi cepat adalah salbutamol, albuterol, terbutalin,

pirbuterol, levabuterol, dan fenoterol. Untuk obat yang beraksi panjang

contohnya adalah salmeterol, dan formoterol (Ikawati, 2011).

19

2.) Kortikosteriod

Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan

pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteriod dapat membentuk

makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2

dalam membentuk leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dan metabolit

arakidonat lainnya. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi

pembentukan mediator inflamasi, pelepasannya, dan juga respon yang timbul

akibat lepasnya mediator tersebut (Yunus, 1998). Contoh dari kortikosteriod

yaitu prednisolon, hidrokortison, dan metil prednisolon (Meiyanti, 2000).

Obat pilihan yang paling efektif dalam mengkontrol asma adalah

kortikosteriod, dengan cara pemberian yang baik secara inhalasi. Pemberian

inhalasi mempunyai berbagai manfaat karena efektivitasnya tinggi dan efek

sampingnya minimal (Yunus, 1998). Kortikosteroid inhalasi dapat

mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi, dan sel mast yang

berada di saluran nafas, serta dapat juga meningkatkan jumlah reseptor

adrenergik β2. Kortikosteroid inhalasi bersifat sangat lipofilik, dan masuk

secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan reseptor

glukokortikoid di sitosol, atau di nukleus (Ikawati, 2011).

3.) Metil ksantin

Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin, dan

kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah teofilin

(Ikawati, 2011). Teofilin adalah agen bronkodilator dengan kekuatan ringan

atau sedang. Teofilin merupakan inhibitor fosfodiestrase non selektif, yang

20

telah menunjukkan aktivitas antiinflamasi ringan. Teofilin lepas lambat dapat

digunakan sebagai pilihan dalam terapi pencegahan jangka panjang. Tetapi

dalam penggunaannya teofilin harus selalu dimonitoring kadarnya untuk

memastikan kadarnya tidak berada pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien

mengalami tanda dan gejala keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat,

takikardi, mual, dan muntah, sebaiknya teofilin dihentikan dan segera

dilakukan pengambilan serum dari pasien tersebut (Kiley et al., 2007).

4.) Antikolinergik

Antikolinergik digunakan untuk pengobatan asma, terutama digunakan

sebagai bronkodilator. Antikolinergik bekerja dengan menghambat pelepasan

asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi

mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin dan kemokin dari sel.

Contoh dari antikolinergik ini adalah ipratoprium bromida dan tiotropium

bromida (Gosens et al., 2006).

5.) Leukotrien modifier

Leukonutrien modifier bekerja dengan cara mengantagonis reseptor

leukotrien (contoh montelukast, pranlukast, dan zafirlukast), atau dengan cara

sebagai inhibitor dari 5-lipooksigenase (contoh zileuton). Leukotrien modifier

mempunyai efek bronkodilator yang kecil dan bervariasi, dapat meningkatkan

fungsi paru-paru, dan mengurangi gejala seperti batuk, dan eksaserbasi, serta

inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada pasien dewasa

dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan asma akibat dari

sensitif aspirin (FitzGerald et al., 2012a).

21

6.) Antihistamin

Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati

asma, biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat

penyakit atopik seperti rhinitis alergi. Pemberian antihistamin selama tiga

bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi

gejala asma (Meiyanti, 2000).

2. Jamkesmas dan JKN

Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus

berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 pasal 34 ayat 2, yaitu

menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam

perubahan UUD 1945. Terbitnya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah

memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi

seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial

pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi

kebutuhan dasar hidupnya yang layak (Kementerian Kesehatan, 2011a).

Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program

jaminan kesehatan sosial tersebut. Dimulai dengan dengan program Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JP-KMM) (2005) atau lebih

dikenal dengan program Askeskin (2005-2007) yang kemudian berubah nama

menjadi program Jamkesmas sampai dengan tahun 2013 (Kementerian Kesehatan,

2010).

22

JPKMM atau Askeskin, maupun Jamkesmas kesemuanya mempunyai

tujuan yang sama, yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap

masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi

kesehatan nasional (Kementerian Kesehatan, 2011a). Jamkesmas adalah bentuk

belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak

mampu serta peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Program ini

diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka

mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin

(Kementerian Kesehatan, 2010).

Penyelengaraan program Jamkesmas dibedakan dalam dua kelompok

berdasarkan tingkat pelayanannya, yaitu :

a) Jamkesmas untuk pelayanan dasar di puskesmas termasuk jaringannya, dan

b) Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit dan balai

kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2011a).

Pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2012 dilaksanakan dengan beberapa

penyempurnaan pada aspek kepesertaan, pelayanan, pendanaan, dan

pengorganisasian. Pada aspek kepesertaan, data yang akan digunakan bersumber

dari basis data terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

(TNP2K) yang berlaku setelah peserta menerima kartu Jamkesmas yang baru

(Kementerian Kesehatan, 2012c). Kemudian pada pendanaannya, Kementrian

Kesehatan melalui Tim Pengelola Jamkesmas terus melakukan upaya perbaikan

mekanisme pertanggungjawaban dana Jamkesmas. Hal ini bertujuan agar dana

yang dikirimkan sebagai uang muka kepada fasilitas kesehatan dapat segera

23

dipertanggungjawabkan secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran, akuntabel,

efisien, dan efektif (Kementerian Kesehatan, 2011a).

Namun dalam pelaksanaan Jamkesmas dan jaminan sosial lain di bidang

kesehatan, dianggap masih terfragmentasi dan terbagi-bagi yang mengakibatkan

biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit terkendali. Untuk mengatasinya, dalam

UU Nomor 40 tahun 2004, pemerintah mengamanatkan bahwa jaminan sosial

wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

melalui suatu Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS). Penyelenggaraan JKN

oleh BPJS Kesehatan mulai Januari 2014 diharapkan dapat lebih memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kementerian Kesehatan,

2014).

3. INA-CBG’s

Pada tahun 2010 diperkenalkan paket INA-DRG’s versi 1.6 yang lebih

sederhana, lebih terintegrasi serta mudah dipahami dan diaplikasikan. Namun

demikian pada akhir tahun 2010 dilakukan perubahan penggunaan software

grouper dari INA-DRG’s ke INA-CBG’s (Kementerian Kesehatan, 2011a).

Hingga tahun 2013, INA-CBG’s telah digunakan dalam klaim Jamkesmas

pada sebanyak 747 RS Pemerintah dan 515 RS Swasta. Tarif yang berlaku tahun

2013 merupakan tarif baru yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2013, yaitu tarif

pelayanan kesehatan di ruang perawatan kelas III rumah sakit yang berlaku untuk

rumah sakit umum dan rumah sakit khusus milik pemerintah, dan swasta. Hal ini

sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 (Anjari, 2013).

24

Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2011, Case Based Group (CBG)

pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan DRG yang juga termasuk

dalam sistem casemix. Indonesia Case Based Group (INA-CBG’s) adalah CBG

yang dikaitkan dengan tarif yang dihitung berdasarkan data costing di Indonesia.

Perhitungan biaya perawatan pada sistem ini dilakukan berdasarkan diagnosis

akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit (Pratiwi, 2013), yang dipengaruhi

juga oleh diagnosis sekunder dan tingkat keparahan pasien.

Pada aspek pelayanan Jamkesmas, penggunaan software grouper INA-

CBG’s terus disempurnakan. Seiring dengan penambahan kepesertaan maka perlu

diperluas jaringan fasilitas kesehatan rujukan dengan meningkatkan jumlah

Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota

dan fasilitas kesehatan dasar swasta serta fasilitas kesehatan rujukan setempat

(Kementerian Kesehatan, 2012c). Pada tahun 2013 software INA-CBG’s yang

digunakan adalah tipe 3.1, dan mulai tahun 2014 yang digunakan adalah tipe 4.0.

Paket tarif INA-CBG’s ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

rumah sakit. Manfaat tersebut adalah :

a) Pihak rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja

sebenarnya,

b) Dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan rumah sakit,

c) Dokter, atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas

pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan

25

d) Meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar

perawatan dapat secara komprehensif, serta dapat memonitor QA dengan cara

yang lebih objektif,

e) Perencanaan budget anggaran pembiayaan, dan belanja yang lebih akurat,

f) Dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing

klinisi,

g) Keadilan yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran, dan

h) Mendukung perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway (Anjari,

2013).

Clinical pathway adalah konsep pelayanan terpadu yang merangkum setiap

langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis,

standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya.

Keseluruhan berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur pada periode waktu

tertentu selama di rumah sakit (Rivany, 2009).

4. Analisis Biaya

Biaya dihitung untuk memperkirakan sumber daya (atau input) dalam suatu

produksi barang atau jasa. Sumber daya yang terkait dengan suatu produk atau

jasa tidak dapat digunakan untuk produk atau jasa yang lain (opportunities)

(Andayani, 2013). Pada tahun 1980 dan 1990, banyak textbook

mengklasifikasikan biaya dalam empat kategori, yaitu biaya medik langsung,

biaya non-medik langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tidak teraba. Biaya

medik langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan input yang

digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya, biaya obat, tes

26

diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat, atau biaya rawat

inap. Biaya non-medik langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang

terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak langsung terkait dengan

terapi. Salah satu contohnya adalah biaya menuju atau dari praktek dokter, klinik,

atau rumah sakit. Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan hilangnya

produktivitas karena penyakit atau kematian yang dialami oleh pasien. Dan yang

termasuk dalam biaya tidak teraba antara lain biaya untuk nyeri, sakit, cemas, atau

lemah karena penyakit atau terapi suatu penyakit (Andayani, 2013).

Menurut Gani dalam Makalah Seri Manajemen Keuangan tahun 1996,

analisis biaya adalah suatu proses menata kembali data atau informasi yang ada

dalam laporan keuangan untuk memperoleh usulan biaya satuan pelayanan

kesehatan. Dapat dikatakan analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan dan

menghitung biaya output jasa pelayanan (Hamka, 2010).

Analisis farmakoekonomi merupakan cara yang komprehensif untuk

menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan

lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah

tambahan keuntungan sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut

(Andayani, 2013). Salah satu penerapan utama farmakoekonomi di praktek klinis

saat ini adalah untuk membantu pengambilan keputusan klinis dan pembuatan

kebijakan. Praktisi pelayanan kesehatan yang menerapkan prinsip dan metode

farmakoekonomi dapat membuat keputusan yang berhubungan dengan produk

dan pelayanan yang tersedia secara lebih baik (Sanchez, 2008).

27

F. Landasan Teori

Biaya pengobatan asma yang selalu bervariasi antar pasiennya dapat

disebabkan karena beberapa faktor (Gupchup et al., 2001), termasuk faktor risiko

penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan asma. Berdasarkan penelitian

Taher (2012), faktor risiko seperti, jenis kelamin, umur, komorbid, serta lama

tinggal atau Length of Stay terbukti dapat mempengaruhi biaya riil pengobatan

dari pasien asma. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Heriza

(2013) menunjukkan jenis kelamin, umur dan tingkat perawatan dari pasien juga

dapat berpengaruh terhadap biaya pengobatan.

Prevalensi asma cukup besar ternyata terjadi pada masyarakat dengan

tingkat ekonomi rendah. Oleh karena itu pemerintah berusaha meningkatkan

pelayanan kesehatan bagi semua kalangan masyarakat dengan melaksanakan

program Jamkesmas. Pada pelaksanaannya, besarnya biaya sudah ditetapkan

melalui paket tarif INA-CBG’s. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Afrianti (2012) di RSI Siti Khadijah Palembang, didapatkan hasil biaya riil

pasien ternyata 62,4% lebih besar daripada paket tarif INA-CBG’s. Penelitian lain

oleh Sari dan Putra (2013), juga menunjukkan adanya perbedaan yang lebih besar

antara biaya pengobatan rata-rata untuk pengobatan diabetes mellitus dan

thalasemia dibandingkan dengan paket tarif INA-CBG’s di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta.

28

G. Kerangka Konsep

Gambar 1. Skema Kerangka Konsep Penelitian

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis :

1. Jenis kelamin, umur, komorbid, kelas perawatan dan LOS berpengaruh pada

biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa

2. Terdapat ketidaksesuaian antara biaya riil dan paket tarif INA-CBG’s pada

pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa

Pasien asma peserta

Jamkesmas Pasien asma umum

Pasien asma

Komponen biaya:

- Obat dan barang medis

- Penunjang medis

- Kamar opname

- Visite dokter

- Konsultasi dokter

- Asuhan keperawatan

- Tindakan infus

- Periksa dokter IGD

- Jasa rumah sakit

- Administrasi

Biaya riil

- Jenis kelamin

- Umur

- Komorbid

- Kelas perawatan

- LOS

Biaya paket tarif INA-

CBG’s